SKRIPSI
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya susun dengan judul :
“Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Sukun (Artocarpus altilis) Terhadap
Pertumbuhan Staphylococcus aureus Secara In Vitro”
adalah benar-benar hasil karya saya dan bukan merupakan plagiat dari skripsi orang
lain. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil dan
pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan
sanksi akademik yang berlaku.
Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
ii
ABSTRAK
Muh. Danawir Alwi. O111 12 009. Pengaruh Pemberian Vaksin Newcastle disease
(ND) Aktif Strain La Sota dan B1 terhadap Titer Antibodi Ayam Broiler, dibawah
bimbingan
iii
ABSTRACT
iv
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN SUKUN
(Artocarpus altilis) TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus
SECARA IN VITRO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran
v
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
Judul Skripsi : Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Sukun (Artocarpus
altilis) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Secara In
Vitro”
Nama : Muhammad Iqbal Djamil
NIM : O11112103
Disetujui Oleh,
Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc. Abdul Wahid Jamaluddin, M.Si, Apt.
NIP.19480307 197411 2 001 NIP. 19880828 201404 1 002
Diketahui Oleh,
Dekan Ketua
Fakultas Kedokteran Program Studi Kedokteran Hewan
Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp. BS. Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin,
M.Sc.
NIP. 19551019 198203 1 001 NIP.19480307 197411 2 001
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil „alamin. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi
Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun
Sukun (Artocarpus altilis) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Secara In
Vitro”. Proses penyusunan skripsi merupakan sebuah proses dan perjalanan panjang
yang tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Keluarga besar saya, ayahanda Drs. Muhammad Jamili, ibunda Dra. Hajerah,
kakak saya Muhammad Fadli Jamil dan ketiga adik saya Muhammad Rahmat
Jamil, Indi Rahmawati Jamil dan Nur Fadillah Jamil yang selalu dan tidak
henti-hentinya memberikan dukungan moril, doa, kasih sayang, dan tentunya
material sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah
SWT senantiasa melindungi, memberikan kebahagiaan dan keselamatan di
dunia dan di akhirat, Aamiin.
2. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
3. Prof. DR. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc. dan Abdul Wahid Jamaluddin, M.Si,
Apt sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan
nasihat penuh kesabaran dan rasa semangat selama penelitian penyusunan
skripsi ini.
4. Prof. DR. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi
Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
5. Prof. DR. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc sebagai pembimbing akademik yang
telah banyak memberi nasihat dan bimbingannya selama penulis kuliah di
Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
6. Drh. Farida Nur Yuliati, M.Si dan bapak Muh. Nur Amir, S.Si., M.Si., Apt.
sebagai dosen pembahas dan penguji dalam seminar proposal yang telah
memberikan masukan-masukan dan penjelasan untuk perbaikan penulisan ini.
7. Seluruh Staf Dosen, Pegawai di Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah memberikan dukungan penuh
bagi penulis selama kuliah.
8. Staf Laboratorium Biofarmaka Pusat Kajian Penelitian Universitas
Hasanuddin, yang telah memberikan fasilitas dan bantuan selama penelitian.
9. Mabes Wesabbe Moehammad Nur Arrasuli, Macan Candra Arsandi (Dg.
Rate) dan Kediaman Muliani Masmin yang telah banyak membantu selama
proses penelitian, menjadi tempat bernaung, bersilaturahmi, bertukar pikiran,
mencari solusi, bercanda dan bercengkrama dengan kawan-kawan.
10. Nurul Rezki Hasrah, Alfionita Arif, Ichwani Syam Mustafa dan Sry
vii
Almarahma atas saran dan masukannya saat penelitian.
11. Teman seangkatan 2012, „Akestor Anwelf‟, yang telah menjadi teman
seperjuangan dari awal masuk menjadi mahasiswa kedokteran hewan dan
membantu serta memberikan dukungan selama penelitian.
