Anda di halaman 1dari 14

www.hukumprogresif.

com

DASAR-DASAR

HUKUM PROGRESIF

*)

Oleh:
Al. Wisnubroto**)
Sejatine ora ana apa-apa. Kang ana sejatine dudu
(Satjipto Rahardjo)

A. Mengapa Hukum Progresif?


Dalam catatan tentang penegakan hukum di Indonesia terdapat beberapa kisah
ahli hukum yang dianggap tidak lazim jika di pandang dari hegemoni cara berhukum
pada eranya. Baca saja kisah tentang Hakim Agung Asikin Kusumahatmadja yang
membuat putusan melampaui petitum (permohonan) pihak penggugat dalam perkara
Gugatan Warga Kedung Ombo pada akhir tahun 1990-an, kisah terobosan yang
dilakukan Hakim Irfanudin dalam perkara korupsi di Lampung, kisah Hakim Bismar
Siregar, kisah Jaksa Agung Baharudin Lopa, kisah Jenderal Polisi Hoegeng dan
pendekar hukum lainnya. Sikap, tindakan dan pemikiran mereka dalam menerobos
kebuntuan sistem hukum dalam mewujudkan keadilan sering disebut-sebut sebagai
penegakan hukum progresif
Terobosan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum tersebut
merupakan respon terhadap proses hukum seringkali tidak mampu menyelesaikan
persoalan secara tuntas apalagi memberikan keadilan substantif bagi para pihak.
Proses hukum lebih tampak sebagai mesin peradilan yang semata-mata hanya
berfungsi mengejar target penyelesaian perkara yang efektif dari sisi kuantitas sesuai
dengan tahap-tahap dan aturan main yang secara formal ditetapkan dalam peraturan.
Hukum dan proses peradilan seringkali merasa terkendala ketika harus dihadapkan
pada kasus-kasus yang semakin rumit dan kompleks seiring dengan perkembangan
masyarakat yang sangat dipacu oleh sistem global.
Sistem hukum modern yang telah terlanjur diformat dalam sekat-sekat
pembagian bidang hukum secara tradisional hitam putih (Perdata, Administrasi,
Pidana dst.) menjadi gagap ketika dituntut harus menyelesaikan perkara-perkara yang
berada pada ranah abu-abu (tidak tampak jelas batas antara persoalan etika, privat
atau publik).
*)

**)

Materi SEKOLAH HUKUM PROGRESIF Angkatan I, Kerjasama Laboratorium Hukum FH UAJY


dengan PSHP (Paguyuban Sinau Hukum Progresif), KMMH (Keluarga Mahasiswa Magister Hukum) UGM
dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) UMY, Yogyakarta, 18-19 November 2014.
Dr. Al. Wisnubroto, S.H.,M.Hum., Dosen, Peneliti & Advokat.

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

Secara paradigmatik dapat dijelaskan bahwa modernisme terkait dengan


berkembangnya tradisi pemikiran yang mengedepankan rasionalitas daripada hal-hal
yang bersifat metafisika sebagai mana yang berkembang dalam era sebelumnya.
Tradisi

pemikiran

ilmu

pengetahuan

didominasi

paradigma

Cartesian/Baconian/Newtonian telah merubah dunia menuju pada era masyarakat


modern dengan modernismenya. Secara singkat tradisi tersebut adalah cara berpikir
yang menonjolkan aspek rasional, logis, memecah/memilah (atomizing), matematis,
masinal, deterministik dan linier1.
Perkembangan IPTEK yang sangat pesat pasca era pencerahan di dunia
sains dan seni secara nyata juga berpengaruh terhadap perkembangan (perubahan) di
bidang sosial, politik, ekonomi dan juga hukum. Di bidang sosial misalnya terjadi
perubahan dari tipe masyarakat agraris menuju pada masyarakat industri yang bersifat
liberal. Di bidang politik tampak pada terbentuknya negara modern dengan platform
konstitusional dan demokrasinya. Di bidang ekonomi muncul sistem perekonomian
terbuka yang membuka pasar bebas dan cenderung bersifat kapitalistik.
Tak pelak lagi perubahan yang terjadi pada masyarakat modern tersebut juga
diikuti

dengan

perubahan

pada

tatanan

hukumnya,

yakni

muncul

dan

berkembangannya tatanan hukum modern atau lebih dikenal dengan sebutan hukum
sistem hukum positif.
Pada awalnya sistem hukum positif dipandang bisa memberikan harapan untuk
mengatur berbagai persoalan pada masyarakat modern sehingga (diprediksikan) bisa
mencapai

ketertiban

dalam

hidup

bermasyarakat.

