Anda di halaman 1dari 34

KATA PENGANTAR

Puji syukur Saya panjatkan ke hadirat Tuhan YME, berkat rahmat dan
karunia-Nya Saya menyelesaikan makalah ini yang berjudul Peran Audit forensik
dalam Mengungkap Fraud dan Penerapannya dalam Kasus Hambalang.
Makalah ini terdiri dari 4 bab yaitu pendahuluan, kajian teori, pembahasan
kasus dan penutup dalam kajian teori. Kami memaparkan antara lain pengertian audit
forensik, Tugas auditor forensik, Peran bpk dalam audit forensik, Pelaksanaan audit
forensik, Peran penting audit forensik, Tujuan audit forensik. Perbedaan audit forensik
dan audit konvensional, Alasan diperlukannya audit forensik, serta Audit forensik
dalam membantu mewujudkan good Governance. Dan di bagian pembahasan saya
akan memaparkan penerapan audit forensik dalam kasus Hambalang.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan memenuhi kewajiban tugas
mata pelajaran Capita Selekta. Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat kami harapkan.

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................ 2
BAB I................................................................................ 3

PENDAHULUAN.......................................................................4
A. Latar Belakang............................................................................... 4
B. Kronologi Kasus Hambalang Dari Tahun ke Tahun..........................5
C. Indikasi Penyimpangan.....................................................................7
B.
RUMUSAN MASALAH.......................................................9

BAB II.............................................................................11

KAJIAN TEORI........................................................................11
A. PENGERTIAN AUDIT FORENSIK.....................................................11
B. TUGAS AUDITOR FORENSIK..........................................................12
C. PERAN BPK DALAM AUDIT FORENSIK............................................13
D. PELAKSANAAN AUDIT FORENSIK..................................................14
E. PERAN PENTING AUDIT FORENSIK................................................16
F. TUJUAN AUDIT FORENSIK..............................................................17
G. PERBEDAAN AUDIT FORENSIK DAN AUDIT KONVENSIONAL..........18
H. ALASAN DIPERLUKANNYA AUDIT FORENSIK.................................19
I. AUDIT FORENSIK DALAM MEMBANTU MEWUJUDKAN GOOD
GOVERNANCE..................................................................................... 20

BAB III............................................................................22

PEMBAHASAN.......................................................................22
1. Kasus Hambalang.........................................................................22
2. Hasil Audit Forensik Kasus Hambalang.........................................25
3.Permasalahan..................................................................................28

BAB III............................................................................32

PENUTUP..............................................................................32
A. KESIMPULAN.................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA............................................................33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindak kecurangan di pemerintahan di Indonesia sudah mencapai tingkat yang
memprihatinkan. Bila kita sering membaca surat kabar atau melihat televisi, maka
kita akan disuguhi banyak berita tentang kasus-kasus fraud yang telah melibatkan
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, baik dijajaran lembaga legislatif,
3

eksekutif bahkan yudikatif. Berbagai usaha telah dilakukan Pemerintah Indonesia


baik dengan memberdayakan secara maksimal lembaga-lembaga penegak hukum,
seperti Kejaksaan, Pengadilan, dan Kepolisian. Bahkan dalam dasawarsa terakhir
Pemerintah juga telah membentuk dan memberdayakan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun
sayangnya hasil yang di dapat masih belum sesuai dengan harapan, di mana Indonesia
masih menduduki 10 negara terkorup di dunia. Mengapa hal ini terjadi?
Terjadinya kecurangan tersebut yang tidak dapat terdeteksi oleh suatu
pengauditan dapat memberikan efek yang merugikan dan cacat bagi proses pelaporan
keuangan. Adanya kecurangan berakibat serius dan membawa dampak kerugian.
Apabila dilihat dari peran akuntan publik, fenomena kecurangan ini menjadi masalah
yang serius karena menyangkut citra akuntan publik terutama auditornya.
Kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah sulit terdeteksi
karena pelaku biasanya merupakan orang-orang yang dipercaya untuk menjalankan
suatu proyek. Oleh karena itu, auditor laporan keuangan harus mempunyai keahlian
untuk mendeteksi kecurangan ini. Untuk tindak lebih lanjut, auditor laporan keuangan
ini hanya dapat mendeteksi saja sedangkan untuk pengungkapannya diserahkan
pada auditor forensik yang lebih berwenang. Auditor forensik inilah yang nantinya
akan menggunakan suatu aplikasi audit lain selain audit biasa yang digunakan para
auditor laporan keuangan untuk mengungkapkan kecurangan yaitu Audit forensik.
Peran audit forensik dalam mengungkap kecurangan di Indonesia dari waktu
ke waktu semakin terus meningkat. Audit forensik banyak diterapkan ketika Komisi
Pemeberantasan Korupsi (KPK) mengumpulkan bukti-bukti hukum yang diperlukan
untuk menagani kasus-kasus korupsi yang dilaporkan kepada instansi tersebut. Audit
forensik juga digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kepolisian, Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Inspektorat Jenderal


Kementerian untuk menggali informasi selama proses pelaksanaan audit kecurangan
(fraud audit) atau audit investigasi. Namun apakah audit forensik yang telah
diterapkan sudah cukup memadai? Artikel ini, melalui tinjauan secara teoritisnya,
akan mencoba untuk menjelaskan bagaimana peran audit forensik dalam mengungkap
fraud di instsansi-instansi pemerintah.

B. Kronologi Kasus Hambalang Dari Tahun ke Tahun


Tahun 2003-2004
Pada tahun itu, masih di Direktorat Jenderal (Ditjen) Olahraga Depdikbud. Proyek ini
digelontorkan pada tahun itu sesuai dengan kebutuhan akan pusat pendidikan dan
pelatihan olahraga yang bertaraf internasional. Selain itu untuk menambah fasilitas
olahraga selain Ragunan. Pada tahun itu direkomendasikan 3 wilayah yaitu
Hambalang Bogor, Desa Karang Pawitan, dan Cariuk Bogor. Akhirnya yang dipilih
Hambalang.
Tahun 2004
Dilakukan pembayaran para penggarap lahan di lokasi tersebut dan sudah dibangun
masjid, asrama, lapangan sepakbola dan pagar.
Tahun 2004-2009
Proyek di Ditjen Olahraga Kemendikbud dipindahkan di Kemenpora. Lalu
dilaksanakan pengurusan sertifikat tanah Hambalang tapi tidak selesai.
Tahun 2005
Datang studi geologi oleh konsultan pekerjaan di lokasi Hambalang.
Tahun 2006
Dianggarkan pembuatan maket dan masterplan. Dari rencana awalnya pusat
peningkatan olahraga nasional, menjadi pusat untuk atlet nasional dan atlet elite.
Tahun 2007
Diusulkan perubahan nama dari Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Nasional
menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional.

