Anda di halaman 1dari 16

ANJANI DEVIANSYAH

201770150
CURRENT ISSUE PAJAK
SELASA, 13.00 TSM Bekasi

CHAPTER 9 : KONSEP PPN DENGAN E-FAKTUR

 UU PPN No. 42 Tahun 2009


Pajak pertambahan nilai. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang
dikenakan semua setiap pertambahan nilai dari barang atau dagang dalam
peredarannya dari produsen ke konsumen.
 Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen). Tarif PPN (Pajak
Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: Ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
 e-Faktur adalah aplikasi untuk membuat Faktur Pajak Elektronik atau bukti pungutan
PPN secara elektronik.
 Keunggulan e-Faktur

1.Penyampaian SPT dapat dilakukan lebih cepat dan lebih aman karena lampiran-
lampirannya dalam bentuk media CD/disket.
2.Data perpajakan yang dimiliki oleh setiap Wajib Pajak dapat terorganisir secara lebih
baik.
3.Sistem aplikasi e-SPT dapat mengorganisir data perpajakan perusahaan dengan baik
dan lebih sistematis.
4.Lebih mudah dalam membuat laporan pajak.
5.Data-data yang disampaikan oleh setiap Wajib Pajak akan selalu lengkap dan
sistematis karena penomoran formulir menggunakan sistem komputer.
 CARA PENERAPAN
1.Pengusaha Kena Pajak menutup kesepakatan penyerahan faktur, membuat Faktur Pajak , dan
melakukan pencatatan secara manual atau sistem
2.Pengusaha Kena Pajak melakukan input data ke e-faktur/bisa dengan melakukan impor data
dari excel
3.Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak ke Direktorat Jenderal Pajak secara online
4.Direktorat Jenderal Pajak memberi persetujuan/approval (kurang lebih 3 menit)
5.Pengusaha Kena Pajak membuat SPT PPN dalam aplikasi e-faktur
6.Pengusaha Kena Pajak melaporkan SPT PPN ke KPP atau lewat e-filling
7.KPP membuat tanda terima SPT masa PPN
8.Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengolahan data e-faktur untuk pelayanan dan
pengawasan
Chapter 10 : PPN DAN PPNBM

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang
yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau
mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Barang-barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM ialah:

 Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok


 Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
 Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
 Barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas social

Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, tarif pajak penjualan atas barang mewah
ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi sebesar 200% (dua ratus
persen). Jika pengusaha melakukan ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah maka
akan dikenai pajak dengan tarif sebesar 0% (nol persen).

aturan bagi pedagang dan penyedia jasa

Memberitahukan NPWP kepada pihak penyedia platform marketplace Apabila belum memiliki


NPWP, dapat memilih untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, atau
memberitahukan NIK kepada penyedia platform marketplace Dalam hal omzet tidak melebihi
Rp4,8 Miliar dalam 1 tahun, melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Dalam hal omzet melebihi Rp4,8 Miliar dalam 1 tahun, dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PKP), dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku PKP
Pedagang atau PKP Penyedia Jasa yang melakukan perdagangan BKP dan/ atau JKP wajib
memungut menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang sebesar 10% atau PPN dan PPnBM
PKP Pedagang dan PKP Penyedia Jasa wajib melaporkan dalam SPT Masa PPN setiap Masa Pajak
atas perdagangan BKP dan/atau JKP yang melalui penyedia platform marketplace

aturan bagi pedagang dan penyedia jasa

Memberitahukan NPWP kepada pihak penyedia platform marketplace Apabila belum memiliki


NPWP, dapat memilih untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, atau
memberitahukan NIK kepada penyedia platform marketplace Dalam hal omzet tidak melebihi
Rp4,8 Miliar dalam 1 tahun, melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Dalam hal omzet melebihi Rp4,8 Miliar dalam 1 tahun, dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PKP), dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku PKP
Pedagang atau PKP Penyedia Jasa yang melakukan perdagangan BKP dan/ atau JKP wajib
memungut menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang sebesar 10% atau PPN dan PPnBM
PKP Pedagang dan PKP Penyedia Jasa wajib melaporkan dalam SPT Masa PPN setiap Masa Pajak
atas perdagangan BKP dan/atau JKP yang melalui penyedia platform marketplace

