Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Kelenjar tiroid memiliki fungsi utama untuk memproduksi hormon tiroksin yang
berperan dalam pertumbuhan dan metabolisme1. Kelenjar tiroid ini pun dapat
mengalami gangguan anatomis maupun fungsional, yang salah satunya berupa nodul
tiroid. Nodul tiroid merupakan pembengkakan atau massa yang teraba pada kelenjar
tiroid. Ada yang bersifat jinak dan ganas. Penegakan diagnosis nodul tiroid meliputi
beberapa modalitas, yaitu: anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.2
Penatalaksanaan nodul tiroid meliputi penggunaan obat-obatan, pembedahan,
maupun dengan radioterapi. Guna menentukan modalitas terapi yang digunakan adalah
sangat perlu untuk mengetahui diagnosis penyakit secara klinis dan histopatologis.1
Apabila pembedahan dipilih dalam penatalaksanaan nodul tiroid, terdapat banyak
penyulit yang berkaitan dengan banyaknya struktur penting yang berjalan di dekat
tiroid, serta kelainan endokrin yang mungkin timbul. Dalam pelaksanaan pembedahan
tersebut, tentu saja peranan anestesi sangat penting, mengingat operasi dilakukan dekat
dengan jalan nafas yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan tersumbatnya jalan nafas
tersebut3. Oleh karenanya yang menjadi perhatian dalam pelaksanaan anestesi adalah
membuat dan menjaga jalan nafas agar tetap aman selama pembedahan berlangsung.
Yang tidak kalah penting adalah gangguan fungsi tiroid, baik itu hipotiroid ataupun
hipertiroid, akan memberikan dampak pada banyak sistem organ dan hal ini
kemungkinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan selama pengelolaan anestesia,
mulai dari sebelum operasi, durante operasi, hingga pasca operasi. Dengan demikian,
pengelolaan anestesia yang tepat dan efektif merupakan hal yang terpenting agar
terciptanya keamanan dan kenyamanan pasien dalam menjalani terapi pembedahan.

BAB II

-1-
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi, Histologi dan Fisiologi Tiroid


2.1.1 Struktur anatomi dan histologi kelenjar tiroid
Tiroid terletak di bagian dalam dari otot sternotyhroid dan sternohyoid setinggi vertebra
C5 sampai T1. Pada orang dewasa beratnya adalah 15-20 gram, terdiri dari dua lobus
laterali, ukuran 4 cm x 2 cm, menempel pada sisi lateral kartilago tiroid dengan batas
atas ismus sedikit di bawah kartilago krikoid dan bawahnya sampai ring trakea ke-4.
Ismus merupakan bagian yang menyatukan kedua lobus tiroid sepanjang trakea,
biasanya di anterior dari cincin trakea kedua dan ketiga. Kelenjar tiroid ini dibungkus
kapsul jaringan fibrous tipis, pada sisi posterior melekat erat pada trakea dan laring
(ligemen suspensorium dari Berry) sehingga akan ikut bergerak sewaktu menelan.
Kapsul ini juga penetrasi ke dalam kelenjar sehingga terbentuk pseudolobulus yang
berisi beberapa folikel.1,4
Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gr/menit, kira-kira 50 kali lebih
banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Arteri dan vena yang melayani
tiroid adalah: Arteri tiroidea superior yang merupakan cabang dari arteri karotis
eksterna dan memberi darah sebesar 15-20%. Sebelum mencapai kelenjar tiroid, arteri
ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior, yang akan
beranastomosis dengan cabang arteri tiroidea inferior. Kemudian terdapat Arteri tiroidea
inferior yang merupakan lanjutan dari trunkus tiroservikalis yang berasal dari Arteri
subklavia, dan memberikan darah paling banyak, yaitu sekitar 76-78%. Perdarahan
tiroid juga dilayani oleh Arteri tiroidea ima, yakni arteri yang berjalan ke arah ismus
kelenjar tiroid, yang merupakan percabangan dari arkus aorta (atau Arteri
brakiosefalika) dan memberi darah 1-2 %. Namun Arteri tiroidea ima ini tidak selalu
ada, namun jika ada cukup besar sehingga dapat membahayakan ketika dilakukan
trakeostomi.1
Tiga pasang vena biasanya mengalirkan vena dari pleksus tiroid pada permukaan
anterior kelenjar tiroid dan trakea. Vena tiroid superior mengalirkan darah dari kutub
superior kelenjar, vena tiroid tengah mengalirkan darah dari pertengahan lobus dan vena
tiroid inferior mengalirkan darah dari kutub inferior dan atau ismus. Vena tiroid

-2-
superior dan tengah mengalirkan darah ke Vena jugularis interna dan Vena tiroid
inferior mengalirkan darah ke Vena brakiosefalika (kebanyakan yang kiri).1
Tiroid mempunyai jaringan saluran getah bening yang menuju ke kelenjar getah
bening di daerah laring di atas ismus (Delphian Node), kelenjar getah bening para
trakeal dekat n. Rekuren, dan kelenjar getah bening bagian depan trakea. Dari kelenjar-
kelenjar tersebut akhirnya bergabung, kemudian alirannya diteruskan ke kelenjar getah
bening rantai jugular. 1,4
Kelenjar tiroid mendapatkan inervasi saraf simpatik yang berasal dari ganglion
servikalis yang berjalan bersama arteri. Saraf ini berperan dalam mengatur aliran darah
sesuai dengan kebutuhan produksi hormon. 1,4
Secara makroskopik, jaringan tiroid terutama terdiri dari folikel-folikel yang
berbentuk bulat. Setiap folikel terdiri dari sel folikel kuboid satu lapis dan mengelilingi
lumen yang mengandung koloid. Jika dirangsang sel folikel menjadi bentuk kolumnar
dan sel akan mengeluarkan koloid. Sedangkan bila tertekan, sel akan menjadi pipih dan
koloid terkumpul di dalamnya.5

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Tiroid


Sumber: Saunders B. Evaluation of The Thyroid Nodule. (Diperbaharui 2004)

2.1.2 Fisiologi kelenjar tiroid

-3-
Fungsi kelenjar tiroid yang utama adalah memproduksi hormon tiroksin yang berperan
dalam pertumbuhan dan metabolisme. Hormon tiroid yang disintesis oleh kelenjar tiroid
sangat tergantung pada jumlah dari iodium yang masuk kedalam tubuh kita. 1
Iodium yang dibutuhkan untuk sintesis hormon tiroid diperoleh dari makanan dan
juga minuman dalam bentuk iodida atau ion iodat. Ion iodat tersebut nantinya akan
dikonversi menjadi iodida di dalam lambung. Iodida tersebut nantinya akan diabsorpi
dari saluran cerna ke dalam darah. Biasanya sebagian besar dari iodida tersebut dengan
cepat dikeluarkan oleh ginjal, setelah seperlima dari asupan iodium tersebut diserap oleh
sel-sel tiroid untuk sintesis hormon tiroid. 1,5
Sintesis dari hormon tiroid dalam kelenjar tiroid meliputi 5 tahapan utama yaitu: 5
a. Transport aktif ion iodida melewati membran basal menuju ke dalam sel tiroid
(iodide trapping)
b. Oksidasi dari iodida dan iodinasi dari residu tirosil pada tiroglobulin.
c. Coupling dari molekul iodotirosin dalam tiroglobulin untuk membentuk hormon
tiroid
d. Proteolisis dari tiroglobulin, yang nantinya akan menyebabkan pelepasan dari
iodotironin dan iodotirosin
e. Deiodinasi dari iodotirosin dalam sel tiroid oleh enzim deiodinase intratiroid.
Sekitar 90% hormon tiroid yang dilepaskan ke dalam sirkulasi berupa tiroksin (T4).
Sedangkan 10% sisanya dalam bentuk triiodotironin (T3) yang merupakan bentuk aktif
dari hormon tiroid. Walaupun demikian sebagian besar T4 di jaringan perifer akan
dirubah menjadi T3 ataupun bentuk metabolit inaktif yakni reverse T3. Di dalam sistem
sirkulasi, sebagian besar T4 dan T3 berikatan dengan protein plasma, dimana 80%
berikatan dengan T4-binding globulin, 10% - 15% berikatan dengan T4-binding
prealbumin, dan sisanya berikatan dengan albumin. 4,5
Hormon tiroid memiliki efek di tingkat selular, organ dan sistemik. Di tingkat
seluler hormon tiroid menyebabkan transkripsi inti dari sejumlah besar gen. Oleh karena
itu, sejumlah besar enzim protein, protein transport, protein struktural, dan zat lainnya
akan meningkat. Di tingkat organ, hormon tiroid memiliki beberapa efek antara lain
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitasnya sehingga akan meningkatkan juga
curah jantung, meningkatkan konsumsi O2 dan produksi CO2 yang akan dikompensasi
dengan peningkatan pernapasan pasien dan juga volume tidal, juga meningkatkan

