Anda di halaman 1dari 25

BIOETIKA MORAL

P. Cyrelus Suparman Andi, MI

Berbicara tentang bioetika tidak terlepas dari pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama yang berhubungan dengan makhluk hidup atau organisme hidup (living
organism). Maka, kita berbicara tentang bioteknolgi (biotechnology).
Biotechnology is the application of science and technology to living organisms and their
parts, or to products and models of living organisms, in the hope of producing
understanding, goods, and products (MarianneTalbot).
Bioteknologi adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pada makhluk hidup atau
organisme dan bagian-bagiannya, atau pada produk dan model/jenis organism, dengan
harapan untuk menghasilkan pengertian, barang-barang, dan jasa. “Bio” (bios): hidup.
e.g.
a. para ahli fisika dan insinyur yang memproduksikan nano-vehicles yang sangat kecil ke
dalam pembuluh-pembuluh darah untuk memasukan obat-obatan untuk menyembuhkan
penyakit-penyakit tertentu.
b. ahli genetika dan teknologi informatika yang membantu mengatasi efek samping dari
obat-obatan dan membuat obat-obatan yang lebih khusus untuk orang-orang dan jenis
penyakit tertentu (personalized medicine)
c. para insinyur dan ahli biologi yang yang bekerja untuk memanipulasi organism yang
akan menghilangkan, atau mengurangai, sumber polusi dari lingkungan.
Definisi biotechnology menggaris-bawahi subject matter dari disiplin ini pada makhluk
hidup, baik yang berhubungan langsung maupun tidak.
Bioteknologi : Multidisciplinary (mencakupi banyak disiplin ilmu lain) dan
interdisciplinary (semua ilmu pengetahuan dan teknologi itu bekerja sama untuk
mencapai tujuan yang sama).
Bioteknologi sebenarnya sudah dipraktekan sejak lama dalam sejarah umat manusia
(misalnya: dalam produksi beer tahun 1750 BC oleh kerajaan Sumeria), namun mendapat
perhatian yang serius pada abad ke -20 (tahun 1800-an AD) ketika manusia mulai
memiliki pengetahuan dan keahlian mengembangkan technology untuk memanipulasi
organisme sampai pada level molekuler. Manusia mulai mengembangkan manipulasi
gen pada organism demi menghasilkan trait yang sesuai dengan kemauan kita, seperti

1
modifikasi gen pada tumbuhan, cloning, and bahkan menciptakan organisme syntetik
yang mampu melakukan fungsi yang diharapkan manusia.
Bioteknologi memampukan manusia melakukan banyak hal yang berhubungan dengan
makluk hidup, yang sebelumnya bahkan tidak pernah dibayangkan.
Namun demikian, bioteknologi mendatangkan banyak isu etika (ethical issues), yang
berhubungan dengan: apa yang seharusnya dan seharusnya tidak dilakukan; isu social,
apa yang masyarakat memperbolehkan dan tidak memperbolehkan, yang boleh dan tidak
boleh didanai oleh dana umum, dll.
Bioetika (bioethics) adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tindakan-tindakan
yang diizinkan dalam bioteknologi (e.g., cloning, manipulasi genetic), dan
mempertanyakan apakah tindakan-tindakan itu diterima secara moral, dan jika demikian,
bagaimana mengontrolnya secara social agar bisa menghasilkan/mempromosikan
kesejahteraan masyarakat, melindungi hak-hak mereka dan memperlakukan mereka
secara adil.
Maka Bioetika menggeluti beberapa praktek bioteknologi, seperti:
1. Assisted reproduction: yang berhubungan dengan tindakan untuk membantu
pasangan yang tidak bisa memiliki keturunan secara alami, untuk memperoleh keturunan
atau bayi yang sehat.
2. Cloning: tindakan memproduksi organism baru yang identik dengan yang lain,
melalui modifikasi gen tanpa melalui perkawinan.
3. Genetic screening/testing: untuk mengecek gen yang tidak baik atau tidak sehat
dalam sebuah organism dan menyeleksi yang baik dari yang tidak baik
4. Technology of life support: technology yang berperan membantu atau menopang
kehidupan ketika jantung tidak bisa bekerja lagi dengan normal, atau technology untuk
membantu asupan air dan makanan pada pasien yang tidak bias makan dan minum.
5. Genetic engineering/genetic modification / modifikasi gen: technology yang
memperkenalkan, mengeliminasi atau memodifikasi gen pada organisme agar
menghasilkan trait atau prilaku tertentu yang diharapkan pada organism tersebut.
6. Bioinformatics: menyangkut penerapan informasi teknologi pada berbagai bidang
biologi molecular, secara khusus mengmbangkan metode storing, retrieving, comparing
and analyzing biological data.
7. Pharmacogenetics/pharmacogenomics: mencakupi studi variasi genetic pada
manusia untuk mengetahui metabolisme manusia dan reaksinya terhadap berbagai obat-
obatan.

2
8. Synthetic biology: mencakupi re-design and fabrication of existing organism and
design and fabrikasi organism yang tidak atau belum ada sebelumnya. Eg.
Pengembangan sel di laboratorium – kasus HeLacells (Henrietta Lacks, pasien kanker
serviks di Baltimore, 1951).
Etika dan Aturan
Sejak kecil, manusia sudah diajarkan aturan-aturan praktis, seperti : jangan membunuh,
jangan maki, jangan bohong, jangan mencuri, harus jujur, adil, sopan, dll.
Tapi dalam hal Etika, masih banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan, yang
berhubungan dengan keputusan moral.
Eg. Menilai teman. Antara berkata jujur dan tidak.
Hal ini menunjukan dilemma, bahwa ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan
sebelum kita melakukan atau mengatakan sesuatu: antara kebaikan dan kejujuran. Maka,
seorang yang jujur belum tentu selalu mengatakan kebenaran; seorang yang yang baik,
belum tentu selalu menyenangkan orang lain. Disini ada konflik antara kebaikan dan
kejujuran. Terkadang, orang memiliki tingkatan nilai dalam dirinya, dan jika ada konflik
seperti di atas, mereka memilih yang lebih tinggi, misalhnya: kebaikan.
Namun demikian, seringkali kekeliruan dalam melakukan penilaian/evaluasi terhadap
tatanannilai, menuntun kita pada tindakan yang salah.
Etika dan Kebanaran:
Ada hal-hal yang lebih penting dalam keputusan moral, lebih dari sekdar mengikuti
aturan, yaitu moral reasoning/ rasionalitas moral. Moral reasoning adalah proses
melakukan penilaian moral (moral judgment) untuk menghasilkan keputusan moral
(moral decision) dan mengeluarkan tindakan moral (moral action).
Moral reasoning adalah proses rasionalitas yang bisa benar atau tidak (correct or
incorrect); dan bahwa kita bisa mengatakan apa yang membuat itu benar atau salah
(correct or incorrect), dan penilaian moral kita benar atau salah (true or false).
Pengetahuan tentang yang benar dan salah
Metaphysics and epistemology:
Metaphysics: berbicara tentang “apa” (what is the case)
Epistemology: berbicara tentang “bagaimana mengetahui” itu (how to know what is the
case).
Eg.
1. Apakah bersalah secara moral untuk merampok janda muda?
3
2. bagaimana kita mengetahui bahwa merampok janda muda itu bersalah secara moral? (
Yang pertama berbicara tentang etika dari sebuah tindakan: merampok janda muda.
Yang kedua membutuhkan justifikasi terhadap jawaban kita di nomor satu: mengapa
merampok janda muda itu salah secara moral; yang pertama menjawab tentang “apa”,
nature of the act, yang kedua tentang: diri anda, kepercayaan anda, prinsip pribadi anda
dll.
NB: (metaphysics: the study of what exists and what its nature is. Ontology is the branch
of metaphysics concerned with what exists. Epistemology: the study of knowledge and
justification. An epistemologist will take any claim to the effect that physical object
exists, and he will ask what our reasons for believing this, how conclusive those reasons
are, and whether those reasons could hold true even if physical objects did not exist)
Etika, Tindakan Intentional, dan Kehendak Bebas (Ethics, intentional action and
free will).
Sebuah tindakan dikatakan tindakan moral jika dilakukan dengan sengaja (intentional)
melalui kehendak bebas (free will).
Etika, dalam hubungannya dengan tindakan, hanya berbicara tentang tindakan yang
dilakukan secara “sengaja”. Karena, hanya tindakan yang kita “pilih melakukannya”
(choose to do) yang bisa dikatakan benar atau salah (right or wrong). Dalam hal ini,
tindakan itu membutuhkan “kehendak bebas” (free will). Hanya orang dewasa yang
mampu menggunakanakal budi/kehendak bebasnya yang menjadi subjek dari tindakan
moral, karena mereka sudah mampu:
1. Memahami perbedaan yang benar dan salah (right or wrong)
2. Dengan bebas memilih melakukan suatu tindakan yang benar, atau melakuakan
suatu tindakan, walaupun itu salah.
Etika dan Agama
Para filsuf Yunani dahulu kala terkenal karena penolakan mereka terhadap segala sesuatu
yang bersumber pada penjelasan supernatural; mereka selalu mencari dahulu penjelasan
secara natural atau secara logis (logical or natural explanation), sebelum mengarah pada
supernatural. Dalam perjalanan waktu, para ilmuwan dan filsuf, serta para ahli teologi
berekonsialiasi dan berpendapat bahwa: walaupun Tuhan menciptakan alam semesta,
namun Dia juga memilih atau menentukan hukum dan mekanisme bagaimana alam itu
bekerja (laws and mechanisms to govern the events in the universe).
Namun tidak kurang juga yang berpendapat bahwa: satu fenomena di dunia yang tidak
bisa dijelaskan tanpa melakukan appeal / mengikutsertakan Tuhan, adalah

