Anda di halaman 1dari 14

HUKUM DAN MASYARAKAT

TEORI HUKUM PROGRESIF


( SATJIPTO RAHARDJO )

SILVIA KUMALASARI
8111412028

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
Dalam catatan tentang penegakan hukum di Indonesia terdapat beberapa kisah ahli
hukum yang dianggap tidak lazim jika di pandang dari hegemoni cara berhukum pada eranya.
Misalnya kisah tentang Hakim Agung Asikin Kusumahatmadja yang membuat putusan
melampaui petitum (permohonan) pihak penggugat dalam perkara Gugatan Warga Kedung
Ombo pada akhir tahun 1990-an, kisah terobosan yang dilakukan Hakim Irfanudin dalam perkara
korupsi di Lampung, kisah Hakim Bismar Siregar, kisah Jaksa Agung Baharudin Lopa, kisah
Jenderal Polisi Hoegeng dan “pendekar hukum” lainnya. Sikap, tindakan dan pemikiran mereka
dalam menerobos kebuntuan sistem hukum dalam mewujudkan keadilan sering disebut-sebut
sebagai “penegakan hukum progresif”.

Terobosan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum tersebut merupakan respon
terhadap proses hukum seringkali tidak mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas apalagi
memberikan keadilan substantif bagi para pihak. Proses hukum lebih tampak sebagai “mesin
peradilan” yang semata-mata hanya berfungsi mengejar target penyelesaian perkara yang efektif
dari sisi kuantitas sesuai dengan tahap-tahap dan “aturan main” yang secara formal ditetapkan
dalam peraturan. Hukum dan proses peradilan seringkali merasa terkendala ketika harus
dihadapkan pada kasus-kasus yang semakin rumit dan kompleks seiring dengan perkembangan
masyarakat yang sangat dipacu oleh sistem global.

Sistem hukum modern yang telah terlanjur diformat dalam sekat-sekat pembagian bidang
hukum secara tradisional “hitam putih” (Perdata, Administrasi, Pidana, dst.) menjadi gagap
ketika dituntut harus menyelesaikan perkara-perkara yang berada pada “ranah abu-abu” (tidak
tampak jelas batas antara persoalan etika, privat atau publik).

Secara paradigmatik dapat dijelaskan bahwa modernisme terkait dengan berkembangnya


tradisi pemikiran yang mengedepankan rasionalitas daripada hal-hal yang bersifat metafisika
sebagaimana yang berkembang dalam era sebelumnya. Tradisi pemikiran ilmu pengetahuan
didominasi paradigma Cartesian/Baconian/Newtonian telah merubah dunia menuju pada era
masyarakat modern dengan modernismenya. Secara singkat tradisi tersebut adalah cara berpikir
yang menonjolkan aspek rasional, logis, memecah/memilah (atomizing), matematis, masinal,
deterministik dan linier.1
1 Satjipto Rahardjo (Khudzaifah Dimyati, ed.), 2004. Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan
Pencerahan, Surakarta: Muhammadiyah University Press, hlm. 35.
Perkembangan IPTEK yang sangat pesat pasca era “pencerahan” di dunia sains dan seni
secara nyata juga berpengaruh terhadap perkembangan (perubahan) di bidang sosial, politik,
ekonomi , dan juga hukum. Di bidang sosial misalnya terjadi perubahan dari tipe masyarakat
agraris menuju pada masyarakat industri yang bersifat liberal. Di bidang politik tampak pada
terbentuknya negara modern dengan platform konstitusional dan demokrasinya. Di bidang
ekonomi muncul sistem perekonomian terbuka yang membuka pasar bebas dan cenderung
bersifat kapitalistik.

