Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam rangka menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi, mewujudkan
pemerataan pembangunan, dan menjaga kesinambungan dalam pengembangan
wilayah dengan meningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi terutama pada
wilayah yang sudah tinggi tingkat pertumbuhannya, diperlukan pembangunan
jalan tol.
Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian dari sistem jaringan
jalan nasional yang penggunaannya diwajibkan membayar tol dan memiliki peran
yang sangat signifikan bagi perkembangan suatu daerah. (Undang-Undang
Tentang Jalan Tol UU No. 15 Tahun 2005).
Jalan tol merupakan jalan bebas hambatan dan jalan nasional yang dapat
menunjang peningkatan pertumbuhan perekonomian. Pengadaan jalan tol untuk
mewujudkan pemerataan pembangunan serta keseimbangan dalam pembangunan
wilayah.
Jalan Tol Tebing Tinggi – Inderapura adalah jalan tol sepanjang 20,4 km
yang akan menghubungkan dua kota di Sumatera Utara, Indonesia yaitu Tebing
Tinggi dan Inderapura. Jalan Tol Tebing Tinggi – Inderapura akan membagi
beban kendaraan dengan jalan lintas Sumatera Utara agar tidak terjadi kemacetan
disuatu waktu. Jalan tol ini akan menyambung dengan Jalan Tol Medan – Tebing
Tinggi yang telah ada sebelumnya. Kemudian memasuki kawasan Kampung
Rambutan yang dimana ada pembangunan Interchange yang merupakan akses
untuk keluar – masuk pintu Tol Tebing Tinggi yang dikerjakan oleh PT. Hutama
Karya.
Proyek Pembangunan Jalan Tol Tebing Tinggi – Kisaran Ruas Tebing
Tinggi – Inderapura (STA 86+250 S.D STA 106+650) melakukan pekerjaan
penyelidikan tanah (Soil Investigation) merupakan Sub bagian Jasa Konsultansi
Penyusunan Rencana Teknik Akhir (Detail Engineering Design). Berdasarkan
hasil penyelidikan tanah, ditemukan adanya lapisan tanah lunak (lempung) khusus
yang ditinjau penulis di STA 1 + 700, lapisan tanah lunak biasanya mengandung

1
kadar air yang tinggi, sehingga bila tidak dipergunakan PVD dikhawatirkan bisa
terjadi penurunan, walaupun penurunan tanah sangat lama. Untuk mempercepat
penurunan tanah dipergunakan PVD untuk membantu disipasi air tanah.
Penurunan tanah merupakan masalah geoteknik yang sering ditemukan pada
kasus timbunan, terutama pada tanah lunak. Penurunan tanah pada konstruksi
teknik sipil akibat suatu proses konsolidasi pada tanah timbunan. Proses
konsolidasi merupakan suatu proses tanah yang jenuh air mengalami kompresi
akibat beban dalam suatu periode waktu, dimana kompresi berlangsung akibat
pengaliran air keluar dari pori – pori tanah disebut juga sebagai disipasi tekanan
air pori. Tanah merupakan suatu material dari partikel tanah padat, air, dan udara.
Pemberian beban pada tanah akan menyebabkan meningkatnya tegangan yang
bekerja pada tanah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya volume
tanah sehingga akan menyebabkan terjadinya penurunan konsolidasi. Masalah
yang harus diperhatikan adalah penanggulangan terhadap penurunan yang besar
dan waktu yang diperlukan untuk penurunan karena tanah lunak memiliki
kerapatan rongga yang rendah.
Jika preloading konstruksi melampaui daya dukung kristis maka
kerusakan tanah akan terjadi dikarenakan pada umumnya lapisan tanah terdiri dari
sebagian besar butir-butir kecil yang memiliki koefisien permeabilitas yang kecil
dan kemampatan yang besar. Meskipun preloading tidak melampaui daya dukung
kristis, namun dalam jangka waktu yang lama maka besarnya penurunan akan
terus meningkat yang menyebabkan penurunan muka air tanah sehingga tanah
disekitar konstruksi akan naik atau turun yang dapat mengakibatkan kerusakan
disekitar konstruksi. Karena itu perlu diadakan perbaikan kondisi pada tanah
lunak. Penurunan dapat direduksi dengan meningkatkan kerapatan rongga. Salah
satu metode yang digunakan untuk memperbaiki karakteristik tanah adalah
dengan memasang prefabricated vertical drain. Dengan adanya PVD maka
waktu yang diperlukan untuk penurunan tanah akan menjadi lebih singkat.
Dalam analisis penurunan tanah berdasarkan observasi lapangan yaitu
Metode Asaoka (1978). Metode Asaoka adalah metode perhitungan secara grafis
dan hasilnya untuk menentukan settlement final yang terjadi pada lokasi yang
dianalisa. Besarnya prediksi penurunan tanah akibat suatu kasus timbunan

2
dianalisis dengan menggunakan prosedur observasi Asaoka yang diperoleh setelah
data penurunan didapatkan.

1.2 Batasan Masalah


Dalam pengerjaan Studi Kasus maka penulis membuat batasan – batasan
masalah untuk memperjelas ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis yang meliputi;
1. Data yang digunakan untuk menentukan derajat konsolidasi adalah hasil
pembacaan settlement plate.
2. Metode yang digunakan untuk menganalisis penurunan timbunan
menggunakan preloading dan PVD dengan Metode Asaoka hasil
monitoring settlement plate.
3. Analisis waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan derajat konsolidasi
90%.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah yang
dapat dikaji adalah sebagai berikut;
1. Menganalisis waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan derajat
konsolidasi (U) = 90 % timbunan dengan menggunakan preloading dan
PVD dengan metode Asaoka.
2. Menganalisis nilai penurunan settlement (𝜌) dengan metode Asaoka.

