Kelas/semester : G/5
Nim: 1011418192
Pada saat ini, pemanfaatan teknologi diberbagai bidang sudah menjadi hal yang wajar,
termasuk dalam penegakan hukum. Salah satu bentuk pemanfaatan teknologi dalam proses
penegakan hukum adalah penggunaan teleconference dalam pemeriksaan saksi. Namun hal itu
masih memunculkan perdebatan dikarenakan KUHAP sendiri belum mengaturnya.
Teleconference bukan lagi merupakan penemuan baru, yang dapat dilakukan oleh dua
orang atau lebih melalui media komunikasi, telepon dan televisi atau layar komputer, yang telah
tersambung dengan sebuah koneksi jaringan. Pertemuan secara tidak langsung tersebut dapat
menggunakan suara (audio conference) atau video (video conference) yang memungkinkan
kedua belah pihak dapat saling melihat seperti bertatap muka secara langsung.
Praktek pemeriksaan saksi melalui teleconference berkaitan dengan kesaksian dari saksi
yang akan didengar keterangannya namun tidak memungkinkan untuk hadir dalam persidangan,
seperti halnya kasus mega proyek e-KTP tersebut. Cara ini merupakan langkah baru dalam
sistem hukum acara pidana Indonesia. Namun, cara ini sampai saat ini masih menjadi perdebatan
terutama berkenaan dengan keabsahan teleconference itu, karena belum diatur secara jelas dan
tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana meskipun sering digunakan dalam
beberapa persidangan dan masih banyak ahli yang beranggapan bahwa cara ini bertentangan
dengan asas kompetensi peradilan.
Teleconference belum diakui dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana,
karena pada masa Undang-Undang dibuat hal demikian itu tidak dapat diprakirakan. Revolusi
dari ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi yang saat ini berlangsung
sedemikian pesat, mengakibatkan timbul keadaankeadaan baru yang seharusnya dapat
dipertimbangkan dalam proses penyelesaian perkara, termasuk dalam penerapan KUHAP.
Dalam analisis hukum legalistik, yang cenderung bersifat kaku atau formal legalistik,
teleconference tidak dapat diterima sebagai media pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan
yang terdapat pada Pasal 160 ayat (1) huruf a dan Pasal 167 KUHAP yang menghendaki
kehadiran saksi di ruang persidangan. Namun, berbeda dengan ketentuan pada Pasal 28 ayat (1)
UU Nomor 4 tahun 2004 (sekarang diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman) mewajibkan Hakim menggali kebenaran materiil, sehingga
terbuka peluang bagi hakim untuk mengesampingkan aspek formal.
Penambahan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana korupsi yaitu berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, dan diterima atau bahkan disimpan secara elektronik sebagaimana yang
diatur pada Pasal 26 A UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sedangkan pemberian kesaksian melalui audio visual ini sudah diatur juga didalam Pasal
9 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pada pasal 9 mengatur
terdapat dua pilihan saksi tidak harus dihadirkan ke persidangan, yaitu saksi diperkenankan
untuk memberikan kesaksiannya secara tertulis di hadapan pejabat seperti notaris, hakim,
ataupun camat, dan keterangan saksi dapat diperiksa melalui teleconference. Pemanfaatan
teknologi guna membuktikan suatu perkara juga diatur dalam Pasal 44 UU Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu mengenai alat bukti berbentuk informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Pada dasarnya pertentangan yang selalu timbul berkaitan dengan pemeriksaan melalui
teleconference yang tidak diatur dalam KUHAP, namun apabila memperhatikan prinsip dalam
hukum acara pidana di Indonesia serta asas trilogi peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya
murah, maka pelaksanaan pemeriksaan saksi melalui media teleconference ini memenuhi prinsip
tersebut. Andi Hamzah berpendapat bahwa pemberian keterangan saksi melalui teleconference
tidak salah atau dapat dibenarkan karena dalam KUHAP tidak ada larangannya, tetapi Pengacara
dan Jaksa tetap harus hadir ditempat dimana saksi berada untuk memberikan keterangannya.
Dalam ketentuan pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP, sumpah merupakan syarat mutlak.9
Artinya, walaupun saksi dihadirkan secara virtual melalui Audio atau Video Conference tentu
diwajibkan untuk mengucapkan sumpah terlebih dahulu sesuai dengan keyakinannya masing-
masing, sehingga nilai pembuktiaanya sama dengan saksi yang datang langsung ke persidangan.
Hal tersebut pun ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 661K/Pid/1988 tanggal
19 Juli 1991 yang menegaskan bahwa keterangan saksi yang diberikan pada pemeriksaan tahap
penyidikan dan saat memberikan kesaksiannya saksi telah disumpah, namun atas suatu alasan
dan halangan yang sah ia tidak dapat hadir secara langsung di persidangan dan keterangannya
tersebut dibacakan maka nilai keterangannya tersebut adalah sama dengan keterangan saksi yang
disumpah dalam persidangan.
1. Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat
besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di
pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
2. Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan
kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang
dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian
tersebut.
3. Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar
kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh
pejabat yang berwenang.
Kepada Yth.:
Ketua Majelis Hakim
Perkara No. 1009/Pdt.G/2015/PN JKT.S
Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Jl. Ampera Raya No.133, Ps. Minggu.