12. Dan penghargaan setinggi – tingginya kepada semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya.
Penulis sadar tulisan ini jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap tulisan
ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PERNYATAAN KEASLIAN ii
ABSTRAK iii
HALAMAN PENGESAHAN vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xi
DFTAR TABEL xi
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.3.1 Tujuan Umum 2
1.3.2 Tujuan Khusus 2
1.4 Manfaat Penelitian 2
1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu Teori 2
1.4.2 Manfaat Aplikasi 2
1.5 Hipotesis 2
1.6 Keaslian Penelitian 2
2. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Daun Sukun (Artocarpus altilis) 4
2.1.1 Taksonomi Daun Tanaman Sukun 4
2.1.2 Morfologi Daun Tanaman Sukun 5
2.1.3 Kandungan Kimia Daun Tanaman Sukun 5
2.1.4 Ekstraksi 6
2.2 Staphylococcus aureus 6
2.2.1 Klasifikasi Ilmiah Staphylococcus aureus 7
2.2.2 Morfologi dan Identifikasi dari Staphylococcus aureus 7
2.2.3 Biakan 8
2.2.4 Mekanisme Kerja Antibakteri 8
2.2.5 Metode Pengujian Antibakteri 9
3. METODOLOGI PENELITIAN 11
3.1 Waktu dan Tempat 11
3.2 Jenis Penelitian 11
3.3 Materi Penelitian 11
3.4 Metode dan Prosedur Penelitian 12
3.4.1 Sterilisasi Alat 12
3.4.2 Pembuatan Ekstrak 12
3.4.3 Pembuatan Variasi Konsentrasi Ekstrak 12
3.4.4 Uji Fitokimia Ekstrak Daun Sukun 12
3.4.4.1 Uji Alkaloid 12
3.4.4.2 Uji Saponin 12
3.4.4.3 Uji Alkaloid 12
3.4.4.4 Uji Tanin 13
ix
3.4.5 Pemurnian dan Pengujian Bakteri Staphylococcus aureus 13
3.4.5.1 Uji Pada Medi MSA 13
3.4.5.2 Uji Pewarnaan Gram 13
3.4.5.3 Uji Antibiotik Novobiocin 13
3.4.6 Uji Daya Hambat 13
3.4.7 Zona Inhibisi 14
3.5 Analisis Data 14
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15
4.1 Ekstrak Daun Sukun 15
4.2 Uji Fitokimia 15
4.3 Pengujian Sampel Bakteri Staphylococcus aureus 19
4.3.1 Uji Pada Media MSA 19
4.3.2 Uji Pewarnaan Gram 19
4.3.3 Uji Antibiotik Novobiocin 20
4.4 Pengujian Sensitifitas Ekstrak Daun Sukun terhadap Staphylococcus aureus 21
5. PENUTUP 24
5.1 Kesimpulan 24
5.2 Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 28
x
DAFTAR GAMBAR
1. Daun Sukun 4
2. Staphylococcus aureus Secara Mikroskopis 7
3. Hasil Positif Uji Alkaloid 16
4. Hasil Positif pada Uji Flavonoid 17
5. Hasil Positif pada Uji Saponin 17
6. Hasil Positif pada Uji Tanin 18
7. Hasil Kultur Staphylococcus aureus pada Media Mannitol Salt Agar (MSA) 19
8. Pengamatan Staphylococcus aureus pada Mikroskop 20
9. Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Novobiocin 20
10. Hasil Uji Sensitivitas Ekstrak Daun Sukun 22
DAFTAR TABEL
1. Klasifikasi Respon Hambatan Pertumuhan Bakteri 14
2. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Sukun 15
3. Perbedaan Spesies Staphylococcus 21
4. Hasil Uji Sensitivitas Ekstrak Daun Sukun Terhadap Staphylococcus aureus 22
xi
1
1. PENDAHULUAN
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1.2.1 Apakah ekstrak daun sukun (Artocarpus altilis) dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ?
1.2.2 Pada konsentrsi berapakah aktivitas ekstrak daun sukun (Artocarpus altilis)
efektif terhadap bakteri Staphylococcus aureus ?
