Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN KETUBAN PECAH DINI

A.     Konsep Ketuban Pecah Dini

1.      Pengertian Ketuban Pecah Dini

Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan.

Bila ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini pada

kehamilan premature. Dalam keadaan normal 8 – 10 % wanita hamil aterm akan mengalami

ketuban pecah dini (Prawirohardjo, 2010)

Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya tanda-tanda

persalinan. Sebagian besar ketuban pecah dini terjadi diatas 37 minggu kehamilan, sedangkan

dibawah 36 minggu tidak terlalu banyak (Manuaba, 2010).

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila pembukaan pada

primipara < 3 cm dan pada multipara <5 cm. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun

jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37

minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya

melahirkan (Mochtar, 2007).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketuban pecah dini

adalahpecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan atau sebelum inpartu pada pembukaan <

4 cm (fase laten) yang terjadi setelah kehamilan berusia 22 minggu

2.      Etiologi Ketuban Pecah Dini

Ketuban pecah dini disebabkan oleh kurangnya kekuatan membrane atau meningkatnya

tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membrane

disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Penyebabnya juga
disebabkan karena inkompetensi servik. Polihidramnion / hidramnion, mal presentasi janin

(seperti letak lintang) dan juga infeksi vagina / serviks (Prawirohardjo, 2010).

Adapun yang menjadi faktor resiko terjadinya ketuban pecah dini adalah :

(Prawirohardjo, 2010)

a.      Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)

Korioamnionitis adalah keadaan pada ibu hamil dimana korion, amnion dan cairan

ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu

dan janin, bahkan dapat menjadi sepsis. Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput

ketuban maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan

terjadinya KPD.

b.      Serviks yang inkompeten

Serviks yang inkompeten, kanalis servikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan

pada serviks uteri (akibat persalinan, curettage). Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi

(inkompetensia), didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan

kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester

kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus

dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada

konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi

kehamilan atau laserasi obstetrik.

c.      Trauma

Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini. Trauma yang

didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi yang ≥4 kali seminggu, posisi

koitus yaitu suami diatas dan penetrasi penis yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu
terjadinya ketuban pecah dini, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan

terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi.

d.      Ketegangan intra uterin

Perubahan volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil akhir

kehamilan yang kurang bagus. Ketegangan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara

berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gamelli.

e.      Kelainan letak,

Misalnya sungsang sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul

serta dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.

f.       Paritas

Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara. Primipara adalah wanita yang

pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang

mengalami ketuban pecah dini berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil,

gangguan fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan. Selain itu, hal ini

berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir triwulan kedua dan awal triwulan ketiga

kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan didukung oleh faktor lain seperti keputihan atau infeksi

maternal. Sedangkan multipara adalah wanita yang telah beberapa kali mengalami kehamilan

dan melahirkan anak hidup. Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami ketuban

pecah dini pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat, diyakini lebih

beresiko akan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan berikutnya.

g.      Usia kehamilan

Persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang jelas, infeksi diyakini

merupakan salah satu penyebab terjadinya KPD dan persalinan preterm (Prawirohardjo, 2010).
Pada kelahiran <37 minggu sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila ≥47 minggu lebih

sering mengalami KPD (Manuaba, 2010).

Komplikasi paling sering terjadi pada ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu

adalah sindroma distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi

meningkat pada kejadian ketuban pecah dini, selain itu juga terjadinya prolapsus tali pusat.

Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada ketuban pecah dini preterm. Hipoplasia

paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada ketuban pecah dini preterm. Kejadiannya

mencapai 100% apabila ketuban pecah dini preterm terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23

minggu.

h.      Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya

Riwayat KPD sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami KPD kembali. Patogenesis

terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen

dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini

preterm terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada

kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang telah

mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari

pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi membran

yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan

berikutnya.

3.      Patofisiologi Ketuban Pecah Dini

Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini menurut Manuaba (2010) adalah :

a.    Terjadinya pembukaan premature serviks


b.    Membran terkait dengan pembukaan terjadi devaskularisasi serta  nekrosis dan dapat diikuti

pecah spontan

c.    Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang

d.    Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang mengeluarkan enzim

proteolotik dan enzim kolagenase.

4.      Tanda dan Gejala Ketuban Pecah Dini

Menurut Manuaba (2010), tanda dan gejala pada kehamilan yang mengalami KPD adalah

keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak

seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat

dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi

sampai kelahiran. Tetapi bila duduk/berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya

mengganjal atau menyumbat kebocoran untuk sementara. Demam, bercak vagina yang banyak,

nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda infeksi yang terjadi.

5.      Komlpikasi Ketuban Pecah Dini

Komplikasi yang terjadi pada KPD meliputi mudah terjadinya infeksi intra uterin, partus

prematur, dan prolaps bagian janin terutama tali pusat (Manuaba, 2009). Terdapat tiga

komplikasi utama yang terjadi pada KPD yaitu peningkatan morbiditas neonatal oleh karena

prematuritas, komplikasi selama persalinan dan kelahiran, dan resiko infeksi baik pada ibu

maupun janin. Risiko infeksi karena ketuban yang utuh merupakan penghalang penyebab infeksi

(Prawirohardjo, 2010).

Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,

kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonal.

Komplikasi akibat KPD kepada bayi diantaranya adalah IUFD, asfiksia dan prematuritas.
Sedangkan pada ibu diantaranya adalah partus lama, infeksi intrauterin, atonia uteri, infeksi

nifas, dan perdarahan post partum (Mochtar, 2007).

