Anda di halaman 1dari 20

Thorium : Sebuah Revolusi Energi

Bayangkan bola dalam genggaman tangan seperti gambar di atas dapat memberikan listrik untuk
rumah anda selama 100 tahun lebih atau sebesar bola basket dapat mengaliri Listrik sebuah Kota
selama setahun atau bahkan sebuah pesawat terbang yang dapat terbang selama 3 bulan tanpa
mendarat dan mengisi bahan bakar. Ini semua bukanlah bagian dari fantasi sebuah film
Hollywood tetapi akan menjadi kenyataan dalam 5 – 10 tahun lagi.
Bahan bakar yang kami maksud adalah Thorium yang memilki densitas energi terpadat sehingga
1 ton Thorium yang hanya sebesar bola basket dapat menjadi bahan bakar pembangkit listrik
berdaya 1000 MW selama 1 tahun. Bandingkan dengan uranium yang membutuhkan 200 ton
atau batubara yang membutuhkan 3,5 juta ton. - dan yang lebih menggembirakan bahwa
indonesia memilki Cadangan Thorium untuk 1000 tahun. Bahan bakar dalam reaksi fisi
sesungguhnya adalah Elemen Bahan Nuklir (Nuclear Fuel) karena tidak ada yang di bakar dalam
reaksi nuklir.
Revolusi energi berikutnya adalah Thorium Energy, sebuah sumber energi yang bersih,
menghasilkan limbah nuklir yang sangat kecil, tidak dapat di persenjatai, tidak mengeluarkan
emisi apapun dan karena densitas energi yang sangat tinggi maka energi yang dihasilkan sangat
murah.
Thorium akan mengakhiri pengunaan bahan bakar berbasis fosil seperti minyak dan batubara
selamanya karena di masa depan kendaraan, kapal laut bahkan pesawat terbang dapat memakai
Thorium sebagai bahan bakar.
DR. Carla Rubbia, pemenang hadiah Nobel Fisika dan Direktur CERN, lembaga Riset Nuklir Eropa
mengatakan dalam Konprensi Thorium Internasional 2013:

"there is more than 4500 times more energy available to us in Thorium than there is in all the
fossil resources combined, that ought to make Thorium Energy sustainable." (Carla Rubbia).
"Ada lebih dari 4500 kali lebih banyak energi yang terkandung dalam Thorium daripada
seluruh sumberdaya energi fossil di gabungkan, yang membuat Energi Thorium
berkelanjutan. "(Carla Rubbia)
Menurut Rubbia cadangan Thorium di Bumi cukup untuk memberikan kebutuhan energi dunia
selama 20.000 tahun kedepan...bukan main-main ini adalah pernyataan seorang peraih hadiah
Nobel.
Berakhir sudah tarif listrik PLN yang setiap tahun naik terus, karena tarif listrik dapat turun lebih
dari 30% dan tidak akan naik selama anda hidup.
Ini semua bukan fantasi tapi akan menjadi kenyataan dalam waktu kurang dari 10 tahun dari
sekarang.

Apakah Thorium Itu?