Namun

demikian,

pada

kenyataannya dan dalam perkembangannya, sifat hukum positif yang netral dan
liberal, justru menjadikan hukum modern semakin terasing dari realitas-realitas yang
terus berkembang semakin pesat2.
Surutnya

kejayaan

cara

berpikir

Cartesian/Baconian/Newtonian

setelah

munculnya teori-teori baru pada dunia sains seperti teori relativitas dan teori keos telah
merubah cara pandang terhadap kebenaran. Pada kenyataannya metode berpikir
secara mekanistis, terukur, linier dst. pada positivisme menyebabkan terjadinya
pereduksian makna dan manipulasi fakta yang menyebabkan kegagalan dalam
memahami realita secara benar dan utuh. Hal demikian tampaknya terjadi pula pada
1

Satjipto Rahardjo (Khudzaifah Dimyati, ed.), 2004. Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,
Surakarta: Muhammadiyah University Press. Halaman 35.
Positivisme secara universal bisa mengakibatkan keterpurukan hukum, karena terlalu mengandalkan teori dan
pemahaman legalistik-positivistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) belaka maka kita
takkan pernah menangkap hakikat kebenaran. Lihat: Achmad Ali, 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia:
Penyebab dan Solusinya, Jakarta: Ghalia Indonesia. Halaman 19.

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

model hukum modern yang masih bertahan dengan dominasi positivisme-nya yang
semakin sulit menjadi sarana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang berkembang
pada masyarakat pascaindustri.
Fenomena yang nampak jelas menunjukkan perubahan paradigma pada
masyarakat pascaindustri atau yang disebut juga sebagai masyarakat informasi adalah
perkembangan IPTEK telah mencapai tahap yang sangat mutakhir. Salah satu produk
IPTEK yang kini menjadi simbol kemajuan adalah IT (Information Technology).
Teknologi inilah yang secara revolusioner merombak paradigma-paradigma yang ada
sebelumnya. Sebut saja misalnya perubahan paradigma itu terjadi pada sistem
teknologi,

yakni

dari

sistem

manual

menjadi

sistem

digital/elektronik,

yang

mengakibatkan perubahan terhadap realitas yang ada yakni dari hard reality menjadi
virtual reality atau hypperreality3.
Perubahan-perubahan paradigma

Pergeseran Paradigma
ERA: MODERNISME PASCAMODERNISME
Tradisi berpikir: Cartesian & Baconian Holistic
Di luar ilmu hukum
Fisika

: Newtonian Quantum, Relativitas dll.

Psikologi

: IQ EQ SQ

secara revolusioner tersebut yang dalam


bahasanya

Thomas

Khun

disebut

dengan istilah lompatan paradigmatik4


atau dalam bahasanya Fritjof Capra
disebut

dengan

paradigma,

istilah

secara

ingsutan

nyata

telah

Ilmu hukum
Positivistis-analitis Kritis, Responsif, Progresif

menciptakan

wajah

baru

pada

pola

perilaku termasuk tatanan nilai-nilai di


berbagai belahan dunia, sehingga lalu muncul era atau aliran posmodernisme yang
mencoba merespon, mengoreksi, mengkritisi bahkan mengecam berbagai kesalahan
dalam modernisme.
Sebenarnya secara filosofis ada aliran pemikiran yang dekat dengan semangat
posmodernisme, seperti: Legal Realism dan Critical Legal Studies. Legal realism
antara lain mengajarkan bahwa peraturan perundang-undangan bisa dikesampingkan
jika ternyata keberadaannya menghalangi pencapaian keadilan. Critical Legal Studies
3

Teknologi telematika telah melahirkan sebuah dimensi ketiga dalam fenomena kehidupan masyarakat. Dimensi
pertama (hard reality) adalah kenyataan dalam kehidupan empiris yang secara fisik bisa
dilihat/didengar/dirasakan; dimensi kedua (soft reality) adalah kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilainilai yang dibentuk; dimensi ketiga (virtual reality) adalah kenyataan dalam kehidupan dunia mayantara (cyber
space). Lihat: Ashadi Siregar, 2001. Negara, Masyarakat dan Teknologi Informasi, Makalah dalam Seminar
Tenologi Informasi, Pemberdayaan Masyarakat dan Demokrasi Dies Natalis FISIPOL UGM ke-46, Yogyakarta
19 September 2001.
Menurut Khun, revolusi sains muncul jika paradigma yang lama mengalami krisis dan akhirnya orang
mencampakkannya serta merangkul paradigma yang baru. Baca: Thomas Khun, 1989. Peran Paradigma Dalam
Revolusi Sains (The Structure of Scientific Revolutions, diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman), Bandung: Remadja
Karya CV. Halaman 57-83.

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

bahkan sejak awal bersikap bahwa peraturan perundang-undangan harus dihindari


karena proses penyusunannya sarat dengan muatan kepentingan yang timpang.
Penerapan legal realism dan critical legal studies dalam praktek penegakan
hukum di Indonesia pada saat ini jelas tidak realistis karena keberadaan paradigma
hukum positif masih mendominasi dunia hukum di Indonesia. Disamping itu pada
kenyataannya bagaimanapun kritikan atau kecaman pascamodernisme terhadap
modenisme toh terbukti belum mampu menghadang derasnya arus liberalisme,
kapitalisme dan positivisme.
Berkaitan
realitas

dengan

tersebut

maka

(penafsiran) hukum progresif


dianggap jalan tengah yang
Ajaran

hukum

progresif

mengharamkan
namun

hukum

tidak

juga

mendewakan ajaran hukum


Progresivisme tetap berpijak

realitasMENGAPA HUKUM PROGRESIF?