Tahun 2009
Diajukan anggaran pembangunan dan mendapat alokasi sebesar Rp 125 miliar, tapi
tidak dapat dicairkan (dibintangi) karena surat tanah Hambalang belum selesai.
Tahun 2010
Pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat Keputusan Kepala BPN RI Nomor 1/
HP/ BPN RI/2010, tentang Pemberian Hak Pakai atas nama Kemenpora atas tanah di
Kabupaten Bogor- Jawa Barat dan berdasarkan Surat Keputusan tersebut, kemudian
pada tanggal 20 Januari diterbitkan sertifikat hak pakai nomor 60 atas nama
Kemenpora dengan luas tanah 312.448 m2. Lalu pada 30 Desember 2010 keluar izin
pendirian bangunan.
Lalu pada 2010 juga ada perubahan lagi yakni penambahan fasilitas sarana dan
prasarana antara lain bangunan sport sains, asrama atlet senior, lapangan menembak,
ekstrem sport, panggung terbuka dan volley pasir dengan dibutuhkan anggaran Rp
1,75 triliun.
Lalu sejak 2009-2010 sudah dikeluarkan anggaran total Rp 675 miliar. Lalu 6
Desember 2010 keluar surat kontrak tahun jamak dari Kemenkeu untuk pembangunan
proyek sebesar Rp 1,75 triliun dan pengajuan pembelian alat- alat membengkak
menjadi Rp 2,5 Triliun.
Tahun 2012
31 Desember 2012 pekerjaan direncanakan selesai. Lalu penerimaan siswa baru
direncanakan pada 2013-2014.

C. Indikasi Penyimpangan

BPK telah melaksanakan pemeriksaan atas pembangunan Pusat Pendidikan


Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) yang berlokasi di Desa
Hambalang Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2010 dan
2011 pada Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) dan instansi terkait
lainnya di Jakarta dan Bogor.

Berdasarkan pemeriksaan tersebut, BPK menyimpulkan ada indikasi


penyimpangan terhadap peraturan perundangan dan atau penyalahgunaan
wewenang dalam proses persetujuan kontrak tahun jamak, dalam proses
pelelangan, pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan dalam proses pencairan uang
muka, yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam pembangunan P3SON.
Indikasi penyimpangan dan atau penyalahgunaan wewenang tersebut
mengakibatkan timbulnya indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya sebesar
Rp243,66 Milyar dengan penjelasan singkat sebagai berikut:
1. Permohonan untuk memperoleh persetujuan kontrak tahun jamak tidak
memenuhi persyaratan yaitu sebagai berikut:
a. Surat permohonan persetujuan kontrak tahun jamak kepada Menteri

Keuangan ditandatangani oleh pihak yang tidak berwenang, yaitu Ses


Kemenpora tanpa memperoleh pendelegasian wewenang dari Menpora.
b. Pendapat teknis kelayakan kontrak tahun jamak yang dimaksudkan dalam

PMK 56/PMK.02/2010 tanggal 2 Maret 2010 tentang Tata Cara Pengajuan


Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, ditandatangani oleh Pejabat yang tidak berwenang yaitu
Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementerian Pekerjaan
Umum, bukan oleh Menteri Pekerjaan Umum sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.45/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara.
c. Tidak seluruh unit bangunan yang hendak dibangun secara teknis harus

dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran.


d. Kemenpora memanipulasi data dalam pengajuan revisi RKA-KL TA 2010

sebagai salah satu syarat persetujuan revisi RKA-KL TA 2010 oleh


Kementerian Keuangan. Data keluaran (output) yang dinyatakan naik dari
108.553 m2 menjadi 100.398 m2, pada kenyataan nya turun dari 108.553
m2 menjadi 100.398 m2.
e. Revisi RKA-KL Kemenpora TA 2010 sebagai salah satu syarat persetujuan

kontrak tahun jamak belum ditandatangani oleh Dirjen Anggaran, pada


saat persetujuan kontrak tahun jamak diberikan oleh Menteri Keuangan.
f.

Pemberian dispensasi keterlambatan pengajuan usulan revisi RKA-KL


Kemenpora 2010 oleh Menteri Keuangan tidak memiliki dasar hukum
yang jelas.

2. Dalam proses

pelelangan, terdapat indikasi penyimpangan dan atau


penyalahgunaan wewenang sebagai berikut:
a. Penetapan pemenang lelang pekerjaan konstruksi pembangunan P3SON

Hambalang dengan nilai Rp1,2 Triliun yang seharusnya ditetapkan oleh


Menpora, ditetapkan oleh pihak yang tidak berwenang yaitu Ses
Kemenpora, tanpa memperoleh pendelegasian wewenang dari Menpora.

b. Proses evaluasi prakualifikasi dan teknis terhadap penawaran calon

kontraktor peserta lelang pekerjaan konstruksi proyek pembangunan


P3SON tidak dilakukan oleh Panitia Pengadaan, melainkan oleh rekanan
yang akan dimenangkan.
c. Proses pelelangan pekerjaan konstruksi pembangunan P3SON Hambalang

yang pada akhirnya memenangkan KSO AW dilakukan dengan cara


sebagai berikut:
1) Menggunakan standar penilaian yang berbeda dalam mengevaluasi

dokumen prakualifikasi antara dokumen penawaran dari KSO AW


dengan dokumen penawaran dari rekanan yang lain. Standar penilaian
untuk mengevaluasi penawaran dari KSO AW menggunakan nilai
pekerjaan sebesar Rp1,2 T, sedangkan standar penilaian untuk
mengevaluasi penawaran dari rekanan lain menggunakan nilai
pekerjaan sebesar Rp262 M.
2) Mengumumkan lelang dengan memberikan informasi yang tidak benar

dan tidak lengkap yaitu mengubah informasi mengenai nilai pekerjaan


yang hendak dilelang dengan cara memberikan surat pemberitahuan
yang tidak dipublikasikan secara transparan.
3) Menggunakan nilai paket pekerjaan yang tidak seharusnya digunakan

untuk mengevaluasi Kemampuan Dasar (KD) peserta lelang sehingga


dapat memenangkan KSO AW.
3. Pencairan anggaran tahun 2010 dilakukan melalui penerbitan Surat Perintah

