Anda di halaman 1dari 11

IMPLEMENTASI HUKUM DALAM ERA GLOBALISASI DI INDONESIA

Fina Ainun Najib

Pascasarjana Universitas Pancasakti Tegal Program Magister Hukum

E-mail: anajib63@gmail.com

Abstract
Keyeords :
Abstrak

Kata Kunci:
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Kata globalisasi dalam dekade terakhir ini tidak saja menjadi bahan
perbincangan dalam ilmu pengetahuan sosial dan ekonomi, tetapi juga dalam dunia
politik dan ideologi kekuasaan d seluruh dunia. Teknologi informasi dan
komunikasi dipandang sebagai simbol pelopor yang mengintegrasikan seluruh
sistem dunia, baik dalam bidang sosial, hukum, ekonomi, maupun budaya.
Globalisasi bukanlah sesuatu yang baru, semangat pencerahan eropa di abad
pertengahan yang mendorong pencarian dunia baru dapatdikategorikan sebagai
arus globalisasi (Supriyono: 2019).
Globalisasi telah menimbulkan beberapa perubahan dalam berbagi aspek
kehidupan dalam skala nasional. Perubahan globalisasi pasar yang erat dengan
puncak kapitalisme, gaya hidup yang makin terekenomisasi dalam jalinan global,
universalisasi standar, aturan dan hukum,transportasi, komunikasi, akomodasi hal-
hal yang dianggap telah disediakan alam, kreasi manusia atau intervensi manusia
pada alam, hidup dan kerja yang makin padat otak, hiperekspoitasi sumber daya
alam, dan peran perusahaan transnasional melebihi pemerintah, secara
ekstrakonstitusional mempengaruhi pemerintah bahkan menguasai sumber daya
alam suatu negara (Hibnu Nugroho: 2008).
Globalisasi bukan hanya menyangkut salah satu bidang dalam kehidupan.
Globalisasi teknologi, ekonomi, informasi budaya dan bahkan hingga
perkembangan hukum adalah merupakan suatu hal yang merupakan sebuah
kenyataan. Termasuk dalam hal ini pada kondisi hukum di Indonesia saat ini
semakin memprihatinkan, begitu banyak tangis dan ratapan rakyat-rakyat kecil
yang tertindas dan terluka oleh hukum, bahkan tidak jarang emosi rakyat semakin
berkobar tatkala ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan hukum didalam
mencapai suatu hasrat tertentu yang tanpa menggunakan sedikitpun hati nurani.
Hal ini tentu mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat.
Oleh karenanya bidang hukum khususnya masalah penegakan hukum perlu segera
melakukan reformasi yang meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana
(Rahma Marsinah: 2016).
Begitu jelas jika segala sesuatunya harus bergantung dengan hukum yang
berjalan di Indonesia yang mana memiliki hukum yang secara gamblang tertulis
dalam Undang-Undang. Namun, jika kita lihat secara kasat mata dewasa ini hukum
sudah tidak berjalan dengan tegas. Bisa kita ambil dari berbagai kasus mengenai
aparatur negara yang tidak memiliki ujung penyelesaian yang pasti dan jelas,
bakhan bisa begitu saja hilang bak ditelan bumi. Coba kita bandingkan dengan
kasus yang kaum rakyat kecil, yang dengan masalah atau kasus kecilpun namun
penyelesaiannya berlebihan dan bahkan dihukum hingga membabi buta.
Pada dasarnya Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan
masyarakat, agar kepentingan masyarakat terlindungi. Untuk itu dalam
pelaksanaan penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu,
kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemafaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan
(Gerechtigkeit) (Sudikno: 1999).Sedangkan permasalahan hukum di Indonesia
dapat disebabkan oleh beberapa haldiantaranya yaitu sistem peradilannya,
perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan,
maupun perlindungan hukum.
Persoalan yang muncul kemudian, ada pada penegak hukum yaitu perilaku
aparat hukum, yang sampai saat ini ada dikenal adanya “Mafia Peradilan”. Sudah
menjadi rahasia umum mengenai praktek maraknya mafia peradilan yang
melibatkan aparat penegak hukum. Sudah seolah menjadi suatu hal yang
tersistematis, mengingat hampir semua instansi penegak hukum seperti Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan bahkan sampai Mahkama Agung, pernah terlibat dalam
jaringan mafia peradilan.
Problem tersebut di atas memerlukan pemecahan atau solusi, dan negara
yang dalam hal ini diwakili pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang
bertujuan memperbaiki kinerja institusi hukum, aparat penegak hukum dengan
anggaran yang cukup memadai sedang outputnya terhadap perlindungan
warganegara di harapkan dapat meningkatkan kepuasan dan sedapat mungkin
mampu menjamin ketentraman dan kesejahteraan sosial bagi seluruh anggota
masyarakat. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan membahas tentang
implementasi hukum dalam era globalisasi di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas maka untuk artikel ini penulis mengemukakan
permasalahan yaitu:
1. Bagaimana budaya hukum di Indonesia ?
2. Bagaimana kesadaran hukum oleh masyarakat Indonesia ?
3. Bagaimana penegakan hukum era globalisasi di Indonesia ?
4. Bagaimana penerapan asas equality before the law era globalisasi di
Indonesia ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui budaya hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui kesadaran hukum oleh masyarakat Indonesia.
