Anda di halaman 1dari 8

Salah satu kasus fraud asset misappropriation yang menimpa BUMN di Indonesia

adalah kasus yang menimpa PT Barata Indonesia (Persero).Kasus ini dilakukan oleh
Mahyudin Harahap (Direktur Pemberdayaan Keuangan dan SDM PT Barata
Indonesia) yang diduga menjual aset negara berupa tanah bersama dengan Ir
Harsusanto (Dirut PT Barata Indonesia) dan Shindo Sumidomo.Penjualan aset ini
terjadi pada tahun 2003-2005 lalu.Penjualan tersebut dinilai bertentangan dengan, di
antaranya, UU RI No 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Kepmen Keuangan Nomor
89/KMK.013/1991 tentang Pemindahan 4 Aktiva Tetap BUMN. KPK memaparkan,
tindak pidana korupsi kasus ini dilakukan dengan dengan cara menurunkan Nilai Jual
Objek Pajak tanah milik PT Barata yang berlaku tahun 2004. Tanah yang dijual
berlokasi di Surabaya, Jawa Timur. Diungkapkan, harga tanah yang seharusnya
mencapai Rp 132 miliar kemudian dijual kepada swasta dengan harga hanya sekitar
Rp 82 miliar. Perbuatan ini dinilai memperkaya pihak tim taksasi penjualan aset
sebesar Rp 894 juta lebih dan Shindo Sumidomo dari PT Cahaya Surya Unggul Tama
sebesar Rp 21,770 miliar. Negara pun dirugikan hingga Rp 22,690 miliar lebih.

Dikutip dari laman TEMPO.CO, Jakarta- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


tidak hanya menahan Kepala Sub-Direktorat Energi Terbarukan, Kosasih Abbas,
dan menjebloskannya ke penjara, Jumat, 15 Juni 2012. Lembaga antikorupsi itu juga
menahan Direktur Pemberdayaan Keuangan PT Barata Indonesia Mahyuddin
Harahap. Penahanan Mahyuddin disertai penyitaan aset berupa tanah seluas 58.700
meter persegi.

"Tanah itu terletak di Jalan Ngagel 109 Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur," kata
juru bicara KPK, Johan Budi SP, di kantornya.

Johan tak membeberkan alasan KPK menyita tanah tersebut. Namun diduga kuat
aset itu disita karena berkaitan dengan kasus korupsi penjualan tanah milik PT
Barata Indonesia seluas 58.700 meter persegi di Surabaya. "Yang bersangkutan
disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU Tipikor," kata Johan.

Mahyuddin ditetapkan tersangka lantaran penjualan tanah milik PT Barata di Jalan


Nagel Nomor 109 Surabaya di bawah Nilai Jual Obyek Pajak yang berlaku pada
2004. Akibat penjualan itu KPK menduga kuat negara dirugikan sebesar Rp 40
miliar. Tanah perusahaan badan usaha milik negara itu seharusnya dijual seharga Rp
132 miliar, tapi oleh tersangka dijual Rp 82 miliar.
Kasus ini bermula ketika dilakukan relokasi pabrik PT Barata dari Surabaya ke
Gresik, Jawa Timur, pada 2006. Biaya relokasi pabrik mencapai Rp 44,7 miliar yang
diduga ada biaya siluman sebesar Rp 1,4 miliar.

Mahyuddin saat digiring ke mobil tahanan tak menjawab satu pun pertanyaan
wartawan. Mengenakan batik cokelat bergambar bunga, Mahyuddin menutup
wajahnya dengan map. Di saat bersamaan Kosasih pun digiring ke mobil tahanan.
Meski tak berucap sepatah kata pun, Kosasih berjalan dengan santai di antara
kerumunan wartawan.

https://nasional.tempo.co/read/410970/kpk-tahan-petinggi-pt-barata-indonesia
Detail Kasus :
MAHYUDDIN HARAHAP
Direktur PT. Barata Indonesia
Jenis TPK Penyuapan (memberi gratifikasi)
Dakwaan
Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Th. 2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana

Tuntutan
Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Th. 2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.