Membayar (SPM) oleh RI (Kabag Keuangan Kemenpora) meskipun Surat


Permintaan Pembayaran (SPP) dan bukti pertanggungjawaban belum
ditandatangani dan diuji oleh pejabat yang berwenang yaitu Har selaku
Penguji SPP dan Su selaku Bendahara.
Selain itu, terdapat indikasi penyimpangan lain yang ditemukan, namun tidak
langsung mengakibatkan terjadinya indikasi kerugian negara, yaitu sebagai
berikut:
1. Izin penetapan lokasi, izin site plan, dan IMB atas proyek pembangunan
P3SON Hambalang diberikan oleh Pemkab Bogor meskipun Kemenpora
belum/tidak melakukan studi Amdal terhadap proyek pembangunan
P3SON Hambalang dimaksud.
2. Penandatanganan Surat Keputusan Hak Pakai bagi Kemenpora atas tanah

seluas 312.448 m2 di Desa Hambalang Kecamatan Citeureup Kabupaten


Bogor oleh Kepala BPN, didukung dengan dokumen yang tidak sesuai
kenyataan berupa: (i) surat pelepasan hak dari Probosutedjo selaku bekas
pemegang hak yang diduga palsu; dan (ii) Surat Pernyataan Sesmenpora
yang menyatakan bahwa pada pengadaan lahan P3SON Hambalang
dimaksud tidak terjadi kerugian negara berdasarkan LHP BPK RI adalah
tidak sesuai kenyataan. LHP BPK yang menjadi rujukan Ses Kemenpora
8

tidak mencakup pemeriksaan atas proses pembebasan lahan P3SON


Hambalang.
3. Penetapan RKA-KL Kemenpora tahun 2011 oleh Kementerian Keuangan,

untuk pekerjaan konstruksi P3SON Hambalang sudah dilakukan oleh


Dirjen Anggaran meskipun persyaratan berupa Kerangka Acuan Kerja
(KAK) dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang ada adalah untuk skema
pembiayaan tahun jamak, sementara itu persetujuan kontrak tahun jamak
belum disetujui.
4. Kontraktor utama P3SON Hambalang yaitu KSO AW mensubkontrakkan

pekerjaan utama yang seharusnya dikerjakan sendiri sesuai dengan


ketentuan dalam Keppres 80 tahun 2003 pasal 32 (3), kepada perusahaan
lain.

B.

RUMUSAN MASALAH

Apa pengertian audit forensik ?

Apa saja tugas dari auditor forensik ?

Apa peran BPK dalam audit forensik ?

Bagaimana cara pelaksanaan audit forensik ?

Apa peran penting dari audit forensik ?

Apa tujuan audit forensik ?

Apa perbedaan audit forensik dan audit konvensional ?

Mengapa audit forensik dibutuhkan ?

Apa peran audit forensik dalam membantu mewujudkan good governance ?

Bagaimana penerapan audit forensik dalam kasus hambalang ?

10

BAB II

KAJIAN TEORI

A. PENGERTIAN AUDIT FORENSIK


Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah
tindakan

untuk

membandingkan

kesesuaian

antara

kondisi

dan

kriteria.

Sementara forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum /
pengadilan.
Dengan

demikian, audit forensik bisa

didefinisikan

sebagai

tindakan

menganalisa dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria, untuk


menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka
pengadilan.
Menurut

Charterji

(2009) Audit

forensik

(forensic

auditing)

dapat

didefinisikan sebagai aplikasi keahlian mengaudit atas suatu keadaan yang memiliki
konsekuensi hukum. Audit forensik umumnya digunakan untuk melakukan pekerjaan
investigasi secara luas. Pekerjaan tersebut meliputi suatu investigasi atas urusan
keuangan suatu entitas dan sering dihubungkan dengan investigasi terhadap tindak
kecurangan (fraud), oleh karena itu audit forensik sering juga diartikan sebagai audit
investigasi.
Di Indonesia lembaga yang berhak untuk melakukan auditforensik adalah
auditor

BPK,

BPKP, dan

KPK

yang

memiliki

sertifikat Certified

Fraud

Examiners (CFE).

11

B. TUGAS AUDITOR FORENSIK


Auditor forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam pengadilan
(litigation). Disamping tugas auditor forensik untuk memberikan pendapat hukum
dalam pengadilan (litigation), ada juga peran auditorforensik dalam bidang hukum di
luar pengadilan (non litigation), misalnya dalam membantu merumuskan alternatif
penyelesaian perkara dalam sengketa, perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya
menghitung dampak pemutusan / pelanggaran kontrak.
Audit forensik dibagi ke dalam dua bagian: jasa penyelidikan (investigative
services) dan jasa litigasi (litigation services). Jenis layanan pertama mengarahkan
pemeriksa penipuan atau auditor penipuan, yang mana mereka menguasai
pengetahuan tentang akuntansi mendeteksi, mencegah dan mengendalikan penipuan.
Jenis layanan kedua merepresentasikan kesaksian dari seorang pemeriksa penipuan
dan jasa-jasa Audit forensik yang ditawarkan untuk memecahkan isu-isu valuasi,
seperti yang dialami dalam kasus perceraian. Tim audit harus menjalani pelatihan dan
diberitahu tentang pentingnya prosedur Audit forensik di dalam praktek audit dan
kebutuhan akan adanya spesialis forensik untuk membantu memecahkan masalah.

12

C. PERAN BPK DALAM AUDIT FORENSIK


Perkembangan positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tersebut
membuat Badan Pemeriksa Keuangan yang selama era orde baru dikerdilkan
menjadi pulih, dengan terbitnya Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara yang menegaskan tentang kewenangan BPK sebagai Pemeriksa
Keuangan Negara yang kemudian di dukung dengan Undang-Undang No 15 Tahun
2006 yang memberikan kemandirian dalam pemeriksaan Keuangan Negara baik yang
tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan seperti BUMN dan BUMD skaligus
penentu jumlah kerugian Negara.
Oleh karena itu BPK harus meredifinisikan dirinya untuk menjadi garda
terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan cara meningkatkan
metodologi auditnya dan meningkatkan kinerja pegawainya dalam melakukan
pemeriksaan keuangan negara termasuk didalamnya keahlian tehnis dalam
mendeteksi fraud yaitu mempunyai kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari
berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih, akurat serta mampu melaporkan
fakta secara lengkap.
Salah satu pendekatan yang bisa diambil dalam upaya pemberantasan korupsi
adalah

dengan

menerapkan

Audit Forensik

atau

sebagian

orang

menyebutnya Audit Investigatif. Sebenarnya BPK sebagai Pemeriksa Keuangan


Negara memiliki prestasi yang layak diapresiasi dalam melakukan audit forensik,
dengan melakukan audit investigasi terhadap Penyaluran Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia maupun aliran Dana Bank Indonesia ke sejumlah pejabat, dengan bantuan
software khusus audit, BPK mampu mengungkap penyimpangan BLBI sebesar
Rp84,8 Trilyun atau 59% dari total BLBI sebesar Rp144,5 Trilyun yang berimbas
terhadap beberapa mantan petinggi bank swasta nasional diadili karena mengemplang