1.5 Hipotesis
2. TINJAUAN PUSTAKA
Awal mula ditemukan sukun masih menjadi teka-teki hingga saat ini karena
terdapat beberapa pendapat yang berbeda mengenai sejarah penyebaran tanaman ini.
Ada yang menyatakan bahwa sukun asli tanaman Indonesia yang pertama ditemukan
di Ambon oleh orang Jepang yang kemudian menyebar ke pulau Jawa dan Malaysia.
Pendapat yang berbeda menyatakan bahwa sukun berasal dari Amerika latin yaitu
Peru, Argentina, dan Chili. Para ahli meyakini bahwa sukun berasal dari wilayah
Polinesia di Kepulauan Pasifik dan masuk ke Indonesia bersamaan dengan
kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis. Namun walaupun asal-usul tanaman ini
tidak jelas, keberadaan sukun di Indonesia sudah menyebar luas dan hampir semua
masyarakat mengenalnya. Hal ini terbukti dari penamaan sukun yang beragam
(Harmanto, 2012).
Tempat tumbuh tanaman sukun tersebar mulai dari dataran rendah sampai
dengan ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl), namun kadang-kadang
terdapat pada ketinggian 1500 m dpl. Tanaman ini dapat tumbuh baik di daerah panas
sekitar 20-40 oC yang beriklim basah dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun dan
kelembaban relatif 70-90% (Rajendran, 1992).
metabolism glukosa dan lemak, sebagai antiseptik, obat luka bakar, menghentikan
pendarahan kecil, dan menghentikan diare. Tanin juga dapat menyebabkanpenyerapan
air pada tubuh organisme, sehingga tubuh kekurangan air (Mardiana dan Aminah,
2009).
Tanin juga bersifat anti bakteri dan anti virus. Mekanisme kerja tanin akan
merusak membran sel bakteri dan mengerutkan dinding sel sehingga akan
mengganggu permeabilitas sel bakteri, hingga pertumbuhan sel bakteri terlambat dan
bahkan akan mati. Sebagai anti virus, tanin akan merusak enzim yang diperlukan
virus untuk memperbanyak diri, hal ini yang mengakibatkan virus sulit berkembang
(Shabella, 2012).
2.1.4 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan metode pemisahan suatu zat terlarut secara selektif dari
suatu bahan dengan pelarut tertentu. Pemilihan metode yang tepat tergantung pada
tekstur, kandungan air tanaman yang diekstraksi, dan jenis senyawa yang akan
diisolasi (Harborne, 1987). Metode ekstraksi maserasi umum digunakan untuk
mengekstraksi sampel yang relatif tidak tahan panas. Metode ini hanya dilakukan
dengan merendam sampel dalam suatu pelarut dengan jangka waktu tertentu, biasanya
dilakukan selama 24 jam tanpa menggunakan pemanas, kelebihan metode ini
diantaranya sederhana dan bias menghindari kerusakan komponen senyawa akibat
panas. Kelemahan metode ini ditinjau dari segi waktu dan penggunaan pelarut yang
tidak efektif dan efisien karena jumlah pelarut relatif banyak dan waktunya lebih lama
(Meloan, 1999).
Metode ekstraksi sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan
frekuensi 42 kHz yang dapat mempercepat waktu kontak antara sampel dan pelarut
meskipun pada suhu ruang. Hal ini menyebabkan proses perpindahan massa senyawa
bioaktif dari dalam sel tanaman ke pelarut menjadi lebih cepat. Sonikasi
mengandalkan energi gelombang yang menyebabkan proses kavitasi, yaitu proses
pembentukan gelembung-gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang
ultrasonik untuk membantu difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman. Ekstraksi
dapat dilakukan dengan metoda maserasi, sokletasi, dan perkolasi. Sebelum ekstraksi
dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan lalu dihaluskan dengan derajat
kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas. Ekstraksi
dengan metoda sokletasi dapat dilakukan secara bertingkat dengan berbagai pelarut
berdasarkan kepolarannya, misalnya n-heksana, eter, benzena, kloroform, etil asetat,
etanol, metanol, dan air. Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan terakhir memberikan
reaksi negatif terhadap senyawa yang diekstraksi. Untuk mendapatkan larutan ekstrak
yang pekat biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotari
evaporator (Harborne, 1996).