CLSs, Freie
Rechtslehre,
Responsive Law,
Sosiological
Jurisprudence

Positivistik-legalistik,
linier, masinal,
atomizing

Tumpuan:
Rule and
Logic

konsep

Reaksi:

Keterbatasan SISTEM
HUKUM MODERN:

PERLU
REKONSEPTUALISASI
HUKUM

Tumpuan:
Rule and
Behaviour

Oliver Wendell Holmes: The live of the law has not been
logic; it has been experience

terbaik.
tidak
positif

bebas.
pada

aturan hukum positif, namun disertai dengan pemaknaan yang luas dan tajam.
Keluasan dan ketajaman pemaknaan hukum progresif bahkan lebih dari apa yang
dikembangkan dalam sociological jurisprudence, namun mencakup pula aspek
psikologis dan filosofis.

B. Keterbatasan Pendekatan Hukum Modern


Istilah Hukum Modern yang dipergunakan dalam tulisan ini sekedar untuk
menyebut model hukum pada masyarakat modern yang bersifat liberal, individualistik
dan rasional. Model ini juga sekedar untuk membedakan dengan model hukum pada
masyarakat

tradisional

yang

lebih

bersifat

komunal

dan

magis.

Dalam

perkembangannya keberadaan hukum modern tidak terbatas pada lingkup benua


asalnya saja (eropa) namun telah merambah pula (dan semakin mendominasi) negaranegara berkembang, termasuk Indonesia.
Masalah eksistensi hukum modern tidak terlepas dari latar belakang sejarahnya
yang seiring dengan perkembangan sosial dan kultural di Eropa. Hukum Modern
muncul di Eropa setelah melalui proses perjalanan yang sangat panjang dan
berdarah-darah (istilah dari Prof. Satjipto Rahardjo).

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

Hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didominasi
oleh alam pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule of Law yang
bercirikan: Formal rules (tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan);
Procedures

(dilaksanakan

melalui

aturan

main

yang

ketat);

Methodologist

(mendewakan logika dalam penerapannya; Bureaucreacy (hanya lembaga-lembaga


formal yang diakui memiliki otoritas untuk membuat, melaksanakan dan mengawasi
hukum.5
Munculnya ciri-ciri tersebut karena konteks sejarahnya menculnya hukum
modern dalam Constitutional State sebagai reaksi terhadap kekacauan yang
diakibatkan oleh sistem hukum era sebelumnya yakni Absolutisme. Sehingga pada
awalnya memang model hukum modern ini cukup efektif dalam upaya penertiban
masyarakat.
Namun dalam perkembangannya, terutama di luar negara-negara Eropa
Kontinental, model hukum positif sebagai ciri hukum modern semakin tidak ampuh
dalam mengatasi perkembangan kasus-kasus yang dipicu oleh perubahan sosial
akibat pesatnya kemajuan teknologi. Oleh sebab itu negara-negara maju seperti
Amerika Serikat mencoba untuk memformulasikan sistem hukumnya dengan apa yang
disebut Anglo-American Common Law.
Sebab utama kegagalan model hukum modern dalam mengantisipasi
perubahan sosial akibat pesatnya teknologi di bidang transportasi, komunikasi dan
informasi adalah sifatnya yang cenderung otonom, sehingga tidak fleksibel dan dengan
sendirinya sulit untuk menjadi responsif terhadap perkembangan rasa keadilan.
Kenyataan yang sangat tidak menguntungkan adalah keberadaan hukum
modern di Indonesia. Apabila dilihat dari latar belakang sejarahnya, hukum modern
yang dipaksakan berlaku dalam politik pembangunan hukum Indonesia sejak jaman
kolonial, hingga Indonesia merdeka6, adalah ibarat benda asing yang tidak tumbuh
secara alami seiring dengan perkembangan masyarakat dan budaya Indonesia (Not
developed from within but imposed from out side).
Keadaan demikian lebih dalam perkembangannya lebih diperparah lagi dengan
kelemahan pada proses pembuatan hukum dan proses penegakan hukum di

Periksa: Al. Wisnubroto, 1996. Iptek, Perubahan Masyarakat dan Hukum: Dalam Kajian Aspek-Aspek
Pengubah Hukum, (Paper, tidak diterbitkan). Halaman 20.
Hukum modern ditransplantasikan oleh pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Belanda melalui kebijakan yang
disebut dengan bewuste rechtspolitiek yakni kebijakan membina tata hukum kolonial secara sadar, pada tahun
1830-an hingga tahun 1890-an. Periksa: Soetandyo Wignjosoebroto, 1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum
Nasional: Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Halaman 19 dan Halaman 56.