6.      Diagnosa Ketuban Pecah Dini

Menurut Prawirohardjo (2010) untuk mendiagnosa ketuban pecah dini yaitu dengan

menentukan pecahnya selaput ketuban di vagina. Jika tidak ada dapat dicoba dengan

menggerakan sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan.

Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (nitrazin test) merah menjadi biru.

Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG. Tentukan ada tidaknya infeksi.

Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu ibu ≥48°C serta air ketuban keruh dan berbau. Leukosit

darah > 15.000/mm3. Tentukan tanda-tanda persalinan, tentukan adanya kontraksi yang teratur.

Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan).

7.      Pemeriksaan Penunjang Ketuban Pecah Dini

a.      Pemeriksaan laboratorium

1)    Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna. Konsentrasi, baud an pHnya.

2)    Cairan yang keluar dari vagina ini ada kemungkinan air ketuban, urine, atau secret vagina.

3)    Secret ibu hamil pH: 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna tetap kuning.

4)    Tes lakmus (nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukan adanya air

ketuban (alkalis). pH air ketuban 7-7,5, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang

positif palsu.

5)    Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering.

Pemeriksaan mikroskopik menunjukan daun pakis. (Varney, 2007)

b.      Pemeriksaan Ultrasonogafi (USG)


Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri.

Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan

pada penderita oligohidramnion (Varney, 2007).

8.      Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini

Sebagai gambabaran umum untuk tatalaksana ketuban pecah dini dapat dijabarkan

sebagai berikut: (Manuaba, 2010)

a.      Mempertahankan kehamilan sampai cukup matur khususnya maturitas paru sehingga

mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru yang sehat.

b.      Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi peicu sepsis, meningitis janin,

dan persalinan prematuritas.

c.      Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan berlangsung dalam waktu

72 jam dapat diberikan kortikosteroid, sehingga kematangan paru janin dapat terjamin.

Kehamilan ≥47 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea. Dapat pula

diberikan misoprostol 25µg – 50µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila skor pelvic < 5,

lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan

seksio sesarea. Bila skor pelvic > 5, induksi persalinan (Prawirohardjo, 2010).

Berikut bagan penatalaksaan ketuban pecah dini menurut Manuaba (2010) sebagai

berikut :
Bagan 2.1 Penatalaksaan Ketuban Pecah Dini

Sumber : Manuaba (2010)

B.     Faktor yang Berkaitan dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini

1.      Usia Kehamilan

Usia kehamilan adalah ukuran lama waktu seorang janin berada dalam rahim

(Prawirohardjo, 2010). Umur atau usia kehamilan adalah lamanya kehamilan ibu. Kehamilan

dibagi atas 3 triwulan (trimester) : kehamilan triwulan I antara 0-12 minggu, kehamilan triwulan

II antara 13-28 minggu dan kehamilan triwulan III antara 29-40 minggu (Manuaba, 2010).
Usia kehamilan pada saat kelahiran merupakan satu-satunya alat ukur kesehatan janin

yang paling bermanfaat dan waktu kelahiran sering ditentukan dengan pengkajian usia

kehamilan (Varney, 2007). Usia kehamilan merupakan salah satu prediktor penting bagi

kelangsungan hidup janin dan kualitas hidupnya. Persalinan umumnya terjadi pada usia

kehamilan cukup bulan. Pada kehamilan umur 20 minggu berisiko terjadi komplikasi kehamilan

(Mansjoer, 2010).

Janin dikatakan cukup bulan (aterm) apabila usia kehamilannya mencapai 37 minggu

lengkap (atau dengan kata lain 38 minggu) hingga 42 minggu. Bila kurang daripada itu disebut

sebagai “prematur/preterm” (<37 minggu) dan jika lebih dinamakan “postmatur/ postterm” (≥48

minggu) (Manuaba, 2010).

Manuaba (2010) menjelaskan bahwa usia kehamilan berkaitan dengan kejadian KPD.

Kejadian KPD lebih sering terjadi pada persalinan usia kehamilan ≥47 minggu, dan pada

persalinan usia <37 minggu tidak terlalu sering terjadi KPD dan hanya kelahiran preterm yang

sering terjadi. Akan tetapi

Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia kehamilan,

dimana ha tersebut dapat mengakibatkan terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan

prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden Sectio

Caesaria, atau gagalnya persalinan normal. Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh

persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam

24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24

jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu (Manuaba,

2010). Semakin lama menunggu, kemungkinan infeksi semakin besar dan membahayakan janin

serta ibu (Varney, 2007).


Hasil penelitian Oktavia (2013) menjelaskan bahwa paritas ibu bersalin resiko tinggi

sebanyak 15 (41,7%) mengalami ketuban pecah dini dan 21 (58,3%) tidak mengalami ketuban

pecah dini. Pada usia kehamilan diketahui bahwa ibu dengan usia kehamilan prematur sebanyak

9 (64,3%) mengalami ketuban pecah dini dan 5 (35,7%) tidak mengalami ketuban pecah dini,

sedangkan pada ibu dengan usia kehamilan matur sebanyak 15 (19,2%) mengalami ketuban

pecah dini dan 63 (73,9%) tidak mengalami ketuban pecah dini.

Hasil penelitian Susilowati (2009) mengenai gambaran karakteristik ibu bersalin dengan

KPD, diketahui bahwa ibu yang mengalami ketuban pecah dini sebagian besar umur kehamilan

antara 37-42 minggu yaitu sebanyak 106 ibu (82,2%).

