Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL PENELITIAN

OPTIMALISASI PEMBUATAN KITOSAN DARI KITIN CANGKANG


BEKICOT (Achatina fulica) SEBAGAI ADSORBEN LOGAM MERKURI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Metopel

Oleh :

Nama : Purwanto H Manurung

NIM : 408231037

Program Studi : Kimia

Jurusan : Kimia

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2011
ii

DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Daftar Isi ii
Daftar Tabel iii
Daftar Gambar iv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Identifikasi Masalah 2
1.3. Pembatasan Masalah 3
1.4. Perumusan Masalah 3
1.5. Tujuan Penelitian 3
1.6. Manfaat Penelitian 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1. Bekicot 5
2.2. Kitin 6
2.2.1. Sifat-sifat Kimia Kitin 7
2.2.2. Kegunaan Kitin 9
2.3. Kitosan 10
2.4. Penentuan Derajat Deastilasi 11
2.5. Adsorbsi 12
2.5.1. Adsorbsi Fisika 12
2.5.2. Adsorbsi Kimia 12
2.6. Air Raksa (Merkuri) 14
BAB III METODE PENELITIAN 16
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 16
3.2. Alat dan Bahan 16
3.2.1. Alat 16
3.2.2. Bahan 16
3.3. Rancangan Penelitian 16
3.4. Prosedur Penelitian 16

ii
3.4.1. Pembuatan Larutan 16
3.4.2. Pembuatan Asorben Khitosan dari Cangkang Bekicot 17
3.4.3. Uji Derajat Deastilasi 18
3.4.4. Tahap Uji Adsorbsi 18
Diagram Alir 19
DAFTAR PUSTAKA 22
iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.2. Kandungan Kitin Pada Berbagai Jenis Hewan dan Jamur 7
Tabel 2.2.1. Spesifikasi Kitin Niaga 8
Tabel 2.3. Standar Mutu Kitosan 11

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bekicot 4


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Air raksa atau merkuri termasuk salah satu logam berat, dengan berat
molekul tinggi. Dalam kadar rendah, logam berat ini umumnya sudah beracun
bagi tumbuhan dan hewan, termasuk manusia. Beberapa logam berat lainnya
adalah magnesium (Mg), timbal (Pb), tembaga (Cu), kromium (Cr), dan besi (Fe).
Air raksa (Hg) diperlukan untuk pertumbuhan kehidupan biologis, tetapi dalam
jumlah berlebihan akan bersifat racun. Oleh karena itu, keberadaan logam berat
perlu mendapat pengawasan, terutama dari segi jumlah kandungannya di dalam
air. Air raksa dalam kondisi temperatur kamar berbentuk zat cair, bila terjadi
kontak dengan logam emas akan membentuk larutan padat. Larutan padat biasa
disebut amalgam, yaitu merupakan paduan antara air raksa dengan beberapa
logam (emas, perak, tembaga, timah, dan seng) (Noviardi,dkk. 2007).

Logam merkuri atau air raksa mempunyai nama kimia hydragyrum yang
berarti perak cair. Logam merkuri dilambangkan dengan Hg. Merkuri merupakan
salah satu unsur logam transisi dengan golongan IIB dan memiliki nomer atom
80, memiliki bobot atom 200,59 adalah satu-satunya logam yang berbentuk cair.
Merkuri merupakan elemen alami oleh karena itu sering mencemari lingkungan.
Kebanyakan merkuri yang ditemukan dialam terdapat dalam gabungan dengan
elemen lainnya dan jarang ditemukan dalam bentuk elemen terpisah. Merkuri dan
komponen-komponen merkuri banyak digunakan oleh manusia untuk berbagai
keperluan.

Kitin merupakan salah satu sumber alam polisakarida yang terbesar


jumlahnya setelah selulosa. Kitin adalah suatu polimer anhidro N-asetil- D-
glukosamin, mempunyai massa molekul relatif besar yaitu sekitar 1,2.10 6
gram/mol. Kitin mempunyai rumus kimia (C8H13NO5)n dengan struktur [β-(1→4)-
2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa] didapat dari isolasi kulit dan kepala hewan
berkulit keras (Crustacea), serangga dan jamur dengan cara deproteinasi dan
demineralisasi (Mekawati,dkk. 2000).
2

Kitosan merupakan turunan dari kitin dengan struktur [β-(1→4)-2-amina


-2-deoksi-D-glukosa] merupakan hasil dari deasetilasi dari kitin. Kitosan adalah
hasil deasetilasi kitin, merupakan suatu polimer yang bersifat polikationik.
Keberadaan gugus hidroksil dan amino sepanjang rantai polimer mengakibatkan
kitosan sangat efektif mengadsorpsi kation ion logam berat maupun kation dari
zat-zat organik (protein dan lemak). Interaksi kation logam dengan kitosan adalah
melalui pembentukan kelat koordinasi oleh atom N gugus amino dan O gugus
hidroksil). Hal ini yang menyebabkan kitosan lebih banyak manfaatnya
dibandingkan dengan kitin (Tao Lee, et al., 2001).