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

Indonesia. Secara umum proses pembuatan hukum ke dalam bentuk tertulis (sebagai
salah satu tuntutan hukum modern untuk menjadi positif dan publik 7) hampir selalu
membawa dampak pereduksian makna. Prof. Satjipto Rahardjo telah menggambarkan
dengan bernas proses pereduksian makna tersebut yakni bagaimana makna pencuri
yang menurut Jakob Sumardjo dapat diartikan ke dalam 15 jenis maling dalam
bahasa Jawa menjadi satu arti pencurian dalam Pasal 362 KUHP 8. Ini menunjukkan
bahwa hukum positif sudah cacat sejak dilahirkan.
Secara spesifik proses pembuatan hukum positif di Indonesia belakangan ini
menunjukkan keadaan yang cenderung tidak semakin baik. Hal tersebut dapat diamati
dari beberapa indikator sebagai berikut:
1. Pandangan pada umumnya mengemuka adalah rendahnya kapasitas dan kualitas
SDM yang ada pada lembaga pembuat hukum positif di Indonesia khususnya
anggota DPR;
2. Proses penyusunan sebuah produk perundang-undangan yang pada umumnya
memakan waktu yang sangat panjang dan biaya yang sangat mahal;
3. Kepentingan politik dan ekonomi yang masih sangat menonjol pada setiap proses
penyusunan produk perundang-undangan;
4. Masih kurangnya partisipasi publik pada proses penyusunan produk perundangundangan mulai dari draf RUU hingga pada pembahasan di lembaga legislatif.
Keadaan tersebut akan berimplikasi pada produk hukum positif (perundangundangan) di Indonesia yang berkualitas rendah, timpang, tidak memiliki kemampuan
mewujudkan keadilan substansial dan tidak memiliki kemampuan untuk merespon
perkembangan masyarakat (termasuk kemajuan IPTEK).
Sementara

itu

kuatnya

pengaruh

paham

positivisme

secara

umum

menyebabkan proses penegakan hukum yang cenderung legalistik, formalistik dan


mekanistik9. kondisi penegakan hukum di Indonesia dari waktu ke waktu tampak tidak
semakin baik. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut:
1. Kebijakan yang bersifat partikularistik sehingga menyebabkan kesulitan dalam
mewujudkan sistem peradilan terpadu;

Roberto Mangabeira Unger, 1976. Law in Modern Society: Toward a Critism of Social Theory, New York: The
Free Press. Halaman 238.
8
Satjipto Rahardjo, 2005. Penafsiran Hukum Yang Progresif, (Bacaan untuk Mahasiswa Program Doktor Ilmu
Hukum Undip), Semarang: t.p. Halaman 4.
9
Kenyataan yang paling mudah diamati khususnya pada perilaku hakim Indonesia yang dalam berbagai kasus
nampak hanya sebagai corong undang-undang. Periksa: Al. Wisnubroto, 1997. Hakim dan Peradilan di
Indonesia: Dalam Beberapa Aspek Kajian, Yogyakarta: Penerbit UAJY. Halaman 86-88.

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

2. Kuatnya pengaruh kekuatan politik dan ekonomi yang membuat lembaga-lembaga


peradilan tidak independen;
3. Sistem rekrutmen dan pembinaan SDM (khususnya aparatur penegak hukum) yang
belum ideal;
4. Keterbatasan fasilitas pendukung proses penegakan hukum, termasuk sistem
kontraprestasi bagi aparatur penegak hukum dan akses peningkatan kapasitas diri;
5. Kurang berfungsinya mekanisme kontrol dalam penyelenggaraan peradilan 10.
Keadaan demikian telah menyebabkan berbagai ketidakberdayaan dalam proses
penegakan hukum. Ketidakberdayaan tersebut dapat berupa: ketidakberanian untuk
mengambil sikap atau pilihan tindakan yang secara formal bertentangan atau tidak ada
aturannya dalam Undang-Undang; ketidakmampuan untuk secara kreatif menafsirkan
Undang-Undang dalam penyelesaian perkara baru yang belum ada aturannya; dan
ketidakmampuan/ketidakmauan untuk membuat terobosan atau inovasi dalam
pemaknaan sebuah aturan dalam undang-undang untuk mewujudkan keadilan sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat.
Pendek kata implementasi hukum modern secara otonom dengan pendekatan
sempit akan menyebabkan hukum tercerabut dari masyarakatnya sehingga hanya
akan menghasilkan keadilan formal (bukan keadilan substansial).

C. Prinsip Dasar Hukum Progresif


Sosok Hukum Progresif sangat lekat dengan pencetusnya yakni Profesor
Satjipto Rahardjo. Hal demikian tidak berlebihan karena pada kenyataannya Prof. Tjip
ini tidak sekedar sebagai penggagas awal tetapi sekaligus juga pejuang dan
pengembang hukum progresif11. Oleh sebab itu apa yang tertulis pada bagian ini
tidak lebih dari kilas balik dari gagasan-gagasan beliau12.

