Anda di halaman 1dari 10

Nama : Sri Indarsih

Nim : 1882342018

Prodi : Pendidikan Sendratasik

Dosen Pengampuh : Dr. Nurlina Syahrir, M.Hum.

FILSFAT JOGED MATARAM

Tari klasik gaya Yogyakarta dijiwai oleh "Joged Mataram", suatu falsafah


sekaligus ilmu dalam menari. Jika tari gaya Yogyakarta adalah wujud dari teknik
lahiriah, maka "Joged Mataram" adalah jiwa yang menghidupinya.

Landasan sikap dan gerak dari "Joged Mataram" didasarkan pada


orientasi sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Empat prinsip dasar tersebut
dikenal sebagai kawruh Joged Mataraman yang selanjutnya menjadi sebuah
pendidikan rasa bagi para penari.

Filsafat joged Mataram adalah usaha untuk menjelaskannya sebagai dasar


kejiwaan dalam tari Jawa gaya Yogyakarta. Artinya aspek kualitatif filsafat joged
Mataram lebih banyak dipermasalahkan dalam kaitannya dengan aspek batiniah dari
tari gaya Yogyakarta. Sementara itu bagaimana penjabaran konsep dasar tersebut ke
dalam setiap perilaku menari (anjoged) dan menata tari (angripta joged) tampaknya
masih memerlukan penjelasan tersendiri. Sungguhpun antara menari dan menata tari
adalah dua hal yang berbeda, namun pada dasarnya kedua perilaku tersebut tidak bisa
untuk begitu saja dilepaskan dari kaitannya dengan filsafat joged Mataram sebagai
konsep dasar pemikiran dalam tari Jawa. Secara teknis, menari (anjoged) barangkali
lebih dipahami sebagai bentuk pelampiasan rasa penari di dalam merasakan
kegembiraan dan kenikmatan bergerak dengan penuh keterampilan. Sedangkan
menata tari (angripta joged) akan lebih dipahami sebagai bentuk upaya penata tari di
dalam menciptakan tari sebagai suatu karya seni.

Prinsip Dasar Filsafat Joged Mataram

Secara konsepsional, filsafat joged Mataram, ini tersusun dalam empat macam
prinsip dasar, yaitu:

