Anda di halaman 1dari 3

UMMU NAFI’AH

06420190029
C3 SYARIAH
Asas-Asas Penerapan Syariat Islam
Syariat Islam diciptakan untuk tegaknya kebenaran di atas muka bumi. Syariat Islam
mengatur baik hubungan manusia dengan Allah swt maupun hubungan manusia
dengan sesama manusia. Dalam menjalankannya, syariat Islam harus mematuhi asas-
asas. Ada tiga asas umum syariat Islam yaitu :

1. At-taysir wa raf'ul haraj (memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan)


Ajaran Islam adalah ajaran yang sarat akan kemudahan. Allah swt banyak
memberikan kemudahan di dalam hukum-hukumnya, karena kondisi manusia
yang berbeda-beda, dan tak jarang manusia dihadapkan pada kondisi yang sulit.
Ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat Al Baqarah ayat 185 yang
artinya :
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Allah swt tidak akan menyusahkan hambaNya, Dia senantiasa memberi sesuatu
sesuai dengan kesanggupannya. Hal ini sesuai dengan Surat Al Baqarah ayat 286
yang artinya :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)
Rasulullah SAW juga memerintahkan kita untuk mengerjakan sesuatu sesuai
dengan kesanggupan kita. Hal ini beliau sabdakan dalam haditsnya yang
berbunyi :
“Apa-apa yang saya larang darimu maka tinggalkanlah dan apa-apa yang saya
perintahkan kepadamu maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuanmu” (HR.
Muslim).
Sebuah riwayat juga menyebutkan bahwa jika Rasullullah SAW dihadapkan pada
dua pilihan, beliau akan memilih pilihan yang paling mudah, asalkan hal itu tidak
dosa, karena beliau paling anti dengan yang namanya dosa.
“Dari Aisyah radhiyallahu anha meriwayatkan, Rasulullah tidak pernah sekali
pun dihadapkan pada dua pilihan melainkan mengambil yang paling mudah
diantaranya selama itu bukan dosa tetapi kalau itu adalah dosa maka beliau
adalah orang yang paling jauh daripadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Taqlilu at-takalif (sedikit pembebanan)


Maksud dari asas ini adalah Allah swt tidak mau membebankan larangan atau
perintah yang terlalu banyak kepada manusia. Perintah atau larangan tersebut
sangat bergantung pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan masyarakat Arab
kepada Nabi Muhammad SAW. Karena, segala jawaban Rasul adalah perintah.
Maka Rasulullah SAW sangat melarang hal ini, sesuai dengan sabdanya :
“Sesungguhnya kesalahan terbesar bagi seorang muslim adalah menanyakan
tentang sesuatu masalah yang belum diharamkan kemudian itu menjadi
diharamkan karena pertanyaannya tersebut”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sebenarnya tidak penting
kepada Rasul SAW, sehingga dikhawatirkan menimbulkan hokum-hukum baru
yang membebani manusia.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada kami: “Wahai
manusia, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kepada
kalian untuk berhaji maka berhajilah kalian) kemudian seseorang berkata:
apakah setiap tahun wahai Rasulullah?? Kemudian Rasululullah diam sampai
pertanyaan tersebut diajukan padanya sebanyak tiga kali kemudian beliau
mengatakan: “kalau seandainya saya mengatakan “ia” maka itu akan diwajibkan
tiap tahun dan kalian tidak menyanggupinya” (HR.Muslim)
Allah SWT juga telah berfirman dalam Surat Al Maidah ayat 101 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun.”

3. At-tadarruj fi At-tasyri’ (bertahap dalam menetapkan syariat) Dalam penciptaan


manusia kita mengetahui ada beberapa tahap penciptaan yang dialami seorang bayi
sebelum ia lahir ke muka bumi. Di dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjelaskan tahapan-tahapan penciptaan manusia tersebut selama ia berada di
dalam rahim ibunya. Dijelaskan dalam surah al-Mu’minun dari ayat 12 sampai ayat 14,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah
itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan
dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”

Ketika kita makan sebungkus roti coklat yang rasanya enak sekali yang kita beli dari
sebuah toko, tentu kita mengetahui bahwa roti coklat ini tidak akan menjadi selezat ini
jika tidak melalui sebuah “proses” dan “tahapan-tahapan” pembuatan. Dari yang
mulanya cuma berbentuk bahan-bahan mentah seperti terigu, telur, gula, coklat dan
lain-lain. Bahan-bahan ini diolah dan diproses sehingga menjadi sebungkus roti yang
sangat enak. Begitu pula halnya dengan penerapan syariat Islam. Syariat Islam pun
membutuhkan “proses” dan “tahapan-tahapan” sehingga dapat menjadi sebuah syariat
yang sempurna bagaikan proses penciptaan manusia dan proses pembuatan sebungkus
roti coklat tersebut. Ketika pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus
membawa risalah dan syariat Islam, Rasulullah hidup di kalangan bangsa Arab yang
jahiliyyah yang mana mereka mempunyai adat-adat jahiliyah seperti minum khamar,
berzina, menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup, dan kejahiliyaan-
kejahiliyaan lainnya. Akan tetapi bukan kalimat “dirikanlah shalat” atau “tinggalkanlah
khamar” atau “janganlah kalian berbuat zina” yang disabdakan dari mulut mulia beliau
melainkan seruan untuk mengajak bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Beliau mengajarkan pokok-pokok
keimanan seperti iman kepada malaikat, surga dan neraka. Sejarah telah mencatat
bahwa kurang lebih sepuluh tahun beliau hanya mengajak manusia untuk bertauhid.
Barulah setelah peristiwa “isra’ mi’raj” syariat dalam prosesnya mewajibkan shalat lima
waktu bagi kaum muslimin sebagai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala setelah
iman telah tertancap kuat dalam hati para kaum muslimin. Setelahnya secara bertahap
syariat mewajibkan ibadah-ibadah lainnya seperti jihad fi sabilillah yang mana itu
ditandai dengan hijrah dari Makkah ke Madinah, lalu jihad dalam peperangan seperti
perang Badar, perang Uhud, Khandaq sampai Fathu Makkah. Kemudian diwajibkannya
juga membayar zakat, puasa Ramadhan maupun melarang hal-hal yang di haramkan-
Nya seperti minum khamar, berzina, berghibah, memakan harta anak-anak yatim dan
macam-macamnya. Proses dan tahapan ini tidak lain agar supaya syariat Islam ini dapat
diterima oleh kaumnya dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Seperti yang
diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam kitab shahih Bukhari ia berkata:
“Sesungguhnya surat yang pertama kali turun adalah surah yang menjelaskan tentang
surga dan neraka. Kemudian setelah manusia kuat keyakinannya terhadap Islam barulah
turun surah-surah tentang yang halal dan haram. Kalau seandainya yang pertama kali di
turunkan, “janganlah kalian minum khamar”, maka mereka akan berkata “kami tidak
akan meninggalkan khamar selamanya”, dan apabila yang turun “janganlah kalian
berzina” maka mereka akan berkata “kami tidak akan meninggalkan zina”.

4. Mewujudkan keadilan
Pada asas ini memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan menegakkan
keadilan. Allah berfirman yang artinya:
“Sungguh allah telah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada
yangberhak menyampaikannya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum
diantara manusia supaya kalian berlaku adil” (Q.S An-Nisa 41:58)

Anda mungkin juga menyukai