Bakteri ini susunannya bergerombol dan tidak teratur seperti anggur. Koloni
bakteri ini terlihat berwarna kuning keemasaan. Bakteri ini mudah tumbuh pada
berbagai pembenihan pada media cair dan mempunyai metabolisme aktif, mampu
memfermentasikan karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam pigmen dari
putih sampai kuning tua (Radji, 2011).
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah furunkel pada kulit dan
impetigo pada anak-anak. Staphylococcus aureus dikenal sebagai bakteri yang paling
sering mengkontaminasi luka pasca bedah sehingga menimbulkan komplikasi dan bila
terjadi bakteriemia, infeksi dapat bermetastasis ke berbagai organ. Patogenesis infeksi
Staphylococcus aureus merupakan hasil interaksi berbagai protein permukaan bakteri
dengan berbagai reseptor pada permukaan sel inang. Penentuan faktor virulen yang
paling berperan sulit dilakukan karena demikian banyak dan beragam faktor virulen
yang dimiliki Staphylococcus aureus (DeLeo et al., 2009).
lebih tinggi dari pada ekstra sel. Penisisilin adalah obat yang bekerja menghambat
reaksi pembentukan dinding sel pada tahap transpeptidase.
3. Mengganggu keutuhan membran sel bakteri
Antimikroba yang mengandung senyawa amoniu-kuatener bila bereaksi dengan
fosfat akan dapat merusak membran sel akibatnya protein, asam nukleat dan lain-lain
akan keluar dari sel mikroba. Contoh golongan obat yang bekerja mengganggu
kebutuhan membran sel mikroba adalah polimiksin. Bakteri gram positif mengandung
sedikit fosfor menurun pada bakteri gram negative maka akan resisten.
4. Menghambat sintesis protein sel bakteri
Sel mikoba mensintesis berbagai protein di ribosom dengan bantuan tRNA dan
mRNA. Setiap ribososm memilik dau subunit yaitu ribosom 30S dan ribosom 50S.
Ribosom 30S dan ribosom 50S nantinya bersatu menjadi ribosom 70S untuk dapat
mensintesis protein. Contoh obat yang berikatan dengan komponen ribosom 30S
adalah streptomisim yang menyebabkan kode pada mRNA salah baca oleh tRNA saat
sinteis protein sehingga terjadi pembentukan protein sehingga terjadi pembentukan
protein yang abnormal dan fungsional bagi sel mikroba. Sedangkan golongan
eritromisin, linkoimisin, dan kloramfenikol berikatan dengan ribosom 50S.
5. Menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri
Antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba adalah rifampisin
dan quinolon. Rifampisin berikatan dengan enzim polymerase-RNA sehingga
menghambat sintesis RNA dan DNA sel mikroba (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI, 2007).
3. METODOLOGI PENELITIAN
Alat yang digunankan dalam penelitian ini adalah cawan petri, timbangan
analitik, autoklaf, toples kaca, tabung reaksi, jangka sorong, incubator memmert,
batang pengaduk, bunsen, pinset, gelas ukur, ose bulat, herbs dryer, sonicator VWR
Symphony dan rotavapor. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah bakteri Staphylococcus aureus, ekstrak daun sukun, media muller hinton agar
(MHA), media mannitol salt agar (MSA), etanol 70%, dimetil sulfoksida 10 %
(DMSO 10%), discs amoksicillin oxoid 10 µg, discs novobiocin oxoid 5 µg, blank
discs oxoid, akuades steril, spiritus, masker, hanschoen kertas label, spidol, swab
steril, aliminium foil dan NaCl 0,9%.
stabil selama tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm. Pada penambahan HCl 2
N, buih tidak hilang (Depkes RI, 1995).