1. Sawiji, yang berarti konsentrasi secara total (total concentration) akan tetapi
tanpa harus menimbulkan ketegangan atau kekacauan dalam jiwa (without
mental disorder).
2. Greged adalah dinamika atau semangat jiwa (inner dynamic), yang sering
Gbaratkan seperti api yang membara di dalam jiwa sescorang. tetapi greged
hartis dilakukan dengan suatu pengendalian diri untuk tidak mengarah pada
kekasaran (without being coarse).
3. Sengguh, yang berarti percaya diri (self-confidence), akan tetapi tanpa harus
mengarah pada kesombongan atau arogansi (without being arrogant).
4. Ora mingkuh, yang berarti memiliki kemauan keras, penuh tanggung jawab
dan pantang mundur (no-retreat) akan tetapi harus disertai dengan usaha untuk
membangun disiplin diri (self-disciplin).
Berdasarkan uraian di atas, maka minimal ada dua pengertian dasar yang
harus dipahami oleh setiap orang yang bermaksud mendalami filsafat joged Mataram.
Pertama, adalah pengertian bahwa masing-masing prinsip dasar tersebut pada
hakekatnya merupakan prinsip yang dibangun berdasarkan unsur-unsur yang bersifat
paradoks. Di satu sisi dikandung unsur "kebebasan" sementara di sisi yang lain
dikandung unsur "keterbatasan". Akan tetapi pada hakekatnya, keduanya berada pada
prinsip yang satu dan tunggal. Kedua, adalah pengertian bahwa keempat macam
prinsip dasar tersebut juga harus dipahami sebagai satu kesatuan tunggal yang tidak
terpisahkan satu sama lain. Prinsip sawiji tidak akan pernah bisa tercapai tanpa
didasari oleh ketiga prinsip yang lain. Demikian pula sebaliknya, masing-masing
prinsip tersebut juga tidak akan pernah bisa tercapai tanpa didasari oleh ketiga prinsip
yang lain. Demikian pula sebaliknya, masing-masing prinsip tersebut juga tidak akan
pernah bisa direalisasi tanpa keterlibatan dari masing-masing prinsip lain. Dengan
demikian filsafat joged Mataram hanya mungkin untuk dibangun berdasarkan pada
hubungan struktural dari masing-masing prinsip dasarnya. Secara khusus pengertian
masing-masing prinsip dasar tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut. Prinsip sawiji
adalah prinsip yang harus dibangun oleh seorang penari dengan suatu konsentrasi
total, terhadap tari dan peran yang dibawakannya. Bahkan boleh jadi akan mengarah
pada peleburan penuh antara diri si penari dengan tari dan peran yang sedang
dibawakannya. Dengan prinsip greged, seorang penari diharuskan untuk menyalurkan
(mengekspresikan) inner dynamic-nya berdasarkan pengembangan intensitas
perasaan ke dalam berbagai kemungkinan gerak tubuh dengan sekaligus disertai
usaha pengendalian diri (self-control) yang sempurna untuk menghindari over acting.
Prinsip sengguh mengandung pengertian bahwa seorang penari harus tampil dengan
penuh percaya diri pada kemampuannya, akan tetapi sejauh mungkin harus
menghindari sifat yang penuh kesombongan atau arogansi. Sedangkan prinsip ora
mingkuh mewajibkan para penari untuk melakukan kewajibannya dengan penuh
disiplin disertai dengan dedikasi dan loyalitas yang tinggi. Tanpa dedikasi dan
loyalitas yang tinggi tersebut niscaya tidak akan pernah bisa dicapai suatu
kemampuan menari yang baik. Semuanya itu menunjukkan bahwa pada dasarnya
seorang penari harus mampu tamyil menyatu dengan tari yang dibawakannya sebagai
sebuah fenomena yang lengkap. Menurut Pengeran Suryobrongto, manifestasi proses
kristalisasi joged Mataram tersebut ada dua macam, yaitu: self-control, yang artinya
penguasaan lahir dan batin, dan kepanjingan (ecstasy). Dalam hal ini self-control
menggambarkan adanya ungur keterbatasan, sedangkan ecstasy menggambarkan
adanya unsur kebebasan. Bebas tetapi terbatas adalah gambaran dari sifat paradoks
dalam filsafat joged Mataram. Ben Suharto, dalam diagram sastra wirasa munggeng
joged Mataram, menjelaskan tentang sifat paradoks tersebut sebagai suatu manifestasi
dari pergeseran tingkat kesadaran penari di dalam usahanya untuk mewujudkan
kesatuan harmonis antara simbol dan makna dalam tari. Oleh karena itu penjabaran
masing-masing prinsip dasar tersebut dalam perilaku menari harus diletakkan pada
