Anda di halaman 1dari 20

Nama : Sangaji Nurfauzi Kinarso

NIM : 16/400262/TK/45276

1. Justifikasi Penggunaan Siklus Bahan Bakar Thorium


1.1. Kelimpahan Thorium Di Alam

Thorium terdistribusi pada kerak bumi dengan konsentrasi 10 ppm, terdapat dalam mineral

fosfat, silikat, karbonat, dan oksida. Dibanding uranium, thorium memiliki kelimpahan 3-4 kali lebih

besar, dan sejauh ini belum dieksploitasi untuk keperluan komersial.

1.2 Karakteristik Neutronik 233Th dan 233U yang Lebih Baik

232 238
Pada reaktor termal, Th merupakan material fertil yang lebih baik dibanding U, karena

memiliki tampang lintang absorpsi yang lebih besar (7.4 b) dibanding 238U (2.7 b), konversinya menjadi

bahan bakar fisil 233U jauh lebih efisien dibanding 238U menjadi 239Pu.

Sebagai bahan fisil, 233U memiliki rasio produksi neutron per absorpsi neutron (dituliskan sebagai

η) yang lebih besar dibanding 235U dan 239Pu dalam spektrum neutron termal. Sehingga siklus bahan

bakar 232Th-233U lebih tidak sensitif terhadap perubahan jenis reaktor, termal maupun cepat. Tampang

lintangg tangkapan 233U (46 b) jauh lebih kecil dibanding 235U (101 b) dan 239Pu (271 b) untuk reaktor

233 235
termal. Tampang lintang fisi U (525 b) tidak jauh berbeda dengan U (577 b). Karena memiliki

tampang lintang tangkapan yang rendah, probabilitas serapan non-fisil pun akan rendah, mengurangi

terbentuknya isotop lebih tinggi (234U, 236


U, dan 240
Pu) dengan tampang lintang serapan lebih tinggi

pula. Hal ini akan memudahkan daur ulang 233U dibanding plutonium jika dilihat dari sisi reaktivitas.

1.3 Stabilitas Kimia yang Baik dari ThO2

Thorium dioksida secara kimia lebih stabil dan memiliki ketahanan radiasi yang lebi hbaik

dibanding uranium dioksida. Produk fisi yang dilepaskan dari bahan bakar berbasis ThO2 memiliki

jumlah yang lebih rendah dibanding UO2. ThO2 relatif inert dan tidak mudah teroksidasi dibanding UO2

yang dapat teroksidasi menjadi U3O8 dan UO3.


1.4 Lebih Aman dari Poliferasi

Thorium memiliki ketahan poliferasi intrinsik yang baik, karena adanya pembentukan 232U terjadi

232 233 233


melalui reaksi (n,2n) dengan Th, Pa, dan U. 232U hanya memiliki waktu paruh sebesar 73.6

tahun, dan radionuklida anak memiliki waktu paruh yang sangat singkat, dengan beberapa

diantaranya seperti 212Bi dan 208Tl memancarkan radiasi gamma berenergi tinggi : 0.7-1.8 MeV dan 2.6

MeV. Oleh karenanya 232U dapat digunakan sebagai lapisan pencegah poliferasi, dimana akan dibentuk

HEU maupun Plutonium weapon grade (W-Pu) untuk tujuan non-damai.

Selain itu, reaktor cepat dengan siklus bahan bakar berbasis thorium juga dapat mengurangi

keberadaan W-Pu dan Pu biasa. W-Pu maupun Pu biasa dapat “dibakar” pada reaktor cepat dengan

memanfaatkan siklus sekali jalan (Th-Pu)O2, yang merupakan opsi lebih baik dibanding (U,Pu)O2.

Dalam matriks bahan bakar thorium, plutonium tidak dibiakkan, tetapi akan habis “terbakar”.

2. Skenario Penggunaan
2.1.. Siklus Terbuka
Siklus Terbuka relatif lebih sederhana dan memiliki kompleksitas proses yang lebih rendah karena

233
tidak melibatkan reprocessing dan fabrikasi ulang dari bahan bakar U bekas yang memiliki

radiotoksisitas tinggi. Contoh dari penggunaan thorium sekali pakai adalah konsep LWR Radkwosy

yang juga dapat diterapkan pada konsep reaktor WWER-T(Thorium). Dalam konsep tersebut, setiap

FA dibuat memiliki komponen “seed” berbahan fisil (U, Pu dengan pengkayaan menengah) pada

bagian pusat, dan thorium sebagai komponen “blanket/selimut” di sekitarnya. Komponen “seed” ini

yang akan lebih sering diganti dibanding FA dalam refueling. Dengan tambahan optimasi moderator

dan rasio bahan bakar, dapat dimungkinankan sistem dengan efisiensi hingga ~40% dari daya yang

dibangkitkan fisi 233U. Konsep siklus terbuka seperti ini, menarik dari sisi pemanfaatan 233
U ‘in situ’,

dan dapat menghindari penanganan 233U ‘kotor di luar teras.