13

BLBI, sedangkan kasus aliran Dana Bank Indonesia lebih heboh lagi karena
hasilaudit investigasi BPK menunjukkan aliran dana Bank Indonesia sebesar Rp127,5
Milyar ke Pejabat Bank Indonesia, Anggota DPR termasuk diantaranya sudah menjadi
Menteri Negara, kasus ini mencuat tajam sehingga Mantan Gubernur BI dan beberapa
pejabat yang terkait harus mendekam diterali besi ditemani koleganya para anggota
DPR yang menerima aliran dana tersebut, hal yang patut ditunggu adalah kelanjutan
hasil pengadilan yang menentukan siapa saja yang terlibat didalamnya.

D. PELAKSANAAN AUDIT FORENSIK


Proses pelaksanaan audit forensik, dalam banyak hal, sama dengan proses
pelaksanaan audit, tetapi dengan tambahan beberapa pertimbangan. Berikut adalah
langkah-langkah audit forensik secara umum dan singkat.
Langkah I: Menerima tugas
Auditor forensik pertama kali harus mempertimbangkan apakah dirinya
memiliki keahlian dan pengalaman yang dibutuhkan untuk menerima pekerjaan
tersebut. Investigasi forensik bersifat khusus, dan pekerjaan tersebut memerlukan
pengetahuan tentang investigasi fraud dan pengetahuan tentang hukum secara luas
dan mendalam. Para auditor juga harus memperoleh pelatihan di dalam melakukan
teknik-teknik interviu dan interogasi, dan bagaimana menyimpan bukti-bukti yang
diperoleh secara aman. Auditor sebaiknya tidak memberikan jasa audit umum dan
investigasi forensik atas klien yang sama.

Langkah II: Perencanaan


14

Tim auditor harus berhati-hati dalam merencanakan pekerjaan audit forensik.


Perencanaan pekerjaan audit ini paling tidak harus mencakup hal-hal berikut:
Mengidentifikasi jenis fraud yang terjadi, seberapa lama fraud telah berlangsung, dan
bagaimana

fraud

telah

dilakukan,

siapa

pelakunya

dan

juga

termasuk

mengkuantifikasi kerugian finansial yang diderita oleh klien dan mengumpulkan bukti
yang akan digunakan di pengadilan.
Memberi saran untuk pencegahan terulangnya fraud.
Mempertimbangkan cara terbaik mendapatkan bukti.
Menggunakan teknik audit berbantuan computer, bila diperlukan.
Langkah III: Mengumpulkan Bukti
Dalam rangka mengumpulkan bukti yang lengkap, auditor (investigator) harus
memahami jenis fraud dan bagaimana kecurangan tersebut telah dilakukan. Buktibukti yang dikumpulkan harus memadai untuk membuktikan identitas pelakunya,
mekanisme pelaksanaan fraud, dan jumlah kerugian finansial yang diderita. Hal
penting yang harus dipikirkan adalah bahwa tim auditor memiliki keahlian di dalam
mengumpulkan bukti yang akan digunakan dalam kasus persidangan, dan menjaga
rantai pengamanan bukti-bukti hingga dikemukakan dalam persidangan. Jika ada
bukti yang belum dapat disimpulkan atau ada kejanggalan dalam rantai prosesnya,
maka bukti tersebut mungkin akan dimentahkan dalam persidangan, atau bahkan bisa
menjadi bukti yang melemahkan. Auditor juga harus diperingatkan bahwa
kemungkinan bukti-bukti akan diselewengkan (falsified), dirusak atau dihancurkan
oleh tersangka.
Bukti dapat dikumpulkan dengan menggunakan berbagai teknik, seperti:
Menguji pengendalian guna mendapatkan bukti adanya kelemahan (kemungkinan
adanya kecurangan);

15

Menggunakan prosedur analistis (analytical procedures) untuk membandingkan tren


dari waktu ke waktu atau untuk memberikan gambaran tentang perbandingan antara
satu segmen bisnis dengan segmen bisnis lainnya dengan menggunakan teknik-teknik
audit berbantuan komputer.

Langkah IV: Penyusunan Laporan


Pada tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit forensik.
Dalam laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus diungkapkan. Poin-poin tersebut
antara lain adalah:
Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan.
Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan kegiatan. Oleh
karena itu, jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai
temuan.

Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan. Biasanya
mencakup sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan detail mengenai fraud tersebut.

E. PERAN PENTING AUDIT FORENSIK


Dalam beberapa artikel dan literatur, pembahasan Audit forensik lebih
mengarah kepada kasus pembuktian penyimpangan keuangan atau korupsi. Akan
tetapi, tidak menutup kemungkinan, audit forensikdiperlukan untuk pembuktian pada
kasus-kasus penipuan.
Objek audit forensik adalah informasi keuangan yang mungkin (diduga)
mengandung unsur penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud bisa berupa
16

tindakan merugikan keuangan perusahaan, seseorang, atau bahkan negara.


Temuan audit dari hasil pemeriksaan ini bisa dijadikan salah satu alat bukti bagi
penyidik, pengacara, atau jaksa untuk memutuskan suatu kasus hukum perdata. Tidak
menutup kemungkinan hasil audit juga akan memberikan bukti baru untuk tindakan
yang menyangkut hukum pidana, seperti penipuan.
Dalam kasus semacam ini, auditor dituntut harus benar-benar independen.
Meskipun penugasan auditdiberikan oleh salah satu pihak yang bersengketa,
independensi auditor harus tetap dijaga. Auditor tidak boleh memihak pada siapasiapa. Setiap langkah, kertas kerja, prosedur, dan pernyataan auditor adalah alat bukti
yang menghasilkan konskuensi hukum pada pihak yang bersengketa.

