Bayangkan bola dalam genggaman tangan seperti gambar di atas dapat memberikan listrik untuk
rumah anda selama 100 tahun lebih atau sebesar bola basket dapat mengaliri Listrik sebuah Kota
selama setahun atau bahkan sebuah pesawat terbang yang dapat terbang selama 3 bulan tanpa
mendarat dan mengisi bahan bakar. Ini semua bukanlah bagian dari fantasi sebuah film
Hollywood tetapi akan menjadi kenyataan dalam 5 – 10 tahun lagi.
Bahan bakar yang kami maksud adalah Thorium yang memilki densitas energi terpadat sehingga
1 ton Thorium yang hanya sebesar bola basket dapat menjadi bahan bakar pembangkit listrik
berdaya 1000 MW selama 1 tahun. Bandingkan dengan uranium yang membutuhkan 200 ton
atau batubara yang membutuhkan 3,5 juta ton. - dan yang lebih menggembirakan bahwa
indonesia memilki Cadangan Thorium untuk 1000 tahun. Bahan bakar dalam reaksi fisi
sesungguhnya adalah Elemen Bahan Nuklir (Nuclear Fuel) karena tidak ada yang di bakar dalam
reaksi nuklir.
Revolusi energi berikutnya adalah Thorium Energy, sebuah sumber energi yang bersih,
menghasilkan limbah nuklir yang sangat kecil, tidak dapat di persenjatai, tidak mengeluarkan
emisi apapun dan karena densitas energi yang sangat tinggi maka energi yang dihasilkan sangat
murah.
Thorium akan mengakhiri pengunaan bahan bakar berbasis fosil seperti minyak dan batubara
selamanya karena di masa depan kendaraan, kapal laut bahkan pesawat terbang dapat memakai
Thorium sebagai bahan bakar.
DR. Carla Rubbia, pemenang hadiah Nobel Fisika dan Direktur CERN, lembaga Riset Nuklir Eropa
mengatakan dalam Konprensi Thorium Internasional 2013:
"there is more than 4500 times more energy available to us in Thorium than there is in all the
fossil resources combined, that ought to make Thorium Energy sustainable." (Carla Rubbia).
"Ada lebih dari 4500 kali lebih banyak energi yang terkandung dalam Thorium daripada
seluruh sumberdaya energi fossil di gabungkan, yang membuat Energi Thorium
berkelanjutan. "(Carla Rubbia)
Menurut Rubbia cadangan Thorium di Bumi cukup untuk memberikan kebutuhan energi dunia
selama 20.000 tahun kedepan...bukan main-main ini adalah pernyataan seorang peraih hadiah
Nobel.
Berakhir sudah tarif listrik PLN yang setiap tahun naik terus, karena tarif listrik dapat turun lebih
dari 30% dan tidak akan naik selama anda hidup.
Ini semua bukan fantasi tapi akan menjadi kenyataan dalam waktu kurang dari 10 tahun dari
sekarang.
Jadi jelas sekali bahwa bukan saja TMSR dapat menghasilkan listrik tetapi juga menghasilkan
beberapa manfaat lainnya yang tidak dapat di lakukan oleh pembangkit listrik lainnya.
