Anda di halaman 1dari 17

Culture Shock Mahasiswa Baru (Studi Kasus Mahasiswa Prodi S1 PPKn Universitas

Negeri Surabaya yang berasal dari Luar Daerah Surabaya)

Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah


Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Kelompok :
Suci Rismawati 17040254004
Viochita Nvyanda R. 17040264010
Dining Hanifah C.K 17040254016
Dwiana Rizky A 17040254040
Yureta Restu C 17040254041

Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Maret 2020
Abstrak :
Dapat kita ketahui bahwasannya kota Surabaya banyak sekali para pendatang dari berbagai daerah
lainnya, baik daerah-daerah yang ada di Jawa Timur maupun luar provinsi Jawa Timur. Para
pendatang ini ada yang sudah berdomisili atau menetap (settlers) terutama mereka yang umumnya
mengadu nasib dengan mencari sumber penghidupan atau bekerja, dan ada pula yang tidak menetap
(sojourners), yang salah satu alasannya adalah untuk melanjutkan pendidikan di kota Surabaya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock yang dialami mahasiswa prodi S1 PPKn
Universitas Negeri Surabaya yang berasal dari daerah luar Surabaya. Penyebab internal culture shock
yang dialami mahasiswa prodi S1 PPKn yang berasal dari luar Surabaya adalah individu kekurangan
informasi tentang budaya kota Surabaya. Sedangkan , penyebab eksternalnya antara lain pola, jenis ,
rasa , porsi makanan, pergaulan , adat istiadat , pendidikan , agama , pergaulan dan Bahasa.