F. TUJUAN AUDIT FORENSIK


Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau mencegah berbagai jenis
kecurangan (fraud). Penggunaan auditor untuk melaksanakan audit forensik telah
tumbuh pesat. Beberapa contoh di mana audit forensik bisa dilaksanakan termasuk:
1)

Kecurangan dalam bisnis atau karyawan.

2)

Investigasi kriminal.

3)

Perselisihan pemegang saham dan persekutuan.

4)

Kerugian ekonomi dari suatu bisnis.

5)

Perselisihan pernikahan.

17

G. PERBEDAAN AUDIT FORENSIK DAN AUDIT


KONVENSIONAL
Perbedaaan utama Audit forensik dengan Audit maupun audit konvensional
lebih terletak pada mindset (kerangka pikir). Metodologi kedua jenis Audit tersebut
tidak jauh berbeda. Audit forensik lebih menekankan pada keanehan (exceptions,
oddities, irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct) daripada kesalahan dan
keteledoran seperti pada audit umum.
Prosedur utama dalam Audit forensic menekankan pada analytical review dan
teknik wawancara mendalam (in depth interview) walaupun seringkali masih juga
menggunakan teknik audit umum seperti pengecekan fisik, rekonsiliasi, konfirmasi
dan lain sebagainya. Audit forensik biasanya fokus pada area-area tertentu (misalnya
penjualan, atau pengeluaran tertentu) yang ditengarai telah terjadi tindak kecurangan
baik dari laporan pihak dalam atau orang ketiga (tip off) atau, petunjuk terjadinya
kecurangan (red flags), petunjuk lainnya.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar tindak kecurangan terbongkar
karena tip off dan ketidaksengajaan. Agar dapat membongkar terjadinya fraud
(kecurangan) maka seorang akuntan forensik harus mempunyai pengetahuan dasar
Audit dan audit yang kuat, pengenalan perilaku manusia dan organisasi (human dan
organization behaviour), pengetahuan tentang aspek yang mendorong terjadinya
kecurangan (incentive, pressure, attitudes, rationalization, opportunities) pengetahuan
tentang hukum dan peraturan (standar bukti keuangan dan bukti hukum), pengetahuan
tentang kriminologi dan viktimologi (profiling) pemahaman terhadap pengendalian
internal, dan kemampuan berpikir seperti pencuri (think as a theft).

18

H. ALASAN DIPERLUKANNYA AUDIT FORENSIK


Mencoba menguak adanya tindak pidana korupsi dengan audit biasa
(general audit atau opinion audit) sama halnya mencoba mengikat kuda dengan
benang jahit. BPK perlu alat yang lebih dalam dan handal dalam membongkar
indikasi adanya korupsi atau tindak penyelewengan lainnya di dalam Pemerintahan
ataupun dalam BUMN dan BUMD salah satu metodologi audityang handal adalah
dengan metodologi yang dikenal sebagai Akuntansi forensik ataupun Audit Forensik.
Audit forensik dahulu digunakan untuk keperluan pembagian warisan atau
mengungkap motif pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi dalam persoalan
hukum, maka istilah yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik.
Perkembangan sampai dengan saat ini pun kadar akuntansi masih kelihatan, misalnya
dalam perhitungan ganti rugi baik dalam pengertian sengketa maupun kerugian akibat
kasus korupsi atau secara sederhana

forensik menangani fraud khususnya dalam

pengertian corruption dan missappropriation of asset.


Profesi ini sebenarnya telah disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) pasal 179 ayat (1) menyatakan: Setiap orang yang diminta
pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib
memberikan keterangan ahli demi keadilan. Orang sudah mahfum profesi dokter
yang disebut dalam peraturan diatas yang dikenal dengan sebutan dokter ahli forensik,
namun ahli lainnya yang dalam ini termasuk juga akuntan belum banyak dikenal
sebutannya sebagai akuntanforensik

19

I. AUDIT FORENSIK DALAM MEMBANTU MEWUJUDKAN


GOOD GOVERNANCE
Seperti diketahui bahwa prinsip pemerintahan yang baik atau good
governancememiliki prinsip transparansi, akuntabilitas, keadilan, kemandirian,
integritas dan partisipasi. Namun kenyataannya itu sulit diwujudkan karena aparat
pemerintah, termasuk pemerintah Indonesia, kini marak melakukan tindakan kriminal
seperti korupsi dan penggelapan dana lainnya sehingga kasus tersebut semakin
meningkat tajam dan kian memprihatinkan. Kasus tersebut muncul karena mudahnya
pelaku menerapkan semacam penipuan atau fraud sehingga kejahatannya sulit
dididentifikasi dan hanya pengadilan forensikyang bisa melacaknya.
Setidaknya ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk memerangi korupsi di
samping upaya hukum antara lain preventif atau pencegahan, edukatif atau
pemberdayaan, dan terakhir investigatif atau pengungkapan kasus yang dapat
dilakukan dengan cara audit forensik.
Audit forensik mampu menekan kasus kriminal yang berkaitan dengan
keuangan di Indonesia seperti korupsi, pencucian uang, transaksi ilegal dan
sebagainya. Terlebih kasus tersebut sering terjadi di lingkungan pemerintahan
sehingga menghambat pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik.
Dr. Christoph Behrens, narasumber dari Center of Good Governance
mengungkapkan

kelebihan

investigasi audit forensik dibandingkan

investigasi

lainnya adalah independen, jauh dari kecurangan dan teliti karena setiap laporan
keuangan yang masuk dihitung dan diperiksa hingga detail oleh auditor yang
kompeten. Sehingga apabila ditemukan indikasi fraud atau penyimpangan termasuk
korpusi dapat dideteksi bahkan dicegah. Menurutnya, Audit forensik adalah alat

20

pengontrol dan investigasi setiap kegiatan keuangan pemerintah pusat dan daerah
sehingga dapat diketahui hasil bahkan pelanggarannya. Dengan itu, dapat mencegah
tindakan pidana yang mungkin terjadi serta mewujudkan pemerintah yang baik serta
profesional.
Prof Dr Margareth Gfrerer juga menyebutkan bahwa audit forensik dapat
dilakukan dengan sistem pengendalian internal terutama melalui penerapan
manajemen resiko. Sistem pengendalian tersebut dapat berjalan apabila didukung
kebijakan dari bawah hingga atas dengan skema prosesauditing, evaluasi, monitoring,
dan pelaporan. Dengan penerapan sistem seperti itu akan meminimalisasi timbulnya
resiko seperti, pelanggaran dan kasus korupsi yang terjadi sehingga mewujudkan
upaya good governance yang berlandaskan transparansi dan akuntabilitas.