4
MORALITAS. Tanpa Tuhan, tidak ada sesuatu yang disebut: moralitas. Agama
mengajarkan nilai-nilai moral berdasarkan iman kepada Tuhan.
Etika dan Moral
Etika dan moral adalah dua istilah yang behubungan erat dan dipakai bergantian. E.g.
Keputusan etik, keputusan moral (Ethical decision, moral decision )
Etika adalah studi sistematis moralitas yang mencakupi atau terdiri dari keputusan yang
kita buat setiap hari sehubungan dengan sesuatu atau tindakan yang benar dan salah (right
or wrong).

Teori Etika: Virtue, nature, duty, right, and happiness


Beberapa teori etika yang seringkali menjadi pijakan dalam tindakan moral:
Virtue theory: tindakan yang benar adalah sesuatu yang dilakukan oleh seorang yang
virtuous. Theory ini diperkenalkan oleh Aristoteles dan diadopsi/dikembangkan oleh St.
Thomas Aquinas, dll.
Natural law theory: tindakan yang benar adalah tindakan yang sesuai dengan kodrat
(manusia), yaitu, tindakan yang sesuai dengan rasio sebagai ciri khas manusia.
Deontology: tindakan yang benar adalah sesuatu yg dilakukan atas kewajiban.
Right theory: erat hubungannya dengan hukum kodrat dan deontology, yang
menyatakan bahwa tindakan yang benar adalah sesuatu yang dilakukan atas dasar
kewajiban, sesuai dengan hak orang lain atau sesuai dengan kodratnya.
Utilitarianism: tindakan yang benar adalah sesuatu yang memberikan kebahagiaan
kepada lebih banyak orang atau kelompok mayoritas.
a. Virtue ethics: berargumen bahwa apa yang sangat menentukan secara moral
bukanlah apa yang kita lakukan sekali, tetapi menjadi apakah kita, dalam perjalanan
waktu (is not what we do at a time, but what we become over the time). Kita semua
melakukan kesalahan, tetapi jika kita bisa bertobat dan belajar dari kesalahan itu, kita
akan menjadi orang benar, orang bermoral; itulah yg menjadi tujuan moral kita, dan yang
lain akan mengalir dari sana. Karena itu, yang paling utama adalah: “menjadi orang
bermoral, orang benar, orang yg memiliki virtue. Orang bersangkutan akan bertindak
moral karena itu adalah expresi dari dirinya, dari siapa dia. Virtue adalah sebuah
disposisi untuk bertindak menurut jalan tertentu, misalnya: jujur, adil, dll.
b. Natural law: natural law (nature = alam, kodrat/hakikat; law = hukum) bisa
diartikan: hukum alam, yang menguasai alam/hukum alam (eg. Gravitasi, dll), dan
hukum kodrat. Dalam konteks etika, natural law sering diterjemahkan sebagai hukum
5
kodrat, terutama kodrat yang berhubungan dengan manusia. Teori ini juga sudah ada jauh
sejak masa filsafat yunani. Misalnya, kelompok filsuf yang disebut: Mazhab Stoa
(stoics). Mereka berpendapat: hidup secara etis adalah: to live according to nature (hidup
menurut kodrat). Bagi manusia, secara kodrat, manusia memiliki rasio/intelek (reason),
yang mampu membedakan yang baik dan yang benar dari yang buruk dan jahat;
menjauhkan yang buruk dan melakukan yang baik. . Karena itu, hidup moral atau etis
adalah hidup menurut rasio/akal budi, dengan melakukan yang baik dan benar serta
menjauhkan yang buruk dan jahat. Teori ini sangat sesuai dngan ajaran agama-agam
monoteisme, yang mengakui Allah sebagai Pencipta. Thomas Aquinas mengatakan
bahwa hukum kodrat adalah bentuk partisipasi manusia dalam hukum ilahi (the
participation in the eternal law by rational creatures is called the law of nature).
Manusia diciptakan dengan akal budi. Dengan akal budi, manusia bisa menyelami
kehendak Allah, dan itu sudah menjadi kodrat manusia. Karena itu, Hukum kodrat
adalah expresi kehendak Allah dalam diri Manusia.
c. Deontology: salah satu aspek penting dari teori ini adalah: aturan (rules), yang
mengatur, melarang atau merekomendasikan suatu tindakan moral. Akhir dari sebuah
tindakan tidak bisa menjustifikasi tindakan itu sendiri; the end does not justify the means.
Jika suatu perbuatan secara intrinsic salah, maka walaupun hasilnya baik, tetap tindakan
itu secara moral salah, maka dilarang. Demikian juga, jika tindakan itu benar, maka
tindakan itu akan direkomendasikan, apa pun hasil akhirnya atau akibatnya. Salah
seorang tokoh yang populer dalam teori ini adalah Immanuel Kant (1722-1804).
d. Right theory: hal ini berakar pada teori deontologi, yang mendasari tindakan etis
pada kewajiban. Kewajiban, walau pun tidak selalu, berpasangan atau sepadan dengan
hak pihak lain. Eg. Kita berkewajiban melakukan seaustu yang baik karena itu adalah hak
orang lain untuk diperlakukan demikian.
Hak juga berhubungan erat dengan kodrat. John Locke (1632-1704) mengungkapkan hak
dasar manusia (natural rights) yang bersumber pada kodratnya, yaitu: hak hidup,
kebebasan, dan hak milik/harta (life, freedom, and property).
e. Utilitarianism: ini adalah salah satu tipe/jenis teori consequentialism.
Consequentialism beranggapan bahwa suatu tindakan moral itu benar atau salah, baik
atau tidak, ditentukan oleh akibatnya (its consequence). E.g. Seorang dokter membantu
pasien yang menderita dan ingin mengakhiri hidupnya dengan melakukan assisted
euthanasia. Tindakan dokter itu dibenarkan karena membantu pasien untuk mengakhiri
penderitaannya, walapun tindakannya itu tidak benar karena membantu membunuh
orang. Untuk consequentialism, akibat akhir dari sebuah tindakan sangat menentukan
baik atau tidaknya tindakan itu. Utiliatarianism adalah bagian dari consequentialism,
yang menyatakan: Kebahagiaan sekelompok orang yang lebih besar sebagai penentu /
standard dari sebuah tindakan moral (greatest happiness of the greatesat number). Salah
seorang tokoh yangpopuler denganteori ini adalah: John Stuart Mill (1806-1873).