2.      Paritas

Paritas adalah jumlah kehamilan yang diakhiri dengan kelahiran janin yang memenuhi

syarat untuk melangsungkan kehidupan atau pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu dan berat

janin mencapai lebih dari 1000 gram (Manuaba, 2010). Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup

yang dipunyai oleh seorang wanita (Prawirohardjo, 2010).

Menurut Prawirohardjo (2010), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan

grandemultipara.

a.      Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di

dunia luar

b.      Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali (2-4 anak)

c.      Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya

mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan


Penggolongan paritas bagi ibu yang masih hamil atau pernah hamil berdasarkan

jumlahnya menurut Perdinakes-WHOJPHIEGO dalam Varney (2007) yaitu:

a.      Primigravida adalah wanita hamil untuk pertama kalinya

b.      Multigravida adalah wanita yang pernah hamil beberapa kali, di mana kehamilan tersebut tidak

lebih dari 4 kali (2-3)

c.      Grandemultigravida adalah wanita yang pernah hamil ≥4 kali.

Paritas 2 – 3 merupakan jumlah paling aman ditinjau dari sudut kesehatan serta sudut

kematian maternal dan perinatal (Manuaba, 2010). Paritas 1-2 merupakan paritas paling aman

ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 0 dan paritas tinggi (≥4) mempunyai angka

kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada

paritas 0 dapat ditangani dengan asuhan obstetri lebih baik. Sedangkan risiko pada paritas tinggi

dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi

adalah tidak direncanakan (Saifuddin, 2006)

Paritas tinggi (pasritas 1 dan ≥4) merupakan salah satu dari penyebab terjadinya kasus

ketuban pecah sebelum waktunya. Paritas 1 dan paritas tinggi (≥4) mempunyai angka kematian

maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1

dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat

dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana dengan dua anak cukup dan mempunyai lebih

dari tiga termasuk paritas tinggi dan maksimal dua anak digolongkan dengan paritas rendah.

Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.

Paritas kedua dan ketiga merupakan keadaan yang relatif lebih aman untuk hamil dan

melahirkan pada masa reproduktif, karena pada keadaan tersebut dinding uterus belum banyak

mengalami perubahan, dan serviks belum terlalu sering mengalami pembukaan sehingga dapat
menyanggah selaput ketuban dengan baik (Varney. 2007). Ibu yang melahirkan beberapa kali

lebih berisiko mengalami KPD, oleh karena vaskularisasi pada uterus mengalami gangguan yang

mengakibatkan jaringan ikat selaput ketuban mudah rapuh dan akhirnya pecah spontan.

Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan pernah mengalami KPD pada kehamilan

sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat diyakini lebih beresiko akan mengalami

KPD pada kehamilan berikutnya (Varney, 2007).

Hasil penelitian Sari (2014) menjelaskan bahwa ibu dengan paritas grandemultipara

sebagian besar mengalami KPD sebanyak 14 kasus (73,7%) sedangkan ibu yang tidak

mengalami KPD hampir seluruhnya adalah ibu dengan paritas primipara 85 kasus (88,5%) dan

multipara 150 kasus (82,9%). Hasil penelitian Susilowati (2009) mengenai karakteristik ibu

bersalin dengan KPD, diketahui bahwa ibu yang mengalami ketuban pecah dini sebagian besar

adalah primigravida yaitu sebanyak 85 ibu (65,9%).

Hasil penelitian Oktavia (2013) menjelaskan bahwa paritas ibu bersalin resiko tinggi

sebanyak 15 (41,7%) mengalami ketuban pecah dini dan 21 (58,3%) tidak mengalami ketuban

pecah dini, sedangkan paritas ibu bersalin resiko rendah sebanyak 9 (16,1%) mengalami ketuban

pecah dini dan 47 (83,9%) tidak mengalami ketuban pecah dini. 


LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

KETUBAN PECAH DINI DI RUANG KASUARI

RSUD dr M ASHARI PEMALANG

DISUSUN OLEH :
LUKMAN FEBRIANTO
C1010018

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

STIKES BHAMADA SLAWI

2013

TINJAUAN TEORI

A.      PENGERTIAN

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda mulai persalinan

dan ditunggu satu jam sebelum terjadi inpartu. Ketuban pecah dini merupakan pecahnya selaput

janin sebelum proses persalinan dimulai. (Manuaba, 1998)

1.    KPD saat preterm (KPDP) adalah KPD pada usia <37 minggu

2.    KPD memanjang merupakan KPD selama >24 jam yang berhubungan dengan peningkatan

risiko infeksi intra-amnion


Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung.

Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya

tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran

disebabkan adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina serviks. (Prawirohardjo, 2002)

Ketuban pecah dini atau sponkaneous/ early/ premature rupture of the

membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban sebsalum partu : yaitu bila pembukaan pada

primigravida dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. (Mochtar, 1998).

B.       ETIOLOGI

Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau

meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan

membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Selain itu

ketuban pecah dini merupakan masalah kontroversi obstetri. Penyebab lainnya adalah sebagai

berikut :

1.         Inkompetensi serviks (leher rahim)

Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot leher atau leher

rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka ditengah-tengah

kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin yang semakin besar. Adalah serviks

dengan suatu kelainan anatomi yang nyata, disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri

atau merupakan suatu kelainan kongenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya dilatasi

berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal

trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil

konsepsi.
(Manuaba, 2002).

2.         Peninggian tekanan intra uterin

Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat menyebabkan

terjadinya ketuban pecah dini. Misalnya :

a.    Trauma : Hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis

b.    Gemelli 

Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada kehamilan gemelli terjadi

distensi uterus yang berlebihan, sehingga menimbulkan adanya ketegangan rahim secara

berlebihan. Hal ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung

(selaput ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada yang menahan sehingga

mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah. 