Thorium adalah sebuah unsur dengan no atom 90 yang mempunyai sifat radioaktif yang dapat
dipakai sebagai bahan bakar reaktor nuklir. Karena Thorium bukan inti fisile maka untuk
menggunakan Thorium harus memakai Uranium tetapi ini hanya untuk awal memicu reaksi
karena setelah itu Thorium yang disebut inti fertile (subur) dapat membelah dan menghasilkan
Uranium 233 atau dapat dilakukan penembakan dengan Neutron sehingga Thorium membelah.
Untuk yang ingin lebih detail membaca tentang siklus Thorium sebagai bahan bakar Nuklir
silahkan membaca dokumen IAEA (Thorium Fuel Cycle - Potential annd Chalenges)
Tidak seperti Uranium yang terbilang langka, Thorium terdapat dalam jumlah cukup banyak di
dalam bumi di banding emas, perak, dan timah hampir di setiap negara di dunia terdapat
Thorium. Di Indonesia, Thorium dapat di temukan di Bangka Belitung sebagai ikutan timah dan
menurut Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) ada sekitar 121.500 ton cadangan Thorium di
Babel (hanya Babel belum seluruh Indonesia) yang dapat memberikan daya 121 Gigawatt selama
1000 tahun (saat ini total produksi listrik Indonesia masih di bawah 40 Gigawatt). – Bicara tentang
kemandirian energi dan ketahanan energi inilah jawabannya bukan batubara yang akan habis
dalam 20 tahun atau gas yang akan habis dalam 38 tahun.
Sejarah Thorium dan Molten Salt Reactor
Hampir semua bahan bakar PLTN di dunia adalah Uranium dalam bentuk padat dengan pendingin
air atau yang disebut Light Water Reactor (LWR) yang memiliki 3 variant yang disebut: Pressurised
Water Reactor (PWR), Boiling Water Reactor (BWR) dan Super Critical Water Reactor (SCWR) –
PWR dan BWR adalah yang terbanyak di pakai di dunia.
Sejak awal penelitian Nuklir selalu di danai oleh militer, sejak Manhattan Project yang
menciptakan bom atom Hiroshima-Nagasaki, karenakan kebutuhan untuk menciptakan bom
nuklir yang lebih dahsyat dan unsur terpenting adalah Plutonium yang tidak di dapat di alam
hanya didapat melalui proses fisi nuklir -- jadi sesungguhnya reaktor LWR hanyalah sebuah pabrik
plutonium terselubung. Sebagai contoh 1000 MW reaktor PWR menghasilkan sekitar 230
kg/tahun Plutonium yang cukup untuk membuat 30 bom atom skala Hiroshima.
Adalah Dr Alvin Weinberg, salah satu anggota Manhattan Project yang mengusulkan
mempergunakan Thorium sebagai bahan bakar reaktor daya sipil (PLTN) yang memiliki efisiensi
lebih dari 90% dibanding uranium yang hanya dibawah 3% ditambah reaksi fisi thorium tidak
menghasilkan Plutonium sehingga lebih aman tetapi ternyata hal ini justru yang tidak membuat
Thorium menarik bagi pihak militer yang masih membiayai riset nuklir saat itu sehingga penelitian
Thorium di hentikan pada tahun 1969.
Pada saat itu, Weinberg telah menciptakan sebuah reaktor khusus sipil dengan tingkat keamanan
yang jauh lebih tinggi yang sangat berbeda dengan LWR yang sesungguhnya di ciptakan oleh
Weinberg juga tetapi di desain untuk kepentingan Militer khususnya Kapal Selam (USS Nautilius).
Reaktor baru ini disebut Molten Salt Reactor(MSR) karena mempergunakan pendingin garam
cair dan bahan bakar cair yang sangat cocok untuk thorium dan sebelum akhirnya di tutup, tapi
telah beroperasi di Oak Ridge National Laboratory selama 20,000 jam tanpa masalah.
Sejak itu berakhirlah pamor Thorium/MSR sampai tidak pernah lagi ada pembahasan MSR dalam
dunia fisika nuklir, bahkan sampai sekarang MSR tidak pernah di ajarkan di Fakultas Tehnik Nuklir
di Dunia. sampai kejadian setelah Fukushima pada tahun 2011 para ahli nuklir mulai mengkaji
ulang desain reaktor pendingin air dan berbahan bakar padat. Pemikiran untuk memakai bahan
bakar cair mulai muncul kembali dan tentunya salah satu yang sudah terbukti adalah MSR.
Jadi yang harus di pertegas adalah Revolusi Energi yang di maksud adalah ketika Thorium dipakai
sebagai bahan bakar cair untuk Molten Salt Reaktor -- bukan reaktor jenis lainnya. Secara implisit
pengertian Thorium Energy adalah dengan pemanfaatan Reaktr jenis Molten Salt dan selanjutkan
akan kami tulis TMSR -- Variant MSR yang dikembangkan saat ini di sebut juga LFTR (Liquid
Flouride Thorium Reactor).