Abstract :
We can know that the city of Surabaya a lot of migrants from various other regions, both regions in
East Java and outside the province of East Java. These migrants have settled or settled (settlers),
especially those who generally try their luck by looking for a source of livelihood or work, and some
are not settled (sojourners), one of the reasons is to continue their education in the city of Surabaya.
This study aims to determine the culture shock experienced by students of the PPKn S1 State
University of Surabaya who come from areas outside of Surabaya. The cause of internal culture
shock experienced by PPKn S1 study program students who came from outside Surabaya is that
individuals lack information about the culture of Surabaya. Meanwhile, external causes include
patterns, types, flavors, food portions, relationships, customs, education, religion, association and
language.
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di kota-kota besar seperti Surabaya, pertemuan
dan interaksi dengan orang dari daerah lain yang berbeda budaya tidak dapat terhindarkan
lagi. Seperti halnya perbedaan antar daerah tersebut khusus dapat ditemukan dalam bahasa,
struktur ekonomi, struktur sosial, agama, norma-norma, gaya interaksi dan pemikiran, serta
sejarah lokal. Kota Surabaya merupakan kota paling besar di Jawa Timur yang memiliki
penduduk yang sangat padat dan tentunya dengan memiliki ke khas an tersendiri. Surabaya
sendiri memiliki budaya yang sangat terkenal yaitu budaya Arek. Dapat kita ketahui
bahwasannya kota Surabaya banyak sekali para pendatang dari berbagai daerah lainnya, baik
daerah-daerah yang ada di Jawa Timur maupun luar provinsi Jawa Timur. Para pendatang ini
ada yang sudah berdomisili atau menetap (settlers) terutama mereka yang umumnya
mengadu nasib dengan mencari sumber penghidupan atau bekerja, dan ada pula yang tidak
menetap (sojourners), yang salah satu alasannya adalah untuk melanjutkan pendidikan di
kota Surabaya.
Di era globalisasi seperti saat ini, pendidikan menjadi sangatlah penting, baik untuk
mengembangkan potensi dalam diri maupun untuk mencapai impian masa depan. Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yangdiperlukan dirinya dan masyarakat . Pendidikan merupakan unsur penting
untuk melahirkan penerus bangsa yang berkualitas. Pendidikan diperlukan agar individu
dapat mengikuti perkembangan teknologi dan arus globalisasi yang berdampak pada ketatnya
persaingan antar individu. Untuk dapat bersaing, individu harus memiliki kompetensi, baik
yang bersifat teoretis maupun keterampilan dengan menyelesaikan jenjang pendidikan
tertentu.
Banyak daerah yang bisa dijadikan pilihan untuk melanjutkan pendidikan. Salah
satunya adalah kota Surabaya yang merupakan ibukota propinsi Jawa Timur, karena selain
terdapat banyak pilihan perguruan tinggi, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta yang
menawarkan banyak pilihan program studi, Surabaya juga terkenal dengan kualitas perguruan
tinggi yang baik, dan sudah terkenal di seluruh Indonesia. Pembangunan dan perkembangan
dunia pendidikan di Surabaya juga lebih pesat bila dibandingkan daerah lainnya di Jawa
Timur sehingga menciptakan kualitas pendidikan yang tinggi pula. Semua ini menjadi salah
satu faktor yang menarik minat masyarakat dari luar Jawa Timur untuk menempuh
pendidikan di kota Surabaya.
Memasuki dunia perguruan tinggi membuat mahasiswa semester satu di Universitas
Negeri Surabaya memiliki kesempatan untuk menggali gaya hidup dan nilai-nilai yang
berbeda dan menjalani kehidupan yang lebih mandiri. Dalam perkuliahan, mahasiswa akan
menghadapi sistem akademik yang berbeda dibandingkan saat SMA. Mereka juga dituntut
untuk lebih mandiri dalam mencari materi-materi pelajaran yang digunakan saat kuliah.
Selain itu, mereka memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain dari berbagai
daerah, dan dengan demikian juga memungkinkan mereka untuk mempelajari berbagai
macam budaya. Bagi mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Surabaya, perbedaan
tidak hanya seputar masalah akademik saja. Mahasiswa-mahasiswa ini juga dihadapkan pada
kenyataan bahwa banyak hal atau kebiasaan-kebiasaan baru yang mungkin tidak familiar dan
tidak ditemukan di daerah asalnya. Saat menjalin komunikasi dengan teman-teman yang
baru, mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Surabaya ini lebih menggunakan bahasa
Indonesia sebab kadang terdapat bahasa yang tidak di mengerti mahasiswa asli Surabaya.
Sebenarnya pada dasarnya memang menggunakan bahasa Jawa, akan tetapi Surabaya ini
menggunakan kata yang agak sedikit kasar dan hal tersebut seperti menjadikan mahasiswa
luar Surabaya merasa risih, sehingga untuk awal-awal perkenalan biasanya lebih memilih
