Anda di halaman 1dari 387

Kuliah

KEMUHAMMADIYAHAN
Muhammadiyah Tinjauan Historis, Ideologis, Organisatoris dan Kiprah Gerakan
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan


perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49
Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada
Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
H. Falahuddin, S.Ag., M.Ag., dkk.

Kuliah
KEMUHAMMADIYAHAN
Muhammadiyah Tinjauan Historis, Ideologis, Organisatoris dan Kiprah Gerakan

Lembaga Pengkajian dan Universitas Muhammadiyah


Pengamalan Islam (LP2I) Mataram
Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Kuliah Kemuhammadiyahan: Muhammadiyah Tinjauan


Historis, Ideologis, Organisatoris, dan Kiprah
Gerakan/Falahuddin, dkk./Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LP2I) Universitas Muhammadiyah
Mataram, 2015

xiv + 300 hlm.; 14 x 21 cm


ISBN: 978-602-70088-3-0

I. Pendidikan Islam II. Judul

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau


memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun,
juga tanpa izin tertulis dari penerbit

Kuliah Kemuhammadiyahan: Muhammadiyah Tinjauan Historis,


Ideologis Organisatoris, dan Kiprah Gerakan
Penulis : Falahuddin, S.Ag., M.Ag., dkk.
Editor : Najamudin, M.Pd.I
Lay Out : Muhammad Amalahanif

Cetakan Pertama, Agustus 2015


Penerbit:
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LP2I)
Universitas Muhammadiyah Mataram
Jln. K.H. Ahmad Dahlan No. 1 Nusa Tenggara Barat
Telp. (0370) 6610732
KATA PENGANTAR MAJELIS PENDIDIKAN TINGGI
PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

A lhamdulillahirrabil‟alamiin. Majelis Dikti Pimpinan


Pusat Muhammadiyah dalam
meningkatkan kualitas pendidikan Al-Islam dan
upaya

Kemuhammadiyahan (AIK) telah menerbitkan sebuah


buku sebagai acuan dalam proses pembelajaran Al-Islam
dan Kemuhamamdiyah (AIK) yang bertitel Pedoman Al-
Islam dan Kemuhammadiyahan Untuk Perguruan Tinggi
Muhammadiyah. Sebagai sebuah Pedoman, buku tersebut
berisi pokok-pokok pikiran dan tema tema penting dalam
pelaksanaan pembelajaran AIK.
Kehadiran serial Buku Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan yang terdiri atas 4 (empat) buku,
yang diterbitkan oleh Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LP2I) Universitas Muhammadiyah
Mataram akan menambah khasanah bacaan bagi para
mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan AIK.
Ketersediaan pustaka AIK tersebut sebagai bahan bacaan
pendukung menjadikan proses pembelajaran lebih mudah
diikuti dan lebih produktif. Kempat Buku yang terdiri dari
Kuliah Al-Islam I (Aqidah), Kuliah Al-Islam II (Fiqh

Kata Pengantar Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah ~ v


Ibadah), Kuliah Al-Islam III (Akhlak) dan Kuliah Al-Islam
IV (Kemuhammadiyahan) merupakan salah satu strategi
dalam mengembangkan model-model pendidikan Al-
Islam dan Kemuhammadiyahan yang memberikan
pencerahan paham Islam dan komitmen gerakan
Muhammadiyah yang berkemajuan.
Agar buku tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip dan
pokok-pokok pikiran dalam persyarikatan
Muhammadiyah, maka dari sisi materi (isi) harus dilakukan
evaluasi dan revisi sesuai dengan perkembangan pemikiran
dalam persyarikatan Muhammadiyah.
Majelis Pendidikan Tinggi Pimpinan Pusat
Muhammadiyah memberikan apresiasi dan penghargaan
yang tinggi kepada LP2I atas kehadiran empat buku
tersebut. Kepada para penyusun buku ini, semoga Allah
SWT memberikan pahala atas goresan setiap rangkaian
huruf, kata, dan kalimat dan tercatat sebagai sebuah
Ibadah. Semoga buku ini bermanfaat dan mencerahkan
bagi siapa saja yang membacanya. Amiin.

Yogyakarta, 7 Sya’ban 1436 H./24 Mei 2015

Majelis Dikti PP Muhamadiyah

Ketua, Sekretaris,

Dr. H. Chairil Anwar Muhammad Samsudin, S.Ag.,M.Pd.

vi ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
KATA SAMBUTAN REKTOR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

A lhamdulillah Buku Ajar Kemuhammadiyahan


dalam Tinjauan Historis, Ideologis, Organisatoris
dan Kiprah Gerakan yang ditulis oleh H.
Falahuddin, S.Ag, M.Ag dan kawan-kawan dapat
diselesaikan dengan baik. Sebagai rektor, tentu saya senang
sekaligus bangga, karena dengan kerja keras yang tak kenal
lelah, hampir selama satu tahun lebih buku ini disusun
sehingga dapat terwujud seperti yang ada di tangan
pembaca saat ini.
Kuliah Kemuhammadiyahan merupakan kuliah wajib
bagi seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM).
Sebagai mata kuliah wajib di PTM, kuliah ini bersifat
khusus, karena tujuannya memperkenalkan apa, siapa, dan
bagaimana sejatinya Muhammadiyah itu. Dengan
mengenal hal-hal tersebut, peserta didik (in put) yang
belajar di PTM yang menjadi milik Persyarikatan
Muhammadiyah diharapkan dapat memahami sekaligus
mengkomparasikan Muhammadiayah dengan organisasi
Islam lainnya. Dengan demikian, mata kuliah ini mungkin
kedudukannya sama seperti mata kuliah/pelajaran aswaja
(ahlulussunnah waljama‘ah) di organisasi Nahdlatul Ulama
(NU), mata kuliah kepersisan di organisasi PERSIS
(Persatuan Islam), mata kuliah ke-NW-an di organisasi

Kata Sambutan Rektor Universitas Muhammadiyah Mataram ~ vii


Nahdlatul Wathan (NW) dan mata kuliah sejenis pada
organisasi-organisasi lainnya.
Sebagai rektor, saya mengucapkan banyak terima kasih
kepada penulis yang telah berupaya keras bagi terwujudnya
buku ini. Semoga kerja kerasnya menjadi amal jariyah di
akhirat kelak. Terakhir, mudahan dengan penerbitan buku
Kemuhammadiyahan ini dapat menjadi salah satu
referensi di saat langkanya buku yang berbicara tentang
Muhammadiyah di Nusa Tenggara Barat, khususnya di
Lombok.

Mataram, Februari 2015


Rektor UM. Mataram,

ttd

Drs. Mustamin H. Idris, M.S.

viii ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


KATA PENGANTAR PENULIS

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

A lhamdulillah penulisan buku Kemuhammadiyah-


an dalam Tinjauan Historis, Ideologis,
Organisatoris dan Kiprah Gerakan ini dapat
terwujud setelah melalui penantian yang panjang. Buku ini
merupakan realisasi dari program kerja Lembaga
Pengkajian dan Pengamalan Islam (LP2I) sejak tahun
2012/2013.
Gagasan untuk menulis buku ajar AIK (Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan) ini sesungguhnya bertujuan agar
perkuliahan AIK dapat lebih berkualitas dan efektif,
sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.
Seperti halnya buku Al-Islam, buku ini ditulis selama
lebih dari satu tahun. Setelah diseminarkan, buku ini
kemudian diedit dan selanjutnya diterbitkan. Langkanya
referensi tentang Muhammadiyah di daerah Lombok
menyebabkan proses penulisan buku ini menjadi
tersendat-sendat. Atas dasar petimbangan inilah beberapa
bagian buku ini dikutip langsung dari makalah, buku dan
hasil penelitian dari beberapa tokoh Muhammadiyah yang
penulis kenal selama ±12 tahun tinggal di Yogyakarta.
Buku Kemuhammadiyahan ini mencoba mengenalkan
Muhammadiyah kepada peserta didik dalam empat
perspektif, yaitu historis, ideologis, organisatoris dan
kiprah gerakan. Perspektif historis membahas

Kata Pengantar Penulis ~ ix


Muhammadiyah dari aspek sejarah lahirnya: mengapa,
untuk apa, bagaimana, siapa sosok pendiri dan dalam
konteks apa Muhammadiyah didirikan. Adapun perspektif
ideologis menguraikan Muhammadiyah dari aspek
pandangan hidup (world view) persyarikatan ini: bagaimana
pandangan Muhammadiyah tentang agama, masyarakat,
negara dan lainnya. Sedangkan perspektif organisatoris
mengenalkan Muhammadiyah dari aspek organisatoris:
bagaimana Muhammadiyah mengatur organisasinya dalam
rangka mewujudkan cita-cita hidupnya. Sedangkan
perspektif kiprah gerakan memberikan contoh bagimana
Muhammadiyah memainkan perannya di tengah
masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Dengan keempat perspektif ini diharapkan peserta
didik dapat memahami tentang Muhammadiyah secara
komprehensif, tidak parsial, apalagi melalui cerita lisan
yang tidak akurat dan terpotong-potong. Dengan
demikian, kesalahpahaman tentang Muhammadiyah dapat
diklarifikasi, lalu ditempatkan secara proporsional,
kemudian diluruskan. Perlu kami sampaikan bahwa untuk
lebih menjelaskan dan mempertegas suatu masalah, pada
beberapa bagian buku ini, satu masalah dimunculkan
berulang kali pada bab yang berbeda-beda.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa buku ini memiliki
banyak kekurangan, karena itu kami mengharapkan saran
dan kritik konstruktif dari semua pihak agar buku ini dapat
disempurnakan pada penerbitan yang akan datang.
Kepada semua pihak, terutama jajaran pimpinan

x ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Universitas Muhammadiyah Mataram dan seluruh dosen
AIK, kami haturkan terima kasih yang mendalam dan
apresiasi yang tinggi atas dukungan moral dan material.

Mataram, Desember 2014


Atas nama Penulis,
Ttd.
H. Falahuddin, S.Ag, M.Ag

Kata Pengantar Penulis ~ xi


DAFTAR ISI

Kata Pengantar Majelis Pendidikan Tinggi


Pimpinan Pusat Muhammadiyah ......................... v
Kata Sambutan Rektor Universitas
Muhammadiyah Mataram .................................... vii
Kata Pengantar Penulis ......................................... ix
Daftar Isi ................................................................ xii

BAB I
Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam
dalam Sejarah .................................................................. 1
A. Pengertian pembaharuan .......................................... 1
B. Kemajuan Islam dalam Sejarah ................................ 3
1. Kemajuan Islam pada Masa Nabi Muham-
mad SAW dan Khulafaurrasyidun .................... 3
2. Kemajuan Islam Pada Masa Khalifah Bani
Umayyah (660-750) ............................................. 8
3. Kemajuan Islam Pada Masa Khalifah Bani
Abbasiyah (750-1258) ......................................... 13
4. Kemajuan Islam Di Spanyol (Andalusia) ......... 22
C. Kemunduran Dunia Islam ........................................ 27
1. Krisis Politik ........................................................ 28
2. Krisis Intelektual ................................................. 33
3. Krisis Bidang Keagamaan .................................. 34

xii ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


D. Ide-ide Kemajuan di Dunia Islam ........................... 35
1. Ibnu Taimiyah ..................................................... 36
2. Muhammad bin Abdul Wahhab (1730-1787) . 40
3. Gerakan Salafiyah................................................ 45

Bab II
Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya
Pembaharuan di Indonesia ......................................... 59
A. Teori-teori Masuknya Islam di Nusantara .............. 60
1. Teori Arab ............................................................ 60
2. Teori Gujarat. ...................................................... 61
3. Teori Benggali ..................................................... 61
4. Teori Persia .......................................................... 62
5. Teori Cina ............................................................ 64
B. Proses Perkembangan Islam di Nusantara ............. 65
1. Saluran Perdagangan ........................................... 65
2. Saluran Perkawinan ............................................. 66
3. Saluran Tasauf ..................................................... 66
4. Saluran Pendidikan ............................................. 66
5. Saluran Kesenian ................................................. 67
6. Saluran Politik ...................................................... 67
C. Corak Awal Islam Nusantara ................................... 67
1. Ajaran Syi‘ah ........................................................ 69
2. Ajaran Syafiiyah ................................................... 71
3. Ajaran Hanafi ...................................................... 71
D. Kedatangan dan Penjajahan Barat di Nusantara .... 71
E. Pembaharuan Islam di Indonesia............................. 74

Daftar Isi ~ xiii


Bab III
Sejarah Muhammadiyah .............................................. 82
A. Arti Muhammadiyah .................................................. 82
B. Latar Belakang Lahirnya Muhammadiyah .............. 83
1. Faktor subyektif .................................................. 83
2. Faktor Obyektif ................................................... 84
C. Perjalanan Hidup KH. Ahmad Dahlan ................... 88
D. Pokok-pokok Pemikiran KH. Ahmad Dahlan ...... 113
1. Pemikiran dalam Bidang Keagamaan ............... 113
2. Bidang Kemasyarakatan ..................................... 123
3. Pemikiran Dalam Bidang Kenegaraan ............. 134
E. Bentuk dan Maksud Lambang Muhammadiyah .... 139
F. Maksud dan Tujuan Muhammadiyah ...................... 142

Bab IV
Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup
Muhammadiyah (MKCHM)....................................... 148
A. Iftitah ........................................................................... 148
B. Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muham-
madiyah ....................................................................... 150
C. Penjelasan Matan Keyakinan dan Cita-Cita
Hidup Muhammadiyah ............................................. 152
D. Memahami, Memahamkan, dan Sosialisasi............. 164

Bab V
Kepribadian Muhammadiyahan ................................ 166
A. Hakikat Kepribadian Muhammadiyah .................... 166
B. Sejarah Perumusan ..................................................... 166

xiv ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


C. Rumusan Matan Kepribadian Muhammadiyah ..... 168
1. Apakah Muhammadiyah itu? ............................. 169
2. Dasar Amal Usaha Muhammadiyah ................. 169
3. Pedoman Perjuangan dan Amal Usaha Mu-
hammadiyah ......................................................... 170
4. Sifat Muhammadiyah. ......................................... 171

Bab VI
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah .. 172
A. Hakikat Muqaddimah Anggaran Dasar Mu-
hammadiyah ................................................................ 172
B. Matan Muqaddimah Anggaran Dasar Muham-
madiyah ....................................................................... 172
C. Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar Mu-
hammadiyah ................................................................ 176
1. Landasan Dasar Muhammadiyah Didirikan .... 176
2. Proses Lahirnya Muqaddimah Anggaran Da-
sar Muhammadiyah. ............................................ 176
3. Kandungan Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah ................................................... 178

Bab VII
Masail Khamsah ............................................................. 191
A. Arti dan Kedudukan .................................................. 191
B. Isi Masa‘il Khamsah................................................... 194
1. Agama ................................................................... 194
2. Dunia .................................................................... 198
3. Ibadah ................................................................... 201

Daftar Isi ~ xv
4. Sabilullah .............................................................. 203
5. Qias (Ijtihad) ........................................................ 206

Bab VIII
Firqah, Ahlusunnah Waljama‟ah, Mazhab dan
Muhammadiyah ............................................................. 209
A. Firqah........................................................................... 209
B. Ahlusunnah Wal-Jam‘ah ........................................... 214
C. Mazhab ........................................................................ 218

Bab IX
Pengorganisasi Muhammadiyah ............................... 237
A. Pegertian Organisasi .................................................. 237
B. Sistem Gerakan Organisasi ....................................... 241
C. Struktur Organisasai Muhammadiyah ..................... 243
1. Unsur Pembantu Pimpinan ............................... 245
a. Majelis-Majelis ............................................... 246
b. Lembaga-Lembaga ........................................ 264
2. Organisasi Otonom (ortom) dalam Persyari-
katan Muhammadiyah ........................................ 273
1. Aisyiyah .......................................................... 275
2. Pemuda Muhammadiyah.............................. 284
3. Nasyiatul Aisyiyah ......................................... 287
4. Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) ........ 290
5. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) ............................................................. 295
6. Hitzbul Wathan ............................................. 303
7. Tapak Suci Putra Muhammadiyah .............. 310

xvi ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Bab X
Muhammadiyah dan Kiprah Sosial
Kemasyarakatan ............................................................. 315
A. Muhammadiyah dan Pendidikan.............................. 315
B. Muhammadiyah dan Ekonomi................................. 319
C. Muhammadiyah dan Politik ...................................... 322
D. Muhammadiyah dan Sosial Budaya ......................... 338
E. Dakwah Kultural Muhammadiyah .......................... 343
1. Pengertian Dakwah Kultural ............................. 343
2. Tujuan dan Manfaat Dakwah Kultural bagi
Pengajian Cabang ................................................ 346
3. Batas-batas Dakwah Kultural ............................ 347
4. Bentuk Dakwah Kultural ................................... 350
F. Gerakan Dakwah Jama‘ah ........................................ 353

Daftar Pustaka ................................................................ 361


Biodata Penulis............................................................... 367

Daftar Isi ~ xvii


BAB I
PEMBAHARUAN DAN DINAMIKA DUNIA ISLAM
DALAM SEJARAH

A. Pengertian pembaharuan

D
alam bahasa Arab, pembaharuan disebut dengan
terminologi tajdîd. Secara etimologis, tajdîd berarti
pembaharuan, dan pelakunya disebut mujaddid.
Sedangkan secara terminologis, tajdid memiliki dua arti,
yaitu [1] pemurnian, dan [2] peningkatan, pengembangan,
modernisasi dan yang semakna dengannya (Asjmuni
Abdurrahman, 2003: 285), dalam seluruh aspek ajaran
agama Islam.
Tajdid dalam arti yang pertama (pemurnian),
dimaksudkan sebagai upaya pemeliharaan orisinialitas
ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur‟an dan as-Sunnah
al-Maqbulah. Tajdid dalam arti ini terbatas pada ibadah-
badah Khusus(mahdlah), seperti salat, haji, zakat, puasa dan
lainnya. Tajdid dalam konteks ini juga sering disebut at-
tajrid. Sedangkan dalam arti kedua (peningkatan,
pengembangan, modernisasi), tajdid dimaksudkan sebagai
proses penafsiran ulang terhadap ajaran-ajaran agama
Islam untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman
dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur‟an dan as-
Sunnah as-Maqbulah.
Secara historis, gerakan pembaharuan atau tajdid di
dalam Islam sebenarnya telah muncul sejak kelahiran

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 1


Islam. Tajdid kemudian dianggap sebagai identitas dan
watak agama Islam. Upaya Islam untuk membasmi semua
bentuk paganisme dengan mengusung konsep tauhid
dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat manusia
merupakan contoh konkrit aplikasi tajdid pada saat itu.
Tajdid kemudian mendapat legitimasi dari nas-nas
normatif Islam seperti dalam al-Qur‘an Surat: 7:17, 11: 117
dan hadis Nabi riwayat Abu Daud dan al-Hakim yang
menyatakan bahwa pada setiap abad akan lahir mujaddid.
Dalam catatan sejarah, Islam pernah mengalami masa-
masa kejayaan pada priode klasik, sejak Nabi Muhammad
lahir sampai masa Khalifah Abbasiyah (650-1250 M).
Tetapi masa-masa kejayaan itu pelan-pelan redup pada
abad pertengahan (1250-1800 M), karena api tajdid ini
padam. Saat itu muncul sikap taklid dan diasumsikan
bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Para ulama waktu itu
hanya melakukan duplikasi terhadap pemikiran-pemikiran
ulama pada masa kejayaan Islam. Mereka menganggap
semua masalah telah diijtihadkan oleh ulama-ulama
otoritatif sebelum mereka, karena itu ijtihad tidak
diperlukan lagi. Puncaknya, kegiatan intelektual dibatasi
oleh para penguasa (Harun Nasution, 1992: 13-14).
Realitas inilah yang mendorong kembali lahirnya gerakan
tajdid.
Terminologi tajdid selanjutnya dalam perkembangan
zaman disebut dengan berbagai istilah seperti reformasi,
purifikasi, modernisme dan sebagainya dengan konotasi
tersendiri.

2 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Untuk memahami gerakan tajdid di dunia Islam dan
dinamika dunia Islam dalam sejarah serta bagaimana
gerakan itu sampai ke Indonesia serta hubungannya
dengan Muhammadiyah berikut pembahasannya.

B. Kemajuan Islam dalam Sejarah

1. Kemajuan Islam pada Masa Nabi Muhammad


SAW dan Khulafaurrasyidun
Nabi Muhammad saw (571-632 M) terlahir dan hidup
sebagai seorang yatim yang miskin. Pada usia muda, untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, beliau telah bekerja
sebagai penggembala kambing milik keluarganya dan milik
penduduk Mekah, kemudian menjadi pedagang untuk
Khadijah, isterinya. Saat usia Rasulullah saw 40 tahun,
beliau diangkat menjadi Rasul dan menerima perintah agar
berdakwah dengan turunya Surat Al-Muddatstsir: 1-7.
Pada awalnya beliau berdakwah secara individual dan
sembunyi-sembunyi di Mekah selama 3 tahun. Setelah itu,
perintah berdakwah dilakukan secara terbuka dan terang-
terangan dengan turunnya surat al-Hijr: 94. Dengan segala
suka dan dukanya, beliau tegar dan konsisten dalam
berdakwah.
Karena respon negatif penduduk Mekah terhadap
dakwah, Nabi akhirnya berhijrah ke Yatsrib (Madinah)
tahun 622 M. Ini berarti Nabi menghabiskan waktu
berdakwah di Mekah selama ± 13 tahun. Di Yatsrib inilah
Nabi mendapat dukungan yang kuat. Dalam sejarah
disebutkan bahwa saat Nabi tiba, penduduk Yatsrib

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 3


mengeluk-elukkan beliau dengan penuh kegembiraan.
Sebagai penghormatan kepada Nabi, nama Yatsrib diubah
menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi) atau juga Madinatul
Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah
sinar Islam memancar ke seluruh dunia. Saat di Madinah
Nabi mulai menjadi pemimpin dalam bidang agama,
politik, sosial dan dalam semua dimensi kehidupan
masyarkat. Beliau menjadi penguasa dalam bidang agama
dan dunia sekaligus. Kedudukannya sebagai Rasul secara
otomatis menjadi kepala negara (Harun Nasution: 1985, I:
101).
Menurut catatan sejarah, dalam waktu 11 tahun
menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukkan
seluruh jazirah Arab ke dalam kekuasaaanya. Nabi
kemudian dikenal sebagai orang tersukses dan tercakap
dalam memimpin agama, negara, politik dan administrasi
yang pernah lahir di dunia. Atas dasar inilah sangat
rasional dan proporsional jika Michael H. Hart dalam
bukunya ―The 100: a Ranking of the Most Influential Persons in
History” menempatkan Nabi Muhammad berada pada
nomor pertama orang tersukses dan paling berpengaruh
yang pernah lahir di dunia.
Pada masa Rasulullah perkembangan ilmu
pengetahuan belum begitu pesat seperti pada masa
sekarang. Saat itu perhatian umat Islam terfokus pada
penyebaran agama. Al-Qur‘an dan Hadis masih menjad
pedoman dan sekaligus sebagai sumber primer umat
Islam. Ilmu pengetahuan langsung bersumber dari

4 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Rasulullah melalui wahyu dari malaikat Jibril. Setelah itu
para sahabat langsung menghafal ayat demi ayat ataupun
hadis yang telah mereka dengar dari Rasulullah. Mekipun
demikian, Rasulullah sebenarnya telah meletakkan fondasi
hidup bagi manusia bahwa visi hidup sebagai seorang
Muslim harus dibangun dengan ilmu pengetahuan.
Dengan ilmu pengetahuan, orang akan menjadi mulia,
terhormat dan mampu menghadapi permasalahan yang
terjadi dalam kehidupan. Allah akan mengangkat derajat
manusia karena beriman dan berilmu pengetahuan.
Karena itu, perkembangan ilmu pengetahuan sudah mulai
digalakkan, terbukti bahwa saat itu telah muncul ilmu cara
memanah, ilmu naik kuda, dan ilmu berenang. Ilmu ilmu
tersebut berkembang terus menerus seiring dengan
perkembangan waktu dan zaman.
Data sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
tidak meninggalkan pesan siapa yang menjadi pewaris yang
menggantikan beliau sebagai pemimpin umat Islam. Atas
dasar pertimbangan keagamaan, Abu Bakar dipilih oleh
para sahabat senior menggantikan Rasulullah saw (Hassan
Ibrahim Hassan, 1989: 34). Tentu selain itu juga atas
pertimbangan ukhuwwah islamiyyah yang tinggi. Sebagai
pemipin umat Islam yang menggantikan Rasulullah, Abu
Bakar diberi gelar Khalifah Rasulillah (Pengganti
Rasulullah), yang dalam perkembangannya hanya disebut
dengan sebutan Khalifah saja. Abu Bakar menjabat
sebagai khalifah hanya 2 tahun. Setelah selesai menumpas
kelompok subbversif dalam perang Riddah yang menolak

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 5


membayar zakat, Abu Bakar mulai mengirim kekuatan ke
luar Arabia. Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat
menguasai Hirah tahun 634 M. Abu Bakar juga mengirim
pasukan ke Syiria dan Palestina.
Saat pasukan Islam sedang berperang di Palestina, Irak
dan kerajaan Hirah, Abu Bakar meninggal dunia karena
sakit. Sebelum meninggal, beliau bermusyawarah dengan
pemuka sahabat, lalu setelah itu menunjuk Umar bin
Khattab sebagai penggantinya. Kebijakan Abu Bakar ini
diterima dengan baik oleh masyarakat. Umar menyebut
dirinya dengan sebutan Khalifah Khalifati Rasulillah
(Pengganti dari Penggati Rasulullah). Umar menjabat
sebagai Khalifah selama 10 tahun. Umar dibunuh oleh
seorang budak dari Persia bernama Abu Lu‘luah.
Pada zaman khalifah Umar, terjadi ekspansi Islam
secara besar-besaran. Seluruh daerah Syiria termasuk ibu
kotanya, Damaskus, dikuasainya. Demikian juga seluruh
wilayah Irak dan Mesir dapat ditaklukkan. Dengan
demikian pada zaman kekuasaan Umar, dalam waktu 10
tahun seluruh jazirah Arabia, Paletina, Syiria, sebagaian
besar wilayah Persia dan Mesir telah tunduk dalam
kekuasaan Islam yang berpusat di Madinah (Harun
Nasution, 1985: 58).
Pada masa khalifah Umar untuk pertama kalinya
diberlakukan tata administrasi pemerintahan yang diadopsi
dari administrasi negara yang sudah berkembang di Persia
saat itu. Termasuk juga membentuk departemen sesuai
dengan kebutuhan. Sistem gaji dan pajak tanah mulai

6 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
ditata sedemikian rupa. Sistem peradilan mulai didirikan
untuk memisahkan kekuasaan eksekutif dan yudikatif,
yang sebelumnya menyatu di pundak pemerintahan.
Untuk menjamin keamanan dan ketertiban, dibentuk
jawatan kepolisisan. Jawatan pekerjaan umum juga mulai
didirikan. Dalam sejarah Umar tercatat sebagai orang
pertama yang menciptakan sekaligius memberlakukan
kalender hijriyah, disamping juga mendirikan baitul mal
dan memberlakukan sistem mata uang (A. Syalabi, 1987, I:
263).
Untuk kepentingan suksesi, Umar membentuk
formatur yang terdiri dari 6 orang, yaitu Usman, Ali,
Talhah, Zubair, Sa‘ad bin Abi Waqqas dan Abdurrahman
bin Auf. Setelah melalui musyawarah dan persaingan yang
ketat, 6 anggota formatur ini berhasil menunjuk Usman
dalam usia 60 tahun sebagai suksesor Umar bin Khattab.
Khalifah Usman memimpin umat Islam selama 12
tahun. Usman dibunuh oleh orang-orang yang kecewa,
karena dianggap sangat nepotis. Usman mengangkat
pejabat tinggi dari internal keluarganya seperti Marwan bin
Hakam. Ia hanya sebagai simbol khalifah, tetapi sejatinya
yang menjalankan kekuasaan khalifah adalah kelurganya
yang menduduki jabatan. Meskipun demikian, pada masa
Usman ekspansi Islam sukses dilanjutkan ke daerah
Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa
dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan. Dalam sejarah
tercatat Usman sukses membangun bendungan untuk
menjaga banjir dan mengatur irigasi ke seluruh penjuru

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 7


kota yang ada di Madinah. Usman juga berhasil
membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjis-masjid
dan terutama memperluas masjid Nabawi (Badri Yatim,
1997: 38). Selain itu, Usman juga berhasil melakukan
kodifikasi al-Qur‘an (Mushaf Utsmani) dan dijadikan
sebagai mushaf standar bagi mushaf-mushaf yang lain.
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai
membaiat Ali bin abi Thalib. Ali bin Abi Thalib menjabat
sebagai Khalifah hanya 6 tahun. Ali menghabiskan
jabatannya hanya untuk menyelesaikan kemelut yang
terjadi dalam internal tubuh umat Islam. Pemerintahanya
dapat dikatakan tidak pernah stabil. Zubair, Talhah dan
Aisyah memberontak kepada Ali yang melahirkan Perang
Jamal (perang onta). Terjadi peperangan anatara Ali dan
Mu‘awiyah di Shiffin, yang melahirkan kelompok ketiga,
yaitu Khawarij. Salah seorang Khawarij ini membunuh Ali
bin Abi Thalib. Ali digantikan anaknya, Hasan, selama
beberapa bulan. Ia membuat perjanjian dengan Muawiyah
untuk mempersatukan umat Islam (amul jama‟ah) dibawah
kepemimpinan Mua‘wiyah di Damaskus. Sejak itulah masa
Khulafaur Rasyidun berakhir di Madinah, dan mulailah
kekuasaan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus.

2. Kemajuan Islam Pada Masa Khalifah Bani


Umayyah (660-750)
Khilafah Bani Umayyah berusia 90 tahun. Pusat ibu
kota pemerintahan Islam (khalifah) yang semula di
Madinah dipindahkan ke Damaskus. Di zaman Muawiyah,

8 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
misi ekspansi sukses dilakukan secara relatif mudah,
sehingga wilayah kekuasaan Islam semakin bertambah
luas. Kesusksesan ini, disebut oleh sejarawan sekaligus
filsuf Perancis, Gustav Le Bon, karena Islam
mengedepankan cara-cara santun dan adil yang tidak
pernah dikenal dalam sejarah dunia (Mustafa Kamal Pasha
dan Ahmad Adaby Darban, 2009: 3). Terbukti dalam
sejarah saat itu Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah
timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan
sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul
dan ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke
timur ini dilanjutkan oleh Khalifah Abd al-Malik. Dia
mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil
menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan
Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat
menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke
Maltan (Harun Nasution, 1985: 61).
Sedangkan ekspansi ke Barat secara besar-besaran
dilakukan pada zaman pemerintahan al-Walid bin Abdul
Malik. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang
lebih 10 tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari
Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa,
yaitu pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokko
dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan
Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang
memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan
mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan
nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 9


dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran
ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan
cepat dapat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti
Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol
yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena
mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama
menderita akibat kekejaman penguasa. Masa pemerintahan
Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan
ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia.
Di zaman Umar bin Abd al-Aziz, ekspansi dilakukan
ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini
dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia
mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia
mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan
yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan
tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping
daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat
di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman
Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah,
baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa
Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah
itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah
Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan,
daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek,
dan Kirgis di Asia Tengah (Harun Nasution: 62).

10 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah
juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai
bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-
tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap
dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha
menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata
uang. Pada masanya, jabatan Khususseorang hakim (qadhi)
mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi
adalah seorang spesialis dibidangnya. Abd al-Malik
mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai
di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia
mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan
memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abd al-
Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan
administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan
Islam. Keberhasilan Khalifah Abd al-Malik diikuti oleh
puteranya Al-Walid bin Abd al-Malik (705- 715 M)
seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan
melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti
untuk orang cacat. Semua personil yang terlibat dalam
kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap.
Dia juga membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya,
pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-
masjid yang megah (Badri Yatim, 1997: 44-45).
Beberapa katedral di jaman Muawiyah diganti menjadi
masjid, seperti Katedral St. John di Damaskus. Sedangkan

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 11


Katedral di Hims dipakai sekaligus sebagai masjid dan
katedral. Di Jerussalem (al-Quds) dibangun masjid Al-
Aqsha oleh KhalifahAbdul Malik. Dalam sejarah tercatat
bahwa monumen Qubbah as-Sakhr (Dome of the Rock)
disebut sebagai monument terbaik pada jaman itu. Seperti
diketahui menurut riwayat Qubbah as-Sakhr adalah
tempat Nabi Ibrahim menyembelih Nabi Ismail dan
tempat Nabi Muhammad mulai mi‘raj ke langit. Selain
itu, didirikan juga istana-istana untuk beristirahat di
padang pasir, seperti Qusayr Amrah dan Al-Mushatta yang
masih berbekas sampai sekarang (Harun Nasution, 1985,
I: 64).
Kebijakan memberlakukan bahasa Arab menjadi
bahasa resmi administrasi menuntut semua orang untuk
menyempurnakan pengetahuan bahasa Arab mereka. Hal
inilah yang mendorong ahli gramatikal Arab bernama
Sibawaih menyusun buku pegangan tata bahasa Arab
bernama Al-Kitab. Syair-syair Jahiliyah juga mulai dipelajari
dan dikaji kembali. Penyair-penyair baru Arabpun muncul,
seperti Umar bin Abi Rabi‘ah (w.719), Jamil al-Udhri
(w.701), Qays bin Mulawwah (w.699) yang terkenal
dengan nama Majnun Laila, al-Farazdaq (w. 732), Jarir (w.
792) dan Akhtal (w. 710) (Harun Nasution, 1985, I: 63).
Perhatian terhadap tafsir, hadis, fikih, dan ilmu kalam
pada masa Umayyah mulai bermunculan dengan
munculnya nama-nama besar seperti Hasan Al-Basri, Bin
Syihab Az-Zuhri dan Wasil bin Atha‘. Kota Kufah dan

12 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Bashrah di Irak mulai menjadi pusat kegiatan-kegiatan
ilmiah (Harun Nasution, 1985, I: 63).
Tahun 750 M, Khalifah Umayyah runtuh setelah
diserang oleh kelompok oposisi yang dipimpin oleh Bani
Abbas. Khalifah terakhir, Marwan bin Muhammad,
berhasil melarikan diri ke Mesir. Namun, ia dapat
ditangkap dan akhirnya dibunuh di sana (Badri Yatim,
1997: 48). Sejak saat itulah Khalifah Bani Abbasiyah
berdiri.

3. Kemajuan Islam Pada Masa Khalifah Bani


Abbasiyah (750-1258)
Khalifah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti
Bani Umayyah. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang
waktu yang cukup panjang, sekitar 508 tahun. Jika pada
masa kekuasaan Bani Umayyah pusat ibu kota Islam di
Damaskus, maka di jaman kekuasaan Bani Abbasiyah
pusat ibu kota dipindahkan ke Bagdad, Irak.
Pada waktu pemerintahan dipimpin oleh Khalifah al-
Manshur, usaha-usaha yang dilakukan adalah menaklukkan
kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan
diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan
di daerah perbatasan. Diantara usaha-usaha tersebut
adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia,
wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke
utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan
mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai
dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 13


758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala
tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar
di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain
Oksus dan India.
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat
dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan
peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas,
tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara
Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan.
Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Popularitas
daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah
Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma‘mu
(813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun
al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya
sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter.
Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga
dibangun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan
berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara
Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak
tertandingi. Al-Ma‘mun, pengganti al-Rasyid, dikenal
sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing
digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia
menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen
dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak
mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang

14 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Ma‘mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. Terkait dengan proyek terjemahan saat itu,
Karen Amstrong menyatakan bahwa tim penerjemah yang
sukses menjalankan tugasnya lebih banyak anggotanya dari
orang-orang Kristen Nestorian (Mustafa Kamal Pasha dan
Ahmad Adaby Darban, 2009: 5-6).
Kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi di zaman Abbasyiah adalah dalam Bidang
pendidikan. Pada awal Islam, lembaga pendidikan sudah
mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri
dari dua tingkat, yaitu: [1]. Maktab/Kuttab dan masjid,
yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak
mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan
tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti
tafsir, hadis, fiqh dan bahasa; dan [2]. Tingkat
pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam
ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada
seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya
masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah
ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-
masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi
anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau
di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli
ke sana. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang
pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 15


perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu
lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping
terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca,
menulis dan berdiskusi (Badri Yatim, 1997: 54-55).
Dalam Bidang Hukum (fikih), imam-imam mazhab
hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan
Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M)
dalam pendapat-pendapat hukumnya sangat
mengedepankan aspek rasional daripada hadis. Muridnya
dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, diangkat menjadi
Qadhi al-Qudhat (Hakim Agung) di zaman Harun al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M)
banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat
Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu
ditengahi oleh Imam Syafii (767-820 M) dan Imam
Ahmad bin Hanbal (780-855 M). Disamping empat
pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan
Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang
mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan
mazhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak
berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama
berlalunya zaman (Badri Yatim, 1997: 56-57).
Dalam bidang teologi. Seperti telah dijelaskan aliran-
aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti
Khawarij, Murjiah dan Mu‘tazilah. Akan tetapi
perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi
rasional Mu‘tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani
Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih

16 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa
pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi
kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa
pemikiran rasional dalam Islam. Tokoh perumus
pemikiran Mu‘tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail
al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221
H/801-835M). Asy‘ariyah, aliran tradisional di bidang
teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy‘ari (873-
935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak
sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena
al-Asy‘ari sebelumnya adalah pengikut Mu‘tazilah (Badri
Yatim, 1997: 57).
Dalam bidang Ilmu Hadis. Diantara tokoh yang
terkenal di bidang ini adalah Imam BuKH.ari, hasil
karyanya yaitu kitab al-Jami‘ al-Shahih al-BuKH.ari. Imam
Muslim hasil karyanya yaitu kitab al-Jami‟ al-shahih al-
muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, at-Tirmidzi dan al-Nasa‘i.
Dalam bidang Ilmu Tafsir terdapat dua cara yang
ditempuh oleh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur‘an. Pertama, metode tafsir bil ma‟tsur yaitu metode
penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara
member penafsiran al-Qur‘an dengan hadis dan penjelasan
para sahabat. Kedua, metode tafsir bi al-ra‟yi yaitu
penafsiran al-Qur‘an dengan menggunakan akal lebih
banyak dari pada hadis. Diantara tokoh-tokoh mufassir
adalah Imam at-Thabary, as-Sud‘a Muqatil Bin Sulaiman.
Dalam Bidang Astronomi. Tokoh astronomi Islam
pertama adalah Muhammad al-Fazari dan dikenal sebagai

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 17


pembuat astrolobe atau alat yang pergunakan untuk
mempelajari ilmu perbintangan pertama di kalangan
muslim. Alat ini dipakai untuk mengukur tinggi bintang-
bintang dan sebagainya. Selain al-Fazari adalah al-Fargani,
yang dikenal di Eropa dengan nama al-Faragnus, menulis
ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes
Hispalensis. Selain al-Fazani banyak ahli astronomi yang
bermunculan diantaranya adalah Muhammad Bin Musa al-
Khawarizmi al-Farghani al-Bathiani, al-Biruni,
Abdurrahman al-Sufi.
Dalam Bidang Kedokteran. Ilmu kedokteran
merupakan salah satu ilmu yang mengalami perkembangan
yang sangat pesat pada masa Bani Abbasiyah pada masa
itu telan didirikan apotek pertama di dunia, dan juga telah
didirikan sekolah farmasi. Dalam lapangan kedokteran
dikenal nama al-Razi dan Bin Sina. Di Barat al-Razi
dikenal dengan nama Rhazes, sedangkan Ibnu Sina dikenal
dengan nama Avicena. Al-Razi adalah tokoh pertama yang
membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia
juga orang pertama yang menyusun buku mengenai
kedokteran anak. Buku kedokteranya bernama al-Hawi
sebanyak 20 jilid. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di
tangan Bin Sina. Bin Sina yang juga seorang filosof
berhasil menemukan sistem peredaran darah pada
manusia. Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb
atau The Canon yang merupakan ensiklopedi kedokteran
paling besar dalam sejarah. Buku ini disalin ke dalam

18 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
bahasa Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya serta
dijadikan referensi utama di berbagai perguruan tinggi
Barat selama beberapa ratus tahun dalam bidang
kedokteran (Badri Yatim, 1997: 57-58).
Dalam Bidang Optik. Dalam bidang optikal Abu Ali
al-Hasan bin al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan
nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang
pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang
dilihat. Menurut teorinya, yang kemudian terbukti
kebenarannya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata,
sehingga mata dapat melihat benda. Disamping itu adalah
al-Kindi. Ia berhasil menyusun buku optic berjudul The
Legacy of Islam yang diterjemah ke dalam bahasa Latin dan
banyak mempengaruhi pemikiran Roger Bacon.
Dalam Bidang kimia terkenal nama Jabir bin Hayyan
yang dikenal sebagai bapak ahli kimia. Dia berpendapat
bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat
diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan
suatu zat tertentu. Selain Bin Hayyan, Abu Bakar Zakariya
ar-Razi yang mengarang buku besar tentang kimia yag
baru dijumpai pada abad XX (Harun Nasution, 1985, I:
72).
Dalam bidang fisika tokoh terkenal adalah Abu Raihan
Muhammad al-Baituni sebelum Galileo telah menemukan
teori tentang bumi berputar pada porosnya. Selanjutnya ia
berpendapat bahwa kecepatan suara dan cahaya dapat
menentukan berat dan kepadatan 18 macam permata dan
metal (Harun Nasution, 1985, I: 63).

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 19


Dalam bidang matematika tokoh terkenal adalah
Muhammad bin Musa al-KH.awarizmi, yang juga mahir
dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu
Aljabar. Kata "aljabar" berasal dari judul bukunya, al-Jabr
wa al-Muqobalah.
Dalam bidang geografi. Dalam bidang sejarah dan
geografi terkenal nama Abu Hasan Ali al-Mas‘udi. Ia
adalah seorang pelancong yang mengembara ke berbagai
penjuru dunia. Diantara karyanya adalah Muruj al-Zahab wa
Ma‟aadin al-Jawahir yang berisi tentang geografi, adat
istiadat dari berbagai daerah yang ia kunjungi (Harun
Nasution, 1985, I: 63).
Dalam bidang sejarah. Saat itu penulisan sejarah masih
terfokus pada tokoh atau peristiwa tertentu, misalnya
sejarah hidup nabi Muhammad. Ilmuwan dalam bidang ini
adalah Muhammad bin Sa‘ad, Muhammad bin Ishaq.
Dalam bidang jilsafat, tokoh-tokoh terkenal antara lain
al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi
banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa,
kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat
Aristoteles. al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd juga
dikenal sebagai penerjemah buku-buku Yunani kuno.
Karena sangat ahli terhadap pemikiran Aristoteles, Al-
Farabi diberi gelar al-mu‟allim ats-tsani (guru kedua),
sedangkan Aristoteles diberi gelar al-mu‟allim al-awwal (guru
pertama). Bin Sina juga banyak mengarang buku tentang
filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah buku berbentuk
ensiklopedi 18 jilid bernama al-Syifa‘ yang berisi fisika,

20 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
metafisika dan matematika. Bin Rusyd yang di Barat lebih
dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di
Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat
aliran yang disebut dengan Averroisme.
Demikianlah kemajuan Islam di jaman Abbasiyah
dalam bidang politik, kebudayaan dan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang tidak ada tandingannya saat itu.
Bagdad pada saat itu identik dengan kota ilmu
pengetahuan dan peradaban dan perniagaan. Para
pengusaha dan pencari ilmu datang dari seluruh penjuru
dunia untuk menimba ilmu di sana. Bagdad telah menjadi
pusat kota yang ramai dengan kesibukan yang luar biasa
dan hal ini menjadi indikasi bagi kesejahteraan dan
kemakmuran rakyatnya. Bryan S. Turner menyebutkan
bahwa di jaman Abbasyiah telah terjadi ekspansi
perdagangan Islam melalui eksploitasi ekonomi atas
wilayah-wilayah yang ditaklukkan. Perekonomian mungkin
didominasi oleh perdagangan barang-barang mewah,
seperti rempah-rempah, wangi-wangian, perhiasan, logam-
logam mulia, sutera dan binatang-binatang langka. Ada
bukti-bukti bahwa kertas telah diproduksi di Irak dan
Syiria. Pabrik kertas telah didirikan di Afrika Utara dan
Spanyol. Industri-industri lain seperti sabun, kerajinan
besi, tembikar, dan terutama tekstil yang telah ada sejak
jaman Umayyah semakin pesat. Segala macam barang
kebutuhan telah dapat dihasilkan seperti pakaian, karpet,
permadani dinding, bahan pembungkus perabot dan
laiinya (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban,

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 21


2009: 9). Cristhoper Dawson menyebut zaman Abbasiyah
disebut sebagai puncak kejayaan Islam yang
mempengaruhi dunia. Pada saat bersamaan berbanding
terbalik dengan bangsa Eropa yang mengalami masa
kegelapan (darkness ages). Menurut H. Mc Neill, masa
kegelapan ini telah dilalui Eropa selama 600-1000 tahun
(Harun Nasution, 1985, I: 74).
Tahun 1258 M, Hulagu Khan menyerang Bagdad,
pusat ibu kota Abbasyiah. Secara bengis, ia
menghancurkan istana, gedung-gedung, masjid-masjid dan
buku-buku penting lainnya. Saat inilah kekuasaan Bani
Abbasiah mulai hancur.