3.4.4.4 Uji Tanin
Larutan ekstrak uji sebanyak 1 mL direaksikan dengan larutan besi (III)
klorida 10%, jika terjadi warna biru tua, biru kehitaman atau hitam kehijauan
menunjukkan adanya senyawa polifenol dan tanin (Jones dan Kinghorn, 2006).
Tanaman sukun (bread fruit) memiliki nama ilmiah Artocarpus altilis yang
termasuk keluarga Moraceae dan kelas Dicotyledonae. Tinggi pohon sukun dapat
mencapai 30 m, dapat tumbuh baik sepanjang tahun (evergreen) di daerah tropis
basah. Daun sukun mengandung senyawa metabolit sekunder pada golongan senyawa
alkaloid, flavonoid, saponin dan tannin sebagai anti bakteri. Ekstraksi pada daun
sukun berupa simplisia yang dilarutkan dengan etanol 70% dan diuapkan
menggunakan rotary vacuum evaporator untuk mendapatkan ekstrak 100%.
Penggunaan etanol sebagai pelarut ekstrak dikarenakan etanol merupakan pelarut
yang lebih baik dibandingkan air dan heksana jika akan mengekstrak komponen
antimikroba. Menurut Houghton dan Raman (1998), komponen yang larut dalam
etanol adalah glikosida. Diduga aktivitas antibakteri ekstrak etanol disebabkan oleh
adanya senyawa glikosida, yaitu saponin. Selain glikosida, senyawa tanin juga larut
dalam etanol dan memiliki aktivitas antimikroba.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rani et al. (2014) hasil uji
fitokimia dan metode instrumen spektrofotometer inframerah dari ekstrak daun sukun
baik berupa ekstrak methanol maupun ekstrak etanol mengandung senyawa berupa
alkaloid, flavonoid, saponin dan tannin yang memiliki kemampuan hampir setara
dengan senyawa aktif pada larutan antiseptik kimia. Hasil pengukuran dengan
instrumen inframerah semakin memperkuat bahwa dalam ekstrak daun sukun terdapat
golongan senyawa metabolit sekunder yang bersifat antibakteri.
Pada uji kualitatif ini, senyawa kimia golongan alkaloid ditentukan dengan
melihat ada tidaknya endapan yang terbentuk. Pemeriksaan alkaloid pada ekstrak
daun sukun menunjukkan hasil positif yang dilakukan dengan penambahan masing-
masing pereaksi alkaloid seperti pereaksi Mayer, Wagner dan Dragendorff. Ketiga
pereaksi ini dapat bereaksi pada sampel uji sehingga dinyatakan mengandung alkaloid
dan memberikan warna yang khas. Pada pereaksi Mayer bereaksi dengan alkaloid dan
membentuk endapan berwarna putih. Dengan pereaksi Wagner akan beraksi dengan
alkaloid dan membentuk endapan berwarna coklat sedangkan dengan pereaksi
Dragendorff membentuk endapan berwarna jingga (Robinson, 1995).
Hasil uji alkaloid dari ekstrak etanol daun sukun menunjukkan terbentuknya
endapan berwarna putih saat direaksikan dengan menggunakan pereaksi Mayer.
Menurut Svehla (1990) endapan tersebut adalah nitrogen pada alkaloid yang bereaksi
dengan logam K+ dan membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
Terbentuknya endapan coklat saat direaksikan dengan menggunakan pereaksi wagner
dimana iodin bereaksi dengan ion I- dari kalium iodide menghasilkan ion I3- yang
berwarna coklat. Pada pereaksi wagner ion logam K+ membentuk ikatan kovalen
koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk kompleks kalium-alkaloid yang
mengendap dengan warna kecoklatan. Terbentuknya jingga ketika direaksikan dengan
reagen Dragendroff karena nitrogen membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K +
ion logam. Endapan tersebut adalah kalium-alkaloid (Marliana et al., 2005). Artinya
ekstrak etanol daun sukun menunjukan adanya golongan alkaloid.