1.4 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penulisan Studi Kasus adalah;
1. Untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan derajat
konsolidasi (U) = 90 % timbunan dengan menggunakan preloading dan
PVD dengan metode Asaoka.
2. Untuk mengetahui nilai penurunan settlement (𝜌) dengan metode Asaoka.

3
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulis adalah sebagai berikut;
1. Memberikan tambahan pengetahuan bagi penulis dan pembaca tentang
penerapan mata kuliah geoteknik terutama penggunaan PVD dengan
preloading sebagai metode perbaikan lapisan tanah lempung lunak.
2. Menunjukkan efektivitas penggunaan vertical drain dengan preloading di
dalam mempercepat konsolidasi dan juga menaikkan kekuatan lapisan
tanah.
3. Memberikan pengetahuan praktis bagi kita semua tentang metode perbaikan
tanah dengan menggunakan vertical drain dengan preloading.
4. Penelitian dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak yang mencari solusi
alternatif dalam perbaikan tanah lunak pada suatu desain struktur.

1.6 Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penulisan laporan Studi Kasus ialah;
1. Studi Kepustakaan
Diperoleh dari refrensi data – data tertulis berupa data penurunan atau
settlement plate, dokumentasi proyek, gambar rencana;
2. Evaluasi
Mengevaluasi dan menganalisa data yang diperoleh yang bersifat kuantitatif
dan kualitatif;
3. Sharing
Informasi yang diperoleh dengan bertukar pikiran antara penulis dengan
pembimbing agar dapat memecahkan masalah;
4. Penarikan Kesimpulan
Pengambilan kesimpulan merupakan hasil dari studi kepustakaan, evaluasi,
sharing yang mendukung penulisan laporan dan bertujuan sebagai akhir dari
penulisan laporan Studi Kasus.

1.7 Sistematika Penelitian


Dalam penelitian Sistematika penulisan akan dibuat dalam 5 (lima) bab
dengan uraian sebagai berikut;

4
5
BAB I : Pendahuluan
Berisi latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penelitian.
BAB II: Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi hal – hal yang dijadikan sebagai dasar dalam membahas
perbandingan penurunan tanah yang dihitung secara analitis.
BAB III : Metodologi Penelitian
Bab III berisi tentang metodologi penelitian yang akan dilakukan dalam
penelitian untuk menganalisis perbaikan tanah dengan menggunakan
PVD.
BAB IV : Pengumpulan dan Pengolahan Data
BAB IV berisi tentang hasil pengumpulan dan pengolahan data yang
telah diperoleh.
BAB V : Hasil dan Pembahasan
Bab V berisi tentang pembahasan hasil perhitungan penurunan tanah
lunak dengan metode asaoka. Hasil perhitungan kemudian akan
dibandingkan sehingga menghasilkan informasi yang berguna.
BAB VI : Penutup
Bab VI berisi tentang kesimpulan dari hasil analisa dan saran – saran
yang diberikan dari hasil – penelitian yang didapat.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanah
Tanah merupakan tempat berdirinya suatu konstruksi, baik konstruksi
bangunan gedung maupun konstruksi jalan. Jenis tanah tertentu dapat
menimbulkan masalah apabila tanah memiliki sifat – sifat yang buruk seperti daya
dukung yang rendah, kekuatan geser yang rendah kekuatan geser yang rendah dan
potensi kembang susut yang besar. Pekerjaan teknik sipil akan senantiasa
membutuhkan kajian tentang tanah. Hampir setiap pekerjaan selalu terkait dengan
tanah, baik ketika tanah akan digunakan sebagai tempat diletakkannya sebuah
struktur bangunan ataupun pada saat tanah digunakan sebagai bahan konstruksi
yang tersedia di lokasi pekerjaan.
Pengertian tanah secara umum dapat didefinisikan sebagai bahan material
yang terdiri dari butiran agregat berupa mineral padat yang tidak terikat secara
kimiawi satu sama lain. Tanah juga terdiri dari partikel – partikel padat itu sendiri
serta zat cair dan gas yang mengisi rongga – rongga kosong yang berada diantara
partikel – partikel padat tersebut.
Sifat – sifat dan perilaku tanah yang terjadi akan menjadi bahan
pertimbangan yang berarti dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu pekerjaan.
Tanah pada umumnya dapat dibagi menjadi empat kelas yaitu kerikil (gravel),
pasir (sand), lanau (silt), dan lempung (clay), berdasarkan ukuran partikel yang
paling dominan dari tanah tersebut (Das, 1994). Berdasarkan hasil penyelidikan
tanah ditemukan adanya lapisan tanah lunak (lempung).
Das (1994) menerangkan bahwa tanah lempung sebagian besar terdiri dari
partikel mikroskopis dan sub – mikroskopis (tidak dapat dilihat dengan jelas bila
hanya dengan mikroskopis biasa) yang berbentuk lempengan – lempengan pipih
dan merupakan partikel – partikel dari mika, mineral – mineral lempung (clay
mineral), dan mineral – mineral yang sangat halus lainnya.
Tanah lempung sangat keras dalam kondisi kering dan bersifat plastis pada
kadar air sedang. Namun pada kadar air yang lebih tinggi lempung akan bersifat
lengket (kohesif) dan sangat lunak. Kohesif menunjukkan kenyataan bahwa

7
partikel – partikel itu melekat satu sama lainnya sedangkan plastisitas merupakan
sifat yang memungkinkan bentuk bahan berubah – ubah tanpa perubahan isi atau
tanpa kembali ke bentuk aslinya dan tanpa terjadi retakan – retakan atau terpecah
– pecah.