-4-
pembentukan tulang. Sedangkan efek hormon tiroid di tingkat sistemik adalah
meningkatkan metabolisme selular dan produk akhir metabolisme dimana akan
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan dari aliran darah ke dalam
jaringan. 4,5
Untuk menjaga agar tingkat metabolisme dalam tubuh tetap normal, maka setiap
saat harus disekresikan hormon tiroid dalam jumlah yang tepat. Agar hal ini dapat
tercapai, terdapat beberapa mekanisme pengaturan hormon tiroid, antara lain: 5
a. Hypothalamic-pituitary-thyroid axis, dimana thyrotropin-releasing hormone (TRH)
dari hipotalamus menstimulasi dan melepaskan thyroid-stimulating hormone (TSH)
kelenjar pituitari anterior, dimana nantinya akan merangsang sekresi dari hormon
tiroid.
b. Enzim deiodinase di kelenjar pituitari dan jaringan perifer yang memodifikasi efek
dari T4 dan T3
c. Autoregulasi sintesis hormon tiroid oleh kelenjar tiroid itu sendiri dalam
hubungannya dengan suplai iodium
d. Stimulasi atau inhibisi dari fungsi tiroid oleh TSH receptor autoantibodies.
Berikut ini disajikan secara skematis produksi hormon tiroid:

Gambar 2.2 Produksi Hormon Tiroid


Sumber: Bruner J. Hormones (Diperbaharui: 12 September 2003).
2.2 Nodul Tiroid
2.2.1 Definisi dan klasifikasi

-5-
Yang dimaksud dengan nodul tiroid adalah pembengkakan atau massa yang teraba pada
kelenjar tiroid. Nodul tiroid dapat teraba pada salah satu atau kedua lobus dari kelenjar
tiroid. Nodul tiroid tersebut dapat bersifat jinak ataupun bersifat ganas. Oleh sebab itu,
sebagai dokter harus mampu menggunakan metode yang efektif untuk mampu
membedakan apakah nodul tesebut bersifat jinak atau akan bersifat ganas. 2
Adapun jenis-jenis dari nodul tiroid dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi Nodul Tiroid

Adenoma Carcinoma Colloid nodule


Macrofollicular adenoma Papillary (75 percent) Dominant nodule in a
(simple colloid) Follicular (10 percent) multinodular goiter
Microfollicular adenoma Medullary (5 to 10 percent) Other
(fetal) Anaplastic (5 percent) Inflammatory thyroid
Embryonal adenoma Other disorders
(trabecular) Thyroid lymphoma (5 Subacute thyroiditis
Hürthle cell adenoma percent) Chronic lymphocytic
(oxyphilic, oncocytic) Cyst thyroiditis
Atypical adenoma Simple cyst Granulomatous disease
Adenoma with papillae Cystic/solid tumors Developmental
Signet-ring adenoma (hemorrhagic, necrotic) abnormalities
Dermoid
Rare unilateral lobe
agenesis
Sumber: Welker M J, Orlov D. Thyroid Nodules. (Diperbaharui: 1 Februari 2003).
2.2 Epidemiologi
Nodul tiroid yang terdeteksi melalui palpasi didapatkan sebanyak 4% - 7% dari seluruh
populasi. Namun melalui pemeriksaan ultrasonografi angka prevalensi nodul tiroid
meningkat yakni sebanyak 19% - 67%. Sekitar 5% - 10% dari nodul tiroid yang
terdeteksi bersifat ganas. 2
Kejadian nodul tiroid pada wanita adalah empat kali lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki. Nodul tiroid juga lebih sering ditemui pada masyarakat yang tinggal di
daerah yang miskin akan iodium, misalnya di pegunungan. Angka kejadian nodul tiroid

-6-
juga meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Nodul tiroid juga sering dijumpai
pada seseorang yang memiliki riwayat terkena radiasi. 2
2.2.2 Etiologi
Terdapat beberapa penyebab dari terjadinya nodul tiroid, yaitu:
Tabel 2.2 Etiologi Nodul Tiroid
JINAK GANAS
Multinodular goiter Papillary carcinoma
Hashimoto’s thyroiditis Follicular carcinoma
Simple or hemorrhagic cysts Hürthle cell carcinoma
Follicular adenomas Medullary carcinoma
Subacute thyroiditis Anaplastic carcinoma
Primary thyroid lymphoma
Metastatic malignant lesion
Sumber: Gharib H, et al. American Asssociation of Clinical Endocrinologists and
Associazione Medici Endocrinologi Medical Guidelines for Clinical Practice
for The Diagnosis and Management of Thyroid Nodules.
2.2.3 Manifestasi klinis
Sebagian besar nodul tiroid bersifat asimptomatis dan sebagian besar nodul tiroid
bersifat eutiroid, hanya 1 % saja yang mengalami hipertiroid atau tirotoksikosis. Pasien
mungkin hanya akan mengeluhkan muncul massa pada daerah lehernya, penekanan
pada daerah leher atau nyeri jika terjadi perdarahan spontan pada nodul tersebut. Di
samping itu, pada beberapa pasien juga mengeluh seperti terasa tercekik, nyeri pada
daerah servikal, disfagia, dan suara yang serak.
Pada saat melakukan anamnesis, perlu ditanyakan beberapa hal berhubungan dengan
kelainan endokrin yang mungkin terjadi, yakni gejala-gejala dari hipotiroid (berat badan
bertambah, intoleransi suhu dingin, konstipasi, refleks hipoaktif, myalgia, dan depresi)
atau hipertiroid (penurunan berat badan, intoleransi terhadap panas, diare, refleks
hiperaktif, dan gugup). Selain itu perlu juga ditanyakan riwayat dari keluarga yang
pernah menderita nodul tiroid, karena terdapat beberapa tipe nodul tiroid yang
diturunkan secara genetik walaupun angka kejadiannya sangat kecil seperti Familial
Medullary Thyroid Cacinoma (MTC), Multiple Endocrine Neoplasia Type 2(MEN 2),
Familial Papillary Thyroid Tumors, Familial Polyposis Coli, Gardner’s syndrome, atau
Cowden disease.7,8
-7-
Setelah melaksanakan anamnesis, akan diperoleh informasi apakah pembesaran
tiroid tersebut bersifat jinak ataupun menjurus ke arah ganas. Adapun tanda-tanda agar
kita waspada (red flag) yang menunjukkan bahwa nodul tiroid tersebut bersifat ganas
dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini.2
Tabel 2.3 “Red Flag” Karsinoma Tiroid
Male gender
Extremes in age (younger than 20 years and older than 65 years)
Rapid growth of nodule
Symptoms of local invasion (dysphagia, neck pain, hoarseness)
History of radiation to the head or neck
Family history of thyroid cancer or polyposis (Gardner's syndrome)
Sumber: Welker M J, Orlov D. Thyroid Nodules. (Diperbaharui: 1 Februari 2003).
2.2.4 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang dlakukan adalah dengan melakukan palpasi pada kedua lobus
kelenjar tiroid, dan keakuratannya sangat tergantung pada pemeriksa. Pada pemeriksaan
penderita, nodul tiroid yang kita dapatkan mungkin saja bersifat nodular atau halus,
lokal ataupun difus, keras atau lembut, dapat dimobilisasi atau terfiksir, dan terasa nyeri
saat dipegang ataupun tidak. Nodul yang berukuran kurang dari 1 cm mungkin saja
tidak dapat terpalpasi kecuali nodul tersebut terletak pada bagian anterior dari lobus
tiroid.2
Selain palpasi dari nodul tiroid tersebut, kita juga perlu memeriksa apakah ada
pembesaran dari kelenjar getah bening pada daerah kepala dan leher. Karena salah satu
tanda dari keganasan tiroid adalah terdapatnya limpadenopati pada daerah servikal
disamping dari ditemukannya nodul yang lebih dari 4 cm, keras dan terfiksir, atau suara
serak. 2
2.2.5 Pemeriksaan penunjang
Pemerikaan penunjang yang dilakukan pada penderita nodul tiroid dapat berupa
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan patologi anatomi dengan Fine-Needle
Aspiration (FNA), dan pemeriksaan ultrasonografi. Pada pemeriksaan TSH serum, jika
didapatkan kadar rendah maka dapat ditegakkan diagnosis hipertiroid, sedangkan bila
kadar TSH dalam serum meningkat, pasien mungkin saja mengalami hipotiroid.2,8