4. Kemajuan Islam Di Spanyol (Andalusia)


Kejayaan Islam di Spanyol sesungguhnya menyaingi
kejayaan Islam yang ada di Irak, Bagdad, pada waktu yang
bersamaan. Islam pertama kali masuk ke Spanyol pada
tahun 711 M melalui jalur Afrika Utara. Spanyol sebelum
kedatangan Islam dikenal dengan nama Iberia/Asbania,
kemudian disebut Andalusia, ketika negeri subur itu
dikuasai bangsa Vandal. Dari perkataan Vandal inilah
orang Arab menyebutnya Andalusia.
Spanyol diduduki oleh Islam pada masa Khalifah al-
Walid (705-715 M), salah satu Khalifah Bani Umayyah.
Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan
Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin
satuan-satuan pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif bin
Malik, Tharik bin Ziyad, dan Musa bin Nushair. Pada
masa pemerintahan Abdurrahman I yang bergelar

22 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Abdurrahman ad-Dakhil, ia berhasil mendirikan Masjid
Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol.
Saat Abdurrahman al-Ausath menjadi penguasa,
pemikiran-pemikiran filsafat mulai berkembang dengan
mengundang para pakar lainnya untuk datang ke Spanyol,
sehingga kegiatan intelektual semakin semarak. Kebebasan
beragama dan beribadah bagi penduduk dijalankan secara
konsekuen (Badri Yatim, 1997: 95-96).
William L. Langer menulis bahwa pada masa
pemerintahan Abdurrahman III di Spanyol ditandai
dengan pengamanan ke dalam, penyempurnaan organisasi
pemerintahan, kegiatan armada, perkembangan pertanian
dan kemajuan industi. Cordova merupakan pusat
intelektual terbesar di eropa, dengan perdagangan kertas
yang melimpah ruah, perpustakaan-perpustakaan terbesar,
dan perguruan-perguruan tingi yang amat terkenal
(kedokteran, matematika, filsafat, kesusasteraan, music)
serta penyalinan naskah-naskah Yunani dan latin secara
luas (Joesoef Sou‘yb, 1995:41).
Spanyol adalah negara yang subur. Masyarakat Spanyol
Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari
komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan) al-
Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam),
Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-
shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan
Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada
penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi,
Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 23


masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu,
kecuali yang terakhir memberikan saham intelektual
terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalusia yang
melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan
fisik di Spanyol.
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya
yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia
berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui
ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-
12. minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai
dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan
penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad bin Abd
al-Rahman (832-886 M). Tokoh utama pertama dalam
sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr
Muhammad bin al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibnu
Bajjah. Tokoh utama yang kedua adalah Abu Bakr bin
Thufail, penduduk asli Wadi Asa, sebuah dusun kecil di
sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun
1185 M. Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi
munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di
gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Rusyd dari Cordova.
Pada abad ke 12 diterjemahkan buku al-Qanun karya Ibnu
Sina (Avicenne) mengenai kedokteran. Pada akhir abad
ke-13 diterjemahkan pula buku Al-Hawi karya Razi yang
lebih luas dan lebih tebal dari al-Qanun.
Dalam bidang Sains terkenal Abbas bin Fama
termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ia orang
yang pertama kali menemukan pembuatan kaca dari batu.

24 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Ibrahim bin Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu
astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana
matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil
membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak
antara tata surya dan bintang-bintang. Ahad bin Ibas dari
Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umi al-
Hasan bint Abi Ja‘far dan saudara perempuan al-Hafidzh
adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam
bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibn
Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang
negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Bin
Bathuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudra
Pasai dan Cina. Ibn Khaldun (1317-1374 M) menyusun
riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tum adalah
perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas
bertempat tinggal di Spanyol yang kemudian pindah ke
Afrika.
Dalam bidang fikih Spanyol dikenal sebagai penganut
mazhab Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini disana
adalah Ziyad bin Abd al-Rahman. Perkembangan
selanjutnya ditentukan oleh Bin Yahya yang menjadi qadhi
pad masa Hisyam bin Abd al- Rahman. Ahli-ahli fikih
lainnya yaitu Abu Bakr bin al-Quthiyah, Munzir bin Sa‘id
al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal. Sedillot berkata,
―Mazhab Maliki itulah yang secara Khususmemikat
pandangan kita karena hubungan kita dengan bangsa Arab
Afrika. Pada waktu itu pemerintah Prancis menugaskan

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 25


Dr. Peron untuk menerjemahkan buku Fiqh al-
Mukhtashar karya al-Khalik bin Ishaq bin Ya‘qub (w. 1422
M).
Dalam bidang Musik dan Kesenian. Dalam dua bidang
ini, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan
tokohnya al-Hasan bin Nafi yang dijuluki Zaryab. Setiap
kali diadakan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil
mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai
pengubah lagu. Ilmu yang dimilikinya itu diturunkan
kepada anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan juga
kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar
luas.
Dalam bidang Bahasa dan Sastra Bahasa Arab telah
menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di
Spanyol. Diantara para ahli yang mahir dalam bahasa
Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa
yaitu Bin Sayyidih, Bin malik pengarang Alfiyah, Bin
Huruf, Bin al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Bin
Usfur, dan Abu Hayyan al-Gharnathi.
Dalam bidang arsitek dan bangunan fisik telah
diperkenalkan model pengaturan hidrolik untuk tujuan
irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air
waduk dibuat untuk konservasi. Pengaturan hydrolik itu
dibangun dengan memperkenalkan roda air asal Persia
yang dinamakan na‘urah (Spanyol Noria). Namun
pembangunan fisik yang paling menonjol adalah
pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota,
istana, masjid, pemukiman, taman-taman. Di antara

26 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
pembangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota
al-Zahra, Istana Ja‘fariyah di Saragosa, tembok Toledo,
istana al-Makmun, mesjid Seville dan istana al-Hamra di
Granada.
Para sejarawan mencatat bahwa kemajuan (renaisans)
Eropa yang terjadi sampai sekarang ini adalah karena
pengaruh dari kemajuan Islam yang ada di Spanyol. Saat
Islam di Spanyol mengalami masa-masa kejayaan, orang-
orang Eropa Kristen banyak berdatangan ke Spanyol
untuk menimba ilmu di perguruan-perguruan tingginya.
Atas dasar itulah para sejarahwan menyatakan bahwa
Islam adalah ―guru‖ bagi bangsa Eropa. H.A.R Gibb
seperti dikutip oleh Badri Yatim mengatakan: ―Islam is
indeed much more than system of theology, it is a
complete civilization‖ (Badri Yatim, 1997: 2).
Tahun 1492 M, kekuasaan Islam di Spanyol runtuh
setelah serangan orag Kristen dibawah pimpinan
Ferdinand dan Isabella. Yang paling ironis adalah umat
Islam yang masih tinggal di Spanyol dihadapkan dengan
dua pilihan, yaitu masuk Kristen atau keluar dari Spanyol.
Pada tahun 1609 M, dapat dikatakan tidak ada lagi umat
Islam di Spanyol (Badri Yatim, 1997: 100).

C. Kemunduran Dunia Islam


Era kemajuaan dan kejayaan Islam yang berlangsung
selama beberapa abad dan berpengaruh luas sampai di
Eropa akhirnya mengalami masa-masa kemunduruan.
Masa kemunduran ini dalam sejarah disebut Jaman

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 27


Tengah (Abad Pertengahan). Kemunduran Islam dalam
berbagai bidang ditandai dengan runtuhnya Abbasiyah di
Bagdad, Irak, dan kerajaan Islam di Spanyol. Berbagai
permaslahan yang muncul di tubuh umat Islam yang
menjadi indikator kemundurannya adalah sebagai berikut:

1. Krisis Politik
Pemimpin tidak mengamalkan ajaran agama
Para ahli sejarah mengajukan hipotesis bahwa
kemunduran Islam disebabkan karena gaya hidup para
penguasa yang gemar hidup bermewah-mewahan dan
berorientasi duniawi saja. Pola hidup serakah, iri dengki,
ambisi kekuasaan dan tidak mementingkan kehidupan
rohani dan ukhrawi menjadi gaya hidup para penguasa.
Penguasa Islam telah menggunakan tangan besi dalam
memimpin. Ajaran Islan hanya dalam bentuk formalitas,
tetapi tidak dipraktikkan dalam kehidupan nyata (Musthafa
Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, 2009: 14-15).
Yang paling ironis saat itu adalah agar pemimpin ditaati
secara mutlak, tidak boleh dibantah dan harus dihormati,
mereka mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi
meskipun tidak adil (Fazlur Rahman, 1994: 107).

Serangan Tentara Mongol dan Rutuhnya Abbasiyah


Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang
berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu
Baghdad. Khalifah Al-Mu'tashim yang berkuasa saat itu
tidak berdaya dan tidak mampu membendung kekuatan
tentara Hulagho Khan. Kota Baghdad dihancurkan rata

28 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
dengan tanah, dan Hulagho Khan menancapkan
kekuasaan di Banghdad selama dua tahun, sebelum
melanjutkan serangannya ke Syiria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan
bangsa Mongol bukan saja mengakhiri khalifah Abbasiyah
di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa
kemunduran politik dan peradaban Islam. Khalifah
(pemimpin) sebagai simbol pemersatu umat Islam di dunia
mulai hilang.
Kejadian yang sangat tragis dan memilukan yang
terjadi saat itu adalah hancurnya perpustakaan terbesar di
dunia saat itu, Baitul Hikmah, yang menyimpan banyak
dokumen sejarah dan buku yang sangat berharga dalam
berbagai disiplin ilmu. Orang-orang yang selamat saat
peristiwa itu melaporkan bahwa air sungai Tigris menjadi
hitam akibat tinta dari banyak sekali buku yang dibuang ke
sungai itu dan juga menjadi merah akibat darah dari para
ilmuwan dan filsuf yang dibunuh di sana. Jumlah
penduduk Baghdad jauh berkurang dan kota itu menjadi
reruntuhan selama beberapa abad berikutnya (Wikipedia, 5
Maret 2015).
Saat tentara Mongol masuk Bagdad, para penduduk
berusaha kabur, namun berhasil dicegat dan dibantai tanpa
ampun. Martin Sicker menyebutkan bahwa hampir 90.000
orang mungkin dibantai. Beberapa pekiraan lainnya jauh
lebih tinggi. Wassaf mengklaim bahwa korban jiwa
mencapai 100-an ribu orang. Ian Frazier dari The New
Yorker mengatakan bahwa perkiraan korban jiwa bervariasi

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 29


dari 200.000 hingga 1.000.000 orang. Akibat
kekejamannya ini Hulagu harus memindahkan
perkemahannya ke luar dari kota karena bau busuk yang
sangat menyengat di dalam kota. Jumlah penduduk
Baghdad jauh berkurang dan kota itu menjadi reruntuhan
selama beberapa abad berikutnya dan hanya secara
perlahan pulih dan memperoleh sedikit dari kejayaan
lamanya. Pasukan Mongol menjarah dan kemudian
menghancurkan masjid, istana, perpustakaan, dan rumah
sakit. Bangunan-bangunan besar yang merupakan hasil
karya beberapa generasi dibakar sampai habis. Khalifah
dipaksa menonton ketika penduduknya dibantai dan harta
bendanya dirampas. Menurut sebagian besar sumber,
Khalifah dibunuh dengan cara diinjak-injak oleh kuda.
Pasukan mongol menggulung Khalifah dalam sebuah
karpet, lalu mereka menunggang kuda di atas badannya,
karena mereka percaya bahwa bumi akan marah jika ada
darah penguasa yang ditumpahkan (Wikipedia, 5 Maret
2015).

Terjadi Disintegrasi Umat Islam


Benih perpecahan dan disintegrasi sesungguhnya telah
muncul di tubuh umat Islam sejak periode akhir
pemerintahan Abbasyiah. Hal ini ditandai denagn konflik
antara Sunni dan Syi‘ah semakin menajam. Setelah
Abbasiyah hancur, eskalasi konflik semakin memuncak
secara akibat perbedaan paham agama dalam aspek
ideologis, teologis dan berujung pada konflik geografis.

30 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Umat Islam mengalami perpecahan menjadi nation-state
kecil akibat kuatnya disintegrasi.
Secara umum, di zaman akhir Abbasiyah, wilayah
teritorial Islam terbagi dua yaitu: pertama, bagian Arab yang
terdiri dari Arabia, Suriah, Iraq, Palestina, Mesir dan
Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Kedua, bagian
Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan
Asia Tengah dengan Iran sebagai pusatnya. secara riil,
daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-
gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya
ditandai dengan pembayaran upeti. Penguasa Bani Abbas
sudah cukup puas dengan pengakuan nominal-ekonomis,
dengan pembayaran upeti. Akibatnya Khalifah tidak cukup
kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling
percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan
sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih
menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan
daripada politik dan ekspansi. Selain itu, penyebab utama
mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah
terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di
pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan
Turki. Akibatnya beberapa propinsi di Persia, Turki,
Kurdi, dan lainnya mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas (Badri Yatim, 1997: 63-67).

Perang Salib (1095 – 1291 M)


Perang Salib (the crusaders) adalah gerakan umat Kristen
di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara
berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13,

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 31


dengan tujuan untuk merebut Tanah Suci dari kekuasaan
kaum Muslim dan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di
Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang
Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai
tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.
Perang salib berlangsung dalam kurun waktu hampir
dua abad (200 tahun), yaitu antara tahun 1095 – 1291,
dengan 8 periode peperangan. Namun Stoddard
mengatakan perang Salib tidak berlangsung dua abad atau
lebih, melainkan berlangsung selama enam abad (600
tahun), dan baru berakhir secara pasti di perbentengan
Wina tahun 1683 (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad
Adabi Darban, 2009: 22).
Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap politik,
ekonomi dan sosial, bahkan terasa masih berpengaruh
sampai masa kini. Walaupun umat Islam berhasil
mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib,
namun kekuatan politik umat Islam menjadi lemah.
Wilayah-wilayah umat Islam terpecah belah dan ingin
memerdekakan diri dari kekuasaan Islam di Abbasiyah
(Badri Yatim, 1997: 79).
Dalam konteks hubungan antaragama, perang salib
meninggalkan trauma yang mendalam antara Islam dan
Kristen sampai sekarang. Akibatnya negara-negara Barat
masih membenci Islam (Mustafa Kamal Pasha dan
Ahmad Adabi Darban, 2009: 23).

32 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
2. Krisis Intelektual
Krisis Intelektual ditandai dengan munculnya sikap
jumud pada zaman kemunduran Islam. Zaman ini
biasanya dikenal dengan zaman kebekuan atau kejumudan.
Kata jumud mengandung arti keadaan membeku, statis,
tiada perubahan. Keadaan seperti ini melanda umat Islam
sejak akhir abad 13 hingga memasuki abad 18 M.
Pemikiran rasional yang dulu mendapat apresiasi tinggi
dari umat Islam digantikan dengan pemikiran tradisional.
Ilmu filsafat mulai ditinggalkan, bahkan dianggap
bid‘ah bagi orang yang mempelajarinya.
Kemandekkan dan kejumudan pemikiran keagamaan
terjadi karena polemik akademis antara ulama rasionalis
dan ulama tradisionalis, yang ‗dimenangkan‘ oleh ulama
tradisionalis. Banyak referensi mencatat bahwa hal
demikian terjadi setelah al-Ghazzali (1058-1111 M)
menyerang bahkan mengkafirkan kaum filosof dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat).
Walaupun secara dialektis Ibnu Rusyd (1126-1198 M)
mengkritisi pandangan al-Ghazzali tersebut dengan
menyusun buku Tahafut at-Tahafut (Kerancuan buku at-
Tahafut), tetapi argumen Al-Ghazzali tetap lebih populer
dan berpengaruh sehingga mempunyai efek
―memenjarakan‖ kreatifitas intelektual Islam (Badri Yatim,
1997: 153). Apalagi setelah al-Ghazzali diberi gelar Hujjatul
Islam (argumentasi Islam), pemikirannya semakin menjadi
idola mayoritas umat Islam dunia. Sejak itulah dinamika
intelektual umat Islam menjadi lumpuh (Nurchalish

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 33


Madjid, 1994: 35). Wajar ada sebuah hipotesisis yang
menyebutkan bahwa yang paling bertanggung jawab
terhadap kemunduran umat Islam di bidang ilmu
pengetahuan adalah al-Ghazzali.

3. Krisis Bidang Keagamaan


Akibat selanjutnya dari pengaruh pemikiran al-
Ghazzali setelah menyerang pemikiran rasional adalah
dalam bidang agama, yaitu tumbunya ajaran tasauf dengan
pesat, yang mengajarkan manusia pasrah kepada Tuhan
(teosentris) dengan pola hidup zuhud, yaitu meninggalkan
dunia dan kehidupan materi. Dalam pandangan tasauf,
kehidupan ukhrawi jauh lebih diutamakan daripada
kehidupan dunia (Badri Yatim, 1997: 153)
Disamping tasauf, krisis bidang agama ditandai juga
dengan munculnya asumsi bahwa pintu ijtihad telah
tertutup. Para ulama, terutama imam mazhab, dijadikan
sebagai pemilik kebenaran tunggal yang tidak boleh
dikritisi. Pendapat imam mazhab dianggap sebagai
kebenaran final dan mutlak. Akibat asumsi ini adalah
lahirnya sikap taklid buta. Muncul penyakit Takhayyul,
Bid‘ah dan Churafat (TBC). HAR Gibb, seperti ditulis
oleh Deliar Noer, mengilustrasikan: ―mayoritas ulama
Islam pada abad pertengahan berpendapat bahwa pintu
ijtihad telah tertutup selama-lamanya, dan tidak
seorangpun yang dapat diakui otoritasnya sebagai penafsir
hukum, walaupun ia memiliki nama besar dan memenuhi
kualifikasi sebagai seorang mujtahid‖ (Deliar Noer,
1985:11). Meskipun ijtihad masih dibolehkan saat itu

34 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
tetapi persyaratan yang dibuat demikian ketat, sehingga
tidak ada seorangpun yang mampu melakukannya (Fazlur
Rahman, 1994: 107).

D. Ide-ide Kemajuan di Dunia Islam


Ide-ide kemajuan dalam Islam dimunculkan sebagai
respons umat Islam untuk bangkit kembali setelah
mengalami masa-masa kemundurannya. Gaung
pembaharuan di dunia Islam gencar kembali
didengungkan pada abad ke-18, setelah umat Islam kontak
dengan Barat. Meskipun demikian, benih pembaharuan
sebenarnya telah muncul pada abad ke-13 setelah Ibnu
Taimiyyah menyuarakan semboyan kembali kepada al-
Qur‘an dan as-Sunnah (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad
Adabi Darban, 2009: 28).
Ide tajdid (pembaharuan) pertama kali mulai kembali
dimunculkan di Mesir dan Turki sejak abad ke-19, saat
Islam bersentuhan dengan modernitas Barat. Ekspedisi
Napolen Bonaparte ke Mesir pada tahun 1801 M.
membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir,
terhadap kemunduran dan kelemahan umat Islam. Pada
saat yang sama kemajuan dan kekuatan Barat telah begitu
besar dan kuat. Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai
berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of
power, yang telah pincang dan membahayakan Islam.
Kontak Islam dengan Barat sekarang berlainan sekali
dengan kontak Islam dengan Barat priode klasik. Pada
waktu itu, Islam sedang maju dan Barat sedang dalam

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 35


kegelapan. Sekarang sebaliknya, Islam dalam kegelapan
dan Barat sedang maju. Kini, Islam yang ingin belajar dari
Barat. Para tokoh Islam mengeluarkan pemikiran-
pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju
kembali sebagaimana yang terjadi pada priode klasik.
Usaha-usaha ke arah itupun mulai diujicobakan. Akan
tetapi seiring hal tersebut Baratpun juga bertambah maju.
Adapun di Indonesia, gerakan tajdid pertama kali
dibawa oleh Haji Miskin dan kawan-kawannya di
Minangkabau, Sumatera Barat. Ia mengambil corak
fundamentalis (Wahhabi) (Mustafa Kamal Pasha dan
Ahmad Adaby Darban, 2009: 75). Namun dalam
perkembangan selanjutnya, manifestasi gerakan tajdid di
Indonesia muncul dalam bentuk yang beragam, yang
masing-masing mencerminkan jawaban kaum Muslim
Indonesia terhadap persoalan yang mereka hadapi dalam
waktu serta tempat tertentu
Pembahasan ini hanya akan mengupas tokoh dan ide
pembaharuan yang digagas oleh beberapa tokoh besar
dunia yang berpengaruh besar terhadap lahirnya
Muhammadiyah.

1. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah memiliki nama lengkap Taqiyuddin
Abu Abbas Ahmad, lahir di Harran, Syiria pada 22 Januari
1263/10 Rabiul Awal 661, dan meninggal pada 27
September 1328, kurang lebih 5 tahun setelah tentara
Mongol menghancurkan Abbasiyah Ia berasal dari
keluarga cendekiawan. Ayahnya, Shihabuddin Abdul

36 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Halim, adalah hafiz dan ulama terkenal di Damaskus,
demikian juga kakeknya, Syekh Majuddin Abdul Salam,
adalah ulama terkemuka. Mereka semua adalah pemuka
dalam mazhab Hambali. Ibnu Taimiyah belajar al-Qur‘an
dan Hadis dari ayahnya, kemudian sekolah di Damaskus.
Pada usia 10 tahun ia telah mempelajari kitab-kitab hadis
utama, hafal al-Qur‘an, belajar ilmu hitung dan sebagainya.
Kemudian ia tertarik mendalami ilmu kalam dan filsafat
yang menjadi keahliannya. Karena penguasaaannya
dibidang kalam, filsafat, hadis, al-Qur‘an, tafsir dan fikih,
pada usia 30 tahun ia sudah menjadi ulama besar pada
zamannya. Ibnu Taimiyah kuat memegang ajaran kaum
salaf. Ia juga seorang penulis yang tekun dan produktif.
Karyanya berjumlah 500 jilid.
Dalam sejarah, Ibnu Taimiyah disebut tokoh yang
pertama kali menyuarakan tajdid di dunia Islam bersama-
sama murid dan sekaligus sahabatnya yaitu Ibnu Qayyim
al-Jauziyah (1292-1350). Mereka berdua yakin bahwa
hanya dengan berpegang teguh kepada al-Qur‘an dan
Hadis dalam segala aspek kehidupan ummat Islam akan
mendapatkan kejayaannya kembali. Untuk itu ummat
Islam harus meninggalkan Taqlid, Bid‘ah dan Churafat
(TBC) serta harus berani melakukan ijtihad dalam
menghadapi masalah-masalah baru yang terdapat disekitar
kehidupan mereka (Zakiyuddin Baidhawi dkk, 2001:4).
Corak pemikiran Ibnu Taimiyah bersifat empiris
sekaligus rasionalis. Empiris dalam arti bahwa ia mengakui
kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 37


pemikiran; rasionalis dalam arti ia tidak
mempertentangkan antara akal dan naql (al-Qur‘an dan
hadis) yang sahih. Ia menolak logika sebagai metode
berfikir deduktif yang tidak dapat digunakan untuk
mengkaji materi keIslaman secara hakiki. Materi keIslaman
empiris hanya dapat diketahui melalui eksperimen dan
pengamatan langsung (Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam,1993:169). Adapun beberapa pokok pikirannya
adalah :
Pertama, pemurnian Tauhid. Ia menentang segala
bentuk bid‟ah, takhayul dan churafat. Menurutnya, akidah
tauhid yang benar adalah akidah salaf, akidah yang
bersumber dari teks al-Qur‘an dan hadis, bukan diambil
dari dalil-dalil rasional dan filosofis. Dalam menjelaskan
sifat-sifat Tuhan, ia mengemukakan bahwa sifat-sifat
Tuhan secara jelas termaktub dalam al-Qur‘an dan hadis.
Pendapat yang membatasi sifat Tuhan pada sifat dua
puluh dan pendapat yang menafikan sifat-sifat Tuhan,
bertentangan dengan akidah salaf. Walaupun ia
menetapkan adanya sifat Tuhan, ia menolak
mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat
makhluk. Ibnu Taimiyah menetapkan sifat-sifat Tuhan
tanpa tamsil (menyamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-
sifat makhluk) dan tanzih (menafikan sifat-sifat Tuhan). Ia
juga gigih menentang penggunaan ta‟wil dalam
menjelaskan sifat-sifat Tuhan. Ta‘wil kata ―yad‖ (tangan)
dengan kekuasaan tidak dapat diterimanya. Ia tetap
mempertahankan arti ―yad‖ dengan arti tangan. Demikian

38 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
pula dengan ayat-ayat mutasybihat lainnya. Inilah yang
disebut al-aqidah al-wasithiyah (Zakiyuddin Baidhawi dkk,
2001: 5)
Kedua, kembali kepada al-Qur‘an dan hadis. Ia
menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali
menggali ajaran-ajaran agama. Menurutnya, metode
penafsiran al-Qur‘an yang terbaik adalah tafsir al-Qur‘an
dengan al-Qur‘an. Jika tidak didapati dalam al-Qur‘an,
baru dicari dalam hadis. Jika penjelasan ayat tidak dijumpai
dalam hadis, dicari dari perkataan sahabat. Kalau juga
tidak didapati, maka dicari dalam perkataan tabiin. Ayat al-
Qur‘an harus ditafsirkan menurut bahasa al-Qur‘an dan
hadis. Disini tampak bahwa Ibnu Taimiyah adalah
pembaharu yang mempergunakan metode berfikir kaum
salaf.
Ketiga, ijtihad terbuka sepanjang masa dan menolak
taklid. Untuk kembali kepada al-Qur‘an dan hadis
diperlukan ijtihad, maka ia menentang taklid. Ia menolak
sikap umat Islam yang mengekor pada para mujtahid yang
telah mendahului mereka, sementara pokok persoalan
telah berubah. Taklid adalah sikap yang membuat umat
Islam mundur, sebab taklid berarti menutup pintu ijtihad,
membuat otak menjadi beku. Padahal sudah sangat lama
umat Islam berada dalam kegelapan akibat pintu ijtihad
dinyatakan tertutup. Menurutnya, ijtihad terbuka
sepanjang masa, karena kondisi manusia selalu berubah.
Perubahan itu harus selalu diikuti oleh perubahan hukum
yang sumbernya dari wahyu. Disinilah fungsi ulama

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 39


membimbing perubahan masyarakatnya sesuai dengan
petunjuk wahyu.
Keempat, tidak terikat pada suatu mazhab atau imam.
Dalam berijtihad tidak terikat pada mazhab atau imam
tertentu. Menurut Ibnu Taimiyah, pendapat siapa saja
yang lebih tepat dan kuat argumennya, itulah yang diambil.
Pengambilan pendapat dan argumen itu bukan didasarkan
atas kemauan nafsu. Semua pendapat harus mempunyai
alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kelima, dalam bidang hukum Islam Ibnu Taimiyah
menawarkan suatu metode baru. Ia tidak mendasarkan
keputusan hukum berdasarkan pada illat, tetapi
berdasarkan hikmah. Penerapan hukum Islam hendaknya
mempertimbangkan aspek-aspek hikmah dalam keputusan
hukum tersebut. Di sinilah sesungguhnya letak relevansi
sekaligus keluwesan Ibnu Taimiyah dalam merumuskan
ushul fiqh yang menjadi ijtihadnya (Zakiyuddin Baidhawi
dkk, 2001: 5-6).

2. Muhammad bin Abdul Wahhab (1730-1787)


Muhammad bin Abdul Wahab lahir di Nejd Saudi
Arabia. Nama lengkapnya Muhammad Bin Abdul Wahhab
Bin Sulaiman Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin
Rashid al-Tamimi, yang termasyhur sebagai pendiri dan
pemimpin Gerakan Wahabi.
Gerakan Wahhabi sesungguhnya merupakan mata
rantai kedua gerkan pembaharuan di dunia Islam yang
ingin mengimplementasikan ide-ide Ibnu Taimiyyah dalam
kehidupan nyata. Dalam menyampaikan ajarannya, ia

40 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
sangat lugas, keras dan tidak mengenal kompromi, apalagi
menyangkut akidah. Hal inilah yang menyebabkan banyak
orang membencinya dan menyebutnya Wahhabi. Sedang
mereka menyebut diri dengan nama Golongan Muwahhidun,
yaitu golongan yang meng-Esakan Allah. Sekalipun begitu
mereka lebih terkenal dengan sebutan Wahabi. Untuk
memudahkan agar idenya dapat terwujud, ia bekerja sama
dengan sahabatnya, negarawan Ibnu Su‘ud dan Abdul
Aziz, yang akhirnya terbentuklah kerajaan Saudi Arabia
(Musthafa Kamal Pasha dan Ahamd Adaby Darban, 2009:
33-35).
Proses pembaharuannya dimulai dengan banyak
menyampaikan ceramah dan khutbah dengan berani dan
antusiasme. Oleh karena itu, ia cepat memperoleh banyak
pendukung. Pada permulaannya ia menerbitkan karyanya
yang terkenal berjudul Kitab Al-Tauhid. Pembaharuannya
adalah memurnikan Islam dari praktik-praktik bid‟ah,
takhayul dan churafat, tampaknya menjadi inspirasi bagi
gerakan pembaharuan yang terjadi didunia Islam dari
waktu ke waktu. Adapun pokok-pokok pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahhab, adalah :
Pertama, Tauhid, pembaharuan Islam yang paling
utama disandarkan pada persoalan tauhid. Dalam hal ini ia
membedakan tauhid menjadi tiga macam: tauhid
rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid al-asma‘ wa al-sifat.
Tauhid rububiyah adalah pengesaan Allah dalam
penciptaan, pemeliharaan dan pembinsaan alam semesta.
Tauhid uluhiyah adalah pengesaan dalam pengabdian dan

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 41


penyembahan, hanya yang berhak dan wajib disembah
hanyalah Allah, dipandang sebagai tauhid amali. Tauhid ini
didasarkan atas rukun Islam dan rukun iman. Yang
termasuk tauhid ini adalah semua bentuk ibadah harian,
keyakinan dan tindakan iman serta perjuangan dengan
penuh kecintaan, ketaqwaan, harapan dan kepercayaan
pada Allah.
Kedua, Tawassul. Abdul Wahhab sangat tidak setuju
dengan para pendukung tawassul. Menurutnya, ibadah
adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan. Usaha
mencari perlindungan pada batu, pohon dan sejenisnya
merupakan perbuatan syirik. Demikian juga bertawassul
kepada arwah orang yang sudah mati atau kuburan orang
suci sangat dilarang dalam Islam dan Allah tidak akan
memberikan ampunan bagi mereka yang melakukan
demikian. Ini bukan berarti ziarah kubur tidak
diperkenankan, namun perbuatan-perbuatan bid‘ah,
takhayul dan churafat yang mengiringi ziarah semestinya
dihindari agar iman tetap suci dan terpelihara (Ayman al-
Yassini, 1995:307-308)
Ketiga, sumber-sumber syari‘ah Islam adalah al-Qur‘an
dan Sunnah. Menurutnya al-Qur‘an adalah firman Allah
yang tidak tercipta, yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril; ia merupakan
sumber paling penting bagi syari‘ah. Ia hanya mengambil
keputusan berdasarkan ayat-ayat muhkamat dan tidak
berani mempergunakan akal dalam menafsirkan ayat-ayat
mutasyabihat. Maka, ia menyarankan agar kaum muslimin

42 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
mengikuti penafsiran al-Qur‘an generasi al-salaf al-salih.
Sementara itu Sunnah Nabi sumber terpenting kedua.
Sedangkan ijmak adalah sumber ketiga bagi syari‘ah dalam
pengertian terbatas, ia hanya mempercayai kesucian ijmak
yang berasal dari tiga abad pertama Islam, karena hadis
yang memuat sunnah Nabi sebagai jawaban atas setiap
masalah, dikembangkan muslim selama 3 abad pertama. Ia
menolak ijmak generasi belakangan. Oleh karena itu,
menurutnya semua komunitas muslim dapat melakukan
kesalahan dalam menyusun hukum secara independen
melalui proses ijmak.
Abdul Wahhab juga akan tetap memilih mengikuti
hadis yang otentik dari pada pendapat para ulama yang
menjadi idolanya sekalipun seperti Ahmad bin Hanbal,
Ibnu Taimiyah, dan Ibnu al-Qayyim. Jadi, ia percaya
bahwa hukum Islam dan dinamika kehidupan muslim
akan tetap hidup dengan menekankan pentingnya ijtihad
terhadap al-Qur‘an dan as-Sunnah. Namun demikian, ia
tidak keberatan bagi siapapun untuk mengikuti salah satu
dari empat mazhab imam asalkan sesuai dengan al-Qur‘an
dan Sunnah (Zakiyuddin Baidhawy, 2001:8).
Keempat, pentingnya negara dalam memberlakukan
secara paksa syari‘ah dalam masyarakat yang otoritas
tertinggi ada di tangan khalifah atau imam yang harus
berindak atas dasar saran ulama dan komunitasnya. Jika
seseorang menjadi khalifah dengan konsensus komunitas
muslim, maka ia harus ditaati. Ia juga memandang sah
upaya penggulingan khalifah yang tidak berkompeten oleh

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 43


imam yang kompeten melalui kekerasan dan paksaan.
Namau demikian, khalifah yang tidak kompeten tetap
harus dipatuhi sepanjang ia melaksanakan syari‘ah dan
tidak menentang ajaran al-Qur‘an dan Sunnah. Wahhab
juga memuji pentingnya jihad untuk melaksanakan syari‘ah
sekaligus menyebarkan syiar Allah keseluruh penjuru
dunia (Zakiyuddin Baidhawy, 2001: 9).
Pokok-pokok pemikiran Muhammad bin Abdul
Wahab lainnya adalah : [a]. Yang boleh dan harus
disembah hanyalah Allah, dan siapa saja yang menyembah
selain Allah adalah musyrik dan boleh dibunuh; [b]. Umat
Islam banyak yang meminta kepada para wali, syek dan
kekuatan gaib, maka hal ini dipandang sebagai suatu
kemusyrikan; [c]. Menyebut-nyebut nama Nabi, Wali,
Guru atau Malaikat untuk dijadikan perantara dalam
berdo‘a juga termasuk perbuatan syirik; [d]. Meminta
syafaat (pertolongan) dan bernazar selain kepada Allah
juga suatu perbuatan syirik; [e]. Memperoleh pengetahuan
selain dari al-Qur‘an, hadis dan qias adalah kekufuran; [f].
Tidak percaya kepaada qada‘ dan qadar adalah kekufuran;
[g]. Menafsirkan menggunakan ta‘wil adalah kufr (Harun
Nasution, 1992: 25).

3. Gerakan Salafiyah
Gerakan Salafiyah lahir di Mesir pada abad XIX yang
dipelopori oleh tiga orang yaitu, Jamaluddin al-Afghani
(1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905) dan
Muhammad Rasyid Ridha (1856-1935). Nama Salafiyah
dihubungkan dengan ulama angkatan pertama (periode

44 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
sahabat Nabi, tabi‘in dan tabiut tabiin) yang tidak
berlebihan dalam menggunakan ta‟wil
(konotasi/metapora). Gerakan ini merupakan mata rantai
kedua yang ingin mengimplementasikan ide-ide Ibnu
Taimiyyah (Musthafa Kamal Pasha dan Ahamd Adaby
Darban, 2009: 37) dan menolak cara-cara kekerasan
seperti yang dilakukan oleh gerakan Wahhabi.
Teori dan tujuan gerakan Salafiyah adalah
memperjuangkan tegaknya agama Islam sehingga terwujud
kejayaan agama Islam dan kemuliaan umat Islam secara
konkrit, riil di Mesir khusunya dan di dunia Islam pada
umumnya. Namun ketika berbicara bagaimana
mewujudkan cita-cita itu, mereka berbeda pendapat
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama dianut
oleh Jamaluddin al-Afghani dan kelompok kedua diwakili
oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Jamaluddin al-Afghani berpendapat bahwa untuk
mewujudkan cita-cita itu harus dengan merebut kekuasaan
politik dengan cara berjuang (jihad) dengan segala resiko
dan pengorbanan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh
agama. Sedangkan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
berpendapat bahwa untuk mewujudkan cita-cita itu
dengan cara terlebih dahulu melakukan pembaharuan di
lembaga-lembaga pendidikan sebagai tempat melakukan
kaderisasi bagi calon-calon mujtahid, mujaddid dan
mujahid Islam yang tangguh dan memiliki mlitansi yang
tinggi. Terjun ke dunia politik, tanpa pendidikan yang
memadai cenderung tidak mengindahkan norma-norma

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 45


agama dan dapat memunculkan prinsip Machiavelisme,
yaitu ―tujuan menghalalkan cara‖ (Musthafa Kamal Pasha
dan Ahamd Adaby Darban, 2009: 38).
Untuk memahami siapa dan bagaimana pokok-pokok
pikiran pendiri gerakan Salafiyah ini, berikut ulasan
singkatnya.

Jamaluddin al-Afghani
Jamaluddin al-Afghani lahir di Afganistan tahun 1839
dan meninggal di Istambul tahun 1897. Ia pernah menjadi
perdana menteri. Ia sadar saat menjadi perdana menteri,
Inggris telah melakukan intervensi politik di Afganistan.
Karena menolak Inggris, ia berhijrah ke India tahun 1869.
Tidak puas di India, ia pergi ke Mesir tahun 1871. Saat di
Mesir inilah ia intens dengan ilmu pengetahuan dan saastra
Arab, dan akhirnya ke politik, walaupun awalnya ia
menjauhi masalah-masalah yang berhubungan dengan
politik.
Jamaluddin al-Afghani adalah seorang pemimpin
pembaharuan dalam Islam sekaligus sebagai aktivis politik
lahir di Afghanistan. Tempat tinggal dan aktivitasnya
berpindah-pindah dari satu negara Islam ke negara lainya,
dan pengaruh terbesarnya di Mesir.
Ketika ide-ide tentang trias politica dan patriotisme
yang disebarkan al-Tahtawi mulai berkembang, pada tahun
1879 atas usaha al-Afghani berdirilah partai Al-Hizbul al-
Wathan (Partai Tanah Air). Maka mulai terdengar
semboyan ―Mesir untuk orang Mesir.‖ Tujuan partai ini
adalah memperjuangkan pendidikan universal,

46 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
kemerdekaan pers dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke
dalam posisi-posisi dalam bidang militer. Dengan
dukungna partai ini al-Afghani berhasil menggulingkan
raja yang sedang berkuasa, Khedewi Ismail. Tetapi
ironisnya, pengganti raja Putra Mahkota, Tawfiq, atas
tekanan dari Inggris, mengusir al-Afghani keluar dari
Mesir. Namun demikian, meski hanya delapan tahun
berada di Mesir al-Afghani sangat berjasa dalam
membangkitkan gerakan pemikiran di Mesir. Sehingga
menurut M.S. Madkur, Mesir modern adalah hasil dari
usaha-usaha Jamaluddin Al-Afghani (Harun Nasution,
1992: 53).
Dari Mesir al-Afghani menuju ke Paris. Disni dia
mendirikan perkumpulan Al-„Urwah al-Wutsqa, sebuah
organisasi yang beranggotakan orang Islam dari berbagai
negara, seperti India, Mesir, Suriah, Afrika Utara dan
lainnya, dengan tujuan antara lain memperkuat ukhuwah
Islamiyah, membela Islam dan memajuka Islam.
Perkumpulan ini juga menerbitkan majalah dengan nama
yang sama yang peredarannya mencapai Indonesia. Usia
majalah ini tidak panjang, karena dunia Barat melarang
peredarannya ke negara-negara Islam yang berada di
bawah koloni mereka. Saat masih tinggal di Paris ini juga
al-Afghani pernah diundang ke Persia dan ke Istambul
untuk membantu menyelesaikan masalah-maslah umat
Islam disana.
Al-Afghani sesunguhnya adalah pemimpin politik
sekaligus pemimpin pembaharuan. Aktivitas politiknya

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 47


lebih menonjol daripada pemikiran-pemikiran
pembaharuannya. Stoddard mengatakan bahwa ia sedikit
sekali memikirkan masalah-masalah agama dan sebaliknya
memusatkan pemikiran dan aktivitasnya dalam bidang
politik. Goldziher juga berpendapat bahwa al-Afghani
lebih pantas disebut tokoh politik dan bukan menjadi
tokoh pembaharuan di bidang agama. Pandangan kedua
tokoh ini sesungguhnya keliru, karena atas dasar ide
pembaharuan dalam Islam itulah kegiatan politik itu
dilakukannya (Harun Nasution, 1992: 54).
Adapun ide-ide pembaharuan yang dilontarkan oleh
al-Afghani antara lain:
Pertama, Pan Islamisme. Islam adalah agama yang
sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua
keadaan. Kalau terdapat pertentangan antara ajaran
dengan kondisi yang dibawa perubahan zaman maka
penyesuaian bisa diperoleh dengan menadakan penafsiran
baru entang ajran-ajaran Islam yang terapat dalam al-
Qur‘an dan al-Hadis. Karena itu pintu ijtihad harus
terbuka selalau menurut M.S. Madkur, Mesir modern
adalah hasil dari usaha-usaha Jamaluddin al-Afghani
(Harun Nasution, 1992: 54).
Kedua, Kemunduruan umat Islam bukan karena Islam
itu sendiri sebagaimana anggapan bahwa Islam tidak sesuia
dengan zaman. Umat Islam mundur karena meninggalkan
ajaran Islam yang sebanarnya dan mengikuti ajaran-ajaran
yang berasal dari luar dan asing bagi Islam. Umat Islam
juga mundur karena salah paham terhadap qada‘ dan kadar

48 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
yang berakibat kepada paham fatalisme. Padahal maksud
paham qada‘ kadar adalah hukum sebab akibat. Penyebab
lainnya adalah karena perpecahan yang terjadi antara umat
Islam, pemerintahan yang absolut, tidak demokratis,
mempercayakan kemepimpinan kepada orang yang tidak
amanat, dan putusnya ukhuwah Islamiyah, tidak hanya di
kalangan umat awam, tetapi juga antar alim ulama.
Ketiga, al-Afghani lalu mengusulkan beberapa jalan
untuk memperbaiki umat Islam, antara lain adalah dengan
kembali kepada ajaran dasar Islam, menghidupkan
kembali akhlakul karimah dengan mensucikan hati,
menghidupkan budi pekerti yang luhur, kesediaan untuk
berkorban demi kepentingan umat Islam, merubah corak
pemerintahan menjadi republik yang mengakui kebebasan
berpendapat, dan kewajiban kepala negara untuk tunduk
kepada undang-undang dasar, dan persatuan umat Islam
mesti menjadi kenyataan (Harun Nasution, 1992: 56).
Ide dan aktivitas yang dirintis dan dikembangkan al-
Afghani semakin berkemabang dengan muncul para
pembaharu lainnya yang merupakan para pengikut dan
penerusnya. Mereka antara lain adalah Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha.

Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di sebuah desa di Mesir Hilir
tahun 1849. Ayahnya bersama penduduk lainnya selalu
berpindah-indah dari satu desa ke desa lainnya, karena
penguasa saat itu memungut pajak secara kasar dan bengis.