Salah satu sumber kitin adalah cangkang bekicot. Bekicot merupakan


hewan lunak (mollusca) dari kelas gastropoda. Bekicot menurut jenisnya dapat
dibedakan menjadi empat yakni; Achatina variegata, Achatina fullica, Helix
pomatia dan Helix aspersa sedangkan dua jenis terakhir tidak ditemukan di
Indonesia. Bekicot di Indonesia telah dibudidayakan sebagai sumber protein dan
menjadi komoditas ekspor. Selama ini pemanfaatan cangkang bekicot hanya
digunakan sebagai campuran makanan ternak. Cangkang bekicot mengandung
senyawa kitin. Kitin dalam cangkang berikatan dengan protein, lipid, garam-
garam anorganik seperti kalsium karbonat serta pigmen-pigmen. Agar diperoleh
produk yang bernilai ekonomis sekaligus dapat mengatasi penumpukan limbah
cangkang bekicot maka harus dilakukan isolasi kitin yang terdapat pada cangkang
bekicot. Cangkang bekicot mengandung zat kitin sekitar 70% - 80% sedangkan
dalam udang terdapat kitin sebanyak 15% - 20% dan rajungan 20% - 30% yang
apabila mengalami proses lebih lanjut akan menghasilkan chitosan yang dijadikan
sebagai bahan adsorben untuk penyerapan logam berat (Srijanto, 2003).

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan yang menjadi identifikasi


masalah dalam penelitian ini adalah pembuatan kitosan dari kitin limbah
cangkang bekicot sebagai adsorben logam berat merkuri (Hg).
3

1.3. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, permasalahan yang dibatasi adalah pengaruh pH


adsorpsi dari kitosan terhadap penurunan jumlah ion merkuri (%).

1.4. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang diketahui, maka penelitian dapat


diperoleh rumusan masalahnya yaitu Apakah ada pengaruh pH adsorbsi kitosan
dari kitin cangkang bekicot terhadap penurunan jumlah ion merkutri (%).

1.5. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menegetahui pengaruh pH


adsorbsi kitosan dari kitin cangkang bekicot terhadap penurunan jumlah ion
merkuri (%).

1.6. Manfaat Penelitian

1. Memberi kontribusi dalam hal pengolahan cangkang bekicot sebagai


adsorben logam merkuri sehingga bermanfaat untuk industri yang
membutuhkannya.

2. Memberi ilmu pengetahuan bahwa cangkang bekicot dapat digunakan


untuk penyerapan logam merkuri.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bekicot

Gambar 2.1. Bekicot


Klasifikasi Ilmiah Bekicot :

Phylum : Mollusca

Class : Gastropoda

Ordo : Pulmonata

Subordo : Stylommotophora

Famili : Achatinidae

Genus : Achatina

Species : Achatina fulica (Jasin, 1989)

Bekicot (Achatina fulica) adalah nama umum untuk hampir semua


anggota molluscan kelas Gastropoda yang digulung kerang dalam tahap dewasa.
Ketika kata tersebut digunakan dalam pengertian umum, termasuk siput laut ,
siput tanah dan siput air tawar . Jika tidak seperti makhluk bekicot yang tidak
5

memiliki shell (atau hanya memiliki kecil yang sangat) disebut siput (Berthold,
1991).

Bekicot (Achatina fulica) hewan ini memiliki ciri khas berkaki lebar dan
pipih pada bagian ventral tubuhnya. Gastropoda bergerak lambat menggunakan
kakinya. Gastropoda darat terdiri dari sepasang tentakel panjang dan sepasang
tentakel pendek. Ujung tentakel panjang terdapat mata yang berfungsi untuk
mengetahui gelap dan terang. Sedangkan pada tentakel pendek berfungsi sebagai
alat peraba dan pembau. Gastropoda akuatik bernapas dengan insang, sedangkan
Gastropoda darat bernapas menggunakan rongga mantel. Bagian-bagian
morfologi gastropoda dapat meliputi tentakel dorsal, mata, kepala, tentakel, kaki
perut, sutura, apex dan ada yang mempunyai garis pertumbuhan pada
cangkangnya (Berthold, 1991).