Tak pelak lagi perubahan yang terjadi pada masyarakat modern tersebut juga diikuti
dengan perubahan pada tatanan hukumnya, yakni muncul dan berkembangannya tatanan hukum
modern atau lebih dikenal dengan sebutan hukum sistem hukum positif. Pada awalnya sistem
hukum positif dipandang bisa memberikan harapan untuk mengatur berbagai persoalan pada
masyarakat modern sehingga (diprediksikan) bisa mencapai ketertiban dalam hidup
bermasyarakat. Namun demikian, pada kenyataannya dan dalam perkembangannya, sifat hukum
positif yang netral dan liberal, justru menjadikan hukum modern semakin “terasing” dari realitas-
realitas yang terus berkembang semakin pesat.2

Surutnya kejayaan cara berpikir Cartesian/Baconian/Newtonian setelah munculnya teori-


teori baru pada dunia sains seperti teori relativitas dan teori keos telah merubah cara pandang
terhadap kebenaran. Pada kenyataannya metode berpikir secara mekanistis, terukur, linier, dan
seterusnya pada positivisme menyebabkan terjadinya pereduksian makna dan manipulasi fakta
yang menyebabkan kegagalan dalam memahami realita secara benar dan utuh. Hal demikian
tampaknya terjadi pula pada model hukum modern yang masih bertahan dengan dominasi
positivisme-nya yang semakin sulit menjadi sarana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang
berkembang pada masyarakat pascaindustri.

Fenomena yang nampak jelas menunjukkan perubahan paradigma pada masyarakat


pascaindustri atau yang disebut juga sebagai masyarakat informasi adalah perkembangan IPTEK
telah mencapai tahap yang sangat mutakhir. Salah satu produk IPTEK yang kini menjadi simbol

2Positivisme secara universal bisa mengakibatkan keterpurukan hukum, karena terlalu mengandalkan
teori dan pemahaman legalistik-positivistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound)
belaka maka kita takkan pernah menangkap hakikat kebenaran. Lihat: Achmad Ali, 2002. Keterpurukan
Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.19.
kemajuan adalah IT (Information Technology). Teknologi inilah yang secara revolusioner
merombak paradigma-paradigma yang ada sebelumnya. Sebut saja misalnya perubahan
paradigma itu terjadi pada sistem teknologi, yakni dari sistem manual menjadi sistem
digital/elektronik, yang mengakibatkan perubahan terhadap realitas yang ada yakni dari hard
reality menjadi virtual reality atau hypperreality.3

Perubahan-perubahan paradigma secara revolusioner tersebut yang dalam bahasanya


Thomas Khun disebut dengan istilah “lompatan paradigmatik”4 atau dalam bahasanya Fritjof
Capra disebut dengan istilah “ingsutan paradigma”, secara nyata telah menciptakan wajah baru
pada pola perilaku termasuk tatanan nilai-nilai di berbagai belahan dunia, sehingga lalu muncul
“era” atau “aliran” posmodernisme yang mencoba merespon, mengoreksi, mengkritisi bahkan
mengecam berbagai kesalahan dalam modernisme.

Sebenarnya secara filosofis ada aliran pemikiran yang dekat dengan semangat
posmodernisme, seperti: Legal Realism dan Critical Legal Studies. Legal realism antara lain
mengajarkan bahwa peraturan perundang-undangan bisa dikesampingkan jika ternyata
keberadaannya menghalangi pencapaian keadilan. Critical Legal Studies bahkan sejak awal
bersikap bahwa peraturan perundang-undangan harus dihindari karena proses penyusunannya
sarat dengan muatan kepentingan yang timpang.

Penerapan legal realism dan critical legal studies dalam praktek penegakan hukum di
Indonesia pada saat ini jelas tidak realistis karena keberadaan paradigma hukum positif masih

3 Teknologi telematika telah melahirkan sebuah dimensi ketiga dalam fenomena kehidupan
masyarakat. Dimensi pertama (hard reality) adalah kenyataan dalam kehidupan empiris yang
secara fisik bisa dilihat/didengar/dirasakan; dimensi kedua (soft reality) adalah kenyataan dalam
kehidupan simbolik dan nilai- nilai yang dibentuk; dimensi ketiga (virtual reality) adalah
kenyataan dalam kehidupan dunia mayantara (cyber space). Lihat: Ashadi Siregar, 2001.
Negara, Masyarakat dan Teknologi Informasi, Makalah dalam “Seminar Tenologi Informasi,
Pemberdayaan Masyarakat dan Demokrasi” Dies Natalis FISIPOL UGM ke-46, Yogyakarta 19
September 2001.