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 49


Ia akhirnya menetap di sebidang tanah yang ia beli di desa
Mahallah Nasr.
Abduh termasuk anak yang cerdas. Ia telah bias
membaca dan menghapal al-Qur‘an sejak masa kanak-
kanak. Pengalaman yang paling menarik perhatiannya
adalah ketika ia belajar bahasa Arab tentang ilmu
gramatikanya. Ia memprotes metode mengajar gurunya,
Syekh Ahmad, karena hanya mengejar hapalan siswanya,
tanpa mengetahui apakah siswanya paham dengan apa
yang disampaikan atau tidak. Akibatnya ia tidak mau
belajar dengan bersembunyi di rumah salah satu
pamannya. Dalam keyakinannya, belajar seperti itu tidak
bermanfaat. Iapun berniat menjadi petani dan menikah
saat usia 16 tahun. Tetapi niat itu terkubur, karena dipaksa
oleh ayahnya belajar lagi. Ia akhirnya belajar dan mengajar
di Universitas al-Azhar, Mesir. Di sinilah ia bertemu
dengan Jamaluddin al-Afghani yang mengubah cara
berpikirnya secara drastis. Ia dan Jamaluddin al-Afghani
menerbitkan majalah Al-Urwatul Wutsqa dan bersama
muridnya, Rasyid Ridha, menerbitkan majalah Al-Manar
yang paling berpengaruh di dunia Islam, termasuk pada
diri KH. Ahmad Dahlan.
Adapaun ide-ide Muhammad Abduh antara lain
adalah: Pertama, kemunduran umat Islam disebabkan oleh
paham jumud, yang berarti keadaan membeku, statis, tidak
ada perubahan. Karean pengaruh jumud ini maka Islam
tidak menghendaki dan tidak mau menerima perubahan,
karena mereka berpegang teguh pada traidisi. Mereka

50 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
memegang teguh paham animistik dan tidak
mementingkan pemakaian ilmu pengetahuan. Mereak
bahkan memusuhi ilmu pengetehuan karena ilmu
pengetahuan dapat membuka mata umat yang pada
ujungnya membuat mereka tidak mudah diperintah. Umat
Islam memuja syekh-syekh, wali dan ulama secara
berlebihan sehingga mereka bertaqlid buta kepada tokoh-
tokoh itu. Disamping itu, menurutnya, umat Islam harus
menghargai kekuatan akal yang pada ujungnya ia
menganut paham takdir seperti paham Mu‘tazilah (Harun
Nasution, 1992: 62-63).
Untuk menolong umat Islam, maka menurut Abduih,
ummat Islam harus kembali ke ajaran Islam yang semula
yaitu ajaran Islam zaman salaf (zaman sahabat dan ulama-
ulama besar). Pendapat seperti ini juga sebelumnya telah
dikemukakan oleh pembaharu salaf yang lain yaitu
Muhammad bin Abdul Wahhab. Tetapi berbeda dengan
Abdul Wahhab, Abduh lebih lanjut berpendapat bahwa
karena sekarang zaman dan suasana umat Islam sudah
jauh berubah dibandingkan suasana umat Islam zaman
Klasik, maka ajran-ajaran Islam yang asli itu perlu
disesuaika dengan keadaan modern sekarang.
Kedua, Abduh sepaham dengan Ibnu Taimiyah yang
berpendapat bahwa ajaran Islam terbagi ke dalam dau
kategori: ibadat dan muamalat (hidup bermasyarakat).
Abduh melihat bahwa ajaran-ajaran yang teerdapat dalam
al-Qur‘an dan Hadis yang menyangkut ibadat bersifat
tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 51


muamalat hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip-
prinsip umum yang tidak terperinci. Karena itu Abdul
berpendapat bahwa hal yang berkaitan dengan muamalat
ini bisa disesuaikan dengan tuntutan zaman atau dilakukan
interpretasi baru. Dengan kata lain Abduh berpendapat
bahwa pintu ijtihad tetap terbuka bagi orang yang memang
memenuhi syarat untuk melakukannya. Sebagai
konsekusinya, praktik taklid harus diperangi (Harun
Nasution, 1992: 63-64).
Ketiga, umat Islam harus mempelajari dan
mementingkan ilmu pengetahuan. Dan sebagai
konsekuensi logis dari pemikiran yang demikian ini maka
menurut Muhammad Abduh umat Islam harus
mementingkan soal pendidikan. Sekolah sekolah modern
harus dibuka, dimana ilmu pengetahuan modern diajarkan
disamping pengetahuan agama, seperti sekolah
administrasi, militer, kesehatan, perindustrian dan lainnya
(Harun Nasution, 1992: 67).
Berbagai pendapat dan ajaran Abduh itu disebarkan
melalui berbagai tulisan, baik yang ia tulis sendiri maupun
para muridnya, sehingga berpengaruh besar di dunia Islam
pada umumnya, dan khususnya terurtama di dunia Arab.
Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah
Muhammad Rasyid Ridha, Kasim Amin, Farid Wajdi,
Thanthawi Jauhari, Ali Abd Razik, Musthafa al-Maraghi,
Taha Husein, dan Muhammad Hussein Haekal dan Sa‘ad
Zaglul, Bapak kemerdekaan Mesir.

52 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Muhammad Rasyid Ridha
Nama lengkap Muhammad Rasyid Rida adalah al-
Sayyid Muhammad Rasyid Rida bin Ali Rida bin
Muhammad Syamsuddin bin al-Sayyid Baharuddin bin al-
Sayyid Munla Ali Khalifah al-Baghdadi. Ia dilahirkan di
Qalmun, suatu kampung sekitar 4 KM dari Tripoli,
Libanon, pada tahun 1864 M. Menurut riwayat, ia adalah
seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan
langsung dari Husain, putra pasangan Ali bin Abi Thalib
dan Fatimah putri Rasulullah saw.
Pada usia tujuh tahun, Muhammad Rasyid Rida
dimasukkan orang tuanya kesebuah lembaga pendidikan
dasar yang disebut Kuttab yang ada di desanya untuk
belajar membaca al-Qur‘an, menulis dan berhitung. Ia
kemudian meneruskan pelajarannya di Madrasah Ibtidaiyah
al-Rusdiyah di kota Tripoli. Di madrasah tersebut di ajarkan
nahwu, sharaf, berhitung, geografi, akidah dan ibadah.
Semua mata pelajaran tersebut disampaikan kepada para
siswa dalam bahasa Turki, dia pun keluar dari madrasah
itu setelah kurang lebih satu tahun lamanya belajar disana.
Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di Madrasah al-
Wataniyah al-Islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli.
Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula
bahasa Turki dan Perancis. Disamping itu, ia juga belajar
pengetahuan-pengetahuan modern. Disamping itu,
Muhammad Rasyid Rida memperoleh tambahan ilmu dan
semangat keagamaan melalui membaca kitab-kitab yang
ditulis al-Ghazzali, antara lain Ihya‟ Ulum al-Din sangat

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 53


mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap
patuh pada hukum dan baktinya terhadap agama.
Pada Januari 1898 M. Muhammad Rasyid Rida hijrah
ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir.
Dua tahun kemudian ia bersama Muhammad Abduh
menerbitkan majalah terkenal ―al-Manar‖ untuk menyebar
luaskan ide-idenya dalam usaha pembaharuan. Dalam edisi
pertama ia menulis bahwa tujuan penerbitan al-Manar
sama dengan majalah al-urwatul wustqa, yaitu pebahaaruan
agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayul dan
bid‘ah yan masuk dalam tubuh umat Islam, serta paham-
paham salah dalam tarekat dan tasauf, meningkatkan
pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan
politik negara-negara Barat. Majalah ini juga dijadikan
sebagai media publikasi pemikiran-pemikiran Abduh
sebagai gurunya. Ia lebih memilih jalur pendidikan untuk
memajukan umat Islam, dan atas saran gurunya, ia awalnya
tidak terlibat dalam politik praktis. Setelah gurunya wafat,
dalam beberapa tahun ia baru terjun ke dunia politik
(Harun Nasution, 1992: 70-72).
Muhammad Rasyid Rida sebagai ulama yang selalu
menambah ilmu pengetahuan dan selalu pula berjuang
selama hayatnya, telah menutup lembaran hidupnya pada
bulan Agustus 1935 M setelah pulang mengantar Pangeran
Su‘ud ke kapal di Terusan Suez.
Adapun ide-ide pembaruan Rasyid Ridha tidak jauh
berbeda dengan Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-
Afghani, yaitu antara lain adalah sebagai berikut: Pertama,

54 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
bid‘ah dan paham fatalisme. Ia berpendapat bahwa umat
Islam mundur karena tidak menganut ajaran-ajaran Islam
yang sebenarnya. Pemahaman umat Islam tentang ajaran-
ajaran agama mengalami kesalahan dan perbuatan-
perbuatan mereka dianggap telah menyeleweng dari ajaran
Islam yang hakiki ke dalam tubuh Islam telah banyak
masuk bid‘ah yang merugikan bagi perkembangan dan
kemajuan umat, misalnya ajaran syekh-syekh tarekat
tentang tidak pentignya hidup duniawi, tentang tawakkal,
dan kepatuhan yang berlebihan kepada syekh dan wali
(Harun Nasution, 1992: 73).
Menurut Rasyid Ridha, umat Islam harus dibawa
kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari
segala bid‘ah. Islam murni itu sederhana sekali, sederhana
dalam ibadat dan sederhana dalam muamalatnya. Yang
mngacaukan ajaran Islam adalah justeru sunah-sunah yang
ditambah-tambahkan hingga mengaburkan antara wajib
dan sunnah. Dalam konteks muamalah, agama hanya
memberikan pedoman-pedoman pokok, seperti keadilan,
persamaan, pemerintahan syura. Perincian dan pelaksanaan
dari dasar-dasar ini diserahkan kepada umat untuk
menentukannya. Hukum-hukum fiqh mengenai hidup
kemasyarakatan tidak boleh dianggap absolut dan tak
dapat diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan
suasana tempat dan zamannya.
Terhadap sikap fanatik di zamannya ia menganjurkan
supaya toleransi bermazhab dihidupkan. Dalam hal-hal
fundamental-lah yang perlu dipertahankan, yaitu persatuan

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 55


umat. Selanjutnya ia menganjurkan pembaruan dalam
bidang hukum dan penyatuan mazhab hukum.
Sebagaimana disebutkan di atas, Rasyid Ridla
mengakui terdapat paham fatalisme di kalangan umat
Islam. Menurutnya, bahwa salah satu dari sebab-sebab
yang membawa kepada kemunduran umat Islam ialah
paham fatalisme („aqidah al-jabr) itu. Selanjutnya salah satu
sebab yang membawa masyarakat Eropa kepada kemajuan
ialah paham dinamis yang terdapat di kalangan mereka.
Islam sebenarnya mengandung ajaran dinamis. Orang
Islam disuruh bersikap aktif. Dinamis dan sikap aktif itu
terkandung dalam kata jihad; jihad dalam arti berusaha
keras, dan sedia memberi pengorbanan, harta bahkan juga
jiwa. Paham jihad inilah yang menyebabkan umat Islam di
zaman klasik dapat menguasai dunia.
Kedua, pembaharuan Rasyid Ridha dalam masalah
ijtihad sebagaimana Muhammad Abduh, Rasyid Ridla
sangat menghargai akal manusia, walaupun
penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan
yang diberikan gurunya. Akal dapat dipakai dalam
menafsirkan ajaran-ajaran mengenai hidup
kemasyarakatan, tetapi tidak terhadap ibadah. Ijtihad
dalam soal ibadah tidak lagi diperlukan. Ijtihad (fungsi
eksplorasi akal) dapat dipergunakan terhadap ayat dan
hadis yang tidak mengandung arti tegas dan terhadap
persoalan-persoalan yang tidak disebutkan secara langsung
dalam al-Qur‘an dan al-hadis.

56 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Meskipun Ridha menghargai akal, tetapi ia tidak lebih
liberal dengan gurunya, Abduh. Jika gurunya berpaham
Mu‘tazilah dalam masalah takdir dan tidak bermazhab,
Ridla tetap menganut mazhab Hanbali dan Ibnu Taimiyah
dan tidak mengikuti Mu‘tazilah. Hal ini dapat dipahami
karena Abduh lebih banyak berinteraksi dengan peradaban
Barat, sementara Ridla tidak pernah sama sekali (Harun
Nasution, 1992: 76).
Ketiga, mengenai ilmu pengetahuan, menurut Rasyid
Ridla, peradaban Barat modern didasarkan atas kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk
kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban
Barat yang ada. Barat maju, demikian menurut Rasyid
Ridla, karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan
yang dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan
demikian mengambil ilmu pengetahuan barat modern
sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan
yang pernah dimiliki umat Islam.
Keempat, mendirikan Pan-Islamisme. Sebagaimana al-
Afghani, Rasyid Ridla juga melihat perlunya dihidupkan
kesatuan umat Islam. Menurutnya, salah satu sebab lain
bagi kemunduran umat ialah perpecahan yang terjadi di
kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksud oleh beliau
bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa
atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan
yang sama. Oleh karena itu ia tidak setuju dengan gerakan
nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kamil di Mesir dan

Pembaharuan dan Dinamika Dunia Islam dalam Sejarah ~ 57


gerakan nasionalisme Turki yang dipelopori Turki Muda.
Ia menganggap bahwa paham nasionalisme bertentangan
dengan ajaran persaudaraan seluruh umat Islam.
Persaudaraan dalam Islam tidak mengenal perbedaan
bangsa dan bahasa, bahkan perbedaan tanah air (Harun
Nasution, 1992: 74).
Ide pembaharuan dalam Islam terus menyebar ke
belahan dunia Islam lainnya. Setelah berkembang di Mesir,
ide pembaharuan ini berhembus kemudian ke Turki, lalu
ke India, setelah itu ke Pakistan dan ke belahan dunia
Islam lainnya, sampai akhirnya terdengar juga sampai ke
Indonesia. KH. Ahmad Dahlann adalah salah seorang
yang terpengaruh dengan ide dan gerakan pembaharuan
ini, sehingga mendirikan Muhammadiyah. Pengaruh yang
paling kuat pada diri KH. Ahmad Dahlan adalah dari
pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha melalui
Tafsir al-Manar dan majalah Urwatul Wustqa.

58 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
BAB II
DAKWAH ISLAM DI NUSANTARA DAN LAHIRNYA
PEMBAHARUAN DI INDONESIA

S ejak zaman prasejarah, penduduk Indonesia dikenal


sebagai pelayar dan pelaut tangguh nan pemberani.
Mereka telah terbiasa berlayar dan mengarungi
lautan lepas. Rute-rute pelayaran sejak dahulu telah
tercipta di nusantara, bahkan dunia. Pedagang-pedagang
dari penjuru dunia pun telah singgah di nusantara, seperti
Cina, India, Arab, Persia dan lainnya. Tentu para penjajah
seperti Belanda, Portugis, Jepang dan lainnya juga telah
masuk ke nusantara. Kedatangan bangsa asing, khususnya
yang berasal dari Timur Tengah yang beragama Islam,
disamping untuk berdagang, ternyata mereka kemudian
menetap di wilayah nusantara sambil berdakwah. Pada
akhirnya mereka membuat komunitas-komunitas sendiri.
Komunitas ini kemudian memiliki kekuatan dan berubah
menjadi pusat kekuasaan.
Pakar sejarah Taufik Abdullah menyimpulkan
bagaimana proses masuknya Islam ke nusantara yang ia
bagi menjadi tiga fase, yaitu: [1]. Fase singgahnya para
pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan nusantara; [2].
Fase pembentukan komunitas-komunitas Islam di
beberapa daerah kepulauan di Indonesia; dan [3]. Fase
mendirikan kerajaan Islam (Taufik Abdullah, 1991: 39).

Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 59


A. Teori-teori Masuknya Islam di Nusantara
Para sejarahwan membuat teoritisasi tentang
masuknya Islam ke nusantara menjadi minimal lima teori
besar. Berikut dijelaskan secara singkat seputar teori-teori
yang berkaitan dengan masuknya Islam di nusantara :

1. Teori Arab
Teori ini menyatakan bahwa Islam datang langsung
dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ini
dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann
(1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878) (Azyumardi
Azra, 2005: 7). Teori ini mendapat legitimasi dengan fakta
bahwa orang-rang Hadaramaut adalah pengikut mazhab
Syafii seperti juga kaum muslimin nusantara.
Para sejarahwan juga mencatat bahwa sebagian besar
dari pedagang Arab yang berlayar ke kawasan Indonesia
datang dari Yaman, Hadramaut dan Oman di bagian
Selatan dan Tenggara semenanjung tanah Arab. Kawasan
Yaman telah memeluk Islam semenjak tahun 630-631
Hijriyah tepatnya pada zaman Ali bin Abi Thalib.
Pengislaman Yaman ini mempunyai implikasi yang besar
terhadap proses Islamisasi Asia Tenggara karena pelaut
dan pedagang Yaman menyebarkan agama Islam di sekitar
pelabuhan tempat mereka singgah di Asia Tenggara
(Mahyudin Hj. Yahya Halimi, & Ahmad Jaelani, 1993:
559).

60 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
2. Teori Gujarat.
Teori ini berpendapat bahwa Islam di nusantara
datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel
tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang
catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo, dan Ibnu
Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang
bermazhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India yang
membawa Islam ke Asia Tenggara. Dia mendukung
teorinya ini dengan menyatakan bahwa, melalui
perdagangan, amat memungkinkan terselenggaranya
hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan
umumnya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India,
digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan
Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh
Snouk Hurgronye yang melihat para pedagang kota
pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam
ke wilayah nusantara. Teori Snock Hurgronye ini lebih
lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan
menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari
sanalah Islam datang ke nusantara. Ia menunjuk pantai
Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para
pedagang muslim dalam pelayaran mereka menuju
nusantara (Azyumardi Azra, 2005: 32).

3. Teori Benggali
Teori dikembangkan oleh Fatim. Ia menyatakan
bahwa Islam datang dari Benggali (Bangladesh). Dia
mengutip keterangan Tome Pures yang mengungkapkan
bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang
Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 61
Benggali atau keturunan mereka. Dan, Islam muncul
pertama kali di semenanjung Malaya dari arah pantai
Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11,
melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan
Trengganu. Ia beralasan bahwa doktrin Islam di
semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang,
elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip
dengan prasasti yang ditemukan di Leran. Drewes, yang
mempertahankan teori Snouck, menyatakan bahwa teori
Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama karena
penafsirannya atas prasasti yang ada dinilai merupakan
perkiraan liar belaka. Lagi pula mazhab yang dominan di
Benggali adalah mazhab Hanafi, bukan mazhab Syafii
seperti di semenanjung dan nusantara secara keseluruhan.

4. Teori Persia
Teori keempat tentang kedatangan Islam di nusantara
adalah teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia
adalah Hoesein Djayadiningrat. Fokus pandangan teori ini
tentang masukkanya agama Islam ke nusantara berbeda
dengan teori India dan Arab, sekalipun mempunyai
kesamaan masalah Gujaratnya, serta mazhab Syafii-nya.
Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada
kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam
Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan
Persia.
Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada
masyarakat Islam Indonesia antara lain : Pertama,
peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari

62 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
peringatan Syiah atas kematian syahidnya Husain.
Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-
Husain. Di Sumatera Tengah sebelah Barat, disebut Bulat
Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husain
untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perariran
lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa
Arab.
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran syaikh.
Siti Jenar dengan ajaran sufi al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj
telah meninggal pada 310 H/922 M, tetapi ajarannya
berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga
memungkinkan syaikh. Siti Jenar yang hidup pada abad
ke-16 dapat mempelajarinya.
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam mengeja
huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam
pengajian al-Qur‘an tingkat awal. Dalam bahasa Persi,
harakat fathah ditulis jabar-zabar, kasrah ditulis jer-zeer,
dhammah ditulis p‘es-py‘es. Huruf sin yang tidak bergigi
berasal dari Persia, sedangkan sin bergigi berasal dari
Arab.
Keempat, nisan pada makam Malikus Saleh (1297) dan
makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari
Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan
mutlak dengan teori Gujarat.
Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap
mazhab Syafii sebagai mazhab yang paling utama di
daerah Malabar. Dalam masalah mazhab Syafii, Hoesein

Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 63


Djayadiningrat mempunyai kesamaan dengan GE
Morrison, tetapi berbeda dengan teori Mekah yang
dikemukakan oleh Hamka. Hoesein Djayadiningrat di satu
pihak melihat salah satu budaya Islam Indonesia kemudian
dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam
memandang mazhab Syafii terhenti ke Malabar, tidak
berlanjut dihubungkan dengan pusat mazhab Syafii di
Mekah.

5. Teori Cina
Islam disebarkan dari Cina telah dibahas oleh SQ
Fatimi. Beliau mendasarkan torinya ini kepada
perpindahan orang-orang Islam dari Canton ke Asia
tenggara sekitar tahun 876 M. Perpindahan ini
dikarenakan adanya pemberontakan yang mengorbankan
hingga 150.000 muslim. Menurut Syed Naguib Alatas,
tumpuan mereka adalah ke Kedah dan Palembang.
Hijrahnya mereka ke Asia Tenggaran telah membantu
perkembangan Islam di kawasan ini. Selain Palembang dan
Kedah, sebagian mereka juga menetap di Campa, Brunei,
pesisir timir tanah melayu (Patani, Kelantan, Terengganu
dan Pahang) serta Jawa Timur.
Bukti-bukti yang menunjukan bahwa penyebaran
Islam dimulai dari Cina adalah ditemukannya : batu nisan
Syekh Abdul Kadir bin Husin Syah Alam di Langgar,
Kedah bertarikh 903 M, batu bertulis Phan-rang di
Kamboja bertahun 1025 M, batu isan di pecan Pahang
bertahun 1028 M, batu nisan puteri Islam Brunei bertahun
1048 M, batu bersurat Trengganu bertahun 1303 M dan

64 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
batu nisan Fathimah binti Maimun di Jawa Timur bertarik
1082 M.
Walaupun dari kelima teori ini tidak terdapat titik
temu, namun mempunyai persamaan pandangan yakni
Islam sebagai agama yang dikembangkan di Nusantara
melalui jalan damai.

B. Proses Perkembangan Islam di Nusantara


Psoses masuk dan tersebarnya Islam di nusantara
dilakukan secara damai, baik kepada bangsawan ataupun
masyarakat awam. Uka Tjandrasamita, seperti ditulis oleh
Badri Yatim (1997: 201-203), menyatakan bahwa proses
Islamisasi di nusantara terjadi melalui enam saluran, yatu:

1. Saluran Perdagangan
Seperti tercacat dalam sejarah bahwa pada abad ke-7
sampai 16 M. lalu lintas perdaganuan laut telah sibuk dan
ramai. Para pedagan Muslim dari Arab, Persia dan India
telah melakukan perjalanan dagang dari bagian barat,
tenggara dan benua Asia. Proses Islamisasi menjadi
semakin mudah karena para raja dan bangsawan ikut
dalam kegiatan bisnis, bahkan mereka menjadi pemilik
kapal dan saham. Saat kegiatan inilah para pedagang
Muslim dari laur nusantara banyak bermukim di pesisir
pulau Jawa dan mendirikan masjid. Para bupati Majapahit
yang ditugaskan di pesisir ini banyak yang masuk Islam
karena hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagan

Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 65


asing Muslim itu. Pada saat yang sama Majapahit juga telah
diambang kehancuran.

2. Saluran Perkawinan
Para pedagang biasanya memiliki status sosial yang
lebih baik daripada pribumi. Dengan kegiatan
perdagangan, biasanya mereka lebih kaya dan dihormati.
Puteri-puteri para bangsawan mejadi tertarik untuk kawin
dengan orang yang memilki status sosial lebih tinggi.
Sebelum kawin, mereka diislamkan terlebih dahulu.
keturunan mereka menjadi banyak dan makin luas.

3. Saluran Tasauf
Ajaran tasauf banyak memilki persamaan dengan
ajaran agama Hindu. Para pengajar tasauf mengajarakan
teosofi yang bercampur dengan ajaran yang telah lama
dikenal luas dalam masyarakat nusantara. Inilah yang
menyebabkan ajaran Islam lebih mudah dimengerti.
Mereka mahir dalam dalam bidang magis dan memilki
kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Para pengajar ini ada
yang mengawini puteri-puteri bangswan setempat.
Dianatar para pengajar tasauf adalah Hamzah fansyuri di
Aceh, Syekh Lemah Abang dan Sunan Panggung di Jawa.

4. Saluran Pendidikan
Kegiatan Islamisasi di nusantara juga didukung oleh
pendidikan. Setelah komunitas terbentuk, mereka
mendirikan pondok yang dipimpin oleh para guru dan
kiyai. Setelah lulus dari pondok mereka pulang ke

66 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
kampung halamannya dan mengembangkan ajaran Islam,
seperti yang dilakukan oleh Raden Rahmad di Ampel
Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri.

5. Saluran Kesenian
Kesenian merupakan salah satu instrumen Islamisasi
di nusantara yang tergolong efektif. Wayang sebagai salah
satu kesenian favorit waktu itu dengan sangat cerdas
dimanfaatkan oleh para guru atau kiyai. Sunan Kalijaga
adalah satu contoh bagimana ia dengan sangat cerdas
meminta para penonton untuk mengikutinya
mengucapkan kalimat syahadat. Meskipun lakon yang
diceritakan tentang Mahabrata, tetapi ia mampu
menyisipkan ajaran dan nama pahlawan Islam. Selain
wayang, hikayat dan babad, seni bangunan dan seni ukir
dijadikan sebagai media Islamisasi saat itu.

6. Saluran Politik
Di nusanatara, budaya paternalistik masih begitu kuat.
Apa yang dilakukan oleh pemimpin, raja dan tokoh selalu
dijadikan sebagai referensi hidup bagi rakyatnya.
Banyaknya para raja yang memeluk Islam secara otomatis
diikuti oleh rakyatnya. Demikian juga kemenangan
kerajaan Islam memerangi kerajaan non Islam, banyak
menarik penduduk kerajaan masuk Islam.

C. Corak Awal Islam Nusantara


Sebelum Islam datang, masyarakat di nusanatara
memiliki kepercayaan yang telah menyatu dengan sistem

Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 67


hidup mereka. Kepercayaan-kepercayaan itu adalah
dinamisme, animisme, Hinduisme dan Budhaisme.
Snouck Hurgronye menulis bahwa di Indonesia,
terutama di Jawa, Sumatera tengah dan Aceh, masyarakat
percaya pada benda-benda ghaib, suatu kepercayaan yang
sebagain merupakan pikiran orang Polinesia, sebagian
merupakan pikiran orang Hindu; slaametan-slametan
orang Jawa disajikan bagi semangat (jiwa) nenek moyang
mereka, semangat-semangat yang dinggap melindungi
desa-desa dan sawah-sawah; ia mengunjungi keramata-
keramat, kubur-kubur sakti dari wali-wali, diantaranya
bersasal dati keramat-keramat zaman para agama; ia
membakar kemenyan di bawah pohon-pohon yang
dinaggap sakti; bacaan-bacaan doannya penuh dengan
nama-nama makhluk halus seperti demit, peri, dan
periangan dan lainnya serta jin; Dalam hatinya ia
sebenarnya orang-oarang yang tidak beragama (Deliar
Noer, 1996: 20). Contoh lain adalah munculnya buku-
buku primbon dan astorlogi.
Setelah Islam datang kepercayaan-kepercayaan itu
tetap eksis dan tidak mudah dihapuskan, bahkan
bercampur baur dengan ajaran Islam. Dalam kondisi
seperti inilah Islam datang dan berkembang menjadi ajaran
yang berbeda dengan Islam yang murni sebagaimana
diajarkan oleh Allah dan Ralunya, Muhammad saw.
Menurut Kuntowijoyo, sampai awal abad ke-20
kondisi Islam di Jawa memiliki dua corak besar, yaitu
Islam sinkretis dan Islam Tradisionalis. Corak pertama

68 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
dengan ciri-ciri yang menonjol adalah syirik dan takhayyul.
Sedangkan yang kedua berada di lungkungan pesantren
dengan kiyai sebagai pusatnya dengan cirri-ciri menonjol,
yaitu bid‘ah dan churafat ( Khozin, 2005: 21-22).
Sedangkan Menurut Daliman, ada tiga corak ajaran
Islam yang berkembang saat awal masuknya Islam ke
Indonesia, yaitu mazhab Syi‘ah, Mazhab Syafii dan
Mazhab hanafi (Daliman, 2012: 44-45).

1. Ajaran Syi‟ah
Jika merujuk kepada teori Persia tentang masuknya
Islam ke Indonesia, maka dengan demikian orang yang
membawanya adalah penganut ajaran Sy‘ah, karena ajaran
ini berkemabang di Persia. bahkan pada abad ke-16, ajaran
Syiah dijadikan sebagai ajaran resmi di Persia. Para
penganut syi‘ah baanyak ditemukan di Perlak dan
Samudera Pasai. Dalam catatan sejarah kerajaan Samudera
Pasai sesungguhnya menganut paham syi‘ah (Daliman,
2012: 45 dan 50).
Abu Bakar Aceh, sebagaimana ditulis oleh Musthafa
kamal Pasha dan Adaby Darban, mmenceritakan bahwa di
kampungnya (Aceh) upacara Syiah diraayakan dengan
memasak bubur yang bercampur buah-buahan yang
diletakkan di pinggir jalan dan dibagikan kepada semua
yang lewat dijalan untuk menghormati kejadian sedih
terhadap tragedi Karbala. Disamping itu ada tradisi hari
Rabo Habeh, akhir bulan Safar. Di Jawa juga ada tradisi
Suran (Asyura) pada tanggal 10 Muharram untuk
memeperingati gugurnya Hasan dan Husein yang dibunuh

Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 69


oleh Yazin bin Muawiyah di Karbala dengan membuat
nasi kenduri yang didalamnya ada jenang berwarna merah
dan putih (Jenang kasan dan Jenang Kusen) (Musthafa
kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, 2009: 71).
Sedangkan di Lombok untuk memperingati 10 Muharram
itu ada acara membuat bubur putih dan bubur merah.
Ajaran syi‘ah juga menganut paham tasauf, yaitu
paham wujudillah (emanasi), yang menganut pahama bahwa
mansia adalah percikan dari sinar Ilahi. Ajaran ini
dcetuskan oleh al-Hallaj. Saat itu, ajaran ini diikuti dan
disebarkan oleh Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin al-
Samatrani.
Selain corak tasauf Syi‘ah, ternyata di awal masuknya
Islam juga muncul model tasauf yang telah tercampur
dengan kepercayaan mistis dari agama Hindu. Hal ini
menjadi sangat logis, karena menurut salah satu teori
bahwa Islam dibawa ke Indonesia oleh saudagar dari
Gujarat, India. Ajaran Tasauf. Mukti Ali, seperti ditulis
oleh Mustafa kamal Pasha, menyatakan bahwa ajaran
tasauf merupakan sinkretis anatara ajaran Islam dan
Hindu. Hal ini juga yang menjadikan Islam lebih mudah
diterima oleh masyarakat nusantara saat itu, karena ajaran
tasauf lebih toleran terhadap adat kebiasaan yang hidup di
suatu tempat, walapun bertentangan dengan ajaran Islam
yang murni (Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby
Darban, 2009: 69).

70 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
2. Ajaran Syafiiyah
Adapun jika teori yang menyatakan bahwa Islam yang
masuk Indonesia dibawa oleh orang Arab Hadra Maut,
maka tentu ajaran yang dibawa adalah paham Syafiiyyah.
Ajaran Syafiiyyah dibawa setelah syiah lebih dahulu masuk
dan berkembang. Dalam catata sejarah, mazhab Syafii
masuk ke Sumatera Timur dibawa oleh Syekh Ismail dari
Mesir dan berhasil mengubah paham Kerajaan Samudera
Pasai menjadi paham Syafiiyyah. Sejak itulah faham
Syafiiyyah menyebar ke seluruh penjuru nusantara
(Daliman, 2012: 50-51).

3. Ajaran Hanafi
Adapun Mazhab hanafi berkembang di pantai utara
pulau Jawa dibawa dari negeri Campa, sebuah kerajaan
kuno di dataran Asia Tenggara yang terletak di Vietnam
Selatan. Menurut Daliman, Kerajaan Demak menganut
ajaran Hanafi, hal ini didasarkan pada kronik yang
mengisahkan bahwa ketika Fatahillah sebagai panglima
tentara Demak menyerang Cirebon pernah member gelar
―Maulana Idil Hanafi‖ bagi seorang Muslim Cina yang
telah berjasa dalam membantu merebut Cirebon
(Daliman, 2012: 52).

D. Kedatangan dan Penjajahan Barat di Nusantara


Saat Islam tumbuh dan berkembang di Nusantara
dengan berbagai dinamikanya, datanglah penjajahan
bangsa eropa secara silih berganti. Mulai dari Spanyol,

Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 71


Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang. Tulisan ini hanya
akan membahas tentang penjajahan Belanda yang memiliki
pengaruh yang sangat kuat di Indonesia, karena menjajah
Indonesia sekitar 300 tahun.
Misi penjajahan Belanda pertama kali datang ke
nusantara adalah untuk berdagang. Kegiatan perdagangan
ini bertujuan untuk mengembangkan usaha bisnis mereka
dalam bidang rempah-rempah yang akan dijual dengan
harga tingggi di Eropa. Armada kapal Belanda pertama
kali datang pada tahun 1595, kemudian yang kedua tahun
1598 dan yang ketiga pada tahun 1599 serta yang keempat
pada tahun 1600 (Badri Yatim, 2009: 234).
Setelah banyak yang mengetahui bahwa hasil usaha
mereka cukup menguntungkan, banyak Perseroan
Amsterdam berdiri yang ingin berdagang dan berlayar ke
Indonesia. Agar teroaginsir secara baik, perseroan-
perseroan itu disahkan oleh Staten General Republik
untuk bergabung menjadi satu perseroan dengan nama
VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Tetapi
dalam piagam itu disebutkan, selain berdagang mereka
diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan politik
untuk menunjang kegiatan dagang mereka.
Penetrasi politik Belanda semakin kencang saat
mereka ingin melakukan monopoli dagang di Indonesia.
Untuk mencapai tujuannya, mereka dibantu oleh kekuatan
militer dan armada tentara yang lebih maju serta menerima
hak-hak yang bersifat kenegaraan dari pemerintah Belanda
untuk melakukan ekspaansi wilayah, mengadakan

72 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
perjanjian politik, dan sebagainya. Taufik Abdullah
mencatat bahwa pada abad ke-17 dan 18 disebut sebagai
periode ekspansi dan monopoli Belanda di Indonesia
(Taufik Abdullah, 1991: 236-237).
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata Belanda
tidak hanya menjajah untuk kepentingan ekonomi, tetapi
untuk kepentingan misionaris Kristen. Dalam sejarah
motif penjajahan mereka dikenal dengan istilah 3 G, yaitu
Gold, Glory dan Gospel. Gold yang berarti emas sebagai
simbol ekonomi, untuk menegruk kekayaan bangsa
Indonesia dengan cara pemiskinan anak negeri jajahannya;
Sedangkan Glory yang berti kejayaan sebagai symbol
penguasa, untuk melakukan pembodohan agar anak negeri
tetap buta terhadap jati dirinya yang berhak untuk
merdeka. Adapun Gospel yang berarti injil untuk
menjalankan program pemurtadan (konversi agama) untuk
masuk agama Kristen. Dengan motif terakhir ini, Belanda
sesungguhnya sedang menjalankan tugas suci (mission sacre)
sebagai doktrin agama mereka untuk menyelamatkan
domba-domba yang hilang (Musthafa Kamal Pasha da
Ahmad Adaby Darban, 2009: 72).
Terhadap realitas ini, kerajaan-kerajaan Islam
mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Kerajaan
Mataram pernah 2 kali melakukan serangan ke Batavia.
Kerajaan Banten juga merampas 2 kapal Belanda. Di
Sulawesi, kerajaan Gowa, Tallo dan Makassar juga
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Di Sumatera,
kerajaan-kerajaan Islam dengan cepat jatuh di bawah

Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 73


kekuasaan Belanda, kecuali Aceh. Usaha-usaha untuk
melawan cengkraman dan penjajahan Belanda tidak
pernah putus. Tetapi dapat dikatakan semuanya gagal.
Badri Yatim menyebut 5 alasan kegagalan mengalahkan
Belanda, yaitu: [1]. Belanda dilengkapi dengan organisasi
dan persenjataan modern, sementara kerajaan-kerajaan
Islam masih menggunakan persenjataan tradisional; [2].
Penduduk Indonesia masih tergantung kepada wibawa
seorang pemimpin, sehingga saat pemimpinnya terbunuh
atau ditangkap, praktis Belanda mendapatkan
kemenangan; [3]. Tidak ada persatuan antara kerajaan-
kerajaan Islam di nusantara; karena [4]. Belanda berhasil
menerapkan politik adu domba; [5]. Dengan politik adu
domba itu, banyak penduduk pribumi yang memerangi
rekan-rekannya (Badri Yatim, 1991: 241-242).
Untuk meningkatkan efektifitas perlawanan terhadap
penjajah, berbagai upaya dilakukan oleh semua komponen
bangsa. Salah satu komponen terpenting adalah
memasukkan ideologi agama sebagai spirit baru untuk
menentang dan melawan penjajah. Spirit baru inilah yang
menjadi salah satu komponen semangat pembaharuan.

E. Pembaharuan Islam di Indonesia


Pembaharuan Islam pertama kali terjadi tahun 1803 di
Sumatera Barat, Minagkabau. Saat itu, Haji Sumanik, Haji
Piobang dan Haji Miskin baru pulang dari Mekah setelah
selesai menunaikan ibadah haji membawa semangat ajaran
Wahhabi.

74 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Tentang bagaimana mereka terpengaruh ajaran
Wahhabi diceritakan oleh para sejarahwan bahwa jamaah
haji sebelum pulang ke Indonesia mereka bermukim dan
belajar agama di Mekkah (Mustafa Kamal Pasha dan
Ahmad Adaby Darban, 2009: 75). Menurut informasi lisan
dari jamaah haji di Lombok, saat itu memang jika
masyarakat ingin menunaikan ibadah haji harus dengan
menumpang kapal laut. Mereka menghabiskan waktu di
kapal kurang lebih selama satu bulan untuk kepergiannya.
Demikian juga untuk kepulangannya menghabiskan waktu
satu bulan. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, para
jamaah haji tidak bisa langsung pulang ke tanah air, karena
mereka harus menunggu jadwal kedatangan kapal yang
akan mengangkut kepulangannya. Saat mereka menunggu
inilah dipergunakan untuk mengikuti kajian-kajian
keagamaan yang bervariasi di Tanah Suci. Ada yang
mengajarkan ajaran Wahabi, ada juga yang mengajarkan
faham yang bermazhab Syafiiyyah.
Salah seorang tokoh ternama asal Bukittinggi yang
tinggal menjadi penduduk Mekah dan memiliki kedudukan
yang tinggi sebagai Imam mazhab Syafii di Masjid Haram
adalah Syekh Ahmad Khatib. Disamping itu, ia menyetujui
aliran tarekat Naqsabandiyah. Ia mulai belajar di Mekkah
sejak tahun 1855, saat usianya 21 tahun. Meskpipun
memiliki kedudukan yang tinggi, ia seorang yang familiar,
cerdas dan toleran, sehingga banyak murid-muridnya
berasal dari Indonesia. Karena toleran, ia memberikan
kekebasan murid-murdnya untuk membaca dan

Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 75


mempelajari kitab-kitab yang ditulis oleh para pembaharu
di dunia Islam saat itu, seperti tafsir al-Manar yang ditulis
oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dan Majalah
Urwatul Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-
Aghani dan Muhammad Abduh. Tujuannya agar setelah
mengetahui ide-ide pembaharuan tersebut para muridnya
dapat meng-counter, menentang dan menolaknya. Murid-
muridnya yang tetap menolak ide-ide pembaharuan
tersebut dan tetap memegang teguh mazhab Syafii antara
lain adalah Syekh Sulaiman ar-Rasuli, KH. Hasyim
Asy‟ari (pendiri NU) dan sebagainya. Sementara murid
yang lain di luar dugaan bukannya menolak ide-ide
pembaharaun tersebut, tetapi menerimanya bahkan
menjadi pembelanya. Mereka adalah Syekh Muhammad
Jamil Jambek, Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad,
KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan lainya
(Mustafa kamal Fasha dan Ahmad Adaby Darban, 2009:
75-76).
Dengan demikian KH. Ahamd Dahlan adalah teman
sekaligus sahabat KH. Hasyim Asy‘ari. Mereka sama-sama
menjadi murid Syekh Ahmad Khatib.
Pada Abad ke-20 gelombang pembaharuan Islam di
Indonesia semakin meluas. Secara kronologis, organisasi
pembaharuan Islam yang didirikan di Indonesia saat itu,
adalah: Pertama, Jami‟atul Khair, berdiri pada 15 Juli
1905. Organisasi ini merupakan organisasi pembaharuan
pertama di Indonesia. Pendirinya adalah Sayid Muhammad
al-Fatkhur bin Abdurrahman al-Mansyur, Sayid Idrus bin

76 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Ahmad bin Syihan dan Sayid Syehan bin Syihab Meskipun
organisasi ini mayoritas anggotanya adalah orang Arab,
tetapi terbuka untuk setiap muslim tanpa diskriminasi.
Kegiatan yang menjadi perhatian organisasi ini meliputi
dua bidang: pendirian dan pembinaan sekolah pada tingkat
dasar, dan pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk
melanjutkan studi. Pentingnya Jami‘atul Khair terletak
pada kenyataan bahwa organisasi inilah yang memulai
organisasi modern dalam masyarakat Islam, dengan
anggaran dasar, anggaran rumah tangga, daftar anggota
tercatat, rapat-rapat berkala, dan mendirikan sekolah yang
menerapkan sistem modern (kurikulum, sistem kelas, dan
perlengkapan kelas).
Kedua, Al-Irsyad, merupakan organisasi Islam yang
secara resmi menekankan perhatian pada bidang
pendidikan, terutama pada masyarakat Arab meskipun
anggotanya ada yang non-arab. Secara lebih luas sikap dan
tujuan organisasi ini adalah: menjalankan dengan sungguh-
sungguh agama Islam sebagaimana ditetapkan al-Qur‘an
dan Sunnah, memajukan hidup dan kehidupan secara
Islam dalam arti kata luas dan mendalam, dan membantu
menghidupkan semangat untuk bekerja sama diantara
berbagai golongan dalam setiap kepentingan bersama
(Pengurus Besar al-Irsyad, 1938:3-7). Al-Irsyad berjasa
dalam mendirikan banyak lembaga sekolah dari tingkat
dasar hingga sekolah guru. Ada juga sekolah takhassus
dengan spesialisasi dalam bidang agama, pendidikan atau
bahasa. Al-Irsyad juga memberikan beasiswa untuk

Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 77


beberapa lulusannya guna belajar keluar negeri, terutama
ke Mesir. Organisasi ini juga mempergunakan tabligh dan
pertemuan-pertemuan sebagai cara untuk menyebarkan
pahamnya, juga menerbitkan buku-buku dan pamflet-
pamflet.
Ketiga, Muhammadiyah, yang akan dibahas dalam
buku ini.
Keempat, Persatuan Islam (Persis). Organisasi ini
berdiri pada tahun 1920 di Bandung. Pendirinya adalah
Haji Zamzam dan Muhammad Yunus. Organisasi ini
menjadi besar dan terkenal saat dipimpin oleh Ahmad
Hassan dan Muhammad Natsir. Sebagaimana organisasi
lainnya, Persis memberikan perhatian besar pada kegiatan
pendidikan, tabligh dan publikasi. Dalam bidang
pendidikan, Persis mendirikan sebuah madrasah yang
mulanya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota
Persis, kemudian madrasah tersebut diperluas untuk
menerima anak-anak lain secara umum dan kursus agama
untuk orang-orang dewasa. Selain itu Persis juga,
mendirikan pesantren dengan tujuan membentuk kader
yang mempunyai ghirah untuk menyebarkan agama Islam.
Dibidang tabligh, organisasi ini banyak menggerakkan
syiar Islam lewat kadernya, disamping itu juga mempunyai
majalah dakwah terkenal Pembela Islam (dahulu) dan
sekarang diganti dengan Majalah Al-Muslimun. Dalam
penyebaran pemikiran baru, Persis mempunyai karakter
tersendiri, yang berbeda dengan cara Muhammadiyah yang
tenang dan damai, sedang Persis seakan-akan gembira

78 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
dengan perdebatan-perdebatan dan polemeik. Dan
perdebatan-perdebatan serta polemik itu disebarluaskan
melalui media yang mereka miliki (Zakiyuddin Baidhawi,
dkk, 2001:16-18).
Keempat nama-nama organisasi tersebut diatas
mewakili gerakan pembahruan Islam dalam bidang
pendidikan dan sosial keagamaan. Adapun contoh gerakan
pembaharuan Islam di bidang politik adalah Sarekat Islam
(SI). Nama ini kemudian berubah menjadi Partai Sarekat
Islam pada tahun 1921 dan berubah lagi menjadi Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSSI) pada tahun 1930.
Sarekat Islam didirikan di Solo pada 11 Nopember
1912. SI tumbuh dari organisasi yang mendahuluinya yang
bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi SDI
didirikan oleh KH. Samanhuddi, M. Asmodimejo, M.
Kertotaruno, M. Sumewerdoyo, dan M. Haji Abdulrajak.
SDI terkenal saat dipimpin oleh Samanhudi, sedangkan
Sarekat Islam terkenal saat dipimpin oleh H. Oemar Said
Cokroaminoto. Pada awalnya SDI lahir karena adanya
kompetisi yang meningkat dalam perdagangan batik
terutama dengan golongan Cina, dan sikap superioritas
orang Cina terhadap orang Indosesia sehubungan dengan
berhasilnya revolusi Cina pada tahun 1911. SDI juga
dimaksudkan untuk menjadi benteng bagi orang-orang
Indonesia yang umumnya terdiri dari pedagng-pedagang
batik Solo terhadap orang Cina dan para bangsawan
(Zakiyuddin Baidhawi, dkk, 2001: 19).

Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 79


SDI kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam
(SI), dan merubah haluan menjadi organisasi politik. SI
berpendapat perjuangan melawan penjajah tidak lagi
menggunakan pendekatan kooperatif, tetapi dengan
pendekatan non-kooperatif. SI berkeyakian bahwa agama
Islam membuka pemikiran tentang persamaan derajat
manusia sambil menjunjung tinggi negeri. Mereka tidak
mengakui suatu golongan berkuasa diatas golongan
lainnya. Oleh karena itu, segala bentuk penindasan oleh
kapitalisme dan kolonialisme harus dienyahkan. SI
menuntut perbaikan nasib rakyat dibidang agraria dan
pertanian dengan menghapuskan undang-undang kolonial
tentang pemilikan tanah; pajak-pajak hendaknya ditarik
secara proporsional.
Disamping itu, SI juga mempunyai perhatian dibidang
pendidikan. SI menuntut penghapusan peraturan yang
mendiskriminasikan penerimaan murid-murid disekolah-
sekolah; ia menuntut pelaksanaan wajib belajar untuk
semua penduduk, serta perbaikan lembaga-lembaga
pendidikan pada semua tingkat. Sedangkan dibidang
agama, SI menuntut penghapusan segala macam undang-
undang dan peraturan yang menghambat tersebarnya
Islam, pembayaran gaji bagi kyai dan penghulu, subsidi
lembaga-lembaga pendidikan Islam, dan pengakuan hari-
hari besar Islam. meskipun akhirnya SI tidak begitu
terdengar gaungnya dalam perjalanan sejarah, paling tidak
ia telah memberi kontribusi bagi perjuangan politik bangsa
Indonesia. Kini Partai Syarikat Islam Indonesia muncul

80 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
kembali dalam bentuk partai Islam meskipun meraih suara
yang sangat kecil dalam pemilu (Zakiyuddin Baidhawi,
dkk, 2001: 20).
Demikian sekilas latar belakang dan perkembangan
gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Gerakan-gerakan
pembahruan semacan itu perlu terus dikembangkan secara
individu maupun kolektif, karena perubahan zaman
senantiasa menuntut perubahan cara umat Islam
menjawab tantangan kehidupan.

Dakwah Islam di Nusantara dan Lahirnya Pembaharuan di Indonesia ~ 81


BAB III
SEJARAH MUHAMMADIYAH

A. Arti Muhammadiyah

D
alam catatan sejarah, nama Muhammadiyah yang
diberikan oleh KH. Ahmad Dahlan terhadap
organisasi yang didiirikannya adalah atas usul dari
seorang kerabat sekaligus teman seperjuangannya yang
bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom
Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaharuan yang
kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta. Setelah
melalui salat istikharah, KH. Ahmad Dahlan kemudian
memberikan nama Muhammadiyah bagi organisasi yang
akan dipimpinnya itu (Haedar Nashir, 2006: 1).
Secara etimologis, Muhammadiyah berasal dari bahasa
Arab dengan kata dasar "Muhammad", yaitu nama
seorang Nabi atau Rasul terakhir yang diutus oleh Allah ke
muka bumi ini. Kemudian kata tersebut mendapatkan
tambahan akhir "ya nisbah" yang artinya menjeniskan atau
mengelompokkan. Dengan demikian, Muhammadiyah
berarti kelompok, umat dan pengikut Muhammad.
Dengan demikian siapapun yang beragama Islam, yang
mengucapkan dua syahadat, maka dia adalah orang
Muhammadiyah, tanpa dilihat atau dibatasi oleh
perbedaan organisasi, golongan, bangsa, geografis, etnis
dan sebagainya.

82 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Sedangkan secara terminologis, Muhammadiyah
adalah organisasi dan gerakan Islam, dakwah amar makruf
nahi munkar, berasas Islam dan bersumber dari al-Qur‘an
dan as-Sunnah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada
tanggal 8 Dzulhijah 1330 H, bertepatan tanggal 18
November 1912 M di kota Yogyakarta.

B. Latar Belakang Lahirnya Muhammadiyah


Secara global, menurut Mustafa Kamal Pasha dan
Ahmad Adaby Darban (2009: 100-106) faktor-faktor yang
menjadi latar belakang lahirnya Muhammadiyah dapat
dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor subyektif
dan faktor obyektif.

1. Faktor subyektif
Faktor Subyektif adalah faktor yang didasarkan atas
pertimbangan pribadi KH. Ahamd Dahlan. Karena
bersifat subyektif, maka alasan ini dapat berbeda dengan
orang lain. Faktor subyektif inilah yang sangat kuat,
bahkan dikatakan sebagai faktor utama dan faktor penentu
yang mendorong berdirinya Muhammadiyah.
Menurut para analis, faktor subyektif yang paling
fundamental adalah hasil kajian mendalam KH. Ahmad
Dahlan terhadap al-Qur‘an. Sikap KH. Ahmad Dahlan
seperti ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan
firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam dalam
surat An-Nisa ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24, yaitu
melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati

Sejarah Muhammadiyah ~ 83
dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam
ayat-ayat al-Qur‘an. Sikap seperti ini pulalah yang
dilakukan KH. Ahmad Dahlan ketika mencermati surat
Ali Imran ayat 104 :
        

      


Artinya: Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung.
Dalam rangka memahami perintah ayat di atas, KH.
Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangan
sebuah perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang
teratur dan rapi untuk melaksanakan misi dakwah Islam
amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat.

2. Faktor Obyektif
Faktor obyektif adalah faktor-faktor yang
menyebabkan lahirnya Muhammadiyah menurut
kenyataan yang terjadi secara empiris pada saat itu. Ada
beberapa sebab yang bersifat obyektif yang
melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah yang dapat
dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal.
Faktor internal yaitu faktor-faktor penyebab yang muncul
di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia.
Sedangkan faktor eksternal, yaitu faktor-faktor penyebab
yang ada di luar masyarakat Islam Indonesia. Faktor
obyektif yang bersifat internal, yaitu:
84 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
a. Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak
dijadikannya al-Quran dan as-Sunnah sebagai satu-
satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam
Indonesia
Kondisi masyarakat yang masih sangat kental
dengan kebudayaan Hindu, Budha, animisme, dan
dinamisme memunculkan kepercayaan dan praktik
ibadah yang menyimpang dari Islam. Kepercayaan dan
praktik ibadah tersebut dikenal dengan istilah
Takhayyul, Bid‘ah dan Churafat (TBC). Dalam praktek
pengamalan agamanya, umat Islam masih banyak
percaya kepada benda-benda keramat, seperti keris,
tombak, batu aji, azimat, hari baik dan buruk. Mereka
sering pergi ke kuburan para wali dan ulama yang
dianggap keramat untuk meminta berkah.
Dalam ibadah, umat Islam saat itu melakukan
ritual keagamaan yang telah tercampur dengan budaya
luar. Dalam ibadah mahdlah, mereka menambah dan
mengurangi ajaran Islam yang sebenarnya. Saat ada
yang meninggal dunia, diadakan upacara hari ketiga,
ketujuh, kesembilan ke seribu dan seterusnya. Agar
keinginan manusia cepat tercapai, umat Islam mencari
wasilah (perantara) yang menghubungkan mereka
dengan Tuhan, padahal wasilah telah meninggal dunia.
b. Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum
mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban
misi selaku ‖Khalifah Allah di atas bumi‖

Sejarah Muhammadiyah ~ 85
KH. Ahmad Dahlan mengetahui bahwa
pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua yaitu
pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ajaran-
ajaran agama dan pendidikan Barat yang sekuler.
Kondisi ini menjadi jurang pemisah antara golongan
yang mendapat pendidikan agama dengan golongan
yang mendapatkan pendidikan sekuler.
Dualisme sistem pendidikan diatas membuat prihatin
KH. Ahmad Dahlan. Oleh karena itu cita-cita pendidikan
Ahmad Dahlan ialah melahirkan manusia yang
berpandangan luas dan memiliki pengetahuan umum,
sekaligus yang bersedia untuk kemajuan masyarakatnya.
Cita-cita ini dilakukan dengan mendirikan lembaga
pendidikan dengan kurikulum yang menggabungkan
antara Imtak dan Iptek.
Sedangkan faktor obyektif yang bersifat eksternal,
yaitu:
a. Pengaruh Ide dan Gerakan Pembaruan Islam di Timur
Tengah
Lahirnya Muhammadiyah tidak dapat dipungkiri
merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari
gerakan pembaharuan Islam yang dimulai dari Ibnu
Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab,
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha dan lainnya. Seperti telah dijelaskan, pengaruh
yang paling kuat berasal dari Muhammad Abduh
melalui tafsir al-Manar dan majalah Urwatul Wutsqa.

86 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Meskipun pengaruh Abduh begitu kuat pada diri
KH. Ahmad Dahlan, menurut penelitian Arbiyah
Lubis, namun KH. Ahmad Dahlan tidak mengikuti
pangangan Abduh dalam bidang teologi yang
dianutnya, yaitu Mu‘tazilah. KH. Ahmad Dahlan tetap
menganut teologi tradisional Asy‘ariyah (Mustafa
Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, 2009:106).
b. Semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di
tengah-tengah masyarakat Indonesia
Seperti bangsa-bangsa Eropa lainnya, Belanda
yang menjajah bangsa Indonesia ternyata memiliki
misi tersembunyi yaitu mengobarkan semboyan 3 G,
Gold, Glory dan Gospel. Deliar Noor berpendapat,
dahulu orang-orang Spanyol dan Portugis memang
sengaja datang ke pelosok dunia antara lain untuk
memerangi Islam dan menggantikannya dengan agama
Kristen (Deliar Noor, 1985: 25).
Untuk mensukseskan gerakan 3 G ini, Belanda
menggarap penduduk pribumi dengan dua program
besar, yaitu ―asosiasi‖ dan ―kristenisasi‖. Program
asosiasi bertujuan untuk mengembangkan budaya
Belanda dan dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat Indonesia dengan cara westernisasi
(pembaratan). Sedangkan program kristenisasi
bertujuan agar penduduk pribumi dapat menjadi
Kristen dengan cara meninggalkan agama asalnya
(Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban,
2009:104).

Sejarah Muhammadiyah ~ 87
c. Penetrasi Bangsa-bangsa Eropa, terutama Bangsa
Belanda ke Indonesia.
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa terutama
Belanda ke Indonesia dalam kenyataannya telah
berdampak sangat negative bagi Indonesia. Melalui
pedidikan yang dikembangkan oleh Barat, atas nama
intelektualitas, individualistik, elitis dan diskriminatif,
mereka sesungguhnya ingin menghilangkan norma-
norma, etika dan moral keagamaan. Akibatnya, anak
didik yang ingin dihasilkan adalah mereka yang
menganut paham rasionalisme dan individuaalisme
dalam berpikir. H.J. Benda menyatakan bahwa
pendidikan Barat yang dikembangkan di Indonesia
oleh penjajah sejatinya bertujuan untuk mengurangi
dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di
Indonesia. Sebagai indikator keberhasilnya adalah para
siswa mulai tidak peduli terhadap agama Islam, bahkan
melecehkannya. Mereka belum disebut sebagai orang
modern jika menampakkan keislamannya (Mustafa
Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, 2009:105).

C. Perjalanan Hidup KH. Ahmad Dahlan


Profil KH. Ahamd Dahlan yang ada dalam buku ini
dirujuk kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh M.
Yusron Asrafi (2005: 32-46) ketika menyelesaikan tugas
akhir di program sarjana pada Fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, kecuali bagian yang diberi
referensi lain.

88 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
KH. Ahmad Dahlan (1868-1923), adalah Pahlawan
Kemerdekaan Nasional Indonesia, pembaharu (reformer)
ajaran Islam di Indonesia, pelopor dan pendiri
Muhammadiyah di Indonesia. Ia lahir pada tahun 1868
dengan nama Muhammad Darwisy di Kampung Kauman
Yogyakarta. Ia berasal dari kalangan keluarga ulama
terpandang. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang
imam dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan
Yogyakarta dan pernah diutus ke Mekah oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono VII untuk menghajikan almarhum Sri
Sultan Hamengkubuwono VI. Ibunya bernama Siti
Aminah, puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai
penghulu besar kesultanan Yogyakarta juga.
Dalam keluarga, Muhammad Darwisy merupakan
anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang
keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya, yaitu: Nyai Ketib Harum, Nyai Muhsin (Nyai
Nur), Nyai H. Saleh, Muhammad Darwisy (KH. Ahmad
Dahlan), Nyai Abdurrahman, Nyai Muhammad Fakih dan
Basir (paling bungsu). Dalam silsilah ia termasuk
keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim,
seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara
Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari
penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa,
dengan urutan silsilah: Muhammad Darwisy (KH. Ahmad
Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad
Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang
Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru

Sejarah Muhammadiyah ~ 89
Kapisan bin Maulana Sulaiman (Ki Ageng Gribig) bin
Maulana Muhammad Fadlulllah bin Maulana ‗Ainul Yaqin
bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Berdasarkan garis keturunan ini Muhammad Darwisy
(Ahmad Dahlan) mempunyai dasar yang kokoh dan kuat
dalam hal agama Islam. Karena itu, kepribadian Moh.
Darwis tumbuh dan berkembang secara sempurna dan
kelak menghantarkannya pada gerbang ke-ulamaan serta
pantas mendapatkan predikat itu pula seperti nenek-
moyangnya.
Ketika masa kanak-kanak ia dikenal telah memiliki
kelebihan dibanding anak-anaklainnya, seperti jujur, suka
menolong dan disenangi dalam pergaulan. Disamping itu
ia juga disebut sebagai anak yang ―banyak akal‖ dan ―daya
upaya‖ dan dregil, karena ulet dan pandai memanfaatkan
sesuatu. Ia juga disebut anak wasis, karena pandai dan
memiliki otak cerdas. Dalam mengaji dia cepat menguasai
materi, suka memperhatikan kata demi kata dan rajin
mencatat. Apa yang belum dimengerti, dia akan bertanya.
Dalam pergaulan sesama temannya, dia dikenal memiliki
keterampilan dan pintar membuat barang-barang mainan
yang tidak hanya dibuat untuk dirinya sendiri, tetapi buat
teman-temannya yang lain. Ia dikenal juga seagai seorang
yang gemar menolong orang lain dan diluluti, dicintai dan
dituruti oleh temann-temannya. Dengan bakat dan
keterampilan ini membawa dirinya kelak disamping
sebagai Khatib, juga menjadi sebagai pembuat batik dan
sekaligus saudagar batik yang berdagang tidak hanya di

90 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
sekitar Pulau Jawa, seperti Jawa Timur dan Jawa Barat,
tetapi bahkan sampai ke Pulau Sumatera, seperti di Medan
Deli.
Ketika ia berumur tujuh tahun, tepatnya pada tahun
1879, ia mulai belajar dan mendapat pendidikan ala
pesantren dari ayahnya di rumahnya, seperti mengaji,
pengetahuan agama dan Bahasa Arab. Pada waktu itu
belum ada pendidikan umum untuk anak-anak Indonesia.
Satu-satunya pendidikan di Indonesia yang ada hanyalah
pesantren. Persepsi yang berkembang di Kauman saat itu
bahwa memasuki sekolah umum (gubernemen) adalah kafir
atau Kristen (Mustafa kamal Pasha dan Ahmad Adaby
Darban, 2009: 91).
Darwisy kecil adalah santri yang cerdas yang
mempunyai minat tinggi pada pelajaran-pelajarannya
sehingga ia sering menolong teman-temanya yang
tertinggal dan lemah dalam pelajarannya. Pada usia 8
tahun ia telah lancar membaca Al-Qur‘an hingga Khatam
(Mustafa kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, 2009:
91). Kemudian mulai belajar fikih kepada KH.
Muhammad Saleh; ilmu gramatikal Arab (ilmu nahwu)
kepada KH. Muchsin. Keduanya adalah kakak iparnya;
Ilmu falak kepada KRH Dahlan (putera Kiyai Termas);
Ilmu hadis kepada Kiyai Mahfudz dan Syaikh Hayyat;
Ilmu qira‘ah kepada Syaikh Amien dan Sayyid Bakri
Satock; Ilmu bisa, racun binatang, kepada Syaikh Hasan.
Beberapa gurunya yang lain adalah KH. Abdul Hamid dari
Lempuyangan, KH. Muhammad Nur, R.Ng.

Sejarah Muhammadiyah ~ 91
Sosrosugondo, R. Wedana Dwijosewoyo dan Syaikh
Muhammad Jamil Jambek dari Bukit Tinggi.
Pada tahun 1889, dalam usia 21 tahun, Darwisy
menikah dengan sepupunya, Siti Walidah, puteri Haji
Muhammad Fadhil, ketua penghulu kesultanan
Yogyakarta . Dari pernikahannya ini ia mendapat 6 anak,
yaitu Johanah (1890), Siraj Dahlan (1898), Siti Busyro
(1903), Siti Aisyah (1905), Irfan Dahlan (1905) dan Siti
Zuharoh (1908). Disamping menikah dengan Siti Walidah,
Ia juga pernah menikah dengan janda Nyai Abdullah, isteri
H. Abdullah, dan memiliki anak R. Duri. Ia juga pernah
menikah dengan Nyai Rum dan memberinya anak laki-laki
dan meninggal saat masih kecil; Ia juga pernah menikah
dengan Nyai Aisyah dan mendapatkan anak puteri
bernama Dandanah; Ia juga pernah menikah dengan Nyai
Solihah. Semua isterinya ini adalah janda dan
perkawinannya dengan mereka tidak bertahan lama. Tidak
diketahui apakah karena meninggal dunia atau bercerai,
kecuali Siti Walidah yang mendampinginya sampai wafat.
Selang beberapa bulan setelah perkawinannya dengan
Siti Walidah, pada tahun 1890 ia berangkat ke Mekah
untuk melaksanakan ibadah haji. Ia menetap di sana
selama sekitar 8 bulan. Kesempatan berada di Mekah ini ia
belajar di sana dan mendapat pengetahuan yang cukup.
Salah satu gurunya yang bermazhab Syafii adalah Sayyid
Bakri Syatha‘ yang memberi sekaligus mengganti namanya
menjadi Haji Ahmad Dahlan.

92 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Sekembalinya ia di Tanah Air pada minggu pertama
bulan Shafar 1309 H (1891), Muh. Darwisy terkenal
dengan nama Haji Ahmad Dahlan. Masyarakat Kampung
Kauman Yogyakarta dan keluarganya menyambut gembira
kepulangannya. Ia membantu ayahnya mengajar anak-anak
yang menjelang dewasa. Ia mengajar siang hari setelah
Zuhur dan malam hari setelah Magrib samapi Isya‘. Sore
hari setelah Asar, ia ikut pengajian ayahnya untuk orang-
orang tua. Jika ayahnya berhalangan, ia menggantikannya.
Lama-kelamaan ia diberi sebutan Kiyai. Akhirnya semua
muridnya, baik yang tua ataupun yang muda menyebutnya
Kiyai. Jadilah ia menjadi Kiyai Haji Ahmad Dahlan
(selanjutnya disingkat KH. Ahmad Dahlan).
Pada tahun 1892, sekitar satu tahun setelah berhaji,
KH. Ahmad Dahlan mulai berdagang dengan modal awal
500 gulden, pemberian ayahnya. Jumlah modal yang cukup
besar pada waktu itu. Namun demikian, karena minat
intelektualnya yang tinggi, modal itu sebagiannya dipakai
untuk membeli kitab-kitab untuk memperdalam ilmunya.
Saat itu, selain mengajar ia mulai menjadi pedagang.
Pada tahun 1896, ayahnya, KH. Abu Bakar meninggal
dunia. Acara pemakamannya mendapat perhatian yang
besar dari masyarakat Yogyakarta, terutama bangsawan
Kraton. Sesuai tradisi, sebagai anak lelaki yang sulung, ia
diangkat sebagai pengganti ayahnya dan mendapat gelar
Khatib Amin Haji Ahmad Dahlan. Dengan kedudukan ini
ia mendapat tugas dan menerima belanja, sawah, dan
tanah tempat tinggal bekas yang ditinggalkan ayahnya.

Sejarah Muhammadiyah ~ 93
Sebagai Khatib Amin, ia memiiliki tugas utama sebagai
khatib, yaitu: [1]. Khutbah jum‘at bergantian dengan
kawan-kawannya sebanyak 8 khatib; [2]. Piket di serambi
masjid dengan kawan-kawannya sebanyak 6 orang satu kali
seminggu.; [3]. Menjadi anggota road (Dewan) agama Islam
Hukum Kraton.
Dengan tugas ini, KH. Ahamd Dahlan memiliki
kesempatan banyak untuk menyebarkan ilmunya. Saat
piket di serambi masjid, ia memberikan pelajaran kepada
mereka yang membutuhkan. Kesempatan ini tidak
digunakan oleh piket-piket lainnya.
Pada tahun 1897, KH. Dahlan memandang perlu
untuk mengadakan musyawarah tentang arah kiblat. Hal
ini disebabkan karena ia beranggapan bahwa banyak
masjid tidak menghadap kea rah Ka‘bah. Musyawarahpun
terjadi pada tahun 1898, setelah terlebih dahulu ia
mengadakan musyawarah dengan 17 kawan-kawan ulama.
Semua peserta diminta membawa kitab yang membahas
masalah kiblat. Diskusi tentang hal tersebut berangsung
sampai azan Subuh tanpa hasil kesepakatan bersama
(Mustafa kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, 2009:
92).
Pada tahun 1899, KH. Ahamd Dahlan memperluas
dan memperindah surau peninggalan ayahnya serta
memperbaiki arah kiblatnya ke Ka‘bah. Hal ini dilakukan
karena suraunya dirasa telah cukup tua dan terlalu kecil
dan yang paling penting karena arahnya tidak tepat ke
Ka‘bah. Setelah kejadian itu, beberapa bulan kemudian

94 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
datang utusan dari Kiyai Penghulu Muhammad Khalil
Kamaludiningrat dengan membawa perintah agar surauya
dibongkar lagi, karena arahnya tidak sama dengan Masjid
Besar kota Yogyakarta yang mengahadap lurus ke barat. Ia
sangat kecewa dan hampir putus asa serta ingin
meninggalkan Yogyakarta, karena suraunya dibongkar.
Namun kakaknya, Kiyai dan Nyai Haji Saleh, berhasil
menghiburnya. Suraunya dibangun kembali di atas
reruntuhan puing surau tersebut, namu diberi garis shaf
yang menghadap kiblat (Mustafa kamal Pasha dan Ahmad
Adaby Darban, 2009: 93).
Pada tahun 1903, KH. Ahmad Dahlan mendapat
kesempatan lagi untuk naik Haji yang kedua kalinya atas
biaya Pemerintah Kesultanan. Ia membawa putranya yang
baru berumur 6 tahun, Muhammad Siraj. Ia tinggal di sana
selama 1,5 tahun. Ia manfaatkan pula momen tersebut
untuk menambah dan memperluas pengetahuannya. Pada
waktu itu telah banyak orang Indonesia yang belajar dan
bermukim di Mekah, begitu juga dengan orang-orang yang
berasal dari negeri-negeri Islam lainnya. Dalam bidang
fikih, ia belajar kepada Kiyai Makhful Termas; Ilmu Hadis
kepada Sa‘id Babusyel dan mufti Syafii; Ilmu falak kepada
Kiyai Asy‘ari Baceyan; Ilmu qira‘ah kepada Syaikh Ali
Mishri Mekah. Ia juga berguru kepada Syaikh Ahmad
KH.atib dari Minangkabau, Kiyai Nawawi dari Banten,
Kiyai Mas Abdullah dari Surabaya dan Kiyai Fakih
Maskumambang dari Gresik. Dalam rangka memperdalam
ilmunya, ia pun sering terlibat dalam diskusi-diskusi ke-

Sejarah Muhammadiyah ~ 95
Islaman dengan guru-gurunya, lebih-lebih dalam persoalan
pembaharuan pemikiran (ajaran) ke-Islaman. Dari diskusi-
diskusi dan tukar pikiran yang sering dilakukan tersebut
membawa bekas yang kuat pada pemikiran KH. Ahmad
Dahlan dan kelak sebagai bekal yang digunakan untuk
mengadakan pembaharuan ajaran Islam di Indonesia.
Setelah kembali ke Indonesia, ia mulai mendirikan
pondok untuk menampung murid-muridnya yang datang
dari jauh seperti Pekalongan, Batang, Magelang, Solo, dan
Semarang. Ada juga yang datang dari sekitar wilayah
Yogayakarta seperti Bantul, Srandakan, Brosot dan
Kulonprogo. Buku-buku yang dipelajari awalnya adalah
buku dari Ahlussunnah Wal-jama‘ah dalam bidang aqoid,
kitab mazhab Syafii dalam bidang fikih, dan Imam
Ghazzali dalam bidang tasauf.
Namun setelah kembali dari haji yang keduanya, ia
mulai membaca dan mengajarkan kitab-kitab yang berisi
pembaharuan dari luar negeri, yaitu At-Tauhid, Al-Islam wa
al-Nashraniyyah dan Tafsir Juz „Amma karangan Muhammad
Abduh, Kanz „Ummal, Dairah Al-Ma‟arif oleh Farid Wajdi,
Fi al-Bid‟ah dan Al-Tawassul wa al-Wasilah oleh Ibnu
Taimiyyah, Izhar al-haqq oleh Rahmah Allah al-Hindi,
Tafshil al-Nasyatain, Matan al-Hikam oleh ‗Atha‘ Allah, al-
Qashaid al-„Aththasiyyah oleh Abd al-Aththas dan yang
paling intens ia baca dan berpengaruh pada dirinya
sekaligus menjadi inspirasi mendirikan Muhammadiyah
adalah Majalah Urwatul Wutsqa oleh Jamaluddin al-Afghani
dan Muhammad Abduh dan tafsir Al-Manar oleh

96 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha
(Mustafa kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, 2009:
94).
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan sebagai
instrumen penting untuk meperbaharui ajaran Islam. Ia
pun kemudian berusaha agar pelajaran agama juga
diberikan di sekolah-sekolah negeri. Dan usahanya ini
tidak sia-sia, pemerintah akhirnya mengabulkan
keinginannya dan ia pun mulai mengajarkan agama kepada
anak-anak sekolah negeri, misalnya di Sekolah Guru di
Jetis, Yogyakarta. Ia juga mengajar di sekolah Pamong
Praja (O.S.V.I.A.) di Magelang dan tempat-tempat lainnya
di Jawa. Disamping mengajar agama Islam, KH. Ahmad
Dahlan juga menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Secara perlahan cita-cita ini meresap di kalangan kaum
terpelajar Indonesia yang beragama Islam. Mereka
merasakan betapa pentingnya gagasan ini, apabila ummat
Islam di Indonesia ingin mendapat kemajuan.
Pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta berdirilah
perkumpulan Budi Utomo yang didirikan oleh Dr.
Wahidin Sidirohusodo dan beberapa siswa kedokteran.
Organisasi ini adalah perkumpulan pertama di Indonesia
sebagai gerakan nasionalis dan didirikan sebagai ekspresi
dari rasa kebangsaan yang menghendaki agar Indonesia
menjadi bangsa mandiri dan lepas dari belenggu
penjajahan. Pada tahun 1909, KH. Ahmad Dahlan pun
segera memasuki perkumpulan ini dan menjadi penguru
dan mengajak kawan-kawannya yang lain untuk terlibat di

Sejarah Muhammadiyah ~ 97
dalamnya. Sebelumnya, ia bertemu dengan pengurus Budi
Utomo melalui perantara Joyosumartha, pembantu Dr.
Wahidin Sudhirohusodo, yang secara kebetulan memiliki
famili di Kauman. Setelah bertemu dan berdiskusi dengan
Joyosumartha, KH. Ahmad Dahlan menghabiskan banyak
waktunya untuk merenung dan berpikir tentang Budi
Utomo, sehingga ia jarang mengajar. Akibatnya, murid-
murid KH. Ahmad Dahlan mulai meninggalkan
pondoknya.
Pertemuan pertama KH. Ahmad Dahlan dengan
pengurus Budi Utomo terjadi pada siding pengurus di
rumah Dr. Wahidin Dudirohusodo di Ketandan,
Yogyakarta. Setelah beberapa kali menghadiri rapat
pengurus, ia menyatakan diri menjadi anggota. Ia diterima
dan bahkan disuruh langsung menjadi pengurusnya.
Karena menjadi pengurus dan dikenal memiliki
pengetahuan agama yang luas, ia diminta member
pelajaran agama Islam kepada pengurus Budi Utomo yang
lain setelah selesai rapat. Namun demikian, metode
pengajarannya berbentuk ramah tamah. Di samping itu,
dia dapat mengajar agama kepada para siswa Kweekschool
(dahulu disebut Sekolah Raja) di Jetis, Yogyakarta.
Menurut KH. Ahmad Dahlan, semangat pembaharuan
Islam harus berdampingan dengan semangat kebangsaan
untuk mencapai Indonesia merdeka. Kemudian ia juga
memasuki Sarikat Islam (SI), yang membawa semangat
nasionalisme berdasarkan cita-cita Islam. Ia terpilih
menjadi anggota pengurus dan penasehat dari SI. Selain

98 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
itu KH. Ahmad Dahlan juga memasuki organisasi
Jami‘atul Khair. Setelah itu, KH. Ahmad Dahlan
menganjurkan murid-muridnya agar memasuki
perkumpulan-perkumpulan dan partai-partai politik,
menurut kemampuan dan bakat masing-masing.
Menurut KH. Ahmad Dahlan, dalam memasuki
perkumpulan-perkumpulan itu hendaknya diambil
manfaat yang dapat disumbangkan bagi kemajuan agama
Islam. KH. Ahmad Dahlan menyadari bahwa usaha
perbaikan masyarakat tidak mudah jika dilakukan secara
sendirian. Jadi harus dilakukan secara bersama-sama
dengan banyak orang melalui organisasi. Dalam konteks
pembaharuan Islam, ia berpendapat gerakan pembaharuan
Islam dan Nasionalisme Indonesia harus bersinergi.
Nasionalisme menentang penjajahan dan Islam juga
menentang penjajahan. Penjajahan menimbulkan
kemelaratan dan kemiskinan. Kemiskinan adalah musuh
dari umat Islam. Kemiskinan dapat menimbulkan
kekufuran dan menjauhkan manusia dari ajaran agama.
Pada tahun 1912 atas desakan dari beberapa murid
dan kawan-kawannya, yang memandang sudah waktunya
untuk mendirikan perkumpulan guna melaksakan cita-cita
pembaharuan ajaran Islam, Ia kemudian mendirikan
Sekolah Rakyat yang bernama Madrasah Ibtidaiyyah
Diniyyah Islamiyyah tanpa bantuan orang lain. Pada waktu
itu, para santri masih asing dengan cara pelajaran sekolah
yang menggunakan meja, kursi panjang serta papan tulis.
Saat itu pendidikan Islam menggunakan cara belajar

Sejarah Muhammadiyah ~ 99
bersila atau sorogan. Jumlah murid untuk kali pertamanya
sebanyak 9 orang. Setelah 6 bulan, bertambah menjadi 20
orang. Pada bulan ke-7, ia mendapat bantuan guru umum,
bukan guru agama, dari Budi Utomo.
Pada tanggal 18 Nopember 1912 atau 8 Zulhijjah 1330
H, permohonan KH. Ahmad Dahlan bersama 6 orang
kawannya untuk mendirikan Muhammadiyah diterima
oleh Pemerintah Hindia Belanda. Permohonannya itu
disampaikan melalui Budi Utomo kepada Pemerintah
Hindia Belanda. Tanggal tersebut kemudian menjadi
waktu resmi berdirinya Muhammadiyah.
Secara kronologis, nama ―Muhammadiyah‖ pada
mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat KH.
Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu,
seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh
pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton
Yogyakarta. Setelah salat istikharah, KH.. Ahmad Dahlan
memutuskan nama organisasi yang dibentuknya bernama
―Muhammadiyah‖, yang berarti pengikut Nabi
Muhammad saw (Haedar Nashir, 2006).
Pada tahun 1914, KH. Ahmad Dahlan membentuk
organisasi perempuan bernama Sapatresna (siapa yang kasih
sayang). Atas bantuan H. Muhtar, Sapatresna menjadi
organisasi yang teratur dan diberi nama Aisyiyah.
Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan
bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari
pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan

100 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum
pria.
Sementara untuk pemuda, pada tahun 1918 KH.
Ahmad Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu,
sekarang dikenal dengan nama Pramuka, setelah belaiu
pulang dari tabligh di Solo melihat kepanduan Kraton.
Atas usul R.H. Hadjid, gerakan kepanduan itu diberi nama
Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda
diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana
pendek menutup lutut, berdasi, dan bertopi. Hizbul
Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam,
mirip Pramuka sekarang. Pembentukan Hizbul Wathan ini
dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda
yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa.
Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya,
sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah
kolot melainkan progresif, tidak ketinggalan zaman,
namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan
zaman.
Semakin hari Muhammadiyah semakin berkembang
dan masalah yang ditangani juga semakin kompleks. Agar
pekerjaannya berjalan efektif dan efesien dalam bidang
pendidikan, pada tahun 1920, KH. Ahmad Dahlan mulai
membentuk pengurus Muhammadiyah bagian sekolah
dengan ketua H.M. Hisyam, bagian Tablig dengan ketua
H.M. Fakhruddin dan Bagian Penolong Kesengsaraan
Oemoem (PKO) dengan ketua H.M. Syuja‘ dan bagian
Pustaka untuk menerbitkan majalah Suara Muhammadiyah

Sejarah Muhammadiyah ~ 101


dengan ketua redaksi H.M. Fakhruddin yang kemudian
diganti oleh H.A. Hanie.
Pada tahun 1921, KH. Ahmad Dahlan mendirikan
Bagian Penolong Haji dengan ketua KH. Ahmad Dahlan
sendiri. Bagian ini berhasil mengutus H.M. Syuja‘ dan M.
Wiryopertomo untuk menyertai jamaha haji dengan tugas
mengurus pemberangkatan dan keperluan jama‘ah haji
sejak berangkat sampai pulang, termasuk saat mereka
berada di Saudi. Bagian Penolong Haji ini berhasil mengu-
rus pemberangkatan jama‘ah haji yang berangkat tanggal
2 Maret 1922 yang dipimpin oleh H.M. Syuja‘ dan M.
Wiryopertomo. KH Ahmad Dahlan tidak ikut, karena ku-
rang sehat. Bagian Penolong Haji ini tidak diketahui
perkembangannya selanjutnya sampai sekarang.
Disamping itu juga ia memikirkan bagaimana sekolah-
sekolah Muhammadiyah dapat berkembang dengan baik.
Untuk mencukupi kebutuhan sekolah dan membayar gaji
guru, ia terpaksa berhutang dan menjual barang-barang
pribadi seperti perkakas rumah tangga dan pakaiannya
secara lelang. Dari hasil lelang yang berjumlah 4.000
gulden, ia hanya meminta 60 gulden saja untuk kebutuhan
pribadi.
Ketika KH. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan
Muhammadiyah, masyarakat Indonesia pada waktu itu
masih berada di bawah penjajahan Belanda. Sedangkan
umat Islam, sebagai mayoritas bangsa Indonesia masih
tengelam dalam keterbelakangan dan praktek keagamaan
yang dibumbui dengan takhayul, bid‘ah dan khurafat.

102 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Secara garis besar ada dua hal yang ingin dikerjakan oleh
Ahmad Dahlan secara simultan, yaitu pertama, melepaskan
ummat dari kungkungan takhayul, bid‘ah dan khurafat
yang membelengguh umat dari pemahaman Tauhid yang
benar; dan kedua, memajukan pendidikan umat Islam
dengan mengajarkan ilmu-ilmu Barat dalam rangka
merebut kebahagiaan keduniaan yang juga harus dikejar
umat Islam.
Saat awal mendirikan Muhammadiyah tidak sedikit
ujian dan rintangan yang dihadapinya. Baik dari keluarga
maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan,
tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ada
yang menuduh ia hendak mendirikan agama baru yang
menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya Kiyai
palsu, karena sudah meniru Barat yang Kristen dan
macam-macam tuduhan lainyan. Bahkan ada pula orang
yang hendak membunuhnya. Dalam menghadapi cobaan
dan rintangan itu KH. Ahmad Dahlan tidak pernah gentar
dan mundur. Hatinya telah teguh untuk melanjutkan cita-
cita dan perjuangannya. Ia menghadapi semuanya dengan
kesabaran dan ketabahan hati.
Pada tanggal 20 Desember 1912, KH. Ahmad Dahlan
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mendapatkan badan hukum
Muhammadiyah. Permohonan itu baru dikabulkan pada
tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81
tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk
daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak

Sejarah Muhammadiyah ~ 103


di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda
timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini.
Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun
Muhammadiyah dibatasi, tapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat
telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas
bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia
Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan
mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang
dengan nama al-Munir, di Garut dengan nama
―Ahmadiyah‖. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan
Sidik Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat
pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam
kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama‘ah
dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan
menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-
perkumpulan dan jama‘ah-jama‘ah ini mendapat
bimbingan dari Muhammadiyah, diantaranya ialah:
Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda,
Hambudi-Suci, Hayatul Qulub, Priya Utama, Dewan
Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul Aba‘, Ta‘awamu alal
Birri, Ta‘ruf Bima Kanu, wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul
Muslimin, dan Syahratul Mubtadi.
Muhammadiyah melakukan usaha nyata dengan
mendirikan rumah sekolah, kursus agama, mendirikan poli
klinik dan perumahan anak yatim piatu. Pengajaran yang

104 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


diberikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah, dengan
pengajaran modern dan jiwa pembaharuan Islam.
Kurikulumnya seperti lazimnya pada sekolah-sekolah
Barat pada waktu itu. Tetapi bagaimanapun modernnya
pendidikan Muhammadiyah, agama Islam tetap menjadi
dasar seluruh kegiatannya.
Sebagai seorang Ulama besar, maka pekerjaan Dahlan
yang utama adalah menyiarkan agama Islam dan
mengadakan pembaharuan pemahaman keagamaan.
Untuk itu ia melakukan dakwah ke berbagai tempat di
Indonesia. Usaha itu ternyata tidak sia-sia. Dari daerah-
daerah lain berdatangan ulama-ulama yang mendukung
Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Pada tanggal 7
Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda, untuk mendirikan cabang-
cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Setelah Muhammadiyah diizinkan untuk bergerak di
seluruh Indonesia, maka kegiatan KH. Ahmad Dahlan
makin bertambah. Usahanya makin terarah. Gerakannya di
bidang sosial semakin meluas. Rumah-rumah pengobatan,
rumah-rumah sakit, panti asuhan, pemeliharaan orang
miskin, sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah, satu
demi satu dibangun. Pembangunan gedung-gedung ini di
biayai dengan modal dan kekuatan sendiri. Zakat, derma
dan waqaf mulai digiatkan. Pernah suatu kali ketika KH.

Sejarah Muhammadiyah ~ 105


Ahmad Dahlan hendak mendirikan suatu sekolah di
Yogyakarta, maka ia mengumpulkan dan memanggil para
hartawan di Yogyakarta. Dahlan menerangkan cita-citanya
kepada orang-orang itu, dan sekaligus meminjam uang
untuk mendirikan sekolah. Dahlan sendiri mewaqafkan
tanahnya untuk kepentingan pembangunan rumah sekolah
itu. Setelah berdiri sekolah tersebut dengan tiga ruangan,
maka para hartawan itu tidak bersedia menerima kembali
uangnya dari KH. Ahmad Dahlan. Bahkan mereka
menambah uang sumbangannya untuk mendirikan
madrasah bagi kepentingan umat Islam. Jejak KH. Ahmad
Dahlan ini segera diikuti oleh pemimpin-pemimpin
Muhammadiyah yang lainnya, baik di Yogyakarta dan
daerah-daerah lainnya. Muhammadiyah, di bawah
kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan makin lama makin
berkembang di seluruh Indonesia. Sebagai suatu organisasi
Islam modern, Muhammadiyah terus mengembangkan
usahanya dalam bidang pendidikan dan sosial.
Sumbangan terpenting KH. Ahmad Dahlan terhadap
pemikiran Islam di Indonesia adalah keberaniannya untuk
berbeda dengan arus utama (mainstreem) paham keagamaan
pada waktu itu, dimana pemikiran Islam tradisional begitu
kuat menanamkan pengaruhnya di dalam masyarakat. Ia
memandang bahwa kemunduran dan keterbelangan
ummat Islam diakibatkan oleh ummat Islam yang tidak
lagi konsisten pada sumber ajarannya yang terdapat di
dalam al-Qur‘an dan al-Hadis. Umat Islam hanya

106 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


memahami Islam dari pendapat-pendapat ulama yang
terpolarisasi dalam kubu-kubu mazhab.
Sebagaimana diketahui, dalam paham Islam tradisional
seorang Muslim wajib bertaqlid pada Imam Mazhab dan
dalam konteks Indonesia Mazhab Syafiiyah adalah mazhab
yang paling dominan. Akan tetapi Ahmad Dahlan
menolak pandangan ini karena menurutnya untuk
memahami agama secara benar seorang muslim harus
kembali kepada al-Qur‘an dan al-Hadis, bukan kepada
mazhab. Kewajiban untuk bermazhab justru melemahkan
kemampuan akal manusia dan melahirkan sikap taqlid
buta. Fanatisme mazhab yang diekspresikan dalam sikap
taqlid buta justru melahirkan kekerasan, kebodohan,
keterbelangan dan penyimpangan (distorsi) ajaran Islam.
Al-Qur‘an dan al-Hadis telah dikalahkan oleh paham-
paham keagamaan, masyarakat lebih mengikuti perkataan
Kyai atau gurunya daripada mengambil sumber langsung
dari al-Qur‘an dan al-Hadis. Ummat Islam memeluk
agama Islam bukan lagi karena keyakinan-hidupnya,
melainkan karena kepercayaan hidupnya yang diwarisi dari
nenek-moyangnya. Dan Islam yang diwarisi tersebut,
menurut Dahlan, telah bercampur dengan ajaran-ajaran
animisme, Hinduisme, Budhisme dan sebagainya. Mereka
mewarisi Islam sebagai suatu dogma yang mati, dan
mereka kerjakan amalan-amalan apapun yang diwarisi dari
nenek moyangnya, meskipun hal itu tidak memiliki
sumber yang otentik.