Cangkang bekicot (Achatina fulica) mengandung zat kitin sekitar 70% -


80% sedangkan dalam udang terdapat kitin sebanyak 15% - 20% dan rajungan
20% - 30% yang apabila mengalami proses lebih lanjut akan menghasilkan
khitosan yang dijadikan sebagai bahan adsorben logam-logam berat salah satunya
logam merkuri (Srijanto, 2003). Khitin yang terkandung dalam cangkang bekicot
tersebut dapat diproses lebih lanjut menghasilkan khitosan yang mempunyai
banyak manfaat di bidang industri. Khitosan merupakan biopolimer yang banyak
digunakan di berbagai industri kimia, antara lain dipakai sebagai koagulan dalam
pengolahan limbah air, bahan pelembab, pelapis benih yang akan ditanam,
adsorben ion logam, anti kanker /anti tumor, anti kolesterol, komponen tambahan
pakan ternak, sebagai lensa kontak, pelarut lemak, dan pengawet makanan
(Mekawati,dkk. 2000).

2.2. Kitin

Kitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama
kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang
dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 Odins mengisolasi suatu senyawa kutikula
serangga Janis ekstra yang disebut dengan nama khitin. Kitin merupakan
6

konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda,


annelida, molusca, corlengterfa, dan nematoda. Kitin biasanya berkonyugasi
dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi
juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada
cumi-cumi. Adanya khitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink.
Pada cara ini khitin direaksikan dengan I2-KI yang memberikan warna coklat,
kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet.
Perubahan warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukan reaksi positif
adanya kitin (Windholz, 1983).

Kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin


yang saling berikatan dengan ikatan β(1→4). Khitin adalah kristal amorphous
berwarna putih, tidak berasa, tidak berbau, dan tidak dapat larut dalam air, pelarut
organik umumnya, asam-asam anorganik dan basa encer. Sumber khitin yang
sangat potensial adalah kerangka luar crustacea (seperti udang, kepiting,
rajungan, dan lobster), serangga, dinding yeast dan jamur, serta mollusca
(Mekawati dkk., 2000). Di alam, khitin merupakan senyawa yang tidak berdiri
sendiri tetapi bergabung dengan senyawa lain. Pada crustacea, khitin bergabung
dengan protein, garam anorganik (CaCO3), dan pigmen (Suhardi, 1992).

Kitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul


tinggi dan merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2-
asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin). Struktur khitin sama
dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan
ikatan glikosida pada posisi β-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus
hidroksil yang terikat pada atom karbon yang kedua pada khitin diganti oleh
gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga kitin menjadi sebuah polimer berunit N-
asetilglukosamin (Mekawati,dkk. 2000).

Kitin merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut
dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut
organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Khitin kurang
larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang
7

terdeasetilasi sedikit. Lihat tabel 2.2 Untuk mengetahui kandungan kitin pada
berbagai jenis hewan dan jamur.

Tabel 2.2. Kandungan Kitin Pada Berbagai Jenis Hewan dan Jamur
No Jenis Organisme Kandungan Khitin
1 Crustaceae:
a. Kepiting 70%
b. Lobster 60,5%
2 Molusca :
a. Kulit remis 70%
b. Kulit tiram 43%
3 Serangga:
a. Kecoa 18,4%
b. Lebah 27%
c. Ulat sutra 44%
4 Jamur
a. Aspergillus niger 42,0 %
b. Penicillium Chrysogenium
20,1 %
c. Saccharomyceae Cereviciae
2,9 %
d. Lactarius Vellereus
19,0 %
(Windholz, 1983).
2.2.1. Sifat Fisik-Kimia Kitin

Kitin merupakan padatan yang berbentuk amorf, tidak larut dalan air, asam
encer, alkali pekat maupun encer, alkohol dan pelarut-pelarut organik lainnya.
Tetapi kitin dapat larut dalam HCl,H2SO4 pekat, dan H3PO4. Untuk melarutkan
kitin tidak mudah, sehingga perlu disesuaikan konsentrasi pelarut yang sesuai
untuk melarutkan kitin. (Windholz, 1983).

Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan bahkan mudah terurai
secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang
berwarna putih dengan kalor spesifik 0,373±0,03 kal/g/ C. Dan derajat rotasi
0

spesifik [α] 18+220C pada konsentrasi asam metanasulfonat 1,0%. Kitin hampir
D

tidak larut dalam air, asam encer dan basa, tetapi larut dalam asam format, asam
8

metasulfonat, N,N-dimetilasetamida yang mengandung 5% litium klorida,


heksafluoroisopropil alkohol, heksafluoroaseton dan campuran 1,2-dikloroetana-
asam trikloroasetat dengan nisbah 35:65 (%[v/v]). (Hiroaki, 1999).

Sifat fisika dan kimia kitin diatas telah dijadikan bagian dalam spesifikasi
kitin niaga (Tabel 2.2.1).