-8-
Pada pasien dengan kadar TSH serum dalam batas normal, maka pemeriksaan yang
dilakukan adalah dengan Fine-Needle Aspiration (FNA). FNA dipercaya sebagai
metode yang paling akurat untuk membedakan apakah nodul tiroid tersebut bersifat
ganas atau jinak. Metode ini memiliki akurasi yang tinggi, yakni sebesar 95 %. Metode
ini juga sangat tergantung pada keterampilan dari petugas yang melakukan aspirasi dan
ahli sitopatologi yang menginterpretasi hapusan sel tiroid. Jika spesimen yang
digunakan masih belum cukup untuk menegakkan diagnosis maka dapat dilakukan FNA
ulangan. 2,8
Pemeriksaan ultrasonografi pada nodul tiroid merupakan pemeriksaan yang paling
sensitif, dimana dengan pemeriksaan ini akan mampu diketahui ukuran yang
sebenarnya, struktur, dan mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada kelenjar
tiroid. Ultrasonografi juga disarankan pada pasien dengan riwayat keluarga yang pernah
atau menderita tiroid karsinoma. 2,8
Pemeriksaan penunjang lain yang mungkin dilakukan adalah dengan
menggunakan pemeriksaan nuklear yakni “thyroid scan”. Pemeriksaan ini dilakukan
pada pasien yang mengalami penurunan pada TSH serum. Pemeriksaan ini mengukur
jumlah iodium radioaktif yang terperangkap pada nodul. Normalnya, pengambilan
iodium pada kedua lobus tiroid adalah sama. Nodul diklasifikasikan menjadi “cold” jika
terjadi penurunan ambilan iodium, dan “hot” jika terjadi peningkatan ambilan iodium.
Nodul yang bersifat “hot” tidak pernah menunjukkan keganasan, sedangkan nodul yang
bersifat “cold” mungkin saja menunjukkan keganasan. 8

2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan nodul tiroid adalah pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk
menentukan apakah nodul tiroid tersebut suspek maligna atau
suspek beningna. Bila nodul tersebut suspek maligna, dibedakan atas apakah kasus
tersebut operabel atau inoperabel. Bila kasus yang dihadapi inoperabel maka dilakukan
tindakan biopsi insisi dengan pemeriksaan histopatologi secara blok parafin.
Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi eksterna atau kemo-radioterapi. Bila
nodul tiroid suspek maligna tersebut operabel dilakukan tindakan isthmolobektomi dan
pemeriksaan potong beku. Dari 5 kemungkinan hasil yang didapat, tindakan

-9-
tiroidektomi total dikerjakan jika hasilnya adalah karsinoma folikulare, karsinoma
medulare, dan karsinoma anaplastik.
Selanjutnya bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna, dilakukan tindakan
FNAB (Biopsi Aspirasi Jarum Halus). Terdapat 2 kelompok hasil yang mungkin
didapat, yaitu: hasil FNAB suspek maligna (foliculare pattern atau hurthl cell) maka
dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku. Sedangkan jika
hasil FNAB benigna pemberian tiroksin (T4) selama 6 bulan, kemudian dievaluasi. Jika
nodul telah mengalami regresi, pemberian tiroksin (T 4) tetap dilanjutkan dengan dosis
yang cukup untuk menekan TSH serum. Namun jika tidak ada perubahan atau
bertambah besar, sebaiknya dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan
potong beku.
Pembedahan yang dilakukan adalah thyroid lobectomy, meliputi total lobectomy
atau near-total lobectomy baik itu disertai atau tanpa isthmectomy. Dalam melakukan
pembedahan harus dihindari terangkatnya kelenjar paratiroid dan rusaknya nervus
laryngeal rekurens yang berjalan di belakang kelenjar tiroid. Jika kelenjar paratiroid ikut
terangkat, maka pasien akan mengalami kejang tetani, akibat dari turunnya kadar
kalsium dalam darah. Sedangkan jika terjadi kerusakan pada nervus laryngeal rekurens
maka akan terjadi paralisis pita suara, dan pasien akan mengalami kesulitan dalam
berbicara pasca operasi. Oleh sebab itu disarankan untuk memeriksa secara teliti dari
keberadaan keempat kelenjar paratiroid dan nervus laryngeal rekurens selama
melakukan operasi.