Sejarah Muhammadiyah ~ 107


Atas dasar pertimbangan ini, tergeraklah hatinya untuk
mengajak umat kembali kepada kemurnian (purifikasi)
ajaran agama Islam, dengan meruntuhkan hegemoni
mazhab dan menghidupkan kembali supremasi wahyu (al-
Qur‘an dan al-Hadis). Diajaknya umat Islam untuk
kembali menegakkan Tauhid. Tauhid menuntut
pemurnian atau purifikasi keyakinan setiap orang dengan
jalan menjauhkan diri dari setiap gejalah Takhayul, Bid‟ah
dan Churafat (dikalangan warga Muhamadiyah populer
dengan istilah TBC), karena setiap gejalah TBC berarti
menjatuhkan martabat manusia ke lembah yang paling
nista. Tauhid adalah masalah yang paling kunci dan
fundamental dalam ajaran Islam. Tauhid yang jernih dan
benar akan melahirkan kehidupan yang bersih, seimbang
dan adil serta sejahtera. Sebaliknya bila tauhid itu terkena
polusi syirik, kehidupan umat Islam akan mengalami
degradasi dan degenerasi dalam segala bidang. KH.
Ahmad Dahlan pernah berwasiat: ―ad-da‟u musyarakatullahi
fi jabarutihi, wad-dawa‟u tauhidullahi haqqan” (penyakit sejati
adalah menyekutukan Tuhan dalam kekuasaan-Nya,
sedangkan obat sejati adalah meng-Esakan Allah dengan
sesungguh-sungguhnya).
Pada bulan Oktober 1922 KH. Ahmad Dahlan
memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al
Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat
Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi
persatuan umat Islam. Dalam kongres itu Muhammadiyah
bersama Al Irsad bertentangan dengan kaum ortodok

108 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


(kuno) dari Surabaya dan Kudus. Al Irsyad adalah
perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di
bawah pimpinan Syeikh Ahmad Surkati. Saat itu,
Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang
telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap
membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang
telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga dituduh
hendak mengadakan tafsir Qur‘an baru, yang menurut
kaum ortodok-tradisional merupakan perbuatan terlarang.
KH. Ahmad Dahlan menjawab dengan perkataan:
―Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam
dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang
menjunjung tinggi tafsir para ulama daripada Qur‟an dan Hadits.
Umat Islam harus kembali kepada Qur‟an dan Hadits. Harus
mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui
kitab-kitab tafsir”. Dengan jawaban KH. Ahmad Dahlan ini
kaum ortodok-tradisional tidak berkutik.
Perjuangan KH. Ahmad Dahlan dan pengikutnya
telah mencapai sukses dalam Kongres Al Islam I ini.
Kerjasama dengan organisasi Islam yang progresif dan
maju seperti Al Irsyad, terus dibina dan dikembangkan.
KH. Ahmad Dahlan tidak mengenal lelah dalam usaha
perjuangan ini. Ia giat mengadakan dakwah ke daerah-
daerah di Jawa. Di daerah Jawa juga telah mulai berdiri
cabang Muhammadiyah, misalnya di Sumatera Barat,
Medan dan Ujung Pandang.
Karena usianya yang telah tua, maka KH. Ahmad
Dahlan tidak dapat mengunjungi daerah-daerah luar Jawa

Sejarah Muhammadiyah ~ 109


untuk mengadakan dakwah. Tetapi daerah-daerah di Jawa
hampir seluruhnya dikunjunginya, misalnya: Surabaya,
Bandung, Bogor, Semarang Jakarta dan lain-lainya.
Bahkan daerah ujung Pulau Jawa seperti Banyuwangi
dikunjungi pula oleh KH. Ahmad Dahlan.
Pada waktu rapat umum di Banyuwangi, KH. Ahmad
Dahlan mengadakan tanya jawab. Banyak pertanyaan yang
diajukan, semuanya dijawab langsung olehnya. Tetapi
pertanyaan yang menyeleweng dan tidak ada hubungannya
dengan Muhammadiyah tidak dilayani. Orang-orang yang
anti kepadanya menamakan dirinya sebagai Kiyai palsu.
Dahlan tidak marah menerima ejekan itu. Beliau
menerimanya dengan hati lapang, sebab ia meyakini
perjuangan untuk kebenaran itu memang memerlukan
pengorban, baik pengorban materi maupun pengorbanan
perasaan (bathin) berupa ejekan dan sebagainya. Nabi
Muhammad sendiri juga pernah diejek waktu mengadakan
dakwah agama Islam. KH. Ahmad Dahlan sebagai ulama
besar berusaha mencontoh teladan yang diberikan oleh
Nabi muhammad Saw. Maka setelah Dahlan pulang dari
Banyuwangi ia mendapat surat kaleng yang berisi ancaman
kepadanya untuk tidak lagi datang ke Banyuwangi, jika
datang ia akan disambut dengan kelewang dan istrinya
diancam akan dijadikan budak. KH. Ahmad Dahlan tidak
takut dengan ancaman itu dan tak lama setelah itu ia pun
datang lagi ke Banyuwangi bersama isterinya, meskipun
sebelumnya telah diminta oleh sanak saudara dan
kawannya untuk mengurungkan saja. Dalam

110 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


kunjungannya ini, ia berdakwah lagi dalam rapat umum,
tanpa terjadi hal yang sebelumnya diancam, bahkan
akhirnya berdirilah cabang Muhammadiyah di
Banyuwangi.
Menurut KH. Ahmad Dahlan, agama Islam di
Indonesia harus mengikuti kemajuan zaman. Kalau agama
Islam tidak mengikuti kemajuan zaman, maka orang akan
meninggalkan agama Islam, karena dianggap kolot.
Kemajuan yang diikuti itu adalah kemajuan yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Islam adalah agama
kemajuan (progresif-dinamis). Islam membuka pintu
ijtihad yang selebar-lebarnya asal tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan di dalam al-
Qur‘an dan al-Hadis.
Demikianlah, karena seluruh energi dan tenaganya
digunakan untuk perjuangan Islam, melalui
Muhammadiyah, maka lambat-laun kesehatan KH.
Ahmad Dahlan menurun. Pada tahun 1920 usianya telah
mencapai 55 tahun, kesehatan KH. Ahmad Dahlan
semakin menurun. Pada waktu ia sakit keras, dokter
menasehatinya agar beristirahat di Pasuruan, daerah sekitar
lereng Gunung Bromo. Tetapi KH. Ahmad Dahlan
bukannya beristirahat, sebaliknya terus melakukan
dakwah. Akibatnya, kesehatannya semakin memburuk.
Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran pada isteri dan
murid-muridnya. Mereka menganjurkan supaya beliau
istirahat dulu, menungguh sembuh betul. KH. Ahmad
Dahlan tidak memperdulikan semua nasehat itu. Dia terus

Sejarah Muhammadiyah ~ 111


melakukan dakwah, dan tidak bersedia untuk istirahat.
Menurut firasat, umurnya mungkin tidak akan lama lagi.
Maka ia mesti bekerja keras dalam rangka meletakkan batu
pertama dari amal yang besar ini. Ia takut kalau sekiranya
terlambat, maka tidak akan ada orang yang sanggup
meletakkan dasar ini. Jika dasarnya telah diletakkanya
secara baik, maka generasi setelahnya hanya
menyempurnakan saja.
Karena kesehatannya semakin memburuk dan
dirasakan ajalnya sudah dekat, KH. Ahmad Dahlan
menyerahkan tongkat kepemimpinan Muhammadiyah
pada sahabat dekat yang dipercaya dan sekaligus iparnya,
KH. Ibrahim. Maka pada tanggal 23 Pebruari 1923, KH.
Ahmad Dahlan berpulang ke Rahmatullah di tempat
kediamannya Kampung Kauman Yogyakarta. Jenazah
beliau di kebumikan di makam Karang Kajen, Kemantren
Mergangsan, Yogyakarta. Tempat itu terletak di sebelah
tenggara kota Yogyakarta.
Pemakaman KH. Ahmad Dahlan mendapat
penghormatan yang besar sekali dari masyarakat
Yogyakarta. Pada hari wafatnya, sekolah-sekolah baik
negeri maupun swasta ditutup untuk menghormati
kepergiannya. Sepanjang jalan yang dilalui jenazahnya
masyarakat berduyun-duyun memberikan penghormatan
yang terakhir kepada pemimpin mereka. Pemimpin-
pemimpin pergerakan Nasional lainnya juga tidak
ketinggalan datang memberikan penghormatan terakhir,
termasuk di antaranya Ki Hajar Dewantara. Dan pihak

112 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


pemerintah Hindia Belanda juga datang memberikan
penghormatan terakhir kepada pemimpin besar bangsa
Indonesia Itu. Begitupun dari Kraton Yogyakarta datang
utusan untuk memberikan penghormatan dan rasa ikut
bela sungkawa kepada KH. Ahmad Dahlan. Demikianlah
seorang pembaharu (reformer), ulama besar dan
pemimpin ummat telah mengakhiri tugas mulianya dan
menitipkan Muhammadiyah kepada kita semua,
sebagaimana yang di wasiatkannya pada kita, “Kutitipkan
Muhammadiyah kepadamu semua”.

D. Pokok-pokok Pemikiran KH. Ahmad Dahlan


Pokok-pokok pemikiran yang tertuang dalam buku ini
dirujuk dan dikutip langsung dari tulisan M. Yusron Asrafi
(2005: 47-126), kecuali bagian-bagian yang diberikan
referensi lain. Dalam bukunya tersebut, Yusron Asrafi
memotret pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam tiga
aspek, yaitu aspek keagamaan, kemasyarakatan dan
kenegaraan.

1. Pemikiran dalam Bidang Keagamaan


Sumber Hukum
Dalam laporan tahunannya, Muhammadiyah yang
dipimpin KH. Ahmad Dahlan menyatakan memakai
hukum Islam yang berdasar al-Qur‘an, hadis, Ijmak dan
Qiyas. Walaupun demikian KH. Ahmad Dahlan lebih
banyak menekankan pada pemakaian al-Quran sebagai
dasar pokok, sumber yang pertama.

Sejarah Muhammadiyah ~ 113


Sebagai acuan utama, KH Ahmad Dahlan gemar sekali
mengupas Al-Qur‘an dalam aspek tafsirnya. Dalam
mempelajari al-Quran dia menggunakan cara sebagai
berikut: Bagaimana artinya? Bagaimana
tafsir/keterangannya? Bagaiamana maksudnya? Apakah ini
larangan? Apakah sudah meninggalkan larangan? Apakah
ini perintah yang wajib dikerjakan? Apakah sudah
mengerjakan? Bila belum dapat menjalankan, tidak perlu
membaca ayat-ayat lainnya. Dia gemar sekali menelaah
ayat-ayat al-Quran dan pandai tentang hal itu. Pertama kali
dia mengkaji tiap-tiap perkataan dalam ayat satu demi satu.
Dilihatnya kekuatan atau ruh yang terkandung dalam
perkataan itu di dalam ayat-ayat yang lain, kemudian
dikomparasikan dan dikorelasikannya. Dia mengerjakan
hal itu dengan sabar.
Disamping dua sumber pokok, al-Quran dan al-Hadis
sebagai sebagai sumber hukum, dia juga menggunakan
kitab-kitab dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam bidang
akidah dan dari Imam Syafii dalam ilmu fiqh. Mekipun
demikian, dalam praktiknya jika muncul suatu masalah,
maka ia akan mencari sumbernya dari al-Qur‘an dan hadis
ditambah dengan hasil kajian dari kitab-kitab yang telah
dibaca. Selanjutnya diambillah hukum yang paling sesuai
dengan al-Quran dan al-Hadis. Dengan metode
pengambilan hukum atau pemberian tafsir seperti itu, ada
tuduhan bahwa dia dan Muhammadiyah mengajarkan
ajaran yang keluar dari mazhab. Perlu diketahui bahwa
sampai dengan tahun 1922, Muhammadiyah belum pernah

114 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


mempersolakan tentang mahzhab, baik dalam sidang
pengurus maupun sidang anggota.
Memang, dengan kembali kepada al-Quran dan al-
Hadis berarti dia, dalam batas tertentu, melakukan ijtihad.
Dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
mendapatkan faham atau maksud yang sesungguhnya dari
ajaran-ajaran al-Quran dan Hadis. Dengan demikian dia
ikut juga membuka pintu ijtihad yang menurut sejumlah
besar ulama telah tertutup.

Bidang teologi
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam bidang teologis
tidak mendapat perhatian yang besar. Menurut KH. Mas
Mansur, dalam masalah ini dia kembali pada pendapatan
ulama salaf dan dia tidak suka berpikir yang mendalam
tentang hal itu. Menurutnya, masalah ketuhanan
menimbulkan perbedaan pendapat dan tidak berakibat
praktis untuk beramal. Itulah makanya dia mengartikan
orang beragama sebagai orang yang melahirkan amal.
Orang beragama harus menyerahkan harta dan dirinya
kepada Allah sebagai bukti keimanannya. Jadi iman harus
disertai dengan amal dan semuanya hanya tertuju pada
Allah.

Persatuan Ulama
KH. Dahlan menyatakan: ―kebanyakan diantara para
manusia berwatak angkuh, dan takabbur, mereka
mengambil keputusan sendiri-sendiri‖ (KRH. Hadjid,
2008: 13).

Sejarah Muhammadiyah ~ 115


KH. Ahmad Dahlan mempunyai kemauan yang besar
untuk mencari kebenaran. Dia heran mengapa pemimpin-
pemimpin agama dan yang tidak beragama hanya sampai
pada taraf anggapan. Mereka mengambil keputusan
sendiri-sendiri, tidak mau mengadakan pertemuan diantara
mereka, tidak mau bertukar pikiran, berbincang dengan
istrinya, muridnya atau teman-teman guru, maka tentu saja
akan dibenarkan. Melihat hal yang demikian, dia mengajak
mengadakan musyawarah dengan Golongan lain untuk
membicarakan manakah sesungguhnya yang benar dan
manakah yang salah.
Menurut KH. Ahmad Dahlan, manusia perlu bersatu
dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal
pikiranya untuk memikirkan bagaimana manusia hidup di
dunia? Mencari apa? Apa yang dituju? Untuk itu Manusia
perlu mengoreksi kepercayaan, tujuan hidup dan tingkah
lakunya untuk mencari kebenaran sejati.
Dia melihat bahwa persatuan ulama belum terwujud.
Hal ini terjadi karena para mubaligh belum bersatu,
mereka tidak mau menerima pengetahuan yang
diperlukan. Akibatnya, pengetahuan mereka pincang yang
melahirkan pendapat yang dangkal. Dia merasa para
mubaligh, termasuk dia, bergerak dengan meraba-raba
dalam kegelapan. Hal ini memudahkan pertentangan dan
membawa pada kerusakan. Para Mubaligh masih banyak
bicara. Mereka mencari ilmu dan mengajarkannya, tetapi
tidak diamalkan. Mereka belum merasa prihatin terhadap
amal, masih mementingkan perkataan, biar terlihat baik

116 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


pemikirannya, padahal perbuatan sendiri masih rusak dan
merusakkan, masih menuruti hawa nafsu. Dalam perkara
penting mereka malas dan kikir dalam berkorban harta,
benda dan pikiran. Dalam kesenangan mereka tidak seperi
itu. Para mubaligh belum bekerja untuk kebaikan umum,
masih mementingkan keuntungan golongan, bahkan
banyak yang masih mementingkan diri sendiri, walaupun
golongan itu dalam keadaan celaka. Hal yang demikian
banyak yang sudah diketahui umum, ini mengakibatkan
hancur/bubarnya orang yang diberi pelajaran agama
Islam. Orang-orang itu kembali seperti sebelum pernah
diberi pelajaran agama, bahkan mereka antipati dan tidak
mau menerima agama lagi. Ini membuat rusak.
Dia memperhatikan pemimpin-pemimpin rakyat
kebanyakan belum berani mengorbankan harta benda dan
jiwanya untuk berusaha mempersatukan manusia dalam
kebenaran. Kebiasaan pemimpin hanya mempermainkan
dan memperalat manusia yang bodoh dan lemah.
Dalam masalah persatuan ulama untuk mencari
kebenaran dan kebaikan Islam, dia mengadakan
musyawarah tentang kiblat. Pemimpin-pemimpin Gerakan
Islam dan Muhammadiyah bekerjasama mengadakan
Kongres Islam di Garut dan kemudian di Cirebon. Atas
dasar itulah ia mengadakan Perkumpulan Ulama
Muhammadiyah yang bernama‖Musyawaratul Ulama‖.
Pada mulanya perkumpulan itu hanya menjadi tempat
pertemuan ulama Muhammadiyah untuk membicarakan
hukum-hukum Islam. Tetapi setelah lama berubah

Sejarah Muhammadiyah ~ 117


menjadi media berkumpulnya para ulama di seluruh jawa
untuk membicarakan bagaimana usaha-usaha agar Islam di
Indonesia menjadi kuat.

Pemurnian Agama
KH. Ahmad Dahlan menyatakan: ―Manusia itu kalau
mengerjakan pekerjaan apapun, sekali, dua kali, berulang-
ulang, maka kemudian jadi biasa. Kalau sudah menjadi
kesenangan yang dicintai, maka kebiasan yang dicintai itu
sukar untuk dirubah. sudah menjadi tabiat, bahwa
kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah
diterima, baik itu dari sudut keyakinan atau i‘tiqad,
perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada
yang akan merubah, mereka akan sanggup membela
dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian itu karena
anggapanya bahwa apa yang dimilikinya benar‖ (KRH.
Hadjid, 2008: 17).
KH. Ahmad Dahlan menyadari bahwa sudah menjadi
watak manusia apabila sesuatu sudah diyakini atau dijalani
baik dari ajaran gurunya, pendapat teman-temannya
ataupun hasil pemikiran sendiri, menjadi sebuah keyakinan
yang mantap dan pasti benar, karena sudah menjadi
kebiasaan yang dilakukan secara umum. Apalagi keyakinan
atau perbuatan itu sudah turun menurun. Tidak ada beban
dalam perasaan, karena sudah menjadi naluri. Inilah yang
oleh kebanyakan manusia dianggap menimbulkan
keberuntungan dan kesenangan. Muncul asumsi bahwa
siapa yang berbeda, pasti akan mendapat celaka dan
kesusahan.

118 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Menurut KH. Ahmad Dahlan, standar untuk
menentukan apakah kebiasaan itu baik atau buruk adalah
aturan yang sah. Aturan yang dimaksud adalah Al-Qur‘an
dan al-Hadis.
Orang Indonesia, yang mayoritas beragama Islam,
tidak luput dari dari keyakinan dan praktek-praktek yang
telah menjadi tradisi itu. Hal ini dimaklumi. Indonesia
masih dalam proses pengIslaman, pendalaman dan
penghayatan agama Islam. Meskipun demikian, hal-hal itu
tidak boleh dibiarkan terus. Harus dibedakan mana ajaran
agama, mana yang bukan dan mana yang tradisi atau adat.
Percampuran baik dalam bidang keprcayaan dan praktek
keagamaan (ibadah) adalah lumrah, bila dalam tahap
proses.
Pengaruh atau percampuran antara kepercayaan dan
praktek-praktek keagamaan bukan Islam yang masuk ke
dalam Islam apabila dianggap sebagai keyakinan dan
menjadi kemantapan sebagaio aqidah dan syariat menjadi
apa yang disebut bid‘ah dan khurafat. Begitu pula
memberikan tambahan dalam ibadah yang tidak diajarkan
atau dicontohkan pada masa Nabi dianggap bid‘ah.
Beberapa bid‘ah dan khurafat yang dberantas oleh KH.
Ahmad Dahlan, yaitu:
1. Upacara selamatan pada waktu ibu mengandung
tujuh bulan.
2. Upacra selamatan pada waktu kelahiran (puputan).

Sejarah Muhammadiyah ~ 119


3. Upacara selamatan kematian, baik selamatan hari ke-
3, ke-7, ke-40, ke-100, satu tahun, dua tahun dan hari
ke-1000.
4. Permintaan keselamatan dan kesuksesan pada
kuburan-kuburan para wali atau orang yang dianggap
suci.
5. Ziarah kubur yang ditentukan setiap bulan Sya‘ban
atua disebut bulan Ruwah yang berarti roh.
6. Bacaan-bacaan tahlil untuk dikirim kepada orang
yang meninggal
7. Selawatan (membaca Sholawat dengan memakai
terbang)
8. Takhayul Lailatul Qadar yang dijalankan dengan
mengelilingi beteng Kraton dan pohon beringin
Yogyakarta
9. Kepercayaan pada jimat-jimat.
Pemikiran dalam bidang agama yang menekankan
pemurnian agama dari pengaruh-pengaruh luar yang tidak
sesuai dan meluruskan agama sebagaimana yang
dikehendaki Al-Qur‘an dan as-Sunnah, nampaknya
merupakan pengaruh dari pemikir-pemikir Islam dari
negara Arab yang ia baca melalui buku yang ditulis oleh
Muhammad Abduh dan Ibnu Taimiyah dan lainya.
Untuk menjadi orang Islam, menurut dia, orang harus
membuang semua kebiasaan-kebiasaan, membersihkan
diri dari amal, kehendak, keinginan, kepercayaan, pendapat
dan semua apa saja yang ada di hati, di rumah tangga dan
di masyarakat, kemudian baru masuk dalam ajaran Islam.

120 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Dia mendasarkan pemikiran ini pada surat Al-Jaatsiyah
ayat 23, yaitu :
    
Artinya: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai Tuhannya.
Dia melihat banyak orang yang sesat. Mereka
mengerjakan sesuatu tanpa ada landasannya. Dia berusaha
memberantas hal-hal tersebut, dan mengembalikan kepada
ajaran al-Qur‘an dan Hadis. Rintangan dan halangan dari
keluarga dan ulama kauman sering dialami. Menanggapi
hal-hal semacam itu KH. Ahmad Dahlan memberikan
analisis sebab manusia tidak mau menerima kebenaran
sehingga mereka sesat. Dia berpendapat sebab-sebabnya
adalah:
1. Bodoh. Inilah yang paling banyak. Mereka belum
mengetahui atau mengerti ajaran yang benar.
2. Belum datang ajaran Islam kepada mereka
3. Berbeda pandangan dengan orang yang membawa
kebenaran, apalagi orang itu musuh.
4. Mereka telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan lama
yang dicintai. Kebanyakan manusia sudah
mempunyai kepercayaam lebih adahulu, kemudian
mencari dalil-dalil yang memperkuat atau cocok
dengan apa yang menjadi kepercayaannya. Jarang
sekali orang mencari ilmu/dalil-dalil yang benar
untuk dipegang dan dikerjakan.
5. Mereka takut berpisah dengan keluarganya. Kawan-
kawannya, takut kehilangan apa yang menjadi

Sejarah Muhammadiyah ~ 121


kesenangannya (harta, benda, kedudukan) dan
karena takut menderita kesusahan dan dirasa berat.
6. Tidak berani menjalankan barang (sesuatu) yang
benar karena takut sakit dan mati.
Dalam pemurnian agama, tampaknya KH Ahmad
Dahlan mempertanyakan dan mempertentangkan antara
pesan doktrin dan kenyataan yang ada. Apakah kenyataan
sudah sesuai dengan doktrin? Apakah adat kebiasaan dan
kepercayaan yang ada sesuai dengan Al-Qur‘an dan Hadis?
Dia melihat kepada doktrin, kepada Al-Qur‘an dan Hadis
juga melihat kenyataan yang ada. Tampaklah ada yang
tidak sesuai antara doktrin dan kenyataan. Dia bergerak
meluruskan ajaran Islam dengan salah satu caranya yakni
memberantas bid‘ah dan khurafat.
Gerakan pemurnian agama dengan jalan
pemberantasan bid‘ah dan khurafat merupakan gerakan
yang datangnya seperti tiba-tiba dan mengagetkan. Apalagi
bagi orang-orang biasa yang pengetahuannya sangat
dangkal. Orang biasa merasa bahwa kewajiban asasi
mereka adalah menyokong dan mempertahankan tradisi,
bukan membuat sesuatu lebih baik. Gerakan pemurnian,
apalagi dengan jalan pemberantasan, akan menimbulkan
reaksi pro dan kontra. Yang jelas, pembaharuan
merupakan pemisahan (disintegrasi) dengan tradisi yang
ada dan ini mengakibatkan juga terjadinya pemisahan
dalam masyarakat. Karena itu wajarlah kalau terjadi
rintangan dan halangan. Untungnya, hal ini disadari oleh

122 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


KH. Ahmad Dahlan seperti terlihat dalam analisisnya di
atas.
Bagi orang yang mempertahankan tradisi, dengan
pemurnian yang sudah dilakukan oleh KH. Ahmad
Dahlan akan khawatir terjadi gejolak dalam masyarakat,
juga dapat membingungkan orang awam. Tetapi bagi KH.
Ahmad Dahlan gerakan pemurnian iru harus segera
dimulai, tidak boleh ditunda-tunda. Percampuran baik
dalam bidang kepercayaan maupun dalam bidang praktik
keagamaan (ibadah) tidak boleh dibiarkan. Harus
dibedakan mana ajaran agama, mana yang bukan dan
mana yang tradisi atau adat. Bid‘ah dan khurafat itu ada
yang berhasil diberantas dan hilang, tetapi ada juga yang
masih bertahan. Dengan gerakan pemurnian agama ini
setidak-tidaknya timbul kesadaran baru tentang mana yang
murni ajaran Islam dan mana yang bukan.

2. Bidang Kemasyarakatan
Dorongan Mati Sebagai Pendorong Amal
KH. Dahlan menyatakan: ―kita manusia ini hidup di
dunia hanya sekali, untuk bertaruh: sesudah mati, akan
mendapatkan kebahagiaankah atau kesengsaraankah
(KRH. Hadjid, 2008: 7).
Di atas sebuah papan tulis, dekat dengan meja
kerjanya, KH. Ahmad Dahlan menulis dalam bahasa Arab
(KRH. Hadjid, 2008: 10):

Sejarah Muhammadiyah ~ 123


َ َ ْ‫حال م ََل َحل ا َ َْ َ ااإ‬ ‫احْ نََُ إ ِ َّ ْ َنْاَ ناََْ مَ ن ََا إام ََْنا إإلا ناَإع َن ااا نمَ َ إ‬ َ ‫يَا‬
‫ْا ااحِ ََّْ ْلااح حن َ َ يَ ا َحْ نََُ إ ِ ق ااَ نع‬ َ ‫احي َ ِ َ ا َ َّ ْل ااح ح ه‬ َ ‫لا نام إل َه ا‬
‫ال ََْن َا ا ن إ ََْن َس ااح إ‬ ‫اَ يَ َ ي اان َ َن َا ا ناَ إ‬ َ ‫نَا نم َس ا َ َلا ا َ َْ َْ نَا ا َ َن ََْا ا ن‬
َ ‫احع َْفَا ا ايَْل نْ ـنْ َااحياإن ن ناْ ا ا ا َ َْا ااح َا ا ا ن‬
َ ‫اَ يَ َ ي ا اان َ ََْْ ن َنها ا ا‬ ‫ََْنجلَهْ ا ااإ ََْ هْا ا إ‬
‫َلحس َََوإ‬
Artinya: Hai Dahlan, Sungguh bahaya yang menyusahkan itu lebih
besar dan perkara-perkara yang mengejutkan ada di hadapanmu,
dan pasti kau akan menemui kenyataan yang demikian itu, entah
dengan selamat ataupun dengan kebinasaan. Hai Dahlan,
bayangkanlah hanya dirimu sendiri berhadapan dengan Allah,
sementara di depanmu ada maut yang menanti, ditampakkan segala
urusan, penghitungan atas segala amal, juga ada surga dan ada
neraka. Dan renungkanlah apa-apa yang mendekatimu dari sesuatu
yang ada di hadapanmu, yaitu maut, dan tinggalkanlah dari dirimu
selain itu.
Dengan pernyataan dia atas, KH. Ahmad Dahlan
menyatakan bahwa mati adalah bahaya yang besar, tetapi
lupa kepada mati adalah bahaya yang lebih besar lagi. Oleh
karena itu manusia harus bersiap-siap menghadapi
kematian dengan menyelesaikan urusan-urusannya dengan
Allah dan dengan sesama manusia.
Pemikirannya tentang dorongan mati nampaknya
mendapat tempat yang istimewa. Dia memberi penafsiran
yang positif terhadap dorongan mati, dalam arti: agar
selamat dari siksa neraka, manusia harus berbuat sesuatu,
yaitu harus beramal. Dorongan mati yang ada padanya
menjadi dorongan bagi terciptanya karya amal.

124 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Sebagai contoh lontaran pemikirannya menunjukkan
akan pentingnya amal sebagai bekal setelah mati, dia
berkata:
Djanganlah kamu berteriak2 sanggup membela agama meskipun
harus menjumbangkan djiwamu sekalipun. Djiwamu tak usah
kamu tawarkan, kalua tuhan menghendakinja, entah dengan djalan
sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri. Tapi beranikah kamu
menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah jang
lebih diperlukan pada waktu sekarang ini.
Salah satu surat yang mendapat porsi besar perhatain
KH. Ahmad Dahlan adalah ayat-ayat dalam surat al-
Ma‘un. Ia menggugah kesadaran manusia untuk berbuat
amal kebajikan dengan mengorbankan harta benda. Ada
suatu anekdot dalam suatu kuliah subuh. Berulang kali
Kyai mengajarkan tafsir al-Ma‘un, sehingga beberapa hari
tidak tambahan. H. Syuja‘ bertanya: kenapa Kyai tidak
memberi tambahan pelajaran? Kyai menjawab: apakah
sudah dimengerti betul-betul? H. Syuja‘ mengatakan
bahwa dia dan kawan-kawan sudah hafal semua. Lalu Kyai
bertanya, apakah sudah diamalkan? Apa yang diamalkan?
Bukankah kami sudah membaca surat al-Ma‘un
berulangkali dan sudah shalat? Begitulah jawab H. Syuja‘.
Kyai menjawab, bukan itu yang dimaksud. Diamalkan
berarti dipraktekkan, dikerjakan. Oleh karena itu mulai
pagi ini mulailah berkeliling mencari orang miskin. Kalau
sudah mendapat, bawalah pulang ke rumah maisng-
masing. Berilah merka sabun yang baik untuk mansi,
berilah pakaian yang bersih, berilah makanan, minuman
dan tempat tinggal untuk tidur di rumah kamu sekalian.

Sejarah Muhammadiyah ~ 125


Sekarang juga pengajian saya tutup dan saudara melakukan
petunjuk-petunjuk saya tadi.
Selain al-Ma‘un, surat At-taubah ayat 34 dan 35 juga
menggoncangkan hati KH. Ahmad Dahlan dan
menimbulkan semangat yang berkobar-kobar untuk
mengorbankan harta benda. Para ulama banyak yang
berpendapat bahwa ayat-ayat itu hanya mengancam orang-
orang yang tidak mau mengerjakan zakat. Jadi jika sudah
berzakat tidak diancam siksa yang pedih. Dia berpendapat
bahwa ayat-ayat itu tidak hanya mengancam orang yang
tidak mengerjakan zakat saja, tetapi juga bagi orang yang
menyimpan harta benda untuk kepentingan diri sendiri,
tidak mendermakan di jalan Allah. Mereka diancam juga
dengan siska yang pedih.
Ajarannya dalam soal harta benda adalah, carilah
sekuat tenaga harta yang halal, jangan malas. Setelah
mendapat, pakailah untuk kepentingan dirimu sendiri dan
anak istrimu secukupnya, jangan terlalu mewah.
Kelebihannya didermakan di jalan Allah.
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan menunjukkan
ketakutan pada kematian dan adanya pembalasan berupa
siksa atau hukuman. Karena itu, supaya selamat dari siksa
neraka manusia harus berbuat sesuatu, harus beramal yang
baik. KH. Ahmad Dahlan tampak banyak mengerjakan
perintah yang mempunyai akibat sosial. Apa yang
dikerjakannya bermanfaat bagi kepentingan masyarakat
dan amal sosial. Dia banyak berfikir dan mengerjakan
tentang pengorbanan harta dan pemeliharaan anak-anak

126 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


yatim dan juga penampungan orang-orang miskin. Inilah
yang memberikan ciri gerakannya sebagai gerakan sosial.

Medernisasi Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, KH. Dahlan dianggap
sebagai kiyai yang pertama kali melakukan modernisasi
pendidikan dengan menggunakan sistem Barat: memakai
meja, kursi dan papan tulis, serta mengajarkan
pengetahuan umum, disamping pelajaran agama di dalam
kelas. Pada waktu itu anak-anak santri Kauman masih
merasa asing pada pelajaran dengan sistem sekolah, karena
mereka hanya mengenal model pendidikan pesantren. Di
sinilah tampak pengaruh Barat pada diri KH. Ahmad
Dahlan. Dia mengadakan modernisasasi dalam bidang
pendidikan Islam, dari sistem pondok yang belajar secara
klasikal, kemudian ditambah dengan pelajaran
pengetahuan umum. Nampaknya dia mempunyai suatu
ketyakinan bahwa jalan yang harus ditempuh untuk
memajukan masyarakat Islam indonesia adalah dengan
mengambil ajaran dari Ilmu Barat. Obat yang dia buat bagi
pengikut-pengikut Islam adalah pendidikan modern. Dia
memerasakan perlu direalisasikannya orientasi segar bagi
pendidikan Islam. Dia melihat keunggulan dari system
pendiidikan modern ini setelah berkenalan dengan kaum
intelektual pada pengurus Budi Utomo.
Reaksi masyarakat terhadap modernisasi pendidikan
Islam ini KH. Ahmad Dahlan dituduh murtad dan sudah
Kristen. Hal ini karena dia dianggap meniru sistem
sekolah Barat. Dalam pelajaran mulai dilatih menyanyi do

Sejarah Muhammadiyah ~ 127


re mi fa sol, yang akibatnya ―lantunan‖ ayat-ayat al-Qur‘an
dan lagu-lagu dari Arab kurang terdengar.
Keinginan KH. Ahmad Dahlan untuk mengadopsi
sistem dan isi pendidikan Barat dan membandingkanya
dengan cara Islam nampak pada waktu dia mengasuh tiga
orang gadis, yakni Wakirah, Asminah dan Umniyah.
Seorang dimasukkan di Kweekschool Gupermen, seorang
lagi dimasukkan di Normaalschool Gupermen dan yang
ketiga dimasukkan di Kweekschool Muhammadiyah. Dari
sini dapat dilihat betapa dia ingin memberi bandingan
kepada gadis yang diasuhnya supaya nantinya kalau bekerja
dalam Muhammadiyah mempunyai pandangan yang luas.
Pemikirannya tentang pendidikan seperti itu dapat dilihat
dalam pernyatannya, yaitu:
“Muhammadijah sekarang ini lain dengan Muhammadijah jang
akan datang. Maka teruslah kamu bersekolah, menuntut ilmu
pengetahuan dimana sadja. Djadilah guru, kembalilah kepada
Muhammadijah. Djadilah insinyur dll. kembalilah kepada
Muhammadijah”

Emansipasi Wanita
KH. Ahmad Dahlan selalu memperhatikan kaum
wanita. Keyakinan yang ada padanya adalah bahwa dunia
tidak akan maju dengan sempurna jika wanitanya hanya
tinggal di dapur saja.
Sebagai langkah awal, KH. Ahmad Dahlan
mengumpulkan kaum wanita dan memberinya pelajaran,
kursus yang diperuntukkan khusus bagi kaum ibu. Mereka
diberi pelajaran surat al-Ma‘un, yang berisi perintah
memberi pertolongan kepada orang-orang miskin dan

128 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


anak-anak yatim. Dia menyuruh untuk mengamalkan ayat-
ayat tersebut.
Pada Tahun 1914, kursus itu dijadikan perkumpulan
dengan nama Sapatresna (siapa yang kasih sayang), yang
kelak di belakang hari berubah nama menjadi Aisyiah.
Banyak orang yang menentang gerakan ini, karena pada
waktu itu kaum wanita hanya tinggal di dapur. Gerakan
wanita merupakan sesuatu yang baru. Tidak sedikit fitnah
yang timbul dan dilontarkan pada gerakan itu. Namun
KH. Ahmad Dahlan tetap bekerja dengan sungguh-
sungguh.
Disamping itu, di juga mendidik para pemudi yang
berumur sekitar 15 tahun. Mereka diharapkan bisa
menjadi kader yang akan membantu pimpinan kaum
wanita di kemudian hari. Awalnya berjumlah 6 orang,
kemudian bertambah. Tahun 1922 Sapatresna resmi masuk
dalam bagian Muhammadiyah.
Adapun bekal perjuangan yang diberikan oleh KH.
Ahmad Dahlan adalah:
1. Dengan keikhlasan hati menunaikan tugasnya
sebagai wanita Islam sesuai dengan bakat dan
kecakapannya, tidak menghendaki sanjung puji dan
tidak mundur selangkah karena dicela.
2. Penuh keinsyafan bahwa beramal itu harus berilmu.
3. Jangan mengadakan alasan yang tidak dianggap syah
oleh Tuhan hanya untuk menghindari sesuatu tugas
yang diserahkan kepadanya.

Sejarah Muhammadiyah ~ 129


4. Membulatkan tekad untuk membela kesucian agama
Islam.
5. Menjaga persaudaraan dan kesatuan kawan sekerja
dan seperjuangan.
Setelah berubah nama menjadi Aisyiah, gerakan
emansipasi ini membuat program-program antara lain:
1. Mengirim mubalighat-mubalighat ke kampung-
kampung pada bulan puasa untuk memimpin shalat
Tarawih.
2. Mengadakan perayaan hari-hari besar Islam.
3. Mengadakan kursus agama Islam untuk para pekerja
dan pegawai wanita di kampung.
Dalam mendidik para pemudi ternyata tidak mudah.
Pada masa itu pakaian wanita di Yogyakarta, terutama
kaum bangsawannya, memakai kemben, tanpa baju.
Mereka berlomba-lomba memakai subang dari emas.
Menghadapi hal yang demikian, maka dalam mendidik
kaum wanita agar mau memakai kerudung, KH. Ahmad
Dahlan menyuruh para pemudi memotong ati-atinya, yaitu
rambut di muka telinga. Kemudian mereka dijambuli.
Banyak orang yang menertawakan. Namun sesuai dengan
pesan KH. Ahmad Dahlan yang menyatakan, “Demit ora
ndulit, setan ora doyan, sing ora betah bosok ilate” . (Hantu tidak
menyentuh, setan tidak suka, yang tidak tahan busuk
lidahnya), menyebabkan mereka tahan menerima segala
ejekan dari orang-orang yang tidak menyukainya. Lambat
laun para pemudi itu diperintahkan untuk memakai
kerudung. Adapun kerudung yang pertama kali dipakai

130 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


terbuat dari bekas sorban. Mengenai pakaian kerudung ini
juga menjadi bahan ejekan orang yang tidak menyukai
dengan mengatakan ―Lunga nang lor Plengkung, isa dadi
Kadji‖. Kalimat itu berarti ―pergi ke sebelah utara
Plengkung bisa menjadi haji‖. Yang dimaksud dengan
sebelah utara Plengkung adalah rumah KH. Ahmad
Dahlan. Kata-kata ini dimaksudkan untuk mengejek.
Cara KH. Ahmad Dahlan merubah sesuatu tidak
dengan jalan mencela, melainkan secara bertahap
menggantinya dengan yang lain, yang lebih sesuai dengan
ajaran Islam.
Perhatiannya terhadap kaum wanita sangat besar. Hal
ini terlihat saat ia mendatangkan seorang guru khusus dari
Bandung yaitu Jeffr Akik yang ahli modiste untuk
mengajar kerajinan tangan, menyanyi, menjahit serta
menghias diri.
Berkat didikan KH. Ahmad Dahlan dalam agama,
maka apabila di sekolah ada guru yang memberikan
pelajaran menghina agama Islam, maka para pemudi
membelanya dengan memakai bahasa Belanda sejauh
kemampuan mereka dalam berbiacara dengan bahasa itu.
Hal ini menyebabkan keheranan guru-guru Belanda atas
kepandaian mereka. Para Guru itu kemudian bertanya
siapa guru yang mengajarnya. Setelah diketahui bahwa
mereka murid Kyai haji Ahmad Dahlan, maka dia diminta
mengajar di sekolah itu.
Apabila pemudi-pemudi itu mendapat pertanyaan dari
guru-gurunya mengenai masalah agama yang sulit, untuk

Sejarah Muhammadiyah ~ 131


sementara tidak memberikan jawaban. Pulang dari sekolah
mereka menayakan hal itu kepada KH. Ahmad Dahlan.
Demikian pula, dia sering kali menanyakan kepada para
pemudi tentang pelajaran-pelajaran di sekolah, nyanyian
apa yang diterimanya. Para pemudi itu menjawab bahwa
lagu yang diterima, diantaranya adalah Ave maria. KH.
Ahmad Dahlan menyuruh mereka menyanyikannya,
pertama mula-mula notnya kemudian baru liriknya.
Setelah mengetahui isinya, dia berpesan boleh
menyanyikan notnya, tetapi liriknya tidak boleh. Sebagai
gantinya tidak jarang dia mengajarkan lagu-lagu yang
bernapaskan Islam.
Demikian besar perhatiannya terhadap kaum wanita,
namun demikian banyak pula dia menerima ujian dan
cobaan. Tetapi dia tetap teguh berjuang untuk membina
kaum wanita yang kemudian berhasil dengan terbentuknya
organsisa wanita yang bernama Aisyiyah.
Dengan adanya gerakan Asiyiyah itu, wanita-wanita
Islam merasa mulai terangkat derajatnya. Sebagai isteri,
mereka mengerti hak dan kewajibannya terhadap suami.
Sebagai seorang ibu, mereka memperhatikan pendidikan
anak-anaknya dan rumah tangganya. Sebagai seorang
wanita Islam, mereka Insyaf akan kewajibannya terhadap
agama. Kalau dahulu wanita dinilai hanya dari kecantikam
dan kekayaannya, maka sejak saat itu standar nilainya
adalah kecakapan dan kecerdasaannya.
Untuk tahun-tahun berikutnya Aisyiyah ini
mengadakan sekolah-sekolah khusus bagi kaum wanita.

132 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Ada beberapa sekolah yang diadakan dan juga beberapa
tempat pengajaran khusus wanita.
Sesudah Aisyiyah mempunyai beberapa anggota, maka
timbullah cita-cita KH. Ahmad Dahlan untuk mengadakan
gedung yang khusus bagi wanita. Dia selalu memikirkan
bahwa banyak kaum wanita yang belum mengetahui
tentang wudlu dan salat. Gedung yang diperlukan adalah
gedung yang bisa untuk belajar wudlu dan salat. Supaya
tidak merasa malu untuk belajar maka didirikanlah masjid
yang khusus untuk kaum wanita yang diberi nama
mushalla. Gedung itu bukan untuk ibu-ibu Aisyiyah saja,
tetapi terbuka bagi siapa saja. Dia menginginkan gedung
itu untuk memudahkan memberi tuntunan atau pelajaran
keislaman kepada kaum wanita. Musahalla ini mulai
dibangun pada tahun 1922 dan dikerjakan oleh
Muhammadiyah bagian Yayasan. Belum sampai selesai
Mushalla dibangun, dia meninggal dunia.
Dia memang sangat memperhatikan kaum wanita,
begitu pula kaum wanita suka belajar kepadanya. Pada
waktu dia sakit beberapa bulan, pengajian bagi kaum
wanita dipegang oleh KH. Ibrahim. Setelah dia sembuh
kembali mereka ingin diberi pelajaran lagi olehnya.
Akhirnya diadakan pengajian istimewa setiap senin sore
dan diberi nama pengajian ―wal ‗Ashri‖, muridnya sekitar
36 orang. Syarat-syarat anggota pengajian ‗Wal ‗Ashri,
yaitu:
1. Sanggup mendatangi pengajian dan jika berhalangan
sanggup meminta ijin.

Sejarah Muhammadiyah ~ 133


2. Sanggup menutup aurat, pakai baju mahromah,
kerudung dan kaos kaki.
Adanya gerakan Aisyiyah memungkinkan semakin
banyaknya kegiatan kaum wanita. Tetapi banyak pula yang
menentang gerakan ini. Fitnah juga semakin bertambah.
Melihat banyaknya fitnah terhadap kaum wanita, dia
berkata:
Berhati-hatilah dengan urusan Aisyiyah. Kalau saudara-saudara
dapat memimpin dan membimbing mereka, Insya Allah mereka
akan mendjadi pembantu dan kawan jang terutama dalam
melantjarkan perserikatan kita menudju tjita-tjitanja.