4 Menurut Khun, revolusi sains muncul jika paradigma yang lama mengalami krisis dan
akhirnya orang mencampakkannya serta merangkul paradigma yang baru. Baca: Thomas Khun,
1989. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (The Structure of Scientific Revolutions,
diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman), Bandung: Remadja Karya CV. Hlm. 57-83.
mendominasi dunia hukum di Indonesia. Disamping itu pada kenyataannya bagaimanapun
kritikan atau kecaman pascamodernisme terhadap modernism terbukti belum mampu
menghadang derasnya arus liberalisme, kapitalisme ,dan positivisme.

Berkaitan dengan realitas-realitas tersebut maka konsep (penafsiran) hukum progresif


dianggap jalan tengah yang terbaik. “Ajaran” hukum progresif tidak “mengharamkan” hukum
positif namun tidak juga mendewakan ajaran hukum bebas. Progresivisme tetap berpijak pada
aturan hukum positif, namun disertai dengan pemaknaan yang luas dan tajam. Keluasan dan
ketajaman pemaknaan hukum progresif bahkan lebih dari apa yang dikembangkan dalam
sociological jurisprudence, namun mencakup pula aspek psikologis dan filosofis.

Istilah “Hukum Modern” yang dipergunakan dalam tulisan ini sekedar untuk menyebut
model hukum pada masyarakat modern yang bersifat liberal, individualistik dan rasional. Model
ini juga sekedar untuk membedakan dengan model hukum pada masyarakat tradisional yang
lebih bersifat komunal dan magis. Dalam perkembangannya keberadaan hukum modern tidak
terbatas pada lingkup benua asalnya saja (eropa) namun telah merambah pula (dan semakin
mendominasi) negara- negara berkembang, termasuk Indonesia.5

Hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didominasi oleh alam
pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule of Law yang bercirikan: Formal rules
(tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan); Procedures (dilaksanakan melalui
“aturan main” yang ketat); Methodologist (mendewakan logika dalam penerapannya;
Bureaucreacy (hanya lembaga-lembaga formal yang diakui memiliki otoritas untuk membuat,
melaksanakan dan mengawasi hukum.6

Munculnya ciri-ciri tersebut karena konteks sejarahnya menculnya hukum modern dalam
Constitutional State sebagai reaksi terhadap “kekacauan” yang diakibatkan oleh sistem hukum
era sebelumnya yakni Absolutisme. Sehingga pada awalnya memang model hukum modern ini
cukup efektif dalam upaya penertiban masyarakat. Namun dalam perkembangannya, terutama di

5Al Wisnubroto, Dasar-dasar Hukum Progresif, www. Hukumprogresif.com, 2014, hlm. 4.

6 Periksa: Al. Wisnubroto, Iptek, Perubahan Masyarakat dan Hukum: Dalam Kajian Aspek-Aspek
Pengubah Hukum, 1996, hlm. 20.
luar negara-negara Eropa Kontinental, model hukum positif sebagai ciri hukum modern semakin
tidak “ampuh” dalam mengatasi perkembangan kasus-kasus yang dipicu oleh perubahan sosial
akibat pesatnya kemajuan teknologi.

Sebab utama kegagalan model hukum modern dalam mengantisipasi perubahan sosial
akibat pesatnya teknologi di bidang transportasi, komunikasi dan informasi adalah sifatnya yang
cenderung otonom, sehingga tidak fleksibel dan dengan sendirinya sulit untuk menjadi responsif
terhadap perkembangan rasa keadilan. Kenyataan yang sangat tidak menguntungkan adalah
keberadaan hukum modern di Indonesia. Apabila dilihat dari latar belakang sejarahnya, hukum
modern yang “dipaksakan” berlaku dalam politik pembangunan hukum Indonesia sejak jaman
kolonial, hingga Indonesia merdeka,7 adalah ibarat “benda asing” yang tidak tumbuh secara
alami seiring dengan perkembangan masyarakat dan budaya Indonesia (Not developed from
within but imposed from out side). Implementasi hukum modern secara otonom dengan
pendekatan sempit akan menyebabkan hukum tercabut dari masyarakatnya sehingga hanya akan
menghasilkan keadilan formal (bukan keadilan substansial).