21

BAB III

PEMBAHASAN

CONTOH PENERAPAN AUDIT FORENSIK DALAM KASUS HAMBALANG


1.

Kasus Hambalang
Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional

(P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversial. Dalam


audit BPK, ditulis bahwa proyek bernilai Rp1,2 triliun ini berawal saat Direktorat
Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional hendak membangun Pusat
Pendidikan Pelatihan Olahraga Pelajar Tingkat Nasional (National Training Camp
Sport Center).
Kemudian, pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari
lahan yang representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini
menjadi bahan Rapim Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang
dianggap paling cocok bagi pembangunan pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi
mensurvei lima lokasi yang dinilai layak untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni
di Karawang, Hambalang, Cariu, Cibinong, dan Cikarang. Tim akhirnya memberikan
penilaian tertinggi pada lokasi desa Hambalang, Citeureup, Bogor. Tim melihat, lahan
di Hambalang itu sudah memenuhi semua kriteria penilaian tersebut di atas. Sehingga
lokasi tersebut dipilih untuk dibangun.
Menindaklanjuti pemilihan Hambalang, Dirjen Olahraga Depdiknas langsung
mengajukan permohonan penetapan lokasi Diklat Olahraga Pelajar Nasional kepada
Bupati Bogor. Bupati Bogor menyetujui dengan mengeluarkan Keputusan Bupati

22

Bogor nomor 591/244/Kpes/Huk/2004 tanggal 19Juli 2004. Sambil menunggu izin


penetapan lokasi dari Bupati Bogor tesebut, pada 14 Mei 2004, Dirjen Olahraga telah
menunjuk pihak ketiga yaitu PT LKJ untuk melaksanakan pematangan lahan dan
pembuatan sertifikat tanah dengan kontrak No.364/KTR/P3oP/2004 dengan jangka
waktu pelaksanaan sampai dengan 9 November 2004 senilai Rp4.359.521.320.
Namun, ternyata lokasi Hambalang itu masuk zona kerentanan gerakan tanah
menengah tinggi sesuai dengan peta rawan bencana yang diterbitkan Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM. Sesuai
dengan sifat batuannya, PVMBG menyarankan untuk tidak mendirikan bangunan di
lokasi tersebut karena memiliki risiko bawaan yang tinggi bagi terjadinya bencana
alam berupa gerakan tanah.
Selain itu, status tanah di lokasi dimaksud masih belum jelas, meskipun telah
dikuasai sejak pelepasan/pengoperan hak garapan dari para penggarap kepada Ditjen
Olahraga setelah realisasi pembayaran uang kerohiman kepada para penggarap sesuai
Berita Acara Serah Terima Pelepasan/Pengoperan Hak Garapan tertanggal 19
September 2004.
Sejak itulah area tanah tersebut diakui sebagai aset Ditjen Olahraga dan
kemudian pada tanggal 18 Oktober 2005 diserahterimakan kepada organisasi baru
yaitu Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) setelah Ditjen
Olahraga berubah menjadi Kemenpora. Menpora saat itu, Adhyaksa Dault mengakui
bahwa untuk membangun pusat olahraga pihaknya mengajukan anggaran sebesar
Rp125 miliar. Karena proyek tersebut awalnya bukan untuk pembangunan pusat
olahraga. Melainkan hanya pembangunan sekolah olahraga. "Rekomendasi awalnya,
di sana hanya untuk bangun sekolah olahraga dua lantai dan saya tidak tahu

23

bagaimana ceritanya berubah menjadi sport center," kata Adhyaksa saat berbincang
dengan VIVAnews.
Nilai proyek ini kemudian melejit hingga Rp2,5 triliun saat Kemenpora
dipimpin oleh Menteri Andi Mallarangeng. Hal tersebut terungkap dalam audit
Hambalang, bahwa pada tanggal 8 Februari 2010 dalam Raker antara Kemenpora
dengan Komisi X, Menpora menyampaikan rencana Lanjutan Pembangunan tahap I
P3SON di Bukit Hambalang Rp625.000.000.000. Permintaan itu diajukan karena
dalam DIPA Kemenpora TA 2010 baru tersedia Rp125 miliar. Menpora Andi
Mallarangeng juga menyampaikan bahwa usulan tersebut merupakan bagian rencana
pembangunan P3SON Bukit Hambalang Sentul yang secara keseluruhan memerlukan
dana sebesar Rp2,5 triliun.
Andi Mallarangeng pun menghormati hasil audit BPK atas proyek Hambalang
tersebut. Bahkan dirinya mendukung perlu adanya pihak yang bertanggung jawab jika
memang ditemukan adanya penyimpangan. "Sebagai menteri tentu saya menjalankan
tugas sebaik-baiknya termasuk dalam hal pengawasan," kata Andi.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menyebut total
kerugian negara akibat Proyek Hambalang sebesar Rp463,67 miliar. Hal itu
disampaikan dalam paparan laporan hasil audit Hambalang Jilid II di ruang pimpinan
DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (23/8). "BPK menyimpulkan ada indikasi kerugian
negara sebesar Rp463,67 miliar akibat adanya indikasi penyimpaangan dan
penyalahgunaan wewenang wewenang yang mengandung unsur-unsur pidana yang
dilakukan pihak-pihak terkait dalam pembangunan P3SON Hambalang," paparnya.
Pelanggaraan tersebut terletak pada beberapa tahapan. Pertama, proses
pengurusan hak atas tanah. Kedua, proses pengurusan izin pembangunan. "Ketiga,
proses pelelangan. Keempat, proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak

24

Tahun Jamak," tambahnya. Kelima, pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan keenam,


pembayaran dan aliran dana yang diikuti rekayasa akuntansi.
Terkait proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak,
BPK juga menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor: 56/PMK.02/2010 yang diganti dengan PMK Nomor: 194/PMK.02/2011
tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak Dalam Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang diduga mengalami penurunan makna substantif dalam
proses persetujuan Kontrak Tahun Jamak. Hal ini dapat melegalisasi penyimpangan
semacam kasus hambalang untuk tahun-tahun berikutnya.

2.