Alur Barang Kiriman Dari Luar Negeri 

1. Pembeli melakukan transaksi e-commerce dengan pembayaran meliputi harga barang


dan ongkos kirim.
2. Barang diantar dari jasa pengiriman di luar negeri ke dalam negeri
3. Setelah sampai negara tujuan, barang dibongkar dari sarana pengangkut untuk
dipindahkan ke gudang.
4. Di gudang, barang dibuka oleh petugas  perusahaan jasa pengiriman, lalu diperiksa oleh
petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dengan disaksikan
pihak perusahaan jasa pengiriman.
5. Barang dengan nilai kurang atau sama dengan USD75 per orang per hari, akan dikemas
dan diantar langsung ke alamat penerima. Barang dengan nilai lebih dari USD75, harus
melunasi kewajiban pembayaran bea masuk dan pajak impor, sebelum diterima oleh
pembeli.

Pembayaran Bea Masuk dan Pajak Impor

1. Pengiriman melalui perusahaan jasa pengiriman:

Pembayaran dilakukan melalui perusahaan jasa pengiriman sebelum barang dikeluarkan dari
bandara. Perusahaan jasa kiriman berkoordinasi dengan konsumen, untuk mengetahui apakah
pembeli memiliki NPWP atau tidak untuk perhitungan pajaknya. Lalu, perusahaan jasa kiriman
menalangi terlebih dulu kewajiban pembayaran bea masuk dan pajak impor dengan melakukan
transfer uang ke kas negara. Selanjutnya, perusahaan pengiriman akan menagih ke pembeli
sebelum barang diantar.

1. Pengiriman melalui Pos Indonesia:

Barang langsung dikeluarkan dari bandara ke kantor pos. Kantor pos akan mengirimkan
pemberitahuan ke alamat penerima bahwa barang sudah tiba, beserta tagihan yang harus
dibayarkan. Pembeli/penerima diminta melunasi kewajibannya di kantor Pos terdekat. Setelah
dibayar, barulah barang tersebut dapat diambil.
Penggunaan Kalkulator Bea Cukai
Sebelum membeli barang di luar negeri melalui e-commerce, ada baiknya mengetahui terlebih
dulu rincian perhitungan bea masuk dan pajak impor yang harus dibayar. Pihak Bea Cukai telah
meluncurkan aplikasi kalkulator penghitungan bernama CEISA Mobile (Bea Cukai) yang dapat
diunduh dan digunakan di telepon selular.
Cara Menggunakan Kalkulator CEISA? (Bea Cukai):

 Buka aplikasi CEISA dan pilih menu Duty Calculator.


 Pilih jenis impor kategori Barang Kiriman
 Pilih jenis barang
 Pilih valuta: sesuaikan dengan jenis kurs harga barang saat dibeli
 Isilah Free On Board (FOB), Biaya Kirim (Freight), dan Asuransi.
 Isi pertanyaan punya NPWP? Tidak memiliki NPWP dikenai PPh (20%), Ada NPWP (10%)
 Klik Count, maka perhitungan bea masuk dan pajak impornya otomatis muncul.

Simulai Penghitungan Bea Masuk dan Pajak Impor


Misal Nilai impornya (nilai barang dan ongkos kirim): Rp5.000.000, maka bea masuk dan pajak
yang harus dibayarkan adalah:

 Bea Masuk 7,5% = 7,5% x Rp5.000.000 = 375.000


 PPN 10% = 10% x (Rp5.000.000 + Rp375.000) = Rp537.500
 PPh Pasal 22

Memiliki NPWP: 10% x (Rp5.000.000 + Rp375.000) = Rp537.500


Tanpa NPWP: 20% x (Rp5.000.000 + Rp375.000) = Rp1.075.000
Total pajak yang harus dibayar:
Memiliki NPWP: Rp375.000 + Rp 537.500 + Rp537.500 = Rp1.450.000
Tanpa NPWP: Rp375.000 + Rp 537.500 + Rp1.075.000 = Rp1.987.500
CHAPTER 11 : PPH PASAL 25
Kebijakan Mengenai Tarif PPh Pasal 25

Secara garis besar, penentuan tarif PPh Pasal 25 dibagi menjadi tiga kriteria.