Keuntungan lain dari silus terbuka thorium ini adalah kemungkinan “pembakaran” WPu maupun

Pu buasa yang dikoombinasikan dnegan thorium dalam LWR seperti WWER-1000, dimana 238Pu akan
239
terbakar dan tidak membiakkan Pu. Untuk ini, dapat digunakan bagan bakar mixed thorium-

pluotnium oxide, dengan kandugan PuO2 ~5%. Dengan ketidaaan uranium, laju ‘pembakaran’ Pu

menajdi lebih cepat dibanding dengan MOX. Bahan bakar bekas akan memiliki kandungan WPu yang

232
lebih rendah, dan keberadaan U (sebagai hasil reaksi (n,2n) denagn 232Th) yang memiliki anak

pemancar gamma kuat akan memberikan ketahanan terhadap poliferasi. Dengan penysunan bahan

bakar yang tepat, LWR dengan bahan bakar mixed pultonium and thorium oxide memiliki karakterisik

keselamatan yang lebih baik dibanding dengan uranium oksida diperkaya, diamna fluks neutorn pada

bejana reaktor dapat diperkecil. Bahan bakar mixed plutonium and thorium oxide bekas dari WWER,

233
apabila dikehendaki, masih dapat dimanfaatkan kembali suatu saat nanti, ketika teknologi U

menjadi lebih murah. Bahan bakar ini, juga dapat dimanfaatkan dengan kandungan PuO2 lebih tinggi,

yaitu 20-30% pada LMFBR, dan 70-80% pada LMFBR dengan teras kecil seperti FTBR.

2.2. Siklus Tertutup


Terdapat dua opsi daur ulang bahan bakar :

-Penggunaan bahan bakar (232Th-232U)O2

-Penggunaan bahan bakar (Depleted U-233U)O2 atau (U hasil reprocessing WWER-233U)O2

232 233
Pada opsi pertama akan terjadi build-up/penumpukkan U dalam siklus U yang berulang.

Sementara, itu pada opsi dengan penggunaan uranium jasil reprocessing akan mengakibatkan

penggunaan uranium ‘kotor’

Dalam opsi dengan depleted uranium, dimungkinkan peralihan yang mulus menuju siklus

thorium, dengan modifikasi minimum dalam desain reaktor dan teknologi penanganan bahan bajar

bekas. Namun , penggunaan depleted/reprocessed uranium sebagai kombinasi dengan 233U bukanlah

235 239
merupakan siklus thorium murni ,karena adanya penggunaan U dan build-up dari Pu dari

konversi 238U.

232
Hasil kalkulasi menunjukkan bahwa dimgunkinkansiklus thorium dengan Th-233U dengan

breeding ratio ≥1.0 dalam LMFBR BN-800. Sementara itu pada jenis reactor lain, dalam al ini HTGR dan
HWR, hasil perhotungan menunjukkan kemungkinan breeding ratio mendekati 1.0, namun tidak

sampai melampauinya.

Di India, telah dilakukan pengembangan siklus thorium tiga tingkat, seperti ditunjukkan pada

gambar. Dalam hal ini siklus tertutup dari PHWR, MFBR, dan dan siklus mandiri 232Th-233U pada reactor

termal maju salin gdihubungkan. Pada ketiga tingkatan, ThO2 ditambhakan. Pada tingkat pertama,

pada PHWR, ThO2 digunakan sebagai pin bahan bakar blanket yang digunaknan untuk menurunkan

fleks neutron pada teras. Kemudain akan diddapati 233U pada blanket dengan kandungan ~500 PPM.

Pada tingkat kedua, dengan LMFBR, ThO2 dalam bentuk fuel assembly digunakan dalam operasi Fast

233
Breeder Test Reatorr (FTBR). Blanket akan memiliki kandungan U seesar ~100 PPM, seperti

233
ditunjukkan oleh BN-800. Dengan reprocessing, U dapat diambil dari bahan bakar bekas pada

tingkat 1 dan 2, serta daur ulang dari bahan bakar mixed (232Th–233U)O2 yang digunakan pada tingkat

3. Pada tingkat 3 digunakan reactor termal maju, misalnya seperti Advanced Heavy Water Reactor

(AHWR), dengan bahan bakar berupa kluster bahan bakar 54 pin (Th, Pu)O2 dan (Th, 233U)O2 sebagai

driver fuel.
3. Front-End
3.1. Penambangan
Thorium tersebar di kerak bumi dengan konsentrasi rerata 10 ppm, terdapat dala m mineral

fosfat, silikat, karbonat, dan omsida Thorium alam memiliki kandungan isotop 232Th hampjr 100%.