Beberapa keunggulan TMSR vs LWR


Walaupun desain MSR selama lebih dari 50 tahun tidak ada yang melirik tetapi ketika pada tahun
2000 berbagai ahli dan pelaku industri nuklir berkumpul untuk membahas desain reaktor nuklir
generasi ke IV dan MSR terpilih sebagai salah satu dari 6 reaktor yang di setujui sebagai reactor
generasi ke IV yang handal dan satu-satunya yang sudah terbukti.
Beberapa keunggulan MSR dengan bahan bakar thorium dan garam cair (TMSR) dibanding
reaktor LWR pada umumnya antara lain :
1. TERBUKTI : reaktor daya TMSR 30 MW sudah pernah di operasikan oleh Oak Ridge
National Laboratory selama 20,000 jam (1965 – 1969) tanpa masalah. MSR adalah satu-
satunya reaktor Generasi IV yang sudah terbukti.
2. TEKANAN NORMAL : reaktor TMSR bekerja dalam tekanan normal (1 ATM) sehingga tidak
membutuhkan struktur pelindung yang berat yang membuat konstruksi TMSR jauh lebih
murah.-- Sementara reaktor LWR bekerja pada tekanan 144 ATM atau setara pada
kedalaman 1,5 km dibawah laut, ketebalan betonnya saja 1,5 meter. Tekanan yang tinggi
dapat menimbulkan ledakan bila terjadi kebocoran atau meltdown seperti pada kasus
Fukushima
3. LIMBAH LEBIH KECIL : TMSR mengkonsumsi lebih dari 90% bahan bakar dibanding LWR
yang hanya 3% sehingga sisa limbah radioaktif sangat kecil dengan tingkat radioaktif jauh
lebih kecil di banding Uranium dan Plutonium dan limbah tersebut dapat di campur lagi
sebagai bahan bakar TSMR – Sebagai perbandingan 1000 MW PLTN LWR menghasilkan
limbah 35 ton sementara TSMR hanya 170 Kg.
4. LEBIH EFISIEN : Karena TMSR bekerja pada tempartur yang cukup tinggi sekitar 800 C
dibanding LWR yang hanya 300 C maka TMSR dapat mengkoversi panas menjadi listrik
jauh lebih efisien di banding LWR dengan tingkat konversi mendekati 50% bahkan jauh
lebih baik daripada batubara dan gas yang membuat tingkat keekonomisan sangat tinggi.
5. ANTI MELTDOWN : Karena bahan bakar dan pendingin TMSR sudah dalam keadaan cair
(melt) maka TMSR tidak mungkin terjadi meltdown. Reaksi fisi TMSR dapat berhenti
dalam sekejap (dalam hitungan menit) tanpa adanya decay heat yang berkepanjangan.
Tidak seperti LWR bahkan setelah control rod dimasukan untuk menghentikan reaksi fisi
tetapi decay heat pada tempratur 900 C masih tetap berlangsung yang menyebabkan
akumulasi gas Hidrogen dapat menyebabkan terjadi meltdown dan ledakan yang
meruntuhkan struktur pelindung -- seperti kasus Fukushima.
6. PASSIVE SAFETY : Ketika terjadi hilangnya listrik atau bencana lainnya maka garam cair
akan meluncur ke tempat penampungan di bawah tanah secara otomatis tanpa bantuan
listrik atau manusia secara gravitasi dan karena tidak adanya pemanasan maka dalam
waktu singkat garam cair akan mengeras menjadi kristal sehingga aman. -- hal inilah yang
di sebut “passive safety” atau “walk away safety” yang hampir menjadi kriteria utama
semua jenis reaktor generasi ke IV, tentunya bagi jenis LWR hal ini sangat sulit di
laksanakan dengan mudah, karena prinsip LWR adalah pendingin air, maka untuk
melaksanakan fungsinya pompa air harus bekerja.
7. MODULARITY : Sejak awal prinsip desain TMSR dibuat sangat sederhana dengan
pemikiran dapat di fabrikasi di pabrik lalu di angkut kelokasi dibanding dibuat di lokasi
hampir semua PLTN saat ini yang di bangun di lokasi. – Hal ini bertujuan membuat biaya
yang murah (karena fabrikasi) dan pembangunan yang cepat. Di perkirakan di butuhkan
hanya 24 bulan untuk membangun 1000 MW dibanding 5 – 7 tahun untuk LWR. –
Modularity saat ini menjadi bagian dari design philosphy dari Advanced Reactor program
yang di biayai oleh AS.
8. SCALABILITY : Hal ini juga merupakan prinsip desain TSMR sejak awal. Dengan bahan
bakar cair dan reaktor yang sederhana membuat TSMR dapat di buat sangat kecil atau
sangat besar. Bayangkan saat itu saja (1957) Weinberger sudah mendesain reaktor TMSR
dengan daya 2,5 MW untuk propulsi mesin jet bomber yang dapat terbang nonstop
selama beberapa bulan tapi sayang program tersebut di batalkan karena alasan politis. –
Saat ini beberapa perusahaan startup Thorium banyak yang mendesain dengan reaktor
skala kecil seperti 25 MW, 50 MW dan 250 MW yang di tujukan untuk negara2
berkembang. Hal ini tidak mungkin di lakukan oleh reaktor LWR konvensional. Sangat
ideal untuk Indonesia bagian Timur yang konsumsi listrik rendah.
9. TIDAK BUTUH AIR : Hampir semua PLTN memakai pendingin air oleh sebab itu harus
dibangun di pinggir laut atau sungai besar. Karena TSMR memakai garam cair bukan air
sebagai pendingin maka TMSR tidak harus di bangun di pinggir laut atau sungai karena
tidak membutuhkan air dalam jumlah besar, sehingga dapat di posisikan di tengah
daratan seperti wilayah Kalimantan Tengah atau di perbatasan Kalimantan.
10. LOAD FOLLOWING : Mungkin salah satu keunggulan TMSR yang pastinya akan di sukai
oleh PLN adalah Load Following karena bahan bakarnya cair maka daya yang di hasilkan
dapat di naikan dan di turunkan dalam waktu cepat. Hal ini berguna khususnya pada
waktu-waktu beban puncak yang biasanya hanya berlangsung tidak lebih dari 2 jam.
Sebagian besar pembangkit listrik PLN adalah base load (PLTU dan PLTA) dimana sulit
untuk menaikan dan menurunkan daya dengan cepat sehingga PLN harus memakai
pembangkit listrik seperti Genset diesel atau Gas yang biayanya mahal untuk mensuplai
daya pada beban puncak – Artinya TMSR memiliki kemapuan base load dan load following
yang tidak di miliki oleh jenis reaktor bahan bakar pada seperti LWR dan HTGR.
11. KEEKONOMISAN TERTINGGI : Salah satu keunggulan yang terpenting adalah
keekonomisan yang tinggi. Karena prinsip Modularity, Scalability menjadikan TMSR
sebagai desain reaktor yang paling sederhana menjadikan biaya pembangunan murah
bahkan lebih murah dari PLTU di perkirakan rata-rata dibawah USD 2,5 Juta per MW
bandingkan dengan LWR yang di kisaran 7 – 8 Juta per MW . Di tambah harga thorium
juga sangat murah dan efisiensi yang tinggi maka biaya produksi listrik TMSR tidak akan
lebih dari USD 3 sen/kwh, sementara rata-rata biaya produksi listrik PLN saat ini di atas
10 – 12 sen dan tarif listrik di kisaran 9 sen maka dari tahun ke tahun subsidi listrik naik
terus dan mungkin dapat membuat PLN menjadi untung karena selama rugi terus –
Bayangkan pemerintah tidak perlu lagi mensubsidi PLN bahkan tarif listrik mungkin dapat
turun.
Walaupun perusahaan Nuklir besar yang membangun PLTN saat ini mencoba mendesain generasi
berikut reaktor jenis PWR generasi berikutnya (Next Gen) dengan beberapa fitur pasive safety,
modularity dan keekonomisan yang lebih tinggi seperti , AP1000 (Westinghouse), Areva EPR
(Areva), ACP 100 (CNNC china), Korea SMART, NuSclae (NuScale), M-Power (Babcock & Wilcox),
dan banyak lagi, tetapi tetap pada akhirnya tidak dapat menandingi TMSR dari sisi keselamatan
dan keekonomisan - TMSR akan menjadi reaktor yang termurah biayanya.
Analoginya adalah ketika tahun 80'an pertama muncul Personal Computer dan saat itu ada
berbagai jenis operating sistem yang meniru Microsoft DOS dan Apple yang sudah muncul
terdahulu dengan Apple II nya. Bahkan ketika Microsoft merelis windows pada tahun 1985
banyak yang mencemooh termasuk Apple tapi 10 tahun kemudian Windows menguasai 87%
pasar operating system termasuk apple akhirnya menyerah dan membiarkan aplikasi Windows
dapat di pakai di Mac OS. Saya yakin hal yang sama akan terjadi dengan reaktor nuklir.
Paska beroperasinya TMSR pada 2020 tidak akan ada lagi pihak yang akan membangun reaktor
yang bukan TMSR dan tidak ada lagi yang akan memakai Uranium sebagai bahan bakar hanya
akan ada 2 pilihan : Thorium atau Limbah Nuklir.
Fungsi lainnya dari TMSR
Di karenakan tempratur yang di hasilkan reaktor TMSR sangat tinggi mendekati 800 C maka
panas ini dapat di manfaatkan antara lain :
PRODUKSI AIR BERSIH : Instalasi Desalinisasi (ID) air laut menjadi air tawar membutuhkan listrik
yang sangat besar karena sebagian besar memakai teknologi Reverse Osmosis (RO), oleh sebab
itu biasanya ID membangun pembangkit listrik sendiri. - Perbedaan dengan TSMR adalah proses
desalinisasi memanfaatkan panas bukan melalui RO, sangat sederhana seperti memanaskan air
di ketel lalu uapnya di dinginkan -- sehingga dari sisi cost akan sangat kompetitif dibanding ID
dengan proses RO karena panas yang di pakai tidak ada biaya alias gratis. -- info lebih lanjut klik
disini.
PRODUKSI HIDROGEN : Panas yang di hasilkan dapat juga di pakai untuk menghasikan hidrogen
yang dapat dipakai untuk menggantikan CNG sebagai bahan bakar kendaraan. -- dibeberapa
negara Eropa, Amerika dan Jepang kendaraan umum seperti bus banyak yang memakai Hidrogen
di banding CNG atau dapat menggantikan premium. Biaya per liter Hydrogen (H2) di perkirakan
hanya sepertiga harga bahan bakar minyak (premium/pertamax) atau seperempat harga gas
CNG, info lebih lanjut klik disini