Perkembangan TMSR saat ini
Sejak terjadinya Fukushima pembahasan tentang TMSR mulai hidup kembali bahkan sebuah
forum International, International Thorium Energy Organisation sudah di bentuk dan melakukan
konprensi internasional, International Thorium Energy Conferences (IThEC) setiap tahun sejak
2010. Bahkan Sekjen Badan Dunia Energi Nuklir, IAEA, Hans Blix dan Carlo Rubbia, pemenang
Hadiah Nobel Fisika dan juga menjabat Direktur CERN yang keduanya hadir sebagai pembicara
pada IThEC 2013 untuk memberikan dukungan terhadap Thorium yang di sampaikan sebagai
sumber energi masa depan -- Hadirnya kedua tokoh Nuklir yang terpandang tersebut
menunjukan bahwa Thorium Energy bukanlah lagi sebuah wacana tetapi merupakan sebuah
realita yang akan terjadi dalam waktu dekat. (interview Hans Blix tentang Thorium Energy dan
Presentasi Carlo Rubbia pada IThEO 2013 dapat di lihat dengan mengklik namanya di atas)
China dan India menjadikan TMSR menjadi program energi nasional dan berlomba untuk menjadi
yang pertama. China telah menunjuk Chinese Acedemy of Scince (CAS) sebagai pimpinan proyek
TMSR. Ambisi China menjadi negara pertama yang mengoperasikan TSMR secara komersial,
target mereka pada tahun 2020 TSMR dengan daya listrik 100 MW sudah dapat beroperasi dan
1000 MW pada 2030. - Presentasi DR. HongJie XU kepala Shanghai Institute of Applied Physics
(SINAP) pada International Thorium Conference 2013 (klik disini)
Komitmen China untuk mengurangi penemaran udara jelas sekali dengan mengurangi
penggunaan PLTU batubara dan menggantikannya dengan Nuklir dan Hydro. Saat ini China
mengoperasikan 26 PLTN dan 24 PLTN dalam konstruksi belum lagi yang masih dalam
pengembangan seperti TMSR. Pada akhir 2030 di rencanakan 150 GWe akan di hasilkan oleh
PLTN yang jauh lebih besar dibanding Amerika. - China mengoperasikan beberapa jenis tipe
reaktor yang sebagian besar adalah turunan PWR yang Generasi III+ tetapi adalah TSMR yang
Generasi IV dimana harapan kemandirian energi China di gantungkan.
China berambisi untuk menjadi negara pertama yang mengoperasikan TMSR dan akan
menjadikan reaktor export untuk negara-negara berkembang. Untuk merealisasikan ambisi
tersebut jelas terlihat. Pada tahun 2011 CAS di berikan anggaran USD 350 Juta sebagai anggaran
tahap awal dengan komitmen USD 1 Milyar selama 5 tahun dan CAS sampai saat ini telah
merekrut lebih dari 300 Sarjana S3 dalam berbagai bidang. CAS juga telah melakukan kerjasama
dengan Kementrian Energi AS, Oak Ridge National Laboratory tempat di mana MSR pertama di
buat dan Fakultas Tehnik Nuklir MIT. – Jelas dengan komitmen yang tinggi seperti ini Kami yakin
China akan berhasil mengoperasikan TMSR pertama sebelum 2020. - (berita)
Ada sekitar 25 perusahaan 12 negara di Dunia yang saat ini melakukan pengembangan TMSR
termasuk China dan India tetapi sebagian besar adalah dibiayai oleh Swasta, hanya China dan
India yang menjadi program Nasional. Program Nasional TMSR di India di motori oleh Bhabha
Atomic Research Center (BARC) sebuah lembaga penelitian nuklir terkemuka di India yang
berada di Mumbay tempat Konperensi Thorium International 2015 di adakan tahun ini.
Program TSMR di China di motori oleh Chinese Academy of Science (CAS) yang berpusat di
Shanghai. Di Eropa, beberapa universitas membentuk konsorsium untuk mengembangkan
program TSMR yang disebut SAMOFAR yang di motori oleh Tehnical University Delf, Belanda.
Salah satu pendukung energi Nuklir adalah Bill Gates, ia menghabiskan lebih dari 10 tahun
dan Milyaran Dollar untuk membiayai berbagai teknologi energi bersih mulai dari teknologi
baterai, Photovoltaic sampai Reaktor Nuklir dengan tujuan untuk membantu negara-negara
terkebelakang seperti di Afrika untuk mendapatkan listrik murah dan bersih untuk
mengangkat negara tersebut dari kemiskinan. - Video Bill Gates on Energy | TED Talk.
Pada akhirnya Gates menilai jawaban dari persoalan energi hanya ada pada Reaktor Nuklir
Generasi berikutnya yang disebut SMR (Small Modular Reactor). Untuk itu Gates menginves
dananya di Terrapower yang mendesain reaktor Reaktor Nuklir baru yang diberi nama
Travelling Wave Reactor (TWR) yang mempergunakan bahan bakar limbah nuklir (depleted
uranium) – Walaupun TWR adalah reaktor jenis berbeda dengan MSR tetapi memiliki
karakteristik yang sama yang disebut SMR.