Tabel 2.2.1. Spesifikasi Kitin Niaga

Parameter Ciri-ciri

Kadar air (%) ≤ 10,0

Kadar abu (%) ≤ 2,0

N-deasetilasi (%) ≥ 15,0

Kelarutan dalam:

a. air Tidak larut

b. asam encer Tidak larut

c. pelarut organik Tidak larut

d. LiCL2/dimetilasetamid Sebagian larut

Enzim pemecah Lisozim dan kitinase

(Muzzarelli, 1985).

Kitin mempunyai reaktivitas kimia yang lebih rendah dibandingkan


dengan selulosa dan kitosan sehingga dalam pemanfaatannya kitin biasanya
terlebih dahuludilakukan modifikasi kimia seperti deasetilasi, asilasi,
karboksimetilasi, sulfasi danlain-lain. Modifikasi yang sering dilakukan adalah
deasetilasi yang dapat dilakukandengan cara kimiawi maupun enzimatik. Proses
deasetilasi secara kimiawi digunakan dengan menggunakan basa misalnya NaOH,
yang dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasitilasi yang tinggi, yaitu
mencapai 85-93%. (Windholz, 1983).

2.2.2. Kegunaan Kitin

Adapun kegunaan kitin antara lain :


9

1. Bidang Kedokteran

Kitin dan kitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan


Staphylacoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna
sebagaiantikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal
sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis,
bahan shampoo dan kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil
liposom, bahan ortopedik, pembalut, luka dan benang bedah yang mudah
diserap, serta mempertinggi daya kekebalan dan anti infeksi.

2. Bidang Industri

Aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang industri,
kitin, dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan poli elektrolit
pengolahan limba hcair, pengikat dan penyerap ion logam,
mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak, tanin, PCB
(Poliklorinasi Bifenil). Mineral dan asam organik, mediakromatografi
afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik,
pembentuk film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas
kertas, pulp ,dan produksi tekstil.

3. Bidang Pertanian

Sementara di bidang pertanian dan pangan, kitin dan kitosan digunakan


antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, antimikrob, antijamur,
serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur,
pengental dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif
makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan
deasifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah. Fungsinya
sebagai antimikrob dan antijamur juga diterapkan di bidang kedokteran.
(Muzzarelli, 1985).

2.3. Kitosan
10

Kitosan adalah suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari


proses deasetilasi khitin dengan menggunakan alkali kuat. Kitosan bersifat
sebagai polimer kationik yang tidak larut dalam air, dan larutan alkali dengan pH
di atas 6,5. Kitosan mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat, asam
asetat, dan asam sitrat (Mekawati,dkk. 2000). Secara umum proses pembuatan
khitosan meliputi 3 tahap, yaitu deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi.
Proses deproteinasi bertujuan mengurangi kadar protein dengan menggunakan
larutan alkali encer dan pemanasan yang cukup. Proses demineralisasi
dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3) dengan menggunakan
asam konsentrasi rendah untuk mendapatkan khitin, sedangkan proses deasetilasi
bertujuan menghilangkan gugus asetil dari kitin melalui pemanasan dalam larutan
alkali kuat dengan konsentrasi tinggi (Yunizal, 2001).

Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan


menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul kitin. Gugus
amida pada kitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif
sehingga membentuk gugus amina bebas -NH2. Dengan adanya gugus ini khitosan
dapat mengadsorpsi ion logam dengan membentuk senyawa kompleks (khelat)
(Mekawati,dkk. 2000)

Reaksi pembentukan kompleks (khelat) merupakan reaksi asam-basa


Lewis, dengan asam Lewis adalah penerima elektron, dan basa Lewis adalah
penyumbang elektron. Pada pembentukan kompleks khitosan-ion logam, ligan
-NH2 bertindak sebagai basa Lewis yang menyumbangkan sepasang elektron ke
ion logam (asamnya) membentuk ikatan kovalen koordinasi (Underwood, 2001).

Khitosan dapat membentuk kompleks (khelat) dengan ion logam berat dan
ion logam transisi terutama Cu2+, Ni2+, dan Hg2+, tetapi tidak dengan ion logam
alkali dan alkali tanah. Pada proses pengikatan logam tersebut, pengaturan pH
larutan perlu dilakukan (Mekawati,dkk. 2000). Lihatlah pada tabel 2.3. standar
mutu kitosan.

Tabel 2.3. Standar Mutu Kitosan

Parameter Nilai
11

Ukuran Partikel Serpihan sampai bubuk

Kadar abu < 10 %

Warna larutan < 2%

Warna larutan Jernih

Derajat deasetilasi > 70 %

Viskositas (cps)

a. Rendah < 200

b. Medium 200 - 799

c. Tinggi 800 - 2000

d. Ekstra tinggi > 2000

(Windholz, 1983).