3. Untuk mengetahui penegakkan hukum era globalisasi di Indonesia.
4. Untuk mengetahui penerapan asas equality before the law era globalisasi di
Indonesia.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berupa kajian pustaka (library
research). Objek utama dalam penelitian ini adalah implementasi hukum dalam era
globalisasi di Indonesia. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang
pengumpulan datanya dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur.
Literatur yang diteliti tidak terbatas pada buku-buku tetapi dapat juga berupa bahan-
bahan dokumentasi, majalah, jurnal, dan surat kabar. Penekanan penelitian kepustakaan
adalah ingin menemukan berbagai teori, hukum, dalil, prinsip, pendapat, gagasan dan
lain-lain yang dapat dipakai untuk menganaliis dan memecahkan masalah yang diteliti
(Sarjono : 2008).
3. Hasil dan Pembahasa
3.1 Budaya Hukum Masyarakat di Era Globalisasi Indonesia
Sebelum adanya undang-undang atau konstitusi seperti sekarang, masyarakat
Indonesia telah memiliki hukumnya sendiri, bahkan hukum ini adalah hukum tertua
yang ada di Indonesia yakni hukum adat. Hukum adat diciptakan atau dilahirkan
oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar pada masyarakat-masyarakat adat.
Pada masyarakat adat pada saat itu keterikatan yang terlihat jelas adalah keterikatan
terhadap tanah yaitu tanah dianggap sebagai sumber utama dalam pereekonomian
masyarakat adat, hingga terdapat pula penggolongan penduduk desa seperti terdapat
di Jawa. Penggolongan tersebut adalah pengaitan status seseorang di desa kepada
hubungannya dengan tanah.Warga desa ini digolongkan ke dalam (Nurita:2018) :
1. Warga inti yang meliputi pribumi, sikep, kuli, baku dan gogol yang mana
mereka memiliki tanggung jawab sepenuhnya atas tanah ladang garapan dan
pekarangnya.
2. Warga lapisan yang hanya mempunyai ladang lindung dan pekarangan yang
dibebani oleh beberapa kewajiban.
3. Warga penumpang yang hanya memiliki rumah namun diatas tanah orang lain.
4. Lapisan nusup atau pembantu, mereka hanya bekerja untuk tempat orang yang
mereka tinggali.
Pemimpin masyarakat Indonesia sebenarnya merupakan penjelmaan dari adat
setempat. Pada masa itu, pemimpin bertugas menyalurkan anggota-anggota
masyarakat supaya mereka berbuat sesuai dengan adat. Tidak ada pemaksaan dan
tidak ada sesuatu beban dari atas. Namun pada saat masuknya budaya barat dalam
pranata hukum di Indonesia membuat masyarakat Indonesia hingga saat ini
cenderung bertingkah laku sesuai perilaku budaya hukum yang datang dari Barat.
Hal ini berdampak pada penerapan hukum di era globalisasi saat ini, misalnya
saja seperti jargon-jargon hukum yang biasa dipakai di negara-negara liberal yang
diterapkan di Indonesia misalnya saja negara liberal selalu menjunjung tinggi yang
dinamakan netralitas hukum , otonomi hukum dan objektifitas hukum. Namun pada
kenyataanya netralisasi dalam hukum hanya sebuah imajinsasi yang terjadi pada
suatau keberpihakkan di dalamnya yang mana diperutukkan hanya kepada orang-
orang yang memilki kekuasaan di negraanaya. Selain itu sama halnya pada negara
liberal, netralitas hukum di Indonesia perlu dipertanyakan ulang, sebagai contoh
banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat yang di vonis bebas oleh
pengadilan tipikor, bahkan hukumannya pun dapat diringankan mengingat pejabat
tersebut memilki kedudukan yang tidak main-main. Hal ini secara tidak langsung
membuat Indonesia yang dikenal sebagai negara demokratis berubah menjadi negara
liberal (Nurita: 2018).
Objektifitas hukum di negara liberal pada kenyataanya sebagai tempat
berpijaknya hukum untuk mengecoh masyarakat agar percaya bahwa hukum di
negara liberal merupakan hukum yang paling objektif dalam penerapannya padahal
dalam prakteknya hukum tersebut tidak lagi objektif melainkan subjektif, dengan
melihat subjek-subjek hukum di dalamnya. Hal ini ditiru oleh negara kita, banyak
kasuistik mengenai subjektifitas hukum. Sebagai contoh besan dari presiden Susilo
Bambang Yudhoyono yaitu Aulia Pohan, ia telah mendapatkan remisi atau
potongan masa hukuman selama 6 bulan dan ia pun langsung di bebaskan dari
penjara secara bersyarat. Padahal seharusnya sesuai aturan yang ada Aulia Pohan di
remisi selama 2 bulan. Dari contoh tersebut membuktikan bahwa Indonesia di era
globalisasi bukannya memperbaiki hukum melainkan memperburuk citar hukum itu
sendiri demi kepentingan para pejabat (Nurita: 2018).
Implementasi hukum di era globalisasi telah menjadi penindas negaranya
sendiri, terutama pada masyarakatnya. Tidak ada lagi namanya menjaga dan
melestaraikan alam di negerinya sendiri. Hala ini dpata dilihat pada Provinsi Papua,
dimana eksploitasi pertambangan dilakukan secara besar-besaran, dan masyarakat
setempat pun tidak dapat melakukan apapun, karena pemerintah sendiri telah
melakukan perjanjian kepada perusahaan-perusahaan besar milik asing. Hal ini
membuktikan bahwa hukum kita bukannya berkembang ke arah yang lebih baik,
namun hukum kita telah di diminasi oleh budaya-budaya hukum dari Barat
(Nurita :2018).