10

Blumberg antara lain mengatakan: The Court, unlike most other formal organization, functions as a genuinely close
community in that it succesfully conceals the true nature of its routune operation from outsider. Lihat: Abraham S.
Blumberg, 1970. Criminal Justice System, Chicago: Quangdrale Books. Halaman 70. Kelemahan mekanisme
kontrol dipandang dapat menambah ketertutupan sistem peradilan.
11
Sekalipun tidak sama persis, sebelumnya Van Gerven/Leitjen dalam bukunya yang berjudul: Theorie en Praktijk van de
Rechtsvinding telah memperkenalkan Aliran Progresif dalam penemuan hukum yang berpendapat bahwa hukum dan
perubahan merupakan alat untuk perubahan-perubahan sosial. Lihat: Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993. Bab-

bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti bekerjasama dengan Konsorsium Ilmu Hukum
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dan The Asia Foundation. Halaman 5.
12
Sumber utama tulisan ini adalah: Satjipto Rahardjo, Indonesia Inginkan Penegakan Hukum Progresif, dalam:
Kompas, 15 Juni 2002. Halaman 4; Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Penjelajahan Suatu Gagasan,
Makalah, disampaikan pada Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang 4 September 2004
dan Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah,
disampaikan dalam Seminar Nasional Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia, Kerjasama IAIN
Walisongo dengan Ikatan Alumni PDIH UNDIP, Semarang 8 Desember 2004.

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

Gagasan hukum progresif muncul sebagai reaksi keprihatinan terhadap


keadaan hukum di Indonesia yang sedemikian rupa sehingga muncul pendapat dari
pengamat internasional hingga masyarakat awam bahwa sistem hukum Indonesia
masih jauh dari harapan dan memerlukan pembenahan secara serius. Gagasan
Hukum Progresif muncul sebagai reaksi atas kegagalan hukum Indonesia yang
didominasi doktrin positivism dalam menanggulangi kasus-kasus korupsi dan
pelanggaran hak asasi manusia.
Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif adalah: Hukum adalah
untuk Manusia, bukan sebaliknya manusia yang dipaksa masuk dalam skema hukum.
Bahkan hukum dibuat bukanuntuk dirinya sendiri (hukum untuk hukum)13. Jadi
manusialah yang merupakan penentu dan dipahami dalam hal ini manusia pada
dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin mengeser landasan teori dari faktor
hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum bukan lah merupakan sesuatu yang
mutlak dan final tetapi selalu dalam proses menjadi (law as process, law in the
making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang
berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli
terhadap rakyat.
Oleh sebab itu hukum progresif
M eng ut am ak an
FAK TOR dan PE RA N
M AN U SIA di ata s
h uk um

R ule and
Beh av iour

tidak menempatkan aturan hukum positif

Pro RAK YAT &


Pro KE ADILA N

sebagai sumber hukum yang paripurna.


MO D AL NU RAN I:
Em pathy;
Co m pa ssio n;
Ded ic ation ;
Dete r m ination ;
Sin c ere ly; Da re.
Dijalanka n
dengan SQ
BE RBA GI
d en gan
b erbag ai
Aliran
H uk um

HUKUM
u n tu k
M A N U SIA

M E MB E B ASK AN
M AN U SIA d ar i
k ela zima n b aik
yan g be r sum b er
d ar i U U ma up un
P ros ed ur

Manusia
makna

M es u bu di
/ Doin g to
th e Ut m ost

harus
pada

melampaui

mampu

sebuah

teks

yang

memberikan

aturan
tertulis

hukum
guna

mewujudkan keadilan yang substantif.

L A W I N T H E M A K IN G

Prinsip ini telah mengispirasi praktek


penegakan hukum secara progresif oleh para pekerja hukum14.
Dari sudut teori, maka hukum progresif meninggalkan tradisi analitical
jurisprudence

atau

rechtsdogmatiek

dan

mengarah

pada

tradisi

sociological

jurisprudence. Jadi sebenarnya konsep hukum progresif bersentuhan, dipengaruhi


atau berbagai dengan beberapa teori hukum yang telah mendahuluinya, antara lain:
Konsep hukum responsif (responsive law) yang selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan
13

Dalam tataran praksis hal ini tampak pada ungkapan-ungkapan: demi hukum, berdasarkan peraturan
perundang-undangan, sesuai dengan prosedur yang berlaku, penggunaan prinsip praduga tak bersalah
secara berlebihan.
14
Al. Wisnubroto, Kontribusi Hukum Progresif Bagi Pekerja Hukum, Dalam: Myrna A. Savitri, et.al. (ed.),
2011. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik, Jakarta: Epistema-Huma. Halaman 255.