Umumnya thorium ditemukan bersama uranium dan rare earth materials (REE) dalam berbagai jenis

batuan : sebagai vein pada thorite, thorianite, utanithorite dan sebagai monasit pada grabit, syenites,

pegamtit, danintrusi berasam lainnya. Monasit ini juga terdapat pada quartz-pebble conglomerate

sand stone, dan dalam fluviayile dan beach placers. Selain itu thorium juga dapat ditemukan bersama

REE pada bestaesiter dan carbonatites.

Dua sumber utama thorium yang dapat digunakan antara lain yaitu : monazite; residu, dengan

total hingga 25000 ton ThO2, berasal dari ekstraksi rare earth dari monazite.

The Cadangan monazite dunia diperkirakan berada di rentang 12 juta ton, dengan 8 juta ton

ditemukan bersama mineral berat di pasir pantai India, di negara bagian Kerala, Tamil Nadu, Andhra

Pradesh, dan Orissa

Konsentrat thorium dan ThO2 nuclear grade diproduksi dari monazite dengan langkah : ekstraksi

dan pre-consentration dari pasir pantai; konversi dari bijih (konsentrat pasir pantai) menjadi monazit;

Konversi monazite menjadi konsentrat thorium, uranium, dan rare earth; Penyimpanan konsentrat

thorium, atau konversi menjadi bubuk ThO2 nuclear-grade.


Mineral berat, seperti

ilmenite, rutile, monazite,

zircon, sillimanite, dan

garnet dipisahkan satu

sama lain dengan berbagai

metode sesuai sifat fisisnya.

(mis : specific gravity,

kerentanan magnetk,

konduktivitas elektrik, dan

bentuk permukaan). Proses

pemisahannya diuraikan

dalam diagram berikut

Di kebanyakan negara

monazite akan dilarutkan

dalam sodium hidroksida

50-70% pada suhu 1400C

dan melalui beberapa

proses kimia, termasuk

ektraksi dan penukaran ion hingga didapat thorium nitrat murni, yang kemudian dipersipitasi dalam

wujud thorium oksalat, lalu kemudian dikalsinasi menjadi bubuk ThO2.

Di India misalnya, monazite dicuci dengan alkali, rare earth dipisahkan sebagai mixed chloride,

dan thorium disimpan sebagai thorium hidroksida dalam silo beton, cake hidroksida mengandung 35%

ThO2, 7% oksida rare earth, 0.6% U3O8 da 28% bahan tidak dapat larut dan kelembapan. Diembangkan

pula THRUST (thorium retrieval, uranium recovery and restorage of thorium oxalate), dimana thorium

akan dipisahkan menjadi thorium oxalat murni (kemurnian 99%) yang lebih mudah untuk ditangani,
disimpan, dan diambil. Salain itu fraksi uranium yang terdapat pada minazite dipisahkan dalam bentuk

konsentrat uranium mentah (crude).

3.2. Jenis bahan bakar


Jenis bahan bakar yang dapat difabrikasi dengan menggunakan thorium dijabarkan dalam tabel

berikut.
3.3. Fabrikasi Bahan Bakar
Terdapat beberapa teknik dalam fabrikasi bahan bakar thorium, antara lain sebagai berikut :

(1) ‘Powder-pellet’ untuk mempersiapkan pellet berdensitas tinggi menggunakan serbuk ThO2, UO2

dan PuO2 sebagai material awal; Tumpukkan pellet akan dienkapsulasi dalam tube cladding.

(2) ‘Vibro-sol’ untuk membentuk microsphere bahan bakar dengann menggunakan larutan nitrat dari

uranium, plutonium, dan thorium sebagai material awal, dan dengan ‘ammonia external gelation’

atau ‘ammonia internal gelation’ akan diperoleh gel microsphere terhidrasi; Microsphere kemudia

disintering dan dimasukkan ke dalam cladding dengan vibro packing.


(3) ‘Sol-gel microsphere pelletisation’ : menggunakan microsphere dari proses sol-gel untuk

pembuatan pellet langsung diikuti dengan sintering.

(4) ‘Impregnation technique’: dimana (a) Pellet ThO2 yang tersintering secara parsial dengan densitas

rendah atau (b) Microsphere ThO2 berpori, direaspi secara vacuum dalam uranil nitrat atau Pu-

nitrat, diikuti dengan kalsinasi, dan sintering, lalu enkapsulasi.