3.2 Kesadran Hukum oleh Masyarakat Era Globalisasi di Indonesia


Manusia terlahir dengan memilki sifat, karakter, bakat, dan kepentingan yang
berbeda-beda satu sama lain. Sebagai makhluk sosial, manusia saling membutuhkan
satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, karena perbedaan
kepentingan dan kemauan seseorang dengan yang lainnya seringkali terjadi benturan
yang menimbulkan konflik dalam masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan
lingkungan pergaulan yang tidak harmonis, tidak tertib, tidak tenteram, dan tidak
aman. Karena itu, untuk mencegah terjadinya hal-hal negatif tersebut diperlukan
suatu hukum yang mengatur pergaulan dan mengembangkan sikap kesadaran hukum
untuk menjalani kehidupan antar masyarakat (Nurkasihani: 2018).
Kesadraan hukum dapat diartikan sebagai kesadara seseorang atau kelompok
akan aturan-aturan atau hukum yang berlaku. Di perlukan akan kesadaran hukum
oleh masyarakat agar bertujuan untuk mewujudkan ketertiban, kedamaian dan
keadilan dalam pergaulan antar sesama. Tanpa memiliki kesadaran hukum yang
tinggi, tujuan tersebut akan sangat sulit dicapai. Sebagai contoh sering terjadinya
perkelahian atau tawuran antar pelajar dan mahasiswa. Hal ini karena kurangnya
kesadaran hukum dalam kehidupan masyarakat (Nurkasihani: 2018).
Kesadaran hukum perlu ditanmkan sejak dini, dimulai daroi lingkungan
keluarga. Setiap anggota keluarga dapat melatih, memahami hak-hak dan
bertanggungjawab atas keluarganya. Apabila hal ini dapat dilaksanakan, maka ia pun
akan terbiasa menerapkan kesadaran hukum yang dimilikinya dalam lingkungan
yang lebih luas. Selain itu ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesadaran
hukum. Pertama, faktor pengetahuan tentang kesadaran hukum, Peraturan dalam
hukum harus disebarkan secara luas dan telah sah. Maka dengan sendirinya
peraturan itu akan tersebar dan cepat diketahui oleh masyarakat. Kedua, faktor
ketaatan masyarakat terhadap hukum. Dengan demikian semua kepentingan
masyarakat kan bergantung pada ketentuan hukum dan juga kepatuhan masyarakat
terhadap hukum disebabkan ketakutan terhadap sebuah hukuman atau sanksi yang
akan di dapatkan ketika melanggar hukum (Nurkasihani: 2018).
Menurut Soerjono Soekanto, indikator-indikator dari kesadaran hukum
sebenarnya merupakan petunjuk yang relatif kongkrit tentang taraf kesadaran
hukum. Dijelaskan lagi secara singkat bahwa indikator pertama adalah pengetahuan
hukum. Seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah diatur oleh
hukum. Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun
hukum yang tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh
hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.Indikator kedua adalah
pemahaman hukum. Seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan
pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, misalnya adanya pengetahuan dan
pemahaman yang benar dari masyarakat tentang hakikat dan arti pentingnya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Indikator yang ketiga
adalah sikap hukum. Seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan
penilaian tertentu terhadap hukum. Indikator yang keempat adalah perilaku hukum,
yaitu dimana seseorang atau dalam suatu masyarakat warganya mematuhi peraturan
yang berlaku (Soerjono: 1982).
Untuk menumbuhkan kebiasaan sadar hukum inilah yang menjadi tantangan
dan tanggung jawab semua pihak. Budaya sadar dan taat hukum sejatinya haruslah
ditanamkan sejak dini. Maka elemen pendidikanlah menjadi ujung tombak dalam
menanamkan sikap dan kebiasaan untuk mematuhi aturan-aturan yang ada. Jika
sikap dan perilaku kesadaran hukum ditanamkan sejak dini, maka kedepan sikap
mematuhi aturan akan mendarah daging dan membudaya di masyarakat.
Tingginya kesadaran hukum di suatu wilayah akan memunculkan masyarakat
yang beradab. Membangun kesadaran hukum sejak dini, tidak harus menunggu
setelah terjadi pelanggaran dan penindakan oleh penegak hukum. Upaya pencegahan
dinilai sangat penting dan bisa dimulai dari dalam keluarga sebagai unit terkecil