menggunakan bahasa indonesia.
Selain itu, mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Surabaya juga tidak lagi
tinggal dengan orangtuanya dan bergaul dengan teman-teman lamanya seperti saat masih
berada di daerah asal, melainkan harus tinggal di lingkungan tempat tinggal yang baru,
bersama dengan orang-orang yang baru, baik masyarakat setempat ataupun mahasiswa dari
daerah lain. Mereka harus mandiri dalam melakukan segala sesuatu, tidak lagi bisa
mengandalkan keluarga atau teman-teman dekat saat mengerjakan tugas-tugas kuliahnya
ataupun mengurus keperluan lain, sehingga mau tidak mau mereka harus berinteraksi baik
dengan mahasiswa asli Surabaya.
Surabaya yang padat, lalu lintasnya yang macet, serta jalur transportasi yang tidak
familiar juga menjadi salah satu keadaan yang menuntut penyesuaian dari mahasiswa
semester satu yang berasal dari luar Surabaya. Jika di daerah asal mereka bisa mengandalkan
keluarga dan teman-teman untuk mengantarkan dan menemani mereka bepergian, maka di
Surabaya mereka harus mencari tahu sendiri rute perjalanan ke tempat-tempat perbelanjaan
atau fasilitas umum lainnya dan juga harus siap bepergian seorang diri jika tidak ada yang
mengantarkan. Beberapa hal di atas hanyalah sedikit contoh dari banyaknya perbedaan yang
mungkin akan dihadapi oleh mahasiswa semester satu yang berasal dari luar Surabaya.
Perbedaan tersebut dapat menciptakan perasaan dan situasi yang menyenangkan, tetapi juga
dapat menjadi tekanan yang pada akhirnya akan memunculkan perasaan kurang nyaman.
Ketidaknyamanan ini disebut sebagai culture shock, yaitu keadaan negatif yang
berhubungan dengan aksi yang dideritaoleh individu yang secara tiba-tiba harus berpindah ke
suatu lingkungan yang baru yang berbeda dengan lingkungannya selama ini . Pada umumnya,
culture shock dialami oleh pendatang pada kurun waktu 6 bulan sampai 1 tahun pertama
kedatangannya, dan dapat memunculkan reaksi fisik maupun psikis. Culture shock bisa
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain makanan, tipe pakaian, tingkat ekonomi, tipe
perilaku, bahasa, kesempatan untuk melakukan kontak sosial, sikap terhadap agama yang
dianut, standar kehidupan yang umum, topik-topik percakapan, dan jumlah orang yang
dikenal di lingkungan yang baru.
Berdasarkan survey awal yang disertai wawancara dengan 10 orang mahasiswa
semester satu di Universitas Negeri Surabaya yang berasal dari luar Surabaya, sebanyak 30%
mahasiswa mengatakan bahwa saat perkuliahan dimulai dan mulai menjalani kehidupan di
kampus, mulai merasa kurang nyaman berada di lingkungan yang seolah menuntut mereka
untuk dapat menghadapi segala sesuatu tanpa bergantung pada orang lain, sementara di
daerah asalnya, mereka terbiasa mendapatkan dukungan dan pertolongan dari teman-teman
dekat dan keluarga dalam mengerjakan tugas, mencari materi-materi pelajaran, atau bahkan
hanya sekedar mengantarkan atau menemani mereka ke tempat tujuan. Selain itu, lingkungan
tempat tinggal yang tidak familiar membuat mereka merasa kesepian dan tidak bersemangat,
karena di daerah asalnya mereka terbiasa bercengkrama dengan para tetangga atau warga
sekitar saat ada waktu senggang.
Mahasiswa pendatang ini lebih shock atau gegar budaya terhadap budaya-budaya
yang ada di Surabaya. Mahasiswa yang dulunya di daerahnya terbiasa hidup dengan budaya
kalem maka di Surabaya harus terbiasa dengan bahasa arek yang keras dan kasar. Mahasiswa
yang dulunya terbiasa hidup sederhana namun di Surabaya dihadapkan dengan bannyaknya
mall-mall dan tempat-tempat hits. Tidak jarang mahasiswa luar kota Surabaya yang awalnya
hidup biasa namun setelah hidup di Surabaya menjadi hedon dan konsumtif. Akan tetapi juga
banyak mahasiswa yang mengalami shock culture terhadap apa yang mereka temui di
Surabaya, mereka mengalami ketidaknyamanan ataupun ketidakamanan dengan budaya-
budaya baru, namun juga tidak sedikit yang bisa berinteraksi dengan baik.
Berdasarkan fenomena-fenomena ini, dapat dilihat bahwa perbedaan yang dihadapi
oleh mahasiswa semester satu dari luar Surabaya saat berpindah ke Surabaya dapat
memunculkan ketidaknyamanan yang berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya, sehingga
peneliti melihat adanya masalah yang muncul saat mahasiswa semester satu dari luar
Surabaya harus memasuki lingkungan masyarakat Surabaya. Oleh karena itulah peneliti
tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang derajat culture shock yang dialami mahasiswa
semester satu yang berasal dari luar Surabaya yang kuliah di Universitas Negeri Surabaya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Culture Shock yang terjadi pada mahasiswa baru yang berasal dari
luar daerah Surabaya pada Prodi S1 PPKn Universitas Negeri Surabaya ?

C. TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui bagaimana culture shock yang terjadi pada mahasiswa baru
yang berasal dari luar daerah Surabaya pada Prodi S1 PPKn Universitas Negeri
Surabaya serta untuk memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai prosentase
masing-masing derajat culture shock serta komponen, aspek, dan indikator culture
shock yang paling dominan.

D. MANFAAT PENULISAN
a. Manfaat Teoritis
1) Untuk memperluas wawasan Psikologi Lintas-Budaya di Indonesia khususnya di
Surabaya dengan menyediakan informasi mengenai culture shock dan faktor-faktor
lain yang mungkin berkaitan dengan culture shock pada mahasiswa semester satu
yang berasal dari luar Surabaya di Universitas Negeri Surabaya
2) Memberikan informasi bagi peneliti lain yang memerlukan bahan acuan untuk
penelitian lebih lanjut mengenai culture shock pada mahasiswa semester satu yang
berasal dari luar Surabaya di Universitas Negeri Surabaya

b. Manfaat Praktis
1) Memberi masukan kepada Universitas Negeri Surabaya mengenai culture shock
yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat program
orientasi yang bermanfaat bagi mahasiswa untuk lebih mengenal dan menyesuaikan
diri dengan lingkungan masyarakat Surabaya.
2) Memberikan informasi kepada mahasiswa semester satu yang berasal dari luar
Surabaya di Universitas Negeri Surabaya mengenai derajat culture shock yang
dialami dengan harapan mereka dapat mempersiapkan diri saat menghadapi
lingkungan yang baru serta menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. CULTURE SHOCK
Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut gegar budaya, adalah istilah
untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang dalam menghadapi kondisi
lingkungan sosial budaya yang berbeda. Kalervo Oberg mendefinisikan culture shock
sebagai penyakit kecemasan yang diderita oleh individu dalam usaha menyesuaikan diri
terhadap lingkungan baru yang berbeda dengan budaya asal, dipicu oleh kecemasan yang
timbul akibat hilangnya tanda dan simbol hubungan sosial yang selama ini familiar dalam
diri individu, seperti keterampilan berkomunikasi, pengalaman dalam setting lintas
budaya, kemampuan bersosialisasi dan ciri karakter individu (toleransi atau kemandirian
berada jauh dari keluarga sebagai orang-orang penting dalam hidupnya yang berperan
dalam sistem dukungan dan pengawasan) benar berpengaruh pada besar-kecil terjadinya
penyebab culture shock pada diri individu. Sedangkan menurut (Hutapea, 2014) Culture
shock adalah keadaan yang dapat menyebabkan kebingungan terhadap lingkungan
dengan budaya yang baru sehingga dapat memicu timbulnya emosi negative.
Rasa frustasi, stres, rindu akan rumah, kecemasan berlebih, merasa kesepian dan
lain sebagainya itu merupakan gejala – gejala akibat perbedaan nilai dan norma yang
tidak bisa diterapkan di daerah perantau tersebut, hal ini yang dinamakan dengan culture
shock atau gegar budaya (Samovar, 2010).