Alkaloid merupakan senyawa metabolit sekunder yang paling banyak jumlah
strukturnya. Senyawa ini banyak terdapat di dalam tumbuhan dan tersebar di seluruh
bagiannya, terutama di bagian daun dan batang (Hesse, 2002). Senyawa alkaloid
memiliki mekanisme penghambatan dengan cara mengganggu komponen penyusun
17
peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara
utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Juliantina, 2008).
Pada uji kualitatif kandungan golongan senyawa flavonoid dalam sampel uji
ditentukan dengan dihasilkannya warna merah tua. Pemeriksaan senyawa flavonoid
pada ekstrak daun sukun menunjukkan hasil positif yang dilakukan dengan
penambahan serbuk magnesium dan asam klorida sehingga dihasilkannya warna
merah. Robinson (1995), menyatakan bahwa penambahan serbuk magnesium dan
asam klorida pada pengujian flavonoid akan menyebabkan tereduksinya senyawa
flavonoid yang ada dalam sampel sehingga menimbulkan reaksi warna merah yang
merupakan ciri adanya flavonoid.
Cushnie et al (2005) menyatakan bahwa senyawa flavonoid berperan dalam
menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri. Flavonoid merupakan senyawa
pereduksi yang baik, menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun
non enzim. Mekanisme kerja flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara
membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu
keutuhan membran sel bakteri. Mekanisme kerjanya dengan cara mendenaturasi
protein sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi (Juliantina,
2008).
Pada uji kualitatif kandungan saponin dalam sampel uji ditentukan dengan
melihat terbentuknya busa yang stabil pada larutan uji. Pemeriksaan senyawa saponin
pada ekstrak daun sukun menunjukkan hasil positif dengan adanya busa yang stabil
dan bertahan cukup lama. Saponin mempunyai gugus hidrofilik dan hidrofob, saat
dikocok gugus hidrofil akan berikatan dengan air, sedangkan gugus hidrofob akan
berikatan dengan udara sehingga membentuk buih.
Saponin diduga memiliki daya membranolitik terhadap bakteri (Cheeke, 2001).
Menurut Meskin et al. (2002), saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang
dihasilkan dari grup steroid atau triterpen yang berkaitan dengan gula. Gruiz (1996),
menyatakan bahwa 76% dari jenis tanaman di Asia mengandung saponin. Saponin
dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi
dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap bakteri adalah adanya
pelepasan protein dan enzim dari dalam sel-sel (Zablotowicz et al., 1996).
Pada uji kualitatif kandungan senyawa tanin dalam sampel uji ditentukan
dengan melihat adanya gumpalan gel yang cukup stabil dan berwarna hijau.
Pemeriksaan senyawa tanin pada ekstrak daun sukun menunjukkan hasil positif yang
dilakukan dengan penambahan FeCl3 dengan menghasilkan warna hijau dan
gumpalan gel. Pada penambahan larutan FeCl3 1% diperkirakan larutan ini
bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa tanin. Hasil
pengujian yang dilakukan dengan menggunakan larutan FeCl3 akan menunjukkan
timbulnya warna hijau.
Beberapa hasil penelitian, Akiyama et al. (2001) menunjukkan bahwa senyawa
tanin memiliki aktivitas antibakteri yaitu dikaitkan dengan hambatan terhadap sintesis
protein sel serta gangguan terhadap keutuhan membran sel bakteri, juga termasuk
anthroquinone dalam penelitian Chan et al. (2011). Tanin merupakan jenis senyawa
yang termasuk kedalam golongan polifenol dan banyak dijumpai pada tumbuhan.