Pola bisnis mempergunakan limbah nuklir, yang menjadi masalah bagi negara-negara nuklir
bukan hanya Terrapower yang melakukan tetapi beberapa perusahaan lainnya seperti
Copenhagen Atomics dan Steenkampskraal Thorium yang memakai Reaktor MSR yang juga
dapat memanfaatkan limbah Nuklir sebagai bahan bakar. – Sehinggga MSR dapat menjadi
solusi bagi industri Nuklir yang selama ini tidak ada jalan keluar selain di simpan dalam kolam
air di kompleks reaktor atau di bunker di dalam tanah.
Ketika China pada tahun 2020 mengoperasikan TSMR maka saat itu adalah hari kematian
energi fossil, seperti batubara, minyak bumi, gas bumi bahkan Jenis reaktor turunan LWR
lainnya tidak akan ada yang memakai lagi. Karena dari sisi keekonomisan jelas tidak akan
tertandingi dari jenis pembangkitan energi lainnya sampai mungkin teknologi Cold Fusion
muncul.
Kalo memang bagus mengapa tidak ada yang pakai?
Kalo benar bahwa TMSR lebih murah, lebih aman dan menghasilkan limbah nuklir lebih
sedikit dari Uranium/LWR mengapa saat ini tidak ada satupun juga PLTN TMSR yang
beroperasi? ini adalah pertanyaan seorang pejabat ESDM. Sebenarnya ini adalah pertanyaan
wajar tapi untuk menjawabnya tidak dapat diberika jawaban secara langsung. Saya akan
mencoba menjawab pertanyaan ini.
Pertama bahwa TSMR adalah reaktor yang terbukti (proven) hal itu tidak dapat dibantah
seperti telah Kami jelaskan di atas telah bekerja selama 20,000 jam antara tahun 1965 - 1969.
Kedua, mengapa tidak ada yang memakai saat ini?
Seperti Kami jelaskan di atas, pada awal pengembangan teknologi nuklir adalah berlatar
belakang perang dingin antara AS/NATO vs Soviet/Warsawa yang mana alat deterent
(pengancaman) yang di pergunakan adalah senjata nuklir oleh sebab itu kedua belah pihak
berlomba mengumpulkan plutonium yang tidak bisa di dapat di alam dengan membangun
pabrik plutonium yang tidak lain adalah reaktor daya LWR -- sementara reaktor TSMR tidak
menghasilkan Plutonium sehingga tidak menjadi pilihan.
Tapi setelah perang dingin selesai tahun 80'an dan senjata nuklir di kurangi, mengapa TSMR
tidak juga muncul? -- setelah lebih dari 30 tahun Industri Nuklir yang mengandalkan reaktor
LWR dan sejenisnya yang mengunakan Uranium padat sudah cukup besar dan mapan, mulai
dari konstruksi, pembuatan bahan bakar sampai jasa pemeliharaan, tentunya mereka tidak
ingin ada perubahan mendasar dalam Industri Nuklir apalagi bahan bakar cair. Ini adalah
sebuah pemikiran yang pastinya dilakukan oleh Industri manapun juga dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Mengambil contoh lain. Kita tahu bahwa ada 2 jenis voltase di dunia, 110V dan 220 volt.
Indonesia saat ini memakai 220 volt tetapi sekitar tahun 70'an Indonesia sempat memakai
voltase 110 volt dan selama beberapa tahun kemudian secara perlahan terjadi transisi
menjadi 220 sehingga saat ini seluruh Indonesia sudah menjadi 220 Volt. Tetapi mengapa
Amerika sampai saat ini masih mempertahankan 110 volt sementara seluruh dunia, termasuk
Eropa dan Jepang memakai 220V sejak dulu. Bila di kaji secara teknis, sistim 220 jauh lebih
unggul dibanding 110V dari segala aspek termasuk keamanan bagi manusia.
Di mulai 100 tahun yang lalu ketika terjadi perang antara Nikola Tesla yang menjagokan listrik
AC dan Thomas Edison yang menjagokan listrik DC. Perang ini di menangkan Tesla ketika
dengan akhirnya memenangkan tender pembangunan PLTA Niagara Falls (1895) dengan
memakai sistim AC (alternting Current) yang saat ini dipakai di dunia, melawan Edison yang
menawarkan DC (Direct Current). Tetapi sayangnya jaringan listrik ke pelanggan masih di
dominasi oleh Edison sehingga ketika Tesla meminta untuk merubah menjadi 220, Edison dan
Industri alat2 listrik di Amerika menolak, sehinga Tesla mengganti voltase jaringan menjadi
110 - Padahal secara tegas Tesla sebagai pencipta listrik AC mengatakan bahwa yang terbaik
adalah voltase 220. - baca lebih lanjut Power War : AC vs DC.