Putusan
Pengadilan Negeri
No: 82/PID.SUS/2012/PN.Sby, tgl 31 Januari 2013
Pidana Penjara: 2 (dua) tahun, dikurangi masa tahanan.
Denda: Rp 50.000.000,-subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
Uang pengganti : Rp 40.000.000,-subsidair 1 (satu) tahun kurungan
Biaya perkara: Rp10.000,-

Pengadilan Tinggi
No: 36/PID.SUS/TPK/2013/PT.Sby, tgl 27 Mei 2013
Pidana Penjara: 1(satu) tahun, dikurangi masa tahanan.
Denda: Rp 50.000.000,-subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
Biaya perkara: Rp5.000,-

Mahkamah Agung
Pidana penjara 5 (lima) tahun, denda Rp.300.000.000,- subsidair 6 (enam) bulan
kurungan dan uang pengganti Rp.40.000.000,- subsidair 1 (satu) tahun.
Deskripsi Kasus
2002
30 Desember 2002, dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT. Barata
Indonesia (Persero) dan sesuai risalah yang mengesahkan RKAP tahun 2004 dan
menyetujui penjualan aset PT. Barata Indonesia (Persero) antara lain berupa tanah
seluas 58.700 m2 dan bangunan diatasnya seluas 56.658 m2 sesuai SHGB yang
berlokasi di Jl. Ngagel No 109 Kel. Ngagel Kec. Wonokoromo Surabaya.

2003
19 Agustus 2003, Harsusanto (Dirut PT. Barata Indonesia) mengajukan permohonan
kepada BUMN untuk melakukan penjualan aset tersebut dan akhirnya mendapat
persetujuan. Akhir Desember 2003, Harsusanto mengadakan pertemuan di kantornya
dengan Sutopo Sambudi (Trading Company) dan Ki Soedjatmiko (Dirut PT. Surya
Citra Indoraya), Agus Hariata Purnomo (Direktur Operasional PT. Barata Indonesia),
dalam pertemuan tersebut Ki Soedjatmiko memberitahukan bahwa telah ada 2 (dua)
calon pembeli/ investor yang bersedia membeli aset PT. Barata Indonesia yaitu Teguh
Kinato (PT. Podo Joyo Mashur) dan Agus Sutomo.

Atas penyampaian tersebut Mahyyudin Harahap mengatakan bahwa bangunan tidak


secara keseluruhan akan dijual karena besi dan kerangka bajanya masih akan dipakai
untuk pabrik di Gresik sehingga tanah tersebut akan dijual Rp160 miliar dengan
NJOP sebesar Rp3 juta/m2 yang kemudian Mahyyudin Harahap memberikan foto
copy SHGU kepada Ki Soedjatmiko. Dalam pertemuan selanjutnya Ki Soedjatmiko
menyampaikan harga yang ditawarkan terlalu mahal, sehingga mereka sepakat untuk
meminta penurunan NJOP dan Ki Soedjatmiko yang akan membantu mengurusnya
dikantor pajak.

Selanjutnya di lapangan Golf Ahmad Yani Harsusanto dan Jupyanto Setiawan (PT.
Sel Teknik Utama Trading ) dan Sutopo Sambudi melakukan pertemuan dengan
Shindo Sumidomo alias Asui (Owner PT Cahaya Surya Unggul Tama/PT Siantar
Tiara dan Direktur PT Sianatar Top Tbk.) dalam pertemuan tersebut Asui
menyanggupi harga sebesar Rp50 miliar. Untuk mengakomodir permintaan Asui
tersebut Harsusanto menanyakan kepada Cokorda Putu Arsana (alm) berapa harga
yang pantas karena kalau diatas 100 miliar tidak akan laku, namun Cokroda tidak
dapat menjawab mengingat proses appraisal dan NJOP sedang dalam proses.
2004
2 Januari 2004, Kanwil XI DJP XI Jatim I menerbitkan DHKP PBB Th. 2004 yang
didalamnya menyebutkan pajak terhutang th. 2004 PT. Barata Indonesia di Jl.
Ngangel tersebut. Mahyyudin Harahap pada tanggal 15 Januari 2004 ditunjuk sebagai
anggota tim penaksir harga, tim pengarah.