masyarakat. Kesadaran inilah yang mesti kita bangun dimulai dari keluarga. Dengan
adanya kesadaran hukum ini kita akan menyaksikan tidak adanya pelanggaran
sehingga kehidupan yang ideal akan ditemui (Nurkasihani: 2018). 
3.3 Penegakkan Hukum era globalisasi di Indonesia
Perubahan yang sangat signifikan diakibatkan oleh adanya globalisasi.
Termasuk juga perubahan sosial yang dapat menimbulkan ketegangan dan keresahan
sosial, didalamnya hukum dianggap ketinggalan zaman, tidak memilki rasa keadilan,
apalagi banyaknya penegak hukum yang dianggap tidak profesional, adresat noerma
dianggap tidak sadar hukum, lembaga peradilan didakwa tidak dapat menggali nilai-
nilai dalam masyarakat, diskresi muncul secara tidak terkendali, DPR dilecehkan,
Hakim didakwa menyalahgunakan kebebasan dan sebagainya (Edi Setiadi: 2002).
Berawal dari argumentasi tersebut, penegakan hukum aktual akan jauh dari
penegakan hukum ideal, hukum hanya melindungi yang “ powerfull”, pelanggaran
hak asasi manusia akan terus berlanjut dan seterusnya. Disinilah masalah
kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum dirasakan
sebagai kebutuhan yang pada dasarnya mengandung dua hal yakni aman
(jasmaniah) dan tenteram (rohaniah), yang semuanya dapat dicakup dalam
tujuan hukum yaitu kedamaian (the function of law is to maintain peace).
Dalam bidang penegakan hukum sudah seharusnya ada transparansi
antar keluarga hukum agar tidak diikuti lagi secara kaku, yurisprudensi
misalnya sudah saatnya menjadi sumber hukum yang reprsentatif, tanpa
harus memandangnya sebagai tradisi yang ada di common law system,
selanjutnya doktrin-doktrin hukum dari para pakar kiranya dapat mengisi
kekosongan hukum yang ada. Dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum
harus pula tercermin karakteristik hukum modern yang mempunyai ciri (1) uniform
and unvarying in their application,(2) transactional, (3) universalistic, (4)
hirarchial, (5) organized bureucratically, (6) rational, (7) run by professional, (8)
lawyers replace general agents, (9) amandable, (10) political, (11) legisltatif
judicial and executive are separate and distinct (Edi Setiadi: 2002).
Penegakkan hukum tidak lepas dari peradilan. Berjalannya proses peradilan
tersebut berhubungan erat dengan substansi yang diadili yaitu berupa perkara
perdata atau pidana, keterlibatan lembaga lembaga dalam proses peradilan secara
penuh hanya terjadi pada saat mengadili perkara pidana. Dalam perkembangannya
terbentuklah beberapa badan peradilan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, Pengadilan perpajakan
dimana masing-masing mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara sesuai
dengan kewenangan masing-masing peradilan tersebut.
Menurut hemat penulis peranan lembaga peradilan dalam mewujudkan
pengadilan yang mandiri, tidak dipengaruhi oleh pihak manapun, bersih dan
profesional belum berfungsi sebagai- mana yang diharapkan. Hal tersebut tidak
hanya disebabkan oleh (Sanyoto: 2008):
1. Adanya intervensi dari pemerintah dan pe- ngaruh dari pihak lain terhadap
putusan pengadilan, tetapi juga karena kualitas profesionalisme, moral dan
akhlak aparat penegak hukum yang masih rendah.
2. Lemahnya penegakan hukum juga disebab- kan oleh kinerja aparat penegak
hukum lainnya seperti Hakim, Polisian, Jaksa, Advokat dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) yang belum menunjukan sikap yang profesional dan
integritas moral yang tinggi.
Penegak hukum saat ini diharapkan mampu memiliki kecerdasan spritual
untuk mennagani kejahatan kejahatan transnasional. Hal; ini disebabkan pada
umumnya perilaku kejahatan transnasional nampak tidak melanggar suatu ketentuan
perundungan atau sebagai sesuatu perbuatan legal. Hanya penegak hukum yang
memilki kecerdasan spritual yang mampu membaca perilaku jahat yang sebenarnya
terkandung dalam perilaku tersebut. Masih terdapat banyak putusan pengadilan yang
tidak berpihak pada keadilan masyarakat saat ini merupakan suatu contoh yang
belum membudayanya kcerdasan spritual para penegak hukum khususnya hakim
dalam memutuskan perkara (Hibnu Nugroho: 2008).