3.3.1. Powder-pellet
Pendekatan powder pellet (serbuk-pellet) telah digunakan unutk membuat pellet ThO2, (Th, U)O2

dan (Th, Pu)O2 dengan bahan dasar serbuk ThO2, UO2 danPuO2. Tahapan utama dari pendekatan ini

antara lain yaitu milling (penggilingan), granulasi dan penambahan bahan pengikat, serta cold

pelletization (pembentukan pellet di suhu relatif dingin) dan sintering.

Dalam pembuatan bahan bakar ThO2 diguankan serbuk yang berasal dari proses oksalat, yang

memiliki morfologi platelet persegi datar, sehingga diperlukan pre-milling agar lebih mduah di-

sintering. Alternatif lainnya yaitu dengan denitrasi langsung produk thorium nitrate tetra-hydrate,

yang akan menghasilkan serbuk ThO2 yang lebih tidak dapat disintering. Sintering dilakukan pada

temperatur lebih dari 2000oC agar diperoleh pellet dengan densitas tinggi. Sintering dapat pula

dilakukan pada suhu 1150oC dengan penambahan sedikit ‘pembantu sintering’ (sintering aid) seperti

Nb2O5. Penambahan oksida logam divalent, seperti CaO dan MgO, juga meningkatkan difusi Th+4 melali

pembentukan kekosongan anion. Selain itu U3O8 dapat pula dijadikan ‘sintering aid’ , dengan

penambahan U3O8 didapati peningkatan densitifikasi dari ThO2 dan pellet dengan densitas tinggi (96%

T.D) dapat diperoleh dengan sintering pada suhu 1100oC. Penambahan sedikit (~0.25%) of Nb2O5

ditemukan dapat meningkatkan densitifikasi ThO2 di udara. Densitas ThO2 96–97% T.D. dapat

diperoleh dengan sintering menggunakan ThO2 yang didoping dengan Nb2O5 pada suhu udara 1150oC.

Dengan bahan yang sama,dibutuhkan suhu sintering 1700oC dalam gas H2 atau N2+H2 untuk

mengahsilkan densitas 96-97% T.D.


Pellet (Th,Pu)O2 dengan densitas dan mikrostruktur tertentu telah berhasil dimanufaktur dengan

menggunakan bahan dasar serbuk ThO2 dan PuO2 hasil proses oksalat. Telah disusun proses sintering

untuk pellet ThO2–30%PuO2, ThO2–50%PuO2 dan ThO2–75% dengan menggunakanf CaO (0.5wt%) or

Nb2O5 (0.25wt%) sebagai ad mixed dopant untuk meningkatkan densitifikasi. Pellet dnegan doping

Nb2O5 dan CaO di-sintering di udara pada 1350oC, dan dalam gas Ar+8%H2 pada suhu 1650oC. Pellet

ThO2–30%UO2 menunjukkan pembentukan mikrostruktur berfasa tunggal. Sementara pada ThO2–

50%PuO2 dan ThO2–75%PuO2 didapati mikrostruktur dua fasa yang terdiri atas fasa FCC (Th, Pu)O2 dan

BCC ThO2–Pu2O3.

Pendekatan powder pellet ini memiliki kelemahan yaitu adanya pembentukan serbuk halus atau

partikulat (<1 micron) dari material bahan bakar, yang dapat menimbulkan bahaya debu radiotoksik.

Selain itu mikrohomogenitas dari spesies fisil dan fertil dalam MOX tidak dapat dicapai karena serbuk

oksida tidak tercampur secara mekanikal, dan waktu sintering pada suhu tinggi tidak cukup untuk

terjadinya pembentukan larutan dari solid (solid solution).

3.3.2. Sol-gel
Proses ini ideal untuk manufaktur manufaktur bahan bakar thorium (oksida maupun non-oksida)

dengan kandungan material yang sanagt radioktoksik seperti 239Pu (akibat 240Pu, 241Pu, 242Pu dan 238Pu)

233 232
dan U (akibat U). Dapat dicapai microhomogeneity yang lebih baik untuk bahan bakar MOX,

mixed carbide, maupun mixed nitride, karena larutran nitrat dengan Th dan U atau Pu dicampur dalam

bentuk liquid.