3. Pemikiran Dalam Bidang Kenegaraan


Dua dekade pertama abad kedua puluh adalah suatu
babak baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Zaman itu
terkenal sebagai zaman Kebangkitan Nasional. Setiap
gerakan kebangkitan adalah menuju kepada kemajuan.
Arah kemajuan mengarah ke segala bidang, baik bidang
politik, sosial maupun ekonomi. Ada yang berlandaskan
jasmaniah dan ada pula yang berlandaskan rohaniah,
agama. Sekalipun bidangnya berbeda-beda, namun sebagai
gerakan kemajuan, ia memiliki sutu sifat yang sama, yaitu
ingin membebaskan atau minimal meringankan bangsa
dan tanah air dari belenggu-belenggu jasmaniah dan
rohaniah, yang di dalam zaman sebelumnya mengikat
seluruh kehidupan bangsa indonesia.
Zaman itu meliputi Budi Utomo berdiri. Organisasi
itu didirikan oleh kalangan pemuda-pemuda intelek yang
bangsawan. Kemudian Sarekat Dagang Islam juga berdiri,

134 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


yang kemudian berganti nama menjadi Sarekat Islam.
Sesuai dengan namanya yang pertama maka Sarekat Islam
banyak terdiri dari kaum pedagang,. Di samping itu juga
berdiri juga organisasi Muhammadiyah yang bergerak
dalam lapangan pendidikan sosial. Pendirinya adalah KH.
Ahmad Dahlan.
KH. Ahmad Dahlan bukanlah tokoh politik. Dia lebih
bergerak dalam lapangan dakwah, pendidikan dan gerakan
amal sosial. Meskipun begitu dia juga memasuki
perkumpulan bahkan menjadi pengurus Budi Utomo,
yang diakui sebagai gerakan Kebangkitan naisonal yang
pertama di Indonesia. Dalam Sarekat Islam, dia duduk
sebagai penasihat. Sarekat Islam adalah pergerakan
nasionalis dan anti imperialis pertama yang kuat dan
banyak berpengaruh di Indonesia.
Muhammadiyah yang dipimpinnya juga menunjukkan
sifat yang terbuka terhadap politik, walaupun secara resmi
ia bukan organisasi politik, yang bergerak melawan
kapitalisme dan imperilaisme. Ini nampak dalam maksud
dan tujuan Muhammadiyah. Keterbukaannya terhadap
propaganda politik nampak pada waktu KH. Ahmad
Dahlan mengundang dua orang wanita anggota Sarekat
Islam untuk memberi penjelasan tentang pergerakan itu.
Bahkan dia pernah menerima propaganda ISDV (Indische
Sociaal Democratiche Vereenige), suatu perhimpunan politik
yang berdiri pada tahun 1914. Partai ini membenci
pemerintah kolonial Belanda secara mutlak dan
menganjurkan rakyat Indonesai supaya berjuang unutk

Sejarah Muhammadiyah ~ 135


mencapai kemerdekaan. Dari I.S.D.V yang datang adalah
Semaun, Darsono dan Baars. Mereka dipersilahkan
berbicara dalam sebuah rapat Terbuka Muhammadiyah di
Kauman. Rapat tersebut dipimpin sendiri oleh KH.
Ahmad Dahlan. Isi pidato dari I.S.D.V. adalah mencari
wakil pemerintah Belanda dan menjelaskan gerakan
mereka yang sosialis. Akibat dari propaganda
pemerintahan itu banyak priyai pangreh-praja yang
diminta berhenti menjadi anggota Muhammadiyah, karena
mereka menganggap Muhammadiyah setuju dengan
I.S.D.V.
Pendidikan yang merupakan bidang gerap
Muhammadiyah mempunyai akibat politik. Isi pendidikan
Muhammadiyah yang menekankan pemikiran yang
rasional dan menentang takhayul akan menimbulkan rasa
percaya diri. Ini mendorong kepada Kebangkitan
Nasional, karena bangsa Indonesia setelah pandai tidak
mau dijajah oleh pihak asing. Juga, dengan mengadakan
sekolah sendiri, maka kepentingan nasioanal bisa
disampaikan dengan leluasa dan bebas. Kiyai menyatakan:
Sebenarnya konsep sosial Islam yang progresif yang mengajarkan
kemajuan tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan politik.
Muhammadiyah hanya bisa membantu mengembangkan kesadaran
politik anggota-anggotanya dan murid-muridnya yang dididik di
sekoah-sekolahnya yang banyak. Itu semua dilakukan dengan
diam, tapi dalam, membantu arus politik Kebangkitan Nasional
dan dengan diam tapi kokoh menopang dan memperkuat arus itu.
Tidaklah mengherankan hasil pendidikan
Muhammadiyah melahirkan pejuang-pejuang

136 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


kemerdekaan dan sekaligus pengisi kemerdekaan, dan
Jenderal Sudirman adalah salah satu contohnya.
Pernyataan politik Kyai Dahlan memang tidak terlihat.
Beberapa alasan bisa dikemukakan di sini. Dia pegawai
Kraton. Sedangkan Kraton ada di bawah pemerintah
kolonial. Perhatiannya terhadap dunia pendidikan Islam,
mendorongnya mengajar di sekolah pemerintah Belanda.
Begitu juga pengikutnya, anggota Muhammadiyah, banyak
yang menjadi pegawai pangreh-praja di bawah pemerintah
kolonial Belanda. Dia ingin mempertahankan semua ini.
Sikap Muhammadiyah yang tidak berpolitik
menimbulkan banyak kritik. Zaman itu adalah zaman
Kebangkitan Nasional. Sikap Muhammadiyah yang
kooperatif dengan pemerintah kolonial Belanda mendapat
kritik, yaitu Muhammadiyah dianggap ―melembekkan‖
(melemahkan), Muhammadiyah tidak menepati janji.
Tidak ada keterangan lebih lanjut tentang janji ini.
Tuduhan yang lain, yakni Muhammadiyah kemasukan aksi
P.E.B. (Politiek Economische Bond), suatu partai politik di
zaman kolonial yang didirikan pada bulan Januari tahun
1919, sebagai perwujudan rasa gelisah di kalangan Belanda
yang khawatir akan kehilangan kedudukannya. Jadi, partai
itu didirikan oleh Belanda. Partai itu terutama menarik
golongan pengusaha-pengusaha besar, tokoh-tokoh
perekonomian dan pemerintahan golongan Belanda.
Dalam pemilihan anggota Volksraad (Dewan Rakyat)
mencatat kemenangan yang gemilang. Pemimpin-
pemimpinnya berpengaruh besar dalam hal pengangkatan

Sejarah Muhammadiyah ~ 137


pegawai negeri. Banyak pegawai pangreh-praja Indonesia
lapisan atas, terutama para bupati dan calon-calon
penggantinya, terpikat untuk menjadi anggota P.E.B
dengan alasan untuk menyelamatkan kedudukan dan
kenaikan pangkatnya. Demikianlah tuduhan yang
diberikan oleh surat kabar Islam Bergerak.
Setelah H.M. Misbah keluar dari penjara, semakin
hebatlah serangan Islam Bergerak kepada Muhammadiyah.
Surat kabar Medan Muslimin pun begitu. Nama Haji
Ahmad Dahlan dalam Medan Muslimin bulan November
atas permintaan H.M. Misbah supaya dicabut, jangan
dimuat lagi. Menurut suratnya, H.M. Misbah menyatakan
bahwa surat kabar Medan Muslimin dan Islam Bergerak akan
bersikap bertentangan dengan Muhammadiyah.
Sikap KH. Ahmad Dahlan, juga Muhammadiyah,
menunjukkan sikap yang mendua. Dia sendiri masuk pada
gerakan nasionalis, ini berarti juga Muhammadiyah
memberikan kebebasan berpolitik terhadap anggotanya.
Oleh karena itu tepatlah tesis G.H. Bousquet tentang
Muhammadiyah yang menyatakan bahwa pemerintah
Belanda tidak cukup mengetahui bahaya-bahaya yang ada
dalam organisasi yang bergerak dalam lapangan
pendidikan Islam. Dalam menggambarkan
Muhammadiyah, dia menulis suatu tesis yang ditulis tepat
sebelum perang Dunia II, yaitu:
Di dalam lapangan politik, Muhammadiyah adalah netral dalam
arti ia menolak untuk mengambil bagian secara resmi. Sasarannya
yang menonjol adalah menyebarkan kebudayaan Islam. Karena
alasan yang melulu seperti ini, berbeda dengan kelompok nasionalis,

138 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Muhammadiyah diperlakukan dengan begitu baik oleh penguasa.
Meskipun demikian akan sangat salah mengira dari hal ini bahwa
anggota-anggotanya tidak mempunyai kecenderungan politik.
Sesungguhnya tidak akan sama sekali salah mengatakan bahwa
mereka sama saja begitu anti terhadap Belanda seperti kelompok
nasionalis yang lain, Islam atau yang lainnya. Saya bisa menjamin
hal ini. Meskipun pemerintah menunjukkan kekhawatiran yang
besar terhadap kelompok ini, saya mengira sikap ini tidak
menunjukkan kecerdikan politik.
Pernyataan itu, walaupun ditujukan kepada
Muhammadiyah pada umumnya, berlaku juga bagi KH.
Ahmad Dahlan. Dalam hal ini kecerdikan sikap politik
KH. Ahmad Dahlan menampakkan wujudnya. Dia
mampu bersikap baik terhadap Belanda, di lain pihak dia
turut dalam gerakan nasionalis yang anti-Belanda. Bila
dihubungkan dengan sikap Belanda terhadap
Muhammadiyah, maka Belanda tampak bersikap kurang
cerdik. Dari sisi yang lain, maka di sinilah terletak
kecedikan sikap politik KH. Ahmad Dahlan.

E. Bentuk dan Maksud Lambang Muhammadiyah


Bentuk dan lambang Muhammadiyah diciptakan oleh
KH. Siraad Dahlan, putera pertama KH. Ahmad Dahlan
yang mewarisi intelektualitasnya dalam bidang ilmu falak,
keulamaaan, dan darah seninya (M. Sukriyanto AR, 2015).
Lambang Muhammadiyah terdiri dari 12 sinar matahari
yang putih bersih yang memancarkan sinarnya ke arah
segala penjuru bumi. Di tengah-tengah matahari terdapat
tulisan dengan huruf Arab yang berbunyi:
―Muhammadiyah‖. Pada dua lingkaran yang mengelilingi

Sejarah Muhammadiyah ~ 139


tulisan huruf Arab ―Muhammadiyah‖ tersebut, terdapat
tulisan yang diambil dari dua kalimat syahadat, yaitu
syahadat tauhid pada lingkaran atas dengan tulisan Arab:
asyhadu alla ilaha illallallah (saya bersaksi bahwasannya tidak
ada Tuhan kecuali Allah); dan syahadat rasul pada lingkaran
bagian bawah dengan tulisan: wa asyhadu anna Muhammad
Rasulullah (dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah). Seluruh Gambar matahari dengan
atributnya berwarna putih dan terletak di atas warna dasar
hijau daun. Untuk lebih jelasnya, berikut lambang
Muhammadiyah:

Adapun maksud lambang Muhammadiyah tersebut


adalah: gambar matahari dan 12 sinarnya yang putih.
Secara teoritis, matahari merupakan titik pusat dalam tata
surya dan merupakan sumber kekuatan semua makhluk
hidup yang ada di bumi. Matahari juga merupakan titik
sentral semua planet. Matahari mengeluarkan sinar panas
yang sangat berguna bagi kehidupan biologis semua
makhluk hidup di muka bumi. Tanpa sinar matahari,
Semua makhluk hidup akan mati.
Dengan menggambarkan dirinya seperti matahari,
Muhammadiyah berkeinginan menjadi wadah, organisasi
yang dalam setiap langkah dan gerakannya dalam

140 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


kehidupan diharapkan seperti halnya matahari yang dapat
menjadi sumber pencerahan bagi kekuatan spiritual dan
rohani bagi yang mau menerima pancaran sinarnya berupa
ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur‘an dan as-
Sunnah al-Maqbulah.
Tulisan Muhammadiyah di tengah menunjukkan
bahwa organisasi ini ingin mengikuti Nabi Muhammad
SAW. Adapun tulisan dua kalimah syahadat
melaambangkan bahwa orang-orang Muhammadiyah ingin
menegakkan kalimah-kalimah Allah yang bersendikan
tauhid.
Sedangkan duabelas sinar matahari yang memancar ke
seluruh penjuru bumi diibaratkan sebagai tekad dan
semangat warga Muhammadiyah dalam memperjuangkan
Islam di tengah masyarakat bangsa Indonesia. Semangat
pantang mundur dan pantang menyerah seperti yang
tercermin dalam tekad kuat kaum Hawari (sahabat nabi
Isa) yang berjumlah 12 orang, seperti dijelaskan oleh Allah
dalam surat as-Shaf: 14 yang artinya: Wahai orang-orang
yang beriman, jadilah kalian penolong-penolong (agama)
Allah, seperti ucapan Isa putra Maryam kepada kaum
Hawary: ―Siapa yang bersedia menolongku (menegakkan
agama Allah), lalu ssegolongan Bani Israil beriman dan
segolongan (yang lain) kafir; Maka Kami beri kekuatan
kepada orang-orang yang beriman terhadap musus-musuh
mereka, maka jadilah mereka orang-rang yang menang‖.
Adapun warna putih pada seluruh gambar matahari
adalah warna yang disukai oleh Rasulullah, melambangkan

Sejarah Muhammadiyah ~ 141


kesucian, keikhlasan dan tanpa pamrih. Dengan warna
putih tersebut, Muhammadiyah diharapkan dalam
berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
dengan penuh keikhlasan mengharapkan hanya keridlaan
Allah SWT.
Sedangkan warna hijau yang menjadi warna dasar
adalah warna yang selalu ditawarkan oleh Allah kepada
orang beriman dan beramal salih, seperti dalam QS: 55:
76, 76: 21 dan 18: 31. Warna hijau melambangkan
kedamaian, kesejukan, kesegaran, ketenteraaman dan dan
kesejahteraan. Dengan warnai hijau tersebut,
Muhammadiyah diharapkan berjuang di tengah-tengah
masyarakat dalam rangka mewujudkan ajaran agama Islam
yang penuh kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan
bagi umat manusia.

F. Maksud dan Tujuan Muhammadiyah


Sejak awal berdirinya hingga sekarang,
Muhammadiyah telah merumuskan maksud dan tujuannya
dengan redaksi yang berbeda-beda. Menurut Haedar
Nashir (2008: 1), jika dilacak pada rumusan Anggaran
Dasar (Statuten) Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912
hingga Muktamar ke-45 tahun 2005, Muhammadiyah telah
menyusun dan melakukan perubahan Anggaran Dasar
(AD) sebanyak 15 (lima belas) kali yaitu pada berturut-
turut pada tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943,
1946, 1950 (dua kali), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan
2005. Adapun untuk Anggaran Rumah Tangga (ART)

142 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


sebanyak 8 (delapan) kali dimulai dan berturut tahun 1922,
1933, 1952, 1961, 1967, 1969, 1987, 2000, dan 2005. Dari
kandungan isi AD/ART Muhammadiyah tersebut
ditemukan data bahwa rumusan maksud dan tujuan
Muhammadiyah seperti yang diketahui sekarang (tahun
2014) yang berbunyi ―mewujudkan/terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar- benarnya‖ ditetapkan
pada AD tahun 1946, sedangkan sejak berdirinya sampai
awal tahun kemerdekaan Indonesia tersebut tidak
ditemukan rumusan tujuan sebagaimana dimaksud.
Perubahan AD/ART tersebut berimplikasi pada
perubahan formulasi maksud dan tujuan Muhammadiyah.
Menurut hemat penulis, sejak awal berdirinya (tahun 1912)
hingga kini (tahun 2014), telah terjadi 9 (sembilan) kali
perubahan formulasi maksud dan tujuan Muhammadiyah
seperti berikut (teksnya dikutip dari tulisan Mh. Djaldan
seperti ditulis oleh Haedar Nashir, 2008: 1):
1. Tahun 1912 saat berdirinya dirumuskan: Maka
perhimpunan itu maksudnya:
a. Menyebarluaskan pengajaran Igama Kangjeng Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kepada
penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan
b. Memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.
2. Tahun 1914 dan 1921 dirumuskan: Maksud
Persyarikatan ini yaitu:
a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran
Igama Islam di Hindia Nederland, dan

Sejarah Muhammadiyah ~ 143


b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup)
sepanjang kemauan Igama Islam kepada lid-lid-nya.
3. Tahun 1934 dirumuskan: Hajat Persyarikatan itu:
a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran
agama Islam di Hindia Nederland, dan
b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup)
sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya (segala
sekutunya).
4. Tahun 1941 dirumuskan: Hajat Persyarikatan:
a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran
agama Islam di Indonesia, dan
b. Memajukan dan menggembirakan cara hidup sepanjang
kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya (segala
sekutunya).
5. Tahun 1943 dirumuskan: Sesuai dengan kepercayaan untuk
mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Raya, di
bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh
Tuhan Allah, maka perkumpulan ini:
a. hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup
yang selaras dengan tuntunannya,
b. hendak melakukan pekerjaan kebaikan kebaikan umum,
c. hendakmemajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi
pekerti yang baik kepada anggauta-anggautanya;
kesemuanya itu ditujukan untuk berjasa mendidik
masyarakat ramai.
6. Tahun 1946 dan 1950 (dua kali perubahan AD/ART)
dirumuskan: Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan

144 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga
dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
7. Tahun 1959, 1966, 1968, dirumuskan: Maksud dan
tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.
8. Tahun 1985 dirumuskan: Maksud dan tujuan
Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama
Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur
yang diridlai Allah Subhanahu wataala.
9. Tahun 2000 – sekarang (tahun 2014) dirumuskan:
Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Perubahan formulasi maksud dan tujuan


Muhammadiyah tersebut tampaknya menggambarkan
perkembangan cara berpikir dan konteks yang dihadapi
Muhammadiyah pada setiap babakan sejarah tertentu.
Menurut Prof. KH.. Farid Ma‘ruf, seperti ditulis oleh
Haedar Nashir (2008: 2), bahwa perubahan yang
bertingkat-tingkat seperti tersebut di atas itu
membayangkan dengan jelas, kemajuan hasil yang telah
dicapai oleh Muhammadiyah dengan bertingkat-tingkat,
dan juga menggambarkan dengan nyata perkembangan
berpikir dari para pemimpin dan anggauta-anggautanya
yang tambah lama semakin maju juga. Jadi, terdapat
sistematisasi pemikiran yang lebih maju dari perubahan
formulasi tujuan Muhammadiyah sebagaimana dalam

Sejarah Muhammadiyah ~ 145


pemikiran-pemikiran formal lainnya. Namun, kendati
terjadi perubahan formulasi tujuan, terdapat konsistensi
yakni ruh atau spirit gerakan yang tetap konsisten untuk
mengemban risalah Islam dan orientasi pada usaha
menyebarluaskan dan memajukan kehidupan sepanjang
kemauan ajaran Islam melalui lapangan kemasyarakatan
dan tidak melalui jalur kekuasaan-negara. Dengan
demikian, perubahan redaksional mengenai maksud dan
tujuan Muhammadiyah secara substaantif tidak ada
perbedaan. Intinya tetap yaitu mewujudkan Islam
bagaimana dan apa mestinya.
Terkait arti dan maksud rumusan terakhir maksud dan
tujuan Muhammadiyah, Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad
Adaby Darban telah menjelaskan sebagiannya sebagai
berikut (2009: 112):
1. Menegakkan, berarti membuat dan mengupayakan agar
tetap tegak dan tidak condong apalagi roboh, yang
semua itu dapat terrealisasikan jika sesuatu yang
ditegakkan tersebut diletakkan di atas fondasi yang
kokoh dan solid, dipegang erat-erat, dipertahankan,
dibela serta diperjuangkan dengan penuh konsekuen.
2. Menjujung tinggi, artinya membawa atau menjunjung di
atas segala-galanya, mengindahkan serta
menghormatinya.
3. Agama Islam, artinya sudah cukup jelas.
4. Terwujud, artinya menjadi satu kenyataan adanya atau
wujudnya.

146 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


5. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu seperti
tertulis dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang
Satu Abad (2005) disebutkan, bahwa masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan
merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam
struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki
corak masyarakat tengahan (ummatan wasathan) yang
berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial-
budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang
dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat
yang memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah
dan batiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan
muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi,
sekaligus menampilkan corak masyarakat yang
mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran,
kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan
keunggulan dalam segala lapangan kehidupan.

Sejarah Muhammadiyah ~ 147


BAB IV
MATAN KEYAKINAN DAN CITA-CITA HIDUP
MUHAMMADIYAH (MKCHM)*

A. Iftitah
1. Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung, 3 (tiga)
bulan sebelum Gestapu/PKI meletus, adalah
muktamar terakhir pada zaman Orde Baru. Sedangkan
muktamar pertama pada zaman Orde Baru adalah
Muktamar ke-37 di Yogyakarta, pada tanggal 21 – 26
September 1968.
2. Pada zaman Orde Lama, PKI dapat dikatakan
mendominasi seluruh aspek kehidupan bernegara.
Setelah merasa dirinya kuat, karena bisa menguasai
semua lini, maka PKI melakukan coup d‘tat, perebutan
kekuasaan dengan kekerasan yang dikenal dengan
Pemberontakan G-30-S atau Gestapu/PKI.
3. Segenap kekuatan bangsa yang non komunis bersama
ABRI berhasil melumpuhkan dan menumpas
pemberontakan Gestapu/PKI itu. Akhirnya,
Pemerintah, atas desakan rakyat, membubarkan PKI
dengan seluruh organisasi onderbounya dan

* Naskah asli tulisan ini diambil dari makalah yang ditulis oleh M.
Muchlas Abror pada acara Dapinas (Darul Arqam dan Pelatihan
Instruktur Nasional) yang diadakan oleh MPK PP Muhammadiyah di
Yogyakarta, tanggal 20-27 November 2011 dengan perubahan
seperlunya.

148 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


menyatakan sebagai partai/organisasi terlarang.
Bahkan komunisme-marxisme dinyatakan secara tegas
sebagai paham yang dilarang di seluruh Indonesia.
Pembubaran dan pelarangan itu kemudian dikukuhkan
oleh ketetapan MPRS.
4. Setelah itu, Indonesia memasuki babakan baru, yakni
babakan yang bertekad untuk menata kembali
kehidupan bernegara dan berbangsa dengan tatanan
(orde) yang sama sekali baru dengan berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945. Tatanan dan sikap mental
bangsa Indonesia seperti itu kemudian dikenal dengan
istilah Orde Baru.
5. Muhammadiyah, salah satu eksponen Orde Baru,
mendapat sebutan dan pengakuan dari Pemerintah
sebagai Ormaspol. Yang dimaksudkan adalah
Muhammadiyah sebagai organisasi yang mempunyai
kekuatan politik riil di masyarakat. Karena itu,
mendapat jatah untuk mengirimkan wakil duduk di
MPR/DPR/DPRD.
6. Para pimpinan Muhammadiyah menjelang Muktamar
ke-37 segera melakukan muhasabah dan otokritik.
Tanwir sebelum Muktamar secara bulat menyimpulkan
untuk mengembalikan dan memantapkan
Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dan Gerakan
Dakwah. Selain itu, dalam Muhammadiyah perlu
dilakukan tajdid.
7. Muktamar ke-37 salah satu agendanya membahas
tajdid dalam banyak aspek. Setelah membahas secara

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup ~ 149


mendalam, Muktamar ke-37 antara lain memutuskan
Muhammadiyah perlu melakukan tajdid dalam 4
(empat) aspek, yaitu: Keyakinan dan Cita-cita Hidup,
khiththah Perjuangan, Amal Usaha, dan Organisasi.
8. Menindaklanjuti keputusan Muktamar ke-37, PP
Muhammadiyah, pada tanggal 25 – 28 Desember 1969,
mengadakan Sidang Tanwir di Ponorogo. Di antara
keputusan Tanwir di kota ini yang bersifat
monumental ialah Matan Keyakinan dan Cita-cita
Hidup Muhamadiyah (MKCHM). Matan Keyakinan
dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah adalah kata lain
dari Ideologi Muhammadiyah.

B. Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup


Muhammadiyah
Rumusan ―Matan (teks) Kekyakinan dan Cita-cita
Hidup Muhammadiyah‖ keputusan Tanwir di Ponorogo
tahun 1969, setelah diperbaiki dan disempurnakan oleh PP
Muhammadiyah atas kuasa Tanwir tahun 1970 di
Yogyakarta, secara utuh dan selengkapnya sebagai berikut
:
1. Muhammadiyah adalah Gerakan berasas Islam,
bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakan
fungsi dan missi manusia sebagai hamba dan Khalifah
Allah di muka bumi.
2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah
Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya,

150 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan
seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad
saw., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada ummat
manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan
hidup materiil dan spirituil, duniawi dan uKH.rawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam
berdasarkan:
a. Al-Qur‘an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad saw.
b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-
ajaran Al-Qur‘an yang diberi kan oleh Nabi
Muhammad saw.; dengan menggunakan akal
pikiran sesuai jiwa ajaran Islam.
4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-
ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
a. Aqidah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah
Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala
kemusyrikan, bid‘ah dan Khurafat, tanpa
mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran
Islam.
b. Akhlaq
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai
akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-
ajaran Al-Qur‘an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi
kepada nilai-nilai ciptaan manusia.
c. Ibadah

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup ~ 151


Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah
yang dituntunkan oleh Rasulullah saw tanpa
tambahan dan perubahan dari manusia.
d. Mu‘amalat Dunyawiyat
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya
mu‘amalat dunyawiyat (pengolahan dunia dan
pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran
Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam
bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa
Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa
tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan,
kemerdekaan bangsa, dan Negara Republik Indonesia
yang berfilsafat Pancasila, untuk berusaha bersama-
sama menjadikan suatu Negara yang adil makmur dan
diridhai Allah SWT. ―Baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur‖.

C. Penjelasan Matan Keyakinan dan Cita-Cita


Hidup Muhammadiyah
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah yang singkat dan padat itu berisi tentang
pernyataan risalah Muhammadiyah, faham
Muhammadiyah tentang Islam, dan tanggungjawab
Muhammadiyah terhadap Negara Republik Indonesia
yang berfalsafah Pancasila.

152 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Rumusan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah yang terdiri dari 5 (lima) angka tersebut di
atas dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok sebagai berikut :
1. Kelompok pertama : mengandung pokok-pokok
persoalan yang bersifat ideologis, ialah angka 1 (satu)
dan angka 2 (dua) pada Matan tersebut
2. Kelompok kedua : mengandung persoalan mengenai
faham Agama menurut Muhammadiyah, ialah angka 3
(tiga) dan 4 (empat) pada Matan tersebut
3. Kelompok ketiga : mengandung persoalan mengenai
fungsi dan missi Muhammadiyah dalam masyarakat
Negara Republik Indonesia, ialah angka 5 (lima) pada
Matan tersebut
Tiap butir dari 5 (lima) angka seperti disebutkan dalam
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah,
sebagai upaya pemahaman dan pendalaman, berikut ini
meskipun secara ringkas perlu diberikan penjelasan.

Dalam Matan :

1. Muhammadiyah adalah Gerakan berasas Islam,


bercta-cita dan bekerja untuk terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, untuk
melaksanakan fungsi dan missi manusia sebagai
hamba dan Khalifah Allah di muka bumi.
Penjelasan :
a. Muhammadiyah adalah Gerakan, yang
dimaksudkan di sini, Muhammadiyah adalah

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup ~ 153


Gerakan Islam, Dakwah Amar Ma‘ruf Nahi
Munkar dan Tajdid.
b. Muhammadiyah berasas Islam. Sebagai asas, Islam
sebagai sumber ajaran yang menentukan keyakinan
dan cita-cita hidupnya. Ajaran Islam inti ajarannya
―Tauhid‖ yang menjadi pembentuk keyakinan dan
cita-cita hidup menyadarkan bahwa manusia hidup
agar beribadah kepada Allah semata, untuk
kebahagiaan dunia dan akhirat. Hidup beribadah,
menurut ajaran Islam, ialah hidup taqarrub kepada
Allah dengan menunaikan amanah-Nya dan
mematuhi ketentuan-ketentuan yang menjadi
peraturan-Nya, guna mendapatkan keridhaan-Nya.
Amanah Allah itu menentukan fungsi dan missi
manusia sebagai hamba dan khalifah-Nya di muka
bumi.
c. Muhammadiyah bercita-cita dan bekerja untuk
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya. Hidup berasaskan Islam seperti tersebut
di atas tidak bisa lain kecuali menimbulkan
kesadaran pendirian, bahwa cita-cita/tujuan yang
akan dicapai dalam hidup di dunia ialah
terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang baik
guna mewujudkan kemakmuran di bumi, dalam
rangka ibadahnya kepada Allah.
d. Berdasarkan keyakinan dan cita-cita hidup yang
berasas Islam, Muhammadiyah berpendirian bahwa
ajaran yang dapat untuk melaksanakan hidup yang

154 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


sesuai dengan asasnya dalam mencapai cita-
cita/tujuan hidup tiada lain hanyalah ajaran Islam.
e. Keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah
sebagaimana diuraikan di atas dibentuk/ditentukan
oleh pengertian dan fahamnya mengenai agama
Islam.
f. Agama Islam adalah sumber keyakinan dan cita-cita
hidup Muhammadiyah. Karena itu, faham agama
dalam Muhammadiyah adalah persoalan essensiil
bagi adanya keyakinan dan cita-cita hidup
Muhammadiyah.

Dalam Matan :

2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam


adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada
para Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim,
Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi
penutup Muhammad saw, sebagai hidayah dan
rahmat Allah kepada ummat manusia sepanjang
masa dan menjamin kesejahteraan hidup materiil
dan spirituil, dunia dan ukhrawi.
Penjelasan :
a. Islam adalah nama agama Allah. Agama di sisi
Allah tiada lain adalah Islam (QS Ali Imran [3] :
19). Agama Allah ini diwahyukan kepada semua
Rasul-Nya sejak Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad saw. Islam merupakan matarantai
ajaran Allah yang dibawa oleh para Utusan-Nya.

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup ~ 155


Mereka membawa risalah yang sama, yakni tauhid
(QS Asy-Syura [42] : 13).
b. Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
saw adalah matarantai terakhir agama Allah yang
diwahyukan kepada para Rasul-Nya. Sebagai
matarantai terakhir, karena Allah tidak lagi
mengutus nabi dan rasul sesudah Nabi Muhammad
saw (QS Al-Ahzab [33] : 40), maka pasti Islam
adalah agama paripurna. Islam adalah agama yang
sempurna dan diridhai-Nya (QS Al-Maidah [5] : 3).
Allah menegaskan, siapa yang memilih selain Islam
menjadi agamanya akan mengalami kerugian (QS
Ali Imran [3] : 85).
c. Dalam ―Masalah Lima/Al-Masail Al-khams,
tentang al-Din‖ disebutkan bahwa agama Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw ialah apa
yang diturunkan Allah dalam Al-Qur‘an dan yang
disebut dalam Sunnah yang shahihah, berupa
perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-
petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan
akhirat. Islam, yang diturunkan kepada dan
disampaikan oleh Nabi Muhammad saw yang
diutus kepada segenap umat manusia (QS Al-A‘raf
[7] : 157 dan QS Saba‘ [34] : 28), sebagai hidayah
dan rahmat Allah yang berlaku sepanjang masa dan
menjamin kesejahteraan materiil dan spirituil,
duniawi dan uKH.rawi.

156 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


d. Islam dalam hubungan manusia dengan Allah
bermakna tunduk mutlak dan menyerah diri kepada
Allah. Siapa yang telah memilih Islam menjadi
agamanya disebut muslim. Muslim adalah orang
yang tunduk mutlak dan menyerah diri kepada
petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah Allah.
Banyak ayat dalam Al-Qur‘an yang menunjukkan
predikat muslim ternyata tidak hanya tertuju
kepada Nabi Muhammad saw dan para
pengikutnya saja. Tetapi juga berlaku bagi umat
sebelumnya, jika memang hidupnya tunduk
sepenuhnya dan menyerah diri kepada Allah.
Seperti dalam beberapa ayat berikut ini : QS Al-
Baqarah [2] : 128, QS Ali Imran [3] : 67, QS Al-
Baqarah [2] : 132, QS Yunus [10] : 84, QS Al-A‘raf
[7] : 126, QS Yusuf [12] : 101, QS An-Naml [27] :
44, QS Ali Imran [3] : 52.

Dalam Matan :

3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam


berdasarkan :
a. Al-Qur‟an: Kitab Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad saw.
b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan
ajaran-ajaran Al-Qur‟an yang diberikan oleh
Nabi Muhammad saw; dengan menggunakan
akal pikiran sesuai jiwa ajaran Islam.
Penjelasan :

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup ~ 157


a. Al-Qur‘an dan Sunnah Rasul adalah pokok dasar
dan sumber ajaran/hukum Islam. Mempelajari dan
mengamalkan Islam yang sebenarnya harus
bersumber pada keduanya. Kedua sumber itu
menjadi dasar mutlak untuk berhukum dalam
agama Islam. Terhadap hal-hal yang tidak
disebutkan dalam kedua sumber tersebut,
digunakan ijtihad untuk menemukan ketentuan
hukumnya, antara lain menempuh jalan qiyas.
b. Akal pikiran/ar-Ra‘yu adalah alat untuk : 1)
mengungkap dan mengetahui kebenaran yang
terkandung dalam Al-Qur‘an dan Sunnah Rasul; 2)
mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam
pengertian Al-Qur‘an dan Sunah Rasul. Sedang
untuk mencari cara dan jalan melaksanakan ajaran
Al-Qur‘an dan Sunnah Rasul dalam mengatur
dunia dan memakmurkannya, akal pikiran yang
dinamis dan progressif mempunyai peranan yang
penting dan lapangan yang luas. Begitu pula akal
pikiran bisa untuk mempertimbangkan seberapa
jauh pengaruh keadaan dan waktu terhadap
penerapan suatu ketentuan hukum dalam batas
maksud-maksud pokok ajaran agama.
c. Muhammadiyah berpendirian bahwa pintu ijtihad
senantiasa terbuka. Dalam Muhammadiyah ijtihad
tidak dilakukan secara individual, tetapi dilakukan
secara kolektif. Ijtihad kolektif atau ijtihad jama‟i
dipercayakan oleh Muhammadiyah kepada Majelis

158 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Tarjih dan Tajdid. Musyawarah Tarjih dihadiri oleh
para anggotanya yang terdiri dari berbagai ahli
dalam aneka bidang agama Islam dan ahli dalam
ilmu lain yang erat hubungannya, baik langsung
atau tidak langsung dengan masalah yang sedang
dibahas.
d. Dalam menetapkan suatu ketentuan hukum,
Majelis Tarjih dan Tajdid tidak mengikatkan diri
kepada sesuatu mazhab. Pendapat para imam
mazhab dapat menjadi bahan pertimbangan,
sepanjang sesuai dengan jiwa Al-Qur‘an dan
Sunnah Rasul atau dasar-dasar lain yang dipandang
kuat.
e. Muhammadiyah menyadari bahwa tidak semua
anggotanya dapat berijtihad. Karena itu, bagi siapa
pun yang tidak mampu berijtihad, agar dalam
beragama tetap berdasarkan pengertian yang benar,
maka harus ittiba‟. Artinya dalam mengamalkan
sesuatu mengikuti tuntunan sesuai petunjuk Al-
Qur‘an dan Sunnah Rasul. Jangan taqlid!
Muhammadiyah menolak taqlid.

Dalam Matan :

4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya


ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang :
a. Aqidah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup ~ 159


gejala kemusyrikan, bid‟ah dan Khurafat,
tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut
ajaran Islam
b. Akhlaq
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-
nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada
ajaran-ajaran Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul,
tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan
manusia
c. Ibadah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah saw,
tanpa tambahan dan perubahan dari manusia
d. Mu‟amalat dunyawiyat
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya
mu‟amalat dunyawiyat (pengolahan dunia dan
pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan
ajaran Agama serta menjadikan semua
kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah
kepada Allah SWT.
Penjelasan :
a. Muhammadiyah berpendirian bahwa ajaran Islam
merupakan ―kesatuan ajaran‖ yang utuh yang aspek-
aspek atau bidang-bidangnya meliputi :
 Aqidah: Ajaran yang berhubungan dengan
kepercayaan
 Akhlaq: Ajaran yang berhubungan dengan
pembentukan sikap mental

160 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


 Ibadah (mahdhah): Ajaran yang berhubungan
dengan peraturan dan tatacara hubungan
manusia dengan Allah
 Mu‘amalat dunyawiyat: Ajaran yang
berhubungan dengan pengolahan dunia dan
pembinaan masyarakat
Semua itu bertumpu dan untuk mencerminkan
kepercayaan ―Tauhid‖ dalam hidup dan kehidupan
manusia, dalam wujud dan bentuk hidup dan
kehidupan yang semata-mata untuk beribadah
kepada Allah dalam arti luas, seperti arti ibadah yang
dirumuskan Majelis Tarjih dalam Masalah Lima,
“Ibadah ialah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya, menjauhi
larangan-larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang
diizinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada pula
yang khusus. Ibadah yang umum ialah semua amal yang
diizinkan oleh Allah (yang dikerjakan untuk taqarrub).
Sedangkan yang khusus ialah yang telah ditetapkan oleh
Allah rincian, tingkah laku, dan tatacaranya secara
tertentu”.
b. Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam
dilakukan secara komprehensif. Aspek-aspek ajaran
Islam tersebut di atas tidak dipisahkan antara yang
satu dengan lainnya. Aspek-aspek itu dapat
dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan yang satu
dari yang lain, Al-Islam kullun la yatajazza‟. Dalam

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup ~ 161


memahami Islam, akal dipergunakan sejauh yang
dapat dijangkau.
c. Aspek aqidah lebih banyak didasarkan atas nash.
Aspek akhlaq mutlak berdasarkan nash. Ibadah
mahdhah berdasar atas pedoman nash. Sedang aspek
mu‘amalah, jika diperoleh dalil-dalil yang qath‟iy,
dilaksanakan sesuai dengan ajaran nash. Tetapi jika
diperoleh dari nash-nash zhanniy dilakukan
penafsiran. Asas maslahah dapat menjadi landasan
penafsiran. Sikap hai-hati terhadap hal-hal yang
masih belum diperoleh kejelasan diambil guna
menjaga keselamatan beragama.

Dalam Matan :

5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan


bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia
Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-
sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa, dan
Negara Republik Indonesia yang berfilsafat
Pancasila, untuk berusaha bersama-sama
menjadikan suatu Negara yang adil makmur dan
diridhai Allah SWT. “Baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur”
Penjelasan :
a. Pernyataan tersebut mengandung aspek fungsi dan
missi Muhammadiyah dalam gerakannya di Negara
Republik Indonesia. Tampak jelas komitmen
keislaman dan kebangsaan dari Muhammadiyah di

162 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


negara yang berfalsafah Pancasila. Sehingga
Muhammadiyah tidak mengusung format negara
lain dan lebih berkomitmen untuk mengisi Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan semangat
keislaman dan kebangsaan.
b. Fungsi dan missi Muhammadiyah tersebut
berangkat dari missi ideal Gerakan Islam ini : 1)
menegakkan tauhid yang murni; 2)
menyebarluaskan Islam yang bersumber pada Al-
Qur‘an dan As-Sunnah; 3) mewujudkan amal
Islami dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan
masyarakat.
c. Muhammadiyah, sebagai Gerakan Islam, Dakwah,
dan Tajdid bergerak di bidang kemasyarakatan
atau bergerak untuk membentuk masyarakat dan
bukan membentuk negara, yakni masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya. Jadi, yang menjadi sasaran
gerak Muhammadiyah membentuk masyarakat,
bukan membentuk negara.
d. Berdasarkan keyakinan dan cita-cita hidup yang
bersumberkan ajaran Islam yang murni,
Muhammadiyah menyadari kewajibannya:
berjuang dan mengajak segenap golongan dan
lapisan bangsa Indonesia untuk mengatur dan
membangun Tanah Air dan Negara Republik
Indonesia, sehingga merupakan masyarakat dan
negara adil makmur, sejahtera bahagia, materiil dan
spirituil yang diridhai Allah SWT.

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup ~ 163


e. Muhammadiyah membantu Pemerintah dan
bekerjasama dengan golongan lain dalam
memelihara dan membangun Negara mencapai
masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah.

D. Memahami, Memahamkan, dan Sosialisasi


MKCHM, yang hakikatnya adalah ideologi
Muhammadiyah, merupakan hasil pikiran dan
pembahasan secara mendalam dari para tokoh
Muhammadiyah dalam Tanwir di Ponorogo, berisi
prinsip-prinsip dasar yang bersifat tetap atau tidak mudah
berubah serta berdasarkan dan bersumberkan ajaran-
ajaran Islam. Sedangkan ajaran Islam yang menjadi dasar
dan sumber ideologi Muhammadiyah adalah wahyu Allah
yang bersifat abadi dan tidak berubah-ubah.
MKCHM menjadi ukuran atau norma yang pasti
untuk menilai benar atau salahnya hidup dan perjuangan
Muhammadiyah.
Dalam kalangan Muhammadiyah, baik pimpinan
maupun anggota, pada akhir-akhir ini, banyak yang tidak
mengetahui atau tidak memahami MKCHM. Akibatnya,
mereka tidak lagi mengetahui ukuran/norma yang
dipergunakan untuk menilai benar atau salahnya hidup
dan perjuangan Muhammadiyah. Bahkan di antara mereka
tidak sedikit yang mudah terpesona pada yang lain atau
yang datang dari luar. Hal tersebut tentu tidak dapat
dibiarkan malah secepatnya harus diatasi. Sebab, jika
dibiarkan tanpa upaya pembenahan secada serius tentu

164 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


akan mengaburkan dan merugikan perjuangan
Muhammadiyah.

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup ~ 165


BAB V
KEPRIBADIAN MUHAMMADIYAHAN

A. Hakikat Kepribadian Muhammadiyah

K
berdiri.
epribadian Muhammadiyah merupakan
ungkapan dari kepribadian yang memang
sudah ada pada Muhammadiyah sejak lama
Kepribadian Muhammadiyah merupakan
penegasan diri bahwa Muhammadiyah bukan berdakwah
melalui partai politik, bukan pula dengan jalan
ketatanegaraan, melainkan dengan pembentukan
masyarakat, tanpa memperdulikan bagaimana struktur
politik yang menguasainya sejak zaman Belanda, Jepang
sampai kemerdekaan sekarang ini.

B. Sejarah Perumusan
Perumusan Kepribadian Muhammadiyah berawal dari
pidato yang disampaikan oleh KH. Faqih Usman pada
acara Kursus Kepemimpinan Muhammadiyah pada bulan
Ramadhan 1381 H, yang diikuti oleh seluruh utusan
Pimpinan Daerah Muhammadiyah seluruh Indonesia yang
berjudul: “Apakah Muhammadiyah itu?”. Dari sinilah
muncul kesadaran akan pentingnya sebuah pedoman
perjuangan bagi Muhammadiyah dan akhirnya dibentuklah
tim perumus yang terdiri dari: KH. Faqih Usman, KH.

166 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Farid Ma‘ruf, Djarnawi Hadikusumo, M. Djindar Tamimy,
Dr. HAMKA, KH. Wardan dan M. Saleh Ibrahim.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya hasil
kerja tim perumus tersebut disampaikan pada siding pleno
PP muhammadiyah menjelang siding Tanwir tanggal 25 –
28 Agustus 1962 dan dilanjutkan pembahasannya pada
Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta. Dalam
Muktamar itu rancangan tim perumus tersebut dapat
diterima dengan beberapa catatan penyempurnaan. Dan
setelah disempurnakan, akhirnya dalam siding pleno PP
Muhammadiyah tanggal 29 April 1963 rancangan tersebut
disahkan dengan nama ―Kepribadian Muhammadiyah‖.
Alasan disusunnya Kepribadian Muhammadiyah
sebagai berikut:
a. Munculnya zaman demokrasi terpimpin (zaman
nasakom/ pemerintah nasakom) tgl 5 juli 1959
(Dekrit Presiden Soekarno)-Supersemar 1966.
b. Partai Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia)
menolak sistem demokrasi terpimpin dan menolak
masuk kabinet karena bersanding dengan PKI.
PKI mengadu domba agar kedua partai
dibubarkan, karena beberapa tokohnya terlibat
PRRI Sumatera Barat.
c. Tanggal 17 agustus 1960, Soekarno membubarkan
Masyumi dengan Keppres No. 200 tahun 1960. Tgl
13 September 1960 Masyumi membubarkan diri.
Sementara PSI dibubarkan dan dinyatakan partai

Kepribadian Muhammadiyahan ~ 167


terlarang, karena tidak membubarkan diri sampai
batas waktu yang ditentukan yaitu selama 30 hari.
d. Sebelum Masyumi bubar, banyak tokoh
Muhammadiyah aktif dalam partai tersebut, seperti
KH. Fakih Usman sebagai wakil ketua DPP
Masyumi. Karena Masyumi telah bubar, PKI
melakukan provokasi dan fitnah agar seluruh
ormas Islam dilarang, termasuk Muhammadiyah,
karena identik dengan Masyumi.
e. Tahun 1961, Pimpinan Pusat Muhammadiyah
menyelenggarakan kursus kepemimpinan di
Yogyakarta yang dihadiri oleh seluruh pimpinan
Muhammadiyah seluruh Indonesia. Salah satu
materinya adalah tentang kepemimpinan yang
disampaikan oleh KH. Fakih Usman dengan judul
―apakah Muhammadiyah itu‖, yang menguraikan
tentang jati diri Muhammadiyah.
f. Adanya spirit untuk menegakkan ajaran Islam
melalui jalur dakwah, tidak berpolitik praktis.
Fungsi Kepribadian Muhammadiyah adalah sebagai
landasan, pedoman dan pegangan bagi gerak
Muhammadiyah menuju cita-cita terwujudnya masyarakat
utama, adil makmur yang diridhai Allah swt.

C. Rumusan Matan Kepribadian Muhammadiyah


Kepribadian Muhammadiyah memuat 4 hal pokok
yang satu dengan yang lainya saling berkaitan, yaitu :
1. Apakah Muhammadiyah itu?

168 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


2. Apa dasar amal Usaha muhammadiyah
3. Apa Pedoman amal usaha dan perjuangan
Muhammadiyah
4. Sifat dakwah Muhammadiyah.
Isi dari masing-masing keempat hal tersebut akan
diuraikan sebagai berikut:

1. Apakah Muhammadiyah itu?


Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan
gerakan Islam, dakwah amar ma‘ruf nahi munkar yang
bersumber pada al-Qur‘an dan al-Hadis yang dakwahnya
ditujukan pada dua bidang, yaitu perorangan dan
masyarakat. Dakwah dan amar ma‘ruf nahi munkar pada
bidang yang pertama (perseorangan) terbagi kepada dua
golongan, yaitu:
Pertama, kepada yang telah memeluk Islam bersifat
pembaharuan/tajdid, yakni pemurnian dengan
mengembalikan pada ajaran-ajaran Islam yang asli.
Kedua, kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan
ajakan untuk memeluk agama Islam dengan memberikan
contoh tauladan yang baik. Dakwah dan amar ma‘ruf nahi
munkar pada bidang kedua (masyarakat) bersifat
perbaikan dan bimbingan serta peringatan. Kedua-duanya
dilaksanakan dengan jalan musyawarah atas dasar iman
dan taqwa serta mengharapkan ridho Allah semata.

2. Dasar Amal Usaha Muhammadiyah.


Dalam perjuangan melaksanakan tujuannya menuju
terwujudnya masyarakat utama adil dan makmur yang

Kepribadian Muhammadiyahan ~ 169


diridhoi Allah swt, Muhammadiyah mendasari gerak dan
amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, yaitu :
a. Hidup manusia berdasarkan tauhid, ibadah dan taat
kepada Allah.
b. Hidup manusia bermasyarakat.
c. Mematuhi ajaran agama Islam dengan keyakinan
bahwa ajaran agama Islam itu satu-satunya landasan
kepribadian dan ketertiban bersama untuk
kebahagiaan hidup dunia akhirat.
d. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
ditengah-tengah masyarakat adalah kewajiban
sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada
sesama manusia.
e. Ittiba‟ kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad
saw.
f. Melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan
ketertiban organisasi.

3. Pedoman Perjuangan dan Amal Usaha


Muhammadiyah
Berdasarkan prinsip tersebut diatas, maka apapun yang
diusahakan dan bagaimanapun cara perjuangan
Muhammadiyah harus berpedoman: ―Berpegang teguh
pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, bergerak membangun
disegala bidang dan lapangan dengan menggunakan cara
serta menempuh jalan yang diridhoi Allah swt‖.