2.4. Penentuan Derajat Deasetilasi

Derajat desetilasi dapat diukur dengan berbagai metode dan yang paling
lazim digunakan adalah metode garis dasar spektroskopi IR transformasi Fourier
(FTIR) yang pertama kali diajukan oleh Moore dan Robert pada tahun 1977.
Teknik ini memberikan beberapa keuntungan, yaitu relatif cepat, contoh tidak
perlu murni, dantingkat ketelitian tinggi dengan kisaran derajat deasetilasi contoh
yang luas, dibandingkan dengan teknik tritimetri dan metode spektoskopi lainnya.
Nilai yang digunakan untuk menghitung derajat deasetilasi sangat bergantung
pada nisbah pitaserapan yang digunakan untuk menghitungnya. Tiga nisbah yang
diajukan ialahA1655/A2867, A1550/A2878, dan A1655/A3450. Dua nisbah
pertama memberikan keakuratan pada % N asetilasi rendah, sedangkan
A1655/A3450 lebih akurat pada % N deasetilasi tinggi. % DD kitin dan kitosan
dapat dihitung sebagai berikut:

DD = 100 – [(A1655/A3450) x 115]


12

2.5. Adsorbsi

Adsorbsi adalah proses pemisahan dimana komponen tertentu dari fasa


fluida berpindah dari permukaan zat padat yang menyerap (adsorben). Pada
dasarnya peristiwa adsorbsi adalah peristiwa netralisasi yaitu suatu proses untuk
memisahkan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga
membentuk sabun (Ketaren, 1986)

Untuk mendapatkan adsorben yang baik dilakukan suatu perlakuan untuk


memperbesar luas permukaan yaitu dengan cara memecah ikatan hidrokarbon
atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga adsorben mengalami
perubahan sifat, baik sifat fisika maupun kimia dan berpengaruh terhadap daya
adsorbsi.

2.5.1. Adsorbsi Fisika

Pada adsorbsi fisika proses penyerapan dapat bersifat balik dan dilepaskan
kembali ke dalam pelarut. Adsorbsi dapat terjadi pada semua zat dan secara umum
dapat berlangsung pada suhu rendah sampai sedang.

2.5.2. Adsorbsi Kimia

Pada adsorbsi kimia molekul-molekul yang terabsorbsi pada permukaan


adsorben terikat dengan melibatkan pemutusan dan pembentukan ikatan rangkap.
Adsorbsi kimia bersifat tidak dapat balik dan memerlukan energi lebih besar
untuk melepas adsorbat dari permukaan adsorben. Jumlah zat teradsorbsi akan
semakin besar dengan naiknya suhu.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap adsorbsi antara lain :

1. Sifat Adsorben.

Adsorben adalah suatu padatan berpori yang sebagian besar terdiri dari
unsur karbon bebas dan masing-masing berikatan secara kovalen,
sehingga faktor penting yang berhubungan dengan luas permukaan,
13

dimana semakin kecil pori-pori arang aktif akan mengakibatkan luas


permukaan semakin besar sehingga kecepatan adsorbsi bertambah.

2. Perlakuan Serapan

Banyak senyawa yang dapat diadsorbsi oleh adsorben, tetapi


kemampuannya untuk mengadsorbsi berbeda-beda. Adsorben akan
bertambah besar sesuai dengan bertambahnya ukuran molekul-molekul
serapan dari struktur yang sama.

3. Suhu

Selama suhu bertambah, penyerapan dari suatu larutan akan berkurang.


Untuk senyawa volatil, adsorbsi dilakukan pada suhu kamar atau bila
mungkin pada suhu yang lebih rendah.

4. Derajat Keasaman (pH)

Untuk asam organik, adsorbsi akan meningkat bila pH diturunkan yaitu


dengan penambahan asam mineral. Ini disebabkan karena kemampuan
asam mineral untuk mengurangi ionisasi asam organik. Sebaliknya bila
pH asam dinaikkan dengan penambahan alkali, adsorbsi akan berkurang
sebagai akibat terbentuknya garam.

5. Waktu Singgung

Bila arang aktif ditambahkan ke dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu


untuk mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuh berbanding terbalik
dengan jumlah adsorben yang digunakan. Pengadukan yang dilakukan yaitu
untuk memberi waktu pada partikel adsorben untuk bersinggungan dengan
senyawa serapan (Sembiring, 2003) .

