Anda di halaman 1dari 48

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN SUKUN

(Artocarpus altilis) TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus


SECARA IN VITRO

SKRIPSI

MUHAMMAD IQBAL DJAMIL


O11112103

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Muhammad Iqbal Djamil


NIM : O11112103
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Kedokteran Hewan

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya susun dengan judul :
“Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Sukun (Artocarpus altilis) Terhadap
Pertumbuhan Staphylococcus aureus Secara In Vitro”

adalah benar-benar hasil karya saya dan bukan merupakan plagiat dari skripsi orang
lain. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil dan
pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan
sanksi akademik yang berlaku.
Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 8 Agustus 2017


Pembuat pernyataan,

Muhammad Iqbal Djamil

ii
ABSTRAK

Muh. Danawir Alwi. O111 12 009. Pengaruh Pemberian Vaksin Newcastle disease
(ND) Aktif Strain La Sota dan B1 terhadap Titer Antibodi Ayam Broiler, dibawah
bimbingan

Perdagangan global memberikan peluang dalam meningkatnya pemasaran produk


peternakan, khususnya unggas. Kebutuhan masyarakat akan sumber protein
menyebabkan berkembangnya peternakan unggas di Indonesia. Ternak unggas yang
menjadi unggulan adalah ayam broile. Perkembangan dan keungggulan broiler
sebagai sumber protein juga diikuti dengan beberapa kelemahan yaitu rentan terhadap
seranganpenyakit, terutama penyakit yang disebabkan oleh virus. Ayam broiler yang
terserang virus dapat mengalami penurunan produktivitas bahkan kematian. Penyakit
yang sering menyerang ayam broiler adalah Newcastle disease (ND). Newcastle
disease termasuk satu dari empat besar penyakit infeksius selain highly pathogenic
avian influenza (HPAI), infectious bronchitis (IB), dan low pathogenis avian
influenza (LPAI) disebabkan oleh virus genus Avian Paramyxovirus dan famili
Paramyxoviridae.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian vaksin ND aktif
strain La sota dan strain B1 ditinjaudari titer antibodi pada ayam broiler. Penelitian ini
menggunakan 54 ekor DOC berumur 1 hari yang dipelihara selama 25 hari yang
dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan yang ditentukan dengan Rumus Federer dan
menggunakan metode Hemaglutination (HA) test dan Haemmaglutination inhibition
(HI) test. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan dinyatakan secara
deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan Pemberian vaksin ND aktif strain
La sota dan B1pada umur 3 hari memiliki pengaruh signifikan terhadap titer antibodi
pada ayam umur 14 hari hingga 21 hari dan proteksi kekebalan ideal hingga umur 21
hari sedangkan pemberian vaksin ND aktif strain B1 pada umur 3 hari mampu
memberikan proteksi ideal pada 14 hari.

Kata kunci : Newcastle disease (ND), Hemaglutination (HA) test,


Haemmaglutination inhibition (HI), vaksin strain La sota, vaksin strain
B1

iii
ABSTRACT

Muhammad Iqbal Djamil. O1112103. Antibacterial Activity Test Of Breadfruit


(Artocarpus altilis) Leaf Ethanol Extract On Growth Of Staphylococcus aureus In
Vitro. Under supervision of Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc and Abdul
Wahid Jamaluddin, M.Si, Apt.

Staphylococcus aureus is a Gram-positive, round-shaped bacterium with a


diameter of 0.5-1.5 µm and a member of the Micrococcaceae family. This type of
bacterium is known to be anaerobic facultative bacterium which is a predisposing
factor in various diseases. The bacterium is often found naturally in the skin and
nasofarinx. Breadfruit (Artocapus Altilis) is one of the easiest to obtain fruit and
empirically has been used in certain society as a traditional medicine (leaf, fruit, bark,
and sap). The breadfruit has chemical contents that are alkaloids, flavonoids, saponins
and tannins which are antibacterial. The purpose of the research aims to determine the
inhibitability of breadfruit (Artocarpus altilis) leaf extract on the growth of
Staphylococcus aureus. The research used 6 treatments with 4 repetitions including by
using amoxicillin disc (positive control), 10% DMSO (negative control), 30%, 40%,
50%, and 60% of breadfruit leaf extract concentration, respectively. The inhibitability
is known based on measurement of inhibition zone diameter by incubation process for
18-24 hours in 37oC temperature. The research used Federer formula and the data
obtained for the results of the research will be expressed descriptively. The results of
the research showed that there is an activity of breadfruit leaf extract in inhibiting the
growth of bacterium which is Staphylococcus aureus. Breadfruit leaf extract with a
30% concentration inhibits the growth of Staphylococcus aureus in weak category
with an inhibition zone average diameter of 14.5 mm. At a 40% concentration, it can
inhibit the growth of Staphylococcus aureus in moderate category with an inhibition
zone average diameter of 18.11 mm. At 50% and 60% concentrations, it can inhibit
the growth of Staphylococcus aureus in strong category with an inhibit zone average
diameter of 22 and 27 mm. The measurement results showed that the 30%, 40%, 50%,
and 60% concentrations produce a clear zone diameter that is relatively low compared
with amoxicillin antibiotic.

Keywords : Staphylococcus aureus, Breadfruit leaf extract, inhibition zone

iv
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN SUKUN
(Artocarpus altilis) TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus
SECARA IN VITRO

MUHAMMAD IQBAL DJAMIL


O11112103

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

v
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

Judul Skripsi : Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Sukun (Artocarpus
altilis) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Secara In
Vitro”
Nama : Muhammad Iqbal Djamil
NIM : O11112103

Disetujui Oleh,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc. Abdul Wahid Jamaluddin, M.Si, Apt.
NIP.19480307 197411 2 001 NIP. 19880828 201404 1 002

Diketahui Oleh,

Dekan Ketua
Fakultas Kedokteran Program Studi Kedokteran Hewan

Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp. BS. Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin,
M.Sc.
NIP. 19551019 198203 1 001 NIP.19480307 197411 2 001

Tanggal lulus : 10 Agustus 2017

vi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil „alamin. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi
Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun
Sukun (Artocarpus altilis) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Secara In
Vitro”. Proses penyusunan skripsi merupakan sebuah proses dan perjalanan panjang
yang tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis mengucapkan terima kasih
kepada :

1. Keluarga besar saya, ayahanda Drs. Muhammad Jamili, ibunda Dra. Hajerah,
kakak saya Muhammad Fadli Jamil dan ketiga adik saya Muhammad Rahmat
Jamil, Indi Rahmawati Jamil dan Nur Fadillah Jamil yang selalu dan tidak
henti-hentinya memberikan dukungan moril, doa, kasih sayang, dan tentunya
material sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah
SWT senantiasa melindungi, memberikan kebahagiaan dan keselamatan di
dunia dan di akhirat, Aamiin.
2. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
3. Prof. DR. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc. dan Abdul Wahid Jamaluddin, M.Si,
Apt sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan
nasihat penuh kesabaran dan rasa semangat selama penelitian penyusunan
skripsi ini.
4. Prof. DR. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi
Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
5. Prof. DR. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc sebagai pembimbing akademik yang
telah banyak memberi nasihat dan bimbingannya selama penulis kuliah di
Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
6. Drh. Farida Nur Yuliati, M.Si dan bapak Muh. Nur Amir, S.Si., M.Si., Apt.
sebagai dosen pembahas dan penguji dalam seminar proposal yang telah
memberikan masukan-masukan dan penjelasan untuk perbaikan penulisan ini.
7. Seluruh Staf Dosen, Pegawai di Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah memberikan dukungan penuh
bagi penulis selama kuliah.
8. Staf Laboratorium Biofarmaka Pusat Kajian Penelitian Universitas
Hasanuddin, yang telah memberikan fasilitas dan bantuan selama penelitian.
9. Mabes Wesabbe Moehammad Nur Arrasuli, Macan Candra Arsandi (Dg.
Rate) dan Kediaman Muliani Masmin yang telah banyak membantu selama
proses penelitian, menjadi tempat bernaung, bersilaturahmi, bertukar pikiran,
mencari solusi, bercanda dan bercengkrama dengan kawan-kawan.
10. Nurul Rezki Hasrah, Alfionita Arif, Ichwani Syam Mustafa dan Sry

vii
Almarahma atas saran dan masukannya saat penelitian.
11. Teman seangkatan 2012, „Akestor Anwelf‟, yang telah menjadi teman
seperjuangan dari awal masuk menjadi mahasiswa kedokteran hewan dan
membantu serta memberikan dukungan selama penelitian.
12. Dan penghargaan setinggi – tingginya kepada semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya.