Proses ini menggunakan larutan nitrat uranium (233U), plutonium and thorium, yang merupakan

produk akhir dari fasilitas reprocessing. Telah dilakukan manufaktur microsphere ThO2 dan (Th, U)O2

dengan densitas tertentu menggunakan proses sol-gel. Microsphere ini digunakan untuk : (i) Fuel pin

‘vi-pac’, dimana microsphere dengan tiga hingga dua fraksi ukuran (biasanya 1000 µ, 100 µ dan 10 µ)

akan di kompaksi secara vibro dalam tube fuel cladding, agar diperoleh fuel pin dengan densitas

tertentu, (ii) Sebagai lapisan partikel bahan bakar untuk bahan bakar HTGR, dimana microsphere akan

digunakan untuk melapisi beberapa lapisan dari pyrolytic carbon dan silikon Okarbida (dikenal sebagai
TRISO dan BISO), yang akan ditanam dalam matriks grafit, (iii) Pembentukan pellet langsung dan

sintering, dikenal sebagai proses‘Sol-gel microsphere pelletisation’ (SGMP); fuel microsphere dengan

densitas rendah ini cocok untuk SGMP. Khusus untuk pembentukan microsphere ThC2 dan (Th, U)C2

untuk HTGR, dilakukan modifikasi terhadap proses sol-gel ini, dimana microsphere akan melalui

sintesis karbotermik dalam vacuum atau dalam gas argon murni mengalir agar dicapai microsphere

dengan densitas tinggi.

Beberapa metode pembuatan microsphere yang lazim digunakan antara lain dijabarkan dalam

tabel berikut.

5.3.2.1. Ammonia external gelation


External gelation of thorium (EGT) memiliki beberapa kelebihan dibanding proses sol-gel lain.

Proses ini menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan andal, serta hanya menggunakan bahan

kimia seperti amonia dan amonium hidroksida, yang bersifat tidak mudah terbakar dan memiliki

stabilitas radiolitik yang tinggi, serta menghasilkan limbah yang sedikit. Proses EGT menggunakan

ThOH4, sehingga tidak dibutuhkan polimer gel-supporting atau pengenaan gaya apung dari lingkungan

berupa bahan organik.Partikel gel dapat dibersihkan dengan air dalam jumlah kecil dengan waktu yang

singkat secara kontinyu.

Pertama ‘sol’ disiapkan dengan penambahan gas amonia secara terkontrol melalui rotating

disperser shaft (poros dispenser berputar dengan bagaian dalam kosong), yang dibenamkan dalam

bejana kaca berisi larutan nitrat dari thorium dan uranium atau plutonium, yang diisoasi dan dipansasi

dengan air. pH dan viskositas larutan dikendalikan dalam tahap pra-netralisasi, dimana ‘sol’ optimal

akan memiliki pH di kisaran 3.25 hingga 3.59 dan viskositas3x10-2 Pa.s. Tetesan ‘sol’ kemudian akan

dilewatkan pada vibrator elektromekasnikal dengan jetting nozzle horizontal, dalam kotak
pengungkung berisi 2 pipa

gas amonia horizontal dan

gelation bath. Tetesan akan

melewati tirai gas NH3 dan

dengan cepat melapisi

dirinya dengan kulit gel,

kemudian jatuh ke dalam

gelation bath berisi NH4OH.

Diameter lubang nozzle dan

kontrol frkuensi

penyemprotan nozzle akan

mempengaruhi diameter

microsphere hel terhidrasi.

Microsphere yang

mengandung NH4NO3

kemudian akan dicuci

dengan NH3 1% untuk

menghilangkan ammonium

nitrate. Microsphere kemudian dikeringkan dalam udara lembap dengan belt dryer kontinya pada

suhu 200oC, akan diperoleh microsphere dengan kebulatan (sphericity) yang baik. Proses ini hanya

menghasilkan limbah berupa air cucian dengan kandungan NH4NO3, yang dapat didekomposisi

menjadi gas NOx, N2O, N2 dan H2O, atau dikonversi kembali menjadi amonia dan asam nitrat. Proses

ini telah digunakan di Jerman untuk manufaktur bahan bakar HTGR yaitu AVR dan THTR.

3.3.2.2. Ammonia internal gelation


Proses internal gelation didasark pada hidrolisis hexa methylene tetra amine [HMTA: (CH2)6N4],

yang melepaskan amonia dengan cepat pada suhu 90oC ke atas. Larutan nitrat dari thorium dan
uranium atau plutonium dicampur dengan HMTA dpada suhu sekitar 0oC , dan kemudian dicampur

dengan urea untuk membentuk larutan umpan. Larutan umpan akan dipaksa melewati kapiler

stainless steel dengan lahu alir tetap, dan akan terpecah menjadi tetesan-tetesan dengan ukuran

seragam dengan mengunakan virator elektromagnetik. Tetesan dibuat menjadi partikel gel spherical

(berbentuk bola) melalui pengontakkan dengan minyak silikon panas pada suhu 105–110oC, yang

berfungsi sebagai medium yang inert dan imisibel (tidak mudah bercampur). Amonia yang dilepaskan

dari HMTA menyebabkan presipitasi ion logam menjadi gel oksida terhidrasi. Produk kemudian akan

dikumpulkan pada belt separator, lalu dicuci beberapa kali dengan larutan amonia 2-3M untuk

menghilngkan sisa HMTA yang tidak berekasi dan urea, serta ammonium nitrat yang terbentuk selama

gelasi. Patikel gel kemudian dikeringkan dengan oven udara bisa dan dipanaskan hinggo 1250-1650oC,

membentuk microsphere.