Lain hal dengan Eropa yang mulai membangun jaringan listrik belakangan pada awal 1920,
belajar dari pengalaman di AS dan mengikuti nasehat Tesla sebagai pencipta listrik AC maka
seluruh jaringan listrik di Eropa berbasis 220V sampai sekarang. Dan sampai awal 1950'an
Amerika selalu mempengaruhi dunia2 berkembang seperti Asia untuk memilih 110 dibanding
220 karena alasan sederhana. Saat itu semua alat2 listrik amerika berbasis 110 dan alat2
listrik eropa berbasis 220 maka dibalik pemilihan voltase ada sebuah industri besar yang akan
ikut masuk. - Walaupun saat ini hampir semua pabrik alat2 listrik memproduksi 110 maupun
220.
Bahkan bila Kami katakan bahwa Tesla, 100 tahun yang lalu telah menciptakan pembangkit
yang mengambil listrik dari atmosfir alias gratis dan mentrasmisikan listrik tersebut secara
wireless anda mungkin tidak akan percaya, tapi ini kenyataan dan anehnya di tolak bahkan
instalasi tersebut di hancurkan dan dokumennya dibakar oleh JP Morgan karena masalah
sepele tidak dapat menagih bayaran listrik bila listrik di transmisikan secra wireless -- Silahkan
google "Wanderclyffe Tower" atau membaca tulisan saya tentang hal itu, Energy Gratis,
Mungkinkah ?
Semoga dari penjelasan ini jelas terlihat bahwa bila sudah menyangkut sebuah industri yang
mapan, lebih sering pengambilan keputusan tidak berdasarkan keunggulan teknologi dan
kepentingan pengguna (masyarakat umum) tetapi lebih kepada keuntungan perusahaan dan
untuk mempertahankan dominasi status quo mereka akan mempengaruhi pengambil
kebijakan. Jelas sekali bahwa 220V jauh lebih unggul dan aman tetapi mengapa sampai
sekarang Amerika masih memakai 110V. Nah bila anda dapat menjawab pertanyaan itu maka
anda akan paham mengapa Thorium/Molten Salt Reactor yang jauh lebih aman dan murah
di banding Uranium/LWR tidak ada yang pakai sampai saat ini, jelas bukan jawabannya.
Tetapi semua ini akan berubah karena sudah banyak ilmuwan, Universitas dan banyak
perusahaan yang mulai mengangkat TMSR ke permukaan lagi. Tinggal masalah waktu bahwa
TSMR akan menjadi pembangkit listrik masa depan dan itu dalam waktu dekat tidak lebih dari
10 tahun lagi.
Untuk yang ingin tahu secara teknis dan jelas tentang pertarungan politik di Industri Nuklir
saat itu yang akhirnya di menangkan oleh Kubu Uranium dapat saksikan presentasi video
berikut (klik disini).
Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia, tidak banyak ahli Nuklir yang menyadari tentang TMSR. Bahkan ESDM dan
BATAN dalam Buku Putih PLTN 5000 MW, menargetkan Indonesia akan mengoperasikan
PLTN pertama pada 2030 dengan pilihan Pressurised Water Reactor (PWR) -- yang harus di
ingat adalah Buku Putih tersbut adalah perencanaan 15 tahun dari sekarang yang mana saat
itu PWR sudah menjadi teknologi usang (apalagi isu proliferasi yang bertambah kuat - PWR
menghasilkan Plutonium) yang tidak akan lagi dipakai setelah kemunculan MSR atau reaktor
generasi ke IV lainnya.
Seharus sebuah perencanaan jangka panjang di atas 5 tahun tidak saja melihat teknologi apa
yang ada sekarang tetapi mempertimbangkan apa yang sedang dalam pengembangan. --
Ingat hanya di butuhkan waktu 10 tahun untuk teknologi seluler menggantikan dominasi fixed
line telephone dan 5 tahun kemudian seluler dapat mengakses internet -- Bila saja pihak
Telkom berpikir seperti ESDM dan BATAN dan tidak mendirikan PT Telkomsel pada tahun
1995 ketika seluler baru saja muncul, sangat mungkin saat ini PT Telkom sudah bangkrut.