Penulis sadar tulisan ini jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap tulisan
ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Makassar, 8 Agustus 2017

Muhammad Iqbal Djamil

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
PERNYATAAN KEASLIAN ii
ABSTRAK iii
HALAMAN PENGESAHAN vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xi
DFTAR TABEL xi
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.3.1 Tujuan Umum 2
1.3.2 Tujuan Khusus 2
1.4 Manfaat Penelitian 2
1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu Teori 2
1.4.2 Manfaat Aplikasi 2
1.5 Hipotesis 2
1.6 Keaslian Penelitian 2
2. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Daun Sukun (Artocarpus altilis) 4
2.1.1 Taksonomi Daun Tanaman Sukun 4
2.1.2 Morfologi Daun Tanaman Sukun 5
2.1.3 Kandungan Kimia Daun Tanaman Sukun 5
2.1.4 Ekstraksi 6
2.2 Staphylococcus aureus 6
2.2.1 Klasifikasi Ilmiah Staphylococcus aureus 7
2.2.2 Morfologi dan Identifikasi dari Staphylococcus aureus 7
2.2.3 Biakan 8
2.2.4 Mekanisme Kerja Antibakteri 8
2.2.5 Metode Pengujian Antibakteri 9
3. METODOLOGI PENELITIAN 11
3.1 Waktu dan Tempat 11
3.2 Jenis Penelitian 11
3.3 Materi Penelitian 11
3.4 Metode dan Prosedur Penelitian 12
3.4.1 Sterilisasi Alat 12
3.4.2 Pembuatan Ekstrak 12
3.4.3 Pembuatan Variasi Konsentrasi Ekstrak 12
3.4.4 Uji Fitokimia Ekstrak Daun Sukun 12
3.4.4.1 Uji Alkaloid 12
3.4.4.2 Uji Saponin 12
3.4.4.3 Uji Alkaloid 12
3.4.4.4 Uji Tanin 13

ix
3.4.5 Pemurnian dan Pengujian Bakteri Staphylococcus aureus 13
3.4.5.1 Uji Pada Medi MSA 13
3.4.5.2 Uji Pewarnaan Gram 13
3.4.5.3 Uji Antibiotik Novobiocin 13
3.4.6 Uji Daya Hambat 13
3.4.7 Zona Inhibisi 14
3.5 Analisis Data 14
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15
4.1 Ekstrak Daun Sukun 15
4.2 Uji Fitokimia 15
4.3 Pengujian Sampel Bakteri Staphylococcus aureus 19
4.3.1 Uji Pada Media MSA 19
4.3.2 Uji Pewarnaan Gram 19
4.3.3 Uji Antibiotik Novobiocin 20
4.4 Pengujian Sensitifitas Ekstrak Daun Sukun terhadap Staphylococcus aureus 21
5. PENUTUP 24
5.1 Kesimpulan 24
5.2 Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 28

x
DAFTAR GAMBAR
1. Daun Sukun 4
2. Staphylococcus aureus Secara Mikroskopis 7
3. Hasil Positif Uji Alkaloid 16
4. Hasil Positif pada Uji Flavonoid 17
5. Hasil Positif pada Uji Saponin 17
6. Hasil Positif pada Uji Tanin 18
7. Hasil Kultur Staphylococcus aureus pada Media Mannitol Salt Agar (MSA) 19
8. Pengamatan Staphylococcus aureus pada Mikroskop 20
9. Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Novobiocin 20
10. Hasil Uji Sensitivitas Ekstrak Daun Sukun 22

DAFTAR TABEL
1. Klasifikasi Respon Hambatan Pertumuhan Bakteri 14
2. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Sukun 15
3. Perbedaan Spesies Staphylococcus 21
4. Hasil Uji Sensitivitas Ekstrak Daun Sukun Terhadap Staphylococcus aureus 22

xi
1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah khatulistiwa, yang memiliki


suhu kamar berkisar 25-30°C, berpotensi menjadi tempat yang subur untuk
pertumbuhan bakteri dan jamur. Sebagian besar mikroorganisme ini bersifat patogen
pada manusia, yang menyebabkan manusia sebagai inang mengalami infeksi dari
mulai keadaan akut sampai kronis. Salah satunya merupakan penyakit yang di
sebabkan oleh infeksi bakteri Staphylococcus aureus (Tina et al., 2009). Jenis bakteri
ini diketahui merupakan bakteri fakultatif anaerob yang menjadi faktor predisposisi
dalam berbagai penyakit. Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuan
berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan melalui pembentukan berbagai
zat ekstraseluler berupa enzim dan toksin seperti katalase, koagulase, eksotoksin dan
enterotoksin. Bakteri ini sering ditemukan secara alami di kulit dan nasofarinx pada
tubuh manusia. Jika Staphylococcus aureus menyebar dan menjadi bakterimia, dapat
terjadi endokarditis, osteomilitis akut, hematogen, meningitis, atau infeksi paru-paru.
Diperkirakan bahwa bahan-bahan herbal dapat digunakan untuk menghambat
pembentukan biofilm pada bakteri S. aureus karena telah terbukti adanya aktivitas
biologi dan efek antibakteri. Salah satu bahan herbal yang memiliki kandungan ini
adalah daun sukun (Artocapus altilis).
Sukun (Artocapus altilis) merupakan salah satu tanaman yang mudah
didapatkan dan secara empiris telah digunakan di masyarakat tertentu sebagai obat
tradisional (daun, buah, kulit batang, getah). Sebaran tanaman sukun di Indonesia
salah satunya terdapat di provinsi Sulawesi (Minahasa, Gorontalo, Bone, Makasar,
Malino). Tanaman ini dapat tumbuh baik di daerah panas sekitar 20-40°C yang
beriklim basah dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun dan kelembaban relatif 70-
90% (Rajendran, 1992).
Tanaman sukun banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan, bahan bangunan
dan obat tradisional. Kandungan daun sukun berupa flavonoid, asam hidrosianat,
alkaloid, asetilcolin, tannin, riboflavin, saponin, phenol, quercetin, champerol dan
kalium merupakan kandungan kimia daun sukun yang berkhasiat sebagai obat
penyakit seperti malaria, disentri, penyakit kulit, ginjal, jantung, tekanan darah tinggi,
liver, pembesaran limpa, kencing manis, asma, dan kanker juga dapat terjadi karena
muntah-muntah yang berlebihan atau diare yang hebat (Suhardjo, 1992). Studi in vitro
pada ekstrak daun sukun sebelumnya pernah dilakukan oleh Agustina Retnaningsih
terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Shigella dysenteriae yang
menunjukkan bahwa adanya senyawa metabolit sekunder pada golongan senyawa
alkaloid, flavonoid, saponin dan tannin sebagai anti bakteri.
Berdasarkan uraian diatas, dimungkinkan ekstrak daun sukun (Artocapus altilis)
memiliki potensi sebagai antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus, untuk
membuktikan potensi antibakteri dari ekstrak daun sukun terhadap bakteri
Staphylococcus aureus, maka perlu dilakukan penelitian mengenai daya hambat
ekstrak daun sukun terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
2

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1.2.1 Apakah ekstrak daun sukun (Artocarpus altilis) dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ?
1.2.2 Pada konsentrsi berapakah aktivitas ekstrak daun sukun (Artocarpus altilis)
efektif terhadap bakteri Staphylococcus aureus ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Menentukan khasiat ekstrak daun sukun (Artocarpus altilis) sebagai antibakteri
1.3.2 Tujuan Khusus
Menentukan daya hambat ekstrak daun sukun (Artocarpus altilis) terhadap
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu Teori


Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan literatur tentang daya hambat ekstrak
daun sukun (Artocarpus altilis) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
1.4.2 Manfaat untuk aplikasi
a. Untuk Peneliti
Adanya tambahan kemampuan dan pengetahuan dalam melakukan penelitian ini
dan dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
b. Untuk Masyarakat
Untuk dapat diterapkan dalam lingkungan masyarakat berkaitan dengan
penggunaan ekstrak daun sukun terhadap infeksi yang di sebabkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus.

1.5 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah bakteri Staphylococcus aureus sensitif


terhadap ekstrak daun sukun.

1.6 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai kandungan ekstrak daun sukun sebelumnya pernah


dilakukan. Namun yang berbeda dari penelitian ini adalah metode ekstraksi yang
menggunakan pelarut berupa etanol 70%, adanya perlakuan tingkat konsentrasi dalam
menganalisis sensitivitas bakteri terhadap ekstrak sedangkan penelitian sebelumnya
mengenai “Penelusuran Senyawa Aktif Ekstrak Daun Sukun (Artocarpus altilis)
Terhadap Staphylococcus aureus, Microsporum gypseum dan Candida albicans” oleh
Tina Rostinawati dkk., menggunakan metode ekstraksi dengan pelarut methanol, tidak
adanya perlakuan tingkat konsentrasi dalam menganalisis sensitivitas bakteri terhadap
ekstrak. Selain itu tidak dilakukan uji fitokimia pada ekstrak untuk membuktikan zat
3

anti bakteri yang diinginkan benar-benar ada. Adapun penelitian sebelumnya


mengenai Uji Fitokimia Ekstrak Daun Sukun oleh Endang Tri Wahyuni dkk., yang
menunjukkan adanya kandungan alkaloid, flavonoid, tannin dan saponin yang bersifat
antibakteri.
4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Tanaman Sukun (Artocarpus altilis)

Awal mula ditemukan sukun masih menjadi teka-teki hingga saat ini karena
terdapat beberapa pendapat yang berbeda mengenai sejarah penyebaran tanaman ini.
Ada yang menyatakan bahwa sukun asli tanaman Indonesia yang pertama ditemukan
di Ambon oleh orang Jepang yang kemudian menyebar ke pulau Jawa dan Malaysia.
Pendapat yang berbeda menyatakan bahwa sukun berasal dari Amerika latin yaitu
Peru, Argentina, dan Chili. Para ahli meyakini bahwa sukun berasal dari wilayah
Polinesia di Kepulauan Pasifik dan masuk ke Indonesia bersamaan dengan
kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis. Namun walaupun asal-usul tanaman ini
tidak jelas, keberadaan sukun di Indonesia sudah menyebar luas dan hampir semua
masyarakat mengenalnya. Hal ini terbukti dari penamaan sukun yang beragam
(Harmanto, 2012).
Tempat tumbuh tanaman sukun tersebar mulai dari dataran rendah sampai
dengan ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl), namun kadang-kadang
terdapat pada ketinggian 1500 m dpl. Tanaman ini dapat tumbuh baik di daerah panas
sekitar 20-40 oC yang beriklim basah dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun dan
kelembaban relatif 70-90% (Rajendran, 1992).

2.1.1 Taksonomi Daun Tanaman Sukun


Pohon sukun (Artocarpus altilis) adalah tumbuhan jenis nangka, dengan pohon
yang relatif besar, dengan tinggi mencapai 30 meter.