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

di luar narasi tekstual hukum itu sendiri; Legal Realism; Freirerechtslehre; Critical Legal
Studies15. Sekalipun hukum progresif bersama aliran-aliran hukum tersebut mengkritik
doktrin hukum positif, namun hukum progresif sebenarnya tidak antai terhadap
keberadaan sistem hukum positif.
Konsep progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan sehingga
berupaya merubah hukum yang tak bernurani menjadi institusi yang bermoral.
Paradigma hukum untuk manusia membuatnya merasa bebas untuk mencari dan
menemukan format, pikiran, asas serta aksi-aksi yang tepat untuk mewujudkan tujuan
hukum yakni keadilan, kesejahteran dan kepedulian terhadap rakyat. Dengan kata lain
hukum progresif bersifat membebaskan manusia dari kelaziman baik yang bersumber
dari peraturan perundang-undangan maupun prosedur serta kebiasaan praktik hukum.
Dalam sistem hukum yang progresif, ahli hukum tidak hanya berperan sebagai
penegak hukum dalam arti sempit (menemukan hukum dalam aturan formal dan
menerapkannya) namun lebih dari itu harus mampu sebagai kreator hukum.
Sebagai institusi yang bermoral maka hukum progresif bermodal nurani
(empathy; compassion; dedication; determination; sincerely; dare) dan dijalankan
dengan SQ. Jadi kebebasan dalam membuat terobosan hukum atau memaknai hukum
melampaui bunyi teks, tidak dapat artikan sebagai tindakan semaunya atau sewenangwenang karena semua tindakan hukum yang bersifat progresif harus dilandasi dengan
argumentasi yang dibangun dengan konstruksi bernalar yang kritis dan bisa
dipertanggungjawabkan secara rasional dan moral.
Dengan demikian menjalankan hukum secara progresif tidak semata-mata
berpijak pada rule and logic namun juga rule and behavior. Hal ini mengingatkan pada
penyataan Oliver Wendell Holmes: The live of the law has not been logic. It has
been experience. Menggunakan hukum tidak semata-mata mengandalkan logika
peraturan namun juga harus mempertimbangkan hukum yang bersumber dari
pengalaman empiris misalnya kearifan lokal.
Karena bertumpu pada dua pijakan yakni peraturan dan perilaku maka hukum
progresif tidak memposisikan hukum sebagai intuisi yang netral. Hukum Progresif
merupakan hukum yang berpihak yakni memberi perhatian pada yang lemah, pro

15

Shidarta, Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-aliran Filsafat Hukum: Sebuah
Diagnosis Awal, Dalam: Ibid. Halaman 52.

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

10

16

rakyat dan pro keadilan . Hukum yang diposisikan sebagai sebagai intuisi yang netral
merupakan pengaruh dari paham liberalisme yang apabila diterapkan pada situasi
yang timpang justru cenderung menguntungkan pihak yang kuat.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam mewujudkan tujuannya hukum
bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu dalam proses
menjadi (law as process, law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan
dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan
kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap rakyat. Bahkan hukum progresif
menginisiasi konsep rule breaking yakni merobohkan hukum yang dipandang tidak
mampu mewujudkan keadilan dan membangun kembali hukum yang lebih baik.
Menjalankan hukum progresif berarti meninggalkan cara berhukum dengan
kacamata kuda (masinal, atomizing, mekanistik, linier) dan merubahnya menjadi
pada cara pandang yang utuh (holistic) dalam membaca aturan dan merekonstruksi
fakta. Dengan demikian Dalam menghadapi situasi yang bersifat extraordinary pekerja
hukum harus menjalankan profesi atau tugas melampaui batas beban tugasnya (Mesu
budi/doing to the utmost).
Akhirnya, masalah interpretasi atau penafsiran menjadi sangat urgen dalam
pemberdayaan hukum progresif dalam rangka
HUKUM PROGRESIF DALAM
LOMPATAN PARADIGMA
Pemecahan
Masalah

untuk

Ketertiban hukum
Keadilan hukum

Rule
Breaking
Masalah
Anomali
Normal

Normal

mengatasi

kemandegan

dan

keterpurukan hukum. Interpretasi dalam hukum


progresif

tidak

terbatas

pada

konvensi-

konvensi yang selama ini diunggulkan seperti


Lompatan
Paradigma
Hukum
Progresif

Ketertiban hukum
Kepastian hukum

penafsiran gramatikal, sejarah, sistematik dan


sebagainya, namun lebih dari itu berupa

Krisis

penafsiran yang bersifat kreatif dan inovatif


sehingga dapat membuat sebuah terobosan dan lompatan pemaknaan hukum
menjadi sebuah konsep yang tepat dalam menjangkau hukum yang bermoral
kemanusiaan.
Dengan demikian sebenarnya penegakan hukum progresif tidak hanya terbatas
dari sisi penerapan hukum namun seyogyanya ditopang oleh sisi formulasi hukumnya.
Jadi PR kita untuk membumikan gagasan hukum progresif masih sangat panjang.