Gagasan hukum progresif muncul sebagai reaksi keprihatinan terhadap keadaan hukum di
Indonesia yang sedemikian rupa sehingga muncul pendapat dari pengamat internasional hingga
masyarakat awam bahwa sistem hukum Indonesia masih jauh dari harapan dan memerlukan
pembenahan secara serius. Gagasan Hukum Progresif muncul sebagai reaksi atas “kegagalan”
hukum Indonesia yang didominasi doktrin positivism dalam menanggulangi kasus-kasus korupsi
dan pelanggaran hak asasi manusia.

Dasar filosofi dari hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. 8 Hukum

7 Hukum modern ditransplantasikan oleh pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Belanda melalui
kebijakan yang disebut dengan “bewuste rechtspolitiek” yakni kebijakan membina tata hukum kolonial
secara sadar, pada tahun 1830-an hingga tahun 1890-an. Periksa: Soetandyo Wignjosoebroto, Dari
Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di
Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 19 dan hlm.56.

8Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas


Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hlm.
31
progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan
sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan
untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan
kemuliaan manusia. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan didalam hukum, maka
hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk
dimasukkan kedalam skema hukum.

Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif adalah: “Hukum adalah untuk
Manusia”, bukan sebaliknya manusia yang dipaksa masuk dalam skema hukum. Bahkan hukum
dibuat bukan untuk dirinya sendiri (hukum untuk hukum). Jadi manusialah yang merupakan
penentu dan dipahami dalam hal ini manusia pada dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin
mengeser landasan teori dari faktor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum bukan lah
merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process,
law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang
berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap
rakyat.

Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai
“alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu
menurut hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah
alat. Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural,
hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem
kemanusiaan.

Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rules and
behavior). Peraturan akan membangun sistem hukum positif yang logis dan rasional. Sedangkan
aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu.
Karena asumsi yang dibangun disini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak
hukum dan masyarakatnya.

Karena bertumpu pada dua pijakan yakni peraturan dan perilaku maka hukum progresif
tidak memposisikan hukum sebagai intuisi yang netral. Hukum Progresif merupakan hukum
yang berpihak yakni memberi perhatian pada yang lemah, pro rakyat dan pro keadilan. 9 Hukum
yang diposisikan sebagai sebagai intuisi yang netral merupakan pengaruh dari paham liberalisme
yang apabila diterapkan pada situasi yang timpang justru cenderung menguntungkan pihak yang
kuat.

Dengan menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian
faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion
(perasaan haru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggung jawab), dare
(keberanian) dan determination (kebulatan tekad).

Oleh sebab itu hukum progresif tidak menempatkan aturan hukum positif sebagai sumber
hukum yang paripurna. Manusia harus mampu memberikan makna pada sebuah aturan hukum
melampaui teks yang tertulis guna mewujudkan keadilan yang substantif. Prinsip ini telah
mengispirasi praktek penegakan hukum secara progresif oleh para pekerja hukum. 10 Dari sudut
teori, maka hukum progresif meninggalkan tradisi analitical jurisprudence atau rechtsdogmatiek
dan mengarah pada tradisi sociological jurisprudence. Jadi sebenarnya konsep hukum progresif
bersentuhan, dipengaruhi atau berbagai dengan beberapa teori hukum yang telah mendahuluinya,
antara lain: Konsep hukum responsif (responsive law) yang selalu dikaitkan dengan tujuan-
tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri; Legal Realism; Freirerechtslehre; Critical Legal
Studies.11 Sekalipun hukum progresif bersama aliran-aliran hukum tersebut mengkritik doktrin
hukum positif, namun hukum progresif sebenarnya tidak anti terhadap keberadaan sistem hukum
positif.

9 Sudijono mengidentifikasikan elemen-elemen utama dari model hukum progresif, yakni: Ideologi:
“pro-rakyat”; Tujuan: “pembebasan”; Fungsi: “Pemberdayaan”; Jenis keadilan: “keadilan sosial” dan
Metodologi: “diskresi”. Periksa: Sudijono Sastroadmodjo, “Konfigurasi Hukium Progresif” dalam:
Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8 Nomor 2, September 2005, hlm.187.

10 Al. Wisnubroto, ”Kontribusi Hukum Progresif Bagi Pekerja Hukum”, Dalam: Myrna A. Savitri, et.al.
(ed.), 2011. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik, Jakarta: Epistema-Huma. Hlm.
255.