Jadi jelas sekali bahwa bukan saja TMSR dapat menghasilkan listrik tetapi juga menghasilkan
beberapa manfaat lainnya yang tidak dapat di lakukan oleh pembangkit listrik lainnya.
Perkembangan TMSR saat ini
Sejak terjadinya Fukushima pembahasan tentang TMSR mulai hidup kembali bahkan sebuah
forum International, International Thorium Energy Organisation sudah di bentuk dan melakukan
konprensi internasional, International Thorium Energy Conferences (IThEC) setiap tahun sejak
2010. Bahkan Sekjen Badan Dunia Energi Nuklir, IAEA, Hans Blix dan Carlo Rubbia, pemenang
Hadiah Nobel Fisika dan juga menjabat Direktur CERN yang keduanya hadir sebagai pembicara
pada IThEC 2013 untuk memberikan dukungan terhadap Thorium yang di sampaikan sebagai
sumber energi masa depan -- Hadirnya kedua tokoh Nuklir yang terpandang tersebut
menunjukan bahwa Thorium Energy bukanlah lagi sebuah wacana tetapi merupakan sebuah
realita yang akan terjadi dalam waktu dekat. (interview Hans Blix tentang Thorium Energy dan
Presentasi Carlo Rubbia pada IThEO 2013 dapat di lihat dengan mengklik namanya di atas)
China dan India menjadikan TMSR menjadi program energi nasional dan berlomba untuk menjadi
yang pertama. China telah menunjuk Chinese Acedemy of Scince (CAS) sebagai pimpinan proyek
TMSR. Ambisi China menjadi negara pertama yang mengoperasikan TSMR secara komersial,
target mereka pada tahun 2020 TSMR dengan daya listrik 100 MW sudah dapat beroperasi dan
1000 MW pada 2030. - Presentasi DR. HongJie XU kepala Shanghai Institute of Applied Physics
(SINAP) pada International Thorium Conference 2013 (klik disini)
Komitmen China untuk mengurangi penemaran udara jelas sekali dengan mengurangi
penggunaan PLTU batubara dan menggantikannya dengan Nuklir dan Hydro. Saat ini China
mengoperasikan 26 PLTN dan 24 PLTN dalam konstruksi belum lagi yang masih dalam
pengembangan seperti TMSR. Pada akhir 2030 di rencanakan 150 GWe akan di hasilkan oleh
PLTN yang jauh lebih besar dibanding Amerika. - China mengoperasikan beberapa jenis tipe
reaktor yang sebagian besar adalah turunan PWR yang Generasi III+ tetapi adalah TSMR yang
Generasi IV dimana harapan kemandirian energi China di gantungkan.
China berambisi untuk menjadi negara pertama yang mengoperasikan TMSR dan akan
menjadikan reaktor export untuk negara-negara berkembang. Untuk merealisasikan ambisi
tersebut jelas terlihat. Pada tahun 2011 CAS di berikan anggaran USD 350 Juta sebagai anggaran
tahap awal dengan komitmen USD 1 Milyar selama 5 tahun dan CAS sampai saat ini telah
merekrut lebih dari 300 Sarjana S3 dalam berbagai bidang. CAS juga telah melakukan kerjasama
dengan Kementrian Energi AS, Oak Ridge National Laboratory tempat di mana MSR pertama di
buat dan Fakultas Tehnik Nuklir MIT. – Jelas dengan komitmen yang tinggi seperti ini Kami yakin
China akan berhasil mengoperasikan TMSR pertama sebelum 2020. - (berita)
Ada sekitar 25 perusahaan 12 negara di Dunia yang saat ini melakukan pengembangan TMSR
termasuk China dan India tetapi sebagian besar adalah dibiayai oleh Swasta, hanya China dan
India yang menjadi program Nasional. Program Nasional TMSR di India di motori oleh Bhabha
Atomic Research Center (BARC) sebuah lembaga penelitian nuklir terkemuka di India yang
berada di Mumbay tempat Konperensi Thorium International 2015 di adakan tahun ini.
Program TSMR di China di motori oleh Chinese Academy of Science (CAS) yang berpusat di
Shanghai. Di Eropa, beberapa universitas membentuk konsorsium untuk mengembangkan
program TSMR yang disebut SAMOFAR yang di motori oleh Tehnical University Delf, Belanda.
Salah satu pendukung energi Nuklir adalah Bill Gates, ia menghabiskan lebih dari 10 tahun
dan Milyaran Dollar untuk membiayai berbagai teknologi energi bersih mulai dari teknologi
baterai, Photovoltaic sampai Reaktor Nuklir dengan tujuan untuk membantu negara-negara
terkebelakang seperti di Afrika untuk mendapatkan listrik murah dan bersih untuk
mengangkat negara tersebut dari kemiskinan. - Video Bill Gates on Energy | TED Talk.
Pada akhirnya Gates menilai jawaban dari persoalan energi hanya ada pada Reaktor Nuklir
Generasi berikutnya yang disebut SMR (Small Modular Reactor). Untuk itu Gates menginves
dananya di Terrapower yang mendesain reaktor Reaktor Nuklir baru yang diberi nama
Travelling Wave Reactor (TWR) yang mempergunakan bahan bakar limbah nuklir (depleted
uranium) – Walaupun TWR adalah reaktor jenis berbeda dengan MSR tetapi memiliki
karakteristik yang sama yang disebut SMR.