16

Sudijono mengidentifikasikan elemen-elemen utama dari model hukum progresif, yakni: Ideologi: pro-rakyat;
Tujuan: pembebasan; Fungsi: Pemberdayaan; Jenis keadilan: keadilan sosial dan Metodologi: diskresi.
Periksa: Sudijono Sastroadmodjo, Konfigurasi Hukium Progresif dalam: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8
Nomor 2, September 2005. Halaman 187.

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

11

D. Strategi Pengembangan
Kehadiran gagasan Hukum Progresif merupakan harapan baru dalam
memperbaiki keterpurukan penegakan hukum di Indonesia. Gagasan hukum progresif
bisa dipandang sebagai sarana untuk mendayagunakan hukum dalam mewujudkan
tujuan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Disisi lain setelah berjalan lebih dari satu dekade sejak dicetuskan oleh
penggagasnya (Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.), muncul pula kekhawatiran terhadap
keberadaan hukum progresif, terutama semenjak berpulangnya Sang Penggagas.
Kekaguman yang berlebihan pada Sang Begawan Ilmu Hukum selaku
penggagas hukum progresif, justru berdampak pada stagnasi pemikiran guna
mengembangkan hukum progresif. Konsep gagasan hukum progresif diposisikan
seolah bagai ayat-ayat suci bagi kalangan akademisi maupun praktisi yang menyebut
dirinya, entah sebagai cantriknya Prof. Tjip, entah sebagai penganut mashab hukum
progresif. Bila hal ini terjadi maka sebenarnya perlakuan terhadap hukum progresif
justru bertentangan karakter hukum progresif sebagai Law on going process atau
Law in the making yang tidak pernah final dalam mencari bentuknya.
Sejumlah praktisi mulai banyak yang tertarik pada aliran hukum progresif.
Mereka mengatakan prinsip-prinsip hukum progresif lebih operasional dari pada aliran
hukum yang lain (misalnya aliran hukum kritis). Namun demikian mereka menghendaki
terwujudnya kisi-kisi hukum progresif sebagai pedoman baku dalam menjalankan
profesinya. Bila hal ini terjadi maka hukum progresif justru akan terbelenggu pada cara
tradisi positivisme. Padahal doktrin positivisme merupakan sesuatu yang dikritik keras
dan hendak diperbaiki oleh hukum progresif.
Sementara para aktivis gerakan advokasi masyarakat memahami hukum
progresif sebagai sebuah gerakan dengan mengkaitkan dengan gerakan people power
dan progressive lawyer yang berideologi anti kemapanan dan kekiri-kirian. Hal
tersebut patut direspons secara kritis karena sekalipun ada beberapa spirit yang
bersesuaian namun ada prinsip-prinsip dan tradisi yang kurang pas.
Fenomena sebagaimana telah diuraikan di atas merupakan tantangan
pengembangan hukum progresif yang bersifat eksternal. Disamping itu terdapat pula
tantangan eksternal terhadap pengembangan hukum progresif. Kalangan ahli hukum
yang berbasis doktrin positivisme seringkali memandang gagasan hukum progresif
secara keliru. Gagasan hukum progresif dipandang bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum. Pemaknaan secara luas dipandang kaum positivis sebagai

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

12

ketidaktertiban atau kesewenangan. Bahkan aksi terobosan hukum yang ditawarkan


hukum progresif dianggap sebagai langkah yang membahayakan sistem hukum.
Terkait dengan tantangan-tantangan tersebut maka diperlukan strategi untuk
mengembangkan hukum progresif agar bisa diterima sebagai alternatif pembaharuan
hukum di Indonesia. Merubah tradisi hukum modern yang dibagun dengan doktrin
positivisme bukan hal yang mudah, bahkan bisa dikatakan tidak realistis. Terlebih lagi
gagasan hukum progresif jauh lebih muda bila bidandingkan dengan aliran hukum
yang telah ada sebelumnya. Yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan
gerakan internalisasi spirit hukum progresif dalam pengembangan hukum baik dalam
tataran keilmuan maupun tataran praksis.
Penolakan atau pandangan keliru terhadap gagasan hukum progresif pada
umumnya disebabkan karena pemahaman yang tidak utuh terhadap konsep hukum
progresif. Penjelasan yang lengkap dan bernas mengenai apa dan bagaimana hukum
progresif diharapkan bisa merubah cara pandang dan perilaku dalam berhukum. Ini
merupakan tantangan tersendiri sebab tidak mudah menjelaskan konsep hukum
progresif yang utuh dalam waktu yang singkat17.
Dalam tataran keilmuan gagasan hukum progresif memang masih belum bisa
diakui sebagai sebuah teori. Upaya kajian akademis secara serius harus terusmenerus dilakukan guna menemukan landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis
yang mantab. Kajian-kajian yang bersifat akademis tidak semata-mata menempatkan
hukum progresif sebagai subjek namun juga sebagai objek kajian. Dengan cara
tersebut kajian terhadap hukum progresif bisa bersifat konstruktif maupun secara kritis,
sehingga bisa semakin memperkokoh landasan keilmuan gagasan hukum progresif.
Tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan hukum progresif dalam dunia
praktek hukum. Hal ini bisa dilakukan dengan upaya mendorong agar sikap, perilaku,
cara bernalar serta cara bertindak dalam penerapan hukum mengacu spirit dan prinsipprinsip hukum progresif. Tantangan yang harus dihadapi tentu saja adalah sistem
hukum Indonesia yang hingga kini masih didominasi doktrin positivisme. Namun
demikian secercah harapan muncul ketika beberapa organisasi advokasi hukum dan
lembaga peradilan mulai menggunakan spirit hukum progresif. Di Yogyakarta misalnya
terdapat SPHP (Serikat Pekerja Hukum Progresif). Di Jakarta terdapat IHPI (Ikatan
Hakim Progresif Indonesia) dan bahkan Mahkamah Konstitusi RI pada era Mahfud MD
17

