1. PENDAHULUAN
Keberadaan kontroller dalam sebuah sistem kontrol mempunyai kontribusi yang besar
terhadap prilaku sistem. Pada prinsipnya hal itu disebabkan oleh tidak dapat diubahnya
komponen penyusun sistem tersebut. Artinya, karakteristik plant harus diterima sebagaimana
adanya, sehingga perubahan perilaku sistem hanya dapat dilakukan melalui penambahan suatu
sub sistem, yaitu kontroller.
Salah satu tugas komponen kontroler adalah mereduksi sinyal kesalahan, yaitu perbedaan
antara sinyal setting dan sinyal aktual. Hal ini sesuai dengan tujuan sistem kontrol adalah
mendapatkan sinyal aktual senantiasa (diinginkan) sama dengan sinyal setting. Semakin cepat
reaksi sistem mengikuti sinyal aktual dan semakin kecil kesalahan yang terjadi, semakin baiklah
kinerja sistem kontrol yang diterapkan.
Apabila perbedaan antara nilai setting dengan nilai keluaran relatif besar, maka kontroler
yang baik seharusnya mampu mengamati perbedaan ini untuk segera menghasilkan sinyal
keluaran untuk mempengaruhi plant. Dengan demikian sistem secara cepat mengubah keluaran
plant sampai diperoleh selisih antara setting dengan besaran yang diatur sekecil mungkin [Rusli,
1997].
Kontroller Plant
1|UNIMAR AMNI
PID Controller memiliki transfer function sebagai sebagai berikut :
H(s) =
PID Kontroller sebenarnya terdiri dari 3 jenis cara pengaturan yang saling
dikombinasikan, yaitu P (Proportional) Kontroller, D (Derivative) Kontroller, dan I
(Integral) Kontroller. Masing-masing memiliki parameter tertentu yang harus diset untuk
dapat beroperasi dengan baik, yang disebut sebagai konstanta. Setiap jenis, memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing, hal ini dapat dilihat pada tabel 1.
Parameter-parameter tersebut, tidak bersifat independen, sehingga pada saat salah satu nilai
konstantanya diubah, maka mungkin sistem tidak akan bereaksi seperti yang diinginkan.
Tabel di atas hanya dipergunakan sebagai pedoman jika akan melakukan perubahan
konstanta. Untuk merancang suatu PID Kontroller, biasanya dipergunakan metoda trial &
error. Sehingga perancang harus mencoba kombinasi pengatur beserta konstantanya untuk
mendapatkan hasil terbaik yang paling sederhana [1].
a. Metode Konvensional
Desain sebuah sistem kontrol, dimulai dengan membuat blok diagram sistem. Blok
diagram (yang berisi transfer function) tersebut selanjutnya akan dianalisa dengan
menggunakan aksi pengontrolan yang berbeda. Dengan perubahan sinyal input sehingga
perancang dapat melihat respon sistem jika mendapat input sinyal tertentu. Kombinasi
antara sinyal input dan jenis aksi pengontrolan ini akan menghasilkan respon yang berbeda-
beda.
2|UNIMAR AMNI
Dahulu untuk melihat respon suatu sistem dengan berbagai macam kombinasi sinyal input
dan aksi pengontrolan merupakan hal yang sulit dan membosankan. Adapun prosedur yang
harus dilalui adalah sebagai berikut [2]:
1. Mendapatkan transfer function sistem (dalam s-domain) dengan Transformasi
Laplace.
2. Menentukan jenis aksi pengontrolan beserta dengan konstantanya.
3. Menggabungkan transfer function yang sudah didapatkan dengan jenis aksi
pengontrolan.
4. Menentukan sinyal input yang akan dimasukkan (biasanya fungsi step, fungsi ramp dan
pulse) dan menggabungannya ke dalam transfer function yang baru.
5. Melakukan perhitungan invers Laplace Transform untuk mendapatkan fungsi dalam t-
domain.
6. Menggambar respon berdasarkan fungsi dalam t-domain.
Untuk melakukan langkah-langkah di atas diperlukan ketelitian yang tinggi dan hasil
penggambarannya sering kali kurang (tidak) akurat. Selain itu, jika perancang ingin
mengamati respon sistem terhadap sinyal input yang lain, maka proses-proses tersebut
sebagian besar akan diulang kembali. Hal ini bertambah kompleks jika perubahan yang
dilakukan tidak terbatas pada sinyal input, tetapi juga pada jenis aksi pengontrolannya.
Sehingga untuk mendapatkan respon dari berbagai macam kombinasi, membutuhkan
waktu yang relatif lama. Selain itu, perancang juga melakukan proses perhitungan yang
rumit dan membosankan.
3|UNIMAR AMNI
Aplikasi MatLab dalam bidang pengaturan dilengkapi Control Toolbox. Toolbox ini
sudah dilengkapi dengan berbagai macam fungsi pendukung yang dipergunakan dalam
analisa sistem kontrol. Beberapa fungsi pendukung yang sering dipergunakan untuk
menganalisa suatu sistem adalah : feedback, step, rlocus, series, dll. Untuk menganalisa
suatu sistem, software hanya memerlukan masukan berupa transfer function yang ditulis
dalam Laplace Transform (dalam s-domain) atau matriks. Untuk selanjutnya, pemakai tinggal
memilih analisa yang akan dipergunakan. Tulisan ini akan membahas penggunaannya secara
khusus untuk merancang PID Controller pada suatu sistem.
