Anda di halaman 1dari 2

Hukum yang berkembang ditengah masyraakat yang hari ini kita kenal dengan istilah hukum

adat merupakan nilai-nilai yang sejak lama diakui sebagai norma. Nilai–nilai ataupun norma-
norma tersebut sudah lama tumbuh ditengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia, bangsa
yang masyarakatnya memiliki keanekaragaman suku, ras, agama dan adat yang menyebar di
wilayah nusantara. Tersebarnya keanekaragaman tersebut tumbuh nilai-nilai ataupun norma-
norma yang diakui di masing-masing wilayah yang mempunyai hukum adat. Diakuinya hukum
adat tersebut sudah menjadi suatu hal yang otomatis cara penyelesaiannyapun secara adat.
Hukum adat sebagai aspek kebudayaan masyarakat yang memiliki nilai, norma sosial. Diantara
manfaat mempelajari hukum adat adalah untuk memahami budaya hukum Indonesia, dengan
ini kita akan lebih mengetahui hukum adat yang mana yang tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman dan hukum adat mana yang dapat mendekati keseragaman yang
berlaku sebagai hukum nasional.

Dewasa ini, kita mungkin sudah lupa bahkan tidak peduli lagi dengan apa itu hukum adat.
Hukum adat hanya ditafsirkan sebagai warisan hukum kuno yang tidak relevan dengan
perkembangan globalisasi. Hukum adat hanya dianggap sebagai hukum pelengkap yang hanya
dipakai ketika diperlukan saja. Ia tidak menjadi dasar berpikir bagaimana bangsa ini sejatinya
didirikan atas keberagaman adat. Dalam tantangan global yang semakin mengancam, maka
hukum adat mengalami dilema paradigma. Di satu sisi mempertahankan hukum adat menjadi
suatu kewajiban bangsa yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, tapi di sisi lain mempertahankan
hukum adat ibarat bumerang bagi pemerintah dalam melakukan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. Inilah yang akan menjadi diskursus kontemporer yang kita alami sekarang.

Dalam mengahadapi era globalisasi, dimana untuk mengikuti pola menjadi suatu yang
terelakkan lagi, maka keberlangsungan hukum adat menjadi sangat penting. Pada posisi ini, ia
tidak lagi sebatas hukum asli indonesia yang harus dijaga keberadaannya, tapi lebih dari itu,
hukum adat seyogya-nya memiliki fungsi sebagai “alat filter” bagi masuknya pengaruh asing di
Indonesia. Filterisasi inilah yang pada saat ini tidak dimiliki oleh kita sebagai bangsa yang
besar. Hukum adat menjadi tidak berdaya ketika dihadapkan pada intervensi asing. Ini
dikarenakan hukum adat tidak dipelajari, dipahami, dan diterapkan secara mendalam oleh
masyarakat.Seharusnya kita tidak dapat menyalahkan pengaruh globalisasi dalam konteks
kekinian. Setiap negara tentunya tidak dapat menafikan keberadaan negara lain. Sehingga
bukan menjadi hal tabu apabila terdapat akulturasi dan intervensi budaya asing untuk masuk
dalam tatanan budaya Indonesia. Tapi kita juga perlu memperkuat dan mempertahankan nilai
hukum adat, agar kita tidak terlalu jauh mengikuti arus global.

Contoh menarik yang dapat kita jadikan pelajaran adalah bagaimana Jepang yang mampu
memasuki abad modern dengan tetap mempertahankan dan menjaga kepribadian sosial dan
kulturalnya. Kemampuan tersebut menempatkan Jepang dalam posisi yang serba sulit. Pada
satu sisi harus menerima dan menggunakan institusi modern (birokrasi, demokrasi, dan
hukum), tapi di sisi lain mempertahankan hukum adat nya menjadi hal yang tidak dapat ditawar-
tawar lagi. Oleh karena itu, untuk tetap mempertahankan “ke-jepangan-nya” tersebut, maka
bangsa ini menciptakan berbagai konstruksi nilai agar bisa dengan aman “mendamaikan”
Jepang dengan modernitas dan pengaruh barat.

Persepsi yang berkembang selama ini menyatakan bahwa dengan tetap menggunakan hukum
adat, maka suatu negara tidak akan pernah menjadi negara maju. Negara yang masih
menjunjung nilai hukum tradisional dipastikan tidak dapat bersaing di kancah internasional.
Namun, apabila kita melihat kiprah Malaysia, Amerika, Inggris, dan negara-negara Common
Law lainnya, maka hipotesa demikian dapat dengan mudah dipatahkan. Persoalannya bukan
terletak pada sistem hukum adatnya, tetapi bagaimana hukum adat (hukum tidak tertulis) itu
dapat diselaraskan dengan tuntuntan penerapan hukum modern (hukum positivistik). Relevansi
di antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah
dapat menyerasikan keduanya dalam format aturan yang progresif.

4 (empat) solusi progresif yang penulis tawarkan dalam “meredakan” konflik antara pengaruh
globalisasi terhadap ekistensi hukum adat. Pertama, menjadikan mata kuliah hukum adat
sebagai mata kuliah wajib di setiap fakultas hukum di Indonesia. Dengan adanya keharusan
seperti ini, maka akan menjadi stimulasi bagi para mahasiswa, tidak terkecuali para dosen agar
tetap memasukan nilai hukum adat dalam setiap kegiatan ilmiahnya. Kedua, tidak melakuan
indoktrinasi hukum adat (baca: Pancasila) dalam setiap level pengajaran, melainkan
pengamalan nilai-nilai adat dalam kegiatan sehari-hari. Ketiga, pemberian porsi lebih terhadap
nilai-nilai hukum adat dalam setiap perumusan aturan hukum di Indonesia. Apabila persentase
selama ini lebih menunjukan arogansi hukum modern (baca: hukum barat) dalam setiap
pembuatan aturan hukum, maka logika tersebut harus diubah. Setidaknya 40% berbanding
60% setiap aturan hukum di Indonesia harus memuat ketentaun hukum adat. Empat,
melakukan moratorium investasi asing di berbagai sektor strategis. Apabila, keempat model ini
dapat diterapkan denga baik, maka konflik horizontal yang terjadi selama ini dapat diminimalisir
secara bertahap. Walaupun kita tidak dapat menafikan keberadaan hukum modern sebagai
tuntutan dari perkembangan globalisasi, tetapi hukum adat sebagai hukum asli Indonesia juga
harus mendapatkan perhatian lebih, agar terciptanya keserasian hukum di tengah masyarakat.

SUMBER :
https://perpustakaan.komnasperempuan.go.id/web/index.php?
p=show_detail&id=1351#:~:text=Diantara%20manfaat%20mempelajari%20hukum
%20adat,yang%20berlaku%20sebagai%20hukum%20nasional.
https://fh.unpatti.ac.id/pelestarian-dan-pengembangan-nilai-nilai-hukum-adat-dalam-kehidupan-
masyarakat-di-maluku/
https://www.bphn.go.id/data/documents/mekanisme_pengakuan_masy_hkm_adat.pdf

Anda mungkin juga menyukai