B. KONSEP KE IPS AN
Konsep Antropologi dalam Konteks Lokal, Nasional, dan Global

Pada hakikatnya, perkembangan aspek kehidupan apa pun yang mengarus mulai
dari tingkat lokal sampai tingkat global, dasarnya terletak pada budaya dengan
kebudayaan yang menjadi milik otentik umat manusia. Makhluk hidup, selain manusia,
tidak mungkin dapat mengubah tatanan kehidupannya sampai mengglobal.
Di sinilah letak keunikan umat manusia dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya.
Cobalah Anda amati dan hayati perkembangan serta kemajuan yang ada di sekitar Anda.
Bangunan dari gubuk, rumah darurat, rumah permanen sampai gedung bertingkat
pencakar langit. Jalan, mulai jalan setapak, jalan desa, jalan kebupaten, jalan propinsi,
sampai jalan tol yang dilengkapi dengan jembatan layang. Kendaraan, mulai dari yang
didorong/ditarik oleh manusia, ditarik oleh hewan, kendaraan bermotor sampai
kendaraan ruang angkasa. Pakaian, mulai dari kulit kayu, kulit binatang, kapas, wool
sampai serat sintesis. Alat tulis menulis, mulai dari hanya menggunakan arang, bulu
angsa, pensil, pena, ballpoin, computer, faksimil sampai ke internet. Semua itu tidak lain
adalah hasil pengembangan akal pikiran manusia atau hasil pengembangan budaya
sebagai perkembangan kebudayaan.
Dengan memperhatikan dan menyimak apa yang telah diilustrasikan berkenaan
dengan perkembangan aspek-aspek kehidupan manusia yang juga aspek-aspek
kebudayaannya, kita telah melihat perspektif kebudayaan, menganalisis perkembangan
kebudayaan dari masa yang lalu, hari ini, dan kecenderungannya di masa yang akan
datang. Salah satunya yang terus berkembang, baik perkembangan, penerapan, serta
pemanfaatannya adalah Iptek.