Hasil Audit Forensik Kasus Hambalang


Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo memaparkan

sejumlah hasil audit terhadap kasus Hambalang ke DPR. Menurutnya laporan audit
investigasi kasus Hambalang dilakukan dua tahap. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
kasus Hambalang tahap I dilakukan pada 30 Oktober 2012.
Hasilnya telah disampaikan ke DPR. Dalam LHP tahap I, BPK menyimpulkan
ada

indikasi

penyimpangan

terhadap

peraturan

perundang-undangan

atau

penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan tahun jamak, proses pelelangan,


proses pelaksanaan konstruksi, dan dalam proses pencarian uang muka yang
dilakukan pihak terkait dalam pembangunan Hambalang yang mengakibatkan
timbulnya indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 263,66 miliar.

25

Artinya, LHP tahap I dan II merupakan satu satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.

Keduanya

secara

komprehensif

menyajikan

berbagai

dugaan

penyimbangan dan/atau penyalahgunaan wewenang dalam pembangunan Hambalang.


Dalam LHP tahap II, terang Hadi, BPK menyimpulkan terdapat indikasi
penyimpangan dan/atau penyalahgunaan wewenang yang mengandung penyimpangan
yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam pembangunan proyek hambalang.
Penyimpangan wewenang itu terjadi pada proses pengurusan hak atas tanah, proses
izin pembangunan, proses pelelangan, proses persetujuan RAK K/L dan persetujuan
tahun jamak, pelaksanaan pekerjaan konstruksi, pembayaran, dan aliran dana yang di
ikuti dengan rekayasa akuntasi dalam proyek Pusat Pendidiakn Pelatihan dan Sekolah
Olahraga Nasional (P3 SON), Hambalang.. Dalam LHP tahap II ini BPK kembali
menemukan adanya penyimpangan dalam proses pengajuan dan kerugian negara
mencapai Rp471 miliar.
Berikut kesimpulan LHP tahap II BPK soal Hambalang;
1)

Bahwa permohonan persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenpora kepada


Menteri Keuangan atas proyek pembangunan P3 SON Hambalang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku, sehingga
selayaknya permohonan tersebut tidak dapat disetujui Menteri Keuangan.

2)

Bahwa pihak-pihak terkait secara bersama-sama diduga telah melakukan rekayasa


pelelangan untuk memenangkan rekanan tertentu dalam proses pemilihan rekanan
pelaksana proyek pembangunan P3 SON Hambalang.

3)

Bahwa pihak Kemenpora selaku pemilik proyek tidak pernah melakukan studi
amdal maupun menyusun DELH (Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup) terhadap
proyek pembangunan P3 SON Hambalang sebagaimana yang diamanatkan UU
Lingkungan Hidup. Persyaratan adanya studi amdal terlebih dahulu sebelum

26

mengajukan izin lokasi, site plan, dan IMB kepada Pemkab Bogor tidak pernah
dipenuhi oleh Kemenpora.

Terkait dengan persetujuan RAK K/L dan persetujuan tahun jamak, BPK juga
menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri Keuangan No 56/2010 yang
diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 tentang Tata Cara
Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 patut diduga bertentangan dengan
Pasal 14 UU No 1/2004. Peraturan tersebut diduga untuk melegalisasi dugaan
penyimpangan

yang

56/2010,mengindikasikan

telah
adanya

terjadi.

Pencabutan

pembenaran

atas

Permenkeu

No

ketidakbenaran

atau

penyimpangan atas Pasal 14 UU No 1/2004. Berbagai indikasi penyimpangan yang


dimuat dalam LHP tahap I dan II mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 463,67
miliar. Yaitu senilai total dana yang telah dikeluarkan oleh negara untuk pembayaran
proyek pada 2010 dan 2011 sebesar Rp 471, 71 miliar. Dikurangi dengan nilai uang
yang masih berada pada KSO AW sebesar Rp 8,03 miliar.
Kesimpulan tersebut, didasarkan pada fakta-fakta sebagai berikut. Kemenpora
tidak pernah memenuhi persyaratan untuk melakukan studi amdal sebelum
mengajukan izin lokasi. Kemudian, setplant dan izin mendirikan bangunan kepada
pemkab Bogor atau menyusun dokumen evalusi lingkungan hidup mengenai proyek
Hambalang.
Permohonan persetujuan tahun jamak dari Kemenpora kepada Menteri
Keuangan atas proyek Pembangunan Hambalang, kata Hadi, tidak memenuhi

27

persyaratan sebagai mana yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku. Sehingga
sudah seharusnya permohonan tersebut ditolak.

3.Permasalahan
Pada pengelolaan keuangan negara yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, dari hasil laporan
BPK menunjukkan dari semua tahapan tersebut terdapat indikasi
penyimpangan baik yang secara langsung maupun tidak langsung berindikasi
pada kerugian negara, yaitu :
Adanya pengajuan permohonan, maupun penandatanganan persetujuan
yang tidak dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Sesuai dengan UU No. 17
Tahun 2003 pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa Keuangan Negara dikelola secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan. Juga pada pasal 3 ayat 4 disebutkan bahwa APBN/APBD
mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan
stabilisasi. Yang seharusnya fungsi otorisasi itu dijalankan oleh pejabat yang
berwenang dalam hal ini adalah Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna
anggaran sebagaimana disebutkan pada pasal 9 yang berbunyi Menteri /pimpinan
lembaga

sebagai

Pengguna

Anggaran/Pengguna

Barang

kementerian

negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut: a.


menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
...

28

Pelanggaran terkait Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Penetapan pemenang


lelang yang tidak sesuai dengan ketentuan mengenai pelelangan Keppres Nomor
80 Tahun 2003. Dimana pemenang lelang sudah ditentukan pada pagu anggaran
yang belum di revisi dan pengumuman mengenai informasi revisi pagu hanya
diberitahukan kepada calon pemenang lelang dan bukan diumumkan untuk
diadakan pelelangan ulang. Penyimpangan dalam penetapan pemenang lelang
konstruksi yaitu Ses Kemenpora (WM) telah melampaui wewenangnya dengan
menetapkan pemenang lelang untuk pekerjaan bernilai di atas Rp 50 Miliar tanpa
memperoleh pelimpahan wewenang dari Menpora sebagai pejabat yang
berwenang menetapkan. Hal tersebut melanggar ketentuan dalam Keppres
80/2003 pasal 26 bahwa pejabat yang berwenang menetapkan penyedia
barang/jasa adalah Menteri untuk pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari APBN
yang bernilai di atas Rp 50 Miliar. Penyimpangan dalam hal pelaksanaan
pekerjaan konstruksi berupa rekanan KSO AW mensubkontrakkan sebagian
pekerjaan utamanya kepada perusahaan lain yaitu di antaranya kepada PT DC dan
PT GDM. Hal tersebut melanggar ketentuan dalam Keppres 80/2003 pasal 32 (3)
bahwa Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab seluruh
pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain. Juga pasal 32 (4)
bahwa Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab sebagian
pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain dengan cara dan
alasan apapun, kecuali disubkontrakkan kepada penyedia barang/jasa spesialis.
Penyimpangan dalam proses pembayaran dan pencairan uang muka. RI
selaku Kabag Keuangan Kemenpora tetap menyusun dan menandatangani SPM,
meskipun Pejabat Penguji Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Bendahara
belum menandatangani dokumen SPP dari PPK yang berarti belum menguji