15 Februari 2004, dengan maksud agar Asui dapat membeli aset tersebut, maka
Mahyyudin Harahap atas persetujuan Harsusanto, ia membuat surat kepada kepala
kantor pelayanan PBB Surabaya Tiga dengan maksud meminta penurunan NJOP
kembali atas aset di Jl. Ngagel tersebut. Kemudian ia dan Harsusanto memerintahkan
Cokroda untuk mengurus penurunan NJOP tersebut. Mahyyudin Harahap selain itu
juga membuat surat atas nama PT. Barata Indonesia yang ditujukan kepada Kepala
Kantor Pelayanan PBB Surabaya Tiga atas belum ditanggapinya surat pada tanggal 3
Desember 2003 yang meminta penurunan NJOP. Sehingga 11 Maret 2004
dikeluarkan SPPT PBB Tahun 2004 atas wajib pajak PT. Barata Indonesia namun
mengakibatkan adanya 2 NJOP yang berbeda.

16 Februari 2004, Mahyyudin Harahap kembali memerintahkan Cokroda untuk


meminta Surat Keterangan Kelurahan Ngagel mengenai taksiran harga jual tanah dan
banguna tersebut. Atas permintaan tersebut dikeluarkan surat Kel. Ngagel kec.
Wonokromo Surabaya tanggal 1 Maret 2004 bahwa harga pasaran tanah seputar Jl.
Ngagel berkisar Rp800 ribu s/d Rp1 juta per m2 yang kemudian diketahui bahwa Kel.
Ngagel Kec. Wonokromo tidak pernah mengeluarkan surat yang dimaksud. Selain itu
Mahyyudin Harahap juga memerintahkan Cokroda untuk menunjuk appraisal dari PT.
Satyatama Graha Tara guna melakukan penilaian harga atas aset PT. Barata Indonesia
tersebut, setelah dilakukan perhitungan ternyata masih kemahalan sehingga diminta
untuk diturunkan, akhirnya 20 Februari 2004 sesuai surat laporan maka aset tersebut
terhitung tanggal 10 Februari 2004 senilai Rp85,686 miliar.

23 Maret 2004, Mahyyudin Harahap membuat taksasi harga tanah berikut bangunan
aset PT. Barata Indonesia tersebut sebesar Rp80,347 miliar yang didasarkan pada
NJOP terhadap nilai bumi/tanah luas 58.700 m2 sebesar Rp67,329 miliar dan nilai
bangunan seluas 3.762 m2 sebesar Rp12,828 miliar sehingga nilai total NJOP
Rp80,157 miliar nilai appraisal Rp79.279.900.000,- dan harga jual tanah dari
kelurahan Rp46,960 miliar s/d Rp58,700 miliar dan biaya operasional serta
honorarium tim penaksir harga Rp2,410 miliar sehingga nilai batas minimal harga
penjualan atas aset tersebut Rp82,757 miliar yang mana nilai taksiran tersebut tidak
sesuai dngan kenyataan karena berdasarkan NJOP yang dibuat tanpa proses yang
benar dan dengan nilai yang sudah diturunkan, dilakuakn penilaian oleh appraisal
yang tidak ahli dan dibuat atas harga pasar yang tidak sebenarnya, sehingga penetapan
harag taksiran tersebut adalah lebih rendah dari harga sesungguhnya yang
bertentangan dengan peraturan yang ada.