Hanya saja di sini wajib kita sadari bahwa Iptek itu produk akal pikiran manusia,
sehingga jangan terjadi manusia seolah-olah dikendalikan Iptek, justru sebaliknya
manusialah yang mengendalikan Iptek. Dengan pengembangan dan peningkatan daya
pikir yang aktif dan kritis, kita menghindarkan diri dari ketergantungan terhadap Iptek
yang hakikatnya adalah produk budaya, yang seharusnya kita manusia mengendalikan.
Di sinilah uniknya budaya dan di sini pula perspektif antropologi. Pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari interaksi sosial yang dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat
bersangkutan. Suasana kondusif terselenggaranya pendidikan sangat ditentukan oleh
ketenteraman, jaminan peraturan, kepemimpinan, dan pemerintahan yang stabil (politik),
sehingga terdapat serta tumbuh ketenangan hati dan kesadaran dalam diri anggota
masyarakat tadi (psikologi). Hal tersebut merupakan contoh dan ilustrasi yang dapat
Anda dan kita semua hayati dalam diri masing-masing serta dalam kenyataan hidup di
masyarakat dari waktu ke waktu. Dalam kehidupan umat manusia yang makin terbuka,
persilangan kebudayaan, bukan hanya merupakan tantangan, melainkan sudah menjadi
kebutuhan. Mengapa demikian? Kenyataannya, negara-negara di dunia termasuk di
dalamnya Indonesia secara sengaja melakukan pertunjukan kesenian keliling dunia,
pertukaran pelajar antar negara, belum lagi pertemuan internasional berbagai pakar dari
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam suasana yang demikian, manusia yang
menjadi dutanya berinteraksi, sedangkan aspek budaya yang dibawa dan dibawakannya
bercampur baur. Dalam kondisi yang demikian, disadari atau tidak, terjadi persilangan
unsur-unsur kebudayaan. Demikinalah proses globalisasi budaya yang secara sengaja
dilakukan oleh kelompok-kelompok manusia, dan bahkan oleh negara-negara di dunia
ini. Namun satu hal, seperti telah dikemukakan terdahulu, kewaspadaan terhadap dampak
negatif harus menjadi kepedulian kita semua. Ditinjau dari konteks budaya dan
antropologi, hal itulah yang wajib menjadi pegangan kita bersama.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ANALISIS SEBAB
Culture Shock biasa dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa baru yang baru datang
ke tempat perantauan. Culture shock disebabkan oleh beberapa hal . menurut Furnham
dan Bochnr (1970) pada Hendrastomo , Hidayah dan Devinta (2015) culture shock
terjadi biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut ini :
1) Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian
dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagianbagian tubuh (gestures),
ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada
seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
2) Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari yang
mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas
dari gangguan ini.
3) Krisis identitas dengan pergi keluar daerahnya seseorang akan kembali
mengevaluasi gambaran tentang dirinya .
Beberapa daerah yang menjadi pilihan bagi pelajar dari berbagai daerah di
Indonesia untuk meneruskan studi ke tingkat pendidikan perguruan tinggi yaitu kota
Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Semarang, Solo, Malang dan Surabaya.
Daerah-daerah tersebut dikenal memiliki sarana dan prasarana perkuliahan lengkap,
didukung dengan tempat yang kondusif dalam proses belajar mengajar dan mampu
menghasilkan daya saing prestasi tinggi antar universitas.
Mahasiswa perantauan sendiri peneliti menyimpulkan sebagai yaitu seorang
mahasiswa yang berasal dari lingkungan yang secara budaya berbeda dengan daerah
tempat rantauan. Mereka datang dengan tujuan berkuliah, menetap dalam kurun waktu
tertentu/untuk jangka waktu lama atau tidak yang biasanya dengan maksud kembali
pulang dan dengan satu hal yang menjadi motivasi utama yaitu untuk menyelesaikan
studinya di perguruan tinggi yang terdapat di lingkungan barunya tersebut.
Sebagai makhluk sosial mereka dituntut untuk mampu menyesuaikan diri
terhadap lingkungan sekitarnya yang baru. Dalam lingkungan yang baru tersebut akan
memungkinkan terdapatnya tuntutan-tuntutan untuk dapat mampu memahami budaya
yang berlaku, dan respon yang mereka berikan tidak selalu dapat langsung
menunjukkan hasil yang dikehendaki dikarenakan adanya perbedaan bahasa, adat-
istiadat, tata cara dalam berhubungan atau berkomunikasi, yang kesemuanya
memerlukan proses dalam mempelajari suatu hal baru yang kemudian akan dipahami
dan diterapkan oleh individu perantau dalam kehidupan sehari-harinya ditempat
rantauan. Hal inilah yang menimbulkan gegar budaya bagi mahasiswa perantau,
menghasilkan sejumlah reaksi yang berpotensi mengakibatkan masalah yang
mengganggu pada diri Individu perantau. Paling tidak gegar budaya dapat