Jakarta Selatan
Dengan hormat,
Perkenankanlah kami yang bertanda tangan dibawah ini : La Ode Sudarmin SH., Zicka Dinia
Fitri SH, Salestinus Cahyo SH, Prasetyo Agung SH., Para Advokat dan Konsultan Hukum
pada Law Office La Ode Sudarmin, SH. & PARTNERS, beralamat di Manara Mondar Mandir
Building, Floor 2 Unit C Jl. DR. Otak Gring Gring Blok 6.2 Kawasan Mega Kuningan, Jakarta
Selatan, 12950 Indonesia
, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama :
Abdul Hakim Kusumanegara beralamat di Jl. Anggur No. 25 RT. 06., RW. 08, Kelurahan Lenteng
Agung, Kecamatan Jakarsa, Jakarta selatan. yang mana dalam hal ini lebih memilih domisili
hukum pada kantor kuasa hukumnya tersebut diatas berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 06 Desember 2015 (terlampir) bertindak sebagai Pemohon Intervensi (Tussemkomst);
Melawan:
2. Prasertyo Agung, beralamat di Jl. Sawo manila No. 17, RT. 01, RW. 02, Kelurahan Pejaten,
Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan; Selanjutnya disebut sebagai “Tergugat”.
Adapun yang menjadi dasar dan alasan diajukannya gugatan intervensi (Tussemkomst) ini
adalah sebagai berikut :
2. Bahwa sebagai tindak lanjut dari perjanjian jual beli tersebut Penggugat Intervensi telah
membayar sebesar Rp. 1.000.000.000. (satu Miliar Rupiah) kepada Tergugat dihadapan WISNU
BUWONO, S.H., notaries dan PPAT di Pasar Minggu Jakarta Selatan pada tanggal 05 januari
1993;
3. Bahwa sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
665K/Sip/1979 tanggal 22 Juli 1980 menyatakan:
“Dengan telah terjadinya jual beli antara penjual dan pembeli yang diketahui oleh kepala
kampung yang bersangkutan dan dihadiri oleh 2 orang saksi, serta diterimanya harga
pemberian oleh penjual, maka jual beli itu sudah sah menurut hukum, sekalipun belum
dilaksanakan dihadapan PPAT.”
4. Bahwa Dengan telah terjadinya jual beli antara penjual dan pembeli yang diketahui oleh
kepala kampung yang bersangkutan dan dihadiri oleh 2 orang saksi, serta diterimanya harga
pemberian oleh penjual, maka jual beli itu sudah sah menurut hukum, sekalipun belum
dilaksanakan dihadapan PPAT.maka sudah sepatutnya keabsahan kepemilikan tanah dan
bangunan oleh Pemohon intervensi dari suatu jual beli dihadapan PPAT suda sah menurut
hukum.
5. Bahwa sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
No.992K/Sip/1979 tanggal 14 April 1980 menyatakan:
“Semenjak akte jual beli ditanda tangani di depan pejebat pembuat Akte tanah hak milik atas
tanah yang dijual beralih kepada pembeli”
6. Bahwa sertifikat Hak Milik No. 255 atas nama Tergugat Konpensi/Tergugat Intervensi II
yang telah dibaliknamakan oleh penggugat Intervensi atas nama penggugat intervensi itu
sendiri Pada tanggal12 Januari 1993 sehingga Tanah dan Bangunan tersebut adalah sah milik
Penggugat Intervensi.
7. Bahwa sehingga sangantlah jelas Tanah dan Bangunan tersebut adalah sah milik
Penggugat Intervensi sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Jual Beli serta sertifikat Hak
Milik No.255
8. Bahwa selanjutnya, sebagaimana tertuang dalam gugatan perkara perdata Reg. No.
1009/Pdt.G/2015/PN Jkt.S, Penggugat telah memohon kepada pengadilan untuk menetapkan
sita jaminan (conservatoir beslag) atas tanah beserta bangunannya milik Tergugat
Konpensi/Tergugat Intervensi II, yakni yang terletak di Jalan Sawo Manila Pasar Minggu Jakarta
Selatan.
Bahwa berdasarkan alas an-alasan sebagaimana tersebut di atas, Pemohon Intervensi sangat
berkepentingan dalam perkara ini, terutama untuk melindungi hak-hak pemohon intervensi yang
dilindungi hukum..
Berdasarkan alasan dan dasar tersebut diatas, Pemohon Intervensi sangat berkepentingan dalam
perkara ini dalam melindungi hak-hak Pemohon Intervensi untuk itu Pemohon Intervensi mohon
kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara ini untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan pemohon intervensi.
2. Memperkenankan Pemohon intervensi untuk memasuki perkara Aquo dalam membela
kepentingan Pemohon sebagai pihak yang menyertai para pihak demi membela kepentingannya
sendiri (tussenkomts).
3. Membebankan Biaya Perkara Kepada Penggugat atau Tergugat
Demikian Permohonan Intervensi ini kami sampaikan. Atas perhatian Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta selatan atau Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini, Pemohon
Intervensi ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
Kuasa Hukum Pemohon Intervensi
La Ode Sudarmin SH
Advokat