1. Wajib Pajak kategori Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)

Wajib Pajak OPPT adalah siapa saja yang menjalankan usaha penjualan barang (grosir ataupun
eceran) dan usaha jasa dengan satu tempat usaha atau lebih. Bagi OPPT, akan dikenakan PPh
Pasal 25 sebesar 0,75% x omzet bulanan pada tiap-tiap tempat usaha.

2. Wajib Pajak kategori Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT)

Wajib Pajak OPSPT adalah karyawan atau pekerja bebas yang tidak memiliki usaha sendiri. Bagi
yang masuk dalam kategori OPSPT, akan dikenakan Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif
PPh pada UU PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a.

Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah sebagai berikut.

 Rp50 juta = 5%
 Rp50 juta – Rp250 juta = 15%
 Rp250 juta – Rp500 juta = 25%
 Rp500 juta = 30%

3. Wajib Pajak Badan

Untuk WP Badan, tarif yang dikenakan adalah PKP x 25% Tarif Pasal 17 ayat (1) UU PPh seperti
yang dijelaskan di atas dan Pasal 31 E UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Bank

Berdasarkan Pasal 3 PMK 215/2018, dasar untuk penghitungan angsuran PPh


Pasal 25 bagi wajib pajak bank adalah laporan keuangan yang disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terdiri dari laporan posisi
keuangan dan laporan laba rugi sejak awal tahun pajak sampai dengan masa
pajak yang dilaporkan.
Dengan kata lain, laporan keuangan yang digunakan untuk menghitung PPh
Pasal 25 akan mengikuti periode pelaporan laporan keuangan bank kepada
OJK. Wajib pajak bank diwajibkan untuk melaporkan laporan keuangan setiap
bulan kepada OJK.

Adapun, dalam PMK 215/2018 ini digunakan kalimat ‘sampai dengan masa


pajak yang dilaporkan’, sehingga dasar perhitungan bersifat kumulatif.
Misalnya, dalam menghitung PPh Pasal 25 untuk masa pajak Juli 2019, maka
laporan keuangan yang digunakan adalah laporan keuangan periode Januari
sampai dengan Juli 2019 dan begitu seterusnya.
Angsuran PPh Pasal 25 bagi wajib pajak bank dihitung berdasarkan
penerapan tarif Pasal 17 Undang-Undang No.36 Tahun 2008 jo. Undang-
Undang No. 7 Tahun 1993 (UU PPh) atas penghasilan neto berdasarkan
laporan keuangan yang disampaikan ke OJK, dikurangi dengan:

 PPh yang dipotong dan/atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22


UU PPh sejak awal tahun pajak sampai dengan masa pajak yang dilaporkan;
dan
 PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh yang seharusnya dibayar
sejak awal tahun pajak sampai dengan masa pajak sebelum masa pajak yang
dilaporkan.
Untuk menghitung penghasilan neto dalam rangka penghitungan PPh Pasal
25, bank dapat memperhitungkan kompensasi kerugian tetapi tidak boleh
memperhitungkan:

 penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak; dan
 penghasilan dan biaya sebagai pengurang penghasilan neto yang dikenai PPh
yang bersifat final dan/atau bukan objek PPh.
Lembaga Keuangan Non-Bank dan Perusahaan Masuk Bursa

PMK 215/2018 menggunakan istilah wajib pajak lainnya untuk merujuk pada lembaga keuangan
non bank. Wajib pajak lainnya tersebut mencakup wajib pajak yang melaksanakan kegiatan di
sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penghitungan PPh Pasal 25 untuk lembaga keuangan non-bank dan perusahaan masuk bursa
dipersamakan. Dasar penghitunganya adalah laporan keuangan yang disampaikan setiap 3bulan
kepada bursa dan/atau OJK yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi
sejak awal tahun pajak sampai dengan periode yang dilaporkan.