2.3 Anestesia dan Manajemen Perioperatif pada Tiroidektomi


2.3.1 Persiapan pra-operatif
Persiapan yang dilakukan sebelum operasi tiroidektomi antara lain melakukan
anamnesis kepada pasien baik itu anamnesis umum ataupun anamnesis khusus.
Kemudian dilakukan juga pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Semua ini
dilakukan untuk mengetahui adanya abnormalitas dari fungsi kelenjar tiroid, karena
akan mempengaruhi pada pilihan jenis dan obat-obatan anestesia yang akan diberikan.
Kondisi medis lainnya yang perlu diperhatikan adalah kelainan pada jantung, fungsi
respirasi, serta kelainan endokrin yang menyertai.7,11

- 10 -
Sebagai seorang ahli anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien dengan
nodul tiroid adalah tentang bagaimana penanganan jalan nafas saat operasi berlangsung.
Pasien sebelumnya harus ditanyakan tentang riwayat dari gangguan pernapasan,
misalnya saja positional dyspnea, dimana keadaan ini mungkin dihubungkan dengan
adanya disfagia pada pasien. Pemeriksaan jalan nafas lainnya yang mungkin dilakukan
antara lain, pengukuran jarak gigi seri bagian atas dan bawah, thyromental distance,
derajat protrusi gigi bawah, mobilitas kepala dan leher, serta pengamatan pada struktur
faring 11. Kemudian dilihat pula ada tidaknya gejala – gejala hipertiroid atau hipotiroid,
seperti:12
 Respirasi : ada tidaknya kompresi pada trakea.
 Kardiovaskular : pemeriksaan nadi normal dalam keadaan istirahat sangat
membantu apakah pasien siap operasi atau tidak. Di mana pada pasien hipertiroid
bisa terjadi takikardia, atrial fibrilasi, palpitasi, CHF. Sedangkan pada hipotiroid
dapat terjadi bradikardia, pericardial efusi, voltage ECG menurun.
 Neurologis : pada hipertiroid dijumpai kulit lembab dan hangat, kecemasan, dan
gugup. Sedangkan pada hipotiroid dijumpai pergerakan lambat, susah
berkonsentrasi, dan intoleran terhadap dingin.
 Muskuloskeletal : pada hipertiroid didapatkan kelemahan pada otot, kehilangan
berat badan. Sedangkan pada hipotiroid dijumpai atralgia dan mialgia.
 Gastrointestinal : pada hipertiroid ditemukan diare dan kehilangan berat badan.
Sedangkan pada hipotiroid ditemukan konstipasi dan ileus.
Pemeriksaan rutin yang harus dilakukan pada pasien nodul tiroid sebelum
dioperasi meliputi tes fungsi tiroid, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan kadar
elektrolit dalam darah terutama kalsium, foto thorak dan laringoskopi indirek 11.
Pemeriksaan foto rontgen thorak dibutuhkan untuk melihat apakah terdapat gambaran
deviasi atau kompresi trakea. Sedangkan laringoskopi indirek dilakukan untuk
mengetahui apakah terdapat disfungsi dari pita suara. Jika laringiskopi indirek tersebut
gagal untuk dilakukan maka perlu dikhawatirkan kemungkinan kesulitan intubasi saat
operasi akan dimulai.11
Kondisi optimal untuk dilakukan operasi adalah pasien dalam kondisi eutiroid.
Namun bila pasien dalam kondisi hipertiroid maka perlu diberikan terapi medis terlebih
dahulu agar didapatkan hasil test fungsi tiroid dalam batas normal serta denyut jantung

- 11 -
saat istirahat < 85 kali/menit. Sedatif yang diberikan sebagai premedikasi yang
diberikan adalah golongan benzodiazepine seperti misalnya midazolam atau diazepam.
Sedangkan pada pasien yang mengalami hipotiroid pemberian sedatif tidak boleh terlalu
banyak karena pasien tersebut sangat rentan mengalami drug-induced respiratory
depression, dan akibatnya terjadi kegagalan dalam merespon hipoksia. Pasien ini juga
perlu diberikan premedikasi berupa histamine H2 antagonist dan metoclopramide karena
terjadi penurunan waktu pengosongan lambung pada pasien tersebut. Pemberian terapi
medis berupa obat-obatan untuk mengkoreksi keadaan hipertiroid atau hipotiroid tetap
dilanjutkan pada pagi hari sebelum dilakukan operasi.7
2.3.2 Manajemen intra-operatif
Jenis anestesia yang dipilih dapat berupa anestesia umum atau dengan menggunakan
anestesia regional yang dikombinasi dengan monitored anesthesia care (MAC). Jenis
anestesia regional yang dipilih dapat berupa blok pleksus servikalis setinggi C 2-C4 yang
dikombinasikan dengan anterior field block atau cukup dengan anterior field block.
Adapun keuntungan dan kerugian dari anestesia lokal dan umum dapat dilihat pada
tabel 2.4 berikut ini.11

Tabel 2.4 Anestesia Umum Dibandingkan Dengan Anestesia Lokal


Anestesia umum Anestesia lokal dengan MAC
Keuntungan Keuntungan
- Pasien tidak sadar - Pemulihan postanastesia yang cepat
- Jalan nafas yang teratur - Efek samping obat minimal
- Tidak ada iritasi tenggorokan dan pita
Kerugian suara
- Pemulihan postanastesia yang lama Kerugian
- Efek samping obat - Sensasi tertekan pada daerah operasi

- 12 -
- Operator teganggu (pasien menelan,
batuk, bergerak)
Sumber : Farling P A. Thyroid Disease. British Journal of Anesthesia. 2000
Anestesi umum dengan pemasangan pipa endotrakea dan penggunaan pelumpuh
otot merupakan teknik anestesi yang paling sering digunakan untuk operasi
thiroidectomy. Pemberian pelumpuh otot akan memudahkan dan mengurangi cidera
tindakan laringoskopi dan intubasi trakea serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan
selama pembedahan dan ventilasi kendali 13. Obat yang digunakan untuk induksi dapat
berupa thiopental (pada hipertiroid) atau ketamin (pada hipotiroid). Pada pasien dengan
hipertiroid, obat-obat yang menstimulasi sistem saraf simpatis seperti misalnya ketamin,
pancuronium harus dihindari karena dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut
jantung. Sedangkan pada pasien dengan hipotiroid sangat rentan dengan efek hipotensi
dari obat-obat anestesi.11
Intubasi endotrakea sangat penting dalam proses pembedahan tiroid. Intubasi trakea
biasanya menggunakan teknik laringoskopi konvensional. Pipa endotrakeal yang
digunakan biasanya non-kinking, dan harus cukup panjang sampai melewati kelenjar
tiroid. Nasal tracheal tube juga dapat digunakan, tetapi perlu diwaspadai resiko
terjadinya epistaksis. Sedangkan jika didapatkan terjadinya kompresi trakea maka
“reinforced tracheal tube” yang lebih kecil dapat digunakan.11
Setelah dilakukan intubasi, posisi pipa endotrakeal harus diperiksa dan difiksasi,
kemudian kedua mata pasien diberikan perlindungan. Pasien kemudian diposisikan
telentang dengan bantalan di bawah bahu dan kepala diposisikan dengan posisi “horse
shoe” atau “Whitlock Headrest”. Kedua tangan pasien kemudian diletakkan lurus pada
kedua sisi pasien, dan kepala dimiringkan keatas sebesar 25º untuk menjamin drainage
vena dan juga memudahkan operator dalam bekerja. 11
Selama operasi, pemilihan agen anestesi yang tepat sangat dibutuhkan dalam
menangani pasien dengan nodul tiroid. Pada hipertiroid anestesi harus cukup dalam
untuk menghindari terjadinya takikardia, hipertensi, dan aritmia saat dilakukan
pembedahan. Agen-agen anestesia yang meningkatkan tekanan darah juga harus
dihindari. Sedangkan pada pasien hipotiroid kita harus waspada terhadap kemungkinan
terjadinya hipoglikemi, hiponatremia, dan hipotermi akibat dari rendahnya tingkat
metabolisme basal. Baik hipotiroid maupun hipertiroid tidak menyebabkan perubahan
pada minimum alveolar concentration (MAC) dari agen-agen anestesia inhalasi. 7
- 13 -
2.3.3 Pengelolaan pasca-operasi
Setelah operasi selesai, residu dari blok neuromuskular dipulihkan, dan pasien
dibebaskan dari pengaruh anestesia. Saat pasien telah bernapas spontan dengan baik dan
reflek laring telah muncul kembali, maka pasien dapat diekstubasi dan kemudian pasien
dipindahkan ke ruang pulih. Masalah yang mungkin muncul pada saat ekstubasi adalah
pasien terbatuk-batuk, desaturasi oksigen, laringospasme, dan obstruksi jalan napas.
Untuk mencegah hal ini terjadi, pemberian narkotik seperti alfentanil atau lidokain
secara intravena dapat dilakukan saat pasien masih dalam pengaruh anestesi. Lidokain
selain diberikan secara intravena juga dapat diberikan secara topikal. 11
Komplikasi yang perlu diperhatikan dan mungkin terjadi pada pasien pasca operasi
tiroidektomi adalah gangguan pada pita suara akibat dari rusaknya nervus laryngeal
rekurens saat operasi. Mekanismenya dapat berupa iskemi, kontusi, traksi, dan
transeksi. Suara pasien akan menjadi serak jika yang terkena saraf pada salah satu sisi
(unilateral) atau terjadi aphonia dan stridor jika yang terkena adalah saraf pada kedua
sisi kelenjar tiroid (bilateral). Resiko dari kerusakan saraf selama pembedahan akan
meningkat pada operasi keganasan tiroid dan operasi untuk kedua kalinya serta variasi
dari anatomi pasien. Pengobatan dari paralisis pita suara tersebut dapat berupa injeksi
intrachorda, pembedahan laring, thyroplasty, dan reinervasi laring. 11
Hipokalsemia akut juga dapat terjadi dalam 12-72 jam jika kelenjar paratiroid ikut
terangkat saat operasi. Jika terdapat tanda-tanda hipokalsemia, seperti: spasme capo
pedal, tetani, laringospasme, perubahan status mental, kejang, maka dapat diberikan
suplemen kalsium berupa kalsium klorida dan kalsium glukonas. Selain itu pada
umumnya pasca operasi pasien diberikan tiroksin sebanyak 100 µg perharinya. 7
Trakeomalasia atau kolaps trakea juga mungkin terjadi pada pasien pasca operasi
tiroidektomi. Biasanya terjadi akibat kompresi trakea yang lama pada nodul tiroid yang
besar. Kondisi ini dapat membahayakan nyawa pasien dan harus diketahui sebelum
dilakukan ekstubasi serta harus segera ditangani. Tidak adanya kebocoran udara saat
cuff dikempiskan atau berkurangnya volume udara saat dikembangkan dibandingkan
dengan saat cuff dikempiskan merupakan tanda-tanda yang menunjukkan kemungkinan
terjadinya trakeomalasia. Penanganan yang dapat dilakukan meliputi reintubasi segera,
trakeostomi, atau pemasangan “ceramic rings” untuk menjaga struktur anatomis trakea.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi tetapi sangat jarang seperti hematom, oedem