kemampuan penguasaan penari terhadap prinsip keseimbangan antara ecstasy di satu
sisi dengan self control di sisi lain. Artinya agar menari (anjoged) tetap bisa tampil di
dalam tingkat kewajaran dari tari (joged) itu sendiri, maka di dalam diri penari unsur-
unsur pembentuk ecstasy atau kepanjingan (yaitu: fokus, dinamika, percaya diri, dan
pantang mundur) harus diletakkan secara seimbang (atau bahkan manunggal) dengan
unsur-unsur pembentuk self-control (yaitu: kondisi tanpa ketegangan jiwa, tanpa
kekasaran, tanpa kesombongan, dan penuh kedisiplinan).10 Dengan kata lain ecstasy
dan self-control secara simultan harus dikuasai oleh scorang penari pada saat ia
mclaksanakan kewajibannya. Tingkat kewajaran dari scorang penari ketika ia harus
membawakan peran ataupun ketika ia harus menarikan tarian tertentu, akan sangat
tergantung pada kernampuan dari penari tersebut di dalarn usahanya untuk
mennerjemahkan (menjabarkan) tingkat penguasaan ecstasy dan self-control selaras
dengan tuntutan watak dasar peran ataupun tari yang sedang dibawakannya. Di dalam
hal ini, maka penerapan sawij4 greged, sengguh, dan ora mingkuh akan hadir dalam
tingkatan yang berbeda-beda sesuai dengan peran atau tarinya. Barangkali sekelumit
contoh penjelasan tentang penerapan prinsip dasar greged akan bisa lebih
memberikan gambaran yang jelas. Penerapan prinsip greged dalam setiap perilaku
menari bisa diibaratkan dengan usaha manusia untuk senantiasa menunjukkan
semangat hidup di dalam dirinya. Semangat hidup ini akan menjadi jiwa dari setiap
langkahnya. Schingga semangat hidup, yang di dalam tari biasa disebut dengan istilah
greged, akan merupakan inti kemanusiaannya. Oleh karena itu pada setiap perilaku
menari greged ini dipakai untuk memahami ketepatan semangat dalam usaha
bagaimana seorang penari pada tingkat kesadaran yang penuh dapat mencapai titik
tengah pada suatu rentangan antara ecstasy dan self-control. Ketika prinsip ini harus
diterapkan oleh scorang penari, maka kesadaran terhadap penguasaan unsur
paradoksnya -- kcbebasan (ecstasy) dan keterbatasan (self-control) – harus diterapkan
selaras dengan watak dasar peran dan tari yang dibawakannya. Sebagai suatu misal
ketika scorang penari membawakan peran sebagai Prabu Rahwana, ia harus sadar
bahwa meskipun secara teknis pola dasar gerak tarinya ditetapkan memakai gerak
Kalang Kinantang gagah -- seperti haInya Prabu Baladewa -- akan tetapi karena
watak dasar peran Prabu Rahwana lebih didominasi olch watak raksasa yang penuh
nafsu angkara murka, maka kewajaran dalam penerapan greged-nya akan sangat
berbeda dengan kewaiaran penerapan greged untuk Prabu Baladewa. Sudah barang
tentu scorang penari yang memerankan Prabu Baladewa tetapi dengan greged
Rahwana tentu akan terasa over acting. Demikianlah ternyata bahwa karakter joged
(tari) ternyata tidak sepenuhnya mampu mencerminkan konsep karakter peran secara
utuh. Olch karena itu membayangkan penerapan greged untuk tad Bedhaya dan
Srimpi sama dengan tari Golek atau tari Gambyong adalah mustahil. Pada akhirnya
gambaran di atas akan menunjukkan bahwa di dalam menctapkan bagaimana
sescorang itu menari dengan baik atau sebaliknya, maka tolok ukur tidaklah harus
ditetapkan berdasarkan pada kemampuan penguasaan teknis dari tingkat kelembutan
seseorang di dalam menari. Artinya bila hal itu (tinght kelembutan) harus dipakai
sebagai tolok ukur, maka perlu untuk terlebih dahulu dipadukan dengan tingkat
kelembutan atau sebaliknya dari karakter yang dibawakan. Sementara itu, peneapaian
tingkat ecstasy (kepanjingan) hanya mungkin terjadi di dalam tingkat penguasaan
prinsip dasar sawiji, di mana kesadaran ditransformasikan ke dalam tingkat peleburan
secara penuh dengan tari dan peran yang dibawakannya. Akan tetapi agar tingkat
kepanjingan ini tidak mengarall pada trance (ndadi) seperti apa yang biasa dilakukan
oleh para penari Jathilan atau Kuda Kepang, maka jiwa-raganya secara penuh harus
tetap berada di bawah kontrol kesadarannya, karena konsentrasi tersebut tidak
mengarah pada ketegangan antara jasmani dan rohani.