Gambar 2.1 Daun Sukun (Ahmad, 2012)

Klasifikasi pohon sukun sebagai berikut:


Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Subkelas : Hammamelidae
Bangsa : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus altilis
(Berg et al., 2006 : 82-86)
5

2.1.2 Morfologi Daun Tanaman Sukun


Tanaman sukun (bread fruit) memiliki nama ilmiah Artocarpus altilis yang
termasuk keluarga Moraceae dan kelas Dicotyledonae. Tinggi pohon sukun dapat
mencapai 30 m, dapat tumbuh baik sepanjang tahun (evergreen) di daerah tropis
basah. Batang memiliki kayu yang lunak, tajuknya rimbun dengan percabangan
melebar ke arah samping, kulit batang berwarna hijau kecoklatan, berserat kasar dan
pada semua bagian tanaman memiliki getah encer. Akar tanaman sukun biasanya ada
yang tumbuh mendatar/menjalar dekat permukaan tanah dan dapat menumbuhkan
tunas alami (Ragone, 2006).
Tanaman sukun berdaun tunggal yang bentuknya oval-lonjong, ukuran panjang
20-60 cm dan lebar 20-40 cm, dengan tangkai daun 3-7 cm. Berdasarkan bentuknya
dapat dibagi menjadi 3 yaitu berlekuk dangkal/sedikit, berlekuk agak dalam dan
berlekuk dalam (Ragone, 2006). Daun tanaman sukun ini berganti-ganti, tidak terbagi
ketika daun masih muda, daun dewasa sangat tebal, keras, hijau gelap dan kilap di
bagian atas, hijau pucat dan kasar di bagian bawah (Siemonsma dan Pileuk, 1992).

2.1.3 Kandungan Kimia Daun Tanaman Sukun


Beberapa penelitian disebutkan bahwa daun sukun (Artocarpus altilis) memiliki
kandungan kimia seperti flavonoida, saponin dan tanin. Saponin bersifat membran-
permeabilising, hemolitik, antioksidan, anti-inflamasi, imunostimulan dan
antikarsinogenik, mereka mempengaruhi konsumsi pakan, pertumbuhan dan
reproduksi pada hewan, dan dapat digunakan sebagai fungisida, moluskisida dan
insektisida, serta dapat diaplikasikan terhadap beberapa bakteri dan virus (Geyter et
al., 2007).
Alkaloid merupakan senyawa metabolit sekunder yang paling banyak jumlah
strukturnya. Senyawa ini banyak terdapat di dalam tumbuhan dan tersebar di seluruh
bagiannya, terutama di bagian daun dan batang (Hesse, 2002). Senyawa alkaloid
memiliki mekanisme penghambatan dengan cara mengganggu komponen penyusun
peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara
utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Juliantina, 2008)
Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan dinding sel dan apabila
berinteraksi dengan dinding bakteri, maka dinding tersebut akan pecah atau lisis.
Saponin akan mengganggu tegangan permukaan dinding sel, maka saat tegangan
permukaan terganggu zat antibakteri akan masuk dengan mudah kedalam sel dan akan
mengganggu metabolisme hingga akhirnya terjadilah kematian bakteri (Karlina et al.,
2013).
Flavonoid terdapat pada semua tanaman hijau seperti pada tanaman sukun dan
flavonoid tersebar pada semua bagian tanaman termasuk daun, akar, kayu, bunga dan
biji (Markham, 1988). Berdasarkan penelitian Lotulung PD, dkk dari Lembaga
Pengetahuan Indonesia (LIPI), kandungan bioaktif dari ekstrak etanol daun sukun
yang berhasil diidentifikasi adalah Flavonoid terprenilasi yang mempunyai aktivitas
sitotoksik. Flavonoid bersifat sebagai oksidatif yang dapat menangkap radikal bebas.
Flavonoid juga dapat berfungsi sebagai antibiotik yang mengganggu fungsi
mikroorganisme seperti bakteri atau virus (Harmanto, 2012).
Tanin terdapat disebagian besar bagian tanaman, akar, tunas, daun muda, kulit
dalam, kulit luar, dan buah tanaman. Tanin efektif membunuh serangga (Mulyana,
2002). Tanin merupakan senyawa fenolik yang merupakan polimerasi polifenol
sederhana. Zat ini dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memacu
6

metabolism glukosa dan lemak, sebagai antiseptik, obat luka bakar, menghentikan
pendarahan kecil, dan menghentikan diare. Tanin juga dapat menyebabkanpenyerapan
air pada tubuh organisme, sehingga tubuh kekurangan air (Mardiana dan Aminah,
2009).
Tanin juga bersifat anti bakteri dan anti virus. Mekanisme kerja tanin akan
merusak membran sel bakteri dan mengerutkan dinding sel sehingga akan
mengganggu permeabilitas sel bakteri, hingga pertumbuhan sel bakteri terlambat dan
bahkan akan mati. Sebagai anti virus, tanin akan merusak enzim yang diperlukan
virus untuk memperbanyak diri, hal ini yang mengakibatkan virus sulit berkembang
(Shabella, 2012).

2.1.4 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan metode pemisahan suatu zat terlarut secara selektif dari
suatu bahan dengan pelarut tertentu. Pemilihan metode yang tepat tergantung pada
tekstur, kandungan air tanaman yang diekstraksi, dan jenis senyawa yang akan
diisolasi (Harborne, 1987). Metode ekstraksi maserasi umum digunakan untuk
mengekstraksi sampel yang relatif tidak tahan panas. Metode ini hanya dilakukan
dengan merendam sampel dalam suatu pelarut dengan jangka waktu tertentu, biasanya
dilakukan selama 24 jam tanpa menggunakan pemanas, kelebihan metode ini
diantaranya sederhana dan bias menghindari kerusakan komponen senyawa akibat
panas. Kelemahan metode ini ditinjau dari segi waktu dan penggunaan pelarut yang
tidak efektif dan efisien karena jumlah pelarut relatif banyak dan waktunya lebih lama
(Meloan, 1999).
Metode ekstraksi sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan
frekuensi 42 kHz yang dapat mempercepat waktu kontak antara sampel dan pelarut
meskipun pada suhu ruang. Hal ini menyebabkan proses perpindahan massa senyawa
bioaktif dari dalam sel tanaman ke pelarut menjadi lebih cepat. Sonikasi
mengandalkan energi gelombang yang menyebabkan proses kavitasi, yaitu proses
pembentukan gelembung-gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang
ultrasonik untuk membantu difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman. Ekstraksi
dapat dilakukan dengan metoda maserasi, sokletasi, dan perkolasi. Sebelum ekstraksi
dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan lalu dihaluskan dengan derajat
kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas. Ekstraksi
dengan metoda sokletasi dapat dilakukan secara bertingkat dengan berbagai pelarut
berdasarkan kepolarannya, misalnya n-heksana, eter, benzena, kloroform, etil asetat,
etanol, metanol, dan air. Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan terakhir memberikan
reaksi negatif terhadap senyawa yang diekstraksi. Untuk mendapatkan larutan ekstrak
yang pekat biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotari
evaporator (Harborne, 1996).

2.2 Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus


dengan diameter 0.5-1.5 µm dan termasuk famili Micrococcaceae. Staphilococcus
aureus hidup secara aerobik ataupun anaerobik fakultatif. Sifat lainnya adalah
nonmotil dan tidak membentuk spora (Parker, 2000). Staphilococcus aureus tahan
garam dan tumbuh baik pada medium yang mengandung 7.5% NaCl, serta dapat
memfermentasi manitol.
7

Bakteri ini susunannya bergerombol dan tidak teratur seperti anggur. Koloni
bakteri ini terlihat berwarna kuning keemasaan. Bakteri ini mudah tumbuh pada
berbagai pembenihan pada media cair dan mempunyai metabolisme aktif, mampu
memfermentasikan karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam pigmen dari
putih sampai kuning tua (Radji, 2011).

Gambar 2.2 Staphylococcus aureus Secara Mikroskopis (Radji, 2011)

2.2.1 Klasifikasi Ilmiah Staphylococcus aureus


Staphylococcus aureus adalah bakteri gram-positif. Apabila diamati dibawah
mikroskop terlihat akan tampak dalam bentuk bulat tunggal atau berpasangan, atau
berkelompok seperti buah anggur. Klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai
berikut (Brooks et al., 2005) :
Domain : Bacteria
Kindom : Eubacteria
Divisi : Firmicutes
Class : Cocci
Ordo : Bacillales
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus

2.2.2 Morfologi dan Identifikasi dari Staphylococcus aureus


Staphylococcus aureus merupakan suatu bakteri gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh
pada suhu optimum 37ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar
(20-25ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan,
berbentuk bundar, halus, menonjol dan berkilau (Fischetti et al., 2000).
Staphylococcus aureus adalah sel-sel berbentuk bola dengan garis tengah sekitar
1µm dan tersusun dalam kelompok-kelompok tak beraturan. Pada biakan cair tampak
juga berbentuk tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai. Staphylococcus
aureus tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Bakteri ini hidup bebas dalam
lingkungan dan membentuk kelompok teratur yang terdiri atas empat atau delapan
kokus. Koloni bakteri ini berwarna abu-abu sampai kuning emas tua (Santosanigsih,
2011). Salah satu ciri khas yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus adalah
radang supuratif (bernanah) pada jaringan lokal dan cenderung menjadi abses.
8

Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah furunkel pada kulit dan
impetigo pada anak-anak. Staphylococcus aureus dikenal sebagai bakteri yang paling
sering mengkontaminasi luka pasca bedah sehingga menimbulkan komplikasi dan bila
terjadi bakteriemia, infeksi dapat bermetastasis ke berbagai organ. Patogenesis infeksi
Staphylococcus aureus merupakan hasil interaksi berbagai protein permukaan bakteri
dengan berbagai reseptor pada permukaan sel inang. Penentuan faktor virulen yang
paling berperan sulit dilakukan karena demikian banyak dan beragam faktor virulen
yang dimiliki Staphylococcus aureus (DeLeo et al., 2009).