- 14 -
laring, dan mati rasa pada tempat irisan saat operasi. Di samping itu dapat pula terjadi
perdarahan post operasi yang potensial menyebabkan obstruksi jalan nafas yang
mengancam nyawa. Adanya stridor atau hipoksia, bengkak pada leher depan,
bendungan vena leher merupakan tanda adanya perdarahan aktif. 11
Pada pasien dengan kondisi khusus misalnya pada hipertiroid mungkin saja terjadi
keadaan yang mengancam setelah operasi yang dikenal dengan istilah “thyroid storm”.
Adapun manifestasi klinis dari “thyroid storm” berupa peningkatan metabolisme tubuh
yang nyata dan peningkatan respon adrenergik. Teori terdahulu menyebutkan bahwa
“thyroid storm” terjadi akibat pelepasan yang mendadak dari simpanan hormon tiroksin
dan triiodotironin. Namun studi terkini menyebutkan bahwa pada “thyroid storm”
terjadi peningkatan jumlah reseptor katekolamin, sehingga terjadi peningkatan
sensitifitas terhadap katekolamin pada jantung dan jaringan saraf. Selain itu juga terjadi
peningkatan dari T3 dan T4 dalam bentuk bebas. Semua kondisi ini yang disertai
dengan stress akibat pembedahan akan menyebabkan munculnya manifestasi akut dari
“thyroid storm”. 7,11
Pasien dengan “thyroid storm” biasanya akan mengalami demam dengan suhu
tubuh mencapai 38 - 41º celcius dan juga berkeringat serta wajahnya kemerahan. Pada
pasien juga akan mengalami peningkatan denyut jantung (takikardia) yang nyata, sering
disertai dengan atrial fibrillation, tekanan darah yang tinggi dan bahkan gagal jantung.
Keluhan yang biasanya muncul pada sistem saraf pusat berupa agitasi, delirium dan
koma. Keluhan pada sistem gastrointestinal berupa mual, muntah, dan ikterus. Keadaan
yang fatal pada pasien dengan “thyroid storm” dihubungkan dengan gagal jantung dan
syok. 7,11
Terapi yang dapat diberikan berupa rehidrasi dan pendinginan, infuse esmolol atau
propanolol IV (0,5 mg yang dapat dinaikkan sampai dicapai denyut jantung kurang dari
100 kali/menit), propylthiouracil (250-500 mg tiap 6 jam per oral atau NGT) yang
diikuti dengan pemberian natrium iodide (1 gr IV dalam 12 jam) dan koreksi faktor
penyebab lain (misalnya infeksi).
Pasca operasi pasien dengan hipotiroid ekstubasi mungkin dilakukan setelah pasien
bangun dan normotermi, karena biasanya pasien mengalami pemulihan pasca-anestesi
yang lebih lama. Hal ini diakibatkan hipotermi, depresi pernapasan, atau
biotransformasi obat yang melambat. Karena pada hipotiroid mudah terjadi depresi

- 15 -
pernapasan maka analgetik non-opioid seperti ketorolac merupakan pilihan yang tepat
dalam penanganan nyeri pascaoperatif. 7,11
Pada pasien-pasien yang menjalani operasi tiroidektomi pada umumnya dapat
mentoleransi nyeri pasca operasi dengan baik dan analgetik yang dibutuhkan dalam
jumlah minimal. Biasanya pasien lebih sering mengeluhkan kaku pada leher akibat dari
posisi saat pembedahan dibandingkan dengan nyeri pada tempat insisi. 7,11

  

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 EVALUASI PRA-ANESTESIA
A. IDENTITAS
Nama : Kd Sri Ayu Ardeni
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Hindu

- 16 -
Agama : Bali
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. Pelawa III No. 6 Denpasar
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
No CM : 01.21.48.60
Diagnosis Bedah : Multiple Nodul Tiroid (MNT)
Tindakan : Total Tiroidektomi
Tanggal Operasi : Senin, 11 Agustus 2008
B. ANAMNESIS
Anamnesis Khusus
Pasien mengeluhkan tumbuh benjolan pada leher bagian depan sejak ± 5 tahun yang
lalu. Benjolan tersebut pada awalnya kecil dan kemudian benjolan tersebut dirasakan
semakin membesar. Pasien juga mengeluhkan rasa nyeri di daerah benjolan, namun
bersifat hilang timbul. Kadang-kadang pasien mengeluhkan gangguan pada saat
menelan, sesak, dada berdebar-debar, dan berkeringat. Sebelumnya pasien sempat
berobat di rumah sakit Singaraja, namun keluhan tidak berkurang. Riwayat penyakit
yang sama dalam keluarga disangkal.
Anamnesis Umum
Riwayat penyakit sistemik : disangkal oleh pasien
Riwayat operasi/anestesi sebelumnya: tidak ada
Riwayat alergi obat : tidak ada
Riwayat merokok/minum alkohol : tidak ada
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Kesadaran : Compos mentis (E4 V5 M6)
Tekanan darah : 130/75 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Respirasi : 16 x/menit
Suhu aksilla : 36,7 º C
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 158 cm

