PEMBAHASAN
1[1] M. Ali Hasan, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Masail
Fiqhiyah II), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 40.
4[4]http://www.bankirnews.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=905:definisi diposkan pada hari selasa
tanggal 5 november 2013.
pembayaran serta memberi perlindungan keamanan uang dari berbagai
gangguan, seperti perampokan.5[5]
Bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana
ketika ia menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang
memerlukan dana ketika ia memberi pinjaman kepada mereka. Dalam
kegiatan ini muncul apa yang disebut bunga bahwa bunga adalah harga
uang.
Dari sini, masyarakat yang menyediakan dana dengan imbalan bunga,
menyimpan harta / dananya di bank dan oleh bank disalurkan pada pihak
lain, baik perseorangan maupun badan usaha, dengan memungut jasa
pemakaian dana disebut bunga. Ongkos administrasi dan ongkos sewa.
Terdapat dua alasan, paling tidak mengapa bank perlu membayar
bunga pada penyimpan dana:
1) Dengan menyimpan uang di bank, penebung telah mengorbankan
kesempatan atas keuntungan yang mungkin diperoleh dari pemakaian dana
itu, andaikata ia melakukannya.
2) Dengan menyimpan uang di bank, penabung telah mengorbankan
kesempatan pemakaian dana untuk keperluan konsumsi. Salah satu prinsip
ekonomi adalah “nilai uang sekarang lebih berharga daripada nilainya di
masa mendatang”. Dalam hal tabungan berjangka, dengan menyimpan uang
di bank, penabung mengorbankan sebagian likuiditasnya, seperti berjaga-
jaga menghadapi keperluan mendadak.
3) Faktor inflasi juga menjadi pertimbangan perlunya imbalan kepada
penabung.6[6]
Untuk pengembangan dirinya, ia hanya mengandalkan modal dari
saham anggota yan termasuk lembaga ini. Karena itu, semua beban yang
harus di tanggulangi diatas, dibayar oleh bank dengan “bunga” yang ditarik
dari nasabah pemakai jasa bank (peminjaman), yang lazim disebut “bunga
5[5] Muhammad Zuhri, Riba Dalam Al-qur’an dan Masalah Perbankan (Sebuah
Tilikan Antisipatif), (Jakarta: 1997, PT. RajaGravindo), hlm. 144.
8[8] http://iisnoeraisyah.blogspot.com/2012/01/bank-syariah-dan-bank-
konvensional.html Diposkan oleh Iis Noer 'Aisyah di 03.59.00 tanggal 4 November
2013.
Bank umum yang telah diberikan izin oleh Bank Indonesia khusus untuk
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip syariah, baik kantor pusat,
kantor cabang atau kantor dibawah kantor cabang dari bank tersebut,
dilarang melakukan kegiatan perbankan secara konvensioal. Demikian
ditentukan oleh pasal 32/34/1999. Ketentuan ini merupakan penegasan dari
ketentuan Undang-undang No. 10 Tahun 1998.
Pasal 32 ayat (2) dari SK DIR BI 32/34/1999 tersebut tidak
memperkenankan bank yang bersangkutan untuk merubah kegiatan
usahanya menjadi bank konvensional. Dengan kata lain tidak dimungkinkan
suatu bank BUS dikonversi menjadi suatu bank konvensional.
Pasal 33 ayat (1) mementukan bahwa kantor pusat suatu BUS dilarang
membuka kantor cabang dan atau kantor dibawah kantor cabang yang
melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa suatu
BUS, sama sekali tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan selain
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Dengan kata lain, suatu BUS
tidak dapat memlilki conventional window, yaitu tidak boleh melukan
kegiatan perbankan konvensional sekalipun kegiatan perbankan
konvensional itu melalui suatu cabang khusus yang dimaksudkan untuk
melakukan kegiatan perbankan konvensional saja. Dengan kata lain BUS
hanya boleh memiliki single window saja yang hanya melakukan kegiatan
usaha perbankan syariah saja.
Asas bahwa BUS hanya boleh memiliki single window atau tidak boleh
memiliki convensional window, sudah selayaknya diterapkan. Karena kalau
tidak demikian halnya, maka pada BUS, dilihat dari kaca mata syariah
(agama Islam), pelaksanaan kegiatan usaha yang halal akan tercampur
dengan kegiatan usaha yang halal. Bahkan, apabila harus dipertimbangkan
secara umum dilihat dari kaca mata syariah, bagi bank umum yang
membuka convensional islamic window (dengan membuka cabang khusus
yang dimaksudkan hanya untuk melaksanakan kegiatan perbankan syariah
saja), apakah memang ada jaminan di dalam operasionalisasinya bahwa
cabang khusus syariah tersebut akan menggunakan dana yang dikerahkan
hanya berdasarkan prinsip syariah saja dan tidak tercampur dengan dana
dari kantor cabang lain atau dari kantor pusatnya yang diperoleh bukan
berdasarkan prinsip Syariah, tetapi berdasarkan pemberian bunga yang
dilarang oleh syariah. Apabila hal itu terjadi, maka cabang khusus syariah
tadi telah mencampuradukan antara dana halal dan dana haram bagi
kegiatan pembiayaannya yang berdasarkan Prinsip Syariah.9[9]
PENUTUP
9[9] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1999), hlm. 155-
157.