Sama seperti bank, PPh Pasal 25 untuk dua kategori wajib pajak ini juga dihitung berdasarkan
penerapan tarif Pasal 17 UU PPh atas penghasilan neto berdasarkan laporan keuangan,
dikurangi dengan:

PPh yang dipotong dan/atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 UU
PPh sejak awal tahun pajak sampai dengan masa pajak periode yang dilaporkan; dan

PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh yang seharusnya dibayar sejak awal tahun
pajak sampai dengan masa pajak periode yang dilaporkan.

Untuk menghitung penghasilan neto dalam rangka penghitungan PPh Pasal 25, Lembaga
keuangan non-bank dan perusahaan masuk bursa dapat memperhitungkan kompensasi
kerugian tetapi tidak boleh memperhitungkan:

penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak; dan

penghasilan dan biaya sebagai pengurang penghasilan neto yang dikenai PPh yang bersifat final
dan/atau bukan objek PPh.

Angsuran PPh Pasal 25 yang dihitung di atas merupakan angsuran PPh Pasal 25


untuk 3 masa pajak setelah periode yang dilaporkan.
BUMN & BUMD

Dalam PMK 215/2018, perhitungan PPh Pasal 25 BUMN dan BUMD selain bank, perusahaan masuk
bursa, dan wajib pajak lainnya, dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh atas
penghasilan neto berdasarkan ‘Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan Tahun Pajak’ yang
bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),dikurangi dengan:

pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23, serta

PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu.

Lalu, jumlah tersebut dibagi 12 bulan. Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan harus disampaikan ke
KPP terdaftar pada bulan Januari, atau sebelum batas waktu pembayaran PPh Pasal 25 Masa Pajak
pertama tahun pajak berjalan. Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan belum dilaporkan
atau belum disahkan, maka besarnya PPh Pasal 25 berdasarkan PPh Pasal 25 masa pajak sebelumnya.*
CHAPTER 12 : PAJAK ATAS IMBALAN
Perlakuan Pajak atas Imbalan Tertentu Menurut SE-24/2018

Pengertian Penjual dan Pembeli

SE-24 mendefinisikan penjual sebagai pihak yang menjual produknya kepada pembeli termasuk
produsen, distributor, dan agen. Sementara itu, pembeli didefinisikan sebagai pihak yang
membeli produk dari penjual untuk dijual kembali, termasuk distributor, agen, atau retailer.

Adanya pengertian atau pendefinisian ini, menyebabkan berlakunya SE-24 bersifat terbatas,
yaitu hanya atas pembeli yang bertujuan menjual kembali produk yang dibeli. Artinya,
ketentuan dalam SE-24 tidak berlaku bagi konsumen akhir.

Kondisi Tertentu yang terjadi dalam Transaksi Jual Beli

SE-24 mencoba melingkupi berbagai kondisi yang mungkin terjadi dalam transaksi jual beli.
Caranya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kondisi tertentu sebagai keadaan atau
peristiwa yang dapat mengakibatkan adanya pemberian imbalan dari penjual kepada pembeli
sehubungan dengan transaksi jual beli berdasarkan perikatan tertulis dan/atau tidak tertulis.
Kondisi tertentu dimaksud antara lain:

 Pencapaian syarat tertentu;


 Penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu; atau
 Penerimaan kompensasi yang diterima sehubungan dengan transaksi jual beli.

Berikut perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima terkait dengan masing-masing kondisi
di atas.

Imbalan atas Pencapaian Syarat Tertentu dan Perlakuan Perpajakannya

Berdasarkan perikatan jual beli, penjual dapat mencantumkan syarat tertentu kepada pembeli
dalam rangka menjaga hubungan dalam kegiatan usaha serta memelihara atau meningkatkan
penjualan. Penjual biasanya memberikan imbalan kepada pembeli atas tercapainya syarat
tertentu. Pencapaian syarat tertentu dapat berupa:

 pembelian oleh pembeli mencapai jumlah tertentu;


 penjualan oleh pembeli mencapai jumlah tertentu; dan/atau
 pelunasan oleh pembeli sesuai jangka waktu tertentu.
Imbalan yang diterima oleh pembeli atas tercapainya syarat tertentu sebagaimana disebut di
atas dapat berupa uang, barang, dan/atau pengurang kewajiban. SE-24 mendefinisikan imbalan
seperti itu sebagai penghargaan. SE-24 juga menyatakan bahwa termasuk dalam pengertian
penghargaan adalah bonus yang diberikan penjual kepada pembeli sehubungan pencapaian
syarat tertentu.