2.6. Air Raksa (Merkuri)

Air raksa atau termasuk salah satu logam berat, dengan berat molekul
tinggi. Dalam kadar rendah, logam berat ini umumnya sudah beracun bagi
tumbuhan dan hewan, termasuk manusia. Beberapa logam berat lainnya adalah
magnesium (Mg), timbal (Pb), tembaga (Cu), kromium (Cr), dan besi (Fe). Air
14

raksa (Hg) diperlukan untuk pertumbuhan kehidupan biologis, tetapi dalam


jumlah berlebihan akan bersifat racun. Oleh karena itu, keberadaan logam berat
perlu mendapat pengawasan, terutama dari segi jumlah kandungannya di dalam
air Air raksa dalam kondisi temperatur kamar berbentuk zat cair, bila terjadi
kontak dengan logam emas akan membentuk larutan padat. Larutan padat biasa
disebut amalgam, yaitu merupakan paduan antara air raksa dengan beberapa
logam (emas, perak, tembaga, timah, dan seng). Dalam rangka upaya
meminimumkan timbulnya dampak pencemaran lingkunganakibat pengolahan
bijih emas metode amalgamasi, telah dilakukan pemantauan pencemaran air raksa
(Hg) pada wilayah pertambangan rakyat dan pengolahan bijih emas
(Noviardi,dkk. 2007).

Logam merkuri atau air raksa mempunyai nama kimia hydragyrum yang
berarti perak cair. Logam merkuri dilambangkan dengan Hg. Merkuri merupakan
salah satu unsur logam transisi dengan golongan IIB dan memiliki nomer atom
80, memiliki bobot atom 200,59 adalah satu-satunya logam yang berbentuk cair.
Merkuri merupakan elemen alami oleh karena itu sering mencemari lingkungan.
Kebanyakan merkuri yang ditemukan dialam terdapat dalam gabungan dengan
elemen lainnya dan jarang ditemukan dalam bentuk elemen terpisah. Merkuri dan
komponen-komponen merkuri banyak digunakan oleh manusia untuk berbagai
keperluan. Sifat-sifat kimia dan fisik merkuri membuat logam tersebut banyak

digunakan untuk keperluan ilmiah dan industri. Beberapa sifat tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair pada

suhu kamar 250C dan mempunyai titik beku terendah dari semua

logam yaitu -390C.

2. Banyak logam yang larut dalam merkuri membentuk komponen

yang disebut amalgam (alloy).

3. Sifat kimia yang stabil terutama di lingkungan sedimen.


15

4. Mempunyai sifat yang mengikat protein, sehingga mudah terjadi


biokonsentrasi pada tubuh organisme air melalui rantai makanan.

5. Mudah menguap dan mudah mengemisi atau melepaskan uap merkuri


beracun walaupun pada suhu ruang.

6. Pada fase padat bewarna abu-abu dan pada fase cair berwarna putih perak.

7. Uap merkuri diatmosfer dapat bertahan selama 3 bulan sampai 3 tahun,


sedangkan bentuk yang melarut dalam air hanya bertahan beberapa
minggu (Nicodemus, 2003).

Merkuri Merkuri (Hg) dilepaskan sebagai uap, yang kemudian mengalami


proses kondensasi, sedangkan gas-gas lainnya mungkin terlepas di atmosfer.
Adapun bentuk merkuri antara lain:

1. Merkuri anorganik, termasuk logam merkuri (Hg +) dan garam-garamnya

seperti merkuri klorida (HgCl2) dan merkuri oksida (HgO).

2. Merkuri organik atau organomerkuri, terdiri dari : pertama aril merkuri


yang mengandung hidrokarbon aromatik seperti fenil merkuri asetat.
Kedua alkil merkuri yang mengandung hidrokarbon alifatik dan
merupakan merkuri yang paling beracun seperti metil merkuri, etil
merkuri. Ketiga, alkosi alkil merkuri (R-O-Hg) (Sunu, 2001).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
16

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan direcanakan di Labortorium Kimia FMIPA UNIMED


Medan, Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Sumatera Utara.
Pelaksanaannya direncanakan berlangsung selama bulan Maret-Mei 2011.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, mortal, cawan
porselin, ayakan ukuran 100 mesh, beaker glass, kaca arloji, erlenmeyer,
timbangan, AAS, FTIR, termometer, penangas, beaker gelas, pH meter, lumpang
dan alu, corong buchner, kertas Whatman, dan pengaduk, pengaduk stirer.

3.2.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkang


bekicot, NaOH 2,0 N, NaOH 50 %, HCl 1,5N, HgCl2.

3.3. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental di laboratorium dan


dirancang dengan rancangan acak lengkap (RAL) factorial dengan 3 kali ulangan.
Untuk menentukan hubungan antara pH adsorbsi dengan persentase penurunan
ion merkuri dilakukan dengan cara Analisis Regresi.