2.1.1 Tanah Lempung Lunak


Tanah lempung merupakan agregat partikel – partikel berukuran
mikroskopik dan sub – mikroskopik yang berasal dari pembusukan kimiawi unsur
– unsur penyusunan batuan, dan bersifat plastis dalam selang kadar air sedang
sampai luas. Dalam keadaan kering sangat keras, dan tidak mudah terkelupasnya
hanya dengan jari tangan.
Sifat khas yang dimiliki oleh tanah lempung adalah dalam keadaan kering
akan bersifat keras, dan jika basah akan bersifat lunak plastis, dan kohesif,
mengembang dan menyusut dengan cepat, sehingga mempunyai perubahan
volume yang besar dan terjadi karena pengaruh air. Sedangkan untuk jenis tanah
lempung lunak mempunyai karakteristik yang khusus diantaranya daya dukung
yang rendah, kemampatan yang tinggi, indeks plastisitas yang tinggi, kadar air
yang relatif tinggi dan mempunyai gaya geser yang kecil. Kondisi tanah seperti itu
akan menimbulkan masalah jika dibangun konstruksi diatasnya.
Tanah lempung terdiri dari berbagai golongan tekstur yang agak susah
dicirikan secara umum. Sifat fisika tanah lempung umumnya terletak di antara
sifat tanah pasir dan liat. Warna tanah pada tanah lempung tidak dipengaruhi oleh
unsur kimia yang terkandung di dalamnya, karena tidak adanya perbedaan yang
dominan, karena dipengaruhi oleh unsur Natrium saja yang paling mendominasi.
Tanah lempung terdiri dari butir – butir yang sangat kecil (<0.002 mm ) dan
menunjukkan sifat – sifat plastisitas dan kohesi. Kohesi menunjukkan kenyataan
bahwa bagian – bagian itu melekat satu sama lainnya, sedangkan plastisitas adalah
sifat yang memungkinkan bentuk bahan berubah – ubah tanpa perubahan isi atau
tanpa kembali ke bentuk aslinya, dan tanpa terjadi retakan – retakan atau terpecah
– pecah (L.D Wesley, 1997). Sifat – sifat yang dimiliki tanah lempung adalah
sebagai berikut :
1. Ukuran butir halus, kurang dari 0,002 mm.

8
2. Permeabilitas rendah.
3. Kenaikan air kapiler tinggi.
4. Bersifat sangat kohesif.
5. Kadar kembang susut yang tinggi.
6. Proses konsolidasi lambat.
Tanah butiran halus khususnya tanah lempung akan banyak dipengaruhi
oleh air. Sifat pengembangan tanah lempung yang dipadatkan akan lebih besar
pada lempung yang dipadatkan pada kering optimum daripada yang dipadatkan
pada basah optimum. Lempung yang dipadatkan pada kering optimum relatif
kekurangan air, oleh karena itu tanah lempung mempunyai kecenderungan yang
lebih besar untuk meresap air sebagai hasilnya adalah sifat mudah mengembang
(Hardiyatmo, 1999). Partikel lempung dapat berbentuk seperti lembaran yang
mempunyai permukaan khusus. Karena itu, tanah lempung mempunyai sifat
sangat dipengaruhi oleh gaya – gaya permukaan.

2.2 Prefabricated Vertical Drain (PVD)


Pada perbaikan tanah dengan metode pembebanan awal, permasalahan yang
timbul adalah lamanya proses waktu penurunan. Masalah ini sering terjadi pada
lapisan tanah yang cukup lunak dan mempunyai permeabilitas yang rendah.
Untuk mempercepat konsolidasi dan menghemat waktu penurunan timbunan pada
tanah lunak, cara yang digunakan adalah membuat saluran vertikal yang
mempunyai permeabilitas tinggi.
Pada prinsipnya teori PVD sama dengan metode drainase pasir. Drainase ini
terdiri dari kolom pasir yang dibuat secara vertikal dalam lapisan tanah lunak.
Sewaktu dibuat drainase pasir, maka dengan asumsi bahwa tanah pondasi dapat
diganti dengan suatu model silinder dan air pori mengalir secara horisontal ke
arah drainase pasir tersebut. Jadi semakin pendek ruang antar kolom, semakin
pendek pula waktu konsolidasi. Umumnya drainase vertikal itu sering di abaikan
karena panjang efektif adalah lebih kecil dari tebal (H) dari lapisan lemah itu.
Prefabricated Vertical Drain (PVD) dibuat sebagai tiruan dari alur aliran air
yang dapat dipasang dengan beberapa metoda dan masing – masing mempunyai

9
beberapa karakteristik fisik. PVD dapat diartikan sebagai bahan yang difabrikasi
(Prefabricated) atau produk yang mempunyai karakteristik, yaitu:
1. Dapat dipasang vertikal pada lapisan tanah yang mampu memampat
(Compressible);
2. Dapat mengalirkan air pori tanah yang diserap oleh lapisan penyerap, dan;
3. Diartikan juga sebagai pengumpul air pori tanah yang disalurkan ke atas dan
ke bawah sepanjang PVD tersebut.

2.2.1 Metode Pelaksanaan Prefabricated Vertical Drain (PVD)


2.2.1.1 Pengangkutan material PVD dan PHD
Material PVD dan PHD adalah produk import sehingga pengangkutannya
melalui 2 (dua) tahap, yaitu tahap pengangkutan antar negara dan tahap
pengangkutan lokal. Material dibawa ke gudang dan atau lokasi pekerjaan seperti
(Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Proses Angkut Material PVD dan PHD ke Lokasi Pekerjaan

2.2.1.2 Persiapan lantai kerja dan lapisan pasir (dilakukan pihak lain)
Lahan kerja diperlukan agar crane dapat bekerja dengan baik. Lantai kerja
harus bersih dari batu, kayu, bahan organik, atau benda-benda lainnya yang
menonjol ke permukaan tanah, khususnya jika benda itu tajam dan akar pohon
serta material organik lainnya harus dikeluarkan dari lahan.