2.2.3 Biakan Staphylococcus aureus


Staphylococcus aureus mudah tumbuh pada kebanyakan perbenihan dalam
keadaan aerobic atau mikroaerofilik. Bakteri ini tumbuh paling cepat pada suhu 37 oC,
tetapi membentuk pigmen paling baik ada suhu kamar (20-25 oC).
Staphylococcus aureus memiliki sifat pembelahan pertumbuhan yang tidak
teratur arahnya, berbeda dengan bakteri kokus lainnya yang pembelahan selnya
beraturan (Sembiring, 2003). Bakteri ini menghasilkan katalase yang membedakan
dengan Streptococcus. Bakteri ini menghasilkan karbohidrat dengan lambat,
menghasilkan asam laktat, tetapi tidak menghasilkan gas. Bakteri ini relatif resisten
terhadap pengeringan, panas karena bakteri ini tahan terhadap suhu 50 oC selama 30
menit, dan terhadap natrium klorida 9% tetapi mudah dihambat oleh zat-zat kimia
tertentu, seperti heksaklorofein 3%.
Resisten bakteri ini dibagi beberapa golongan:
1. Sering membentuk ß-laktamase, dibawah kendali plasmid, dan menyebabkan
organism resisten terhadap beberapa pinisilin (pinisilin G, ampisilin, tikarsilin, dan
obat-obatan lainnya)
2. Reistensi terhadap nafsilin (dan terhadap metisilin serta oksasilin) tidak bergantung
pada pembentukan -laktamase. Mekanisme resistensi terhadap nafsilin dikaitkan
dengan tidak ada atau sukar dicapainya protein pengikat pinisilin pada organism
tersebut.
3. Obat dapat menghambat tetapi tidak dapat mematikan Staphylococcus aureus,
artinya terdapat perbedaan yang sangat besar antara kadar hambat minimal. Ini
disebabkan tidak adanya aktivitas enzim autolitik dalam dinding sel.
4. Plasmid dapat pula membawa gen untuk resisten terhadap tetrasiklin, eritromisin
dan aminoglikosida (Brooks et al., 1995).

2.2.4 Mekanisme Kerja Antibakteri


Antibakteri adalah suatu senyawa yang dapat membunuh atau menekan
pertumbuhan bakteri, khususnya bakteri yang merugikan manusia. Berdasarkan
mekamisme kerjanya, antibakteri dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu :
1. Menghambat metabolisme sel bakteri
Mikroba membutuhkan asam folat untuk bertahan hidup. Asam folat yang
dibutuhkan mikroba didapatkan dari hasil sintesis asam amino benzoate (PABA).
Sulfonamide adalah contoh obat yang bekerja menghambat metabolisme akan
bersaing dengan PABA yang menghasilkan analog asam folat nonfungsional sehingga
pertumbuhan sel mikroba akan terhambat.
2. Menghambat sintesis dinding sel bakteri
Dinding sel mikroba terdiri dari peptidoglikan. Golongan antibiotik yang
menghambat sintesis dinding sel bersifat bakterisidal karena tekanan osmotik intra sel
9

lebih tinggi dari pada ekstra sel. Penisisilin adalah obat yang bekerja menghambat
reaksi pembentukan dinding sel pada tahap transpeptidase.
3. Mengganggu keutuhan membran sel bakteri
Antimikroba yang mengandung senyawa amoniu-kuatener bila bereaksi dengan
fosfat akan dapat merusak membran sel akibatnya protein, asam nukleat dan lain-lain
akan keluar dari sel mikroba. Contoh golongan obat yang bekerja mengganggu
kebutuhan membran sel mikroba adalah polimiksin. Bakteri gram positif mengandung
sedikit fosfor menurun pada bakteri gram negative maka akan resisten.
4. Menghambat sintesis protein sel bakteri
Sel mikoba mensintesis berbagai protein di ribosom dengan bantuan tRNA dan
mRNA. Setiap ribososm memilik dau subunit yaitu ribosom 30S dan ribosom 50S.
Ribosom 30S dan ribosom 50S nantinya bersatu menjadi ribosom 70S untuk dapat
mensintesis protein. Contoh obat yang berikatan dengan komponen ribosom 30S
adalah streptomisim yang menyebabkan kode pada mRNA salah baca oleh tRNA saat
sinteis protein sehingga terjadi pembentukan protein sehingga terjadi pembentukan
protein yang abnormal dan fungsional bagi sel mikroba. Sedangkan golongan
eritromisin, linkoimisin, dan kloramfenikol berikatan dengan ribosom 50S.
5. Menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri
Antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba adalah rifampisin
dan quinolon. Rifampisin berikatan dengan enzim polymerase-RNA sehingga
menghambat sintesis RNA dan DNA sel mikroba (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI, 2007).

2.2.5 Metode Pengujian Antibakteri


Uji antimikroba dilakukan untuk mengukur respon pertumbuhan populasi
mikroorganisme terhadap agen mikroba. Terdapat bermacam-macam metode uji anti
mikroba yang dapat dilakukan :
1. Metode dilusi
Terdapat dua cara untuk melakukan metode ini, metode dilusi cair (broth dilution)
dan metode dilusi padat (solid dilution test). Metode dilusi digunakan untuk
menentukan konsentrasi hambat minimun atau konsentrasi bunuh minimum dari
antimikroba terhadap mikroba yang diujikan. Cara yang dilakukan adalah dengan
membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan
dengan mikroba uji. Larutan uji antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih
tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetepkan sebagaikadar hambat minimun.
Selanjutnya larutan tersebut di kultur ulang pada media cair tanpa penambahan
mikroba uji maupun agen antimikroba dan diinkubasi selama 18-24 jam. Setelah
diinkubasi media cair yang tetap jernih ditetapkan sebagai kadar bunuh minimum
(Pratiwi, 2008).
2. Metode difusi
Metode ini dapatdilakukan dengan beberapa cara :
a. Metode disc diffusion (tes Kirby dan Bauer)
Metode disc diffusion digunakan untuk menetukan aktivitas agen antimikroba.
Metode ini dilakukan dengan meletakkan piringan (blan disc) yang sudah diisi dengan
suatu zat antimikroba pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Area
jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen
antimikroba.
b. E-test
10

Metode E-tes digunakan untuk menentukan konsentrasi minimal suatu agen


antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Cara yang
dilakukan menggunakan strip plastic yang mengandung agen antimikroba pada parit
yang telah dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian
tengah secar membujur kemudia mikroba uji digoreskan ke arah parit yang berisi agen
antimikroba.
c. Cup-plate technique (metode lubang)
Cup-plate technique memilik prinsip yang serupa dengan metode disk difusi. Pada
metode ini, media agar telah ditanami dengan mikroorganisme dibuat lubang yang
kemudian diisi zat antimikroba yang akan diuji (Pratiwi, 2008).
11

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung pada bulan Januari 2017. Sedangkan tempat


penelitian dilakukan di Laboratorium Biofarmaka Pusat Kajian Penelitian Universitas
Hasanuddin dan Laboratorium Mikrobiologi Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

3.2 Jenis Penelitian

Desain penelitian yang dilakukan adalah eksploratif laboratorium yaitu


melakukan uji aktivitas ekstrak daun sukun terhadap Staphylococcus aureus.
Sedangkan untuk metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah selektif.

3.3 Materi Penelitian

Alat yang digunankan dalam penelitian ini adalah cawan petri, timbangan
analitik, autoklaf, toples kaca, tabung reaksi, jangka sorong, incubator memmert,
batang pengaduk, bunsen, pinset, gelas ukur, ose bulat, herbs dryer, sonicator VWR
Symphony dan rotavapor. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah bakteri Staphylococcus aureus, ekstrak daun sukun, media muller hinton agar
(MHA), media mannitol salt agar (MSA), etanol 70%, dimetil sulfoksida 10 %
(DMSO 10%), discs amoksicillin oxoid 10 µg, discs novobiocin oxoid 5 µg, blank
discs oxoid, akuades steril, spiritus, masker, hanschoen kertas label, spidol, swab
steril, aliminium foil dan NaCl 0,9%.

3.4 Metode dan Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan dalam peneitian ini adalah dengan menggunakan 6


perlakuan dengan 4 pengulangan diantaranya dengan menggunakan discs amoksicillin
oxoid 10 µg (kontrol positif) dan DMSO 10% (kontrol negatif), P1 (ekstrak daun
sukun 30%), P2 (ekstrak daun sukun 40%), P3 (ekstrak daun sukun 50%) dan P4
(ekstrak daun sukun 60%). Untuk mendapatkan data yang valid dilakukan
pengulangan sesuai rumus Federer :
(n-1) (t-1) ≥ 15
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
t = Jumlah Kelompok/ perlakuan
Pengulangan dilakukan sebanyak 4 kali, dari hasil perhitungan yang diperoleh dengan
menggunakan rumus Federer di atas.
(n-1) (6-1) = 15
(n-1) (5) = 15
5n - 5 = 15
5n = 2 n = 20/5 = 4
12

3.4.1 Sterilisasi Alat


Semua alat yang digunakan dalam penelitian disterilkan dalam autoklaf pada
suhu 121oC selama 15 menit dengan cara cawan petri dan tip mikropipet dibungkus
dengan aluminium foil, labu ukur ditutup dengan kertas perkamen lalu diikat dengan
tali, dan labu erlemeyer diisi dengan akuades sebanyak 250 ml lalu ditutup dengan
kapas yang sudah dipadatkan.

3.4.2 Pembuatan Ekstrak Daun Sukun (Artocarpus altilis)


Sampel daun sukun yang diambil merupakan daun sukun muda berasal atau
diperoleh dari Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Langkah awal pembuatan
ekstrak daun sukun (Artocarpus altilis) yaitu preparasi sampel, daun sukun segar
dicuci dengan bersih untuk menghilangkan kotoran, kemudian dikeringkan dengan
menggunakan herbs dryer pada suhu 55 oC selama 48 jam, dihaluskan dengan
menggunakan blender dan dihasilkan simplisia daun sukun sebanyak 600 gram.
Kemudian sebanyak 100 gram daun sukun kering dimasukkan ke dalam toples kaca
ukuran 1000 ml, ditambahkan pelarut etanol 70% sebanyak 500 ml. Selanjutnya
disonikasi dengan menggunakan gelombang ultrasonik dengan waktu selama 90
menit. Hasil ekstraksi tersebut disaring dengan kain saring untuk menghilangkan
ampasnya sehingga diperoleh ekstrak dengan pelarut. Untuk mendapatkan ekstrak
murni, dihilangkan pelarutnya menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 49
o
C dengan kecepatan 22 rpm sampai tidak ada lagi pelarut yang menetes.