Penari dan Koreografi

Pada dasarnya seorang penari ketika ia sedang melaksanakan kewajibannya haruslah


tidak terikat pada perasaan-perasaan yang aktual. la harus bebas dari setiap kesadaran
objektif yang aktual dan praktikal seperti halnya perbuatan sehari-hari. Maka
kewajiban seorang penari di sini bukanlah untuk mengekspresikan dirinya sendiri,
melainkan lebih dimaksudkan untuk mengkomunikasikan bentuk-bentuk perasaan
lewat penyajian simbolis. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada taraf
tertentu seorang penari mampu mencapai tingkat kepanjingan. Sungguhpun demikian,
seberapa besar kemampuan seorang penari di dalam penguasaan filsafat joget
Mataram tentu tidak akan mungkin untuk diukur hanya berdasarkan pada pemahaman
intelektualitasnya terhadap berbagai prinsip dasar filsafat joged Mataram tersebut.
Bagaimanapun juga kemampuan penguasaan penari terhadap keempat macam prinsip
dasar tersebut harus diukur secara teknis lewat kamampuan penguasaan
keseimbangan antara penguasaan wiraga (keterampilan gerak tari) - wirama (irama
gendhing, irama gerak, dan irama tari) dan wirasa (karakter joged dan karakter
peran). Tentulah mustahil untuk bisa menerapkan prinsip-prinsip sawiji, greged,
sengguh, dan ora mingkuh tanpa harus dituntut untuk memiliki kemampuan
penguasaan teknik gerak dan irama. Dengan demikian prinsip-prinsip dalam filsafat
joged Mataram dan prinsip-prinsip dasar gerak dan irama dalam tari haruslah saling
melengkapi satu sama lain dan merupakan simbiosa yang saling menguntungkan bagi
keberhasilan suatu penampilan tari. Secara khusus, dalam hubungannya dengan
konsep bentuk dan isi, sering dinyatakan bahwa tari gaya Yogyakarta merupakan
tekniknya (bentuk wadag) sedangkan filsafat joged Mataram adalah isi atau jiwanya.
Dari berbagai penjelasan di atas, bisa ditarik pengertian bahwa filsafat joged Mataram
memiliki suatu kontribusi yang besar bagi peningkatan kemampuan penari, baik
secara teknis maupun dalam kemampuan penghayatan tarinya. Dan barangkali suatu
hal yang menarik apabila dipertanyakan mengapa secara konsepsional (khususnya
bagi tari Jawa) perlu mendapatkan tekanan pada usaha pembentukan penari yang
baik? Kebutuhan sebuah tari adalah kebutuhan yang sangat kompleks. Kehadirannya
sering dirasa kurang lengkap apabila tidak ditunjang oleh berbagai kelengkapan lain.
Tetapi yang jelas tentu tidak akan mungkin untuk meniadakan unsur penunjang yang
paling pokok, yaitu penari. Tiada tari tanpa penari, itu jelas. Namun ternyata tidak
setiap penari mampu memenuhi setiap kebutuhan dan tuntutan tari. Artinya bahwa
tuntutan sebuah tari terhadap penari akan sangat tergantung dari kernampuan penari
di dalam memberikan daya dukung terhadap tingkat kesulitan suatu koreografi.
Kebutuhan daya dukung penari untuk koreografi beksan Lawung tentu sangat
berbeda dengan Wayang Wong. Secara struktural jalinan-jalinan gerak yang
terorganisasi dalam koreografi beksan Lawung akan tampak lebih rumit bila
dibandingkan dengan struktur koreografi Wayang Wong. Demikian pula di dalam
sistem jalinan komunikasi dan koordinasi antar penari. Secara teknis kerumitan di
dalam koreografi beksan Lawung perlu diantisipasi dengan usaha memenuhi
kebutuhan daya dukung penari yang berkualitas tinggi, baik dalam arti kemampuan
penguasaan teknik gerak dan irama, penguasaan prinsip-prinsip dasar filsafat joged
Mataram, maupun kemampuan di dalam menjalin kerjasama yang baik di atas pentas
serta kesamaan kualitas gaya dari masing-masing penarinya. Oleh karena itu, secara
teknis koreografis, seorang penari akan merasa lebih berat untuk mampu memenuhi
kebutuhan koreografi dalam beksan Lawung. Sementara itu, bagi koreografi Wayang
Wong, tuntutan secara teknis koreografisnya barangkali tidak akan sekompleks
koreografi beksan Lawung. Pada banyak adegan dalam Wayang Wong gaya
Yogyakarta (kecuali pada bagian enjeran dan perang) tidak terlalu jelas adanya
jalinan koordinatif yang memungkinkan seorang penari atau peran
mengkomunikasikan dirinya lewat gerak dengan penari lain atau peran lain, kecuali
lewat pengucapan atau dialog. Adegan kelompok di dalam koreografi Wayang Wong
tidak secara jelas menampilkan keterikatan kelompok yang menyatu dan dialektis.
Hal yang barangkali sulit untuk diterapkan di dalam beksan Lawung. Satu hal yang
tampaknya cukup sulit untuk bisa dilakukan olch para penari dalam penyajian
Wayang Wong adalah masalah penghayatan terhadap peran yang sedang
dibawakannya. Walaupun pola gerak dalam Wayang Wong pada umumnya tidak
begitu rumit, akan tetapi aspek penghayatan terhadap peran ternyata cukup berat dan
menuntut konsentrasi yang total. Bukan hanya keluluhannya (nyawiji) dengan
karakter peran, tetapi juga dituntut adanya sikap menari yang konsisten sesuai dengan
peran dan karakterisasi gerak (joged) sepanjang penyajian tari tersebut. Maka salah
satu keberhasilan penyajian Wayang Wong gaya Yogyakarta terletak pada
kemampuan para penarinya di dalam mengekspresikan karakter-karakter yang
diperankan, baik secara jiwani maupun dalam penghayatan bentuk geraknya.
Demikian telah dijelaskan, bahwa pada dasarnya tidak setiap koreografi memerlukan
dukungan penari yang betul-betul baik. Akan tetapi juga tidak setiap penari akan
mampu memenuhi kebutuhan (tuntutan) bagi setiap koreografi. Sungguhpun
demikian, ternyata hampir sebagian besar tarian istana (di Jawa) secara kualitatif
senantiasa memerlukan daya dukung penari-penari yang berkemampuan tinggi.