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Pembuatan Larutan

a. Larutan NaOH 2,0 N


Sebanyak 8 gram NaOH padat dilarutkan dengan aquades dalam labu ukur
1000 mL hingga tanda batas dan aduk hingga homogen.
17

b. Larutan NaOH 50%


Sebanyak 5 gram NaOH padat dilarutkan dengan aquades dalam labu ukur
100 mL hingga tanda batas dan diaduk hingga homogen.

c. Larutan HCl 1,5 N


123,4 mL (HCL 37%, bj 1,19 gr/ml) diencerkan dengan aquades dalam
labu ukur 1000 mL hingga tanda batas dan aduk hingga homogen.
3.4.2. Pembuatan Asorben Kitosan dari Cangkang Bekicot

Penelitian ini secara garis besar terdiri atas dua tahap, yaitu isolasi khitin
dari limbah cangkang bekicot, deasetilasi khitin menjadi khitosan.

1) Tahap Isolasi Kitin

a. Limbah cangkang bekicot setelah dicuci, dikeringkan, digerinding dan


ditapis dengan ayakan ukuran 100 mesh.
b. Cangkang bekicot dideproteinasi menggunakan larutan NaOH 2,0 N
dengan perbandingan 1 : 6 (b/v) sambil diaduk dan dipanaskan pada
suhu 80 oC selama 1 jam.
c. Setelah dipisahkan dari larutannya, cangkang dicuci dengan air hingga
netral. Kemudian dikeringkan pada suhu 70 - 80°C selama 24 jam
dalam oven.
d. Padatan kering hasil deproteinasi selanjutnya didemineralisasi dengan
menggunakan larutan HCl 1,5 N (perbandingan 1:12 b/v) dan diaduk
pada suhu kamar selama 1 jam. Setelah disaring, padatan dicuci
dengan air hingga netral kemudian dikeringkan pada suhu 70 - 80°C
selama 24 jam dalam oven untuk mendapatkan kitin kering (Rahayu
dan Purnavita, 2004).

2) Tahap Deasetilasi Kitin Menjadi Kitosan

a. Proses deasetilasi dilakukan dengan merebus kitin dalam larutan


NaOH 50 % dengan perbandingan 1 : 20 (b/v) pada suhu dan 100 oC ,
masing-masing dengan waktu perebusan 120 menit.
18

b. Padatan kemudian dipisahkan dengan cairan, selanjutnya dicuci


dengan aquadest hingga netral. Setelah itu padatan dikeringkan pada
suhu 70-80oC dalam oven selama 24 jam.
c. Produk yang diperoleh dari proses ini dinamakan kitosan

3.4.3. Uji Derajat Deastilasi


Dalam penelitian ini, perhitungan derajat deasetilasi (DD) dilakukan untuk
mengetahui spesifikasi kitosan dengan base line metode Sabnis dan Block
berdasarkan hasil analisis FTIR menggunakan persamaan di bawah ini (Khan et
al., 2002):

DD = 100 – [(A1655/A3450) x 115]


dengan :
Nilai A(Absorbansi) = log (Po/P)
A1655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1655 cm-1 untuk
serapan gugus amida/asetamida (CH3CONH-)
A3450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3450 cm-1 untuk
serapan gugus hidroksi (-OH)

3.4.4. Tahap Uji Adsorbsi


Serbuk kitosan sebanyak 2 g ditambahkan pada 100 ml larutan HgCl 2 0,1
M, dan diatur keasamannya dengan HCl hingga mencapai pH= 2. Campuran
diaduk dengan kecepatan 100 rpm selama 1 jam, lalu disaring. Filtrat yang
dihasilkan diukur kadar ion merkurinya dan dihitung % penurunannya.
Pengukuran kadar merkuri dalam larutan sebelum dan setelah adsorbsi
menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS) Method. Percobaan
diulangi lagi dengan pH 3, 4, 5, dan 6.

Diagram Alir Penelitian :


A. Pembuatan Adsorben Kitosan dari Cangkang Bekicot
1. Tahap Isolasi Kitin

Cangkang Bekicot
19

- Dicuci, dikeringkan, digerinding dan


ditapis dengan ayakan ukuran 100 mesh.

Cangkang Bekicot Halus

- Dideproteinasi menggunakan larutan


NaOH 2,0 N dengan perbandingan 1 : 6
(b/v) sambil diaduk
- Dipanaskan pada suhu 80 oC selama 1
jam.
- Dipisahkan dari larutannya, cangkang
dicuci dengan air hingga netral.
- Kemudian dikeringkan pada suhu 70 -
80°C selama 24 jam dalam oven.
Padatan Kering Hasil Deproteinasi

- Didemineralisasi dengan menggunakan


larutan HCl 1,5 N (perbandingan 1:12
b/v) dan diaduk pada suhu kamar selama
1 jam.