11 Shidarta, ”Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-aliran Filsafat Hukum:
Sebuah Diagnosis Awal”, 2005, Hlm. 52.
Konsep “progresivisme” bertolak dari pandangan kemanusiaan sehingga berupaya
merubah hukum yang tak bernurani menjadi institusi yang bermoral. Paradigma “hukum untuk
manusia” membuatnya merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta
aksi-aksi yang tepat untuk mewujudkan tujuan hukum yakni keadilan, kesejahteran dan
kepedulian terhadap rakyat. Dengan kata lain hukum progresif bersifat membebaskan manusia
dari kelaziman baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan maupun prosedur serta
kebiasaan praktik hukum. Dalam sistem hukum yang progresif, ahli hukum tidak hanya berperan
sebagai penegak hukum dalam arti sempit (menemukan hukum dalam aturan formal dan
menerapkannya) namun lebih dari itu harus mampu sebagai “kreator hukum”. Sebagai institusi
yang bermoral maka hukum progresif bermodal nurani (empathy; compassion; dedication;
determination; sincerely; dare) dan dijalankan dengan SQ. Jadi kebebasan dalam membuat
terobosan hukum atau memaknai hukum melampaui bunyi teks, tidak dapat artikan sebagai
tindakan semaunya atau sewenang-wenang karena semua tindakan hukum yang bersifat progresif
harus dilandasi dengan argumentasi yang dibangun dengan konstruksi bernalar yang kritis dan
bisa dipertanggungjawabkan secara rasional dan moral. Dengan demikian menjalankan hukum
secara progresif tidak semata-mata berpijak pada rule and logic namun juga rule and behavior.
Hal ini mengingatkan pada penyataan Oliver Wendell Holmes: “…The live of the law has not
been logic. It has been experience”. Menggunakan hukum tidak semata-mata mengandalkan
logika peraturan namun juga harus mempertimbangkan hukum yang bersumber dari pengalaman
empiris misalnya kearifan lokal.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam mewujudkan tujuannya hukum bukanlah


merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process,
law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang
berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap
rakyat. Bahkan hukum progresif menginisiasi konsep “rule breaking” yakni merobohkan hukum
yang dipandang tidak mampu mewujudkan keadilan dan membangun kembali hukum yang lebih
baik. Menjalankan hukum progresif berarti meninggalkan cara berhukum dengan “kacamata
kuda” (masinal, atomizing, mekanistik, linier) dan merubahnya menjadi pada cara pandang yang
utuh (holistic) dalam membaca aturan dan merekonstruksi fakta. Dengan demikian Dalam
menghadapi situasi yang bersifat extraordinary pekerja hukum harus menjalankan profesi atau
tugas melampaui batas beban tugasnya (Mesu budi/doing to the utmost). Akhirnya, masalah
interpretasi atau penafsiran menjadi sangat urgen dalam pemberdayaan hukum progresif dalam
rangka untuk mengatasi kemandegan dan keterpurukan hukum. Interpretasi dalam hukum
progresif tidak terbatas pada konvensi- konvensi yang selama ini diunggulkan seperti penafsiran
gramatikal, sejarah, sistematik dan sebagainya, namun lebih dari itu berupa penafsiran yang
bersifat kreatif dan inovatif sehingga dapat membuat sebuah terobosan dan “lompatan”
pemaknaan hukum menjadi sebuah konsep yang tepat dalam menjangkau hukum yang bermoral
kemanusiaan.

Kehadiran gagasan Hukum Progresif merupakan harapan baru dalam memperbaiki


keterpurukan penegakan hukum di Indonesia. Gagasan hukum progresif bisa dipandang sebagai
sarana untuk mendayagunakan hukum dalam mewujudkan tujuan keadilan sosial dan
kesejahteraan masyarakat.