6
Bioetika: Sejarah dan Latar Belakang
1. Hippokratic Oath
Etika berbicara tentang manusia secara pribadi / individu, tetapi juga tentang manusia
dalam hubungannya dengan orang lain/kehidupan ssosial. Dalam konteks social, etika
berperan penting dalam praktek sebuah profesi. Misalnya: etika kedokteran, kebidanan,
keperawatan, bisnis, dll.
Jauh sebelum bioetika, dunia kesehatan, terutama dalam dunia medis, sudah ada “sumpah
Hippokrates” (Hippocratic Oath) sebagai panduan etis dalam praktek kedokteran.
Hippokrates dari Kos (460-370 SM), adalah seorang Yunani kuno yang digelar “bapak
ilmu kedokteran” karena jasanya memberikan dasa ilmiah kepada profesi kedokteran dan
dengan demikian melepaskannya dari suasana dukun dan sihir. Selain itu, dia juga
mengikatkan profesi kedokteran dengan etika karena memberikan “Sumpah Hippokrates”
(Hippocratic Oath).
Sumpah Hippokrates ini mencakupi:
a. Invokasi: dalam nama dewa/dewi
b. Kewajiban terhadap guru dan keluarganya
c. Kewajiban terhadap pasien
d. Inti sumpah
Kewajiban terhadap pasien, mencakupi:
1. Tidak melakukan tindakan yang merugikan pasien
2. Meperlakukan pasien menurut itngkat kemampuan dan penilaian dokter yang
terbaik
3. Tidak pernah member racun kepada pasien, bahkan walaupun diminta
4. Tidak pernah melakukan abortus
5. Tidak pernah melalakukan pembedahan yang tidak termasuk kompetensinya
6. Tidak pernah menipu pasien atau melakukan elecehan seksual terhadap pasien
atau keluarganya
7. Tidak pernah membocorkan rahasia tentang diri pasien
Sejak munculnya 2.5 milenium yang lalu, isi sumpah ini mungkin sudah banyak yang
tidak sesuai dengan perkembangan zaman, terutama dunia kedokteran, namun demikian,

7
sumpah ini telah meletakan dasar kokoh prinsip etika dalam profesi medis dan menjiwai
profesi kedokteran sampai sekarang, sbb:
a. Hippokrates dan kawan-kawannya sejak semula, menekankan hubungan erat
antara profesi kedokteran dan etika.
b. Dari segi isinya: ia sudah menekankan prinsip berbuat baik dan prinsip tidak
merugikan, yang sampai sekarang masih menjadi hakikat etika kedikteran.

2. Etika Kedokteran
Dalam perkembngan selanjutnya, sumpah Hippokrates sudah jarang disebutkan. Namun,
modifikasi terhadap sumpah itu sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan atau sesuai
dengan situasi dari orang-orang, kelompok atau golongan tertentu.
e.g.
- abad pertama Masehi: dokter Seribonius Largus mengacu kepada sumpah hippokrates
- Galenus (129-199M), dokter pribadi Kaiser Romawi Marcus Aurelius, yang menulis
banyak buku tentang filsafat dan kedokteran, termasuk etika kedokteran
- zaman Kristiani: sumpah Hippokrates sering diucapkan oleh dokter-dokter baru, dengan
modifikasi spt: menggantikan nama dewa dewi Yunani dgn istilah Kristen, menghapus
larangan melakukan tindakan bedah, dan rumusan larangan aborsi yang lebih tegas.
- abad pertengahan: dunia islam mulai mempraktekan ilmu kedokteran yunani, termasuk
memperhatikan etika kedokterannya. Salah seorang tokoh islam yang menulis buku
dalam ilmu kedokteran adalah Saly Abbas; dalam tulisannya berjudul: “Advice to a
Physician,” beliau berusaha menggabungkan etika Hippokratik dengan tradisi Islam.
-Zaman Modern: seorang dokter Inggris a.n. Thomas Percival (1740-1804), yang pertama
kali menggunakan istilah: “Etika Kedokteran” (medical ethics). Beliau diminta menyusun
serangkaian aturan moral oleh dokter-dokter rumah sakit Manchester dimana dia bekerja.
Tahun 1803, dia menerbitkan buku itu berjudul: Medical Ethics. A Code of Institutes and
Precepts, Adapted to the Professional Conduct of Physicians and Surgeons, yang sangat
dipengaruhi oleh Sumpah Hippokrates.
- munculnya organisasi-organisasi profesi kedokteran. E.g.
a. pendirian American Medical Association (1847)
b. World Medical Association, setelah Perang Dunia II.

8
Etika Kedokteran berkembang pesat pada bagian kedua dari abad ke-20. Pada masa itu,
etika kedokteran menjadi topik yang menarik didiskusikan, baik pada taraf populer,
maupun akademis. Pada taraf popular, etika kedokteran sering menjadi topic yang
dibiciarakan di media masa, spt di radio, TV, Koran, internet, dll. Pada taraf akademis,
etika kedokteran menjadi salah satu bidang garapan intelektual yang serius, spt:
munculnya pakar-pakar khusus dalam etika kedokteran, majalah ilmiah, dan publikasi
laiinya; adanya seminar, konferensi, kongres, dll., yang membahas etika kedokteran.
Bahkan, di banyak Negara, etika kedokteran menjadi salah satu mata kuliah di perguruan
tinggi. Termasuk di Indonesia, yaitu: Kurikulum Inti Pendidikan DOkter Indonesia
(KIPDI).
Pada masa ini juga, muncul institut-institut yang didirikan untuk mendalami masalah-
masalah yang berhubungan dengan etika medis. E.g.
- Hasting Center yang didirikan oleh Daniel Callahan (ahli filsafat) dan Willard
Gaylin (professor psikiatri di Colombia University, NY) tahun 1969, sebagai an
independent, non partisan, nonprofit organization that addresses fundamental ethical
issues in the areas of health, medeicine and the environment. Dia juga menerbitkan
majalah terkenal Hosting Center Report (1970).
- Kennedy Institute didirikan oleh Andre Hellegers (ahli kebidanan, fisiologi fetus,
dan demografi), yang berasal dari Belanda dan bekerja di Georgetown University,
Washington DC, tahun 1971. Mereka menerbitkan juga encyclopedia of Bioethics, 1978;
dan sejak 1991, majalah Kennedy Institute of Ethics Journal.
Beberapa alasan yang mendorong hadirnya minat baru dalam bidang etika kedokteran:
a. Perkembangan pesat dalam bidang ilmu dan technology kedokteran yang
melahirkan banyak masalah etis yang baru. E.g., pemakaian alat-alat canggih di ICU,
revisi baru pengertian kematian yang diterima: brain death/mati otak; hadirnya praktek
cloning, dll
b. Kemajuan di dunia kedoteran tidak terlepas dari banyaknya penelitian ilmiah
dalam bidang itu, namun tidak terlepas dari munculnya isu-isu etis yang baru. E.g.
praktek yang dilakukan para dokter Nazi Jerman pada perang dunia kedua. WMA
menanggapinya dengan lahirnya Declaration of Helsinki (1064).
c. Perubahan psiko-sosial yang besar pada masyarakat, yang dimulai pada pertengah
abad ke-20, yang menekankan otonomi individu. Disini, isu HAM mulai memegang
peranaan; dan hubungan antara dokter dan pasien mulai mengalami pergeseran, dimana
dokter tidak lagi mendikte apa yang dia suka pada pasien. Pelayanan kesehatan dilihat
sebagai HAK; komersialisasi pelayanankesehatan mulai muncul.
3. Istilah Bioetika