Sifat dari gel bergantung pada komposisi larutan umpan, suhu medium gelasi, dan aktu kontak

anatara tetesan umpan dengan medium gelasi. Larutan Thorium nitrat akan berlaku layaknya asam

tetra-basic selama hidrolisis, sehingga akan dibutuhkan HMTA dalam jumlah lebih banyak dibandiing

untuk ion seperti UO2++ atau PuO2++. Kebutuhan HMTA ini dapat diturunkan dengan denitrasi parsial

dari larutan thorium nitrat menggunakan formaldehyde (13 m aqueous solution). Penambahan urea

didapati dapat meningkatkan keuatan netralisasi asam dari HMTA.

Kelemahan proses ini antara lain yaitu : (i) Rentang sempit dari komposisi larutan unpan stabil

yang dapat menghasilkan microsphere dengan kualitas yang baik, (ii) peggunaan lebih banyak bahan

kimia dan bahan organik mudah terbakar, (iii) jumlah siklus pembersihan yang banyak dan limbah yang

terbentuk.
3.3.3. Impregnation technique
Teknik ini

merupakan salah satu

alternatif manufaktur

pellet bahan bakar

berbasis thorium dengan

kandungan material

233U
radiotoksik seperti

atau Pu. Dalam proses ini,

ThO2 pertama-tamam

disiapkan menjjadi pellet

berdensitas (≤80%T.D.)

dengan ‘porositas

terbuka’ atau ‘porous

microspheres’ dari sol gel.

Pellet atau microsphere

kemudian di-resapkan

(impregnated) dalam

uranil nitrat (233U) atau

plutonium nitrat dengan molaritas 1 sampai 3, dalam fasilats yang ditutupi perisai, kemudian diikuti

dengan sintering (untuk pellet) atau cold pelletisation yang diikuti sintering (untk microsphere).

Larutan solid (solid solution) antara ThO2 dan UO2 atau PuO2 terbentuk pada tahap sintering.

Dengan teknik ‘pellet impregnation’ dimungkinkan pembentukkan pellet (Th, U)O2 dengan

kandungan hingga 2.5% U, dan dengan ‘microsphere impregnation’, dapat diproduksi (Th, U)O2

dengan kandungan hingga 20% U.


3.3.4. Sol-gel microsphere pelletisation (SGMP)
Proses SGMP telah berhasil digunakan untuk manufaktur pellet ThO2, (Th, U)O2 dan (Th, Ce)O2

(Ce untuk menstimulasi Pu) berdensitas tinggi, dengan distribusi pori spherical berada pada rentang

diameter ideal 2–5 micron. Untuk pembuaan microsphhere ThO2 atau (Th, U)O2 berpori, EGT yang

telah dikembangkan Jerman, dimodifikasi sebagai berikut : (i) Penggunaan larutan thorium nitrat,

mixed thorium uranium nitrate atau mixed thorium plutonium dengan molaritas rendah (1-1.2 M). (ii)

Penambahan pembentuk pori ‘carbon black’ ke ‘sol’ prior sebelum gelasi. Karbon kemudian

dihilangkan dengan kalsinasi di udara 700oC, dan akan dihasilkan microsphere berpori. Microsphere

berppori ini memiliki kekuatan tekanan rendah, dan akan kehilangan sifat individual mereka dalma

proses ‘pellesitation; dan akan memfasilitasi pembentukan pori dengan ukuran, bentuk, dan distribusi

yang seragam dalam pellet. (iii) Penambahan 1wt% Ca(NO3)2.6H2O ke larutan nitrat agar diperoleh

0.4% CaO sebagai ‘sintering aid’.

Untuk pembuatan ThC2 or (U,Th)C2, microsphere akan melalui proses sintesis karbotermik dalam

vacuum atau argon mengalir pada suhu 1400oC agar diperoleh microsphere dengan densitas tinggi.

3.3.5. Coated fuel particles


ThO2 dan di-carbide memiliki titik leleh lebih tinggi dibanding uranium sejenis, sehingga lebih

cocok untuk diterapkan sebagai bahan bakar HTGR. Bahan bakar HTGR ini berupa matriks grafit

dengan kandungan dispersed particle berupa TRISO, yaitu partikel terlapis bahan bakar, yang terdiri

atas ThO2, (Th, U)O2, ThC2 atau (Th, U)C2.