(Saifudin. 2002)

a.    Makrosomia

Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan makrosomia

menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over distensi dan menyebabkan tekanan pada

intra uterin bertambah sehingga menekan selaput ketuban, manyebabkan selaput ketuban

menjadi teregang,tipis, dan kekuatan membrane menjadi berkurang, menimbulkan selaput

ketuban mudah pecah.

(Winkjosastro, 2006)

d.   Hidramnion

Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000mL. Uterus dapat

mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak. Hidramnion kronis adalah peningaktan
jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur. Hidramnion akut, volume tersebut

meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja.

3.         Kelainan letak janin dan rahim : letak sungsang, letak lintang.

4.         Kemungkinan kesempitan panggul : bagian terendah belum masuk PAP (sepalo pelvic

disproporsi).

5.         Korioamnionitis

Adalah infeksi selaput ketuban. Biasanya disebabkan oleh penyebaran organisme vagina ke atas.

Dua factor predisposisi terpenting adalah pecahnya selaput ketuban > 24 jam dan persalinan

lama.

6.         Penyakit Infeksi

Adalah penyakit yang disebabkan oleh sejumlah mikroorganisme yang meyebabkan infeksi

selaput ketuban. Infeksi yang terjadi menyebabkan terjadinya proses biomekanik pada selaput

ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.

7.         Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetik) 

8.         Riwayat KPD sebelumya

9.         Kelainan atau kerusakan selaput ketuban

10.     Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu

C.       PATOFISIOLOGI

Banyak teori, mulai dari defect kromosom kelainan kolagen, sampai infeksi. Pada

sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%)

High virulensi : Bacteroides ; Low virulensi : Lactobacillus


Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast, jaringa retikuler korion dan

trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh system aktifitas dan inhibisi

interleukin -1 (iL-1) dan prostaglandin.

Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin,

menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/

amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan. (Taylor, 2006)

D.      MANIFESTASI KLINIK

       Menurut Mansjoer ( 2000) Achadiat (2004) manifestasi ketuban pecah dini adalah:

1.        Keluar air krtuban warna keruh. Jernih,kuning, hijau, atau kecoklatan sedikit-sedikit atau

sekaligus banyak

2.        Dapat disertai demam bila sudah terjadi infeksi

3.        Janin mudah diraba

4.        Pada pemeriksaan dalam selaput ketuban sudah tiadak ada, air ketuban sidah kering

5.        Inspekulo: tampak air ketuban mengalir atau selaput keruban tidak ada dan air ketuban sudah

kering

6.        Usia kehamilan vible (>20 minggu)

7.        Bunyi jantung bisa tetap normal

E.       PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang menurut Achadiat (2004) adalah:

1.    Pemeriksaan leukosit/WBC, bila >15.000/ml kemungkinan telah terjadi infeksi


2.    Ultrasonografi (USG) sangat membantu dalam menentukan usia kehamilan, letak atau

persentasi janin, berat janin, letak dan gradasi plasenta serta jumlah air ketuban.

3.    Monitor DJJ dengan fetoskoplaennec atau Doppler atau dengan melakikan pemeriksaan atau

kardiotokografi ( bila usia kehamial >32 mmingu).

4.    Memeriksa adanya cairan yang berisi mekonium, verniks kassceosa, rambut lanugo/ telah

terinfeksi atau berbau

5.    Inspekulo: lihat dan oerhatikan apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servik dan

apakah ada bagian yang sudah pecah

6.    Gunakan kertas lakmus

Bila menjadi biru (basa): air ketuban

Bila menjadi merah(asam): air kemih (urine)

7.    Pemeriksaan PH forniks posterior pada prom PH adalah basa air ketuban

8.    Pemeriksaan histopatologi air (ketuban)

9.    Aborization dan sitologi air ketuban

F.        KOMPLIKASI

1.    Infeksi 

Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenden dari vagina atau

infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. 

2.     Partus peterm 

Persalinan preterm atau partus prematur adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang

dari 37 minggu ( antara 20 – 37 minggu ) atau dengan berat janin kurang dari 2500 gram

( Manuaba, 1998) 
3.    Prolaps Tali pusat 

Tali pusat menumbung 

4.    Distasia ( partus Kering) 

Pengeluaran cairan ketuban untuk waktu yang akan lama akan menyebabkan dry labour atau

persalinan kering 

5.     Ketuban pecah dini merupakan penyebab pentingnya persalinan premature dan prematuritas

janin. 

6.    Resiko terjadinya ascending infection akan lebih tinggi jika persalinan dilakukan setelah 24 jam

onset 

7.    Hipoplasia pulmonal janin sangat mengancam janin, khususnya pada kasus oligohidramnion 

G.      PENANGANAN MEDIS

a.       Pada kehamilan preterm berupa penanganan konservatif, antara lain :

1.    Rawat di rumah sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan

pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai

37 minggu

2.    Berikan antibiotika (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila tidak tahan ampisilin) dan

metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari

3.    Jika umur kehamilan < 32-34 minggu dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air

ketuban tidak keluar lagi

4.    Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu kematangan paru janin, dan

kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Sedian terdiri atas
betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari atau deksametason IM 5 mg setiap 6 jam

sebanyak 4 kali

5.    Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa (-): beri

deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan

37 minggu

6.    Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik

(salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam

7.    Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi

8.    Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin)

b.      Pada kehamilan aterm berupa penanganan aktif, antara lain:

1.    Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesaria. Dapat pula

diberikan misoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.