Mekanisme kerja tanin diperkirakan adalah toksisitas tanin dapat merusak membran
sel bakteri, senyawa astringent tanin dapat menginduksi pembentukan kompleks
ikatan tanin terhadap ion logam yang dapat menambah daya toksisitas tanin itu
sendiri. Tanin juga diduga dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel
sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Efek antibakteri tanin antara lain
19
melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi
fungsi materi genetik (Ajizah, 2004).
a b
Gambar 4.5 Hasil Kultur Staphylococcus Aureus pada Media Mannitol Salt Agar
(MSA) (a)Sebelum Diinkubasi dan (b)Sesudah Diinkubasi
Hasil dari uji pewarnaan Gram bakteri pada media mannitol salt agar
menunjukkan ciri-ciri positif bakteri Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus
merupakan bakteri Gram positif dan berbentuk kokus yang menghasilkan warna ungu
pada pewarnaan Gram. Warna ungu disebabkan karena bakteri mempertahankan
warna pertama, yaitu gentian violet dikarenakan dinding sel bakteri terdiri dari lapisan
peptidoglikan yang tebal. Hal ini menyebabkan aktivitas yang tinggi terhadap kristal
violet dan ion. Oleh karena itu, terbentuknya senyawa yang sukar larut dalam alkohol
sehingga tetap memegang kuat zat utama yaitu warna ungu atau biru kristal violet
(Campbell, 2006).
a b
Gambar 4.7 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Novobiocin (a)Sebelum Diinkubasi
(b)Setelah Diinkubasi
21
Dalam penelitian ini dilakukan replikasi sebanyak empat kali, dari setiap replikasi
tersebut dilakukan repetisi tiga kali. Dari hasil pengamatan didapatkan zona hambat
yang diukur menggunakan jangka sorong dengan satuan millimeter (mm).
Pengukuran dilakukan secara vertikal, horizontal dan diagonal, kemudian dari tiga
kali pengukuran tersebut hasilnya dirata-rata. Adapun penelitian ini menggunakan
metode disc diffusion untuk menetukan aktivitas agen antimikroba. Cara ini
merupakan cara yang paling sering digunakan untuk menentukan kepekaan bakteri
terhadap berbagai macam obat-obatan. Metode ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihannya adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan
khusus dan relatif murah. Kelemahannya adalah ukuran zona bening yang terbentuk
tergantung oleh kondisi inkubasi, inoculum, predifusi dan preinkubasi (Bonang,
1992).
Hasil uji sensitifitas ekstrak daun sukun terhadap staphylococcus aureus
menunjukkan terdapat perbedaan pada setiap konsentrasi ekstrak daun sukun 30%,
40%, 50%, dan 60% dengan masing-masing empat kali replikasi dan disk antibiotik
berupa terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Pengamatan aktivitas antibakteri pada
berbagai konsentrasi daun sukun dilakukan selama 18-24 jam pada suhu 37 oC.
22
Adapun hasil pengamatan uji daya hambat setelah masa inkubasi 18-24 jam
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Hasil Uji Sensitivitas Ekstrak Daun Sukun terhadap S.aureus
Diameter Zona Bening (mm)
Kontrol (mm)
Replikasi Konsenrasi Ekstrak Daun Sukun
Positif Negatif 30% 40% 50% 60%
1 13 18 21 25
2 14 17 20 25
3 32 0 15 18,5 23 28
4 15 19 24 29
Rata-rata 14,5 18,1 22 27
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa zona bening sudah terbentuk pada masa
inkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37oC dengan konsentrasi 30%, 40%, 50%,
dan 60%. Daya hambat diketahui berdasarkan pengukuran diameter zona inhibisi
(zona bening atau daerah jernih tanpa pertumbuhan mikroorganisme) yang terbentuk
di sekitar paper disk. Pengukuran tersebut menggunakan jangka sorong dan
dinyatakan dalam milimeter.