Selain penghargaan, SE-24 juga mendefinisikan imbalan yang diterima atas pencapaian syarat
tertentu sebagai jasa manajemen. Namun, terdapat dua syarat yang harus terpenuhi agar
imbalan ini dianggap sebagai imbalan atas jasa manajemen.

Pertama, dalam  perikatan berupa kontrak kerja sama dicantumkan adanya aktivitas
jasa. Kedua, terdapat pengakuan penghasilan atas jasa atau penagihan atas penyerahan jasa.
Tanpa terpenuhinya kedua syarat tersebut, imbalan yang diberikan kepada pembeli tidak dapat
dinyatakan sebagai imbalan atas jasa manajemen, melainkan tetap sebagai penghargaan.

Berikut perlakuan perpajakan atas imbalan berupa penghargaan dan jasa manajemen
berdasarkan SE-24.
CHAPTER 13 : E-BUKPOT PPH
Aplikasi e-Bupot adalah aplikasi resmi yang dirancang dan disediakan oleh DJP untuk
membuat bukti pemotongan dan pelaporan pajak, seperti SPT Masa PPh Pasal 23/26 dalam
bentuk dokumen elektronik.

Syarat Wajib Pajak Menggunakan e-Bupot


Teruntuk wajib pajak badan, ada beberapa syarat yang perlu Anda perhatikan untuk
menggunakan aplikasi e-Bupot ini.

1. Wajib pajak melakukan pemotongan PPh Pasal 23/26 lebih dari 20 bukti pemotongan
dalam satu masa pajak.
2. Wajib pajak menerbitkan bukti pemotongan dengan jumlah penghasilan bruto lebih dari
Rp100 juta.
3. Wajib pajak sudah pernah menyampaikan SPT masa elektronik yang terdaftar di KPP
4. Wajib pajak badan terdaftar di KPP dan memiliki e-FIN. Jika ingin menyampaikan SPT
Masa PPh 23/26, wajib pajak harus memiliki sertifikat elektronik.
Tata Cara Penerbitan Bukti Pemotongan
Ini tata cara penerbitan bukti pemotongan yang wajib Anda ketahui:

1. Standarisasi penomoran dengan penomoran bukti pemotongan diberikan secara


berurutan, dibuat dan dihasilkan oleh sistem, nomor tidak berubah jika ada pembetulan,
serta nomor tidak tersentralisasi.
2. Mencantumkan NPWP/NIK.
3. Mencantumkan nomor dan tanggal SKB.
4. Mencantumkan nomor dan tanggal SKB.
5. Mencantumkan tanggal pengesahan COR/SKD.
6. Menandatangi bukti potong.
7. 1 Bukti potong untuk 1 WP, 1 kode pajak dan 1 masa pajak.
Jenis Bukti Pemotongan
Ada tiga jenis bukti pemotongan, di antaranya:

1. Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Bukti Pemotongan PPh Pasal 26, selanjutnya
disebut Bukti Pemotongan, adalah formulir atau dokumen lain yang dipersamakan yang
digunakan oleh Pemotong Pajak sebagai bukti pemotongan PPh Pasal 23/26 dan
pertanggungjawaban atas pemotongan pajak penghasilan tersebut yang dilakukan. 
2. Bukti Pemotongan Pembetulan adalah bukti pemotongan yang dibuat untuk
membetulkan kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan yang telah dibuat
sebelumnya.
3. Bukti Pemotongan Pembatalan adalah bukti pemotongan yang dibuat untuk
membatalkan bukti pemotongan yang telah dibuat sebelumnya karena adanya
pembatalan transaksi.
Cara Membuat Bukti Pemotongan melalui Aplikasi e-Bupot
Lalu, bagaimana cara membuat bukti pemotongan dengan menggunakan aplikasi e-Bupot?