Pola bisnis mempergunakan limbah nuklir, yang menjadi masalah bagi negara-negara nuklir
bukan hanya Terrapower yang melakukan tetapi beberapa perusahaan lainnya seperti
Copenhagen Atomics dan Steenkampskraal Thorium yang memakai Reaktor MSR yang juga
dapat memanfaatkan limbah Nuklir sebagai bahan bakar. – Sehinggga MSR dapat menjadi
solusi bagi industri Nuklir yang selama ini tidak ada jalan keluar selain di simpan dalam kolam
air di kompleks reaktor atau di bunker di dalam tanah.
Ketika China pada tahun 2020 mengoperasikan TSMR maka saat itu adalah hari kematian
energi fossil, seperti batubara, minyak bumi, gas bumi bahkan Jenis reaktor turunan LWR
lainnya tidak akan ada yang memakai lagi. Karena dari sisi keekonomisan jelas tidak akan
tertandingi dari jenis pembangkitan energi lainnya sampai mungkin teknologi Cold Fusion
muncul.
Kalo memang bagus mengapa tidak ada yang pakai?
Kalo benar bahwa TMSR lebih murah, lebih aman dan menghasilkan limbah nuklir lebih
sedikit dari Uranium/LWR mengapa saat ini tidak ada satupun juga PLTN TMSR yang
beroperasi? ini adalah pertanyaan seorang pejabat ESDM. Sebenarnya ini adalah pertanyaan
wajar tapi untuk menjawabnya tidak dapat diberika jawaban secara langsung. Saya akan
mencoba menjawab pertanyaan ini.
Pertama bahwa TSMR adalah reaktor yang terbukti (proven) hal itu tidak dapat dibantah
seperti telah Kami jelaskan di atas telah bekerja selama 20,000 jam antara tahun 1965 - 1969.
Kedua, mengapa tidak ada yang memakai saat ini?
Seperti Kami jelaskan di atas, pada awal pengembangan teknologi nuklir adalah berlatar
belakang perang dingin antara AS/NATO vs Soviet/Warsawa yang mana alat deterent
(pengancaman) yang di pergunakan adalah senjata nuklir oleh sebab itu kedua belah pihak
berlomba mengumpulkan plutonium yang tidak bisa di dapat di alam dengan membangun
pabrik plutonium yang tidak lain adalah reaktor daya LWR -- sementara reaktor TSMR tidak
menghasilkan Plutonium sehingga tidak menjadi pilihan.
Tapi setelah perang dingin selesai tahun 80'an dan senjata nuklir di kurangi, mengapa TSMR
tidak juga muncul? -- setelah lebih dari 30 tahun Industri Nuklir yang mengandalkan reaktor
LWR dan sejenisnya yang mengunakan Uranium padat sudah cukup besar dan mapan, mulai
dari konstruksi, pembuatan bahan bakar sampai jasa pemeliharaan, tentunya mereka tidak
ingin ada perubahan mendasar dalam Industri Nuklir apalagi bahan bakar cair. Ini adalah
sebuah pemikiran yang pastinya dilakukan oleh Industri manapun juga dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Mengambil contoh lain. Kita tahu bahwa ada 2 jenis voltase di dunia, 110V dan 220 volt.
Indonesia saat ini memakai 220 volt tetapi sekitar tahun 70'an Indonesia sempat memakai
voltase 110 volt dan selama beberapa tahun kemudian secara perlahan terjadi transisi
menjadi 220 sehingga saat ini seluruh Indonesia sudah menjadi 220 Volt. Tetapi mengapa
Amerika sampai saat ini masih mempertahankan 110 volt sementara seluruh dunia, termasuk
Eropa dan Jepang memakai 220V sejak dulu. Bila di kaji secara teknis, sistim 220 jauh lebih
unggul dibanding 110V dari segala aspek termasuk keamanan bagi manusia.
Di mulai 100 tahun yang lalu ketika terjadi perang antara Nikola Tesla yang menjagokan listrik
AC dan Thomas Edison yang menjagokan listrik DC. Perang ini di menangkan Tesla ketika
dengan akhirnya memenangkan tender pembangunan PLTA Niagara Falls (1895) dengan
memakai sistim AC (alternting Current) yang saat ini dipakai di dunia, melawan Edison yang
menawarkan DC (Direct Current). Tetapi sayangnya jaringan listrik ke pelanggan masih di
dominasi oleh Edison sehingga ketika Tesla meminta untuk merubah menjadi 220, Edison dan
Industri alat2 listrik di Amerika menolak, sehinga Tesla mengganti voltase jaringan menjadi
110 - Padahal secara tegas Tesla sebagai pencipta listrik AC mengatakan bahwa yang terbaik
adalah voltase 220. - baca lebih lanjut Power War : AC vs DC.
Lain hal dengan Eropa yang mulai membangun jaringan listrik belakangan pada awal 1920,
belajar dari pengalaman di AS dan mengikuti nasehat Tesla sebagai pencipta listrik AC maka
seluruh jaringan listrik di Eropa berbasis 220V sampai sekarang. Dan sampai awal 1950'an
Amerika selalu mempengaruhi dunia2 berkembang seperti Asia untuk memilih 110 dibanding
220 karena alasan sederhana. Saat itu semua alat2 listrik amerika berbasis 110 dan alat2
listrik eropa berbasis 220 maka dibalik pemilihan voltase ada sebuah industri besar yang akan