- 17 -
BMI : 20,03 kg/m2 (Normal)
Status Lokalis
Regio colli anterior
Inspeksi : tampak benjolan ikut bergerak saat menelan.
Palpasi : benjolan teraba padat kenyal, batas tegas, mobile, diameter ± 7 cm.
Pemeriksaan Fisik Umum
Sistem saraf pusat : normal
Respirasi : normal
Sirkulasi : normal
Hematologi : normal
Ginjal : normal
Gastrointestinal : normal
Hepatobilier : normal
Metabolik : normal
Muskuloskeletal : normal
Pemeriksaan Fisik Khusus
Keadaan gigi geligi : normal, gigi palsu (-)
Kemampuan membuka mulut : Mallampati I
Fleksi & defleksi leher : normal
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Rutin
Darah Lengkap (21 Juli 2008)
- WBC : 5,26 103/uL (4,5 - 11,0. 103/uL)
- HGB : 12,1 g/dL (12,0 - 16,0 g/dL)
- HCT : 35,9 % (38,0 - 48,0 %)
- PLT : 205. 103/uL (150 - 440 103/uL)
- BT : 1’30” (1’ - 3’)
- CT : 9’30” (5’ - 15’)
Kimia Darah (21 Juli 2008)
- Albumin : 4,0
- BUN : 10,2
- Crea : 1,04

- 18 -
- Ureum : 21,8
- Glu : 82
- AST : 24
- ALT : 12
- Ca : 9,41
- Na : 139
- K : 3,79
- Cl : 108,5
Pemeriksaan Khusus
Imunologi (21 Juli 2008)
- FT4 : 16,20 pmol/L(9 - 20 pmol/L)
- TSH : < 0,05 UIu/ml (0,25 - 5 UIu/ml)
Foto Thorax PA (24 Juli 2008)
Cor : besar & bentuk normal
Pulmo : infiltrat (-), nodul (-), corakan bronkovaskuler normal
Sinus pleura kanan dan kiri tajam
Diafragma kanan kiri normal
Tulang tidak tampak kelainan
Kesan : Thorax normal
USG Tiroid (24 Juli 2008)
Tiroid kanan : ukuran membesar, parenkim hilang diganti oleh nodule solid
lobulated, kalsifikasi (-), vaskularisasi penuh di dalam massa,
ukuran 2,5 x 2,3 cm
Tiroid kiri : ukuran normal, parenkim homogen normal, tampak nodul solid
ukuran 1,3 x 1,2 cm, hipoechoic, kalsifikasi (-)
Isthmus tiroid : normal, parenkim homogen, nodul/kista/kalsifikasi (-)
Kesan : Thyroid nodule solid kanan – kiri.
Pemeriksaan Patologi Anatomi (25 Juli 2008)
Dilakukan 2 x puncture pada nodul colli anterior ukuran 5 x 4 cm.
Mikros: tampak sebaran sel-sel epitel folikel, epitel atrofi, cyst makrofag, dan
eritrosit.
Dx: tiroid, FNA

- 19 -
Colloid Nodule
Elektrokardiogram (26 Juli 2008)
SR: HR = 77 kali/menit
Axis normal
ST-T change (-)
Kesimpulan : Status fisik ASA I
3.2 PERSIAPAN PRA-ANESTESIA
A. Persiapan Rutin Sehari Sebelum Operasi
1. Persiapan psikis : memberi penjelasan kepada pasien dan keluarganya
mengenai tindakan anesthesia dan pembedahan yang akan
dilakukan.
2. Persiapan fisik : puasa 8 jam sebelum operasi, minum air putih non partikel
diperbolehkan sampai 2 jam sebelum operasi dan
melepaskan segala macam perhiasan dan aksesoris. Minum
diazepam 5 mg (malam pukul 22.00 dan pagi pukul 06.00
WITA).
3. Membuat surat persetujuan tindakan medis.
B. Persiapan di Ruang Persiapan Instalasi Bedah Sentral
1. Memeriksa kembali identitas pasien dan surat persetujuan tindakan medis.
2. Pemasangan IV line di tangan kiri
3. Evaluasi ulang status present pasien :
a. Tekanan darah : 110/80 mmHg
b. Nadi : 82 x/menit
c. Respirasi : 18 x/menit
4. Pemberian premedikasi IV pukul 08.30 wita
 Ondansetron 4mg
 Midazolam 2,5 mg
C. Persiapan di Kamar Operasi
1. Persiapan mesin anestesi dan sistem aliran gas dan cadangan volatile agent
2. Persiapan obat dan alat anestesi yang digunakan
3. Persiapan alat-alat dan obat resusitasi

- 20 -
4. Menyiapkan penderita di meja operasi, memasang alat pantau tekanan darah,
EKG, tiang infus, pulse oxymetri.
5. Evaluasi ulang status present pasien :
a. Tekanan darah : 110/80 mmHg
b. Nadi : 84 x/menit
c. Respirasi : 18 x/menit
3.3 PENGELOLAAN ANESTESIA
1. Jenis anestesia : Anestesia umum
2. Teknik anesthesia : Anestesia umum inhalasi dengan pemasangan pipa
endotrakeal (PET) dengan nafas kendali
- Pasien posisi telentang, pasang monitor
- Preoksigenasi dengan O2 100 % 8 lpm selama 5 menit
- Prekurarisasi dengan ecron 1 mg
- Induksi dengan propofol 200 mg
- Relaksasi dengan succynil choline 50 mg
- Laringoskopi, intubasi dengan PET no 7 Cuff (+), non kinking.
- Maintenance dengan O2 2 lpm, gas N2O 2 lpm, dan gas Sevoflurane.
3. Respirasi : kendali
4. Posisi operasi : telentang
5. Infus : kristaloid (ringer laktat) di tangan kiri
6. Kronologis Anestesia
a. Pukul 08.20 : pasien datang di ruang persiapan
b. Pukul 08.30 : premedikasi
c. Pukul 08.40 : pasien masuk ke ruang operasi
d. Pukul 08.45 : prekurarisasi
e. Pukul 08.50 : induksi
f. Pukul 08.55 : intubasi
g. Pukul 09.15 : operasi mulai
h. Pukul 13.30 : operasi selesai
i. Pukul 13.35 : ekstubasi
j. Pukul 13.45 : pasien pindah ke ruang pemulihan
k. Pukul 14.15 : pasien pindah ke ruang perawatan

- 21 -
7. Komplikasi selama anestesia : tidak ada
8. Lama Operasi : 4 jam 15 menit
9. Lama Anestesia : 4 jam 45 menit
10. Keadaan akhir pembedahan :
- Tekanan darah : 100/68 mmHg
- Nadi : 72 x/menit
11. Rekapitulasi cairan (Puasa 8 jam, berat badan 50 Kg)
- Kebutuhan cairan basal : 40 ml x 50 kg/24 jam = 83,33ml/jam
- Defisit puasa : 83,33 ml/jam x 8 jam = 666,7 ml
- Sekuester : 4 x 50 kg = 200 ml
- EBV : 65 x 50 kg = 3250 ml
- ABL : 20 % x 3250 ml = 650 ml
- Kebutuhan cairan jam I :(50% x 666,7) + 83,33+ 200 = 616,68 ml
- Kebutuhan cairan jam II :(25% x 666,7) + 83,33 + 200 = 503,99 ml
- Kebutuhan cairan jam III :(25% x 666,7)+83,33+200+100 = 553,99 ml
- Kebutuhan cairan jam IV : 83,33 + 200 + 100 = 383,33
- Kebutuhan cairan jam V : 83,33 + 200 + 50 = 333,33
- Perdarahan : ± 250 ml
- Jumlah cairan masuk : kristaloid 3000 ml
12. Jumlah medikasi
- Propofol 200 mg
- Ecron 11 mg
- Succinylcholine 50 mg
- Tramadol 50 mg
- Ketorolac 30 mg
3.4 PENGELOLAAN PASCA BEDAH
1. Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan pada pukul 13.45 wita
- Tekanan darah : 100/68 mmHg
- Nadi : 72 x/menit
2. Di ruang pemulihan kesadaran pasien diawasi setiap saat sampai pasien sadar
baik.
a. Tekanan darah : 110/70 mmHg