10
Material pengisi yang digunakan dapat berupa tanah lumpur, tanah
lempung lunak, tanah lempung biasa ataupun kondisi tanah yang kompleks di
sekitar lokasi kerja. Material pengisi tidak boleh mengandung material organic
seperti jenis tanah OL, OH, dan Pt dalam sistem USCS serta tanah yang
mengandung daun-daunan, rumput-rumputan, akar, sampah (organic and articial
materials).
Lantai kerja juga harus memiliki kerataan permukaan dan kepadatan yang
cukup untuk menahan beban alat berat (crane PVD) sehingga tetap stabil (saat
bekerja diatasnya) serta terjaga dari jenuh air akibat hujan atau banjir. Kepadatan
timbunan lantai kerja yang disyaratkan minimal 90%.
Setelah lantai kerja siap, digelar lapisan pasir terpilih yang memiliki
permeabilitas baik setebal 50 cm. Lapisan pasir berfungsi sebagai jalur drainase
horisontal.

2.2.1.3 Pemancangan PVD


PVD akan dipasang (Gambar 2.2) dengan kedalaman tanah lunak
maksimal sekitar 15 meter. Pola pemancangan PVD berbentuk segitiga dan jarak
(s) 1,3 meter. Tipikal plan pola pemancangan PVD ditunjukan pada (Gambar
2.5).

Gambar 2.2 Pola pemancangan PVD

11
1. Tahap Pemancangan PVD
a. Area kerja akan dibagi kedalam panel – panel dengan ukuran (50×50) m.
b. Setiap ujung panel akan ditandai dengan menggunakan patok sebagai
acuan.
c. Untuk mengatur jarak (spacing) PVD, digunakan benang yang sudah
diberi tanda sesuai jarak PVD. Angkur plat digunakan sebagai penanda
posisi tiap PVD (Gambar 2.4).
d. Operator rig akan mengarahkan ujung madrel ke titik PVD yang sudah
ditandai dengan angkur plat. Material PVD akan dililitkan pada angkur
plat sepanjang 20 cm dan ujungnya akan ditarik kembali ke mandrel,
sampai angkur plat menempel di dasar mandrel (Gambar 2.5).
e. Mandrel yang berisi PVD akan diturunkan dengan bantuan tarikan sling
meter
dari crane dengan kecepatan hingga 15 /menit hingga mencapai
kedalaman rencana (Gambar 2.6).
f. Setelah mencapai kedalaman minimum yang telah ditentukan
sebelumnya, mandrel ditarik kembali dengan bantuan sling. Angkur plat
akan mengunci dirinya sendiri pada tanah dan akan menjaga agar PVD
tidak ikut tertarik saat mandrel naik. Jika PVD tercabut atau tidak
berhasil dipasang, akan dicoba kembali dengan radius 0,50 meter dari
titik semula.
g. Setelah mandrel ditarik, material PVD akan dipotong sepanjang 80 cm
dari permukaan tanah (Gambar 2.7)untuk selanjutnya dihubungkan ke
PHD.
h. Operator rig akan mengarahkan mandrel ke titik selanjutnya dan tahap 4
– 7 di ulang kembali (Gambar 2.8).

12
Gambar 2.3 Instalasi Pemancangan PVD

Gambar 2.4 Marking PVD dengan Angkur Plat

13
Gambar 2.5 Pemasangan Angkur Plat dengan Ujung PVD

Gambar 2.6 Memasukkan Mandrel kedalam Tanah

14
Gambar 2.7 Memotong Ujung atas PVD diatas Permukaan Tan

Gambar 2.8 Hasil Pemancangan

15
2. Sambungan PVD
Karena panjang gulungan PVD yang terbatas, maka dilakukan
penyambungan material PVD, area sambungan yang di overlap kemudian di
staples secukupnya agar tidak lepas ketika dimasukkan ke dalam tanah. (Gambar
2.9).

Gambar 2.9 Penguatan Sambungan Material PVD dengan Staples

3. Pengukuran Pemancangan PVD


Pengukuran panjang pemasangan PVD dilakukan secara manual seperti
(Gambar 2.10).

Gambar 2.10 Pengukuran Pemancangan PVD

16
2.2.1.4 Pemasangan PHD
PHD dipasang secara manual setelah PVD terpasang. PHD dipasang ke
arah terpendek agar air bisa dialirkan keluar dengan cepat. Pemasangan PHD
menggunakan pola 1 PVD : 1 PHD seperti yang ditunjukkan dalam (Gambar
2.11).

Gambar 2.11 Pola Pemasangan PHD

1. Tahap Pemasangan PHD


a. PHD digelar memanjang ke arah terpendek agar air dapat keluar dengan
cepat.
b. PHD dipotong sesuai panjang rencana.
c. Setiap ujung PVD dihubungkan dengan PHD dengan cara dililitkan dan
diikat dengan cables ties.

2. Sambungan PHD
Karena panjang gulungan PHD yang terbatas, maka dilakukan
penyambungan material PHD sebagai berikut:
a. Material PHD yang baru di-overlap ke material yang lama dengan cara
diselipkan pada bagian dalam sepanjang 10 cm.
b. Area sambungan yang di-overlap kemudian di ikat dengan lakban agar
terhubung dengan baik dan tidak mudah lepas.