Hasil pengukuran pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa pada konsentrasi 30%
pada ekstrak daun sukun dengan menghasilkan zona bening dengan diameter rata-rata
14,5 mm yang lemah dalam menghambat bakteri Staphylococcus aureus. Pada
konsentrasi 40% pada daun sukun dengan menghasilkan zona bening dengan diameter
rata-rata 18,1 mm dengan hambatan sedang dalam menghambat bakteri
Staphylococcus aureus. Sedangkan pada konsentrasi 50% dan 60% pada daun sukun
dengan menghasilkan zona bening dengan diameter rata-rata 22 mm dan 27 mm yang
sensitif dalam menghambat bakteri Staphylococcus aureus. Untuk kontrol negatif
23
(DMSO 10%) yang digunakan tidak menghasilkan zona bening sedangkan pada
kontrol positif (discs amoksicillin oxoid 10 µg) menghasilkan zona bening dengan
diameter rata-rata 32 mm, zona hambat yang dihasilkan oleh antibiotik tersebut lebih
besar dari pada zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak daun sukun.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa diameter zona bening diatas 20 mm
terbentuk setelah konsentrasi 50%. Menurut Subchan dkk., (2012), semakin besar
zona hambat (zona terang) maka semakin besar pula kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri, artinya zat antimikroba alami pada ekstrak daun sukun pada
konsentrasi yang semakin tinggi mempunyai daya hambat yang kuat dalam
menghambat bakteri Staphylococcus aureus. Namun hal ini menunjukkan
penggunaan ekstrak daun sukun yang relatif banyak dalam menghambat ataupun
membunuh bakteri sehingga kurang potensial untuk dikembangkan. Sedangkan
penggunaan ekstrak yang relatif sedikit (dibawah 40%) dengan aktivitas antibakteri
yang kuat sangat berpotensi untuk di kembangkan.
Perbedaan diameter zona hambat pada masing-masing konsentrasi disebabkan
karena perbedaan besarnya zat aktif yang terkandung pada konsentrasi tersebut.
Prescot (2005), ukuran zona hambat bakteri juga dipengaruhi oleh tingkat sensitivitas
dari organisme uji, medium kultur dan kondisi inkubasi, kecepatan difusi dari
senyawa antibakteri. Pembedaan antibakteri didasarkan pada mekanisme kerjanya
yaitu: antibakteri yang mekanisme kerjanya menghambat pertumbuhan dari dinding
sel, antibakteri yang mekanisme kerjanya mengakibatkan perubahan pada
permeabilitas membran sel dan antibakteri yang mekanisme kerjanya menghambat
sintesis protein dan asam nukleat (Brooks, et al., 2005). Terbentuknya zona hambat
juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan bakteri uji yang berlebihan sehingga
pengaruh metabolit yang dihasilkan bakteri yang tidak signifikan terhadap
pertumbuhan uji. Perbedaan sensitivitas bakteri terhadap antibakteri dipengaruhi oleh
struktur dinding sel bakteri. Bakteri Gram positif cenderung lebih sensitif terhadap
antibakteri, karena struktur dinding sel bakteri Gram positif lebih sederhana
dibandingkan struktur dinding sel bakteri Gram negatif sehingga memudahkan
senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel bakteri Gram positif (Kusmayati dan
Agustini, 2007).
24
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun
sukun (Artocarpus altilis) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus secara in
vitro dapat disimpulkan bahwa pada konsentrasi 30% dapat menghambat dengan
diameter 14,5 mm, konsentrasi 40% dengan diameter 18,1 mm, konsentrasi 50%
dengan diameter 22 mm dan konsentrasi 60% menghambat dengan diameter 27 mm.
Daya hambat tersebut lebih rendah daripada diameter zona yang dihasilkan discs
amoksicillin oxoid 10 µg dengan diameter 32 mm.
5.2 Saran
Perlu penelaan lebih lanjut untuk mengetahui kandungan senyawa yang memiliki
aktivitas antibakteri dan interaksi kandungan senyawa yang terdapat dalam ekstrak
serta penelitian lebih lanjut terhadap tumbuhan sukun (daun, buah, kulit batang,
getah) baik secara in vitro maupun in vivo sehingga pengetahuan serta pemanfaatan
dari tanaman sukun dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan dan dapat diterapkan
di lingkungan masyarakat.
25
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Proses evaporasi pelarut dan hasil evaporasi berupa ekstrak kental daun sukun
30
Media yang telah di beri perlakuan kultur dan penanaman bland disk sebelum
diinkubasi
Proses inkubasi
Lampiran 6. Hasil Uji Aktivitas Ekstrak Daun
35
Sukun
UJI 1
UJI 2
36
UJI 3
UJI 4
37
RIWAYAT HIDUP