3.4.3 Pembuatan Variasi Konsentrasi Ekstrak


Pengenceran bertujuan untuk menghasilkan beberapa konsentrasi yang akan
digunakan dari ekstrak daun sukun yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus. Pengenceran dibuat sebanyak 2 ml dari tiap kosentrasi
menggunakan DMSO 10 % yaitu dengan penambahan 0,6 ml ekstrak dan 1,4 ml
DMSO 10% didapatkan konsentarsi 30%, 0,8 ml ekstrak dan 1,2 ml DMSO 10%
didapatkan konsentarsi 40%, 1 ml ekstrak dan 1 ml DMSO 10% didapatkan
konsentarsi 50% dan 1,2 ml ekstrak dan 0,8 ml DMSO 10% didapatkan konsentarsi
60%.

4.4.4 Uji Fitokimia Ekstrak Daun Sukun


3.4.4.1 Uji Alkaloid
Pemeriksaan alkaloid Larutan ekstrak uji sebanyak 2 ml diuapkan di atas
cawan porselin hingga di dapat residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 ml HCl
2 N. Larutan yang didapat kemudian dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung
pertama ditambahkan dengan HCl 2 N yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua
ditambahkan pereaksi Dragendorff sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan
pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes. Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua
dan endapan putih hingga kekuningan pada tabung ketiga menunjukkan adanya
alkaloid (Jones dan Kinghorn, 2006).
3.4.4.2 Uji Flavanoid
Uji flavonoid dilakukan dengan memanaskan ekstrak daun sukun selama lima
menit kemudian ditambah beberapa tetes HCl pekat dan bubuk Mg. Hasil ditunjukkan
dengan munculnya warna merah tua (Robinson, 1995).
3.4.4.3 Uji Saponin
Ekstrak uji dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 mL air panas,
dinginkan dan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Terbentuk buih yang
13

stabil selama tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm. Pada penambahan HCl 2
N, buih tidak hilang (Depkes RI, 1995).
3.4.4.4 Uji Tanin
Larutan ekstrak uji sebanyak 1 mL direaksikan dengan larutan besi (III)
klorida 10%, jika terjadi warna biru tua, biru kehitaman atau hitam kehijauan
menunjukkan adanya senyawa polifenol dan tanin (Jones dan Kinghorn, 2006).

3.4.5 Pemurnian dan Pengujian Bakteri Staphylococcus aureus


Biakan Staphylococcus aureus diperoleh dari pus yang diinokulasi di
Laboratorium Mikrobiologi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. Langkah awal biakan S.aureus diinokulasi pada media MHA dengan
cara yaitu memanaskan ose di atas lampu spritus sampai membara lalu dimasukkan ke
dalam tabung yang berisi biakan murni Staphylococcus aureus. Kemudian, ose
digoreskan pada biakan murni dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi
akuades atau NaCl 0,9% lalu dihomogenkan. Setelah itu, siapkan swab steril yang
dimasukkan ke dalam tabung reaksi tersebut dan kemudian digores ke dalam cawan
petri sampai merata pada permukaan media. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 18-24 jam.
3.4.5.1 Uji Pada Media Mannitol Salt Agar (MSA)
27,8 g serbuk MSA dilarutkan dalam 250 ml akuades, dipanaskan sampai
homogen, kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 oC tekanan 15 lbs
selama 15 menit, setelah steril dituang ke dalam cawan petri sebanyak 15 ml.
Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Adanya perubahan warna pada media
MSA yaitu merah muda menjadi kuning menunjukkan hasil positif.
3.4.5.2 Uji Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram diuji dengan cara, kaca objek dibersihkan dengan alkohol
sehingga bebas dari lemak, kemudian difiksasi di atas lampu spiritus sampai kering,
lalu diberi satu tetes NaCl fisiologis. Bakteri dari media diambil dengan jarum ose,
diletakkan pada tetesan NaCl fisiologis, kemudian dicampur hingga merata. Dibiarkan
mengering di udara sebentar dan difiksasi di atas api. Kemudian ditetesi 2-3 tetes
larutan Kristal violet dan dibiarkan selama 1 menit, lalu dibilas dengan air mengalir.
Setelah itu, ditetesi larutan lugol satu tetes dan dibiarkan selama 1 menit, lalu
dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan, preparat dibilas dengan alkohol 96%
selama 30 detik kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Terakhir
ditetesi dengan larutan safranin dan dibiarkan selama 1 menit lalu dibilas dengan air
mengalir dan dikeringkan. Setelah itu preparat ini diamati di bawah mikroskop.
Warna ungu untuk bakteri Gram positif dan warna merah untuk bakteri Gram negatif.
3.4.5.3 Uji Antibiotik Novobiocin
Uji antibiotik novobiocin dilakukan dengan cara 1 ose suspensi bakteri
ditanam pada media MHA kemudian diletakkan discs novobiocin oxoid 5 µg diatas
media MHA, diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Adanya daerah bening
disekitar disk menunjukkan hasil positif.

3.4.6 Uji Daya Hambat


 Menyiapkan sampel bakteri Staphylococcus aureus yang sudah distandarkan
dengan Mc. Farlan.
 Menyiapkan cawan petri berisikan media MHA kemudian sampel bakteri
diinokulasikan secara merata menggunakan swab steril.
14

 Menyiapkan blank discs oxoid untuk menguji masing-masing konsentrasi daun


sukun serta kontrol positif berupa discs amoksicillin oxoid 10 µg dan kontrol
negatif berupa DMSO 10%
 Merendam setiap blank discs oxoid kedalam ekstrak daun sukun selama 1-2
menit dengan masing-masing konsentrasi 30%, 40%, 50% dan 60% serta
kontrol negatif ke dalam DMSO 10 %. Sedangkan kontrol positif menggunakan
discs amoksicillin oxoid 10 µg.
 Memasukkan setiap blank discs oxoid yang telah direndam dengan konsentrasi
daun sukun dan kontrol dalam setiap cawan petri.
 Semua cawan petri diinkubasi selama 1x24 jam pada suhu 37 oC.

3.4.7 Zona Inhibisi


Daya hambat diketahui berdasarkan pengukuran diameter zona inhibisi (zona
bening atau daerah jernih tanpa pertumbuhan mikroorganisme) yang terbentuk di
sekitar paper disk. Pengukuran tersebut menggunakan jangka sorong dan dinyatakan
dalam milimeter. Efektivitas antibakteri menurut Greenwood (1995) dapat
diklasifikasikan pada table berikut :
Tabel 3.1. Klasifikasi Respon Hambatan Pertumuhan Bakteri
Diameter Zona Terang Respon Hambatan Pertumbuhan
>20 mm Kuat
16-20 mm Sedang
10-15 mm Lemah
>10 mm Tidak ada

3.5 Analisis Data

Penelitian ini menggunakan 6 perlakuan dengan 4 pengulangan dengan


menggunakan rumus Federer dan data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan
dinyatakan secara deskriptif.
15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biofarmaka Universitas Hasanuddin


untuk membuat ekstrak daun sukun dan di Laboratorium Mikrobiologi Program Studi
Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin untuk dilakukan
pengujian sensitifitas ekstrak daun sukun terhadap bakteri Staphylococcus aureus
secara in vitro.

4.1 Ekstrak Daun Sukun

Tanaman sukun (bread fruit) memiliki nama ilmiah Artocarpus altilis yang
termasuk keluarga Moraceae dan kelas Dicotyledonae. Tinggi pohon sukun dapat
mencapai 30 m, dapat tumbuh baik sepanjang tahun (evergreen) di daerah tropis
basah. Daun sukun mengandung senyawa metabolit sekunder pada golongan senyawa
alkaloid, flavonoid, saponin dan tannin sebagai anti bakteri. Ekstraksi pada daun
sukun berupa simplisia yang dilarutkan dengan etanol 70% dan diuapkan
menggunakan rotary vacuum evaporator untuk mendapatkan ekstrak 100%.
Penggunaan etanol sebagai pelarut ekstrak dikarenakan etanol merupakan pelarut
yang lebih baik dibandingkan air dan heksana jika akan mengekstrak komponen
antimikroba. Menurut Houghton dan Raman (1998), komponen yang larut dalam
etanol adalah glikosida. Diduga aktivitas antibakteri ekstrak etanol disebabkan oleh
adanya senyawa glikosida, yaitu saponin. Selain glikosida, senyawa tanin juga larut
dalam etanol dan memiliki aktivitas antimikroba.

4.2 Uji Fitokimia

Senyawa fitokimia merupakan senyawa-senyawa yang dihasilkan dari


sintesis tanaman yang kebanyakan merupakan senyawa aktif yang memiliki
fungsi fisiologis bagi tubuh (Lin, 1994). Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui
metabolit sekunder dari tumbuhan. Beberapa jenis metabolit sekunder memiliki
aktivitas antimikroba (Naidu, 2000). Untuk memastikan ekstrak daun sukun
mengandung senyawa kimia yang bersifat antibiotik maka dilakukan uji fitokimia.
Adapun hasil uji fitokimia ekstrak daun sukun yang dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.1 Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Sukun
Uji Fitokimia Pereaksi Hasil Kesimpulan
Terbentuknya Warna
Dragendroff Positif
Jingga
Alkaloid Mayer Adanya Endapan Putih Positif
Terbentuknya Warna
Wagner Positif
Coklat Kemerahan
Flavanoid Mg+HCl pekat Warna Kemerahan Positif
Saponin Air Mendidih Terbentuknya Busa Positif
Adanya Gumpalan Gel
Tanin FeCl3 Positif
Dan Warna Hijau
16

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rani et al. (2014) hasil uji
fitokimia dan metode instrumen spektrofotometer inframerah dari ekstrak daun sukun
baik berupa ekstrak methanol maupun ekstrak etanol mengandung senyawa berupa
alkaloid, flavonoid, saponin dan tannin yang memiliki kemampuan hampir setara
dengan senyawa aktif pada larutan antiseptik kimia. Hasil pengukuran dengan
instrumen inframerah semakin memperkuat bahwa dalam ekstrak daun sukun terdapat
golongan senyawa metabolit sekunder yang bersifat antibakteri.