170 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


4. Sifat Muhammadiyah.
Memperhatikan uraian tentang: (a) Apakah Muham-
madiyah itu? (b) Dasar Amal Usaha Muhammadiyah dan
(c) Pedoman Amal Usaha dan Perjuangan Muhammadi-
yah, wajib memiliki dan memelihara sifat-sifat berikut:
1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan
kesejahteraan
2. Memperbanyak kawan dan memelihara ukhuwah
Islamiyah
3. Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang
teguh ajaran Islam
4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan
5. Mengindahkan segala hukum, Undang-Undang,
Peraturan serta dasar dan falsafah negara yang sah
6. Amar ma‘ruf nahi munkar dalam segala lapangan
serta menjadi contoh tauladan yang baik
7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan
maksud islah dan pembangunan sesuai dengan
ajaran Islam
8. Kerjasama dengan golongan Islam manapun dalam
usaha mensyi‘arkan dan mengamalkan ajaran
agama Islam serta membela kepentingannya
9. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan
golongan lain dalam memelihara dan membangun
negara untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur yang diridhoi oleh Allah swt.
10. Bersifat adil serta korektif kedalam dan keluar
organisasi dengan bijaksana.

Kepribadian Muhammadiyahan ~ 171


BAB VI
MUQADDIMAH ANGGARAN DASAR
MUHAMMADIYAH

A. Hakikat Muqaddimah Anggaran Dasar


Muhammadiyah

M uqaddimah Anggaran Dasar Muhammaiyah


pada hakikatnya merupakan
Muhammadiyah yang memberi gambaran
tentang pandangan Muhammadiyah mengenai kehidupan
ideologi

manusia di muka bumi ini, cita-cita yang ingin diwujudkan


dan cara-cara yang dipergunakan untuk mewujudkan cita-
cita tersebut. Sebagai sebuah ideologi, Muqaddimah
Anggaran Dasar menjiwai segala gerak dan usaha
Muhammadiyah dan proses penyusunan sistem kerjasama
yang dilakukan untuk mewujudkan tujuannya.

B. Matan Muqaddimah Anggaran Dasar


Muhammadiyah
         

        

       

        

172 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Artinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam,
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari
pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah
kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (QS: Al-
Fatihah: 1-7).

‫ى ا اعْل َْإ َعَنْا ااى‬ ‫ل‬


َ ‫ َِْبإ َح ْا ا ا‬.‫ َْ نحْل نس ا اَُِ ْيناه ااح‬.‫ِ ا ااحْ َع ا ااح‬
‫َعض ا ناْ إ‬
َ‫َْ َسعْ َم نَبْح َْ َع إس ن‬
“Saya ridha: Ber-Tuhan kepada Allah, ber-Agama kepada Islam
dan ber-Nabi kepada Muhammad Rasulullah SAW”
Amma ba‘du, bahwa sesungguhnya ke-Tuhanan itu
adalah hak Allah semata-mata. Ber-Tuhan dan beribadah
serta tunduk dan taat kepada Allah adalah satu-satunya
ketentuan yang wajib atas tiap-tiap makhluk terutama
manusia.
Hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (hukum
qudrat iradat) Allah atas kehidupan manusia di dunia ini.
Masyarakat yang sejahtera, aman damai, makmur dan
bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas keadilan,
kejujuran, persaudaraan dan gotong royong, bertolong-
tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-
benarnya, lepas dari pengaruh syaitan dan hawa nafsu.
Agama Allah yang dibawa dan diajarkan oleh sekalian
Nabi yang bijaksana dan berjiwa suci, adalah satu-satunya
pokok hukum dalam masyarakat utama dan sebaik-
baiknya.

Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ~ 173


Menjunjung tinggi hukum Allah lebih dari hukum
yang manapun juga, adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap
orang yang mengaku ber-Tuhan kepada Allah.
Agama Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh
sekalian para Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad saw, dan diajarkan kepada umatnya masing-
masing untuk mendapatkan hidup bahaga di Dunia dan
Akhirat.
Syahdan, untuk menciptakan masyarakat yang bahagia
dan sentosa sebagai yang tersebut di atas itu, tiap-tiap
orang, terutama umat Islam, umat yang percaya akan Allah
dan hari kemudian, wajiblah mengikuti jejak sekalian Nabi
yang suci: beribadah kepada Allah dan berusaha segiat-
giatnya segala kekuatan dan mengunakannya untuk
masyarakat itu di dunia, dengan niat yang murni-tulus dan
ikhlas karena Allah semata-mata, dan hanya
mengharapkan karunia Allah dan ridha-Nya belaka, serta
mempunyai rasa tanggung jawab di hadirat Allah atas
segala perbuatannya, lagi pula harus sabar dan
tawakalbertabah hati menghadapi segala kesukaran atau
kesulitan yang menimpa dirinya, atau rintangan yang
menghalangi pekerjaannya, dengan penuh pengharapan
perlindungan dan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa.
Untuk melaksanakan terwujudnya masyarakat yang
demikian itu, maka berkat dan rahmat Allah didorong oleh
firman Allah dalam Al-Qur‘an dalam surat Ali-Imran:104:

174 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


        

      


Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung
(QS: Ali Imran: 104).
Pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah atau 18
Nopember 1912 Miladiyah, oleh almarhum KH. A.
Dahlan didirikan suatu persyarikatan sebagai ―gerakan
Islam‖ dengan nama ―Muhammadiyah‖ yang disusun
dengan majelis-majelis (bahagian-bahagian)-nya, mengikuti
peredaran zaman serta berdasarkan ―syura‖ yang dipimpin
oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau
Muktamar.
Kesemuanya itu perlu untuk menunaikan kewajiban
mengamalkan perintah-perintah Allah dan mengikuti
sunnah Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw, guna mendapat
karunia dan ridha-Nya di dunia dan akhirat, dan untuk
mencapai masyarakat yang sentausa dan bahagia, disertai
nikmat dan rahmat Allah yang melimpah-limpah, sehingga
merupakan:
‫َاعانا َ ٌِ طَاْ اابَاٌ ََْع َغا إما ا ناٌَع‬
“Suatu negara yang indah, bersih suci dan makmur di bawah
perlindungan Tuhan yang Maha Pengampun”
Maka dengan Muhammadiyah ini, mudah-mudahan
ummat Islam dapatlah diantarkan ke pintu gerbang syurga

Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ~ 175


Jannatun Na‘im dengan keridhaan Allah Yang Maha
Rahman dan Rahim.

C. Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar


Muhammadiyah

1. Landasan Dasar Muhammadiyah Didirikan


Muhammadiyah adalah suatu organisasi, merupakan
alat perjuangan untuk mencapai suatu cita.
Muhammadiyah didirikan di atas (berlandaskan) dan untuk
mewujudkan pokok pikiran yang merupakan prinsip-
prinsio/pendirian-pendirian bagi kehidupan dan
perjuangan. Pokok-pokok/prinsip/pendirian yang
dimaksud itu adalah hak dan nilai hidup Muhammadiyah
secara ideologis.
Pokok pikian/prinsip/pendirian yang dimaksud itu
telah diuraikan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah.

2. Proses Lahirnya Muqaddimah Anggaran Dasar


Muhammadiyah.
Muqaddimah Anggaran dasar Muhammadiyah dibuat
oleh Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah tahun 1942-1953) dengan bantuan
beberapa orang sahabatnya. Konsep Muqaddimah
Anggaran Dasar dibahas dalam Muktamar Darurat tahun
1946 di Yogyakarta. Rumusan ini diajukan dan dibahas
kembali dalam Muktamar ke 31 tahun 1950 di Yogyakarta
untuk mendapat pengesahan dari forum muktamar.

176 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Namun dalam forum tersebut HAMKA juga membawa
konsep, sehingga muktamar belum dapat mengesahkan
konsep mana yang dipilih. Akhirnya muktamar
merekomendasikan untuk dibawa dalam sidang Tanwir
tahun 1951. Dalam Tanwir konsep dari Ki Bagus
Hadikusumo yang dapat diterima dengan catatan
penyempurnaan redaksional, sehingga dibentuklah tim
penyempurna yang terdiri dari HAMKA, Mr. Kasman
Singodimedjo, KH. Farid Ma'ruf dan Zein Djambek.
Latar Belakang disusunnya Muqaddimah Angaran
Dasar oleh Ki Bagus Hadikusumo dan kawan-kawannya
tersebut adalah karena adanya kekaburan dalam
Muhammadiyah sebagai akibat proses kehdupannya
sesudah lebih dari 30 tahun yang ditandai oleh:
a. Belum adanya rumusan formal tentang dasar dan
cita-cita perjuangan Muhammadiyah;
b. Adanya kecenderungan kehidupan rohani keluarga
Muhammadiyah yang menampakkan gejala
menurun sebagai akibat terlalu berat mengejar
kehidupan duniawi;
c. Semakin kuatnya berbagai pengaruh alam pikiran
dari luar, yang langsung atau tidak langsung
berhadapan dengan faham dan keyakinan hidup
Muhammadiyah; dan
d. Dorongan disusunnya Pembukaan Undang-
Undang Dasar RI tahun 1945.
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
merupakan ungkapan Ki Bagus menyoroti kembali pokok-

Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ~ 177


pokok pikiran almarhum KH. Ahmad Dahlan yang
merupakan kesadaran beliau dalam perjuangan selama
hidupnya, yang antara lain hasilnya adalah berdirinya
Persyarikatan Muhamammadiyah.
Ki Bagus berharap mudah-mudahan dengan
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ini
dapatlah kiranya Muhammadiyah dijaga, dipelihara, dan
atau ditajdidkan, agar selalu dapat dengan jelas dan
gamblang diketahui apa dan bagaimana Muhammadiyah
itu.

3. Kandungan Muqaddimah Anggaran Dasar


Muhammadiyah
Dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
terdiri 7 (tujuh) pokok pikiran yakni:
Pokok Pikiran Pertama: ―Hidup manusia harus
berdasarkan Tauhid (meng-esa-kan) Allah: ber-Tuhan,
beribadah serta tunduk dan taat kepada Allah‖
Pokok pikiran ini mengandung beberapa prinsip yakni:
1. Ajaran tauhid adalah inti/esensi ajaran Islam yang
tetap, tidak berubah-ubah, sejak agama Islam
pertama sampai yang terakhir. Firman Allah (QS:
al-Anbiya‘:25)
2. Kepercayaan tauhid mempunyai 3 aspek:
a. Kepercayaan dan keyakinan bahwa hanya Allah-
lah yang kuasa menciptakan, memelihara,
mengatur dan menguasai alam semesta.(QS: al-
A‘raf:54)

178 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


b. Kepercayaan dan keyakinan bahwa hanya Allah-
lah Tuhan yang Haq (QS: Muhammad:19)
c. Kepercayaan dan keyakinan bahwa hanya Allah-
lah yang berhak dan wajib dihambai (disembah)
(QS: al-Isra‘:23).
3. Kepercayaan tauhid membentuk 2 (dua)
kepercayaan kesadaran:
a. Percaya akan adanya Hari Akhir, di mana
manusia akan mempertanggung jawabkan
hidupnya di dunia.
b. Sadar bahwa hidup manusia di dunia ini semata-
mata untuk amal saleh.
4. Dengan melaksanakan dasar tersebut dalam hidup
dan kehidupannya, manusia akan dapat
menemukan dirinya pada kehidupan yang
sebenarnya, sesuai dengan tujuan Allah
menciptakan manusia.
5. Dengan melaksanakan dasar tersebut dalam hidup
dan kehidupannya, manusia akan dapat
mempertahankan kemuliaan dirinya, tetap menjadi
makhluk termulia. (QS: at-Tin:4).
6. Dengan melaksanakan dasar tersebut dalam hidup
dan kehidupannya, manusia akan menjadikan
seluruh hidup dan kehidupannya semata-mata
untuk beribadah kepada Allah (beramal saleh) guna
mendapatkan keridhaannya. (QS: az-Zariyat:56)
7. Apakah ibadah itu? Ibadah ialah taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah, dengan mentaati

Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ~ 179


perintahnya, menjauhi larangannya dan
mengamalkan yang diizinkannya. Ibadah terbagi
kepada dua : umum dan khusus
8. Manusia hidup memiliki kesanggupan untuk
mengemban amanah Allah. Amanah Allah yang
menjadi tanggungan dan kewajiban manusia ialah
menjadi khalifah (pengganti) Allah di bumi, yang
tugasnya membuat kemakmuran di bumi, dengan
memelihara dan menjaga ketertibannya.
9. Amal ibadah yang wajib ditunaikan itu tidak saja
yang bersifat khusus seperti shalat, puasa tetapi
juga sifatnya berbuat ishlah dan ihsan kepada
manusia dan masyarakat dengan berjuang untuk
kebahagiaan dan kesejahteraan manusia dan
masyarakat.
10. Bagi dan dalam Muhammadiyah, amal ibadah yang
bersifat kemasyarakatan ialah berjuang untuk
kebaikan, kebahagiaan dan kesejahteraan
manusia/masyarakat inilah yang dilaksanakan
sebagai kelengkapan amal ibadah pribadi yang
langsung kepada Allah.
11. Paham dan pandangan hidup yang berasaskan
ajaran Islam yang murni yang pokoknya adalah
ajaran tauhid, tidak bisa lain daripada membentuk
tujuan hidupnya di dunia untuk mewujudkan
masyarakat yang baik, yang dalam Muhammadiyah
tujuan tsb dirumuskan: Mewujudkan masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya.

180 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Pokok Pikiran Kedua, ―Hidup manusia itu
bermasyarakat‖. Pokok pikiran ini mengandung tiga hal:
1. Bagi Muhammadiyah yang bermaksud
memakmurkan dunia memandang manusia dengan
kehidupannya adalah merupakan obyek pokok
dalam hidup pengabdiannya kepada Allah Tuhan
Yang Maha Esa.
2. Manusia adalah makhluk Allah yang berpribadi.
Dengan mempelajari sifat dan susunan hidp
manusia dim muka bumi, nyatalah bahwa manusia
itu bagaimanapun sempurna pribadinya tidaklah
dapat hidup sendiri.
3. Hidup bermasyarakat adalah satu ketentuan dan
adalah untuk memberi nilai yang sebenar-benarnya
bagi kehidupan manusia. Maka Pribadi dan
ketertiban hidup bersama adalah unsur pokok
dalam membentuk dan mewujudkan masyarakat
yang baik, bahagia dan sejahtera.
Pokok Pikiran Ketiga, ―hanya hukum Allah yang
sebenar-benarnyalah satu-satunya yang dapat dijadikan
sendi untuk membentuk pribadi yang utama dan mengatur
ketertiban hidup bersama (masyarakat) dalam menuju
hidup bahagia dan sejahtera yang hakiki, di dunia dan
akhirat‖.
Pokok pikiran ini mengandung pengertian:
1. Pendirian tersebut lahir dan kemudian menjadi
keyakinan yang kokoh kuat adalah hasil setelah

Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ~ 181


mengkaji, mempelajari dan memahami ajaran Islam
dalam arti dan sifat yang sebenarnya.
2. Agama Islam adalah mengandung ajaran-ajaran
yang sempurna dan penuh kebenaran, merupakan
petunjuk dan rahmat Allah kepada manusia untuk
mendapatkan kebahagiaan hidup yang hakiki, di
dunia dan akhirat.
3. Apakah agama itu? Agama adalah apa yang telah
disyari‘atkan Allah dengan perantaraan Nabi-Nabi
berupa perintah-perintah dan larangan serta
petunjuk-petunjuk untuk hambanya di dunia dan
akhirat.
4. Dasar hukum/ajaran Islam adalah al-Qur‘an dan
Sunnah (hadis).
5. Muhammadiyah dalam memahami atau istinbath
hukum agama ialah kembali kepada al-Qur‘an dan
Sunnah dengan memakai cara Tarjih.
6. Ajaran Islam itu tidak hanya mengenai soal-soal
perseorangan, tetapi mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia, baik aspek kehidupan
perorangan maupun kehidupan kolektif seperti
ibadah, akhlak, pendidikan, sosial, ilmu
pengetahuan, ekonomi dan lainya.
Pokok Pikiran Keempat, ―Berjuang menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, adalah wajib,
sebagai ibadah kepada Allah berbuat ihsan dan ishlah

182 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


kepada manusia/ masyarakat‖. Pokok pikiran ini
mengandung pengertian:
1. Usaha menjunjung tinggi dan menegakkan agama
Islam untuk merealisir ajaran-ajarannya guna
mendapat keridhaan Allah adalah dinamakan
Sabilillah. Sabilillah adalah jalan (media) yang
menyampaikan kepada apa yang diridhai Allah dari
semua alam yang diizinkannya, untuk memuliakan
agama-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.
2. Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya (jihad fi sabilillah) adalah
menjadi ciri keimanan seseorang (QS: Al-Hujurat:
15).
3. Pendirian tersebut merupakan kerangka dan sifat
perjuangan Muhammadiyah secara keseluruhan.
Tidak boleh ada satu kegiatan pun dalam
Muhammadiyah yang keluar/menyimpang dari
kerangka dan sifat tersebut.
4. Perjuangan demikian itu dicetuskan oleh 2 faktor:
a. Faktor Subyektif (yakni kesadaran akan
kewajiban kepada Allah, berbuat ihsan dan
ishlah kepada manusia/masyarakat; dan paham
akan ajaran-ajaran Islam yang sebenar-benarnya
dengan keyakinan akan keutamaan dan tepatnya
untuk sendi dan mengatur hidup dan
kehidupan manusia/masyarakat).

Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ~ 183


b. Faktor Obyektif. Rusaknya masyarakat Islam
khususnya dan masyarakat umumnya sebab
meninggalkan atau menyeleweng dari ajaran-
ajaran Islam baik karena tidak mengetahui,
salah atau kurang memahami ajaran Islam yang
benar, ataupun karena adanya usaha dari luar
yang berusaha mengalahkan Islam, dengan
ajaran lain.
5. Ajaran Islam menurut paham Muhammadiyah
adalah mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia.
6. Orang yang diperkenankan oleh Tuhan dapat
menunaikan amanahnya sebagai khalifah-Nya di
bumi, ialah orang-orang yang beriman dan
kebenaran ajaran agama-Nya serta mereka mampu
untuk mengamalkan/merealisirnya.
7. Muhammadiayh dibuktikan dari sejarahnya adalah
merupakan gerakan agama Islam yang mempunyai
kesadaran dan rasa tanggungjawab penuh terhadap
negara, bangsa dan kenasionalan Indonesia.
Pokok Pikiran Kelima, ―perjuangan menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehinga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, hanyalah akan
dapat berhasil dengan mengikuti jejak (ittiba‟) perjuangan
para Nabi terutama perjuangan Nabi Muhamamd saw‖.
Pokok pikiran ini mengandung pengertian:
1. Kehidupan para Nabi terutama kehidupan
Rasulullah Muhammad saw merupakan kehidupan

184 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


pejuang dalam menegakkan cita-cita agama, yang
seharusnya menjadi contoh yang ideal bagi pejuang
Islam (QS: Al-Ahzab: 21).
2. Tiap-tiap pejuang untuk menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam haruslah
mempelajari sejarah perjuangan para Nabi terutama
perjuangan Muhammad saw, sehingga dapat
mengetahui rahasia-rahasia yang menjadi faktor
kemenangannya dan kemudian mencontoh dan
mengikutinya.
3. Sifat pokok perjuangan para Nabi dan terutama
perjuangan Rasulullah saw yang wajib kita ikuti
ialah selain merupakan Ibadah kepada Allah, adalah
dilakukan dengan Jihad (dengan sungguh-sungguh
menggunakan segala kekuatan dan kemampuannya
serta pengorbanan secukupnya), ikhlas (semata-
mata mengharap keridhaan Allah) penuh rasa
tanggung jawab, penuh kesabaran dan tawakal.
4. Dan karena itu pulalah kiranya Persyarikatan kita
yang oleh pendirinya KH. Ahmad Dahlan diberi
nama ―MUHAMMADIYAH‖ untuk bertafaul
(pengharapan baik) dapat mencontoh perjuangan
Muhammad Rasulullah saw.
Pokok Pikiran Keenam, “perjuangan mewujudkan pokok
pikiran tersebut hanyalah akan dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya dan berhasil, bila dengan cara
berorganisasi. Organisasi adalah satu-satunya alat atau cara

Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ~ 185


perjuangan yang sebaik-baiknya‖. Pokok pikiran ini
mengandung pengertian:
1. Organisasi/Persyarikatan adalah ikatan secara
permanen antara dua orang atau lebih karena
mempunyai tujuan yang sama dan masing-masing
bersedia bekerja sama dalam melaksanakan usaha-
usaha guna mencapai tujuan tersebut dengan
peraturan dan pembagian pekerjaan yang teratur
dan tertib.
2. Organisasi adalah alat perjuangan.
3. Hukum berorganisasi untuk melaksanakan
kewajiban (perintah agama) berdasarkan kaidah
umum, wajib.

ٌ ‫َلح َ يَت ُّم َن َََج إ َّْ ى ـَا إه ََ ََْج‬


4. Berdasarkan ayat 104 surat Ali Imran tersebut,
nyatalah bahwa Muhammadiyah adalah satu
organisasi yang yang bersifat sebagai gerakan, ialah
yang mempunyai ciri-ciri tertentu, antara lain:
a. Muhammadiyah adalah sebagai
subjek/pemimpin, dan masyarakat adalah
objek/yang dipimpin.
b. Dinamis, progresif, serta militant.
c. Revolusioner.
d. Mempunyai pimpinan yang kuat, cakap, tegas
dan berwibawa.
e. Mempunyai susunan kepemimpinan yang
lengkap dan tepat/up to date.

186 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


5. Sesuai dengan prinsip ajaran Islam,
Muhammadiyah menjadikan ―Syura‖ dan
―Musyawarah‖ sebagai dasar dalam mengambil
keputusan dan menentukan tindakan (demokratis)
(QS: As-Syura: 38 dan Ali Imran: 159).
6. Berdasarkan ayat 104 Surat Ali Imran pula, jelaslah
bahwa tugas pokok Muhammadiyah adalah dakwah
Islam, amar makruf dan nahi munkar.
7. Teori perjuangan Muhammadiyah. Untuk
mencapai maksud dan tujuan perjuangan
Muhammadiyah, segala saluran/media yang akan
langsung mempengaruhi bentuk dan sifat
kehidupan masyarakat haruslah dipergunakan,
yaitu:
a. Bidang politik kenegaraan, untuk memegang
pemerintahan guna membuat undang-undang,
peraturan-peraturan yang berdasarkan ajaran
Islam, melaksanakan dan mengawasi
pelaksanaannya.
b. Bidang masyarakat, untuk menggarap
masyarakat secara langsung berdasarkan ajaran
Islam. Kedua bidang ini harus diisi.
8. Menurut Muhammadiyah sejak dahulu untuk
melaksanakan perjuangan ideologinya, membagi
perjuangan umat Islam menjadi dua front, yaitu
satu front untuk mengahadapi perjuangan politik
kenegaraan dan satu front untuk untuk
menghadapai perjuangan dalam bidang masyarakat.

Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ~ 187


Masing-masing dengan alatnya sendiri-sendiri dan
berjalan sendiri-sendiri dengan caranya sendiri-
sendiri, tetapi tetap dengan saling pengertian dan
dalam tujuan yang sama.
9. Menentukan teori, strategi dan taktik perjuangan
bukanlah sesuatu yang diatur/ditentukan secara
mutlak oleh agama.
10. Dalam berjuang menghadapi masyarakat,
Muhammadiyah membagi manusia/masyarakat
menjadi dua bagian, yaitu:
a. Ummat dakwah (yang belum mau menerima
ajaran Islam). Kewajiban Muhammadiyah
adalah berusaha agar mereka mau menerima
kebenaran Islam, setidaknya mau mengerti dan
tidak memusuhinya.
b. Ummat ijabah (yang telah menerima Islam).
Kewajiban Muhammadiyah adalah menjaga dan
memelihara agama mereka serta berusaha
memurnikan dan menyempurnakan dalam ilmu
dan amalnya.
11. Muhammadiyah dengan maasalah politik.
Muhammadiyah tidak terlibat dalam politik praktis,
tidak memasuki lembaga-lembaga politik.
12. Muhammadiyah sudah sifatnya selalu
mengindahkan segala hukum, undang-undang,
peraturan-peraturan serta dasar dan falsafah negara
yang sah.

188 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


13. Tugas melakanakan dakwah Islam dan amar ma‘ruf
nahi munkar adalah kewajiban tiap-tiap anggota
Muhammadiyah (pria dan wanita) dan
Muhammadiyah secara keseluruhan.
14. Untuk mengatur agar kehidupan dan jalan
oraganisasi Muhammadiyah dapat tepat, sesuai dan
selalu pada prinsip-prinsinya; Benar, sesuai dengan
teori perjuangannya dan lurus menuju maksud dan
tujuannya; Tertib, sesuai dan tidak simpang siur;
Lancar, maju terus untuk cepat sampai kepada
tujuannya; maka perlu diadakan peraturan-
peraturan yang berupa Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga, Qoidah-qoidah dan peraturan-
peraturan lain yang diperlukan.
Pokok Pikiran Ketujuh, ―seluruh perjuangan diarahkan
untuk tercapainya tujuan hidup, yakni terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya atau termologi al-Qur‘an
dirumuskan dengan kalimat Baldatun Tayyibatun wa Rabbun
Ghafur (QS: As-Saba‘: 15) selain merupakan kebahagian
dan kesejahteraan dunia bagi seluruh ummat manusia, ia
juga akan menjadi jenjang bagi ummat Islam untuk
memasuki pintu surga jannatun naiem‖. Pokok pikiran ini
mengandung pengertian:
1. Yang menejadi tujuan dan cita-cita perjuangan
Persyarikatan Muhammadiyah secara mutlak adalah
terwujudnya suatu masyarakat dimana

Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ~ 189


kesejahteraan, kebahagiaan dan keutamaan luas
merata.
2. Masyarakat yang demikian inilah yang diformulir
dengan singkat Masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya.
3. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu adalah
merupakan rahmat Allah bagi seluruh alam, yang
akan menjamin sepenuh-penuhnya: keadilan,
persamaan, keamanan, keselamatan dan kebebasan
bagi semua anggotanya.
4. Masayarakt Islam yang sebenar-benarnya itu selain
merupakan kebahagiaan di dunia bagi seluruh
manusia, akan juga menjadi tangga bagi umat Islam
memasuki pintu gerbang surge jannatun naiem
untuk mendapatkan keridlaan Allah Yang Abadi.
Insyaallah.

190 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


BAB VII
MASAIL KHAMSAH

A. Arti dan Kedudukan


Masail Khamsah artinya masalah-masalah lima. Masail
Khamsah merupakan konsep dasar mengenai paham
agama dalam Muhammadiyah. Karena terkait dengan
konsep dasar, masail Khamsah sering disebut juga mabadi‟
Khamsah. Rumusan resmi tentang Masalah Lima tertuang
dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT)
Muhammadiyah dengan judul Kitab Masalah Lima (Kitab
Al-Masa‟il Al-Khamsah) (PP Muhammadiyah Majelis
Tarjih, Tt: 275-278).
Masail Khamsah merupakan ideologi Muhammadiyah
dalam bidang keagamaan. Secara historis, Masail Khamsah
diputuskan dalam Mu‘tamar Khususi Tarjih
Muhammadiyah † di Yogyakarta yang diselenggarakan di
Gedung Mu‘allimat Muhammadiyah pada tanggal 29
Desember 1954 - 3 Januari 1955 (PP Muhammadiyah
Majelis Tarjih, Tt: 373).

† Mukmar Khususi artinya muktamar Khususyang diselenggarakan


sewaktu-waktu untuk membahas masalah-masalah KH.usus. Hal ini
berbeda dengan Muktamar biasa yang diadakan sekali dalam 5 tahun un-
tuk memilih pimpinan pusat Muhammadiyah, membahas Anggaran Da-
sar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah atau
lainnnya.

Masail Khamsah ~ 191


Hasil Muktamar Khususi ini baru ditanfidz pada tahun
1964 (Asjmuni Abdurrahman, 2007: 11), setelah
disempurnakan dan direvisi seperlunya. Sebelum
diputuskan menjadi ideology kegamaan Muhammadiyah,s
ejak tahun 1935, Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat)
Muhammadiyah telah mengirim surat resmi kepada para
ulama Muhammadiyah di seluruh wilayah Muhammadiyah
di Indonesia agar menelaah konsep Masail Khamsah
dengan mengacu kepada al-Qur‘an, hadis dan akal pikiran
yang bersih. Setelah kurang lebih 19 tahun, Muktamar
Khususi untuk membahas dan merumuskan Masalah Lima
tersebut baru dapat diselenggarakan pada pada tanggal 29
Desember 1954 - 3 Januari 1955. Lamanya waktu untuk
membahas Masail Khamsah disebabkan karena kondisi
negara kita yang sedang fokus menghadapi penjajahan
Jepang dan perang kemerdekaan (Asjmuni Abdurrahman,
2007: 11 dan 23).
Jika dibaca secara cermat surat Hoofdbestuur (Pimpinan
Pusat) Muhammadiyah yang dikirim kepada para ulama
Muhammadiyah di seluruh wilayah Muhammadiyah di
Indonesia tentang Masail Khamsah yang dimuat oleh
Suara Muhammadiyah No. 1 Shafar tahun 1357 (April
1938) mengindikasikan bahwa saat itu Muhammadiyah
belum dapat meletakkan dan menghubungkan serta
merasionalisasikan tentang lima masalah, yaitu agama,
dunia, ibadah, sabilulllah dan ijtihad. Banyak pihak yang
mengingatkan Muhammadiyah agar tidak menambah
agama, karena agama sudah sempurna (QS: Al-Maidah: 3),

192 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


tetapi banyak juga pihak yang mendorong Muhammadiyah
agar mengembangkan ―amal dunia‖, karena ada anjuran
Nabi saw agar ―mengusahakan amal‖, namun tidak boleh
dianjurkan sebab bukan ibadah (Al-Bayyinah: 5) (Asjmuni
Abdurrahman, 2007: 52-55). Untuk menjawab persoalan
inilah Muhammadiyah merasa terpanggil untuk
merumuskan Masalah Lima.
Rumusan otentik tentang pemikiran agama dalam
Muhammadiyah sesunggguhnya tidak hanya dalam Kitab
Masalah Lima saja, tetapi juga dalam sumber-sumber lain
yang diputuskan secara formal oleh Muhammadiyah.
Adapun pemikiran-pemikiran formal dalam
Muhammadiyah yang berkaitan dengan paham agama
Islam, antara lain dapat dirujuk pada berbagai keputusan
Majelis Tarjih, lebih Khusus lagi hasil Muktamar atau
Munas Tarjih. Pemikiran-pemikiran yang telah baku
seperti ‖Dua Belas Langkah Muhammadiyah‖ dari KH.
Mas Mansur, Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah hasil
Tanwir tahun 1951 di Yogykarata, Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo
tahun 1969, Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah (PHIM) hasil Muktamar ke-44 tahun
2000 di Jakarta, dan hasil-hasil Munas Tarjih
Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalah-masalah
paham agama dalam Muhammadiyah. Prinsip-prinsip
metodologis pemahaman agama dalam Muhammadiyah
tersistematisasi dalam Manhaj Tarjih melalui ijtihad jama‟i

Masail Khamsah ~ 193


(ijtihad kolektif), bukan pemahaman orang-perorang
(ijtihad fardli).

B. Isi Masa‟il Khamsah


Masa‘il Khamsah berisi tentang [1] agama, [2] dunia,
[3] ibadah, [4] sabilillah dan [5] qiyas. Perumusan Masa‘il
Khamsah yang tertuang dalam HPT tersebut dibuat tanpa
disertai referensi nas, baik dari Al-Qur‘an maupun Hadis,
seperti kerangka utama buku HPT yang ada (Abdul Munir
MulKH.an, 1997: 79). Meskipun demikian, penulis
mencoba melacak sumber-sumber yang dijadikan acuan
oleh para ulama Muhammadiyah dalam merumuskan
Masa‘il Khamsah.

1. Agama
Masalah pertama yang dibahas dalam Masail Khamsah
adalah masalah agama. Menurut Muhammadiyah, agama
adalah agama Islam yang dibawa oleh para Nabi dan Nabi
Muhammad yang bersumber dari Al-Qur‘an dan As-
Sunnah yang otentik berupa perintah dan larangan serta
petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia. Adapun
rumusan lengkap tentang masalah agama dalam
Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
‫ىاعْل َْإ َعَنْاى‬ َ ٌ ‫َى َ ين إم نَْل نساَُلل َْاىى َجاحبَ اى إََّ ْاا‬ ‫َ ين إم ( م ن‬
‫ِاحنْ َحاإ‬ ْ َ ‫ال اى َ ُّساهْاإ‬ ‫َْ َسعْ َم إي ََ َلح مَناَزَىإ َْإ ِف َن إق نآ م نَْ َلح َجاحبَ ن‬
‫إَاَ إَي نم‬
‫احي نم َْم ن‬
‫ِاَُِ َن بَاحْ إْناَْ إ‬ َ ‫ل َم نَا َََْل ََْ ها َََْيل َْ نَْل نع َش َحَْال‬

194 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


‫ َ ا ا ين إم إيا ا َاَ َر َاا ااح َش ا اَ َىإ َْإ َعَا اال َسا ااح مَنبَْح ا ااى لا ا َام َنا َََْل ا ا‬-2
‫إََ إَي نم‬‫حي نم َْم ن‬
‫َُِِ َن بَحْ إْناَْ إ‬
َ ‫ََْ ها َََْيل َْ نَْل نع َش َحَْال‬
Artinya: Agama yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw, ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Al-
Qur‟an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk
kebaikan manusia di dunia dan akhirat. 2. Agama adalah apa
yang disyari‟atkan Allah dengan perantaraan Nabi-nabinya,
berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-
petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan akhirat. (PP
Muhammadiyah Majelis Tarjih, Tt: 276).
Dengan definisi ini, Muhammadiyah membuat dua
definisi tentang agama, yaitu definisi khususdan definisi
umum. Dengan definisi khusus, agama didefinisikan
sebagai ajaran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw sebagai Nabi terakhir yang bersumber dari Al-Qur‘an
dan hadis. Hal ini berarti Muhammadiyah memiliki
keyakinan bahwa tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad
saw. Sedangkan dengan definisi umum, agama
didefinisikan sebagai ajaran yang dibawa oleh semua Nabi
sebelum Nabi Muhammad. Bagi Muhammadiyah, semua
agama tersebut disebut agama Islam yang berisi perintah,
larangan dan petunjuk (irsyadat), yang bertujuan untuk
memberi kebahagiaan bagi umat manusia di dunia dan di
akhirat.
Titik tolak utama Muhammadiyah dalam membuat
definisi agama adalah sumber agama Islam, yaitu Al-
Qur‘an dan hadis. Menurut Muhammadiyah, agama bukan
bersumber dari adat istiadat. Pada waktu dirumuskan,

Masail Khamsah ~ 195


definisi ini memang ingin merespons praktek-praktek
kegamaan yang sering bercampur dengan adat istiadat,
sehingga menimbulkan praktek TBC (Takhayyul, Bid‘ah
dan Khurafat) di tengah masyarakat waktu itu (Asymuni
Abdurrahman, 2007: 30). Selanjutnya sebutan agama Islam
merupakan manisfestasi keyakinan Muhammadiyah bahwa
agama yang diakui oleh Allah adalah agama Islam (QS. Ali
Imran: 19). Orang yang mencari alternatif agama selain
Islam akan ditolak dan termasuk orang yang merugi di
akhirat kelak (QS: Ali Imran: 85).
Muhammadiyah memandang dan meyakini bahwa
ajaran Islam merupakan satu mata rantai sejak Nabi Adam
hingga Nabi Muhammad, yang keseluruhannya
berdasarkan Wahyu Allah dan dibawa oleh para Nabi serta
Rasul Allah. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam
adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-
Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan
seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad saw,
sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia
sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup
materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi. Pandangan
Muhammadiyah ini didasarkan pada Al-Qur‘an yang
bercerita bahwa agama yang disyariatkan Allah kepada
umat nabi Muhammad hakikatnya sama dengan yang
diwasiatkan kepada Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa
(QS: As-Syura: 12); Nabi Nuh diperintahkan menjadi
orang Muslim (QS: Yunus: 71-72) dan lainnya.

196 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Mengenai konsep ‖irsyadat‖, KH. Ahmad Azhar
Basyir memberi keterangan sebagai berikut: ‖Tentang apa
yang dimaksud dengan irsyadat dalam defenisi al-Din
tersebut, selain al-awamir dan an-nawahi, dapat dikaitkan
dengan apa yang didialogkan antara Nabi Ibrahim dan
Nabi Ismail ketika Nabi Ibrahim menerima perintah untuk
menyembelih putranya itu. Di situ terdapat terdapat
irsyadat bagaimana orang tua harus dekat dengan anak
dalam hal melaksanakan kewajiban agama yang
menyangkut pribadi anak. Juga dialog antara Nabi Musa
dengan ‖abdu min ibadina‖ sebagaimana disebutkan
dalam al-Quran, yang umumnya disebut dialog Musa
dengan Hidir, di situ ada irsyadat. Sehingga selain al-awamir
(perintah-perintah) dan an-nawahi (larangan-larangan),
dalam kisah para Nabi itu terdapat banyak sekali irsyadat.
Dalam mengungkap hukum alam dan nikmat Allah berupa
manfaat tumbuh-tumbuhan dan binatang ternak
sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, juga merupakan
irsyadat. Jadi banyak sekali dalam berbagai macam kegiatan
hidup itu terdapat irsyadat.‖ (KH. Azhar Basyir, dalam
Haedar Nashir, ed., 1992: 97).
Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah (MKCHM) disebutkan bahwa seluruh
ajaran agama yang berisi perintah, larangan dan irsyadat
tertsebut termanifetasi dalam 4 bidang pokok ajaran
agama Islam, yaitu aqidah, akhlaq, ibadah dan mu‟amalah
duniawiyyah (Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby
Darban, 2003: 311).

Masail Khamsah ~ 197


2. Dunia
Rumusan kedua dalam Masail Khamsah adalah
tentang ―dunia‖. ―Dunia‖ adalah segala sesuatu yang tidak
menjadi tugas diutusnya Nabi. Redaksi lengkap keputusan
Muhammadiyah tentang dunia ini adalah:
ِ‫ان إا اَ إَْ ِ اي نَل َ ا ُّ ناَْحِ ِف قَا نَ ااى ىااع مم ِمَن ااتإ نم مَ ن عَا إام اي إإل نَع إْناَْااح إر نم‬
‫َجع َهح نَاَنبَْحبإ‬
‫ثان‬ ‫إي ََ َنا إإل نَإع َِْت ََلن ياإنبا َ ن‬
Artinya: Yang dimaksud “urusan dunia” dalam sabda Rasulullah
saw: “Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara
yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-
perkara / pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan
sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia (PP Muhammadiyah
Majelis Tarjih, Tt: 276).
Redaksi ini sesungguhnya bersumber dari hadis Nabi
saw yang berbunyi:
ْ‫ىعْل َ عْىإ َعَنْى َْ َساعْ َم َلا‬ ‫ِ َ نم مَنَ ل‬ ‫م ح َهاَ ْ م ثَح ل‬
َ ‫ِْب‬ْ ‫س مَ ْ َ ه‬ ‫َن َ ََن‬
‫ِعإ َح قَ َحْ ـَ َخَ َج شِْح ـَ َااْ ه نام‬ ‫ل‬
َ َ ََ‫َق نَِ ياإعَق إحَ َ ـَا َق َحْ َ نَ ََلن فَا نم َعإ‬
‫ِ َر َىَ ََْر َىَ قَ َحْ مَناتإ نم مَ ن عَ إم ي نَل إْ ناَْح إر نم‬َ ‫ـَا َق َحْ َلح هَ نخع إك نم قَحإََ قإا نع‬
Artinya: Dari 'Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi
saw pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon
kurma, lalu beliau bersabda: Sekiranya mereka tidak
melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik. Tapi setelah itu,
ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga
suatu saat Nabi saw melewati mereka lagi dan melihat hal itu
beliau bertanya: Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka
menjawab: Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu?
Beliau lalu bersabda: Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.
(HR. Muslim: 4308).

198 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Dalam redaksi yang lain Nabi saw bersabda:
‫َّ ن َر ااح َ َش ا ناْ ح ل ا نام م نَلا ا إْ ناَْ ااح إر نم ـَ َها ايننإ إك نم ااى ََّْ ن َر ااح َ ل ا نام م إإل ااَع‬
‫ل‬
َْ ‫ْيه إك نم ـَإ‬
Artinya: Jika sesuatu menyangkut urusan dunia, maka itu adalah
urusan kalian, dan jika menyangkut perkara-perkara agama
kalian, maka serahkan kepadaku (Ibnu Majah: 2462, Ahmad:
12086, 23773).
Dalam teori-teori usul fikih disebutkan bahwa aspek-
aspek yang bukan menjadi wilayah kenabian adalah: [1]
yang berhubungan dengan kebiasaan Nabi saw menjadi
manusia biasa, seperti cara duduk, berdiri, makan dan
lainnya; [2] yang merupakan pengalaman Nabi saw
menjadi manusia, seperti kasus strategi berperang,
pengawinan pohon kurma di atas; [3] yang Khususbagi
Nabi saw, seperti beristri lebih dari empat. Karena bukan
menjadi wilayah kenabian, maka pebuatan, perkataan dan
ketetapan Nabi saw bukan menjadi sunnahnya yang harus
diikuti oleh orang Islam. Nabi saw dalam hal ini sebagai
manusia biasa, bukan menjadi rasul (Abdul Wahhab
Khallaf, 1978: 43-44).
Dalam konteks dunia, manusia dibebaskan untuk
melakukan kretifitas dengan kemampuan akal pikiranya
selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.
Jika dicermati definisi tentang agama dan dunia dalam
pandangan Muhammadiyah, secara implisit sebenarnya
Muhammadiyah memilki persepsi bahwa masalah dunia
merupakan bagian integral dari agama. Dalam persoalan
irsyadatlah yang paling banyak berkaitan dengan urusan

Masail Khamsah ~ 199


―dunia‖. Hal ini berarti, ajaran agama secara otomatis
mengatur kehidupan dunia. Sehingga sangat naif jika
Muhammadiyah diasumsikan menganut paham
sekularisme (Asjmuni Abdurrahman, 2007: 23).
Bagi Muhammadiyah, masalah agama dan keduniaan
tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi mata
uang. Meskipun Muhammadiyah membedakan agama dan
dunia, seperti dalam pembahasan ini, hal tersebut
dimaksudkan hanya untuk mempermudah membedakan
secara determinatif antara wilayah agama dengan wilayah
dunia dalam konteks ijtihad. Wilayah agama merupakan
otoritas Tuhan, dimana peran akal terbatas di dalamnya.
Sedangkan wilayah dunia, manusia dengan potensi akalnya
dapat melakukan inovasi kreatif secara bebas dengan
melakukan ijtihad (Asymuni Abdurrahman, 2007: 56).
Deskripsi agama dan dunia dalam pandangan
Muhammadiyah ini kemudian dikaitkan dengan penjelasan
tentang konsep ibadah. Penjelasan ini penting dalam
konteks ijtihad, karena akan memunculkan pertanyaan
apakah ibadah menjadi bagian masalah agama atau dunia?
Jika ibadah menjadi bagian masalah agama, mungkin
persoalannya sederhana: semua ketentuan ibadah akan
diserahkan kepada al-Qur‘an dan Sunnah. Tetapi jika
ibadah menjadi bagian dari masalah dunia, sampai dimana
akal boleh terlibat lalu melakukan ijtihad? Apa boleh
melakukan melakukan reinterpretasi tentang air bersih dan
suci misalnya, dengan hasil penelitian? (Asymuni
Abdurrahman, 2007: 25)

200 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Untuk menjawab hal tersebut, Muhammadiyah
kemudian merumuskan konsep ibadah seperti berikut:

3. Ibadah
ْ‫َجتهَاح نَا َََينْاى ََْن َ َاا‬ ‫َن بَحِْإ ي َل َ تْا َقُّ إ َّل ََل َْ نحلتثَاحْ م َََْلا و َْ ن‬
‫ىااٌ ـَحن َح ْل ااإ إرا ُّاْ َ َاا لاْ مَ َ ااى‬
ْ ‫ِباَاح مَ َ ااى َ ْهااحع إ َْيا َاة َح ْلااٌ َْ ََح‬
‫حال َْرْمْ ل‬
‫حال‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫ْْوإ َ هْحع إ ـنْا َهح ِبإنز ْحال ََْينَْ َ ن‬ َ ََ ‫ىاإ َلح‬ ْ ‫َْلَح‬‫َ هْحع إ َْ ن‬
‫ى لا‬
َ َ‫ِ ن‬
‫َمَن إ‬
Artinya: Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah, dengan jalan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diijinkan
Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang KH.usus: yang
umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Yang
Khususadalah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-
perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu (PP
Muhammadiyah, Majelis Tarjih, Tt: 276-277).
Dengan persepsi seperti ini, perlu ditegaskan kembali
bahwa menurut Muhammadiyah, agama memuat ajaran
tentang dunia dan ibadah, baik ibadah umum atau ibadah
khusus. Karena di dalam keduanya terdapat ajaran tentang
perintah dan larangan yang bertujuan untuk kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan akhirat.
Dengan demikian, dalam Muhammadiyah, masalah
yang harus dibedakan secara tegas adalah masalah dunia
dengan masalah ibadah khusus. Jika mengacu kepada
definisi ibadah, maka ibadah memiliki prinsip ketundukan
kepada ajaran Tuhan. Ketundukan terhadap segala sesuatu
yang diijinkan oleh Allah disebut ibadah umum. Dalam

Masail Khamsah ~ 201


masalah ini, akal diberi otoritas penuh. Sedangkan
ketundukan terhadap ajaran Allah yang telah ditentukan
mekanismenya secara rinci dan detail disebut ibadah
khusus. Dalam masalah ini, otoritas akal ditutup sama
sekali. Ibadah khusus ini biasanya disebut ‗ibadah mahdah.
Dalam konteks ibadah khusus inilah muncul bid‟ah.‡
Penjelasan Muhamadiyah tentang ibadah khusus ini
menegaskan kembali sikap Muhammadiyah yang ingin
mengembalikan ajaran-ajaran agama secara orisinil, literal
dan dengan pendekatan bayani terhadap nas-nas yang
terkait dengan ibadah mahdah. Pemikiran Muhammadiyah
ini tampaknya dipengaruhi oleh pembaharu-pembaharu
Islam yang mengkritik kelompok tradisionalis Islam yang
telah melakukan sinkretik ajaran Islam dengan adat-istiadat
setempat sehingga menimbulkan takhayyul, bid‘ah dan
churafat (TBC).
Terkait dengan kreatifitas akal dalam masalah dunia
atau ibadah umum, Muhammadiyah tampaknya tidak
membatasinya. Muhammadiyah hanya mensyaratkan
bahwa kreatifitas akal itu dapat dijadikan sebagai
instrumen menegakkan ajaran agama dan tidak melanggar
aturan-aturan Tuhan. Instrumen ini disebut ―sabilillah‖.