17
Gambar 2.12 Penyambungan Material PVD dengan PHD

Gambar 2.13 Ilustrasi Penyambungan Material PHD dengan Cara Overlap

2.3 Preloading (Pembebanan Awal)


Pembebanan awal atau preloading merupakanproses kompresi tanah dengan
memberikan tekanan vertikal sebelum dilakukan pembebanan konstruksi
sebenarnya. Beban preloading adalah beban yang setara dengan beban konstruksi
yang beban tersebut dilakukan dengan melakukan timbunan sebanding dengan

18
berat konstruksi yang akan dilaksanakan. Ada pula yang menentukan tinggi
timbunan sesuai dengan nilai penurunan, agar tanah timbunan tidak dibuang sia –
sia dan dapat dijadikan suatu pondasi sari suatu konstruksi.
Ketika beban ditempatkan pada awalnya beban tersebut akan didukung oleh
air pori sehingga terjadi tekanan air pori ekses. Karena tanahnya sangat tidak
permeabel, maka penurunan tekanan air pori ekses tersebut akan berkurang secara
perlahan karena air pori hanya mampu mengalir ke arah vertikal, sedangkan pada
arah horizontal pengalirannya sangat panjang sehingga kondisinya diabaikan.
Pada pemberian beban preloading, beban tersebut akan sepenuhnya didukung oleh
tanah dasar. Tanah dasar tersebut memungkinkan tidak dapat menanggung
keseluruhan beban pada kondisi sesungguhnya. Sementara, kondisi yang
diharapkan pada saat tanah menerima beban adalah tanah akan memasuki wilayah
plastis atau tidak mencapai kondisi failure. Untuk itu pemberian beban preloading
yang besar akan dibagi beberapa bagian, hal tersebut dilakukan dengan pemberian
beban secara bertahap (stepped preloading).
Besarnya beban preloading yang akan diberikan dapat ditentukan terlebih
dahulu, kemudian dibandingkan dengan tinggi timbunan atau beban yang mampu
diterima oleh tanah dasar yaitu Hkritis (Hcr). Apabila ternyata tinggi timbunan
sebagai beban preloading yang akan diberikan lebih besar dari pada Hcr, maka
timbunan tersebut harus diletakkan secara bertahap. Umumnya timbunan yang
dilakukan bertahap adalah timbunan di atas tanah lunak.
Perbaikan tanah lunak, beban preloading direncanakan melebihi berat dari
keseluruhan konstruksi yang akan didukung tanah tersebut. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengatisipasi pembebanan akibat struktur tersebut kelak
akan dilewati oleh kendaraan-kendaraan. Pembebanan tambahan (surcharge
loading) tersebut direncanakan berdasarkan berat kendaraan terberat dan kondisi
ekstrem yang direncanakan akan dilayanai oleh badan jalan tersebut. Beban
tambahan sementara dapat dihilangkan ketika penurunan diperkirakan telah
mencapai penyelesaian akhir. Oleh karena itu, air pori tambahan telah hilang,
yang tekanan air pori akhir sama dengan tekanan air pori sebelum dilakukan
pembebanan.

19
Dengan adanya preloading, maka partikel – partikel tanah akan semakin
padat dan jumlah butiran tanah yang saling menempel satu sama lain akan
semakin meningkat yang akan mengakibatkan shear strength. Hal ini berarti
bahwa pada saat pembebanan awal, tanah kohesif akan meningkatkan shear
strengthdan meningkatkan daya dukung terhadap compression yang lebih besar.

2.3.1 Metode Preloading


Pada kondisi tanah lunak yang mudah mampat dan tebal, memerlukan
pembebanan sebelum pembangunan permanennya dilaksanakan. Cara ini disebut
pemberian awal (preloading). Preloading adalah untuk meniadakan atau
mereduksi penurunan konsolidasi primer, yaitu dengan membebani tanah lebih
dulu sebelum pelaksanaan bangunannya. Keuntungan dari preloading, kecuali
mengurangi penurunan, juga meningkatkan daya dukung tanahnya.
Berdasarkan metode ini, tanah dasar yang akan digunakan akan
termampatkan sehingga daya dukung tanah dasar akan lebih baik. Selain itu
pemampatan yang terjadi pada saat konstruksi didirikan akan lebih kecil atau
hilang sama sekali. Hal yang harus diperhatikan untuk merencanakan beban
preloading, yaitu :
1. Besar pemampatan yang harus dihilangkan.
2. Daya dukung tanah dasar dalam menerima beban.
3. Waktu yang tersedia untuk perbaikan daya dukung tanah dasar.
Besar pemampatan yang akan terjadi akibat pembebanan sangat tergantung
pada besar beban yang akan diberikan dan perilaku pemampatan tanah.

2.4 Settlement Plate


Settlement Plate (SP) berfungsi untuk memantau deformasi vertikal
(penurunan) lapisan tanah lunak akibat beban timbunan diatasnya dan untuk
mengamati nilai perbedaan penurunan pada permukaan tanah. SP ini dipasang
pada lapisan tanah distabilisasi sebelum konstruksi timbunan dilaksanakan. Untuk
memantau perbedaan penurunan, maka settlement plate ditempatkan pada bagian
tengah dan kedua ujung timbunan.

20
Penurunan tanah tersebut masih mengalami penurunan yang artinya sudah
tidak mengalami penurunan lagi. Namun data SP bisa dikatakan belum begitu
valid dikarenakan proses pemancangan yang salah atau kondisi material yang
tidak bagus sehingga mudah rusak atau bisa juga disebabkan tidak berfungsinya
SP dengan baik akibat ditempatkan di tempat yang tidak mewakili lokasi yang
akan dianalisis. Settlement plate (SP) dipasang di sisi kanan dan di sisi kiri
timbunan dengan pembacaan alat dilakukan setiap dua hari, dimana perharinya
dilakukan setiap pagi dan sore hari.