(a) (b) (c)


Gambar 4.1 Hasil Positif Alkaloid pada (a)Uji Mayer, (b)Uji Wagner dan (c)Uji
Dragendroff

Pada uji kualitatif ini, senyawa kimia golongan alkaloid ditentukan dengan
melihat ada tidaknya endapan yang terbentuk. Pemeriksaan alkaloid pada ekstrak
daun sukun menunjukkan hasil positif yang dilakukan dengan penambahan masing-
masing pereaksi alkaloid seperti pereaksi Mayer, Wagner dan Dragendorff. Ketiga
pereaksi ini dapat bereaksi pada sampel uji sehingga dinyatakan mengandung alkaloid
dan memberikan warna yang khas. Pada pereaksi Mayer bereaksi dengan alkaloid dan
membentuk endapan berwarna putih. Dengan pereaksi Wagner akan beraksi dengan
alkaloid dan membentuk endapan berwarna coklat sedangkan dengan pereaksi
Dragendorff membentuk endapan berwarna jingga (Robinson, 1995).
Hasil uji alkaloid dari ekstrak etanol daun sukun menunjukkan terbentuknya
endapan berwarna putih saat direaksikan dengan menggunakan pereaksi Mayer.
Menurut Svehla (1990) endapan tersebut adalah nitrogen pada alkaloid yang bereaksi
dengan logam K+ dan membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
Terbentuknya endapan coklat saat direaksikan dengan menggunakan pereaksi wagner
dimana iodin bereaksi dengan ion I- dari kalium iodide menghasilkan ion I3- yang
berwarna coklat. Pada pereaksi wagner ion logam K+ membentuk ikatan kovalen
koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk kompleks kalium-alkaloid yang
mengendap dengan warna kecoklatan. Terbentuknya jingga ketika direaksikan dengan
reagen Dragendroff karena nitrogen membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K +
ion logam. Endapan tersebut adalah kalium-alkaloid (Marliana et al., 2005). Artinya
ekstrak etanol daun sukun menunjukan adanya golongan alkaloid.
Alkaloid merupakan senyawa metabolit sekunder yang paling banyak jumlah
strukturnya. Senyawa ini banyak terdapat di dalam tumbuhan dan tersebar di seluruh
bagiannya, terutama di bagian daun dan batang (Hesse, 2002). Senyawa alkaloid
memiliki mekanisme penghambatan dengan cara mengganggu komponen penyusun
17

peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara
utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Juliantina, 2008).

Gambar 4.2 Hasil Positif pada Uji Flavonoid

Pada uji kualitatif kandungan golongan senyawa flavonoid dalam sampel uji
ditentukan dengan dihasilkannya warna merah tua. Pemeriksaan senyawa flavonoid
pada ekstrak daun sukun menunjukkan hasil positif yang dilakukan dengan
penambahan serbuk magnesium dan asam klorida sehingga dihasilkannya warna
merah. Robinson (1995), menyatakan bahwa penambahan serbuk magnesium dan
asam klorida pada pengujian flavonoid akan menyebabkan tereduksinya senyawa
flavonoid yang ada dalam sampel sehingga menimbulkan reaksi warna merah yang
merupakan ciri adanya flavonoid.
Cushnie et al (2005) menyatakan bahwa senyawa flavonoid berperan dalam
menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri. Flavonoid merupakan senyawa
pereduksi yang baik, menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun
non enzim. Mekanisme kerja flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara
membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu
keutuhan membran sel bakteri. Mekanisme kerjanya dengan cara mendenaturasi
protein sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi (Juliantina,
2008).

Gambar 4.3 Hasil Positif pada Uji Saponin


18

Pada uji kualitatif kandungan saponin dalam sampel uji ditentukan dengan
melihat terbentuknya busa yang stabil pada larutan uji. Pemeriksaan senyawa saponin
pada ekstrak daun sukun menunjukkan hasil positif dengan adanya busa yang stabil
dan bertahan cukup lama. Saponin mempunyai gugus hidrofilik dan hidrofob, saat
dikocok gugus hidrofil akan berikatan dengan air, sedangkan gugus hidrofob akan
berikatan dengan udara sehingga membentuk buih.
Saponin diduga memiliki daya membranolitik terhadap bakteri (Cheeke, 2001).
Menurut Meskin et al. (2002), saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang
dihasilkan dari grup steroid atau triterpen yang berkaitan dengan gula. Gruiz (1996),
menyatakan bahwa 76% dari jenis tanaman di Asia mengandung saponin. Saponin
dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi
dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap bakteri adalah adanya
pelepasan protein dan enzim dari dalam sel-sel (Zablotowicz et al., 1996).

Gambar 4.4 Hasil Positif pada Uji Tanin

Pada uji kualitatif kandungan senyawa tanin dalam sampel uji ditentukan
dengan melihat adanya gumpalan gel yang cukup stabil dan berwarna hijau.
Pemeriksaan senyawa tanin pada ekstrak daun sukun menunjukkan hasil positif yang
dilakukan dengan penambahan FeCl3 dengan menghasilkan warna hijau dan
gumpalan gel. Pada penambahan larutan FeCl3 1% diperkirakan larutan ini
bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa tanin. Hasil
pengujian yang dilakukan dengan menggunakan larutan FeCl3 akan menunjukkan
timbulnya warna hijau.
Beberapa hasil penelitian, Akiyama et al. (2001) menunjukkan bahwa senyawa
tanin memiliki aktivitas antibakteri yaitu dikaitkan dengan hambatan terhadap sintesis
protein sel serta gangguan terhadap keutuhan membran sel bakteri, juga termasuk
anthroquinone dalam penelitian Chan et al. (2011). Tanin merupakan jenis senyawa
yang termasuk kedalam golongan polifenol dan banyak dijumpai pada tumbuhan.
Mekanisme kerja tanin diperkirakan adalah toksisitas tanin dapat merusak membran
sel bakteri, senyawa astringent tanin dapat menginduksi pembentukan kompleks
ikatan tanin terhadap ion logam yang dapat menambah daya toksisitas tanin itu
sendiri. Tanin juga diduga dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel
sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Efek antibakteri tanin antara lain
19

melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi
fungsi materi genetik (Ajizah, 2004).

4.3 Pengujian Sampel Bakteri Staphylococcus aureus

4.3.1 Uji pada media Mannitol Salt Agar (MSA)


Uji pada media mannitol salt agar (MSA), merupakan uji yang dilakukan untuk
mengetahui kemampuan memfermentasi mannitol pada Staphylococcus aureus. Hasil
positif ditunjukkan Staphylococcus aureus pada media mannitol salt agar (MSA)
dengan adanya pertumbuhan koloni berwarna putih kekuningan karena kemampuan
memfermentasi mannitol, yaitu fenol acid yang dihasilkan, menyebabkan perubahan
phenol red pada agar yang berubah dari merah menjadi berwarna kuning (Austin,
2006). Media MSA yang mengandung konsentrasi garam NaCl yang tinggi (7,5-
10%). MSA menjadi media selektif diferenssial untuk pertumbuhan Staphylococcus
aureus. Hal ini dikarenakan Staphylococcus aureus mampu bertahan dan tumbuh
dalam media dengan konsentrasi garam yang cukup tinggi.

a b
Gambar 4.5 Hasil Kultur Staphylococcus Aureus pada Media Mannitol Salt Agar
(MSA) (a)Sebelum Diinkubasi dan (b)Sesudah Diinkubasi

Kandungan Natrium Chlorida (NaCl) yang tinggi pada media MSA


membuat bakteri lain tidak dapat bertahan pada kondisi demikian, sehingga jika
bakteri Staphylococcus dapat menghasilkan enzim koagulase dan mampu
memfermentasikan manitol pada MSA maka dapat disimpulkan bahwa bakteri
tersebut adalah S.aureus (Sari, 2003).

4.3.2 Uji Pewarnaan Gram


Kemudian selanjutnya dilakukan uji pewarnaan Gram yang bertujuan untuk
mengamati morfologi dan mengetahui kemurnian sel bakteri. Hasil dari uji pewarnaan
gram bakteri pada media mannitol salt agar menunjukkan ciri-ciri positif bakteri
Staphylococcus aureus.
20

Gambar 4.6 Pengamatan Staphylococcus aureus pada Mikroskop


Pembesaran 100 kali

Hasil dari uji pewarnaan Gram bakteri pada media mannitol salt agar
menunjukkan ciri-ciri positif bakteri Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus
merupakan bakteri Gram positif dan berbentuk kokus yang menghasilkan warna ungu
pada pewarnaan Gram. Warna ungu disebabkan karena bakteri mempertahankan
warna pertama, yaitu gentian violet dikarenakan dinding sel bakteri terdiri dari lapisan
peptidoglikan yang tebal. Hal ini menyebabkan aktivitas yang tinggi terhadap kristal
violet dan ion. Oleh karena itu, terbentuknya senyawa yang sukar larut dalam alkohol
sehingga tetap memegang kuat zat utama yaitu warna ungu atau biru kristal violet
(Campbell, 2006).