9
Etika kesehatna/etika medis sesungguhnya berasal dari dan tidak terlepas dari perhatian
agama Kristen terhadap pentingnya “penyembuhan” dengan menggunakan ilmu
kedokteran, yang dikembangkan oleh Yunani dan kemudian oleh bangsa Yahudi dan
dunia Islam. Dalam perjalanan waktu, pengaruh sekularisasi masuk dalam dunia medis,
semakin kuat. Kalau sebelumnya, istilah pastoral ethics / etika pastoral sangat sering
ditemukan dalam dunia kesehatan, terutama di institusi-institusi Katolik atau Kristen,
lambat laun istilah itu diganti dengan “bioethics” / bioetika atau etika medis, sebuah
istilah yang inclusive dan mencakupi banyak aliran, kepercayaa, cabang ilmu, dll.
Istilah Bioethics untuk perama kalinya dipakai oleh: Van Rensselaer Potter, dalam
bukunya berjudul: Bioethics: Bridge to the Future, tahun 1971, menggantikan pastoral
ethics. Istilah ini mencakupi banyak issue yang timbul dari isu-isu seputar biologi dan
ilmu-ilmu hayati dalam hubungannya dengan kesehatan dan masalah sosial. Perubahan
istilah ini berasal dari realisasi bahwa keputusan medik bukan lagi merupakan
monopoli profesi medis, demikian juga masalah moral, bukan lagi monopoli kaum
klerus.
Penggunaan istilah ini juga menandakan lahirnya metodologi etika yang baru yang lebih
berpengaruh dalam berbagai debat sehubngan dengan dunia medis dan etika medis, yaitu
methodology yang tidak lagi berpusat pada prinsi-prinsip atau tradisi religious, seperti
sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh pemikiran “pencerahan”
(englightenment) pada abat ke-18.
Dalam istilah Bioetika yang digunakannya, Potter bermaksud untuk menggabungkan
pengetahuan ilmu-ilmu hayati (life science) dengan pengetahuan tentang sistem-sistem
nilai manusiawi dari etika, sehingga keduanya bisa saling menguatkan dan memperkaya.
Sebagai tujuan akhir dari bidang baru ini (Bioetika), adalah supaya bangsa manusia bisa
bertahan hidup: i.e. not only to enrich individual lives, but to prolong the survival of the
human species in an acceptable form of society.
Lambat laun, banyak pusat bioetika sekuler bermunculan, termasuk the Hasting Centers
dan the Kennedy Center for Ethhics, yang dulunya dipengaruhi ajaran-ajaran Katolik, dan
sekarang berubah haluan menjadi lebih sekuler. Maka pada tahun 1971, Gereja Katolik
(Konferensi Waligereja Amerika) di Amerika mengeluarkan sebuah dkumen: Ethical and
Religious Directives for Catholic Health Care.
Jika diperhatikan secara saksama, istilah Bioetika memberikan dua arti yang penting:
a. Bioetika sebagai perluasan dari etika kedokteran tradisional: jika dahulu etika
kedokteran berfokus pada masalah moral dalam hubungan dokter dan pasien, sekarang,
ilmu baru ini juga mencakupi masalah penelitian, social-budaya, dan masalah-masalah
yang timbul dari perkembangan ilmu dan teknologi biomedis (e.g. Cloning)

10
b. Bioetika juga menyangkut maslaah moral yang berhubungan dengan kehidupan
pada umumnya, sehingga maslah lingkungan hidup juga menjadi obyek studi dari
bioetika ini.
Bietika memiliki tiga karakteristik yang penting:
a. Interdisiplinaritas / interdisciplinary: yaitu bahwa Bioetika seperti “meja bundar”
yang mengumpulkan berbagai ilmu yang menaruh perhatian pada masalah-masalah
kehidupan.
b. Internasionalisasi: yaitu bahwa bioetika terbuka terhadap perbedaan-perbedaan
yang ada di dunia, Negara, atau budaya lain. Dia tidak bersifat monopoli pada budaya,
praktek, prinsip, atau nilai-nilai suatu bangsa, suku, bahasa, dan daerah.
c. Pluralisme: yaitu bahwa bioetika membuka dan mengikutsertakan semua golongan
dan pandangan sebanyak mungkin dalam dialognya, dalam suasa demokratis. Moral
keagamaan dan secular semua diikutsertakan.
Empat Prinsip dasar dalam Bioetika:
Prinsip dasar dalam bioetika ini dikemukakan oleh Tom Beauchamp dan James
Childress, dalam bukunya: Principles of Biomedical Ethics (1979). Keempat prinsip ini
berdasarkan pada common morality atau moralitas umum yg umumnya ditemukan dalam
masyarakat.
I. Tidak merugikan (non maleficence) – dari kata Latin: non= tidak; mal-= buruk,
jahat; ficere= melakukan, berbuat. Prinsip ini bisa diterjemahkan juga sebagai “prinsip
tidak berbuat jahat”
Prinsip tidak merugikan ini berkaitan erat dengan hak pasien:
- Hak untuk tidak dibunuh
- Hak untuk tidak disakiti atau dilukai
- Hak untuk tidak diambil miliknya
- Hak untuk tidak dibuka rahasianya kepada orang lain
Beberapa pelanggaran terhadap prinsip ini adalah:
- secara fisik merugikan seseorang/pasien: yang mengakibatkan kematian, abortus,
mutilasi, penyiksaan, atau kekerasan
- mengaibatkan kerugian fisik dengan melakukan tindakan medis yang tidak perlu
atau menggunakan metda yangmembahayakan dengan alas an yang tidak kuat

11
- merugikan kehormatan dan nama baik seseorang, atau barang milik dan
kepentingnnnya dengan membuka informasi yang bersifat konfidensial.
Beberapa prinsi dan distingsi yang melengkapi prinsip ini:
1. prinsip efek ganda
ketentuannya:
1a. tindakan itu sendiri haruslah bersifat baik, atau setidaknya netral secara moral
1b. hanya efek baik, bukan buruk, yang secara langsung dimaksudkan oleh pelaku
1c. efek baik tidak dihasilkan melalui efek buruk; efek buruk tidak merupakan sarana
untuk mencapai efek baik.
1d. harus memiliki alasan proporsional untuk membiarkan efek buruk yang diketahui
akan terjadi
2. Prinsip Totalitas:
Menurut prinsip ini, bagian (e.g. Tubuh) boleh dikorbankan demi menyelamatkan tubuh
sebagai keseluruhan atau demi menjamin kualitasnya - Sebagian dikorbankan demi
menyelamatkan keseluruhan.
E.g. Amputasi pasien yang kena diabetes; kecelakaan.
3. distingsi antara membunuh dan membiarkan pasien meninggal:
e.g. Pasien terminal: kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan dia, tetapi juga
tidak bisa mempercepat kematiannya. Melainkan, kita hanya membiarkan dia mati
dengan tenang secara manusiawi.
4. Distingsi antara sarana biasa dan luar biasa (ordinary and extraordinary means)
Biasa juga disebut : proportional and non proportional means
Pikiran dasarnya: kehidupan manusia memang merupakan suatu nilai besar, tetapi tidak
perlu diperjuangkan dengan segala macam cara apa pun juga - at all cost. Kita perlu
memakai sarana biasa (ordinary means) untuk menyelamatkan orang atau memperbaiki
kualitas hidupnya, tetapi tidak wajib memakai sarana luar biasa (extraordinary means).