- 22 -
b. Nadi : 84 x/menit
c. Suhu tubuh normal
d. Mual, muntah tidak ada
e. Nyeri tidak ada
f. ALDRETE SCORE
Dari OK ke RR (Pkl 13.45) Dari RR ke Ruangan (Pkl 14.15)
TANDA NILAI TANDA NILAI
Aktivitas 1 Aktivitas 2
Respirasi 2 Respirasi 2
Sirkulasi 2 Sirkulasi 2
Kesadaran 2 Kesadaran 2
Warna Kulit 2 Warna Kulit 2
JUMLAH 9 JUMLAH 10

3. Instruksi di ruangan
a. Analgesia post-operasi : drip tramadol 250 mg dan ketorolac 60 mg dalam
dextrose 5 % 500 cc ~ 20 tetes mikro/menit
b. Bila mual muntah berikan ondansetron 4 mg IV
c. Anti biotika dan obat-obatan lain sesuai intruksi dari sejawat bedah
d. Minum sedikit-sedikit bila telah sadar baik
e. Infus RL balance (aff jika KU baik)
f. Kontrol kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi setiap saat selama masih
dalam pengaruh obat anestesi.

- 23 -
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien wanita, 45 tahun datang dengan keluhan tumbuh benjolan pada leher bagian
depan sejak ± 5 tahun yang lalu. Benjolan tersebut pada awalnya kecil dan kemudian
benjolan tersebut dirasakan semakin membesar. Pasien juga mengeluhkan rasa nyeri di
daerah benjolan, namun bersifat hilang timbul. Kadang-kadang pasien mengeluhkan
gangguan pada saat menelan, sesak, dada berdebar-debar, dan berkeringat. Sebelumnya
pasien sempat berobat di Rumah Sakit Singaraja, namun keluhan tidak berkurang.
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal. Riwayat operasi dan alergi juga
disangkal.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik saat pasien datang ke poli bedah RS Sanglah
didapatkan bahwa kesadaran pasien compos mentis, tekanan darah 130/75 mmHg, nadi
86 x/menit, respirasi 16 x/ menit. Pada status lokalis di region colli anterior sinistra
didapatkan benjolan yang teraba padat kenyal dengan diameter 7 cm. Dari pemeriksaan
laboratorium berupa hematologi lengkap dan kimia darah didapatkan semua variabel
dalam batas normal. Pada pemeriksaan PA didapatkan colloid nodule. Pada foto thorak
kesan thorak dalam batas normal. Dan pada USG tiroid kesan adanya thyroid nodule
solid kanan-kiri. Dari bagian bedah pasien didiagnosis dengan multiple nodul tiroid dan
akan dilakukan tindakan total tiroidektomi. Indikasi untuk melakukan pembedahan
berdasarkan hasil biopsi yang mengarah kepada adanya tanda keganasan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, pasien disimpulkan dengan Status Fisik
ASA I. Teknik anestesi yang digunakan adalah anestesia umum dengan pemasangan
PET dan mempergunakan nafas kendali. Dipilihnya teknik anestesi ini disebabkan

- 24 -
karena manipulasi di daerah leher akan menyebabkan terganggunya kelapangan jalan
nafas, durasi operasi yang cukup lama, serta untuk mencapai relaksasi lapangan operasi.
Manajemen periopertaif pada pasien ini meliputi:
1. Manajemen Preoperatif
 Evaluasi praanestesi yang dikerjakan pada pasien ini mencakup anamnesis,
pemeriksaan fisik umum didapatkan tekanan darah 130/75 mmHg dan status
lokalis pada region colli anterior sinistra didapatkan benjolan padat kenyal
dengan diameter 7 cm.
 Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium mencakup hematologi
rutin, kimia darah, imunologi. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan
pemeriksaan rutin yang harus dilakukan pada pasien nodul tiroid sebelum
operasi meliputi tes fungsi tiroid, pemeriksaan darah lengkap, dan kadar
elektrolit darah.
 Pemeriksaan foto thorak (24 Juli 2008) diketahui bahwa kesan thorak dalam
batas normal. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan pemeriksaan
foto thorak dibutuhkan untuk melihat apakah terdapat gambaran deviasi atau
kompresi trakea. Dalam literatur juga disebutkan untuk penting dilakukan
laringoskopi indirek untuk mengetahui apakah terdapat disfungsi pita suara, bila
gagal kemungkinan kesulitan intubasi saat operasi akan dimulai, tapi pada
pasien ini tidak dilakukan laringoskopi indirek.
 Pada medikasi prabedah diberikan premedikasi dengan diazepam 5 mg. Hal ini
sesuai dengan yang disebutkan dalam literatur yaitu: sedatif yang diberikan
sebagai premedikasi adalah golongan benzodiazepine, seperti misalnya
diazepam.
2. Manajemen Intraoperatif
 Pemberian premedikasi, yaitu: midazolam 2,5 mg dan ondansetron 4 mg.
Pemberian midazolam dimaksudkan sebagai anti cemas, memberikan efek
sedasi, dan amnesia pada pasien. Di samping itu juga berefek pada
kardiovaskular yaitu dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga
menurunkan tekanan darah. Ondansetron diberikan untuk mengurangi mual dan
muntah, mengingat pembedahan dilakukan di daerah leher maka penting untuk
dicegah terjadinya regurgitasi.

- 25 -
 Preoksigenasi dilakukan pada pasien selama 5 menit dengan O2 100% untuk
mencukupi kebutuhan O2 pasien selama dilakukan intubasi.
 Kemudian dilanjutkan dengan pemberian ecron 1 mg. Ecron sendiri berisi
vecuronium yang merupakan golongan pelumpuh otot non depolarisasi dengan
masa kerja menengah (intermediate acting) sebagai prekurarisasi. Tujuan
prekurarisasi adalah untuk mengurangi fasikulasi karena pemberian suksinil
kholine.
 Induksi pada pasien ini dengan Profofol 200 mg yang disuntikkan secara
perlahan-lahan melalui intravena. Pertimbangan pemberian propofol adalah
dapat menurunkan tekanan darah dan nadi permenit sehingga dapat
meminimalkan perdarahan durante operasi, dapat menekan reflek-reflek pada
saluran nafas bagian atas sehingga memudahkan dalam intubasi, dan propofol
sedikit memberikan efek mual dan muntah pada pasien.
 Setelah induksi dilanjutkan dengan pemberian suksinil kolin 50 mg. Suksinil
kholin merupakan obat pelumpuh otot golongan depolarisasi, di mana obat ini
memblok depolarisasi membran post sinap. Suksinil kolin memiliki onset kerja
yang cepat (30-60 detik) dan durasi kerja yang singkat (5-10 menit). Dengan
alasan inilah suksinil kholin dipergunakan untuk fasilitasi intubasi, karena
apabila terjadi kegagalan dalam intubasi pasien dapat langsung bernafas
spontan.
 Untuk pemeliharaan dilakukan dengan N2O 2 lpm dan harus dikombinasikan
dengan O2. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
hipoksia difusi. O2 diberikan dengan jumlah 2 lpm. Obat anestesi inhalasi yang
digunakan adalah sevofluran dengan pertimbangan sebagai berikut: tidak
menyebabkan iritasi pada mukosa jalan nafas, tidak menyebabkan sensitisasi
jantung karena pengeluaran katekolamin, serta waktu pulih dari pengaruh
anestesia cepat.
 Posisi pembedahan pada pasien ini adalah terlentang sesuai dengan literatur
bahwa pasien diposisikan telentang dengan bantalan di bawah bahu dan kepala
diposisikan dengan posisi “horse shoe” atau “Whitlock Headrest”. Kedua tangan
pasien kemudian diletakkan lurus pada kedua sisi pasien, dan kepala