4.3.3 Uji Novobiocin


Pada sampel bakteri Staphylococcus aureus dengan uji antibiotik novobiocin
didapatkan hasil berupa terbentuknya zona bening pada media Muller Hinton Agar
(MHA) yang telah diinokulasi dengan bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini
menunjukan Staphylococcus aureus sensitif atau tidak resisten terhadap discs
novobiocin oxoid 5 µg.

a b
Gambar 4.7 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Novobiocin (a)Sebelum Diinkubasi
(b)Setelah Diinkubasi
21

Novobiocin berasal dari Streptomyces niveus. Berkhasiat bakterisid terhadap


terutama bakteri Gram positif. Berbeda dengan antibiotik lain yang bersifat basa,
novobiocin adalah asam lemah dan membentuk garam dengan senyawa-senyawa basa,
yang umumnya tak dapat larut (Tjay dan Rahardja, 2002). Aktivitas antibakteri
novobiocin sangat mirip dengan penisilin dan eritromisin. Organisme yang paling
peka adalah S. aureus dan Pneumococcus. S. aureus sensitif terhadap antibiotik
novobiocin berbeda dengan salah satu spesies dari staphylococcus yaitu
Staphylococcus saprophyticus yang resisten terhadap antibiotik novobiocin dan
merupakan bakteri staphylococcus yang termasuk spesies Staphylococcus koagulase
negatif, mempunyai sifat tidak memfermentasi mannitol dan tidak memproduksi
eksotoksin. Berikut ini perbedaan karakteristik dari masing-masing spesies
staphylococcus dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Perbedaan spesies Staphylococcus (Karsinah et al, 1994)


S. aureus S. saprophyticus
Warna Koloni + -
Tipe Hemolisa + -
Peragian Manitol + -
Novobiosin Sensitif Resisten

Diduga novobiocin menginduksi defisiensi magnesium dalam bakteri dan ini


menimbulkan kerusakan pada membran sel dan akhirnya mati. Novobiocin
menghambat langkah awal dari sintesis peptidoglikan sehingga mengganggu fungsi
biosintetik membran sel dan juga bekerja dengan cara menghambat sintesis DNA dan
asam trikholat pada selaput sel bakteri (Jawetz et al., 1989).

4.4 Pengujian Sensitifitas Ekstrak Daun Sukun terhadap Staphylococcus aureus

Dalam penelitian ini dilakukan replikasi sebanyak empat kali, dari setiap replikasi
tersebut dilakukan repetisi tiga kali. Dari hasil pengamatan didapatkan zona hambat
yang diukur menggunakan jangka sorong dengan satuan millimeter (mm).
Pengukuran dilakukan secara vertikal, horizontal dan diagonal, kemudian dari tiga
kali pengukuran tersebut hasilnya dirata-rata. Adapun penelitian ini menggunakan
metode disc diffusion untuk menetukan aktivitas agen antimikroba. Cara ini
merupakan cara yang paling sering digunakan untuk menentukan kepekaan bakteri
terhadap berbagai macam obat-obatan. Metode ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihannya adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan
khusus dan relatif murah. Kelemahannya adalah ukuran zona bening yang terbentuk
tergantung oleh kondisi inkubasi, inoculum, predifusi dan preinkubasi (Bonang,
1992).
Hasil uji sensitifitas ekstrak daun sukun terhadap staphylococcus aureus
menunjukkan terdapat perbedaan pada setiap konsentrasi ekstrak daun sukun 30%,
40%, 50%, dan 60% dengan masing-masing empat kali replikasi dan disk antibiotik
berupa terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Pengamatan aktivitas antibakteri pada
berbagai konsentrasi daun sukun dilakukan selama 18-24 jam pada suhu 37 oC.
22

Gambar 4.8 Hasil Uji Sensitivitas Ekstrak Daun Sukun

Adapun hasil pengamatan uji daya hambat setelah masa inkubasi 18-24 jam
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Hasil Uji Sensitivitas Ekstrak Daun Sukun terhadap S.aureus
Diameter Zona Bening (mm)
Kontrol (mm)
Replikasi Konsenrasi Ekstrak Daun Sukun
Positif Negatif 30% 40% 50% 60%
1 13 18 21 25
2 14 17 20 25
3 32 0 15 18,5 23 28
4 15 19 24 29
Rata-rata 14,5 18,1 22 27

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa zona bening sudah terbentuk pada masa
inkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37oC dengan konsentrasi 30%, 40%, 50%,
dan 60%. Daya hambat diketahui berdasarkan pengukuran diameter zona inhibisi
(zona bening atau daerah jernih tanpa pertumbuhan mikroorganisme) yang terbentuk
di sekitar paper disk. Pengukuran tersebut menggunakan jangka sorong dan
dinyatakan dalam milimeter.
Hasil pengukuran pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa pada konsentrasi 30%
pada ekstrak daun sukun dengan menghasilkan zona bening dengan diameter rata-rata
14,5 mm yang lemah dalam menghambat bakteri Staphylococcus aureus. Pada
konsentrasi 40% pada daun sukun dengan menghasilkan zona bening dengan diameter
rata-rata 18,1 mm dengan hambatan sedang dalam menghambat bakteri
Staphylococcus aureus. Sedangkan pada konsentrasi 50% dan 60% pada daun sukun
dengan menghasilkan zona bening dengan diameter rata-rata 22 mm dan 27 mm yang
sensitif dalam menghambat bakteri Staphylococcus aureus. Untuk kontrol negatif
23

(DMSO 10%) yang digunakan tidak menghasilkan zona bening sedangkan pada
kontrol positif (discs amoksicillin oxoid 10 µg) menghasilkan zona bening dengan
diameter rata-rata 32 mm, zona hambat yang dihasilkan oleh antibiotik tersebut lebih
besar dari pada zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak daun sukun.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa diameter zona bening diatas 20 mm
terbentuk setelah konsentrasi 50%. Menurut Subchan dkk., (2012), semakin besar
zona hambat (zona terang) maka semakin besar pula kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri, artinya zat antimikroba alami pada ekstrak daun sukun pada
konsentrasi yang semakin tinggi mempunyai daya hambat yang kuat dalam
menghambat bakteri Staphylococcus aureus. Namun hal ini menunjukkan
penggunaan ekstrak daun sukun yang relatif banyak dalam menghambat ataupun
membunuh bakteri sehingga kurang potensial untuk dikembangkan. Sedangkan
penggunaan ekstrak yang relatif sedikit (dibawah 40%) dengan aktivitas antibakteri
yang kuat sangat berpotensi untuk di kembangkan.
Perbedaan diameter zona hambat pada masing-masing konsentrasi disebabkan
karena perbedaan besarnya zat aktif yang terkandung pada konsentrasi tersebut.
Prescot (2005), ukuran zona hambat bakteri juga dipengaruhi oleh tingkat sensitivitas
dari organisme uji, medium kultur dan kondisi inkubasi, kecepatan difusi dari
senyawa antibakteri. Pembedaan antibakteri didasarkan pada mekanisme kerjanya
yaitu: antibakteri yang mekanisme kerjanya menghambat pertumbuhan dari dinding
sel, antibakteri yang mekanisme kerjanya mengakibatkan perubahan pada
permeabilitas membran sel dan antibakteri yang mekanisme kerjanya menghambat
sintesis protein dan asam nukleat (Brooks, et al., 2005). Terbentuknya zona hambat
juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan bakteri uji yang berlebihan sehingga
pengaruh metabolit yang dihasilkan bakteri yang tidak signifikan terhadap
pertumbuhan uji. Perbedaan sensitivitas bakteri terhadap antibakteri dipengaruhi oleh
struktur dinding sel bakteri. Bakteri Gram positif cenderung lebih sensitif terhadap
antibakteri, karena struktur dinding sel bakteri Gram positif lebih sederhana
dibandingkan struktur dinding sel bakteri Gram negatif sehingga memudahkan
senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel bakteri Gram positif (Kusmayati dan
Agustini, 2007).
24

5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun
sukun (Artocarpus altilis) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus secara in
vitro dapat disimpulkan bahwa pada konsentrasi 30% dapat menghambat dengan
diameter 14,5 mm, konsentrasi 40% dengan diameter 18,1 mm, konsentrasi 50%
dengan diameter 22 mm dan konsentrasi 60% menghambat dengan diameter 27 mm.
Daya hambat tersebut lebih rendah daripada diameter zona yang dihasilkan discs
amoksicillin oxoid 10 µg dengan diameter 32 mm.

5.2 Saran

Perlu penelaan lebih lanjut untuk mengetahui kandungan senyawa yang memiliki
aktivitas antibakteri dan interaksi kandungan senyawa yang terdapat dalam ekstrak
serta penelitian lebih lanjut terhadap tumbuhan sukun (daun, buah, kulit batang,
getah) baik secara in vitro maupun in vivo sehingga pengetahuan serta pemanfaatan
dari tanaman sukun dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan dan dapat diterapkan
di lingkungan masyarakat.
25

DAFTAR PUSTAKA

Ajizah A. 2004. Sensitivitas Salmonella typhimurium Terhadap Ekstrak Daun


Psidium Guajava L. Bioscientiae, 1(1): 31-38.
Akiyama, H., Fujii, K., Yamasaki, O., Oono, T., Iwatsuki, K. 2001. Antibacterial
Action of Several Tannins Against Staphylococcus aureus. JAC. 48 : 487-
491
Ahmad, A. 2012. Sukun: Berkhasiat Dari Akar Hingga Pucuk Daun. Available from:
http://daunsukun.com/. Accessed at November 16, 2014.
Austin, T.X. 2010. Manitol salt agar. Austin Community College District. http: //
www.austincc.edu/microbugz/html/mannitol_salt_agar.html. [22-03-10].
Berg, C.C., Corner E.J.H and Jarret F.M. 2006. Moraccae (genera other Ficus) In :
Noteboom,H.P.(general editor) : Flora Malesiana Series I, Vol 17/Part 1.
Bonang G. 1992. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan Edisi 16. Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse, S.A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Penerjemah:
Mudihardi, E., Kuntaman, Wasito, E.B., Salemba Medika. p. 11-15.
Jakarta.
Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse, S.A. 1995. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz,
Melnick, dan Adelberg, ed. 20. Edi Nugroho (alih bahasa), 1996, Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Indonesia. Jakarta.
Campbell. 2006. Biologi Edisi Kelima Jilid 2. Erlangga.hlm: 108. Jakarta.
Chan, K. Y., Zhang, J., Tom Chang, C. W. 2011. Mode of Action Investigation For
the Antibacterial Cationic Anthroquinone Analogs. Bioorg Med Chem
Lett. 21(21) : 6353-6356.
Cheeke, P.R. 2001. Actual and Potential Applications of Yucca schidigera and
Quillaja saponaria Saponins in human and animal nutrition. RAAN. 13 :
115-126
Cushnie, T. P. T., Lamb, A. J. 2005. Antimicrobial Activity of Flavonoids.
IJANTIMICAG. 26 : 343-356
DeLeo, F.R., Diep, B.A., Otto, M. 2009. Host Defense and Patogenesis in
Staphyloccus aureus Infections. J Dent. Vol. 23(1): 17-34.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007. Farmakologi dan Terapi
Edisi5. Balai Penerbit FKUI. Hal 585-587. Jakarta.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. P.7, 1036-1043. Jakarta.
Fischetti, A.V., Novick, R.P., Ferreti, JJ., Portnoy, D.A., Rood, J.I. 2000. Gram
Positif. ASM: Press. p. 450-455. Washington DC.
Geyter, ED., Lambert E., Geelen, D., and Smagghe, G. 2007. Novel Advances with
Plant Saponins as Natural Insectisides to Control Pest Insects, Journal of
University of Belgium, Belgia.
Greenwood, 1995. Antibiotic Susceptibility (Sensitivity Test), Antimicrobial and
Chemotheraphy. McGraw Hill Company. USA.
Gruiz, K. 1996. Fungitoxic Activity of Saponins : Practical Use and Fundamental
Principles. Di dalam : A. S. Naidu. (ed). 2000. Natural Food Antimicrobial
Systems. CRC Press, USA.
Harbome, J.B. 1996. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Terjemahan K. Padmawinata. Edisi II. ITB Press, Bandung.
26