II. Berbuat Baik (the principle of beneficence) – bene = baik; ficere = melakukan,
berbuat.
Prinsip berbuat baik memiliki dua arti: berbuat baik sebagai cita-cita moral yang khusus
(eg. Memberi sedekah kepada pengemis) dan berbuat baik sebagai kewajiban.
12
Dalam dunia kedokteran, prinsip ini tergolong pada “berbuat baik sebagai kewajiban”.
E.g.
- Melindungi dan membela hak orang lain
- mencegah terjadinya kerugian bagi orang lain
- meniadakan kondisi yang akan menyebabkan kerugian pada orang lain
- Membantu orang cacat
- menyelamatkan orang lain dari bahaya
Pada dasarnya: prinsip ini bersifat positif, sedangkan prinsip tidak merugikan
mengandung kewajiwabn negative: tidak melakukan sesuatu.

III. Menghormati Otonomi : autos (sendiri), nomos: hukum, peraturan, pemerintahan)


– Yunani = mengatur dirinya sendiri.
Otonomi yang dimaksud pada prinsip ini adalah: otonomi individu. Setiap orang yang
dewasa, dengan kondisi mental yang sehat, memilik kemampuan untuk menimbang,
mengevaluasi, dan memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya, setelah mengetahui semua
informasi yang diperlukan untuk sebuah pilihan keputusan yang diambil.

IV. Keadilan:
Memberikan kepada orang lain apa yang menjaiadi haknya;
Jenis-jenis keadilan:
a. Keadilan umumj (general justice): yaitu setiap warga Negara wajib memberikan
kepada masyarakat (Negara) apa yang menjadi haknya, eg. Membayar pajak
b. Keadilan distributive (distributive justice): Negara wajib memberikan kepada
warganya apa yang menjadi haknya.
Dalam dunia kesehatan, keadilan distributive sangat penting dalam hubungannya dengan
alokasi anggaran atau sumber daya kesehatan bagi masyarakat.
c. Keadilan komutatif (commutative justice): setiap orang atau kelompok wajib
memberikan kepada orang atau kelompok lain apa yang menjadi haknya. Eg. Dalam
kontrak kerja. Prinsipnya: janji harus ditepati.”.

13
Hak Manusiawi (Human Rights)
Human rights seringkali diterjemahkan sebagai: Hak Asasi Manusia, dalam bahasa
Indonesia.
Namun, jika kita menelusuri asal usul dari istilah itu, yang dipakai oleh teks utama yang
berbicara tentang Human rights, i.e. the Universal Declaration of Human Rights (UDHR,
1948), kita akan mengetahui bahwa istilah “hak asasi manusia” itu merupakan terjemahan
dari “fundamental human rights” (dalam preamble/pengatar), atau “fundamental
rights” /hak asasi (art. No.8). Hak asasi atau hak asasi manusia menurut dokumen ini
adalah hak yang diberi oleh konstitusi / hukum (C.B.Kusmaryanto, Bioetika, 55).
Tetapi, Hak asasi manusia yang dimaksudkan dalam Bahasa Indonesia itu adalah hak
yang sangat fundamental dan melekat erat pada pribadii manusia, yang diberika Allah,
Pencipta, bukan yang dinobatkan oleh hukum atau konstitusi.
Karena itu, ketika kita berbicra tentang “human rights” dalam bahasa inggris,
sesungguhnya, kita berbicara tentang “Hak manusiawi” dalam bahasa Indonesia. Karena,
yang menjadi kriteria dasarnya adalah “manusia” dan “kemanusiaannya (Kusmaryanto,
56). Ada banyak hak manusiawi, namun ada yang mendasar dan ada yang tidak; ada yang
asasi dan ada yang tidak. Jadi, ketika kita mendengar orang-orang mengatakan “hak asasi
manusia”, sesungguhnya, mereka bermaksud “hak manusiawi”; sebab, “hak asasi
manusia”(fundamental human rights) itu hanyalah sebagian dari hak-hakmanusiawi, dan
cendrung membatasi diri pada hak-hak manusia yang paling mendasar saja.
Sejarah:
Istilah hak-hak manusiawi (human rights) mulai dipakai pada abad ke 18, dan mendapat
perhatian public yg luas pada abad ke-20, setelah Perang Dunia II. Hak-hak manusiawi
berhubungan dengan hak-hak manusia yang bersumber pada kodratnya, i.e., hak-hak
natural yang berasal dari hukum natural (natural law).
Namun formulasi hak manusiawi dalam bentuk yang formal, terjadi pada tahun 1215,
dalam Magna Carta. Waktu itu, Raja Ingris, John of England, dipaksa menadatangani
dokumen ygbernama Magna Carta, yg antara lain menagaskan bahwa Pemerintah tidak
boleh mengintervensi Gereja , termasuk hak dari warga Negara untuk memiliki dan
mewariskan milik pribadinya. Dengan ini, semua orang, termasuk golongan bangsawan,
berada di bawah hukum. Melalui MAGNA CARTA ini, raja tidak bisa bertindak
sewenang-wenang kepada rakyat.
Revolusi Prancis (1789):
Simboyan revolusi prancis: liberte, egalite, fraternite (kebebasan , kesamaan, dan
persaudaraan) yg dirumuskan oleh Antoine-Francois Momoro (1756-1794) memberikan
penekanan pada kesamaan martabat antara rakyat biasa dan raja Prancis.

14
The Universal Declaration of Human Rights m(1948)
Dokumen ini dirumuskan oleh PBB yang berdiri pada tahun 1945, dan
mengadopsikannya sebagai sebuah dokumen resmi dalam sidang umum tanggal 10
Desember 1948. Dokumen ini adalah rumusan hasil kesepakatan pemimpin dunia setelah
PD II, supaya kekejaman perang itu tidak terulang lagi. Sejak itu, untuk pertama kalinya
dalam sejarah dunia, umat manusia berhasil merumuskan hak-hak dasar setiap manusia
yang menyangkut hak sipil, politik, ekonomi dan budaya, yang harus dihormait,
dilindungi dan dinikmati oleh semua orang.
Universal Declaration of Human Rights (Isi Pernyataan Pernyataan Umum tentang Hak-
Hak Asasi Manusia) antara lain mencantumkan, bahwa setiap orang mempunyai hak :

1. Hidup
2. Kemerdekaan dan keamanan badan
3. Diakui kepribadiannya
4. Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk
mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum,
dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
5. Masuk dan keluar wilayah suatu Negara
6. Mendapatkan asylum
7. Mendapatkan suatu kebangsaan
8. Mendapatkan hak milik atas benda
9. Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
10. Bebas memeluk agama
11. Mengeluarkan pendapat
12. Berapat dan berkumpul
13. Mendapat jaminan sosial
14. Mendapatkan pekerjaan
15. Berdagang
16. Mendapatkan pendidikan
17. Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
18. Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan

Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam
Pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
Pasal 3
Setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu.