ikut masuk. - Walaupun saat ini hampir semua pabrik alat2 listrik memproduksi 110 maupun
220.
Bahkan bila Kami katakan bahwa Tesla, 100 tahun yang lalu telah menciptakan pembangkit
yang mengambil listrik dari atmosfir alias gratis dan mentrasmisikan listrik tersebut secara
wireless anda mungkin tidak akan percaya, tapi ini kenyataan dan anehnya di tolak bahkan
instalasi tersebut di hancurkan dan dokumennya dibakar oleh JP Morgan karena masalah
sepele tidak dapat menagih bayaran listrik bila listrik di transmisikan secra wireless -- Silahkan
google "Wanderclyffe Tower" atau membaca tulisan saya tentang hal itu, Energy Gratis,
Mungkinkah ?
Semoga dari penjelasan ini jelas terlihat bahwa bila sudah menyangkut sebuah industri yang
mapan, lebih sering pengambilan keputusan tidak berdasarkan keunggulan teknologi dan
kepentingan pengguna (masyarakat umum) tetapi lebih kepada keuntungan perusahaan dan
untuk mempertahankan dominasi status quo mereka akan mempengaruhi pengambil
kebijakan. Jelas sekali bahwa 220V jauh lebih unggul dan aman tetapi mengapa sampai
sekarang Amerika masih memakai 110V. Nah bila anda dapat menjawab pertanyaan itu maka
anda akan paham mengapa Thorium/Molten Salt Reactor yang jauh lebih aman dan murah
di banding Uranium/LWR tidak ada yang pakai sampai saat ini, jelas bukan jawabannya.
Tetapi semua ini akan berubah karena sudah banyak ilmuwan, Universitas dan banyak
perusahaan yang mulai mengangkat TMSR ke permukaan lagi. Tinggal masalah waktu bahwa
TSMR akan menjadi pembangkit listrik masa depan dan itu dalam waktu dekat tidak lebih dari
10 tahun lagi.
Untuk yang ingin tahu secara teknis dan jelas tentang pertarungan politik di Industri Nuklir
saat itu yang akhirnya di menangkan oleh Kubu Uranium dapat saksikan presentasi video
berikut (klik disini).
Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia, tidak banyak ahli Nuklir yang menyadari tentang TMSR. Bahkan ESDM dan
BATAN dalam Buku Putih PLTN 5000 MW, menargetkan Indonesia akan mengoperasikan
PLTN pertama pada 2030 dengan pilihan Pressurised Water Reactor (PWR) -- yang harus di
ingat adalah Buku Putih tersbut adalah perencanaan 15 tahun dari sekarang yang mana saat
itu PWR sudah menjadi teknologi usang (apalagi isu proliferasi yang bertambah kuat - PWR
menghasilkan Plutonium) yang tidak akan lagi dipakai setelah kemunculan MSR atau reaktor
generasi ke IV lainnya.
Seharus sebuah perencanaan jangka panjang di atas 5 tahun tidak saja melihat teknologi apa
yang ada sekarang tetapi mempertimbangkan apa yang sedang dalam pengembangan. --
Ingat hanya di butuhkan waktu 10 tahun untuk teknologi seluler menggantikan dominasi fixed
line telephone dan 5 tahun kemudian seluler dapat mengakses internet -- Bila saja pihak
Telkom berpikir seperti ESDM dan BATAN dan tidak mendirikan PT Telkomsel pada tahun
1995 ketika seluler baru saja muncul, sangat mungkin saat ini PT Telkom sudah bangkrut.
Karena faktanya Income terbesar PT Telkom adalah dari Telkomsel.
Dari sisi bahan bakar menurut data BATAN sendiri dalam Buku Putih PLTN, Indonesia hanya
memiliki Cadangan Uranium 63.000ton yang hanya cukup untuk 7 PLTN berdaya 1000 MW
selama 40 tahun – sementara di buku yang sama BATAN menulis bahawa cadangan Thorium
ada sekitar 121.500 (1 ton/tahun untuk 1000 MW) artinya cukup untuk 121 PLTN TMSR
berdaya 1000 MW selama 1000 tahun. – Jelas thorium adalah pilihan yang rasional di banding
Uranium.
Dari sisi keekonomisan BATAN dan ESDM masih menghitung biaya pembangunan PLTN pada
kisaran USD 7 Juta/ MW padahal dalam dokumen IAEA tentang Small-Modular-Reactor
(SMR), di perkirankan reaktor generasi IV SMR akan di desain dengan target biaya di kisaran
USD 3 juta / MW. Professor B. Joseph Lassiter dari Harvard Business School membuat analisa
bila Nuklir akan memberikan dampak kepada pengurangan emisi rumah kaca maka Nuklir
harus lebih murah dari PLTU batubara dan PLTG yang saat ini biaya listriknya termurah di
Amerika USD 2,5 sen/Kwh. Untuk itu ia membandingkan 3 kategori reaktor nuklir, Gen III+
keluarga LWR (AP1000, NuScale), Gen IV Non-MSR (Terrapower, Prism) dan Gen IV MSR
(ThorCon, Transatomic, Terresterial Energy). Hasilnya adalah Gen IV turunan MSR pada 2025
akan lebih murah biayanya daripada PLTU batubara dan dengan pengembangan teknologi
MSR akan menjadi lebih murah dari 2,5 sen/kwh pada tahun 2050. Tentunya bila kita
melakukan perencanaan jangka panjang teknologi dalam pengembangan seperti Gen IV ini
harus di masukan kedalam kosideran.