Hal ini mengingatkan penulis ketika menyaksikan betapa repotnya Prof. Satjipto Rahardjo ketika harus
menjelaskam gagasan hukum progresif dalam menghadapi sanggahan-sanggahan dari Hotma Sitompul, seorang
professional lawyer yang beraliran positivistik, dalam sebuah acara Talk Show di sebuah media televisi, pada
tahun 2004-an.

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

13

secara terang-terangan menggunakan mashab hukum progresif. Hal demikian belum


termasuk aparatur penegak hukum yang secara pribadi beraliran hukum progresif.
Penerapan prinsip-prinsip hukum progresif dalam dinamika advokasi hukum
termasuk di dunia peradilan, disatu sisi hukum progresif bisa bermanfaat dalam
peningkatan kualitas penegakan hukum dan keadilan, disis lain hukum progresif juga
semakin teruji guna penyempurnaan dirinya18. Hukum progresif adalah hukum yang
membebaskan dalam arti merobohkan tatanan hukum yang lama dan membangun
kembali tatanan hukum yang lebih baik.
Akhir kata penulis berpendapat bahwa gagasan hukum progresif pada
hakekatnya

merupakan

pembaharuan

tradisi

berhukum.

Oleh

sebab

itu

pengembangan hukum progresif memerlukan sebuah gerakan intelaktual untuk


mewujudkan tradisi berhukum yang lebih baik.
Sleman, November 2014

18

Dalam sebuah pertemuan di rumah Prof. Tjip pada awal tahun 2009, penulis pernah menyampaikan bahwa para
pekerja hukum yang tergabung dalam SPHP sedang menguji hukum progresif dalam praktek advokasi hukum.
Mendengar hal tersebut Prof. Tjip amat gembira mendengar bahwa hukum progresif sedang diuji.

www.hukumprogresif.com
Wisnubroto, Al., 2014: Dasar-Dasar Hukum Progresif

14

DAFTAR REFERENSI
Ali, Achmad, 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Blumberg, Abraham S., 1970. Criminal Justice System, Chicago: Quangdrale Books.
Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8 Nomor 2, September 2005
Khun, Thomas, 1989. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (The Structure of Scientific Revolutions,
diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman), Bandung: Remadja Karya CV.
Rahardjo, Satjipto, Indonesia Inginkan Penegakan Hukum Progresif, dalam: Kompas, 15 Juni 2002.
----------, (Khudzaifah Dimyati, ed.), 2004. Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
----------, Hukum Progresif: Penjelajahan Suatu Gagasan, Makalah, disampaikan pada Jumpa Alumni Program
Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang 4 September 2004
----------, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah, disampaikan dalam
Seminar Nasional Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia, Kerjasama IAIN Walisongo dengan
Ikatan Alumni PDIH UNDIP, Semarang 8 Desember 2004.
----------, 2005. Penafsiran Hukum Yang Progresif, (Bacaan untuk Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum
Undip), Semarang: t.p.
Savitri, Myrna A., et.al. (ed.), 2011. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik, Jakarta:
Epistema-Huma.
Siregar, Ashadi, 2001. Negara, Masyarakat dan Teknologi Informasi, Makalah dalam Seminar Tenologi
Informasi, Pemberdayaan Masyarakat dan Demokrasi Dies Natalis FISIPOL UGM ke-46, Yogyakarta 19
September 2001.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993. Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti
bekerjasama dengan Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dan The Asia
Foundation.
Unger, Roberto Mangabeira, 1976. Law in Modern Society: Toward a Critism of Social Theory, New York: The
Free Press.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik Dalam
Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Wisnubroto, Al. 1996. Iptek, Perubahan Masyarakat dan Hukum: Dalam Kajian Aspek-Aspek Pengubah Hukum,
(Paper, tidak diterbitkan).
----------, 1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia: Dalam Beberapa Aspek Kajian, Yogyakarta: Penerbit UAJY.
----------, 2010. Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia, Yogyakarta: Penerbit UAJY.

Anda mungkin juga menyukai