15
Untuk memperkuat UDHR ini, disepakati lagi dua dokumen lain: the Internation
Covenant on Economics, Social, and Culutral Rights (ICESCR), yg diadopsi 16 desember
1966 dan diberlakukan 3 januari 1976 (Ondonesia meratifikasinya: 28 Oktober 2005) dan
The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) diadopsi 16 desember
1966 dan berlaku 23 maret 1976.
Dalam preamble kedua dokumen ini dinyatakan: “pengakuan bahwa hak manusiawi itu
berasal dari martabat manusia yang inherent (intrinsik) dari setiap pribadi manusia….”
Ketiga dokumen ini sering disebut sebagai International Bill of Human Rights.
Bagian dari tanggung jawab Negara adalah mempromosikan dan menjalankan mandate-
mandat dari isi document tersebut.
Definisi Hak Manusiawi:
Hak-hak manusiawi adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena kedudukan/statusnya
sebagai manusia. Karena itu, mereka tidak bisa diubah atau dinegosiasi, sebab mereka
melekat erat pada status tiap orang sebagai manusia. Hak-hak itu juga saling berhubngan
antrara satu sama lain: hak sipil, politik, budaya, social, dll.
E.g. hak atas kesehatan, itu berhubungan dengan hak atas kebebasan, keamanan,
pendidikan, perumahan, kesejahteraan umum, social, dll.
Demikian juga, hak-hak manusia itu sangat praktis dan inspiratif.
Praktis: karena memberikan ruang lingkup akan tindakan nyata, ke mana tindakan itu
harus diarahkan
Inspiratif: karena memberikan visi mengenai kebebasan, keadilan, perdamaian dunia ,
dan bagaimana orang/institusi harus memperlakukan sesamanya.

Dasar dari Hak-Hak manusiawi adalah: martabat manusia itu sendiri. Martabat itu
bersifat intrinsik dan melekat erat pada pribadi manusia karena kemanusiaannya, dan
sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak-hak manusiawi itu bersifat universal karena
martabat manusia itu sendiri bersifat universal, tanpa mengenal perbedaan apa pun, dan
karena adanya kesamaan martabat antara semua umat manusia.
Hak untuk hidup adalah hak manusiawi yang paling dasar, yang mendasari hak-hak
manusiawi lainnya, dan bahwa hak-hak manusiawi lainnya mengalir dari hak untuk hidup
itu. Kerena hidup adalah nilai fundamental untuk bisa meralisasikan nilai-nilai lainnya;
menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan dan mengembangkan pontesi, aspirasi, dan
mimpi-mimpi seorang manusia; dan menjadi kondisi utama atau syarat utama bagi
keberadaan dan kemungkinan adanya hak-hak manusiawi yang lain.

16
Dalam hubungannya dengan Bioetika, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
bisa menjadi tantangan dan bahkan bisa membanahaykan kehidupan manusia, atau
menjadikan manusia sebagai objek saja. Karena itu, PBB melalui UNESCO
mengeluarkan deklarasi “The Universal Declaration on Bioethics and Human Rights”
pada tanggal 19 Oktober 2005, dengan tujuan:
“Untuk mempromosikan penghormatan terhadap martabat manusia dan untuk melindungi
hak-hak manusiawi, dengan menjamin penghormatan akan hidup manusia dan kebebasan
yang fundamental, yang konsisten dengan hukum internasional mengenai hak
manusiawi.” (art. 2c).
Penghormatan akan hidup manusia menjadi syarat yang tidak bisa dipisahkan dari
penghormatan akan martabat manusia dan hak-hak manusiawi. Penghormatan terhadap
martabat manusia dan hak-hak manusiawinya mengimplikasikan penghormatan terhadap
hak-hak manusiawi, termasuk hak untuk hidup.
Hak Manusiawi dalam Hukum Indonesia
Di Indonesia, jaminan hukum bagi penghormatan akan hak hidup itu dituangkan dalam
system perudangan RI, seperti dalam Tap MPR no. XVII/MPR/1998, tentang Hak Asasi
Manusia:
“Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara
kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa meliputi hak untuk
hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak
berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh
diabaikan atau dirampas oleh siapapun.” (Pembukaan)
Demikian juga dirumuskan dalam UU no. 39/1999, tentang Hak Asasi Manusia,
“Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia…” (Bab I,pasal 1 [1])
Dan hak untuk hidup diatur dalam pasal 4: “Hak untuk hidup, … adalah hak hak
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun”

KEHIDUPAN MANUSIA DALAM PANDANGAN IMAN KRISTEN

17
Ada beberapa aspek penting yang perlu diketahui sehubungan dengan kehidupan
Manusia menurut pandangan Iman Kristen
A. Kesucian Hidup Manusia
1. Imago Dei (Gambar Allah)
Pemahaman iman Kristen tentang manusia berdasarkan pada konsep biblis: Imago Dei
(Gambar Allah), yaitu bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah:
1:26 Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
Kita, supaya mereka berkuasa   atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan
atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di
bumi." 1:27 Maka Allah menciptakan manusia   itu menurut gambar-Nya,   menurut
gambar Allah   diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan   diciptakan-Nya mereka.
Menjadi Gambar Allah adalah sebuah karunia khusus yang diberikan kepada manusia;
dia menjadi “yang terpilih” dan kepadanya diberikan “martabat” khusus yaitu “martabat
manusia”, berbeda dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Dia bukanlah “sesuatu” tetapi
“seseorang” yang memiliki kemampuan untuk mengetahui dirinya sendiri, merefleksikan
diri, menimbang, memutuskan, dan kemampuan moral (moral capacity).
Dengan diciptakan menurut Gambar Allah, manusia memiliki hubungan khusus dengan
Allah dan dipanggil untuk masuk dalam persekutuan dengan Allah. Dia dipanggil untuk
melalui rahmat untuk masuk dalam persekutuan dengan Allah, Penciptanya, yang
memdorong tanggapan manusia, yang mana ciptaan-ciptaan Allah yang lain tidak bisa
melakukannya (Katekismus Gereja Katolik /KGK, 357).
Kehidupan manusia itu “suci” (sacred, holy), karena berakar / bersumber pada dan
berhubungan dengan Allah sendiri yang adalah “kudus, suci.” Oleh karena itu, kehidupan
itu tidak bisa diselewengkan, dirusak, atau dihancurkan.
Leon R. Kas, seorang ahli Bioetika dari Amerika dan anggota Komisi Bioetika
Kepresidenan (President’s Council of Bioethics) Presiden George W. Bush,
mangassiasikan “ciptaan menurut Gambar Allah” ini sebagai sebuah “status seperti
Allah” (god-like status). Manusia itu disebut “seperti Allah” karena memiliki
kemampuan akal budi, kebebasan, dan pertimbangan/perhatian moral, seperti Allah (the
god-like powers of reason, freedom, and moral concerns) (Kas, “Difending Human
Dignity” , in Human Dignity and Bioethics, 226-227).

2. Martabat Manusia (human dignity)


Ada tiga jenis “martabat” dalam hubungannya dengan kehidupan manusia:

18
a. Attributed dignity: martabat manusia yang diberikan oleh orang lain, dari luar,
berdasarkan karakteristik-karakteristik yang bisa dilihat atau dirasakan oleh orang
lain. Martabat ini bisa hilang atau diperoleh/didapat. E.g. bangsawan,
olahragawan, rohaniwan, dll.
b. Inflorescent dignity: adalah martabat atau nilai seseorang yang tergantung pada
qualitas tertentu dari keberadaanya, seperti yang dimiliki oleh orang-orang yang
berkembang dalam aspek-aspek tertentu dalam kehidupannya. E.g. status-status
social.
c. Intrinsic dignity: adalah martabat manusia yang erat hubungannya dengan
statusnya sebagai manusia; bukan yang lain.
Manusia memiliki nilai intrinsic. Itu adalah nilai istimewa yang dimiliki oleh setiap
orang, hanya karena dia adalah manusia. Martabat manusia adalah “nilai” intrinsic
yang dimiliki setiap orang. Martabat itu tidak tergantung pada atribut-atribut external
yang diberikan orang atau kondisi apa saja yang mengelilingi atau dimiliki oleh orang
tersebut, termasuk status social, kondisi fisik, ekonomi, dll.
Martabat Intrinsic (intrinsic dignity) adalah nilai sebenarnya yang dimiliki oleh setiap
orang; sesuatu yang ada di dalam dirinya, hanya karena dia seorang manusia, atau
memiliki identitas sebagai manusia.