Karena faktanya Income terbesar PT Telkom adalah dari Telkomsel.
Dari sisi bahan bakar menurut data BATAN sendiri dalam Buku Putih PLTN, Indonesia hanya
memiliki Cadangan Uranium 63.000ton yang hanya cukup untuk 7 PLTN berdaya 1000 MW
selama 40 tahun – sementara di buku yang sama BATAN menulis bahawa cadangan Thorium
ada sekitar 121.500 (1 ton/tahun untuk 1000 MW) artinya cukup untuk 121 PLTN TMSR
berdaya 1000 MW selama 1000 tahun. – Jelas thorium adalah pilihan yang rasional di banding
Uranium.
Dari sisi keekonomisan BATAN dan ESDM masih menghitung biaya pembangunan PLTN pada
kisaran USD 7 Juta/ MW padahal dalam dokumen IAEA tentang Small-Modular-Reactor
(SMR), di perkirankan reaktor generasi IV SMR akan di desain dengan target biaya di kisaran
USD 3 juta / MW. Professor B. Joseph Lassiter dari Harvard Business School membuat analisa
bila Nuklir akan memberikan dampak kepada pengurangan emisi rumah kaca maka Nuklir
harus lebih murah dari PLTU batubara dan PLTG yang saat ini biaya listriknya termurah di
Amerika USD 2,5 sen/Kwh. Untuk itu ia membandingkan 3 kategori reaktor nuklir, Gen III+
keluarga LWR (AP1000, NuScale), Gen IV Non-MSR (Terrapower, Prism) dan Gen IV MSR
(ThorCon, Transatomic, Terresterial Energy). Hasilnya adalah Gen IV turunan MSR pada 2025
akan lebih murah biayanya daripada PLTU batubara dan dengan pengembangan teknologi
MSR akan menjadi lebih murah dari 2,5 sen/kwh pada tahun 2050. Tentunya bila kita
melakukan perencanaan jangka panjang teknologi dalam pengembangan seperti Gen IV ini
harus di masukan kedalam kosideran.
Karena ketidaktahuan tentang adanya teknologi Nukir yang jauh lebih aman dibanding LWR
maka Dewan Energi Nasional (DEN) dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional menempatkan
Nuklir sebagai opsi terakhir. Hal ini karena kekuatiran terhadap: Kecelakan (meltdown) dan
radiasi yang sesungguhnya lebih banyak isu daripada faktanya, seperti pernah saya tulis
dalam tulisan saya sebelumnya PLTN antara isu dan fakta. Tapi sayang dari pihak BATAN
maupun ESDM tidak ada yang memberikan keterangan pembelaan terhadap PLTN sehingga
kalimat "opsi terakhir" masuk dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional.
Pada tahun 2030 China dan India sudah mulai akan mengoperasikan TMSR 1000 MW dan
pada saat itu sangat mungkin China akan sudah akan menjual TSMR ke Indonesia dengan
harga murah -- Bila Indonesia ingin memiliki kemandirian energi melalui penguasaan
teknologi nuklir inilah saatnya sebagaimana di amanatkan oleh Presiden Soekarno ketika
meresmikan reaktor nuklir pertama di Bandung pada tahun 1965, satu tahun sebelum Jepang
memiliki reaktor Nuklir. Tetapi 57 tahun kemudian setelah memiliki 3 reaktor eksperimen, 2
lembaga Nuklir (BATAN dan BAPETEN) dan 2 fakultas nuklir (ITB, UGM) Indonesia masih
bermimpi memiliki PLTN.
Masalah ini sebenarnya sangat sederhana saja. Perintahkan BUMN yang begerak dalam
bidang Nuklir, PT INUKI (Industri Nuklir Indonesia) untuk bekerjasama dengan salah satu
perusahaan yang sedang melakukan pengembangan MSR yang sebagian besar adalah startup
dan membutuhkan suntikan dana -- sama seperti yang di lakukan oleh Nurtanio yang
bekerjasama dengan CASA ketika membuat pesawat pertamanya CN-212 yang berhasil
melambungkan Nurtanio dalam waktu singkat menjadi Industri Pesawat Terbang kelas Dunia.
Maka bila hal ini dilakukan dalam masa pemerintahan ini, saya yakin sebelum 2025 Indonesia
sudah akan memiliki PLTN MSR skala 50 - 100 MW yang patennya di miliki bersama oleh
Indonesia.