3.4 Penerapan Asas Equality Before The Law era Globalisasi di Indonesia
Di Indonesia sering terjadi Kasus–kasus yang sepele namun dibesar-besarkan
oleh media akibat adanya ketidakadilan hukum di Indonesia atau dalam tanda kutip
“Tajam ke bawah dan Tumpul ke atas” maksud dari istilah tersebut adalah salah satu
sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat
kelas menengah. Inilah dinamika hukum di Indonesia, seolah sudah berganti
paradigma yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang
banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum
walaupun aturan negara dilanggar, atau dalam istilah hukum “timpang sebelah”.
Prinsip kemanusian ini didalam hukum humaniter adalah Asas Equality Before The
Law yang merupakan manifestasi dari Negara Hukum (Rechstaat) sehingga harus
adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum (Gelijkheid van ieder voor
de wet) (Rizka : 2017).
Penurunan dalam penerapan Asas Equality Before The Law dalam lapisan
dimensi masyarakat disebabkan oleh adanya politik pluralisme hukum yang
memberi ruang berbeda bagi hukum islam dan hukum adat. Disamping itu pula,
adanya oknum-oknum yang berwenang yang dapat mengenyampingkan hukum.
Dimana oknum-oknum tersebut seharusnya menegakkan hukum, namun
kewenangan yang ada padanya disalah pergunakan. Banyak Kasus-kasus besar
seperti korupsi dan kawan-kawannya dianggap kecil, namun sebaliknya kasus-kasus
sederhana yang mungkin bisa diselesaikan secara kekeluargaan bahkan dibesar-
besarkan. Ada berbagai faktor yang menghambatnya bukan hanya karena ada faktor
kekuatan politis yang membentenginya, melainkan juga menciptakan penundaan
proses hukum dengan segala celah pembalikan opini di ruang publik. Bukan rahasia
umum kondisi hukum ketika berhadapan dengan orang yang memiliki kekuasaan,
baik itu kekuasaan politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul. Tetapi,
ketika berhadapan dengan orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan dan
sebagainya, Hukum bisa sangat tajam (Rizka : 2017).
Adanya Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum
di negeri ini. Munculnya berbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di
berbagai daerah, menunjukan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah.
Keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan
masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk. Dalam Pasal 27 ayat (1)
UUD RI 1945 secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini memberikan
makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli
atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf,
golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus
dilayani sama di depan hukum (Rizki : 2017).
Di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD RI 1945 juga secara tegas menyebutkan
bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Banyak fakta
adanya diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang
tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan.
Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, realita hukum terasa justru
dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Maka
dari itu, perllu banyak-banyak evaluasi yang harus dilakukan, harus ada penindak
lanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum pada era globalisasi ini. Perlu
adanya ketegasan dan kesadraan yang hierarki dari individu atau kelompok yang
terlibat di dalamnya.