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum yang progresif adalah hukum yang bisa mengikuti
perkembangan zaman dan mampu menjawab perubahan zaman tersebut dengan segala dasar-
dasar yang ada di dalamnya. Disebutkannya, perubahan-perubahan tersebut berkaitan erat
dengan basis habitat dari hukum itu sendiri. Seperti pada abad ke-19, negara modern muncul dan
menjadi basis fisik-teritorial yang menentukan hukum, konsep-konsep, prinsip, dan doktrin pun
harus ditinjau kembali dan diperbarui. Pada sistem hukum modern, keadilan (justice) sudah
dianggap diberikan dengan membuat hukum positif (undang-undang). Dengan kata lain, keadilan
yang akan ditegakkan ditentukan melalui hukum positif. Dalam konteks sosial kemasyarakatan,
hubungan-hubungan dan tindakan pemerintah kepada warga negaranya didasarkan pada
peraturan dan prosedur yang bersifat impersonal dan impartial.12 Dari sinilah kemudian muncul
konsepsi the rule of law.

Dalam konsep hukum progresif, manusia berada di atas hukum, hukum hanya menjadi
sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia. Hukum tidak lagi dipandang
sebagai suatu dokumen yang absolut dan ada secara otonom.“ Berangkat dari pemikiran ini,
maka dalam konteks penegakan hukum, penegak hukum tidak boleh terjebak pada kooptasi rules
atas hati-nurani yang menyuarakan kebenaran. Hukum progresif yang bertumpu pada rules and
behavior, menempatkan manusia untuk tidak terbelenggu oleh tali kekang rules secara absolute.
12 Satjipto Rahardjo, "Hukum dan Birokrasi: Makalah pada diskusi Panel Hukum dan Pembangunan
dalam Rangka Catur Windu Fakultas Hukum UNDIP, 20 Desember 1998, hlm.156
Itulah sebabnya, ketika terjadi perubahan dalam masyarakat, ketika teks-teks hukum mengalami
keterlambatan atas nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.

Hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya


sebuah kreativitas. Kreativitas dalam konteks penegakan hukum selain untuk mengatasi
ketertinggalan hukum, mengatasi ketimpangan hukum, juga dimaksudkan untuk membuat
terobosan-terobosan hukum. Terobosan-terobosan hukum inilah yang diharapkan dapat
mewujudkan tujuan kemanusian melalui bekerjanya hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo
diistilahkan dengan hukum yang membuat bahagia.“

Kreativitas penegak hukum dalam memaknai hukum tidak akan berhenti pada "mengeja
undang-undang", tetapi menggunakannya secara sadar untuk mencapai tujuan kemanusiaan.”
Menggunakan hukum secara sadar sebagai sarana pencapaian tujuan kemanusiaan berarti harus
peka dan responsif terhadap tuntutan sosial.

Sehingga dapat disimpulkan intisari dari hukum progresif dapat diidentifikasi sebagai
berikut:

1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula
menggunakan optik hukum menuju ke perilaku.
2. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat
dengan manusia dan masyarakat, meminjam istilah Nonet dan Selznick bertipe
responsif.
3. Hukum progresif berbagi paham dengan legal realism karena hukum tidak dipandang
dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan social yang
ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.
4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan sociological jurisprudence dari Roscoe
Pound yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan,tetapi
keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.
5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli
terhadap hal-hal yang “meta-juridical”.
6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan critical legal studies, namun
cakupannya Iebih Iuas.
Dilihat dari latar belakang kelahirannya, sebagai bentuk ketidakpuasan dan keprihatinan
atas kualitas penegakan hukum di Indonesia, maka spirit hukum progresif adalah spirit
pembebasan. Pembebasan yang dimaksudkan disini adalah:

1. Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas dan teori yang selama ini dipakai.
2. Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice) yang
selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan
persoalan.

Spirit pembebasan yang dibawa oleh hukum progresif dirasa penting, karena berangkat
dari realitas bahwa tipe, cara berpikir, asas, dan teori hukum yang dikembangkan di Indonesia
mencerminkan dominasi positivism. Bahkan dalam penyelenggaraan administration of justice
pun, juga didominasi oleh positivism. Berangkat dari realitas ini, karena dipandang bahwa
dengan model ini hukum dinilai belum berhasil menyelesaikan persoalan dalam pencapaian
kesejahteraan manusia, maka kehadiran hukum progresif dimaksudkan untuk membebaskannya.

Selain itu, hukum progresif juga memiliki karakter yang progresif dalam hal:

1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya


memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making)
2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik Iokal, nasional maupun
global.
3. Menolak status-qua manakala menimbulkan dekadensi suasana korup dan sangat
merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan
pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum.