2.    Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi, dan persalinan di akhiri:

·      Bila skor pelvik < 5 lakukan pematangan serviks kemudian induksi. Jika tidak berhasil akhiri

persalinan dengan seksio sesaria.

·      Bila skor pelvik > 5 induksi persalinan, partus pervaginam.

H.         ASUHAN KEPERAWATAN

1.    PENGKAJIAN

a.  Biodata klien  

berisi tentang : Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, No. Medical
Record, Nama Suami, Umur, Pendidikan, Pekerjaan , Suku, Agama, Alamat, Tanggal

Pengkajian. 

b. Keluhan utama  : 

keluar cairan warna putih, keruh, jernih, kuning, hijau / kecoklatan sedikit / banyak, pada periksa

dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering, inspeksikula tampak air ketuban

mengalir / selaput ketuban tidak ada dan air ketuban sudah kering  

c.  Riwayat haid 

Umur menarchi pertama kali, lama haid, jumlah darah yang keluar, konsistensi, siklus haid, hari

pertama haid dan terakhir, perkiraan tanggal partus 

d. Riwayat Perkawinan 

Kehamilan ini merupakan hasil pernikahan ke berapa? Apakah perkawinan sah atau tidak, atau

tidak direstui dengan orang tua ? 

e.  Riwayat Obstetris 

Berapa kali dilakukan pemeriksaan ANC, hasil laboraturium : USG , darah, urine, keluhan

selama kehamilan termasuk situasi emosional dan impresi, upaya mengatasi keluhan, tindakan

dan pengobatan yang diperoleh.

f.  Riwayat penyakit dahulu  

Penyakit yang pernah di diderita pada masa lalu, bagaimana cara pengobatan yang dijalani nya,

dimana mendapat pertolongan, apakah penyakit tersebut diderita sampai saat ini atau kambuh

berulang – ulang  

g.  Riwayat kesehatan keluarga 

Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang diturunkan secara genetic seperti
panggul sempit, apakah keluarga ada yg menderita penyakit menular, kelainan congenital atau

gangguan kejiwaan yang pernah di derita oleh keluarga 

h. Kebiasaan sehari –hari   

·      Pola nutrisi : pada umum nya klien dengan KPD mengalami penurunan nafsu makan,

frekuensi minum klien juga mengalami penurunan 

·      Pola istirahat dan tidur : klien dengan KPD mengalami nyeri pada daerah pinggang sehingga

pola tidur klien menjadi terganggu, apakah mudah terganggu dengan suara-suara, posisi saat

tidur (penekanan pada perineum)  

·      Pola eliminasi : Apakah terjadi diuresis, setelah melahirkan, adakah inkontinensia (hilangnya

infolunter pengeluaran urin),hilangnya kontrol blas, terjadi over distensi blass atau tidak atau

retensi urine karena rasa takut luka episiotomi, apakah perlu bantuan saat BAK. Pola BAB,

freguensi, konsistensi,rasa takut BAB karena luka perineum, kebiasaan penggunaan toilet. 

·      Personal Hygiene : Pola mandi, kebersihan mulut dan gigi, penggunaan  pembalut dan

kebersihan genitalia, pola berpakaian, tata rias rambut dan wajah. 

·      Aktifitas : Kemampuan mobilisasi klien dibatasi, karena klien dengan KPD di anjurkan untuk

bedresh total 

·      Rekreasi dan hiburan : Situasi atau tempat yang menyenangkan, kegiatan yang membuat

fresh dan relaks. 

i.   Pemeriksaan Fisik 

·      Pemeriksaan umum: suhu normal kecuali disertai infeksi.

·      Pemeriksaan abdomen: uterus lunak dan tidak nyeri tekan. Tinggi fundus harus diukur dan

dibandingkan dengan tinggi yang diharapkan menurut hari haid terakhir. Palpasi abdomen
memberikan perkiraan ukuran janin dan presentasi maupun cakapnya bagian presentasi. Denyut

jantung normal. 

·      Pemeriksaan pelvis: pemeriksaan speculum steril pertama kali dilakukan untuk memeriksa

adanya cairan amnion dalam vagina. Karna cairan alkali amnion mengubah pH asam normal

vagina, kertas nitrasin dapat dipakai untuk mengukur pH vagina. Kertas nitrasin menjadi biru

bila ada cairan alkali amnion. Bila diagnose tidak pasti adanya skuama anukleat, lanugo, atau

bentuk Kristal daun pakis cairan amnion kering dapat membantu. 

·      Pemeriksaan vagina steril: menentukan penipisan dan dilatasi serviks. Pemeriksaan vagina

juga mengidentivikasi bagian presentasi dan stasi bagian presentasi dan menyingkirkan

kemungkinan prolaps tali pusat. 

j. Pemeriksaan penunjang 

·           Pemeriksaan laboraturium  

Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan yang

keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina

ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.  

·           Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan

adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah dan infeksi vagina dapat

mengahsilakan tes yang positif palsu.

·           Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan

kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis. 

·           Pemeriksaan ultrasonografi (USG)  

pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada
kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahn pada

penderita oligohidromnion. 

2.    DIAGNOSA KEPERAWATAN

a.    Nyeri akut b/d  peredaran karakteristik kontraksi

b.    Intoleran aktifitas b/d tirah baring

c.    Kurang pengetahuan mengenai prosedur b/d kurang informasi

d.   Ketakutan/ansietas b/d kondisi janin yang menurun

e.    Resiko tinggi infeksi b/d rembesan cairan ketuban

3.    FOKUS INTERVENSI

a.    Nyeri akut b/d peredaran karakteristik kontraksi

Tujuan:

-       Pasien menunjukkan ekspresi wajah rileks

-       Pasien tidak mengeluh kesakitan

-       Pasien menyatakan nyerinya berkurang

Intervensi :

1.    Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-5), frekuensi, dan waktu. Menandai

gejala nonverbal. Misalnya: gelisah, takikardia, dan meringis.