29 Maret 2004, Mahyyudin Harahap dan Harsusanto dengan maksud untuk


memenangkan Asui dan menutup kesempatan terhadap peserta lain mengikuti lelang
memerintahkan tim penjualan aset untuk menetapkan tata cara yang bertentangan
dengan peraturan yang ada yaitu dengan melakukan pengumuman hanya 2 hari saja di
surat kabar Jakarta lalu tanggal 2 April 2004 hanya PT. Cahaya Surya Unggul Tama
yang memasukan penawaran. Bahwa penetapan tata cara penawaran sebagaimana
yang diinginkan Mahyyudin Harahap dan Harsusanto tersebut, menyebabkan peserta
yang melakukan penawaran hanya satu yaitu PT. Cahaya Surya Unggul Tama.
Sehingga tanggal 8 April 2004 PT. Cahaya Surya Unggul Tama ditetapkan sebagai
pemenang.

15 April 2004, Mahyyudin Harahap selaku penjual yang bertindak selaku kuasa dari
Dirut PT. Barata Indonesia telah menandatangani Akte jual beli dihadapan Notaris
Dyah Ambarwaty Setyoso atas tanah dan bangunan yang berada di Jl. Ngagel
Surabaya tersebut dengan harga Rp83,550 miliar dengan tatacara pembayaran
dilakukan bertahap yaitu akta perjanjian jual beli ditandatangani dibayar sebesar Rp30
miliar dan pada waktu di tandatangani dibayar Rp7, 5 miliar dan sebesar Rp2,5 miliar
akan dibayar saat pengecekan sertifikat atas persil tersebut dilakukan pada BPN
Surabaya, sisanya Rp43,550 miliar akan dibayar secara bertahap. Adapun dalam
pelaksanaanya PT. Barata Indonesia menerima pembayaran atas nilai penjualan aset
tersebut Rp83,550 miliar dengan tatacara pembayaran bertahap, dan hal tersebut
bertentangan dengan instruksi Menteri Negara BUMN .

28 Mei 2004, Mahyyudin Harahap setelah menerima pembayaran pertama atas


penjualan aset tersebut ia melakukan pembayaran Honorarium Tim Taksasi Penjualan
Aset tersebut, padahal seharusnya biaya panitia penaksir harga menjadi tanggungan
pembeli yaitu Asui sehingga bertentangan dengan ketentuan yang ada.

Dari rangkaian perbuatan Mahyyudin Harahap tersebut telah memperkaya terdakwa


dan tim taksasi penjualan aset sebesar Rp894,5 juta serta Asui (PT. Cahaya Surya
Unggul Tama) sebesar Rp21.770.196.211,- ditambah dengan kekurangan pembayaran
talangan PT. Barata Indonesia atas SPPT PBB th. 2004 oleh PT Cahaya Surya Unggul
Tama yaitu Rp25,648 juta yang merugikan keuangan negara cq. PT. Barata Indonesia
(Persero) Rp22,690 miliar atau setidak-tidaknya sebesar Rp21,796 miliar
sebagaimana hasil perhitungan negara yang dilakukan Ahli Sugiharto dari BPKP dan
sesuai laporan hasil audit investigasi dalam rangka perhitungan Keuangan Negara
terkait tipikor dalam penjualan aset PT. Barat Indonesia (Persero) tertanggal 12
Januari 2012.

https://acch.kpk.go.id/id/jejak-kasus/46-mahyuddin-harahap

https://www.koranmadura.com/2013/06/hukuman-dirkeu-pt-barata-
indonesia-dikorting-1-tahun/
https://nasional.kompas.com/read/2011/03/10/1807426/direktur.pt.barat
a.jadi.tersangka
https://nasional.tempo.co/read/319090/jual-aset-direkturbumn-pt-
barata-jadi-tersangka

Anda mungkin juga menyukai