Selanjutnya Kami mengusulkan TMSR atau PLTN Thorium disebut PLTT (Pembangkit Listrik
Tenaga Thorium) untuk membedakan dengan PLTN (LWR) yang selalu identik dengan
Uranium/Plutonium.
Sebagai penutup, bahwa tanpa di sadari Masyarakat dunia termasuk Indonesia sudah
memanfaatkan Thorium Power sejak lebih dari 100 tahun tepatnya sejak tahun 1910 yaitu:
Petromax yang sesungguhnya adalah sebuah reaktor bertenaga Thorium. Artikelnya dapat di
baca di PETROMAX: Reaktor bertenaga Thorium.
Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi dan masukan bagi para pengambil keputusan di
Indonesia untuk dapat mengkaji ulang perencanaan energi masa depan Indonesia, khususnya
Nuklir.
Jakarta 10 Juli 2015
Bob S. Effendi
Untuk yang ingin mempelajari lebih dalam tentang Thorium Energy, saya berikan link ke
beberapa video di paling bawah tulisan ini.
Gallery:
Gambar diatas memperlihatkan berita di koran ketika reaktor MSR menjadi Critical (sampai
pada titik dimana reaktor siap bekerja secara stabil) pada 2 Juni 1965. Salah satu kalimat yang
menarik adalah:
"The MSRE will now be operated at gradually increasing power levels. Then it will be shutdown
for examination. Then it will be started up again..."
Kalimat ini sangat signifikan bagi ahli nuklir menceritakan bagaiman dengan mudah daya
reaktor dapat di naikan dan reaktor dapat di berhentikan dengan mudah kemudian di start
kembali sesuatu yang tidak dapat dilakukan dengan mudah oleh reaktor LWR
Karena Angkatan Laut memulai program Kapal bertenaga Nuklir, Angkatan Udara AS juga
tidak mau ketinggalam maka antara tahun 1947 - 1951 US Airforce membuat program
Nuclear Energy for the Propulsion of Aircraft (NEPA) dan salah satu Institusi yang
mendapatkan kontrak untuk menciptakan mesin pesawat tersebut adalah Oak Ridge National
Laboratory yang saat itu di pimpin oleh Weinberger yang kemudian membuat program
Aircraft Nuclear Propulsion. Desain mesin nya memakai reaktor Molten Salt Reactor 2,5 MW
dengan bahan bakar Thorium secara teori dapat terbang selama 3 bulan nonstop, desain ini
sudah di approve oleh Airforce sayangnya keburu program thorium di hentikan. -- Bayangkan
reaktor MSR dapat di buat sekecil itu (lihat gambar) yang tidak mungkin di lakukan oleh
reaktor LWR atau sejenisnya.
Bill Gates ingin bekerjasama dengan China untuk mengembangkan Reaktor Nuklir MSR
dikarenkan proses licensing di Amerika yang cukup rumit dan memakan waktu lama.
Sementara Gates ingin mengoperasikan reaktor sebelum 2020.
Untuk mendorong pengembangan, penelitian dan promosi Thorium Energy, berbagai pihak
dari multisektor membentuk Thorium Working Group Indonesia, yang terdiri dari personil PT
INUKI, Fak Tehnik Fisika UGM, Bapeten dan BATAN. (penulis: no 2 dari kanan)
PT INUKI telah bekerjasama dengan ThorCon Power dalam pengembangan MSR yang
rencananya akan di bangun di Indonesia. Pemilihan ThorCon adalah karena pemanfaatan
galangan kapal sebagai fabrikasi reaktor yang dapat mendorong industri maritim.
Desain reaktor MSR milik ThorCon yang dibuat secara modular dengan teknologi galangan
kapal sehingga dapat dibuat secara cepat dan dapat meningkatkan kapasitas kemampuan
galangan kapal Indonesia - Reaktor 1000 MW di desain untuk dapat masuk kedalam kapal
ukuran ULCC (550,000 DWT) sehingga reaktor secara utuh dapat di angkut dengan kapal ke
lokasi.
(SOURCE)
Pelaku industri migas dan energi terbarukan, konsultan ICT, pemerhati pertahanan, trainer & motivator, aktifis
sosial dan konservasi keanekaragaman hayati