1. Jika Anda sudah memenuhi syarat wajib pajak badan untuk menggunakan aplikasi e-
Bupot, dapat langsung membuka situs djponline.pajak.go.id dan log in menggunakan
NPWP serta kata sandi Anda.
2. Klik fitur “e-Bupot” yang terdapat pada pojok kanan atas. Anda akan menemukan laman
“Dashboard” yang menampilkan “Daftar SPT yang Telah Dikirim” dan “Daftar Bukti
Potong”.
3. Klik menu “Bukti Pemotongan”, Anda akan menemukan pilihan “Pasal 23” dan “Pasal
26”. Pilih salah satu menu untuk membuat bukti potong PPh pasal 23 dan/atau PPh
pasal 26 yang Anda butuhkan.
4. Klik salah satu menu “Pasal 23” atau “Pasal 26”, lalu klik menu “Input BP 23/26” untuk
membuat bukti potong.
5. Selanjutnya, fitur e-Bupot akan menampilkan menu “Perekaman Bukti Potong Pasal 23”.
Anda dapat mengisi kolom kosong sesuai identitas asli yang dibutuhkan. Jika sudah
selesai, klik “Simpan”.
6. Bukti pemotongan tersebut akan tersimpan dalam sistem dan Anda dapat melihatnya di
laman “Dashboard“.
7. Jika ingin merekam bukti potong pajak dalam jumlah banyak, dapat memilih menu
“Impor Excel” dalam pilihan “Bukti Pemotongan”.
8. Anda dapat mengunggah data bukti potong dengan format yang telah ditentukan oleh
DJP. Lalu, klik “Simpan”.
9. Jika ingin mencetak bukti potong, pilih menu “Daftar BP 23” atau “Daftar BP 26” sesuai
PPh Pasal yang dibutuhkan.
10. Klik “Lihat” pada bukti potong yang ingin Anda cetak. Klik “Print” jika ingin mencetak
atau klik “Download” untuk mengunduh dan menyimpannya di komputer Anda.

Ketentuan Pembetulan Bukti Potong

 Pembetulan dapat dilakukan atas setiap bagian Bukti Pemotongan, kecuali nomor Bukti
Pemotongan.
 Nomor yang dicantumkan pada Bukti Pemotongan Pembetulan adalah sama dengan
nomor pada Bukti Pemotongan sebelum dibetulkan.
 Pemotong pajak harus mengisi tanggal sesuai tanggal diterbitkannya Bukti Pemotongan
pembetulan.
 Pemotong pajak harus melampirkan Bukti Pemotongan yang dibetulkan dengan Bukti
Pemotongan Pembetulan dan selanjutnya dilampirkan pada SPT Pembetulan.
Ketentuan Pembatalan Bukti Potong

 Pembatalan Bukti Pemotongan dapat dilakukan dalam hal transaksi yang terutang PPh
Pasal 23 atau ternyata dibatalkan.
 Nomor yang dicantumkan dalam bukti pemotongan pembatalan adalah sama dengan
nomor pada bukti pemotongan sebelum dibatalkan.
 Pemotong pajak harus mengisi kolom “jumlah penghasilan bruto” dan kolom “PPh yang
dipotong” dengan nilai 0 (nol). Selain kedua kolom tersebut, kolom diisi dengan data
sebagaimana terdapat pada bukti pemotongan yang dibatalkan.
 Pemotong pajak harus mengisi tanggal sesuai dengan tanggal diterbitkannya bukti
pemotongan pembatalan.
 Pemotong pajak harus melampirkan Bukti Pemotongan yang dibatalkan dengan Bukti
Pemotongan Pembatalan untuk selanjutnya dilampirkan dalam SPT Pembetulan, apabila SPT
Pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan dokumen kertas (hard copy).
CHAPTER 14 : NATURA
Pengertian Penerimaan Atau Penghasilan Dalam Bentuk Natura adalah :
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang tetapi
dalam bentuk barang. 

Contoh Imbalan Dalam Bentuk Natura kepada karyawan oleh Wajib Pajak Pemberi Kerja
antara lain :
 Pemberian Beras .
 Pemberian Gula.
 Pemberian Kopi dan Teh.
 Pemberian Pakaian Seragam.
 Pemberian Makanan dan Minuman.
 Sirup.
 Minyak Goreng.
Pengertian Penerimaan Atau Penghasilan Dalam Kenikmatan adalah : 
Penggantian atau imbalan dalam bentuk kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang atau
setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan, atau karyawati dan atau
keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja.

