Anda di halaman 1dari 8

Kasus : Falsefying records and reports

Profil PT KA

PT. KAI (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyelenggarakan jasa
angkutan Kereta api yang meliputi aogkutan penumpang dan barang. Pada akhir Maret 2007,
DPR mengesahkan revisi UU No.13/1992 yang menegaskan bahwa investor swasta maupun
pemerintah daerah dìberi kesempatan untuk mengelola jasa angkutan Kereta api di Indonesia.

Kronologi Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI

Dalam kasus tersebut, terdeteksi adanya kecurangan dalam penyajian laporan keuangan.
Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan investor dan stakeholder
lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi.
Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan
BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp, 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji
lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63 Miliar. Komisaris PT
KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit
oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan.  Audit terhadap laporan keuangan PT KAI untuk tahun
2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk
tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.

Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT KAI untuk disetujui sebelum
disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT KAI yaitu Hekinus Manao
menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan
publik. Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan
keuangan PT KAI tahun 2005 :

1) Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan
itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005.
2) Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan
nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada
akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada
beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan
Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa
dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan
perusahaan selama tahun 2005.
3) Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang
diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI
sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa
saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang
seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
4) Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif
sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70 Miliar oleh
manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari
hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus
disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
5) Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak
tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada
saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.

Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik
terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola
yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI baru bisa dibuka akses terhadap
laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan
keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik.
Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek.
(Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8 Agustus 2006).

Regulasi dan Undang-Undang yang dilanggar :

a. PT KAI melanggar Pasal 90 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam kegiatan
perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung maupun tidak langsung :
1) Menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun.
2) Turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain.
3) Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak
mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan
mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk
menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau
dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek.
b. PT KAI dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 107 UU No. 8 Tahun 1995 yang menyatakan
“Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau
menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin,
persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).”
c. Selain itu, sanksi dan denda sesuai Pasal 5 huruf N Undang-Undang No. 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal, maka :
1) Direksi PT KAI saat itu yang terlibat diwajibkan membayar sejumlah Rp 1.000.000.000,-
(satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena melakukan kegiatan praktek
penggelembungan atas laporan keuangan.
2) Auditor PT. KAI diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
untuk disetor ke Kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi
adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT. KAI tersebut. KAP S. Manan &
Rekan & Rekan tetap diwajibkan membayar denda karena dianggap telah gagal
menerapkan persyaratan profesional yang disyaratkan di SPAP SA Seksi 110 – Tanggung
Jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf 04 Persyaratan Profesional, dimana
disebutkan bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari auditor independen adalah
orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor independen.
Kasus : Giving or accepting bribes, kickbacks, or inappropriate gifts

A. Kronologi : Suap Antar-BUMN ( Angkasa Pura II dan PT Inti ) - 2019

Direktur Keuangan Angkasa Pura II Andra Y Agussalam ditahan KPK karena menerima suap
senilai hampir Rp 1 miliar. Sang pemberi suap, staf dari PT Industri Telekomunikasi Indonesia
(Inti) Taswin Nur, juga ditahan KPK. Andra diduga menerima suap dari pihak PT Inti yang juga
merupakan perusahaan BUMN senilai SGD 96.700. Apabila dikurs ke dalam rupiah, nilainya
kurang-lebih Rp 994 juta. Ia diduga menerima suap agar PT Inti mendapatkan proyek baggage
handling system (BHS) atau sistem penanganan bagasi untuk 6 bandara. Proyek itu nantinya
dioperasikan anak usaha PT AP II, yaitu PT Angkasa Pura Propertindo (APP). Nilai proyek
tersebut kurang-lebih Rp 86 miliar

Undang – undang :