2.5 Penurunan (Settlement)


Semua tanah yang mengalami tegangan akan mengalami regangan di dalam
kerangka tanah tersebut. Regangan ini disebabkan oleh penggulingan, pergeseran,
atau penggelinciran dan terkadang juga karena kehancuran partikel-partikel tanah
pada titik kontak serta distorsi elastis. Integrasi regangan (deformasi persatuan
panjang) sepanjang daerah yang dipengaruhi oleh tegangan disebut dengan
penurunan (Settlement). Metode penurunan seperti ini tidak dapat mengembalikan
tanah pada keadaan semula dikarenakan apabila tegangan ditiadakan, maka terjadi
pengurangan angka pori yang permanen sehingga akan terjadi regangan pada
tanah yang berbutir kasar dan yang berbutir halus yang kering. Bekerjanya
tegangan terhadap tanah yang berbutir halus akan menghasilkan tegangan yang
bergantung pada waktu yang disebut dengan penurunan konsolidasi.
cm
Kecepatan penurunan maksimum dibatasi 2 /tahun setelah selesainya masa
konstruksi. Batasan tersebut akan dijadikan acuan untuk melakukan evaluasi tanah
lunak dan menghasilkan solusi untuk memperbaiki akibat dari tanah lunak
tersebut.
Secara umum, penurunan (settlement) pada tanah yang disebabkan oleh
preloading terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
1. Penurunan Konsolidasi (consolidation Settlemnent), yang merupakan hasil
dari perubahan volume tanah jenuh air sebagai akibat dari konsolidasi.
Penurunan konsolidasi terbagi menjadi dua, yaitu penurunan konsolidasi
primer dan penurunan konsolidasi sekunder.

21
2. Penurunan Segera (immediate settlement), yaitu merupakan akibat dari
fenomena elastis tanah kering, basah, dan jenuh air tanpa adanya perubahan
kadar air.
3. Penurunan Sekunder (secondary consolidation), yaitu merupakan
pemampatan yang diakibatkan oleh adanya penyesuaian yang bersifat
plastis dari butir-butir tanah.
Bilamana suatu lapisan tanah lempung yang jenuh air yang mampu mampat
(compressible) diberi penambahan tegangan berupa timbunan (preloading)
diatasnya, maka penurunan (settlement) tanah tersebut akan terjadi dengan segera.
Koefisien rembesan lempung sangat kecil dibandingkan dengan koefisien
rembesan pasir sehingga penambahan tekanan air pori yang disebabkan
preloading akan berkurang secara lambat laun dalam waktu yang sangat lama.
Jadi untuk tanah lempung lembek, perubahan volume yang disebabkan oleh
keluarnya air dalam pori (konsolidasi) akan terjadi setelah penurunan segera.
Penurunan konsolidasi itu biasanya jauh lebih besar dan lebih lambat serta lama
jika dibandingkan dengan penurunan segera.
Dengan pengetahuan yang didapat dari analisis hasil uji konsolidasi
sekarang dapat dihitung penurunan yang disebabkan oleh konsolidasi primer
dilapangan dengan menganggap bahwa konsolidasi tersebut adalah satu dimensi.

2.6 Metode Observasi Asaoka untuk memprediksi Penurunan Tanah


Penurunan yang terjadi pada timbunan diukur berdasarkan jenis instrumen
yang dipasang pada lokasi tersebut seperti settlement gauge dan rod settlement.
Instrumen tersebut dimonitor dari waktu ke waktu sesuai dengan data penurunan
yang ingin didapatkan. Pendataan lapangan kemudian diinterpretasikan dengan
menggunakan metode observasi seperti metode Asaoka, metode Hiperbolik dan
metode Viskositas.
Metode Asaoka (1978) merupakan metode observasi untuk memprediksi
besarnya final settlement penurunan konsolidasi satu arah yang paling populer.
Karena selain dapat memprediksi penurunan akhir, dapat memungkinkan
diperolehnya parameter – parameter konsolidasi yang lebih akurat. Umumnya
analisis penurunan tanah memerlukan data lapangan dan data laboratorium.

22
Dengan menggunakan metode Asaoka, kebutuhan akan data – data tanah
tidak diperlukan dan hasil yang diperoleh cukup diandalkan. Metode observasi
Asaoka berdasarkan fakta bahwa penurunan konsolidasi satu dimensi terhadap
waktu dapat dituliskan dalam bentuk matematika sebagai berikut :
Sn = β 0 + ∑ βn Sn-1 ……………………………(Pers. 2.1)
Keterangan :
β0 = Jumlah penurunan
βn = Rasio dimensi
Untuk w = 1;
Maka menjadi,
Sn = β0 + βn Sn-1 ……………………………………(Pers. 2.2)
Persamaan dasar konsolidasi diturunkan menjadi persamaan diferensial
linier biasa oleh Asaoka (1978) untuk mendapatkan persamaan yang dapat
menentukan nilai penurunan pada interval waktu, seperti berikut yaitu :

ρj = − − ρ0 β1 ………………….(Pers. 2.3)

Dimana ρj adalah besarnya penurunan tanah pada waktu t = tj, dan koefisien
β0 dan βs (s = 1,2, .., n) adalah parameter yang tidak diketahui.
Pengukuran data penurunan tanah di lapangan dilakukan dengan
menggunakan instrumen settlement plate. Untuk memperoleh prediksi penurunan
akhir tanah, maka data – data penurunan harus dipilih, sehingga diperoleh nilai
penurunan ρ1, ρ2, ρ3, ….., ρn dengan interval waktu ∆t yang konstan seperti dilihat
pada Gambar 2.1. Kemudian nilai ρn (sumbu – y) dan nilai ρn-1 (sumbu – x) diplot
sehingga akan diperoleh titik – titik yang membentuk garis lurus. β0 adalah waktu
titik plot pertama dari regresi linear ρn dan ρn-1.