Manufaktur bahan bakar HTGR dilakukan dalam tiga tahap antara lain yaitu preparasi dari kernel

fertil (ThO2 atau ThC2) dan fisil [(Th, U)O2, atau (Th, U)C2] dengan kandungan LEU atau 233U], pelapisan

multilayer untuk membentuk partikel TRISO, dan fabrikasi elemen bahan bakar menjadi bentuk bola

spherical atau blok prismatik. Kernel bahan bakar dibuat dengan external gelation atau internal

gelation serta proses tambahan seperti SGMP. Pelapisan dilakukan dalam fluidized bed reaktor

dengan menggunakan berbagau gas hidrokarbon dan methyl trichlorosilane (MTS: CH3SiCl3) untuk

setiap urutan. Lapisan penyangga (buffer) dilapisi pada rentang tmeperatur 1100–1400oC dengan
menggunakan campuran argon dan acetylene (C2H2 + Ar). Lapisan karbon pyrolytic bagian dalam

dilapisi pada 1370-1470oC menggunakan campuran Ar + C3H6. Lapisan SiC dilapisi pada 500–1570oC

menggunakan methyl trichlorosilane (MTS: CH3SiCl3), sumber Si dan C. Argon dan hydrogen digunakan

sebagai gas carrier bersama MTS untuk pelapisan SiC. Dewasa ini, pelapisan ZrC lebih dikehendaki

dibanding SiC agar didapat burnup yang lebih tinggi. Proses untuk lapisan pyrolytic carbon (PyC) pada

bagian luar sama dengan bagian dalam.

Fuel partikel ini kemudian akan ditanam dalam matriks karbon dan shim garfit. Matrik karbon ini

terdiri atas 47% petroleum pitch, 38% filler, 10% octadecanol dan 5% polystyrene, dan diinjeksikan ke

cetakan pada suhu 160oC. . Fuel element spherical dibentuk dalam cetakan karet, dibawah tekanan

quasi-isostatik dengan tekanan pre-pressing 30 MPa dan tekanan pembentukan akhir sebesar 300

MPa. Selama pendinginan, kompak ini akan mengeras dan setelahnya dikarbonisasi pada suhu 900oC

untuk mendekomposisi senyawa organik dan agar didapat kontak karbon. Setelahnya kompak

dipanaskan pada suhu 1650oC untuk stabilisasi.


4. Reprocessing
4.1. Head-on treatment
Tahap pertama dari reprocessing bahan bakar bekas ada ‘head end’ treatment. Tahap ini akan

berbeda untuk bahan bakar HTGR yang berupa matriks dengan bahan bakar terdispersi, dengan bahan

bakar dengan pellet dalam cladding zircalloy seperti pada LWR, PHWR, dan LMFBR.

Pada bahan bakar HTGR, yang tersusun atas 98wt% grafit, head end treatment dilakukan untuk

memisahkan bulk grafit dari logam berat dan produk fisi. Teknik yang dapat digunakan untuk ini yaitu

‘crush-burn-leach’, dimana bahan bakar akan melalui penghancuran (crushing) kering secara mekanik,

hingga didapat ukuran sekitar 0.5 hingga beberapa milimeter. Dilanjutkan dengan fluidized bed

burning, dimana semua partikel karbon akan terbakar, dan akan menghasilkan CO2 sebagai off-gas

bersama dengan tritium dan produk fisi volatil seperti kripton, iodin, xenon, dsb. Off-gas kemudian

akan dikenakan perlakuan lanjutan, dan 14C akan secara parsial atau sepenuhnya dipertahankan

engan menyerap CO2 dalam slurry Ca(OH)2, membentuk Ca(CO)3 solid, yang kemudian akan disimpan

sebagai long lived low-level radioactive waste (LLW).

Untuk head end treatment bahan bakar thorium dari LWR, PHWR dan LMFBR, kurang lebih sama

dengan bahan bekas UO2 ata (U, Pu)O2 dari reaktor-reaktor ini. Dimulai dengan proses ‘chop-leach’

dimana akan dilakukan mechanical decladding (pelepasan cladding secara mekanik), diikuti dengan

pelarutan dalam asam nitrat.

4.2. Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan melarutkan bahan bakar (yang sudah mealui head end) ke larutan pelarut,

dalam hal ini untuk thorium yaitu THOREX, yang terdiri atas 13 M HNO3 + 0.05 M HF + 1 M Al(NO3)3.

Pelarutan ini dapat ditingkatkan dengan pemanasan gelombang mikro dan penambahan 0.03M NaF

bersama HF. Larutan produk dari dissolver unit, dengan kandungan asam dalam rentang 8–9 M HNO3,

dipisahkan dari solid tidak terlarut melalui filtrasi atau sentrifugasi.