4. PENUTUP
Pengaruh globalisasi berdampak pada penerapan hukum di Indonesia. Apalagi
masuknya budaya barat dalam pranata hukum di Indonesia membuat masyarakat
Indonesia hingga saat ini cenderung bertingkah laku sesuai perilaku budaya hukum yang
datang dari Barat. Hal ini mempengaruhi dalam kesadarn hukum masyarakat indonesia
yang masih rendah. Kesadaran hukum perlu ditanmkan sejak dini, dimulai daroi
lingkungan keluarga. Setiap anggota keluarga dapat melatih, memahami hak-hak dan
bertanggungjawab atas keluarganya. Ada beberapa faktir yang dapat mempengaruhi
tingklat kesadaran hukum Pertama, faktor pengetahuan tentang kesadaran hukum.
Kedua, faktor ketaatan masyarakat terhadap hukum. Selain itu, adanya penurunan dalam
penerapan Asas Equality Before The Law  dalam lapisan dimensi masyarakat disebabkan
oleh adanya politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum islam
dan hukum adat. Disamping itu pula, adanya oknum-oknum yang berwenang yang dapat
mengenyampingkan hukum

DAFTAR PUSTAKA

Hashela Rizka Noor, Realitas Hukum dalam Asas Equality Before the Law, 2017.
Marsinah Rahmah, Kesadraan Hukum Sebagai Alat Pengendali Pelaksanaan Hukum di
Indonesia, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, Vol. 6, No. 2, 2016.
Nugroho Hibnu, Paradigma Penegakkan Hukum Indoensia di Era Global, Jurnal Hukum
Pro Justicia, Vol. 26, No. 4, 2008.
Nurita Riski Febria, Laga Sugiarto, Membangun Budaya Hukum Indonesia di era
Globalisasi, Vol. 6 No. 1, 2018.
Nurkasihani, Kesadaran Hukum Sejak Dini, JDIH Kabupaten Tanah Laut, 2018.
Sanyoto, Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8, No. 3, 2008.
Sarjono. DD., Panduan Penulisan Skripsi, (Yogyakarta : Jurusan Pendidikan Agama
Islam, 2008)
Setiadi Edi, Pengaruh Globalisasi Terhadap Subtansi dan Penegak Hukum, Mimbar:
Jurnal Sosial dan Pembangunan, 2002.
Soekanto Soerjono kesadaran dan kepatuhan hukum : Jakarta Rajawali Pers 1982
Soediro, Hubungan Hukum dan Globalisasi: Upaya Mengatisipasi Dampak Negatifnya,
Jurnal Kosmik Hukum, Vol. 17, No. 1. 2017

Anda mungkin juga menyukai