23
Gambar 2.14 Analisis Prediksi Penurunan Akhir Metode Asaoka (1978)
Sumber :
https://www.google.com/search?q=penurunan+timbunan+metode+asaoka&safe=strict
&rlz=1C1CHBF_enID872ID872&sxsrf=ACYBGNQxmhQAKzJxB20ZzUsNhcvFJyHX1A:15773
21414372&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwictuaUjNLmAhUJXisKHfXqAB8
Q_AUoAXoECAwQAw&biw=591&bih=562#imgrc=DHvyJjIbhx1KWM:

Gambar 2.15 Prosedur Analisis Data Monitoring Penurunan Dengan Interval


Waktu Yang Konstan Dengan Metode Asaoka (1978)
Sumber :
https://www.google.com/search?q=penurunan+timbunan+metode+asaoka&safe=strict
&rlz=1C1CHBF_enID872ID872&sxsrf=ACYBGNQxmhQAKzJxB20ZzUsNhcvFJyHX1A:15773
21414372&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwictuaUjNLmAhUJXisKHfXqAB8
Q_AUoAXoECAwQAw&biw=591&bih=562#imgrc=rK0gp4aSX45UFM:

24
Penurunan akhir (ρf) adalah titik pertemuan antara garis ρn = ρn-1 (bersudut
45°) dengan trendline dari garis ρn vs ρn-1 sebenarnya. Setelah diperoleh
penurunan akhir (ρf) maka dapat dicari β1 yang merupakan kemiringan dari garis
ρn vs ρn-1 sebenarnya, yang memberikan hubungan, seperti berikut:

β1= ……………………………..………….(Pers. 2.4)

25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Umum
Metodologi penelitian merupakan suatu sistem untuk memecahkan suatu
persoalan yang terdapat dalam suatu kegiatan penelitian. Metodologi penelitian
yaitu urutan – urutan pekerjaan yang harus dilakukan dalam suatu penelitian.
Sebelum menganalisa penurunan timbunan menggunakan preloading dan
PVD dengan metode asaoka berdasarkan hasil monitoring settlement plate pada
studi kasus, kita terlebih dahulu melakukan metode pengumpulan data.

3.2 Data Lapangan


Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh dari peneliti secara
tidak langsung melalui media perantara. Data sekunder pada umumnya berupa
bukti, catatan, atau laporan yang telah tersusun dalam arsip, baik yang
dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Data sekunder lebih meminimalkan
biaya dan waktu, mengklasifikan permasalahan, menciptakan tolak ukur untuk
mengevaluasi data primer, dan mengevaluasi kesenjangan – kesenjangan
informasi.
Jika informasi atau data telah ada, pengeluaran uang dan pengorbanan
waktu dapat dihindari dengan menggunakan data sekunder. Manfaat data
sekunder bahwa seorang peneliti mampu memperoleh informasi lain selain
informasi utama. Data sekunder yang terdapat dalam laporan studi kasus ini
adalah gambar rencana, spesifikasi, data timbunan, data PVD, data PHD serta data
pengujian laboratorium dan pengujian langsung di lapangan hasil monitoring
settlement plate.

3.3 Metode Pengumpulan Data


Untuk mengetahui data – data yang diperlukan, perlu adanya metode
pengumpulan data dengan beberapa tahapan yang diuraikan sebagai berikut :

26
1. Melakukan review studi kepustakaan seperti jurnal – jurnal terkait
penurunan timbunan menggunakan preloading dan PVD berdasarkan hasil
monitoring settlement plate.
2. Meninjau langsung ke lokasi proyek dan menentukan lokasi pengambilan
data yang akan diperlukan.
3. Pelaksanaan pengumpulan data – data dari pihak pelaksana (PT. Hutama
Karya). Data – data yang diperoleh, ialah data timbunan, data PVD dan data
PHD, data spesifikasi, data gambar rencana dan gambar lapangan dan data
hasil monitoring settlement plate.
4. Menganalisa menggunakan data – data untuk penurunan timbunan
menggunakan preloading dan PVD berdasarkan hasil monitoring settlement
plate dengan metode Asaoka dan membuat hasil pembahasan dan
kesimpulan.

27
3.4 Diagram Alir Penelitian
Dalam penelitian dan penulisan Studi Kasus ini perlu direncanakan dengan
diagram alir penelitian untuk memudahkan pelaksanaanya.

Mulai

Persiapan

Identifikasi Masalah

Pengumpulan Data

Pengumpulan data settlement plate,


data Timbunan, data PVD, data PHD,
gambar rencana

Membandingkan waktu untuk mencapai derajat


konsolidasi 90 %Pengolahan
dengan penurunan final dengan
dan Analisis Data
Metode Asaoka terhadap hasil monitoring
Settlement Plate

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

28
BAB IV
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

4.1 Pengumpulan Data


Data settlement plate yang didapatkan dari lapangan dianalisis untuk
mendapatkan hasil penurunan akhir dengan metode Asaoka. Dengan metode
Asaoka besarnya penurunan tanah aktual dapat diprediksi tanpa parameter –
parameter lain seperti data – data laboratorium.
Metode Asaoka (1978) merupakan metode observasi untuk konsolidasi satu
arah yang paling populer, karena selain dapat memprediksi penurunan akhir juga
dapat memungkinkan diperolehnya parameter – parameter konsolidasi yang lebih
akurat. Metode asaoka digunakan untuk menganalisis penurunan tanah akhir
(settlement final) secara grafis. Pengukuran dan pembacaan data penurunan tanah
lapangan dapat dilakukan dengan instrumen geoteknik settlement plate dipilih
dengan interval waktu ∆t yang konstan sehingga diperoleh nilai penurunan ρ1, ρ2,
ρ3, . . . ρn yang kemudian nilai tersebut di plot pada (sumbu y) dan perubahan
waktu 𝜌n-1 pada (sumbu x) sehingga diperoleh titik – titik yang membentuk garis
lurus. Penurunan akhir (ρf)adalah titik pertemuan antara garis ρn = ρn-1 dengan
sudut kemiringan 45° dengan trendline.