menyebabkan perasaan tidak nyaman, lelah hingga putus asa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan mahasiswa perantau di Kota
Surabaya maka peneliti menemukan penyebab culture shock serta gejala dan reaksi
pada mahasiswa perantauan yaitu :
a) Penyebab Internal
Dari hasil wawancara yang diperoleh menunjukkan bahwa pengaruh
intra personal individu seperti keterampilan berkomunikasi , pengalaman
dalam setting lintas budaya , kemampuan bersosialisasi dan ciri karakter
individu berpengaruh pada besar-kecilnya penyebab culture shock pada
seorang individu.
Peneliti menyimpulkan bahwa pada umumnya individu yang belum
pernah melakuka pergaulan lintas budaya (bergaul dengan orang yang tidak
berasal dari satu daerah dengannya) , serta kurangnya informasi tentang
lingkungan , rentan mengalami gegar budaya. Hal ini disebabkan karena
individu belum cukup siap mempersiapkan strategi untuk menyiapkan dirinya
menjalani hari dengan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda.
b) Penyebab eksternal
Gegar budaya terjadi lebih cepat jika budaya tersebut semakin
berbeda, hal ini meliputi perbedaan sosial, budaya, adat istiadat, agama, iklim,
rasa makanan, bahasa, gerak tubuh/ ekspresi tubuh hingga mimik wajah, cara
berpakaian/ gaya hidup, teknologi, pendidikan, aturan-aturan dan norma social
dalam masyarakat serta perbedaan perilaku warga tuan rumah.
(1) Pola , Jenis , rasa dan porsi makan
Salah satu perbedaan terbesar antara pendatang dengan tuan rumah
yang biasanya menjadi masalah bagi individu pendatang itu ialah
makanan. Pola, jenis, rasa dan porsi makan seseorang sangat berkaitan
erat dengan kultur dimana ia tinggal dan telah melekat pada diri individu.
Oleh karenanya, ketika individu berada di daerah tuan rumah dengan pola,
jenis, rasa dan porsi makan yang berbeda, ia akan mengalami kekagetan
dan frustasi yang mengarah pada terjadinya culture shock. Penyebab
eksternal pembentuk culture shock yang peneliti dapatkan dan terbesar
karena rata-rata semua informan paling dominan mengeluhkan
ketidaknyamanan berupa perbedaan rasa masakan yang dirasakan oleh
mahasiswa perantauan asal luar pulau jawa.
(2) Bahasa
Bahasa daerah merupakan cerminan dari budaya yang beradab.
Individu mengalami kekagetan dengan Bahasa. Kekagetan ini merupakan
salah satu penghambat yang cukup besar ketika menetap ditempat yang
baru. Tidak mengerti suatu Bahasa atau tidak menguasainya merupakan
hal yang wajar yang menyebabkan timbulnya culture shock.
(3) Adat Istiadat
Merujuk pada tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh
masyarakat di setiap daerah yang notebene memiliki ciri khas kebudayaan
yang berbeda satu sama lain. Adanya suatu tuntutan bagi individu
perantau untuk mampu beradaptasi dengan adat istiadat di daerahnya yang
baru sebagai bentuk menghargai di lingkungan tuan rumah dan cara agar
mampu untuk membaur. Namun sayangnya, beradaptasi dengan adat
istiadat yang baru bukanlah hal yang mudah bagi seorang pendatang,
maka individu cenderung mengalami kekagetan budaya terutama dalam
hal adat istiadat tersebut.
(4) Pendidikan
Seiring berjalannya waktu bertambahnya jaman, perkembangan
pendidikan pun semakin melaju pesat. Perkembangan pendidikan yang
semakin mutakhir ini menyebabkan masyarakat harus selalu ingin
berusaha untuk mengikuti perkembangan pendidikan agar mampu
bersaing di dunia global. Pendidikan juga merupakan hal penting dalam
mempengaruhi timbulnya masalah culture shock atau gegar budaya.
Individu perantau merasa gelisah, cemas atau bahkan takut tidak bisa
mengikuti perkembangan pendidikan di tempat tinggal barunya sehingga
individu cenderung merasakan kurang percaya diri. Individu perantau
disini dituntut untuk berpikir keras bagaimana caranya untuk dapat
mengikuti perkembangan pendidikan serta mampu mengaplikasikannya
dikehidupannya.
(5) Agama
Agama dianggap sebagai salah satu penghambat individu dalam
usahanya menyesuaikan di tempat tinggal yang baru, namun dengan
kadar yang sangatlah kecil. Individu mengalami ketakutan tersendiri
terhadap agama yang menjadi perbedaan yang sangat rentan dan tidak
bisa disatukan dengan mudahnya.
(6) Pergaulan
Ketakutan ini menjadikan individu merasa canggung dalam
menghadapi situasi yang baru, tempat tinggal yang baru dan suasana
yang baru. Akibat ketidak pahaman mengenai pergaulan ini, individu
juga akan merasa terasing dengan orang-orang disekelilingnya yang
dirasa baru baginya. Pada keadaan seperti ini berpotensi timbulnya
suatu pandangan yang mengarahkan individu untuk cenderung memilih
berinteraksi menurut kelompok dengan identitas kebudayaan yang
sama sebagai solusi yang paling tepat bagi individu perantau untuk
menghindari dari perbedaan adat istiadat, kebiasaan, tingkah laku yang
umumnya terjadi dimasyarakat di lingkungan yang baru. Dengan cara
tersebut individu perantau berharap dapat lebih merasa nyaman yang
setidaknya sama seperti saat di kampung halamannya.