2.    Dorong pengungkapan perasaan

3.    Berikan aktivitas hiburan, misalnya: membaca, berkunjung, dan lain-lain.

4.    Lakukan tindakan paliatif, misalkan: pengubahan posisi, massase, rentang gerak pada sendi

yang sakit.
5.    Intruksikan pasien/dorong untuk menggunakan visualisasi/bimbingan imajinasi, relaksasi

progresif, teknik nafas dalam.

b.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring

Tujuan : - Mengidentifikasi faktor-faktor yang menurunkan toleransi aktifitas

-  Memperlihatkan kamajuan (ketingkat yang lebih tinggi dari mobilitas yang mungkin)

-  Memperlihatkan penurunan tanda-tanda hipoksia terhadap aktifitas (nadi, tekanan darah,

pernapasan)

Intervensi :

1.      Kaji respon individu terhadap aktivitas

2.      Meningkatkan aktivitas secara bertahap

3.      Ajarkan klien metode penghematan energi untuk aktivitas.

4.      Instruksikan klien untuk konsulasi kepada dokter atau ahli terapi fisik untuk program latihan

jangka panjang.

5.       Rujuk kepada perawat komunitas untuk tindak lanjut jika diperlukan.

c.    Kurang pengetahuan mengenai prosedur b/d kurang informasi

Tujuan: - Menggungkapkan pengetahuan tentang prosedur/situasi

- Berpartisipasi dalam prosedur pembuatan ketuban

Intervensi :

1.      Tinjauan ulang ketuban terhadap induksi/augmentasi persallin

2.      Jelaskan prosedur yang akan dirasakan klien,kontraksi dan DJJ adan dipantau secara kontinus

3.      Tinjau prosedur secara amniotomi


4.      Demontrasikan dan jelaskan penggunaan peralatatan

d.   Ketakutan/ansietas b/d kondisi janin yang menurun

Tujuan : - Gangguan sistem dukungan secara efektif

- Menyelesaikan persalinan dengan sukses

Intervensi :

1.      Kaji status psikologi dan emosi

2.      Anjurkan untuk mengungkapkan perasaan

3.      Gunakan berminologi positif, hindari penggunaan istilah yang menendakan abnormalitas

prosedur atau proses

4.      Anjurkan penggunaan/tehnik pernafasan

5.      Nyeri perabaan/perbedaan yang diantisipasi dalam pola persalinan dan kontrasi

6.      Tinjau ulang atau berikan instruksi tehnik pernafasan sederhana

7.      Anjurkan klien untuk menggunakan tehnik relaksasi

e.    Resiko tinggi infeksi b/d rembesan cairan ketuban

Tujuan : - Bebas dari proses infeksi nosokomial selama perawatan di rumah sakit

-  Memperlihatkan kemampuan tentang faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan infeksi dan

melakukan tindakan pencegahan yang tepat untuk mencegah infeksi

Intervensi :

1.      Identifikasi individu yang berisiko terhadap infeksi nosokomial

2.      Kurangi organisme-organisme yang masuk ke dalam tubuh

3.      Lindungi individu yang defisit imun dari infeksi


4.       Kurangi kerentanan individu terhadap infeksi

5.      Amati terhadap manifestasi klinik infeksi (mis; demam, urine keruh, drainase purulen)

6.      Instruksikan individu dan keluarga mengenal penyebab, risiko-risiko dan kekuatan penularan

infeksi.

7.      Laporkan penyakit-penyakit menular.


LAPORAN PENDAHULUAN

KETUBAN PECAH DINI (KPD)

A.PENGERTIAN

Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis yang normal.

Persalinan adalah pelepasan dan pengeluaran produk konsepsi (janin, air ketuban,

plasenta dan selaput ketuban) dari uterus melalui vagina ke dunia luar. Persalinan

normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-

40 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung

kurang dari 24 jam tanpa komplikasi baik bagi ibu maupun bagi janin (Prawirohardjo,

S, 2005).

Ketuban pecah dini / Early Premature Rupture Of membrane (PROM) adalah

pecahnya ketuban sebelum inpartu yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm

dan multipara kurang dari 5 cm (Prawirohardjo, 2005).

Sedangkan menurut Yulaikhah (2009), ketuban pecah dini adalah pecahnya

ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, kondisi ini merupakan penyebab terbesar

persalinan premature dengan segala akibatnya.

B.

ETIOLOGI

Pada sebagian besar kasus, penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang disebutkan

memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur, merokok, dan

perdarahan selama kehamilan. Beberapa faktor risiko dari KPD :

1.

Inkompetensi serviks (leher rahim) menyebabkan dindiing ketuban paling bawah

endapatkan tekanan yang semakin tinggi.

2.
Hidromnion (cairan ketuban berlebih >2000 cc)

3.

Riwayat KPD sebelumya sebanyak 2 kali atau lebih

4.

Kelainan letak janin yaitu sungsang

5.

Usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang.

6.

Multipara, pada kehamilan yang sering mempengaruhi proses embriogenesis

sehingga selaput ketuban yang terbentuk lebih tipis.

7.

Kehamilan kembar mengakibatkan kemungkinan terjadinya hidramnion

bertambah 10 x lebih besar

8.

Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu

9.

Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketubandalam

bentuk proteolitik sehingga memudahkan kulit ketuban dapat pecah,misalnya

aminonitis atau kasioaminionitis, infeksi genetalia

C.

MANIFESTASI KLINIS

Menurut Achadiat (2004) manifestasi ketuban pecah dini adalah:

1.

Keluar air ketuban warna keruh, ,kuning, hijau, atau kecoklatan sedikit-sedikit
atau sekaligus banhyak

2.

Dapat disertai demam bila sudah terjadi infeksi

3.

Pada pemeriksaan dalam selaput ketuban sudah tiadak ada, air ketuban sidah

kering.

4.

Inspekulo: tampak air ketuban mengalir atau selaput keruban tidak ada dan air

ketuban sudah kering

5.

Usia kehamilan vible (>20 minggu)

6.

Buyi jantung bisa tetap normal

D.

PATOFISIOLOGI

Mekanisme ktuban pecah dini (KPD) menurut Manuaba (2009) yaitu diawali

dengan terjadi pembukaan premature serviks lalu selaput ketuban menjadi tidak kuat

sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan vaskularisasi. Bila terjadi pembukaan

serviks, maka selaput ketuban sangat lemah dan mudah

pecah dan terjadi pengeluaran

air ketuban. Melemahnya daya tahan ketuban dapat dipercepat dengan infeksi yang

mengeluarkan enzim proteolitik

dan kolegenase.

E.
PATHWAY

Terlampir

F.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada KPD dapat terjadi pada ibu dan janinnya.

a.

Terhadap Janin

Walaupun ibu belum menunjukkan gejala infeksi, tapi janin mungkin sudah

terkena infeksi, karena infeksi intra uteri lebih dulu terjadi (amnionitis,vaskulitis)

sebelum gejala pada ibu dirasakan.

b.

Terhadap Ibu

Karena jalan telah terbuka antara lain akan dijumpai infeksi intrapartum apabila

terlalu sering dilakukan periksa dalam, infeksi puerperalis dan peritonitis dan

siptikemi.

G.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang untuk KPD adalah :

1.

Test Nitrozin, tes untuk memastikan pecahnya ketuban yaitu dengan kertas

lakmus cairan amnion memiliki PH 7,1 – 7, 3 hingga akan memberikan warna

biru pada kertas lakmus.

2.

Ferning Test, untuk memastikan pecahnya ketuban dilakukan dengan pemeriksaan


mikroskopis dimana akan menggambarkan cairan amnion membentuk seperti

daun pakis atau paku- pakuan.

3.

Pemeriksaan darah lengkap untuk menentukan adanya anemia dan

infeksi

4.

Pemeriksaan USG untuk melihat jumlah caira ketuban dan kavum uteri

(oligohidromnion), penipisan serviks dan kardiografi ( usia gestasi, ukuran janin,

gerakan jantung janin dan kakuatan kontraksi).

H.

PENANGANAN

1.

Konservatif

a.

Rawat di rumah sakit

b.

Berikan antibiotika bila ketuban pecah lebih dari 6 jam.

c.

Jika umur kehamilan

32-34 minggu, dirawat selama air

ketuban masih keluar

atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.

d.

Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, berikan

tokolotik (salbutamol), dexamethasone, dan induksi dalam 24 jam.


e.

Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan

induksi.

f.

Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intra uterin).

g.

Pada usia 32-34 minggu berikan steroid untuk memacu kematangan paru

janin, dosis betamethasone 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari,

dexamethasone IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.

2.

Aktif

a.

Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio secarea.

Dapat pula diberikan misoprostol 50 ug intravaginal tiap 6 jam maksimal 4

kali.

b.

Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan

diakhiri bila skor pelvik < 5, dilakukan pematangan serviks kemudian induksi.

Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio secarea atau bila skor

pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.

I.

PENATALAKSANAAN

KETUBAN PECAH

< 37 Minggu
>37 Minggu

Infeksi

Tidak ada infeksi

Infeksi

Tidak ada infeksi

Berikan penisilin,

gentamisin dan

Metronidazole

lahirkan bayi

Amoksisilin +

eritromisin untuk 7

hari

Steroid untuk

pematangan paru

Berikan penisilin,

gentamisin dan

metronidasole

lahirkan bayi

Lahirkan bayi

Berikan penisilin dan

ampisilin.

ANTIBIOTIKA SETELAH PERSALINAN

Profilaksis

Infeksi

Tidak ada infeksi


Stop antibiotic

Lanjutkan untuk 24 –

48 jam setelah bebas

panas.

Tidak perlu antibiotik

J.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1.

Pengkajian

a.

Identitas klien dan penanggung jawab

b.

Keluhan utama

c.

Pemeriksaan umum meliputi keadaan umum dan tanda vital

d.

Riwayat obstetric

e.

Pemeriksaan head to toe

1)

Kepala: kulit kepala bersih atau tidak.

2)

Muka: pucat atau tidak, oedem tidak.

3)
Mata: apakah pucat atau tidak, oedem atau tidak, konjungtiva anemis

atau tidak, sclera ikterik tidak, penglihatan baik atau tidak.

4)

Hidung: bersih atau tidak, penciuman terganggu atau tidak, terdapat

lender atau tidak, ada polip atau tidak.

5)

Telinga bersih atau tidak, pendengaran baik atau tidak, terdapat

cairanatau tidak.

6)

Mulut: bibir kering atau tidak, mulut bersih atau tidak, terdapat stomatitis

atau tidak.

7)

Gigi: bersih

atau tidak,

terdapat caries

atau tidak,

gusi mudah berdarah

atau tidak.