Sebagai contoh, suatu sistem kontrol memiliki transfer function sebagai berikut :
H(s) =
num = [1]
den = [1 10 20];
step (num,den)
title (‘Open Loop Response’)
Maka dari hasil program yang dilakukan akan didapatkan respon grafik sebagai berikut :
4|UNIMAR AMNI
Gambar 2. Respon Sistem dari Unit Step Input
Sistem diatas memiliki steady state error yang tinggi, yaitu 0,95. Sebab respon tertinggi
hanya didapatkan pada amplitude 0,005. System tersebut juga mempunyai rise time yang besar
sekitar 1,5 detik. Hal ini jelas kurang menguntungkan.
Untuk menghasilkan system kontrol yang bagus dibutuhkan system yang tertutup (close
loop system). Sistem ini mempunyai feedback yang akan membandingkan kondisi sebenarnya
dengan setting yang diberikan pada mesin.
5|UNIMAR AMNI
Gambar 3. Diagram blok kontroler proporsional
Gambar 4 menunjukkan grafik hubungan antara PB, keluaran kontroler dan kesalahan yang
merupakan masukan kontroller. Ketika konstanta proporsional bertambah semakin tinggi, pita
proporsional menunjukkan penurunan yang semakin kecil, sehingga lingkup kerja yang
dikuatkan akan semakin sempit[Johnson, 1988, 372].
6|UNIMAR AMNI
Ciri-ciri kontroler proporsional harus diperhatikan ketika kontroler tersebut diterapkan pada
suatu sistem. Secara eksperimen, pengguna kontroller proporsional harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan berikut ini :
1. Kalau nilai Kp kecil, kontroler proporsional hanya mampu melakukan koreksi kesalahan
yang kecil, sehingga akan menghasilkan respon sistem yang lambat.
2. Kalau nilai Kp dinaikkan, respon sistem menunjukkan semakin cepat mencapai keadaan
mantabnya.
3. Namun jika nilai Kp diperbesar sehingga mencapai harga yang berlebihan, akan
mengakibatkan sistem bekerja tidak stabil, atau respon sistem akan berosilasi [Pakpahan,
1988, 193].
7|UNIMAR AMNI
Gambar 5. Kurva sinyal kesalahan e(t) terhadap t dan kurva u(t) terhadap t pada pembangkit
kesalahan nol.
Gambar 6 menunjukkan blok diagram antara besaran kesalahan dengan keluaran suatu
kontroller integral.
Gambar 6. Blok diagram hubungan antara besaran kesalahan dengan kontroller integral
Pengaruh perubahan konstanta integral terhadap keluaran integral ditunjukkan oleh Gambar
7. Ketika sinyal kesalahan berlipat ganda, maka nilai laju perubahan keluaran kontroler berubah
menjadi dua kali dari semula. Jika nilai konstanta integrator berubah menjadi lebih besar, sinyal
kesalahan yang relatif kecil dapat mengakibatkan laju keluaran menjadi besar (Johnson, 1993,
375).
Ketika digunakan, kontroler integral mempunyai beberapa karakteristik berikut ini :
1. Keluaran kontroler membutuhkan selang waktu tertentu, sehingga kontroler integral
cenderung memperlambat respon.
8|UNIMAR AMNI
2. Ketika sinyal kesalahan berharga nol, keluaran kontroler akan bertahan pada nilai
sebelumnya.
3. Jika sinyal kesalahan tidak berharga nol, keluaran akan menunjukkan kenaikan atau
penurunan yang dipengaruhi oleh besarnya sinyal kesalahan dan nilai Ki (Johnson, 1993,
376).
4. Konstanta integral Ki yang berharga besar akan mempercepat hilangnya offset. Tetapi
semakin besar nilai konstanta Ki akan mengakibatkan peningkatan osilasi dari sinyal
keluaran kontroler (Guterus, 1994, 7-4).
9|UNIMAR AMNI
Gambar 8 menyatakan hubungan antara sinyal masukan dengan sinyal keluaran kontroler
diferensial. Ketika masukannya tidak mengalami perubahan, keluaran kontroler juga tidak
mengalami perubahan, sedangkan apabila sinyal masukan berubah mendadak dan menaik
(berbentuk fungsi step), keluaran menghasilkan sinyal berbentuk impuls. Jika sinyal masukan
berubah naik secara perlahan (fungsi ramp), keluarannya justru merupakan fungsi step yang
besar magnitudnya sangat dipengaruhi oleh kecepatan naik dari fungsi ramp dan faktor konstanta
diferensialnya Td (Guterus, 1994, 8-4).
10 | U N I M A R A M N I
tunaknya. Kerja kontrolller diferensial hanyalah efektif pada lingkup yang sempit, yaitu pada
periode peralihan. Oleh sebab itu kontroler diferensial tidak pernah digunakan tanpa ada
kontroler lain sebuah sistem (Sutrisno, 1990, 102).
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusli, Mohammad: 1997, Sistem Kontrol kedua, Malang: Teknik Elektro -Universitas
Brawijaya.
2. Fatchul Arifin, PID Controller, staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/fatchul-arifin-st-
mt-dr/pid-controller.pdf diakses pada 26 Maret 2020.
3. Chairuzzaini et al. https://www.elektroindonesia.com/elektro/tutor12.html. Diakses pada 26
Maret 2020.
11 | U N I M A R A M N I