3. Manusia sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan raga.


Filsafat Yunani mengidentifikasikan “Jiwa” dengan kemampuan rasional, dan
“mind” sebagai bagian yang tidak bisa rusak/punah (incorruptible) dari manusia.
Sebaliknya, Tubuh diidentifikasikan dengan aspek biologis yang bisa rusak/punah.
Socrates pernah berkata bahwa (– as quoted by Lawrence Johnson from Plato’s
Phoaedo –):
we have that which is divine, immortal, indestructible, of a single form, accessible
to thought, ever constant and abiding true to itself; and the soul is very like it. On
the other hand, we have that which is human, mortal, destructible, of many forms,
inaccessible to thought, never constant nor abiding true to itself; and the body is
very like that. […] That being so, isn’t it right and proper for the soul to be
altogether indestructible, or nearly so? (Plato, Phaedo, 80b) [Lawrence E.
Johnson, A Life-Centered Approach to Bioethics: Biocentric Ethics, New York:
Cambridge University Press, 2011, 17]
Bagi Socrates, Jiwa itu sangat penting; dia memiliki kemampuan untuk mencapai
pengetahuan tentang kebenaran pada dunia “form” (bentuk), yang tidak bisa

19
binasa, berubah, dan yang bersifat permanen. Dan karena itu, dia memiliki peran
penting, dan jauh lebih peting dari tubuh biologis.
Di pihak lain, Thomas Aquinas menjelaskan persatuan yang dalam antara jiwa dan
badan/raga, bahwa kendati pun ada jiwa dan raga dalam diri manusia, tetap ada
satu manusia yang utuh. Tubuh tidak terpisah dari jiwa, karena hanya melalui
tubuh, seorang manusia bisa hadir d dalam dunia yang terbatas pada ruang dan
waktu.

Iman Kristen mengakui bahwa manusia yang diciptakan Tuhan terdiri dari jiwa
dan raga. Kedua komponen ini menyatu secara utuh, integral dan tak terpisahkan.
“diciptakan jiwa dan raga, manusia itu tetap satu” (Gaudium et Spes, 10).
Pribadi manusia yang diciptakan menurut citra Allah adalah wujud jasmani
sekaligus rohani. … Manusia seutuhnya dikehendaki Allah (KGK 362).
“Kesatuan jiwa dan badan begitu mendalam, sehingga jiwa harus dipandang
sebagai "bentuk" badan , artinya jiwa rohani menyebabkan, bahwa badan yang
dibentuk dari materi menjadi badan manusiawi yang hidup. Dalam manusia, roh
dan materi bukanlah dua kodrat yang bersatu, melainkan kesatuan mereka
membentuk kodrat yang satu saja.” (KGK 365)
Jiwa adalah prinsip yang menyatukan dalam diri manusia, dimana dia “ada”
sebagai satu kesatuan yg utuh, sebagai pribadi, yang terdiri dari jiwa dan badan/
tubuh dan roh.
Melalui Intelek (property of the soul), seorang manusia bisa berpartisipasai di
dalam “divine mind” (pikiran ilahi). Melalui tubuh/raga, manusia
menghadirkandirinya didunia, dalam batas ruang dan waktu.; jadi tubuh menjadi
medium, bagaimana pengetahuan, kasihm kehendak, perasaan/emosional
diekspresikan.
Pengakuaan akan persekutuan antara jiwa dan badan ini menekankan pentingnya
perhatian terhadap kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Keduanya tidak bisa
dipisah-pisahkan. Untuk maju dan bertumbuh, perhatian terhadap kedua aspek:
rohani dan jasmani, perlu diperhatiakn secra seimbang.

4. Manusia terbuka terhadap persekutuan dengan sesame dan dengan Tuhan (open to
communin with others and the Transcendent).
Kitab Kejadian mengatakan bahwa: Allah tidak menciptakan manusia sendirian,
tetapi diciptakanNya: laki-laki dan perempuan (Kej 1:26), dan menjadikan mereka
20
sebagai pasangan yang cocok (Kej 2:20). Partnership ini menjadi tanda
terbentuknya persekutuan manusia dengan sesamanya untuk pertama kali. Ini juga
menggaris-bawahi bahwa di dalam hatinya, secara alamiah, manusia memiliki
kecendrungan dan panggilan untuk membangun relasi dengan orang lain, bukan
sesuatu yang dipaksakan dari luar.
Tuhan menghendaki manusia untuk memiliki kehidpan social dan berelasi dengan
roang lain.
Di samping itu, manusia juga memiliki dorongan di dalam hatinya untuk
membangun relasi dengan Tuhan; di dalam dirinya manusia itu memiliki
kemampuan untuk berelasi dan berinteraksi dengan Tuhan; untuk mencari Tuhan.
Luigi Giussani mengatakan bahwa di dalam dirinya, manusia memiliki
kemampuan untuk [berinteraksi dengan] Tuhan – a capacity for God, - yang
memampukan manusia untuk membangun hubungan pribadi dengaNya.
Kemampuan ini menjadi “constitutive element” dari keberadaan manusia, dan
Tuhan menghendaki demikian (Giovanni B. Montini & Luigi Giussani, Sul senso
religioso, 2009, 79-81)
Kemampuan untuk menjangkau Tuhan (capacity for God) ini ditandai oleh
berbagai proses rasional/intelek dalam mencari Tuhan, yang tidak dilakukan oleh
ciptaan-ciptaan lain.
This yearning for the Infinite is something innate, becoming part of human nature.
Human “essence and existence […] are constitutively related to God in the most
profound manner.” The life itself that God has bestowed on human being “is a
drive to the fullness of life” (Evangelium Vitae 34) in God, the transcendent
Being. St. Augustine of Hippo expressed it very well, saying: “You have made us
for yourself, O God, and our hearts are restless until they rest in Thee.” (Elisabeth
Johnson, Conseider Jesus, 1990,24)

Kedua aspek ini tidak terpisahkan. Persekutuan dengan Allah bisa


dimanifestasikan dalam persekutuan dengan sesame. Pengalaman cinta kasih,
kebenaran, dan harapan, adalah pengalaman konkrit manusia dalam hubunganya
dengan sesame dalam komunitas. Dan dorongan alamiah ini membuka
kesempatan untuk menujukan rasa tanggungjawab dan solidaritas terhadap
sesame.