29
4.2 Lokasi Monitoring Settlement Plate

Gambar 4.1 Lokasi Monitoring Settlement Plate

30
4.2.1 Lokasi Proyek

Gambar 4.2 Potongan Jalan Akses PVD – PHD

Gambar 4.3 Lokasi Penelitian Boaring STA 1 +700

31
Gambar 4.4 Lokasi Penelitian Penurunan Timbunan Menggunakan preloading
dan PVD Berdasarkan Hasil Monitoring Settlement Plate dengan Metode Asaoka

4.3 Data Umum Proyek


Data umum pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera Tebing Tinggi –
Kisaran Tahap I Ruas Tebing Tinggi – I nderapura sepanjang 20,4 km terletak di
Kota Tebing Kabupaten Serdang Berdagai.
Informasi Umum
1. Nama Proyek : Pekerjaan Pembangunan (Design and Build) Jalan
Tol Tebing – Tinggi Kisaran (Tahap I) Ruas Tebing Tinggi – Inderapura (STA
86 + 250 s.d STA 106 + 650). Termasuk simpangan susun Tebing Tinggi.
2. Lokasi Proyek : Tebing Tinggi – Inderapura, Sumatera Utara
3. Pemberi Tugas / Owner : PT. Hutama Marga Waskita
4. Kontraktor Utama : PT. Hutama Karya (Persero)
5. Sub Kontraktor
a. Sarana Baja Perkasa (SBP)
Bagian Timbunan dan Tiang Pancang
b. Blacksteel Properties bagian Timbunan
c. Bahtera Agung bagian Timbunan
d. Anugerah Kencana Sakti bagian Timbunan
e. Graha Karya Perkasa bagian Struktur
f. PT. Geosistem bagian PVD
6. Konsultan Pengawas : Joint Operation
a. PT. Bina Karya
b. PT. Indra Karya

32
c. PT. Eskapindo Matra
7. Jenis Konstruksi : Jenis konstruksi yang digunakan adalah Konstruksi
Terintegrasi Rancang dan Bangun (Design and Build) dengan Lump Sum
Price.
8. Nilai Kontrak : Rp. 1.941.419.112.283
9. Waktu Pelaksanaan : 24 bulan
10. Waktu Pemeliharaan : 1096 hari

33
4.4 Data Teknis
4.3.1 Data Settlement Plate

Grafik 4.1 Data Hasil Settlement Plate

34
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pehitungan


Dalam hal prediksi besar penurunan total yang terjadi di lapangan, metode
Asaoka lebih baik digunakan dan hasil yang didapat lebih mendekati data
penurunan yang ada. Pada kondisi sebenarnya di lapangan, banyak hal yang tidak
dapat diduga dan faktor luar yang terjadi dapat mempengaruhi besar penurunan
total yang terjadi. Hal ini dikarenakan metode Asaoka dinilai lebih
merepresentasikan kondisi sebenarnya di lapangan karena berdasarkan data
lapangan yang ada.
Dari data pengamatan penurunan harian yang diperoleh untuk masing –
masing settlement plate SP-32 pada 1 + 675 dan SP-33 pada 1 + 725, dapat diplot
grafik antara penurunan pada waktu n (ρn) pada sumbu – y dan penurunan pada
waktu n – 1 (ρn-1) pada sumbu – x untuk masing – masing tahap timbunan.
Perpotongan trendline linier dari titik plot grafik dengan garis ρn = ρn-1 merupakan
penurunan akhir (ρf) untuk masing – masing tahap timbunan.

Gambar 5.1 Hasil Prediksi Penurunan Settlement Plate

Koefisien β1 dari hasil analisis dengan menggunakan metode Asaoka dapat


digunakan untuk mencari koefisien konsolidasi koreksi dengan menggunakan
Persamaan (x) menurut Hausmann. Dari koefisien konsolidasi dapat diperoleh
lamanya waktu untuk mencapai ±90% dimana penurunan tanah sudah dianggap
tidak bertambah lagi. Nilai β1 dan waktu untuk mencapai konsolidasi ±90% pada
tahap timbunan terakhir diberikan pada Gambar.

35
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
1. Dari hasil nilai penurunan (settlement) yang didapat pada grafik Asaoka
yaitu :
Kita perlu berhati – hati dalam menentukan data prealoading yang akan
dijadikan acuan dalam menghitung nilai penurunan (settlement) karena hasil yang
didapatkan akan berbeda.
2. Dari hasil perhitungan nilai penurunan (settlement), akan didapat waktu
yang diperlukan untuk mencapai derajat konsolidasi (U) 90%. Nilai penurunan
(settlement) yang sesuai dengan pembacaan terakhir dilapangan dan dicocokkan
dengan jumlah hari pada pembacaab settlement plate. Jika semua data yang ada
digunakan ada kemungkinan penurunan (settlement) yang terjadi dilapangan lebih
kecil jika dibandingkan dengan kondisi hasil prediksi metode Asaoka.

6.2 Saran
Dalam menganalisis nilai penurunan, perlu diperhatikan dalam pengambilan
nilai dari penurunan total (total settlement) agar hasil penurunan yang didapatkan
tidak lebih kecil dan sesuai kondisi aktual lapangan.
Perlu dikaji kembali (studi lanjutan) untuk mengetahui penurunan dengan
menggunakan preloading dan PVD dalam meningkatkan daya dukung tanah, kuat
geser lapisan tanah yang lebih besar dan mempercepat waktu konsolidasi.

36

Anda mungkin juga menyukai