Anda di halaman 1dari 2

1.

Yudi Prayudi

Terdakwa mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro, menghadirkan ahli digital
forensik dari Universitas Islam Indonesia Yudi Prayudi di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta, Senin (18/2/2019). 

Dalam persidangan, Yudi menerangkan bahwa salah satu standar analisis


identifikasi suara yaitu dengan membandingkan barang bukti suara dengan sampling
atau contoh suara. "Perbandingan ini nantinya melahirkan kesimpulan ada kemiripan
atau tidak," ujar Yudi yang dihadirkan sebagai ahli meringankan terdakwa.

Dalam persidangan sebelumnya, jaksa KPK menghadirkan ahli forensik suara dari
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dhany Arifianto. Dhany mengatakan, dia
diminta oleh penyidik KPK untuk meneliti sampel suara. Hasilnya, sangat meyakinkan
bahwa suara dalam rekaman sadapan tersebut sangat identik dengan terduga Eddy
Sindoro. "Melalui metode yang saya gunakan, lebih dari 90 persen identik," kata Dhany.

Namun, hal itu dibantah oleh Eddy Sindoro saat diberi kesempatan oleh hakim
untuk menanggapi keterangan Dhany. Eddy Sindoro didakwa memberikan suap sebesar
Rp 150 juta dan 50.000 dollar Amerika Serikat kepada panitera PN Jakarta Pusat, Edy
Nasution. Menurut jaksa, uang tersebut diberikan terkait perkara hukum sejumlah
perusahaan di bawah Lippo Group.

Pertama, agar Edy Nasution menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap


PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP). Suap juga sebagai pelicin agar Edy menerima
pendaftaran peninjauan kembali (PK) PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun sudah
melewati batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang. 

2. Rismon Hasiholan Sianipar

Ahli digital forensik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Rismon Hasiholan Sianipar menyebutkan ada
perbedaan ukuran file rekaman Closed-circuit television (CCTV) di Kafe Olivier, Grand Indonesia, pada 6
Januari lalu.

Hal ini diungkapkan Rismon saat menjadi saksi dalam sidang kasus kopi beracun dengan terdakwa
Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (15/9).

Perbedaan ini, kata dia, ditemukan pada ukuran file rekaman asli dengan file rekaman yang dibawa Jaksa
Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan.

Dalam berita acara pemeriksaan, tertera dalam sebuah file video memiliki ukuran metadata sebanyak
98.750 frame. Namun dari hasil analisis ahli digital forensik Ajun Komisaris Besar M Nuh, ukuran dalam
file yang sama ditemukan 2.707 frame.

"Kesalahan ini dapat menyebabkan keterangan dan analisis saksi ahli diragukan keabsahannya," ujar
Rismon di hadapan majelis hakim.

Selain itu, terjadi pula perubahan frame rate video sebelum dipindahkan ke flashdisk sebesar 25 frame
per detik dengan resolusi 1920 x 1080 pixel.

Sementara pada video lainnya memiliki frame rate 10 frame per detik dengan resolusi 960x576 pixel.

Dia menilai ada reduksi frame rate yang dapat menyebabkan hilangnya beberapa data. Pengukuran
frame yang hilang ini dapat dilakukan dengan analisis hash.

Apabila nilai hash dari video asli dengan video yang telah dipindahkan ke flashdisk berbeda, maka data
hasil ekstrasi video tidak bisa diterima.

"Perbandingan nilai hash antara data video asli dengan di flashdisk tidak dituliskan hasilnya. Padahal
harusnya ada perbandingan," katanya.

Rismon menilai barang bukti rekaman CCTV tersebut menyalahi Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun
2009 tentang tata cara pemeriksaan teknis kriminalistik. Sebab penyidik hanya memindahkan rekaman
tersebut ke flashdisk.

Mestinya, kata Rismon, barang bukti itu disita seluruhnya untuk pemeriksaan yang lebih komprehensif.

Namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) rupanya memiliki rekaman CCTV asli kafe Olivier yang disimpan
dalam hard disk. JPU sempat menunjukkan hard disk tersebut di hadapan ahli dan majelis hakim.
Sayangnya hard disk tersebut tak dapat diakses lantaran memiliki password.

Anda mungkin juga menyukai