Karena ketidaktahuan tentang adanya teknologi Nukir yang jauh lebih aman dibanding LWR
maka Dewan Energi Nasional (DEN) dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional menempatkan
Nuklir sebagai opsi terakhir. Hal ini karena kekuatiran terhadap: Kecelakan (meltdown) dan
radiasi yang sesungguhnya lebih banyak isu daripada faktanya, seperti pernah saya tulis
dalam tulisan saya sebelumnya PLTN antara isu dan fakta. Tapi sayang dari pihak BATAN
maupun ESDM tidak ada yang memberikan keterangan pembelaan terhadap PLTN sehingga
kalimat "opsi terakhir" masuk dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional.
Pada tahun 2030 China dan India sudah mulai akan mengoperasikan TMSR 1000 MW dan
pada saat itu sangat mungkin China akan sudah akan menjual TSMR ke Indonesia dengan
harga murah -- Bila Indonesia ingin memiliki kemandirian energi melalui penguasaan
teknologi nuklir inilah saatnya sebagaimana di amanatkan oleh Presiden Soekarno ketika
meresmikan reaktor nuklir pertama di Bandung pada tahun 1965, satu tahun sebelum Jepang
memiliki reaktor Nuklir. Tetapi 57 tahun kemudian setelah memiliki 3 reaktor eksperimen, 2
lembaga Nuklir (BATAN dan BAPETEN) dan 2 fakultas nuklir (ITB, UGM) Indonesia masih
bermimpi memiliki PLTN.
Masalah ini sebenarnya sangat sederhana saja. Perintahkan BUMN yang begerak dalam
bidang Nuklir, PT INUKI (Industri Nuklir Indonesia) untuk bekerjasama dengan salah satu
perusahaan yang sedang melakukan pengembangan MSR yang sebagian besar adalah startup
dan membutuhkan suntikan dana -- sama seperti yang di lakukan oleh Nurtanio yang
bekerjasama dengan CASA ketika membuat pesawat pertamanya CN-212 yang berhasil
melambungkan Nurtanio dalam waktu singkat menjadi Industri Pesawat Terbang kelas Dunia.
Maka bila hal ini dilakukan dalam masa pemerintahan ini, saya yakin sebelum 2025 Indonesia
sudah akan memiliki PLTN MSR skala 50 - 100 MW yang patennya di miliki bersama oleh
Indonesia.
Selanjutnya Kami mengusulkan TMSR atau PLTN Thorium disebut PLTT (Pembangkit Listrik
Tenaga Thorium) untuk membedakan dengan PLTN (LWR) yang selalu identik dengan
Uranium/Plutonium.