29

kelengkapan dan kebenaran tagihan sesuai tugasnya. SPM itu bersama dengan
surat Pertanggungjawaban Belanja dari WM selaku Ses Kemenpora diajukan ke
KPPN untuk penerbitan SP2D. Hal tersebut tidak sesuai dengan UU No. 1 Tahun
2004 Pasal 4 ayat 1 huruf f yang menyebutkan bahwa Menteri/pimpinan lembaga
selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya, berwenang: menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian
dan perintah pembayaran.
Kerugian negara disebabkan antara lain perubahan Peraturan Menteri
Keuangan No. 56/PMK.02/2010 menjadi PMK no. 194/PMK.02/2011 tentang
Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak Dalam Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah. PMK baru tersebut mengubah makna substansi
dalam proses persetujuan kontrak tahun jamak. Akibatnya, anggaran dana proyek
Hambalang yang awalnya ratusan miliar menjadi triliunan rupiah. Pada PMK No.
56/PMK.02/2010 ada pesyaratan wajib mendapatkan rekomendasi dari instansi
teknis terkait dengan kelayakan atass kontrak tahun jamak. Namun persyaratan itu
tidak ada lagi dalam PMK no. 194/PMK.02/2011. Selain itu untuk mendapatkan
kontrak tahun jamak semestinya setelah mendapat persetujuan dari DPR. PMK no.
194/PMK.02/2011 bertentangan dengan Pasal 14 UU No. 1 Tahun 2004 dan
berpotensi melegalisasi penyimpangan untuk kasus Hambalang dalam tahun-tahun
berikutnya.
Selain itu penyimpangan tersebut, yang berakibat indikasi kerugian keuangan
negara, juga merupakan pelanggaran terhadap UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 34
ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 35 Ayat (1).
Pasal yang diberikan terkait hukuman yang diterima pelaku:

30

a. Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999


sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tentang perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain
atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara; sedangkan pasal 3
mengenai perbuatan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi,
menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan negara. Ancaman pidana dari pelanggaran pasal tersebut adalah
maksimal 20 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp1 miliar.
b. pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana
telah diubah menjadi UU no 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak
pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengatur tentang
penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi dengan ancaman
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4-20 tahun
dan pidana denda Rp200-Rp1 miliar.
c. Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal
64 ayat 1 KUHP dan dia diganjar hukuman 4,5 tahun penjara, denda Rp 250
juta atau diganti dengan 6 bulan kurungan.

31

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Audit forensik dapat didefinisikan sebagai aplikasi keahlian mengaudit atas
suatu keadaan yang memiliki konsekuensi hukum. Tujuan dari audit forensik adalah
mendeteksi atau mencegah berbagai jenis kecurangan. Salah satu pendekatan yang
bisa diambil dalam upaya pemberantasan korupsi adalah dengan menerapkan
Audit Forensik. Audit forensik mampu menekan kasus kriminal yang berkaitan
dengan keuangan di Indonesia seperti korupsi, pencucian uang, transaksi ilegal dan
sebagainya. Terlebih kasus tersebut sering terjadi di lingkungan pemerintahan
sehingga menghambat pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik.
Dalam kasus Hambalang Audit Forensik dibutuhkan untuk mengungkap
kecurangan yang terjadi dalam kasus tersebut. Hal tersebut juga penting untuk
pengembangan kasus dugaan korupsi Hambalang yang tengah ramai dibicarakan saat
ini.

DAFTAR PUSTAKA

32

Akuntono, Indra. (2013, 13 September).BAKN.Ajukan Tiga Rekomendasi Terkait Kasus


Hambalang. http://nasional.kompas.com/read/BAKN-Ajukan-Tiga-RekomendasiTerkait-Kasus-Hambalang. Diakses pada 27 November 2013, 01:05.
Dahono. (2013) 03 Januari. Audit forensik membedah fraud dan litigasi.
http://itjen.deptan.go.id/479-auditforensikmembedahfrauddanligitasi.

Diakses

pada 27 November 2013, 02:10.


Dewi, Apristia Krisna. (2011, 23 Juni). Audit Forensik Bantu Wujudkan Good
Governance. http://www.uinjkt.ac.id. Diakses pada 27 November 2013, 01:10.
Fajar, Ajat M. (2013, 23 Agustus ). Inilah Hasil Audit Tahap II BPK Soal Hambalang.
http://nasional.inilah.com. Diakses pada 27 November 2013, 01:10.
Farahdina, Gita. (2013, 23 Agustus). BPK: Kasus Hambalang Rugikan Negara Rp463,67
Miliar. http://Metrotvnews.com. Diakses pada 27 November 2013, 00:30.
Hopwood, William, George Young, Jay Leiner. Forensic Accounting. http://Amazon.com:
(9780073526850):Books.
Keris,

Panji.

(2012,

24

April).

Gambaran

Umum

Audit

Forensik.

http://panjikeris.wordpress.com/2012/04/24/audit-forensik/. Diakses pada 27


November 2013, 02:47.
Novita, Dyah Ratna Meta. (2013, 23 Agustus). Berikut Hasil Audit BPK Soal
Hambalang. http://Republika.co.id. Diakses pada 27 November 2013, 01:05.
Purjono. 2013. Peran Audit Forensik Dalam Memberantas Korupsi Di Lingkungan Instansi
Pemerintah. Suatu Tinjauan Teoritis. [pdf]. Diakses pada 27 November 2013, 01:05.
Tirta, Dwi. (2013, 21 Maret). Audit Forensik Untuk Mendeteksi Risiko Fraud atau
Kecurangan. http://mediainformasi.org/audit-forensik-untuk-mendeteksi-risikofraud-atau-kecurangan. Diakses pada 27 November 2013, 01:00.

33

Tuanakotta,

Theodorus

M.

2007.

Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif.

Seri

Departemen Akuntansi FEUI. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi


Univesitas Indonesia

34

Anda mungkin juga menyukai