Harbome, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediro,


penerbit ITB. Hal 69-94, 142-158, 234-238. 11. Bandung.
Harmanto, N. 2012. Daun Sukun Si Daun Ajaib, Penakluk Aneka Penyakit. PT. Agro
Media Pustaka, Jakarta.
Hesse M. 2002. Alkaloids Nature’s Curse or Blessing. Zurich (CH): J Wiley.
Hougton, P. J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for The Fractination of
Natural Extracts. Thomson Science, London.
Jawetz, E., J.L. Melnick, and E.A. Adelberg. 1989. Review of medical microbiology.
Lange Medical Publications. Los Altos. California.
Juliantina, F.R. 2008. Manfaat Sirih Merah (Piper Crocatum) Sebagai Agen Anti
Bakterial Terhadap Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif. JKKI-Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Indonesia. Vol.1(3):5-8.
Jones, W. P. and A. D. Kinghorn. 2006. Extraction of Plant Secondary Metabolites.
In: Sarker, S. D., Latif, Z. and Gray, A. I., eds. Natural Products Isolation.
2nd Ed. New Jersey: Humana Press. P.341-342
Karlina C.Y., Ibrahim M., Trimulyono G. 2013. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Herba
Krokot (Portulaca oleracea L.) terhadap Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Jurnal UNESA Lentera Bio. 2 (1) : 87–93.
Karsinah (et al). 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. EGC. Jakarta.
Kusmayati dan Agustini, N. W. R. 2007. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari
Mikroalga (Porphyridium cruentum). Biodiversity. 8, 1 : 48-53.
Lin, S. and Robert. 1994. Phytochemicals and Antioxidants. In : Functional
Foods. I. Goldberg. Chapman and Hall, London.
Marliana, S.D., Suryanti, V., & Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium
edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi, 3(1): 26-31.
Mardiana, S, dan Aminah, NS. 2009. Datura Metel Linnaeus sebagai Insektisida dan
Larvasida Botani serta Bahan Baku Obat Tradisional, Media Peneliti dan
Pengembangan Kesehatan, vol XIX.
Markham, KR, 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Institut Teknologi Bandung,
Bandung.
Mulyana. 2002. Ekstraksi Senyawa Aktif Alkaloid, Kuinon dan Saponin dari
Tumbuhan Kecubung sebagai Larvasida dan Insektisida Terhadap
Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Meloan CE. 1999. Chemical Separation. J Willey. New York:
Meskin, M. S.,W. R. Bidlack, A. J. Davies, S. T. Omaye. 2002. Phytochemicals in
Nutrition and Health. CRC Press, London New York.
Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.
Parker, and Tony C. B. 2000. Staphylococcus aureus. Di dalam Lund, B. M., Baird
Parker, T. C, dan G.W.Gould (eds.). 2000. The Microbiological Safety and
Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland.
Pratiwi, S. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Penerbit Airlangga. Hal.118-190. Jakarta.
Prescott, L. M., J. P. Harley and D. A. Klein. 2005. Mikrobiology. 6thEd. Mc Graw-
Hill New York.
Radji, dan Maksum. 2011. Buku Ajar Mikrobiologi: Panduan Mahasiswa Farmasi &
Kedokteran. EGC. Jakarta.
Rani Karina Puspasari, F.M. Titin Supriyanti, Hayat Sholihin. 2014. Studi Aktivitas
Antibakteri dari Ekstrak Daun Sukun (Artocarpus Altilis) Terhadap
27

Pertumbuhan Bakteri Psettdomonas Aeruginosa. Jurnal Sains dan


Teknologi Kimia. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Ragone, D. 1997. Breadfruit : Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg. Promoting the
conservation and used of underutilize and neglected crops. 10.
International Plant Genetic Resources Institute. Rome, Italy.
Rajendran, R. 1992. Arthocarpus altilis (Parkinson) Fosberg in PROSEA: Plant
Resources of South-East Asia 2. Edible fruits and nuts. pp 83-86.
Indonesia, Bogor.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. ITB. Bandung.
Sari, R. W. 2003. Pengaruh Pemberian Gerusan Daun Sirih Hitam, Gerusan
Daun Sirih Jawa dan Oksitetrasiklin Secara Topikal Terhadap Lama dan
Waktu Kesembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus Putih
(Skripsi). Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Santosanigsih D, dan Roekistiningsih. 2011. Efek ekstrak daun salam (Eugenia
polyantha) terhadap penghambatan pembentukan biofilm pada
staphylococcus aureus secara in vitro. Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya.
Shabella, R. 2012. Terapi Daun Sukun: Dahsatnya Khasiat Daun Sukun untuk
Menumpas Penyakit, Cable Book, Klaten.
Siemonsma, J.S and Pileuk, K. 1992. PROSEA : Plant Resource of South-East Asia 2,
Edible Fruits and.
Sembiring, B.S., C. Winarti dan B. Baringbing. 2003. Identifikasi komponen kimia
minyak daun salam (Eugenia polyantha) dari Sukabumi dan Bogor.
Buletin Tanaman Rempah dan Obat. XII (2) : 9-15
Suhardjo dan Clara M.K. 1992. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Kanisius. Yogyakarta.
Subchan YB., Wahju T dan Nanik S. 2012. Pengaruh ekstrak alga cokelat
(Sargassum sp.) terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli. Jurnal.
Fakultas perikanan dan kelautan - universitas airlangga, vol. 1(1), 53 – 60,
2012.
Svehla, G. 1990. Buku Teks Analisa Kuantitatif Anorganik. Edisi V. Kalman Media
Pustaka. Hal: 300-303. Jakarta.
Tina R, Rani M dan Soraya R.M. 2009. Penelusuran Senyawa Aktif Ekstrak Daun
Sukun (Artocarpus altilis) Terhadap Staphylococcus aureus, Microsporum
gypseum dan Candida albicans. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing
Tahun Ke-1. Departemen Pendidikan Nasional UnPad Fakultas Farmasi.
Bandung.
Tjay, T.H., Rahardja, K. (2002). Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
Efek Sampingnya. Edisi VI. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo. Halaman 540-541.
Zablotowicz, R. M., R. E. Hoagland, S. C. Wagner. 1996. Effect of Saponin on
The Growth and Activity of Rizophere Bacteria. CRC Press. USA.
28

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pembuatan Ekstrak Daun Sukun

Sampel daun sukun

Pelarutan simplisia daun sukun dengan pelarut etanol 70%


29

Proses sonikasi dan penyaringan hasil dari sonikasi

Proses evaporasi pelarut dan hasil evaporasi berupa ekstrak kental daun sukun
30

Lampiran 2. Kultur Bakteri Pada Media MSA


31

Lampiran 3. Pewarnaan Gram


32

Lampiran 4. Pengenceran Sampel Bakteri Dan Esktrak Daun Sukun

Pengenceran sampel bakteri dengan standar Mc Farlan 0,5

Pengenceran ekstrak dengan konsentrasi berbeda dan perendaman bland disk


33

Lampiran 5. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Sukun

Proses swab sampel bakteri pada media MHA

Proses penanaman bland disk pada media MHA yang telah


dikultur
34

Media yang telah di beri perlakuan kultur dan penanaman bland disk sebelum
diinkubasi

Proses inkubasi
Lampiran 6. Hasil Uji Aktivitas Ekstrak Daun
35

Sukun

UJI 1

UJI 2
36

UJI 3

UJI 4
37

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Muhammad Iqbal Djamil,


dilahirkan pada tanggal 16 Maret 1994 di Ujung Pandang,
Sulawesi Selatan. Anak kedua dari 5 bersaudara dari
ayahanda Muhammad Jamili dan ibunda Hajerah. Penulis
menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN Paccinang 1 Makassar
dan lulus pada tahun 2006, kemudian penulis melanjutkan
pendidikan di SMP Unismuh Makassar dan lulus pada tahun
2009. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN
19 Makassar dan lulus pada tahun 2012. Penulis kemudian
diterima di Universitas Hasanuddin sebagai mahasiswa
Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran pada tahun 2012. Selama
perkuliahan penulis aktif dalam organisasi internal kampus yaitu Himpunan
Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) FKUH sebagai Kepala Divisi
Pendidikan periode 2013-2014. Tugas akhir berupa skripsi dengan judul “Uji
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Sukun (Artocarpus altilis) Terhadap
Pertumbuhan Staphylococcus aureus Secara In Vitro” di bawah bimbingan Prof. Dr.
Drh. Lucia Muslimin, M.Sc. dan Abdul Wahid Jamaluddin, M.Si, Apt.

Anda mungkin juga menyukai