Untuk proses ektraksi, digunakan ekstraktan berupa Tributyl Phosphate (TBP), yan digunakan

bersama pelarut hdirokarbon. Fraksi volume relatif dari TBP dan pelarut ditentukan tergantung

material yang inngin diambil (233U sendiri, atau Th dan U, atau semua U, Th, dan Pu).

(Setelah melalui ekstraksi, larutan dimurnikan lebih lanjut dengan penukar ion (Uranium) atau

dengan ko-presipitasi (utnuk (Th, U) atau (Th, Pu))

Dalam proses THOREX digunakan salting out agent yang kuat agar didapat laju ekstraksi dan yield

thorium yang cukup.

Beberapa skema dari proses THOREX ini antara lain sebagai berikut :

4.2.1. Separasi Uranium (INTERIM 23)


Proses ini dilakukan dengan menggunakan 1.5 hingga 5% TBP dalam pealrut Shell sol–T. Uranium

akan berada dalam fasa organik, sedangkan thorium akan diteruskan menuju aliran rafinat limbah

larutan bersama dengan produk fisi lain. Selanjutnya, fasa organik akan di-scrub dengan asam nitrat 1

– 2 M untuk menghilangkan thorium yang ter-ko-ekstraksi. Kontaminasi thorium akhir bergantung

pada jumlah tingkatan scrubbing dan efisiensinya. 233U dari fasa organik kemudian melalui stripping

dengan air yang diasamkan untuk diambil uraniumnya.

Uranium kemudian dapat dimurnikan lebih lanjut dengan proses penukaran anion dalam medium

asam hidroklorik. Beberapa kelemahan dari proses penukaran anion ini antara lai yaitu: (i) Perubahan
dari medium nitrat menjadi klorida, (ii) Korosi pada peralatan, (iii) gasing pada kolom akibat

konsentrasi tinggi HCL, (iv) faktor dekontaminasi yang buruk akibat produk korosi besi.

4.2.2. Reprocessing dengan dua stream untuk uranium dan thorium


Untuk proses ini digunakan TBP dengan konstrasi 30-42.5% dan pelarut paraffin. Untuk sepearasi

uranium dari thorium setelah ko-ekstraksi dengan TBP, dilakukan stripping selektif, denga

nma=engatur tingkat keasaman. Tingkat keasaman yang lebih tinggi (>0.3M) digunakan untuk

memisahkan thorium, sementara keasaman sanagt rendah digunakan untuk memisahkan sisa

uranium dalam fasa organik. Pengaturan umpan ini dilakukan melaui pelarutan dengan air. Larutan

kurang asam digunakan unutk ekstraksi solvent TBP-HNO3, agar didapat faktor dekontaminasi yang

tinggi dari produk fisi. Tetapi konsentrasi asam rendah memiliki yield Th yang rendah dan

menghasilkan presipitasi crud akibat hidrolisis. Sehingga perlu dilakukan pengaturan yang tepat

Salah satu masalah yang ditemukan dalam proses ini yaitu pembentukan fasa ketiga akibat

kelarutan kompleks Th-TBP yang buruk dalam pelarut. Pembentukan fasa ketiga ini bergantung pada

kandungan thorium awal, kandungan garam, keasaman dari fasa larutan dan organik, suhu ekstraksi,

konsentrasi TBP, dan siat dari pelarut. Hal ini dapat dihindari denga nmembatasi jumlah TBP dengan

thorium. Masalah ini dapat diatasi dengan menggunakan pelarut aromatik seperti decalin (deca

hydronapthalene.

4.2.3. Three stream reprocessing of irradiated (Th,Pu) fuel


Bahan bakar (Th, Pu) bekas akan memiliki kandungan thorium, uranium, plutonium, serta produk

fisi. Proses 3 stream ini merupakan kombinasi dari proses THOREX dan PUREX. Pertama digunakan 5%

TBP untuk mengekstraksi uranium dan plutonium dari fasa organik. Setelah scrubbing dan stripping,

larutan (U–Pu) nitrate diproses lebih lanjut agar didapat serbuk UO2 dan PuO2 untuk disimpan. Sisa

larutan berair yang mengandung thorium dan produk fisi diekstraksi dengan 30% TBP, dimana thorium

akan berada pada fasa organik, dan produk fisi akan berada pada fasa larutan berair. Thorium

kemudian melalui scrubbing dan stripping denga dengan asam nitrat terlautm, dimana thorium nitrat
kemudian akan dipresipirasi dalam bentuk thorium oxalat melalui penambahan asam oksalat. Thorium

okslaat kemudian dikalsinasi menjadi serbuk ThO2.

Anda mungkin juga menyukai