Contoh Imbalan Dalam Bentuk Kenikmatan kepada karyawan oleh Wajib Pajak Pemberi Kerja
antara lain ::
 Penggunaan mobil.
 Penggunaan rumah.
 Fasilitas pengobatan di Perusahaan.
 Perawatan Kesehatan di rumah sakit bagi Karyawan. 
Seorang pegawai, karyawan, atau karyawati mendapatkan perawatan kesehatan dari suatu
rumah sakit, dan rumah sakit tersebut menerima pembayaran langsung dari pemberi kerja,
maka balas jasa yang diterima pegawai, karyawan, atau karyawati tersebut merupakan
kenikmatan yang bukan obyek Pajak Penghasilan. 
Balas jasa tersebut tidak diterima atau diperoleh dalam bentuk uang tunai oleh pegawai,
karyawan atau karyawati, melainkan diterima dalam bentuk kenikmatan. Pembayaran uang
tunai tidak pernah diterima atau diperoleh oleh pegawai, karyawan, atau karyawati.
Oleh karena pembayaran yang dilakukan oleh pemberi kerja walaupun dalam bentuk tunai,
tetapi dilakukan kepada pihak ketiga sebagai pembayaran atas pemberian pelayanan kesehatan
kepada pegawai, karyawan atau karyawati, maka diterima pegawai, karyawan atau karyawati
dalam bentuk kenikmatan sehingga pembayaran kepada rumah sakit tersebut tidak merupakan
beban yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dalam menghitung
penghasilan netto pemberi kerja tersebut,

Contoh Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Atas Penerimaan Dalam Bentuk Natura
Dan Kenikmatan Yang Diberikan Oleh Wajib Pajak Yang Pengenaan Pajak Penghasilannya
Bersifat Final Atau Berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (Deemed Profit)

Satu contoh menghitung Pajak Penghasilan pasal 21 (PPh 21) atas Penerimaan Dalam
Bentuk Natura Dan Kenikmatan Yang Diberikan Oleh Wajib Pajak Yang Pengenaan Pajak
Penghasilannya Bersifat Final Atau Berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (Deemed Profit)
yang dapat diberikan.

Jupri adalah warga negara RI yang bekerja pada suatu perwakilan dagang asing yang pengenaan
pajaknya menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit). Pada bulan Agustus 20xx,
Jupri memperoleh gaji sebesar Rp7.500.000,00 sebulan beserta beras 50 kg dan gula 10 kg.
Jupri berstatus menikah dengan 1 orang anak. Nilai uang dari beras dan gula dihitung
berdasarkan harga pasar yaitu : Harga beras Rp 10.000,00 per kg. Harga gula Rp 8.000,00 per
kg. PPh 21 Jupri dapat dihitung seperti dalam pembahasan penghitungan PPh Pasal 21 berikut.
Gaji sebulan Rp 7.500.000,00
Beras : 50 x Rp 10.000,00 Rp    500.000,00
Gula : 10 x Rp 8.000,00 Rp      80.000,00(+)
Penghasilan bruto sebulan Rp 8.080.000,00

Pengurang
Biaya Jabatan5% x Rp8.080.000,00 Rp    404.000,00(-)

Penghasilan neto sebulan Rp 7.676.000,00

Penghasilan neto setahun  12 x Rp92.112.000,00


Rp7.676.000,00

PTKP (K1)*
- untuk WP sendiri Rp54.000.000,00
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000,00
- tambahan untuk 1 orang anak Rp 4.500.000,00(+)
Rp63.000.000,00*(-)  *PMK no.101 th 2016
Penghasilan Kena Pajak Rp29.112.000,00

PPh Pasal 21 setahun adalah 5% x Rp29.112.000,00 = Rp 1.455.600,00


PPh Pasal 21 bulan Agustus : Rp338.100,00 : 12 = Rp 121.300,00

Anda mungkin juga menyukai