1. Angkasa Pura II

Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP

2. Pt Inti

Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

B. Kronologi : suap perizinan ekspor benur ( Menteri KKP dengan PT DPP )


Kasus suap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dalam kasus terkait
perizinan ekspor benur atau benih lobster. KPK juga menetapkan Staf Khusus Menteri KKP
Safri, staf istri Menteri KKP, pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi, dan Direktur PT Dua Putra
Perkasa sebagai tersangka. Adapun kasus dugaan suap tersebut bermula saat Menteri Edhy
menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas atau Due
Diligence Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster pada 14 Mei 2020. KPK menduga Edhy
mengarahkan Tim Uji Tuntas agar PT Dua Putra Perkasa mendapat izin ekspor benur yang
kemudian jasa pengirimannya ditetapkan melalui PT Aero Citra Kargo. Dengan biaya angkut
Rp1.800 per ekor benur, PT Dua Putra Perkasa kemudian diduga mentransfer ke PT Aero Citra
Kargo sebesar Rp731.573.564. PT DPP (PT Dua Putra Perkasa) atas arahan EP (Edhy
Prabowo) melalui Tim Uji Tuntas memeroleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster dan telah
melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT ACK (PT Aero Citra
Kargo). Pada 5 November diduga ada transfer duit Rp3,4 miliar dari pemilik PT Aero Citra
Kargo ke rekening staf istri Edhy. Di samping dugaan penerimaan itu, KPK juga mencatat
sekitar Mei 2020 Edhy Prabowo diduga menerima US$100.000 (setara Rp1,4 miliar) dari
Suharjito melalui Safri dan Amiril Mukminin. KPK juga menyebut Safri dan Andreau Misanta
menerima sebesar Rp436 juta dari Ainul Faqih pada Agustus lalu.

Undang – undang :

1. Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP
2. Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (OL)

C. Kronologi : Uber Technologies Inc 2016

Uber Technologies Inc merupakan perusahaan asal San Fransisco yang menggabungkan
kemajuan teknologi dengan jasa transportasi yaitu dengan menghubungkan konsumen dan sopir
melalui sebuah aplikasi.

Pada tahun 2016 silam, Kantor cabang Uber Technologies Inc di Indoensia mengalami satu
kasus pelanggaran etika mengenai lokasi bisnis. Pelanggaran ini berawal dari seorang karyawan
yang menyogok atau menyuap salah seorang polisi lokal agar tetap diizinkan untuk beroperasi di
daerah yang sebenarnya diluar zona bisnis. Mengetahui hal tesebut kepolisian langsung
menindaklanjuti dengan menyelidiki siapa saja pihak yang harus dihukum.

Setelah diselidiki, ternyata ditemukan bahwa CEO Uber Technologi Inc Cabang Indosesia
yang menjabat pada saat itu turut andil dalam pelanggaran karena menyetujui
laporan administrasi mengenai pengeluaran atas suap.
Sementara itu, pihak Pusat dari Uber Technologi Inc langsung meminta maaf kepada Menteri
Perbuhungan Indonesia serta mengambil tindakan dengan memecat karyawan dan CEO tersebut
sebagai konsekuensi telah melakukan pelanggaran etika bisnis.
Kasus: Stealing, theft, or related fraud

Kronologi : Kasus Penipuan PT Gradasi Anak Negeri

Kasus PT Gradasi Anak Negeri pada tahun 2012. Perusahaan tersebut menipu masyarakat untuk menjadi
investor PT Gradasi Anak Negeri dengan syarat mentransfer dana minimal sebesar Rp 5.000.000,00 ke
rekening PT Gradasi Anak Negeri dan akan memperoleh keuntungan sebesar 10% setiap minggunya
selama setahun. Investor juga dijanjikan akan mendapat bonus tambahan jika mengajak orang lain untuk
bergabung menjadi Investor PT Gradasi Anak Negeri.  Pada awalnya, pembagian bonus berjalan lancar,
tetapi saat periode ke 16 bonus 10% yang di janjikan mulai tidak lancar. Sebagian ada yang dapat dan
sebagian ada yang tidak.  Hal ini menyebabkan banyak investor yang merasa tertipu oleh PT Gradasi
Anak Negeri.

Undang – undang:

1. pasal 372 KUHP tentang penggelapan


2. pasal 378 KUHP tentang penipuan

Anda mungkin juga menyukai