Keadilan menurut hukum progresif adalah keadilan subtantif. Keadilan yang didasarkan
pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban. Nilai-nilai keadilan tersebut
berasal lansung dari masyarakat dan bukan nilai-nilai keadilan yang tekstual dan hitam putih
yang memiliki makna terbatas. Bukan keadilan prosedur yang didapat melalui berbagai macam
prosedur-prosedur yang terkadang mengaburkan nilai-nilai keadilan itu sendiri.

Hukum progresif berpegangan pada paradigma “hukum untuk manusia”. Kemanusiaan


menjadi primus pada saat kita memberi kedudukan terhadap hukum dan masyarakat. Hukum
berawal tidak dari hukum itu sendiri, melainkan dari manusia dan kemanusiaan. Membicarakan
hukum haruslah lebih dahulu diawali dengan membicarakan dan menuntaskan pembicaraan
mengenai kemanusiaan. Kita pun tidak dapat membicarakan hukum dengan menutup pintu bagi
kemanusiaan karena kemanusiaan akan terus mengalir memasuki hukum. Maka, jadilah hukum
bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk mengabdi dan melestarikan kemanusiaan. 13.
Gagasan hukum progresif pada hakekatnya merupakan pembaharuan tradisi berhukum. Oleh
sebab itu pengembangan hukum progresif memerlukan sebuah gerakan intelaktual untuk
mewujudkan tradisi berhukum yang lebih baik.

Dapat disimpulkan bahwa hukum progresif tidak bergerak pada arah legalistik-dogmatis,
analitis positivistik, tetapi lebih pada arah sosiologis. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh
hukum positif atau peraturan perundang-undangan, tetapi hukum bisa bergerak pada arah
nonformal. Hukum progresif merupakan paparan petunjuk yang selalu memperingatkan bahwa
hukum harus terus merobohkan, mengganti, dan membebaskan hukum yang mandek karena
tidak mampu melayani lingkungan yang selalu berubah. Perkembangan masyarakat yang selalu
penuh dengan dinamika tidak mungkin dapat diwadahi dalam suatu hukum yang dianggap
selesai dan tidak boleh berubah. Kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai
kebenaran undang-undang, tatapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang
mendasari undang-undang.

Daftar Pustaka

Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta:


Genta Publishing.

______________ .2004. Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,


Surakarta: Muhammadiyah University Press.

______________. "Hukum dan Birokrasi: Makalah pada diskusi Panel Hukum dan
Pembangunan dalam Rangka Catur Windu Fakultas Hukum UNDIP, 20 Desember 1998,
hlm.156.

13 Diandra Preludio Ramada, Dialektika Hukum Progresif: Hukum dalam Jagat Ketertiban, Kaum
Tjipian, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2014, hlm. 22.
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas
Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009

Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010

Khun, Thomas, 1989. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (The Structure of
Scientific Revolutions, diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman), Bandung: Remadja Karya CV.

Savitri, Myrna A., et.al. (ed.), 2011. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi
dan Kritik, Jakarta: Epistema-Huma.

Wignjosoebroto, Soetandyo, 1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika


Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Wisnubroto, Al. 1996. Iptek, Perubahan Masyarakat dan Hukum: Dalam Kajian Aspek-
Aspek Pengubah Hukum.

Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya,


Jakarta: Ghalia Indonesia.

Wisnubroto, Al. 2011. ”Kontribusi Hukum Progresif Bagi Pekerja Hukum”, Dalam:
Myrna A. Savitri, et.al. (ed.),. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik,
Jakarta: Epistema-Huma.

_____________. 2014. Dasar-dasar Hukum Progresif. www. Hukumprogresif.com.


Diakses pada 2 Juni 2015.

Kusuma, Mahmud. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik


Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia. Yogyakarta: Antony Lib bekerjasama LSHP.

Sudijono. Mengidentifikasikan elemen-elemen utama dari model hukum progresif,


yakni: Ideologi: “pro-rakyat”; Tujuan: “pembebasan”; Fungsi: “Pemberdayaan”; Jenis keadilan:
“keadilan sosial” dan Metodologi: “diskresi”. Periksa: Sudijono Sastroadmodjo, “Konfigurasi
Hukium Progresif” dalam: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8 Nomor 2, September 2005.

Anda mungkin juga menyukai