- Setelah disaring, padatan dicuci dengan


air hingga netral kemudian dikeringkan
pada suhu 70 - 80°C selama 24 jam
dalam oven untuk mendapatkan kitin
kering

Kitin

2. Tahap Deasetilasi Kitin Menjadi Kitosan

Kitin
20

- Direbus kitin dalam larutan NaOH 50 %


dengan perbandingan 1 : 20 (b/v) pada
suhu 100oC , dengan waktu perebusan
120 menit.

Padatan Basah

- Dipisahkan dengan cairan,

- Dicuci dengan aquadest hingga netral.

- Dikeringkan pada suhu 70-80oC dalam


oven selama 24 jam.

Kitosan

3. Uji Derajat Deastilasi

Kitosan

- Uji derajat deasetilasi (DD) kitosan


dengan base line metode Sabnis dan
Block berdasarkan analisis FTIR

Kitosan Hasil Uji Derajat Deastilasi

4. Uji Adsorbsi

Kitosan
- Ditambahkan pada 100 ml larutan HgCl2
0,1 M, dan diatur keasamannya dengan
21

HCl hingga mencapai pH= 2. (Variasi


pH= 3, 4, 5, dan 6)

- Campuran diaduk dengan kecepatan 100


rpm selama 1 jam.

- Disaring.

Filtrat Residu

- Uji Analisa Dengan AAS

Hasil Analisa

DAFTAR PUSTAKA

Berthold, T. (1991), Vergleichende anatomie, phylogenie and historische


biogeography der Ampullariidae (Mollusca: Gastropoda), Abhand
Naturwiss Vereins Hambrug (NF), 29: 1-256.
22

Hiroaki M, Hisayoshi I, et al, (1999), Adsorption behavior of cobalt(II) on


chitosan and its determination by tungsten metal furnace atomic absorption
spectrometry, Analytica Chemica Acta, Volume 378, Issues 1-3, pages
279-285
Ketaren, S., (1986), Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, Universitas
Indonesia, Jakarta.
Jasin, M., (1989), Sistematik Hewan (Invertebrata dan Vertebrata), Sinar Wijaya,
Surabaya.
Khan, T.A., Peh, K.K., and Ching, H.S., (2002), “Reporting Degree of
Deacetylation values of Chitosan”, J. Pharm Pharmaceut Sci. Vol. 5(3),
pp 205-212
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D., (2000), “Aplikasi Kitosan Hasil
tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi
Ion Logam Timbal”, Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip,
Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54
Muzzarelli, R.A.A, (1985), “Chitin”, Pergamon Press, New York.
Nicodemus, Moses., (2003). Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan Emas
Tanpa Izin, Bina Cipta, Jakarta.
Noviardi R., Widodo, dan Astuti N.M., (2007), Konsentrasi Logam Berat Pada
Air Sungai Cigaru dan Bahaya Yang Dapat Ditimbulkan Bagi Manusia,
Prosiding Lokakarya Hasil Penelitian Dan Pengembangan di Bidang Ilmu
Kebumian, Tasikmalaya, 4 September 2007.
Rahayu, L. H., dan Purnavita, S., (2004), “Optimasi Proses Deproteinasi dan
Demineralisasi pada Isolasi Kitin dari Limbah Cangkang Rajungan
(Portunus pelagicus)”, Prosiding: Teori Aplikasi Teknologi Kelautan, ITS
Surabaya, hal. III.8 – III.11
Sembiring, M.T.Sinaga., (2003), Arang Aktif, Ganeca, Bandung.
Srijanto, B., (2003), “Kajian Pengembangan Teknologi Proses Produksi Kitin dan
Kitosan Secara Kimiawi”, Prosiding seminar Nasional Teknik Kimia
Indonesia 2003, Volume I, hal. F01-1 – F01-5
Suhardi, (1992), “Khitin Dan Khitosan“, Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi, UGM Yogyakarta.
Sunu Pramudya, (2001), Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 1400,
Grasindo, Jakarta.
Tao Lee, S., Long Mi, F., Ju Shen., Shing Shyu, S.,( 2001), Equilibrium and
Kinetic Studies of Copper (II) Ion Uptake by Chitosan-Tripolyphosghate
Chelating Resin, Polymer 42: 1879-1892
23

Underwood, A.L. dan Day, R.A., (2001), “Analisis Kimia Kuantitatif”, Edisi VI,
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Windholz, (1983), Chitin and Chitosan, New Castle, N.Y University.
Yunizal dkk, (2001), “Ekstraksi Khitosan dari Kepala Udang Putih (Penaeus
merguensis)”. J. Agric. Vol. 21 (3), hal 113-117

Anda mungkin juga menyukai