8)

Leher: terdapat pembesaran kelenjar tyroid atau tidak.

9)

Ketiak: terdapat pembesaran kelenjar limfe atau tidak.

10)

Dada: bentuknya bagaimana, terdapat retraksi dinding dada

tidak,
pernafasan teratur atau tidak, bunyi jantung bagaimana.

11)

Payudara: terdapat benjolan atau tidak.

12)

Perut: terdapat luka bekas operasi atau tidak, terdapat pembesaran atau

nyeri tekan atau tidak.

13)

Vulva:dari faktor predisposisi ketuban pecah dini adalah infeksi pada

genetalia.

14)

Anus: terdapat hemoroid atau tidak.

15)

Ekstremitas

atas dan bawah:

bentuk simetris atau

tidak, terdapat kelainan

anatomi fisiologi tidak, kaki oedem tidak, varices atau tidak.

2.

Diagnosa Keperawatan

1.

Nyeri berhubungan dengan dilatasi serviks dan kontraksi uterus

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 8 jam diharapkan

nyeri berkurang

Kriteria Hasil
-

Ekspresi wajah klien rileks

Skala nyeri 2

Rr : 16 – 24x/ menit

Klien dapat melakukan relaksasi / distraksi nyeri

Intervensi

a.

Pantau tanda vital klien (RR)

R: ambang nyeri yang meningkat diiringi dengan peningkatan respirasi

rate

b.

Kaji karakteristik nyeri verbal dan non verbal

R : untuk mengetahui karakteristik nyeri dan menentukam intervensi

nyeri selanjutnya

c.

Berikan posisi nyaman

R : meningkatkan relaksasi klien, member rasa nyaman

d.

Hitung frekuensi, intensitas dan durasi kontraksi uterus

R : memantau persalinan dan memberikan informasi untuk klien

e.

Ajarkan dan bantu melakukan teknik relaksasi dan distraksi


R : dapat memblok impuls nyeri dalam korteks serebral

f.

Anjurkan klien berkemih tiap 1 – 2 jam

R : mempertahankan kandung kemih bebeas ditensi yang dapat

menyebabkna ketidaknyamanan

2.

Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan kurangnya pengetahuan

tentang proses persalinan

Tujuan : setelelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 8 jam diharapkan

ansietas berkurang

Kriteria hasil :

Klien melaporkan ansietas berkurang

Klien dapat menggunakan teknik relaksasi / distraksi

Wajah klien tampak rileks

Kooperatif dalam setiap tindakan

TD : 120/ 80 mmhg

Intervensi :

a.

Kaji tingkat ansietas melalui isyarat verbal dan non verbal


R : mengidentifikasi tingkat ansietas dan intervensi tindakan yang

perlu silakukan selanjtnya.

b.

Berikan dukungan intrapartal secara kontinyu, yakinkan bahwa klien

selalu didampingi

R : membantu menurunkan ketegangan klien

c.

Anjurkan relaksasi nafas dalam/ distraksi

R : membantu menurunkan ansietas dan meningkatkan koping klien

d.

Bimbing klien berdoa

R : meningkatkan keyakinan klien dalam menghadapi prosedur

persalinan

e.

Pantau tekanan darah klien

R : stress dapat meningkatkan TD

f.

Pantau pola kontraktilitas uterus, laporkan disfungsi persalinan

R : pola kontraksi hipertonik/ hiponik dapat terjadi bila stress menetap

dan memperpanjang pelepasan katekolamin.

g.

Anjurkan klien mengungkapkan kecemasannya

R :stress, ansiatas dan rasa takut mempunyai efek yang dalam pada

proses persalinan.
3.

Resiko infeksi berhubungan dengan terbukanya jalan lahir dengan ekstrauteri

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam,

diharapkan klien tidak mengalami infeksi

KH :

Bebas tanda infeksi (tumor, kalor, dolor, rubor, fungsio laesa)

Suhu tubuh normal (36

3o

C – 37

50

C)

Kadar leokosit normal (4,5 – 11 ribu/dl)

Cairan amnion jernih, hamper tidak berwarna dan berbau

Intervensi

a.

Pantau tanda – tanda vital klien

R : peningkatan suhu tubuh mengindikassikan terjadinya infeksi

b.

Kaji gejala infeksi (tumor, kalor, dolor, rubor, fungsio laesa)

R : pembesaran/ pmbengkakan, panas, nyeri, kemerahan dan kelainan

fungsi jaringan adalah indikasi dari terjadinnya infeksi


c.

Pantau gambaran dan karakteristik dari cairan amniotic

R : pada infeksi, cairan amnion lebih kental dan kuning pekat dengan

bau yang tidak sedap

d.

Gunakan teknik aseptic selama melakukan pemeriksaan vagina /

tindakan keperawatan

R : mencegah terjadinya infeksi silang

e.

Kolaborasi dalam pemantauan kadar leokosit klie

R : meningkatnya sel leokosit mengindikasikan terjadinya infeksi

DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, 2004, Buku

Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.

Jakarta

: EGC.

Herdman, Heather T. 2010. NANDA Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-

2014. Jakarta : EGC.

Manuaba. 2009. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk

Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.

Prawirohardjo, Sarwono. 2005.

Ilmu kebidanan

. Jakarta : FKU

I.
Yulaikhah, 2009. Panduan Lengkap Kebidanan. Yogyakarta : Pallmall.

Varney, Helen. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Ed. 4, Vol. 1. Jakarta : EGC. 2007.

Wilkinson, M. Judith. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan edis

Anda mungkin juga menyukai