B. Kerentanan (Vulnerability) dan Integritas Manusia


Dimensia lain dari keberadaan manusia adalah Kerentanan (vulnerability) dan Integritas.
21
1. Kerentanan/Vulnerabilitas (vulnerability)
Vulnerabilitas adalah kondisi rawan terhadap luka, apakah fisik atau emosional; terbuka
terhadap serangan-serangan, kerugian yang disebabkan oleh kekerasan verbal atau non-
verbal; terbuka terhadap bahaya yang berasal dari sumber-sumber yang sifatnya alamiah,
sperti bencana alam, penyakit-penyakit, kecacatan, dll, dan dari sumber-sumber non
alamiah, seperti politik, ekonomi, social, budaa, atau berhubungan dengan kekuasaan.
Salah satu sumber vulnerabilitas manusia adalah pengalaman penderitaan penyakit dan
factor-faktor yang berhubungan dengannya. Penderitaan sakit mengancam integritas
manusia, dan lebih lanjut mempengaruhi tercapainya kesejahteraan/kebahagiaan/sukacita
hidup dan pertumbuhan manusia(human well-being and flourishing)
The problem of pain and suffering from diseases or illness is a complex form of human
vulnerability. Generally, pain can direct human attention to the body and even occupies
the consciousness of the person. As pain intensifies and becomes chronic, it can reduce
the sense of independence and self-determination, and further leads to identity crisis, in
that, what one’s identity was before the presence of chronic pain, is slowly diminished,
set aside in the background, and is replaced by the new identity as the wounded, the sick
body, the cancer patient, etc. Chronic pain then leads to the agony of isolation as the
consequence of increased disability, powerlessness and dependency. The sense of
isolation can be intensified as the consequence of reduced communication ability. The
reduced physical well-being and social isolation can cause emotional/psychological
problems, like stress, frustration, etc.1

Masalah penyakit dan penderitaan sakit merupakan bentuk vulnerabilitas yang kompleks.
Umumnya sakit mengarahkan perhatian kita pada tubuh dan bahkan mengisi kesadaran
kita. Ketika rasa sakit meningkat, atau penyakit menjadi kronis, itu bisa mengurangi rasa
independensi kita dan determinasi diri, dan lebih lanjut bisa mengakibatkan krisis
identitas, dimana apa yang menjadi identitas dari orang tersebut sebelumnya, pelan-pelan
berubah menjadi “orang sakit, pasien,” dll. Penyakit kronis juga mengakibatkan isolasi,
rasa tak berdaya, kelumpuhan, dan ketergantungan kepada pihak lain. Ketidak berdayaan
ini, lebih lanjut bisa mengakibatkan penderitaan emosional atau masalah prikologis
dalam bentuk stress, frustrasi, dll.
Bagi mereka yang percaya kepada Tuhan, pengalaman vulnerabilitas menantang iman
mereka terhadap Allah yang baik, benar, adill, dan penuh kuasa, sebagai pegangan
terakhir hidup mereka. Terutama bagi yang berpegng pada keyakinan akan Allah yang
penuh kuasa dan Allah yang baik, penderitaan yang tak terpikulkan bisa mengakibatkan
kehilangan iman. Penderitaan mengantar mereka untuk mempertanyakan cara Tuhan dan
1
Carse, “Vulnerability, Agency, and Human Flourishing,” 37-40; S. Kay Toombs, “Vulnerability and the
Meaning of Illness,” in Health and Human Flourishing: Religion, Medicine, and Moral Anthropology, Carol Taylor;
Roberto dell’Oro (eds.), Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2006, 122-125.
22
kuasa serta kebaikannya. Sebab, bagaimana mungkin Allah yang baik dan penuh kuasa
itu membiarkan terjadinya penderitaan pada manusia?

2. Integritas
Integritas berasal dari kata “Integer (untouched, whole, complete - tak tersentuh, tuh,
lengkap) yang mengandung makna: “keutuhan, keadaan sempurna” dan secara figurative
berarti: tak bernoda, tak tercela, dan benar.
According to Margaret E. Mohrmann, Integer (untouched) signifies a “sense of being
unaltered from some earlier or original state,” and “its usage implies that the intactness of
that original state is desirable and, in addition, that the original state is good, even
perfect.” In the “sense of being untouched,” integer basically conveys two categories of
definition: 1) being “spotless, unblemished, pure,” and 2) being “whole or entire, with
nothing missing.” (Mohrmann, “On Being True to Form,” 90. For further reading, cf.:
Suzanne Holland, “The Integrity Conundrum,” in Health and Human Flourishing:
Religion, Medicine, and Moral Anthropology, Carol Taylor and Roberto dell’Oro (eds.),
Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2006, 103-115).
Jadi kata integritas mengimplikasikan: keadaan yang sesuai dengan “form” – bentuk,
konsisten dengan identitas dan design awal (original design) sebagai manusia; menjadi
benar secara moral dan konsisten dengan kehendak ilahi/panggilan ilahi; dan kondisi
yang utuh dan keharmonisan antara berbagai aspek kehidupan dan keberadaan manusia
(secara fisik, mental, rohani dan social).
Karena itu, ada dua aspek penting dari Integritas dalam hubungannya dengan kehidupan
manusia:
a. Integritas sebagai konsistensi:
Artinya: kendisi yang benar terhadap diri sendiri (being true to oneself or itself),
kesetiaan atau kesesuai pada bentuk atau kualitas asli, tak bercela, tak bernoda,
murni; atau moral uprightnesss / benar dan baik secara moral.
Implikasinya:
Integritas berarti
1. Konsisten dan setia pada identitas asli dan maksud awal dari penciptaannya
sebagai manusia, yaitu yang tercipata menurut gambar Allah tanpa bisa
dikurangi lebih dari itu. Menjadi Gambar Allah berarti manusia perlu
merefleksikan citra diri Allah itu sendiri; manusia harus mampu mencerminkan
identitas Allah itu sendiri.

23
2. Manusia yang terdiri dari jiwa dan raga adalah design awal dari manusia
menurut kehendak Allah. Karena itu, manusia harus diperlakukan demikian,
yaitu dihormati sebagai pribadi yang utuh, tanpa merendahkan atau menjelek-
jelekkan. Demikian juga dalam dunia kesehatan, agar seseorang diperlakukan
demikian.
3. Juga mengimplikasikah konformitas antara kehendak Allah dan kehendak
manusia.
John Paul II: True freedom is only possible “by allowing our choices to be
guided by moral truth; […] our capacity to achieve existential dignity is not
realized in a moral vacuum but by understanding our place in the moral order
that God has created for us, for our well-being. To reject that order and choose
‘autonomously’ in the modern way is to reject not only true freedom, but true
human flourishing.”( Christopher Tollefsen, “Introduction: John Paul II’s
Contribution to Catholic Bioethics” in John Paul II’s Contribution to Catholic
Bioethics, Christopher Tollefsen (Ed.), Netherlands: Springer, 2004, 4.”)
4. Di tengah dunia yang selalu berubah, integritas sebagai konsistensi termasuk
proses diserment yang terus menerus agar tetap setia pada kehendak Allah bagi
manusia di tengah dunia yang selalu berubah (faithful and true to the will of
God in the concrete realities of the changing world).
b. Integritas sebagai: keutuhan, mengandung arti kondisi yang utuh, menjadi satu,
menyatu, bersatu. Hal itu mengimpilikasikan pengakuan akan human nature atau
kehidupan manusia yang terdiri dari aspek biologis, emosional, rohani dan sisial.
Karena itu, integritas sebagai keutuhan mengandung makna:
- Adanya hubungan yang harmonis antara berbagai aspek kehidupan manusia
- Mengarahkan semua aspek kehidupan itu secara harmonis menuju tujuan yang
sama, yaitu untuk mencapai kepenuhan hidup manusia, kesehatan dan
kesejahteraan hidupnya (human self-realization, fulfillment and flourishing)
Masalah kesehatan , baik dari penyakit maupun penderitaan lainnya, umumnya
menyebabkan dis-integritas kehidupan manusia (understood as disunity and human
brokenness).
And so the goal of health care is to find ways for responding appropriately to the health-
related problems according to the different dimensions of human needs in order to
restore wholeness and personal equilibrium.
Karena itu, salah satu tujuan dari pelayanan kesehatan ialah menjawab atau merespon
secara tepat terhadap masalah kesehatan atau yang berhubungan dengan kesehatan,
seturut berbagai dimensi kebutuhan manusia itu untuk mengembalikan
24
integritasnya/keutuhannya atau kondisinya yang utuh, demi mencapai keseimbangan diri
orang yang menderita.

25

Anda mungkin juga menyukai