Sebagai penutup, bahwa tanpa di sadari Masyarakat dunia termasuk Indonesia sudah
memanfaatkan Thorium Power sejak lebih dari 100 tahun tepatnya sejak tahun 1910 yaitu:
Petromax yang sesungguhnya adalah sebuah reaktor bertenaga Thorium. Artikelnya dapat di
baca di PETROMAX: Reaktor bertenaga Thorium.
Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi dan masukan bagi para pengambil keputusan di
Indonesia untuk dapat mengkaji ulang perencanaan energi masa depan Indonesia, khususnya
Nuklir.
Jakarta 10 Juli 2015
Bob S. Effendi
Untuk yang ingin mempelajari lebih dalam tentang Thorium Energy, saya berikan link ke
beberapa video di paling bawah tulisan ini.
Gallery:

Gambar diatas memperlihatkan berita di koran ketika reaktor MSR menjadi Critical (sampai
pada titik dimana reaktor siap bekerja secara stabil) pada 2 Juni 1965. Salah satu kalimat yang
menarik adalah:
"The MSRE will now be operated at gradually increasing power levels. Then it will be shutdown
for examination. Then it will be started up again..."
Kalimat ini sangat signifikan bagi ahli nuklir menceritakan bagaiman dengan mudah daya
reaktor dapat di naikan dan reaktor dapat di berhentikan dengan mudah kemudian di start
kembali sesuatu yang tidak dapat dilakukan dengan mudah oleh reaktor LWR
Karena Angkatan Laut memulai program Kapal bertenaga Nuklir, Angkatan Udara AS juga
tidak mau ketinggalam maka antara tahun 1947 - 1951 US Airforce membuat program
Nuclear Energy for the Propulsion of Aircraft (NEPA) dan salah satu Institusi yang
mendapatkan kontrak untuk menciptakan mesin pesawat tersebut adalah Oak Ridge National
Laboratory yang saat itu di pimpin oleh Weinberger yang kemudian membuat program
Aircraft Nuclear Propulsion. Desain mesin nya memakai reaktor Molten Salt Reactor 2,5 MW
dengan bahan bakar Thorium secara teori dapat terbang selama 3 bulan nonstop, desain ini
sudah di approve oleh Airforce sayangnya keburu program thorium di hentikan. -- Bayangkan
reaktor MSR dapat di buat sekecil itu (lihat gambar) yang tidak mungkin di lakukan oleh
reaktor LWR atau sejenisnya.
Bill Gates ingin bekerjasama dengan China untuk mengembangkan Reaktor Nuklir MSR
dikarenkan proses licensing di Amerika yang cukup rumit dan memakan waktu lama.
Sementara Gates ingin mengoperasikan reaktor sebelum 2020.
Untuk mendorong pengembangan, penelitian dan promosi Thorium Energy, berbagai pihak
dari multisektor membentuk Thorium Working Group Indonesia, yang terdiri dari personil PT
INUKI, Fak Tehnik Fisika UGM, Bapeten dan BATAN. (penulis: no 2 dari kanan)

PT INUKI telah bekerjasama dengan ThorCon Power dalam pengembangan MSR yang
rencananya akan di bangun di Indonesia. Pemilihan ThorCon adalah karena pemanfaatan
galangan kapal sebagai fabrikasi reaktor yang dapat mendorong industri maritim.

Desain reaktor MSR milik ThorCon yang dibuat secara modular dengan teknologi galangan
kapal sehingga dapat dibuat secara cepat dan dapat meningkatkan kapasitas kemampuan
galangan kapal Indonesia - Reaktor 1000 MW di desain untuk dapat masuk kedalam kapal
ukuran ULCC (550,000 DWT) sehingga reaktor secara utuh dapat di angkut dengan kapal ke
lokasi.
(SOURCE)

Penulis: Bob S. Effendi

Pelaku industri migas dan energi terbarukan, konsultan ICT, pemerhati pertahanan, trainer & motivator, aktifis
sosial dan konservasi keanekaragaman hayati

Anda mungkin juga menyukai