Filsafat Joged Mataram sebagai Paradigma

Rupa-rupanya filsafat joged Mataram telah dijadikan suatu paradigma bagi upaya
pencapaian kemampuan untuk menjadi penari yang berkualitas tinggi. Tentu saja
pencapaian kemampuan ini tidak begitu saja mudah untuk dilakukan tanpa upaya
yang sungguh-sungguh dan menempa diri di dalam laku yang berat, sebab tidak
mudah bagi scorang penari untuk mencapai tingkat penguasaan ecstasy dan self-
control. Akan tetapi yang barangkali perlu juga untuk direnungkan adalah apakah
filsafat joged Mataram tersebut hanya mampu untuk dipakai sebagai paradigma bagi
tari gaya Yogyakarta saja ataukah bisa diterapkan secara lebih universal. Barangkali
kalau direnungkan, akan bisa ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya konsepsi
semacam filsafat joged Mataram ini bukanlah merupakan konsepsi yang secara
spesifik menjadi milik tari gaya Yogyakarta saja. Konsepsi ini adalah konsepsi yang
bersifat universal, yang bisa berlaku pada hampir semua bentuk tari. Di dalam suatu
penyajian tari, setiap penari harus sentiasa dituntut untuk meluluhkan diri ke dalam
peran dan tari yang sedang dibawakannya. la harus berada dalam keadaan
kepanjingan pada saat menyajikan tarinya. Setiap penari yang baik harus berupaya
diri untuk menguasai sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh. Kemampuan
penguasaan teknis gerak tari dan kemampuan penghayatan (penjiwaan tari) harus
terpadu menjadi suatu kesatuan yang terintegrasi ke dalarn diri si penari. Di sini
intensitas penampilan seorang penari akan Semakin tampak di dalam jalinan
keselarasan antara presentasi teknis dan penjiwaan. Dalam situasi dan kondisi
semacam ini, penari akan masuk dalam suasana yang serba indah, untuk
melampiaskan rasa dan kenikmatan bergerak dengan penuh keterampilan.
Demikianlah, secara formal penari dan penata tari sama-sama harus memikul
tanggung jawab buat keberhasilan suatu karya tari. Seorang penari, harus pula
meningkatkan disiplin teknik tarinya untuk memungkinkan tubuh melakukan
berbagai kemungkinan gerak tanpa kesukaran. Sementara penata tari hendaknya
memandang tari bukan sekedar sebagai akumulasi berbagai macam gerak, melainkan
perlu pula memperhatikan kaidah-kaidah estetis suatu bentuk tari, yang antara lain --
menurut Elizabeth R. Hayes -- meliputi aspek: unity, variety, repetition, contrast,
transition, sequence, climacs, proportion, balance, dan harmony. Dan untuk lebih
menjamin keutuhan kualitas garapan, maka kebutuhan akan penari harus betul-betul
dipertimbangkan dalam keselarasan atau keseirnbangannya dengan tingkat kesulitan
koreografinya. Sebagai suatu kesimpulan, bisa dinyatakan bahwa secara teknis joged
Mataram adalah konsepsi yang sesungguhnya kita butuhkan. Setidak-tidaknya
sebagai paradigma untuk meningkatkan kemampuan penjiwaan tari yang baik. Tetapi
untuk mewujudkan cita-cita tersebut, masih banyak dibutuhkan upaya yang lebih
serius lagi, antara lain adalah kebutuhan akan penjabaran yang lebih rinci dan lebih
sisternatis dari konsepsi tersebut, terutama untuk menghindari kerancuan dalam
menafsirkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Sampai saat ini, hal
tersebut merupakan salah satu kekurangan yang cukup tampak dalam setiap
penjelasan mengenai joged Mataram. Situasi dan kondisi kehidupan tari saat ini,
semakin menuntut tampilnya penari-penari yang berkualitas tinggi untuk mampu
memberikan keseimbangan dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan tuntutan
pengembangan koreografi. Untuk itu, semakin dirasakan kebutuhan akan lahirnya
konsep-konsep untuk membentuk penari yang baik. Dan seharusnya, joged Mataram
mempunyai banyak kemungkinan untuk hisa dikembangkan ke arah itu.

Anda mungkin juga menyukai