B. Solusi Mengatasi Masalah


Dengan beradaptasi atau meyesuaikan diri dengan budaya di Surabaya,
mahasiswa perantau akan dapat merasa nyaman tinggal di Surabaya dan permasalahan
culture shock yang terjadi terselesaikan. Sehingga untuk terjalinnya komunikasi yang
efektif dan lancar kita harus menerima serta menyesuaikan diri dengan budaya tempat
dimana seorang individu kini berada. Sikap menghargai dan menerima segala
keanekaan/ keheterogenan budaya yang ada akan mempermudah usaha dalam
beradaptasi dengan budaya yang baru. Hal ini akan memperlancar komunikasi yang
terjadi diantara individu pendatang dan individu tuan rumah menjadi lebih nyaman.
Ketika seorang individu mahasiswa perantau dengan latar belakang budaya
yang berbeda memasuki budaya Surabaya yang jelas berbeda dengan budaya asalnya
sama saja dengan menghadapkan individu tersebut dengan situasisituasi yang
berpotensi menimbulkan keterkejutan, ketidaknyamanan serta kecemasan temporer
tidak beralasan dalam diri individu yang berakibat pada terguncangnya konsep diri
dan identitas budaya. Kondisi ini dapat menyebabkan sebagian besar mahasiswa
perantauan semester awal mengalami gangguan mental dan fisik.
Bertemu dengan seseorang yang berasal dari kebudayaan lain baik secara
kebetulan atau disengaja secara langsung akan menghadapkan pada suatu kenyataan
perbedaan seperti bahasa, tingkah laku atau gerakan tubuh, ekspresi mimik wajah,
yang kesemuanya sangat berbeda dengan bahasa yang selama ini familiar untuk
didengar, tingkah laku atau gerakan tubuh serta ekspresi mimik wajah yang selama ini
dikenal atau dilakukan.
Adaptasi budaya akan berlangsung baik jika seorang perantau tersebut
memiliki kepekaan kultural. Kepekaan ini dapat diasah melalui kemauan untuk
berpikir dalam pola pikir mereka. Kepekaan budaya ini merupakan modal yang amat
besar dalam membangun toleransi, rasa pengertian yang akan tercipta antara perantau
dengan budaya masyarakat setempat. Singkatnya culture shock yang terjadi pada
setiap individu perantauan berbeda-beda mengenai sejauh mana culture shock
mempengaruhi hidupnya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Culture shock, merupakan keadaan negatif yang berhubungan dengan aksi yang
dideritaoleh individu yang secara tiba-tiba harus berpindah ke suatu lingkungan yang
baru yang berbeda dengan lingkungannya selama ini. Culture Shock sendiri
disebabkan oleh :
1) Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian
dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagianbagian tubuh (gestures),
ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada
seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
2) Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari yang
mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas
dari gangguan ini.
3) Krisis identitas dengan pergi keluar daerahnya seseorang akan kembali
mengevaluasi gambaran tentang dirinya .
Dari hasil yang peneliti kumpulkan menyatakan bahwa culture shock yang
dialami informan mahasiswa perantau ternyata tidak benar-benar menimbulkan rasa
putus asa permanen dalam menyelesaikan akademiknya. Berbagai rasa
ketidaknyamanan akibat perbedaan lingkungan sosial budaya yang dialami oleh
mahasiswa perantau di Surabaya akan terkikis dengan sendirinya oleh berjalannya
waktu.
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian , peneliti memberi saran bagi calon mahasiswa
perantau untuk mengatasi culture shock dengan baik sebagai berikut :
a) Sebaiknya mencari informasi dengan baik tentang daerah rantau sebelum
berangkat ke daerah rantau.
b) Tetap menjaga motivasi datang ke daerah rantau.
c) Mempersiapkan diri dengan baik tentang kondisi social budaya di daerah
perantauan
d) Harus memiliki kepekaan budaya yang bisa memudahkan individu untuk
menyesuaikan diri dengan budaya yang baru
e) Menghargai budaya yang ada di perantauan.

Anda mungkin juga menyukai