- 26 -
dimiringkan keatas sebesar 25º untuk menjamin drainage vena dan juga
memudahkan operator dalam bekerja.
 Jumlah medikasi yang diberikan selama pembedahan meliputi Ecron 11 mg,
Propofol 200 mg, Suksinil Kholin 50 mg, Tramadol 50 mg, Ketorolac 30 mg.
3. Manajemen Postoperatif
 Operasi berlangsung selama 4 jam 15 menit.
 Pada pasien ini setelah mulai bernafas spontan dilakukan ekstubasi dan pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan. Hal ini sesuai dengan literatur yang
menyebutkan bahwa saat pasien telah bernapas spontan dengan baik dan reflek
laring telah muncul kembali, maka pasien dapat diekstubasi dan kemudian
pasien dipindahkan ke ruang pulih. Masalah yang mungkin muncul pada saat
ekstubasi adalah pasien terbatuk-batuk, desaturasi oksigen, laringospasme, dan
obstruksi jalan napas. Pada pasien ini tidak terdapat masalah saat ekstubasi.
 Penilaian Skor Aldrete pasien setelah operasi (sebelum dipindahkan ke ruang
pemulihan) di dapatkan sebagai berikut:
TANDA NILAI
Aktivitas 1
Respirasi 2
Sirkulasi 2
Kesadaran 2
Warna Kulit 2
JUMLAH 9
Penilaian dilakukan pada pukul 13.45 WITA.
 Dilakukan observasi di ruang pemulihan dimana pada pemeriksaan didapatkan
tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi: 84 x/menit, suhu tubuh normal, mual dan
muntah tidak ada, nyeri tidak ada. Pasien dapat pindah dari ruang pemulihan ke
ruangan jika Skor Aldrete-nya 9 atau 10. Pada pasien ini didapatkan nilai
sebagai berikut:
TANDA NILAI
Aktivitas 2
Respirasi 2
Sirkulasi 2
Kesadaran 2
Warna Kulit 2
JUMLAH 10
Penilaian dilakukan pukul 14.15 WITA

- 27 -
 Oleh karena Skor Aldrete pasien 10 maka pasien dipindahkan ke ruangan
dengan instruksi kepada perawat ruangan sebagai berikut:
a. Analgesia post-operasi : drip tramadol 250 mg dan ketorolac 60 mg dalam
dextrose 5 % 500 cc ~ 20 tetes mikro/menit
b. Bila mual muntah berikan ondansetron 4 mg IV
c. Anti biotika dan obat-obatan lain sesuai intruksi dari sejawat bedah
d. Minum sedikit-sedikit bila telah sadar baik
e. Infus RL balance (aff jika KU baik)
f. Kontrol kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi setiap saat selama masih
dalam pengaruh obat anestesi.

- 28 -
BAB V
KESIMPULAN
1. Terdapat dua macam teknik anestesia yang dapat digunakan pada tiroidektomi total,
yaitu: anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakeal dan anestesi regional.
2. Pasien yang menjalani operasi tiroid harus dalam keadaan eutiroid dan
hemodinamik yang stabil.
3. Pada pemantauan pre-operatif yang diperhatikan adalah gejala subyektif mapun
obyektif dari keadaan hipertiroid ataupun hipotiroid.
4. Pada pasien dengan hipertiroid harus dilakukan anestesi yang dalam serta
menghindari obat anestesi yang dapat merangsang sistem saraf simpatis.
5. Penanganan pasca operasi pada pasien meliputi manajemen nyeri pasca operasi
dengan analgetik dan pemberian anti emetik jika mual atau muntah


    

- 29 -
DAFTAR PUSTAKA
1. Wijayahadi R Y, Marmowinoto R M, Reksoprawiro S, Murtedjo U. Embriologi,
Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid. Dalam: Kelenjar Tiroid, Kelainan,
Diagnosis, dan Penatalaksanaan, Edisi ke-1, Desember 2000. h. 5-17.
2. Welker M J, Orlov D. Thyroid Nodules. American Academy of Family Physician.
Diperbaharui: 1 Februari 2003. Diunduh dari:
http://www.aafp.org/afp/20030201/559.html. Diakses tanggal: 14 Agustus 2008.
3. Hill et al. Clinical Anesthesia Procedure. Diperbaharui: 2000. Diunduh dari:
http://www.hurford.com. Diakses tanggal: 14 Agustus 2008.
4. Sjamsuhidajat R, Jong W D. Sistem Endokrin. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
ke-2. EGC: Jakarta, 2005. h. 683-695.
5. Suastika K, Sutanegara N D. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid. Dalam:
Hartanto H, penyunting; Penyakit Kelenjar Tiroid, Edisi ke-1, 1995. h. 1-4.
6. Singer P A, et al. Treatment Guidelines for Patients with Thyroid Nodules and Well-
Differentiated Thyroid Cancer. Arch Intern Med. 1996;156;2165-2172.
7. Morgan, G E et al. Anesthesia for Patients with Endocrine Disease. Dalam: Clinical
Anesthesiology. Edisi ke-4. Lange Medical Book: New York, 2006. h. 806-809.
8. Gharib H, et al. American Asssociation of Clinical Endocrinologists and
Associazione Medici Endocrinologi Medical Guidelines for Clinical Practice for
The Diagnosis and Management of Thyroid Nodules. Endocrine Practice.
2006;12;63-94.
9. Lukito P, dkk. Protokol Penatalaksanaan Tumor/Kanker Tiroid. Dalam: Albar Z A,
penyunting; Protokol Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia, Edisi ke-1,
2003. h. 17-29.
10. American Thyroid Association. Thyroid Nodules. Nodule Brochure. 2005;1-2.
11. Farling P A. Thyroid Disease. British Journal of Anesthesia. 2000;85;15-26.
12. Stoelting, Dierdorf. Anesthesia and Co-Existing Disease, Edisi ke-4, 2002.
13. Rachmat L, Sunatrio S. Obat Pelumpuh Otot. Dalam: Muhiman M, penyunting.
Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif: Jakarta, 1989. h. 81-86.
14. Bruner J. Hormones. Diperbaharui: 12 September 2003. Diunduh dari:
http://depts.washington.edu/bonebio/ASBMRed/hor/thyroid.jpg&imgrefurl.
Diakses tanggal: 14 Agustus 2008.

- 30 -
15. Saunders B. Evaluation of The Thyroid Nodule. University of Michigan Medical
Center. Diperbaharui: 2004. Diunduh dari: http://www.cancernews.com/thyroid
cancer.htm. Diakses tanggal: 14 Agustus 2008.

- 31 -

Anda mungkin juga menyukai