‡ Konsep tentang ibadah umum, ibadah Khusus dan bid‘ah dapat


dibaca lebih secara mendalam dalam buku Kuliah Fikih Ibadah (Al-
Islam II).

202 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


4. Sabilullah

َ ‫َسبنْ إْ َْ إي ََ َ ْ ين إق َن إا ََى إْ َّ ََل َلح يَا ن‬


َ َ‫ضحوإ َْإ ل نام إراْ َ َا لاْ م‬
‫ََ َكحلى‬ ‫َْإ ى ْل ن َُب َرع َاتى َْفَانهمنْى م ن‬
Artinya: sabilillah ialah jalan yang menyampaikan kepada
keridlaan Allah, berupa segala amalan yang diijinkan Allah untuk
memuliakan kalimatnya (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-
hukumnya (PP Muhammadiyah, Majelis Tarjih, Tt: 277).
Melalui penjelasan seperti ini dapat disimpulkan
bahwa dalam pandangan Muhammadiyah, semua masalah
yang bersifat duniawi seperti ekonomi, sosial, politik dapat
dianggap ibadah dengan syarat dijalankan sesuai dengan
ajaran Tuhan dan ditempatkan dalam kerangka
―sabilillah‖, yaitu jalan mencapai perkenan Allah.
Semuanya merupakan (ajaran) agama. Contoh konkretnya
adalah seperti saat Kiyai Ahmad Dahlan melakukan
modernisasi pendidikan di sekolah (Abdul Munir
Mulkhan, 2000: 70-71), dengan mengintrodusir beberapa
konsep pendidikan Barat yang bersifat ―duniawi‖. Dalam
konteks inilah terdapat pertemuan antara ―sabilillah‖,
―dunia‖, ―agama‖ dan ―‗ibadah‖: sesuatu yang bersifat
duniawi dan profan, meskipun diintrodusir dari Barat
misalnya, akan dianggap ibadah serta mendapat pahala,
jika dikerjakan dalam kerangka sabilillah karena semuanya
merupakan ajaran agama.
Pandangan Muhammadiyah tentang masalah ibadah
Khususdan dunia ini dapat dijadikan sebagai pijakan untuk
menyebut Muhammadiyah sebagai salah satu dari deretan
kelompok modernis Islam yang telah mulai

Masail Khamsah ~ 203


mengintrodusir temuan-temuan Barat modern. Asumsi ini
diperkuat lagi dengan adanya hipotesis bahwa pendiri
Muhammadiyah, Kiyai Ahmad Dahlan, banyak
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Muhammad
Abduh§ yang dikenal sebagai tokoh modernis Islam.**

§ Lihat misalnya Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Mus-

lim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, (Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press, 1989), hal. 151; Arbiyah Lubis, Pemikiran Mu-
hammadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta: Bu-
lan Bintang, 1993), hal. 14; Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Mela-
cak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Awal, terj. Achmad Nur Fuad,
(Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), 2002),
hal. 30.
** M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman,

(Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 19. Para intelektual Islam kontem-
porer (sebelum Kelompok Postmodernis, jika dianggap ada) dapat klas-
ifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu [1] Kelompok Tradisionalis,
[2] Kelompok Revivalis, [3] Kelompok Modernis, [4] Kelompok Neo-
revivalis dan [5] Kelompok Neo-modernis. Kelompok Tradisionalis ada-
lah kelompok yang memegang pemikiran Islam abad pertengahan yang
beranggapan, antara lain, bahwa; pintu ijtihad tertutup, umat Islam harus
bermazhab, dan Barat harus ditolak. Sedangkan Kelompok Revivalis
(secara bahasa, revivalis berarti kebangkitan kembali) adalah kelompok
yang ingin mengembalikan Islam secara orisinil dan literalistik seperti di
jaman Nabi. Kelompok yang lahir sebagai kritik atas Kelompok
Tardisionalis ini antara lain beranggapan bahwa; pintu ijtihad terbuka,
TBC harus dihilangkan, filsafat dan Barat tidak boleh diikuti., dan nas
harus diartikan secara literal. Adapun Kelompok Modernis pada prin-
sipnya sama dengan kelompok Revivalis. Hanya saja perbedaanya ke-
lompok ini telah menerima dan terbuka terhadap Barat, dan mulai
menghargai kekuatan akal pikiran seperti dalam filsafat, sehingga terke-
san liberal. Salah seorang tokohnya adalah Abduh yang kelak banyak
mempengaruhi pemikiran Kiyai Dahlan. Sedangkan Kelompok Neo-
revivalis adalah kelompok yang melakukan kritik terhadap Kelompok
Modernis yang dianggap sangat pro-Barat. Kelompok ini tidak setuju
dengan Kelompok Modernis yang terkesan menerima apapun yang da-
tang dari Barat tanpa reserve. Hal yang sangat ditentang oleh kelompok

204 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Terkait dengan penjelasan Muhammadiyah yang
terkesan membedakan masalah ibadah dan dunia, perlu
dipertegas kembali bahwa menjadi sangat sulit jika
disimpulkan bahwa Muhamadiyah menganut paham
sekularisme. Jika Muhammadiyah membedakan kedua
masalah itu, hal tersebut bertujuan untuk menjelaskan
fungsi akal manusia secara optimal untuk melakukan
ijtihad dalam masalah duniawiyah.
Masalah terakhir yang dibahas dalam Masalah Lima
adalah tentang qiyas (analogi). Dalam Muhammadiyah,
masalah qias terkait erat dengan metodologi memahami
dan mengelurkan hukum (istinbat}) dari sumber ajaran
Islam, yaitu Al-Qur‟an dan as-Sunnah al-Maqbulah, †† yang
biasa disebut ijtihad.

ini dari Kelompok Modernis adalah masalah bunga bank, aurat wanita,
KB dan pengagungan akal pikiran. Adapun kelompok Neo-Modernis,
yang diusung oleh Fazlur Rahman, adalah merupakan kritik terhadap
Kelompok Tradisionalis, Revivalis, Modernis dan Neo-revivalis. Untuk
memajukan Islam, Rahman kemudian mengajukan beberapa teori dan
seperangkat metodologi untuk memahami nas. Beberapa kata kunci
yang dapat disebut dari teori dan metodologi yang ditawarkan Rahman
di sini adalah ideal moral Al-Qur‘an, historico-critical method, hermeneutika,
dan double movement. Lihat antara lain dalam Ibid, hal. 13-25; Syarif Hi-
dayatullah, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2000), hal. 57-67; Abd. A‘la, Dari Neomodernisme ke Islam
Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, (Jakarta: Par-
amadina,2003), hal. 1-10.
†† Dalam pandangan Muhammadiyah, sumber utama syari‘ah Islam

adalah Al-Qur‘an dan al-Sunnah al-maqbulah, sunnah yang memenuhi


kreteria untuk diterima seperti yang disebut dalam disiplin ilmu hadis.
Adapun ijmak, Muhammadiyah hanya menerima ijmak sahabat. Lihat
pokok-pokok Manhaj Tarjih, dalam Asjmuni Abdurrahman, Manhaj
Tarjih, hal. 12-13. Dalam pandangan Muhammadiyah, mengikuti pen-

Masail Khamsah ~ 205


5. Qias (Ijtihad)

‫اِ ََْْ َاِ َن حَ َجااإ‬ ‫ُ نها َ إلََ َج َهاا م إإل ناَلع َْقَا َ ن‬ ‫َستَ ن َِ َ َُّا إ نْ إ‬‫ِت ن‬ َ ‫ََْل‬
‫َااا ََْلَ يَا نْ ن‬ َ ‫احَْال َنة نح‬
َ َ ‫اِ يا َاة لا نام م إإلا ناَع َن بَا‬
‫َل َن َ َاااْ هاحَ ََْنْ َسا ن‬
َ َّ
‫َل‬
َ ‫ِاحنْ َ إ إ ن‬
َّ ْ ‫إ‬ َ‫ا‬
‫ا‬ ‫ى‬َ ‫ح‬
‫ن‬ ‫ـ‬
َ ‫ا‬ ‫ح‬ ْ َ ‫ىا ين ٌح ل َام َن إقا نآ مَْ َ ُّساهْا‬ َ ‫إَكناهاحَ نَا ص‬
َ‫ُِّ ا نا‬
‫َل ن ـَ ااا إَكناه ا احَ َ ا نام طَ ينا ااق َن نجته ا احَْ ََْن نسا ااتنهبحَ ل ا َام َ ه إ‬
َ ‫َن ا َاََعَِْ َعَ اال مَسا احَت فَسا احَِْ َن عَ ااْ َرا احَ َجا اَى َعَنْ ااى َن َ َا ا إاْ نها ا‬
‫إعَاحَب َ ْسعَف ََْنْلَعَف‬
Artinya: Bilamana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah
terjadi dan dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang
tak bersangkutan dengan ibadah mahdah pada hal untuk
alasannya tidak terdapat nash yang sharih di dalam al-Qur‟an atau
Sunnah shahihah, maka jalan untuk mengetahui hukumnya adalah
melalui ijtihad dan istinbat dari nash-nash yang ada berdasarkan
persamaan „illat sebagai mana telah dilakukan oleh ulama salaf dan
khalaf (PP Muhammadiyah, Majelis Tarjih, Tt: 278).
Masalah qias ini pernah menjadi masalah krusial dalam
Muhammadiyah. Setelah masalah qiyas ini didiskusikan
dalam waktu tiga kali sidang, karena terjadi pro-kontra
antarpeserta muktamar (Fathurrahman Djamil: 75).
Muhammadiyah menyimpulkan bahwa pemakian qiyas
sebagai metode penemuan hukum Islam apabila suatu
kasus tidak ditemukan referensinya dalam Al-Qur‘an dan
As-Sunnah al-Maqbullah. Teknis operasionalnya, seperti

dapat Imam Ahmad bin Hanbal, ijmak tidak mungkin terrealisasi pada
masa sekarang. Ijmak dimungkinkan terjadi pada masa sahabat, karena
jumlah merka masih sedikit. Lihat Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad,
hal. 73; Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, hal. 96.

206 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


yang telah dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf, adalah
jika suatu kasus sangat dibutuhkan untuk mendapatkan
status hukum, padahal tidak ada nas yang menjelaskannya
dalam Al-Qur‘an maupun as-Sunnah, maka kasus tersebut
dapat diijtihadkan dengan melakukan analogi (qias) yaitu
berusaha menemukan persamaan „illah-nya dengan kasus
yang telah dijelaskan oleh nas. Sebagai syaratnya, kasus
yang diqiaskan itu tidak terkait dengan masalah ‗ibadah
mahdah (ibadah khusus) dan tidak disebutkan oleh Al-
Qur‘an dan As-Sunnah secara tegas.
Menurut Asjmuni Abdurrahman, terminologi qias
yang dipakai oleh Muhammadiyah di dalam HPT memiliki
arti yang sama dengan ijtihad seperti dalam pandangan
ulama Syafiiyyah. Qias tidak diartikan seperti lazimnya
sebagai sebuah metode penemuan hukum, yaitu analogi.
Oleh sebab itu, menurut Asjmuni, keputusan Muktamar
Tarjih saat mendiskusikan tentang qias mestinya diberi
judul ijtihad(Asjmuni Abdurrahman, 2007: 91).
Secara teoritis, ijtihad sebagai metode penemuan
hukum Islam secara etimologis berarti bersungguh-
sungguh. Sedangkan secara terminologis, ijtihad adalah
usaha sungguh-sungguh dengan mengerahkan seganap
kemampuan dari seorang mujtahid untuk menemukan
hukum dari sumbernya (Al-Qur‘an dan Hadis) dengan
metodoogi yang benar.Adapun istinbath secara etimologis
berarti mengeluarkan air dari tanah.. Sedangkan secara
terminologis, istinbath adalah mengeluarkan makna-
makna (hukum-hukum) dari teks (nash) dengan

Masail Khamsah ~ 207


mencurahkan segenap pikiran dan kemampuan (Ibid.:
192-195). Metode dan langkah-langkah ijtihad telah
dirumuskan dalam Muhammadiyah yang biasa dikenal
dengan istilah Manhaj Ijtihad Muhammadiyah.

208 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


BAB VIII
FIRQAH, AHLUSUNNAH WALJAMA’AH, MAZHAB
DAN MUHAMMADIYAH

A. Firqah
Secara etimologis, firqah adalah orang, golongan,
jamaah, organisasi, paguyuban, kelompok atau aliran.
Sedangkan secara terminologis, firqah adalah orang,
golongan, jamaah, organisasi, kelompok atau aliran yang
berbeda keyakinannya, tetapi mengatas-namakan Islam
sebagai agamanya.
Secara historis, firqah dalam Islam sesunggunya
bermula dari persoalan politik. Bukan bermula dari
persoalan keagamaan, terutama terkait dengan keimanan
dan keyakinan. Setelah Abu Bakar menjadi kepala Negara,
ia menggunakan gelar khalifah (succeccor), artinya pengganti
Rasulullah. Setelah Abu Bakar wafat, Umar bin Khattab
menggantikannya dan menjadi khalifah kedua. Setelah
Umar wafat, Ustman bin Affan menggantikannya dan
menjadi Khalifah ketiga. Saat pemerintahan Ustman-lah
muncul persolan-persoalan politik. Ustman dikenal
sebagai orang yang lemah dan nepotism, tak kuat
menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh
dalam masyarakat Arab pada waktu itu. Ia mengganti
gubernur-gubernur berkualitas yang diangkat dahulu oleh
Umar. Para sahabat Nabi saw yang semula mendukung

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 209


kekuasaannya, mulai melakukan protes. Gubernur Mesir,
Amr bin Al-Ash, digantikan oleh keluarga Usman, Bin Abi
Sarh. Akibatnya, sekitar 500 orang pemberontak bergerak
dari Mesir menuju Madinah. Di daerah lain juga muncul
persaan tidak senang dan tidak puas terhadap kebijakan
Usman. Pada akhirnya situasi ini membawa Usman
terbunuh (Harun Nasution, 1985: I: 93).
Setelah Usman terbunuh, Ali bin Abi Thalib
menggantikannya sebagai khalifah, setalah melalui proses
tantangan yang banyak dari orang yang ingin menjadi
khalifah. Talhah dan Zubair yang berasal dari Mekkah
mendapat dukungan dari Aisyah memerangi Ali dalam
perang jamal. Talhah dan Zubair terbunuh, Aisyah dikirim
ke Mekkah. Gubernur Damaskus, Mu‘awiyah bin Abi
Sufyan, dan anggota keluarganya yang merupakan keluarga
Usman tidak mengakui Ali sebagai khalifah, bahkan
menuduh Ali turut campur tangan dalam pembunuhan
Usman, dan memerangi Ali dalam perang shiffin. Saat Ali
hampir dapat mengalahkan Mu‘awiyyah. Saat itulah ajudan
Mua‘wiyah, Amr bin Al-Ash, yang terkenal sebagai orang
yang licik minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur‘an
ke atas. Tokoh-tokoh dari pihak Ali mendesak agar Ali
menerima tawaran perdamaian. Kemudian terjadilah
perdamaian dengan mengadakan arbitrase. Sebagai
wakilnya diangkatlah Amr bin Al-Ash dari pihak
Mua‘wiyah, dan Abu Musa Al-Asy‘ari dari pihak Ali.
Keduanya sekapat untuk memberhentikan Ali dan
Mua‘wiyah menjadi pemerintah. Saat diumumkan kepada

210 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


rakyat hasil kesepakatan ini, Abu Musa Al-Asy‘ari sebagai
orang yang lebih tua dan mengikuti tradisi diminta untuk
menyampaikan hasil kesepakatan itu. Setelah itu giliran
Amr bin Al-Ash, ia menyampaikan hal yang berbeda,
bahwa ia hanya menyetujui Ali bin Abi Thalib untuk
diberhentikan, dan tidak menyetujui Mu‘awiyah. Secara
politis, peristiwa ini merugikan Ali dan menguntungkan
Usman. Mu‘awiyyah yang kedudukannya menjadi
gubbernur kini naik menjadi khalifah secar tidak resmi.
Tidak mengherankan Ali tidak terima dan tidak mau
meletakkan jabatannya sehingga ia terbunuh (Harun
Nasution, 1985: I: 94).
Walaupun Ali menerima tawaran perdamain saat
Mu‘awiyah hampir kalah, tetapi sebagain pasukan Ali ada
juga yang tidak setuju dengan hal tersebut. Pasukan yang
tidak setuju ini akhirnya keluar dari barisan Ali dan balik
menentang bahkan berperang dengan Ali. Kelompok yang
keluar ini terkenal dalam sejarah dengan nama Khawarij.
Sedangkan yang tetap setia kepada Ali disebut Syi‟ah
(Harun Nasution, 1985: I: 94).
Persoalan politik ini akhirnya meningkat menjadi
persoalan keimanan. Persisnya kejadian ini sekitar 29
tahun setelah Nabi saw wafat. Menurut Khawarij, orang-
orang yang menerima perdamaian antar Ali dan
Mu‘awiyah melalui arbitrase telah kafir, karena
bertentangna dengan firman Allah:
        

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 211


Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir
(QS. Al-Maidah: 44).
Arbitrase bukan merupakan penyelesaian berdasarkan
Al-Qur‘an. dengan demikian Ali, Mua‘wiyah, Abu Musa
Al-Asy‘ari dan Amr bin Al-Ash telah kafir, murtad dan
keluar dari Islam dan harus dibunuh (Harun Nasution,
1985: II: 31).
Penentuan seseorang menjadi ―kafir‖ tidak lagi
menjadi persoalan politik, tetapi menjadi peroalan
keimanan (teologi). Dalam Al-Qur‘an ―kafir‖ dilawankan
dengan ―mukmin‖. Apakah dia Islam atau tidak. Tetapi
Khawarij menggunakan kata ―kafir‖ terhadap orang Islam.
Bagi Khawarij, orang Islam telah ada yang ―bersifat kafir‖,
karena berbuat dosa besar (Harun Nasution, 1985: II: 32).
Dalam perkembangan sejarah, muncul golongan
Murji‘ah yang menentang kaum Khawarij. Murji‘ah
berpendapat orang yang berdosa besar tetap menjadi
orang mukmin. Masalah dosanya diserahkan keputusannya
kepada Allah. Setelah itu muncul kelompok Mu‘tazilah
yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak
kafir tidak pula mu‘min. Dia berada diatara keduanya (al-
manzilah bainal manzilatain) (Harun Nasution, 1985:, II: 34-
37).
Persoalan ―kafir‖ ini kemudian dihubungkan dengan
perbuatan manusia, tertutama setalah Islam bersentuhan
dengan agama-agama lain dan terutama filsafat Yunani.
Siapakah yang membuat perbuatan manusia sehingga
menjadi ―kafir‖ atau ―berdosa besar‖. Muncul faham

212 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Qadariyyah (free will and free act) yang berpendapat
manusialah yang melakukan perbuatannya sendiri. Tetapi
menurut kelompok Jabariyah (fredestination atau fatalism),
manusia seperti robot, perbuatan manusia hakikatnya
dilakukan oleh Tuhan. Berbeda dengan semua golongan
itu, muncullah Ahlusunnah waljama‘ah dengan teori kasb
(Harun Nasution, 1985, II: 37-43). Seiring dengan
perkembangan zaman, firqah-firqah barupun bermunculan
sampai sekarang, seperti Ahmadiyah, Darul Hadis, Al-
Qiyadah Al-Islamiyyah dan lainnya. Masing masing firqah
ini mengkalim diri sebagai yang paling benar. Munculnya
firqah-firqah ini memang telah diprediksikan oleh
Rasulullah saw. Beliau bersabda:
‫ىاعْل َ عْاىإ َعَنْاى َْ َساعْ َم‬
َ ‫اَْ َ عْاى‬ ‫احْ َع إس إ‬ َ َ‫َ نم َنب َ عْى نام َ ناا لْ ق‬
َ َ‫احْ ق‬
ََ ‫اِ َعَاال ثنهتَ ا ناَ َْ َسا ناب‬ َ ََ‫َ َعَاال مإْلا َلااح ََّْ ْ َاائ َّ نسا‬
‫ْْ فَا َمْقَا ن‬ ْ َ ‫ََْاينف‬
‫َ لعْاا إرعُّ إها نام َ هْااحع َّْ لعْااا‬ ‫ل‬
َ ‫لعْااا َْفَا نما َاُ إُ مإْل ا َعَاال ثَا َاُِ َْ َسا ناب‬
‫َى َححِب‬ ‫َْ َ عْى قَ َحْ َلح مَنَح َعَنْى َْم ن‬َ ‫َََْ َ ِ قَحإََ ََْل نم ي َة يَح َع إس‬
Artinya: Dari Abdullah bin Amr berkata: Rasulullah SAW
bersabda: Sungguh akan datang kepada umatku apa yang datang
kepada Bani Israil yang terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku
akan terpecah menjadi 73 golongan; semuanya masuk neraka
kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya: siapa mereka wahai
Rasulullah? Nabi menjawab: Yang mengikuti aku dan sahabatku.
(At-Tirmizi: 2564, 2565; Abu Daud: 3980; Ibnu Majah: 3981,
3982; Ahmad: 11763, 12022)
Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa
sesudah Nabi Muhammad saw wafat, akan timbul
kelompok umat Islam yang saling berselisih faham yang

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 213


jumlahnya tidak kurang dari 73 golongan. Semua firqah ini
masuk neraka, kecuali satu, yaitu golongan yang selalu
berpegang kepada sunnah Nabi dan sunnah sahabatnya.
Yang menjadi persoalan adalah siapakah atau kelompok
manakah yang masuk syurga dan selalu berpegang pada
sunnah Nabi saw dan sahabatnya? Bagaimana dengan
Muhammadiyah? pembahasan tentang hal ini dalam sub-
bahasan tentang Ahlusunnah Wal-jama‘ah berikut.

B. Ahlusunnah Wal-Jam‟ah
Secara etimologis, ahlusunnah berasal dari kata ahlu,
yang berarti golongan, kelompok, keluarga, memiliki,
penduduk dan lainnya. Sedangkan assunnah berarti hadis
atau tradisi nabi Muhammad saw. Adapun al-jama‟ah
(ammah al-muslimin, al-jama‟ah alkasiroh, al-sawad al-a‟zham),
berarti mayoritas (Harun Nasution, 1986: 64).
Sedangkan secara terminologis, Ahlussunnah
Waljama‘ah adalah sebutan atau klaim terhadap sebuah
firqoh (aliran teologi) yang dimotori oleh Abu Hasan Al-
Asyari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Terminologi ini
sesunggguhnya bukan dari Al-Qur‘an atau hadis nabi
Muhammad saw, walaupun kata-kata ini telah ada saat Al-
Ma‘mun menulis surat tercantum kata-kata: wa nasabu
anfusahum ila assunnah (mereka menisbahkan diri mereka
kepada sunnah) dan ahl al- haq wa al-din wa al-jama‟ah (ahli
kebenaran, agama dan jama‘ah) (Harun Nasution, 1986:
64-65).

214 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Ahlussunnah Waljama‘ah sebagai sebuah aliran
diperkirakan muncul tahun 300 H., sekitar 289 tahun
setelah Nabi saw wafat, sebagai lawan (antithesis/rival)
saat itu dari minoritas Mu‟tazilah terutama setelah Khalifah
Al-Ma‘mun, Al-Mu‘tasim dan Al-Wasiq meninggal dunia.
Khalifah Al-Mutawakkil membatalkan aliran Mu‘tazilah
sebagai mazhab resmi negara.
Secara historis, pendiri aliran Ahlusunnah waljama‘ah
adalah Abu Al-Hasan Al-Asy‘ari (lahir 260 H). Sebelum
mendirikan aliran Ahlusunnah Waljama‘ah, Al-Asyari
adalah tokoh Mu‘tazilah, namun keluar dari mu‘tazilah
setelah 40 tahun mengikutinya.
Teori-teori tentang lahirnya aliran Ahlussunnah Wal-
jama‘ah seperti ditulis oleh Harun Nasution (1986: 65-68)
adalah sebagai berikut:
1. Teori Mimpi Al-Asy‟ari: ―pada suatu malam al-
Asy‘ari bermimpi bahwa Nabi Muhammad
mengatakan kepadanya Ahlul Hadis-lah yang benar
dan mazhab Mu‘tazilah yang salah (riwayat al-Subki
dan Ibnu Asakir).
2. Teori Debat Antara Asy‟ari Dan Al-Jubba‟i:
Al-Asy‘ari: ―Bagaimana kedudukan di akhirat ketiga
orang berikut: Mukmin, Kafir dan anak
kecil?―
Al-Jubba‘i: ―Yang Mukmin mendapat tingkat baik
dalam Surga, yang kafir masuk neraka, dan
anak kecil terlepas dari bahaya neraka‖

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 215


Al-Asy‘ari: ―Kalau anak kecil ingin memperoleh
tempat yang lebih tinggi di surga,
mungkinkah?‖
Al-Jubba‘i: ―Tidak, yang mungkin dapat tempat yang
lebih baik adalah orang dewasa yang ta‘at
kepada Allah. Anak kecil belum
mempunyai keta‘atan yang seperti orang
dewasa‖.
Al-Asy‘ari: ―Kalau anak kecil itu mengatakan kepada
Tuhan: ― itu bukan salahku. Jika sekiranya
Engkau mengijinkan aku terus hidup, aku
akan mengerjakan perbuatan baik seperti
orang dewasa itu‖.
Al-Jubba‘i: ―Allah akan menjawab: ― Aku tahu bahwa
jika engkau terus hidup engkau akan
berbuat dosa dan oleh karena itu Aku
hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku
cabut nyawamu sebelum sampai umur
dewasa‖.
Al-Asy‘ari: ―Sekiranya yang kafir mengatakan ―Engkau
ketahui masa depanku, kenapa Engkau
tidak jaga kepentinganku?
Disini Al-Jubba‘i terpaksa diam.(riwayat al-Subki).
3. Teori Ragu-Ragu Asy‟ari. Al-Asy‘ari sudah mulai
ragu-ragu dan tidak puas lagi dengan ajaran-ajaran
Mu‘tazilah. Setelah itu ia keluar rumah, pergi ke masjid,
naik mimbar dan menyatakan: ―hadirin sekalian, saya
selama ini mengasingkan diri untuk berfikir tentang

216 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


hujjah dan dalil yang diberikan masing-masing
golongan. Semua dalil sama kuatnya. Oleh karena itu
saya minta petunjuk dari Allah. Saya sekarang
meninggaalkan keyakinan-keyakinan lama (Mu‘tazilah)
dan menganut keyakinan-keyakinan baru (Ahlussnnah)
yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-
keyakinan lama saya lemparkan seperti saya lemparkan
baju ini‖.
4. Asy‟ari Pengikut Asy-Syafii. ―al-asy‘ari adalah
pengikut as-Syafii. as-Syafii memiliki pendapat yang
berseberangan dengan mu‘tazilah (riwayat Ahmad
Mahmud Subhi).
5. Asy‟ariyah Bersifat Tradisonal dan fatalistis cocok
dengan darah arab (Mac Donald).
6. Asy‟ari Mempelajari Hadis dan mendapatkan Islam
seperti tergambar dalam hadis (Spitta).
7. Teori Politik Mayoritas. ―Setelah Khalifah Al-
Mutawakkil membatalkan putusan Al-Makmun
tentang mazhab resmi negara (Mu‘tazilah), apalagi
setelah beliau memberi penghargaan terhadap Ahmad
bin Hambal, lawan Mu‘tazilah. Keadaan menjadi
terbalik. Mu‘tazilah menjadi minoritas, Ahlusunnah
menjadi mayoritas. Bahkan tokoh Mu‘tazilah banyak
yang meninggalkan barisan seperti Abu Isa al-Waraq
dan Abu al-Husain Ahmad Bin al-Rawandi‖.
Bagi Muhammadiyah, pandangan agama yang
dicetuskan oleh Abu Hasan Al-Asy‘ari dan Al-Maturidi
telah sesuai dengan Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Meskipun

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 217


demikian, Muhammadiyah tidak terlalu menghiraukan
klaim atau sebutan Ahlussunnah Wal jama‘ah (aswaja) atau
bukan.

C. Mazhab
Secara etimologis kata mazhab berasal dari bahasa
Arab zahaba, yang berarti pergi. Dengan demikian, kata
mazhab berarti tempat pergi. Sedangkan secara
terminologis, mazhab berarti pendapat atau hasil ijtihad
seorang imam dalam memahami suatu masalah dalam
bidang fikih sebagai pedoman hidup (Wahbah Az-Zuhaili,
1989: 27).
Dalam konteks fikih, istilah mazhab mencakup dua
pengertian. Pertama, mazhab sebagai perangkat
metodologis, yaitu metode yang ditempuh oleh seorang
imam mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa
berdasarkan al-Quran dan al-hadis. Pengertian ini lebih
menekankan mazhab dalam konteks ushul al-fiqh. Kedua,
mazhab sebagai hasil atau produk, yaitu endapat atau
fatwa seorang imam mujtahid tentang hukum suatu
peristiwa yang diambil dari al-Quran dan al-hadis.
Pengertian ini lebih menekankan aspek hasil pemikiran
atau fiqh.
Dengan demikian, mazhab adalah pokok pikiran atau
dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam
memecahkan masalah atau meng-istinbath-kan hukum
Islam. Selanjutnya mazhab pengertiannya berkembang
menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara

218 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


istinbath imam mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat
imam mujtahid tentang masalah hukum Islam. Dengan
pengertian ini mazhab telah lahir sejak zaman para
sahabat, seperti Said bin Musayyab, Abdullah bin Abbas,
Ikrimah dan lainnya (Khudari Beik, 1968: 126-141).
Pada dasarnya kemunculan mazhab-mazhab dalam
Islam merupakan sesuatu yang wajar mengingat al-Quran
dan al-sunnah memang memberi peluang munculnya
berbagai penafsiran (multi-interpretasi), karena di
dalamnya banyak sekali terkandung ayat yang zanni al-
dalalah (ayat yang penafsirannya tidak pasti) seperti adanya
lafal musytarak (mempunyai makna ganda), majaz
(metafor/makna kiyasan), ‗am-khash (umum dan khusus)
dan sebagainya. Secara lebih rinci, Abu Zahrah, seorang
ahli ushul al-fiqh, menjelaskan bahwa munculnya mazhab-
mazhab dalam Islam dikarenakan beberapa hal: (1)
perbedaan pemikiran. Perbedaan ini bisa karena
pengetahuan yang berbeda, bisa juga karena konteks sosial
masing-masing imam yang berbeda; (2) ketidakjelasan
masalah yang menjadi tema pembahasan; (3) perbedaan
kesenangan dan kecenderungan; (4) perbedaan sudut
pandang; (5) karena mengikuti cara pandang
pendahulunya; (6) perbedaan kemampuan; (7) masalah
kepemimpinan dan kecintaan kepada penguasa; (8)
fanatisme kelompok yang berlebihan.
Munculnya mazhab juga tidak dapat dilepaskan dari
dinamika dan perkembangan sejarah Islam sepeninggal
Rasulullah s.a.w. yang kemudian menghadapkan umat

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 219


Islam dengan berbagai realitas (kenyataan) baru yang tidak
ditemui sebelumnya. Pertama, semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam hingga ke luar semenanjung Arabia.
Kedua, pergaulan kaum muslimin dengan bangsa-bangsa
lain yang ditaklukkannya, terutama yang berkaitan dengan
adat-istiadat dan tradisi bangsa tersebut. Ketiga, akibat
jauhnya wilayah-wilayah yang ditaklukkan itu dengan pusat
kekuasaan Islam, sehingga memaksa para gubernur, hakim
dan para ulama melakukan ijtihad untuk menjawab
masalah-masalah baru yang belum pernah ditemui
sebelumnya.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, meskipun dalam
Islam terjadi perbedaan pendapat yang kemudian
melahirkan mazhab, namun perbedaan tersebut hanya
terjadi pada masalah-masalah furu‘ (cabang), tidak sampai
kepada ajaran Islam yang pokok (ushul) terutama yang
berkaitan dengan paham tauhid. Atas dasar itu, perbedaan
tersebut lebih tepat dipandang sebagai dinamika
(perkembangan) pemikiran daripada sebagai perpecahan.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam (Tarikh
Tasyri‟ al-Islami) hingga kini sudah muncul tiga belas
mazhab fikih dalam Islam, namun yang terkenal ada
sembilan yang semuanya berteologi Ahlussunnnah
Waljamaah. Mereka dikenal sebagai tokoh-t.okoh yang
meletakkan dasar metode pemahaman fiqh yang kemudian
diikuti oleh generasi sesudahnya. Mereka yang Sembilan
tersebut adalah (Dedi Supriyadi, 2008:39):

220 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


1. Imam Abu Sa‘id al-Hasan bin Yasar al-Bashri (w. 110
H)
2. Imam Abu Hanifah al-Nu‘man (w. 150 H
3. Imam al-Auza‘i Abu Amr bin Muhammad (w. 157 H)
4. Imam Sufyan bin Sa‘id bin Masraq al-Tsauri (w. 160 H)
5. Imam al-Laits bin Sa‘ad (w. 175 H)
6. Imam Malik bin Anas al-Asybahi (w. 179 H)
7. Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H)
8. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafii (w. 204 H)
9. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
Dalam perkembangannya, mazhab-mazhab tersebut
ada yang berkembang dengan pesat dan dianut di berbagai
belahan dunia Islam, dan ada juga yang surut bahkan
hilang karena kurang mendapat pengikut seperti mazhab
yang dirintis Imam Daud bin Ali al-Asbahani al-Bagdadi
(w. 270 H) yang sering disebut mazhab Zahiry, Ishaq bin
Rahawaih (w. 238 H), Abu‘Amr Abd al-Rahman bin
Muhammad al-Auza‘iy atau mazhab Auza‘iy, Mazhab al-
Thabari (w. 320 H), Mazhab al-Laits yang dibina oleh Abu
Haris al-Laits bin Sa‘ad al-Fahmi (w. 174 H) dan
sebagainya. Namun yang perlu diperhatikan bahwa
imam-imam mazhab tidak pernah mengklaim diri sebagi
mazhab (Dedi Supriyadi, 2008:33).
Seiring dengan perkembangan zaman, orang-orang
mulai membela para imam mazhabnya. Mereka mengajak
orang lain agar bertaqlid kepada imam mazhab. Bahkan
ada yang menyatakan pintu untuk berijtihad sudah
tertutup, karena semua masah telah diputuskan oleh imam

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 221


mazhab, disamping itu juga mereka beranggapan bahwa
tidak ada stu orangpun yang dapat menandingi imam
mazhab dalam aspek keilmuaan mereka (T.M. Hasbi As-
Shiddiqy, 1980, I: 82).
Mazhab yang terus berkembang hingga sekarang dan
masih banyak diikuti umat Islam hanya empat mazhab,
yaitu:
Pertama, Mazhab Hanafi yang rintis oleh Imam Abu
Hanifah (w. 150 H). Pemikiran hukum mazhab ini
bercorak rasional (ahl al-ra‟yu). Hal ini disebabkan karena
mazhab bermula di Kufah (Irak) yang terletak jauh dari
Madinah. Irak, sebelum Islam, adalah pusat kebudayaan,
tempat bertemu dan berkembangnya filsafat Yunani dan
Persia. Setelah Islam, Irak menjadi pusat berkembangnya
berbagai aliran politik, ilmu kalam dan fikih seperti Syi‘ah,
Khawarij dan Mu‘tazilah. Pada masa Abu Hanifah, Kufah
menjadi salat satu pusat aktifitas fikih para mujtahid
generasi tabi‘ tabi‘in. Sebelum generasi tabi‘in, Kufah
menjadi tempat Abdullah bin Mas‘ud (w. 32 H) yang
dikirim oleh Khalifah Umar bin KH.attab (w. 644 M)
untuk mengajarkan Islam dan memutuskan masalah-
masalah hukum. Pendekatan dan metode yang digunakan
untuk memecahkan hukum adalah dengan ra‘yu
(pendapat/nalar) karena ia sangat ketat dalam menerima
hadis, analogi (qiyas), dan istihsan (qiyas khafi). Mazhab
Hanafi terkenal sangat ketat untuk menerima hadis karena
pada masa itu banyak muncul hadis-hadis palsu seiring
dengan perpecahan politik yang dialami umat Islam.

222 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Banyak hadis yang diciptakan kelompok tertentu untuk
mendukung kepentingan politiknya masing-masing.
Mazhab ini banyak berkembang di Mesir, Suriah, Libanon,
Turki, Tunisia, Turkistan, India, Pakistan, Afganistan,
Balkan, Cina, Rusia dan Irak.
Terhadap hasil pemikirannya, Abu Hanifah berkata:
.‫ث َ ْ إس نَْ ـَحفنا إإر نََ قَا نَل‬
َ ‫ف رتَح َ َْ َْ ََ ين‬
‫َّ ن َرح َ قَا نَل إُيَح إ‬
“Jika pendapatku bertentangan dengan Al-Qur‟an dan hadis Nabi
maka tinggalkan pendapatku itu (T.M. Hasbi As-Shiddiqy, 1980,
I: 166).
Murid Abu Hanifah yang bernama Abu Yusuf berkata:
‫ل ََي ُّْ ا ل‬
َ ‫ََ مَ ن يَين إَ َى َق نَ هَح ََ ِْت يَا ن عَ َم ل نم مَين َم م‬
‫ََ نىنَحوإ‬ َ
“Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami
sampai ia mengetahui darimana kami mengambilnya” (T.M. Hasbi
As-Shiddiqy, 1980, I: 166).
Kedua, Mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik
bin Anas (179 H). Pemikiran mazhab ini banyak
dipengaruhi oleh sunnah yang cenderung tekstual. Imam
Malik termasuk periwayat hadis, karyanya yang paling
monumental adalah al-Muwaththa‟ (kumpulan hadis yag
bercorak fiqh).
Dalam merumuskan hukum-hukum yang bersumber
dari al-Quran dan al-hadis, Imam Malik menggunakan
metode sebagai berikut: a) tidak seketat Abu Hanifah
dalam menerima hadis. Jika Abu Hanifah hanya menerima
hadis kalau hadis itu mutawatir atau paling tidak pada
tingkatan masyhur, Imam Malik hanya menerima hadis
ahad bahkan hadis ahad yang mursal asal periwayatannya

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 223


orang yang terpercaya. Hadis ahad juga lebih diutamakan
daripada qiyas, sehingga ia lebih banyak menggunakan
hadis daripada ra‘yu; b) „Amal ahl al-Madinah (praktik
masyarakat Madinah), karena mereka dianggap orang yang
paling tahu tentang al-Quran dan penjelasan-penjelasan
Rasulullah; c) Pernyataan sahabat (qaul al-shahabi). Menurut
Imam Malik, jika tidak ada hadis sahih dari Nabi saw yang
dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah, maka
pernyataan sahabat dapat dijadikan sumber hukum.
Pendapat ini didasarkan pada pandangan bahwa para
sahabat lebih memahami pengertian yang tersirat maupun
tujuan ayat, karena mereka menyaksikan sendiri turunnya
al-Quran dan mendengar langsung penjelasan Rasulullah
s.a.w.) Al-Mashlahat al-Mursalah, yaitu mempertimbangkan
kepentingan umum terhadap suatu permasalahan hukum
yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Quran dan al-
hadis baik yang mendukung maupun yang menolak.
Tujuannya adalah untuk menarik kemanfaatan (jalb al-
manfa‟ah) dan menghindari madarat (daf‟ al-madharrah); e)
Al-zari‘ah, yaitu mempertimbangkan perkataan dan
perbuatan yang menyebabkan terjadinya perbuatan lain.
Perbuatan yang mengantarkan pada perbuatan haram,
hukumnya haram, sedang perbuatan yang mengantarkan
pada perbuatan halal hukumnya juga halal; f) Qiyas.
Apabila suatu masalah tidak ditemukan ketentuannya
dalam al-Quran, al-hadis, perkataan sahabat atau ijmak ahl
al-Madinah maka Imam Malik memutuskan masalah
tersebut dengan qiyas, yaitu menyemakan suatu peristiwa

224 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


yang belum ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang
jelas hukumnya karena keduanya ada persamaan illat.
Mazhab Maliki ini tersebar dan diikuti di berbagai wilayah
seperti Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol dan Mesir.
Terhadap hasil pemikirannya, Malik berkata:
‫إَ ا ا إاظ َْ مإىا ا ناْ إ ـَا ااح نَإإ نَْ َعمنيا ااة ـَ َاا ااح ََْـَا ا َاق‬ ‫مََ ََّّْناَ ااح مَنَا ااح َ َه ا اٌ م ن‬
‫َنكتَح َ ََْ ُّسهْاَ ـَ إخ إى نْوإ ََْلح ََلن ياإ َََـق َنكتَح َ ََْ ُّسهْاَ ـَحفنا إإر نَوإ‬
“Ketahuilah sesungguhnya aku manusia biasa, kadang salah dan
kadang benar. Oleh sebab itu telitilah terhadap pendapatku. Jika
sesuai dengan Al-Qur‟an dan Sunnah maka ambillah, jika
bertentangan dengan Al-Qur‟an dan Sunnah maka tinggalkanlah”
(T.M. Hasbi As-Shiddiqy, 1980, I: 166).
Ketiga, Mazhab Syafii yang didirikan oleh Abu
Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafii (w. 204 M).
Metode dan pendekatan yang digunakan untuk meng-
istinbath-kan hukum adalah: a) al-Quran dan al-hadis
merupakan sumber pokoknya sebagaimana mazhab-
mazhab lain meskipun cara pandang mereka terhadap
kedua sumber tesebut seringkali berbeda. Menurut Imam
Syafii, al-Quran dan hadis mutawatir berada dalam satu
martabat, karena sunnah berfungsi untuk menjelaskan al-
Quran. Keduanya adalah wahyu meskipun kekuatan
sunnah secara terpisah tidak sekuat al-Quran; b) Ijmak.
Ijmak yang dimaksud Imam Syafii adalah kesepakatan
ulama suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijmak di
satu negeri saja dan bukan ijmak kaum tertentu saja; c)
Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu masalah yang tidak
ada ketentuannya dalam nas dengan hukum yang ada

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 225


dalam nas karena adanya persamaan illat. Mazhab
Syafiiyah ini berkembang di negara-negara seperti Mesir,
Suriah, Yaman, Indonesia, Malaysia, Mekah, Arab Selatan,
Bahrain, Afrika Timur dan Asia Tengah.
Terhadap hasil pemikirannya, As-Syafii berkata:
‫ث ـَا إه ََ َل نى َيِب‬
‫ى ْح َ نَ ين إ‬
َ ََ َّ
“Jika sebuah hadis itu sah itulah mazhabku” (T.M. Hasbi As-
Shiddiqy, 1980, I: 167).

َ‫َلثَ إْ َْى نِ يَ نعإ إ َن نع َام اَُ إَ ْا لاا َر َاثَاْ ََحطا َنْ لاْ َنَيا إاْ إَ نزَلاا‬
ِ‫ََ َ ل َْـنْى مـنا َل فَا نع َ غإىإ َْإي ََ َ يَ ن ع ن‬
“Perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa hujjah
(argumentasi) seperti pengumpul kayu api pada malam hari. Ia
memikul kayu yang telah diikatnya itu padahal di dalamnya ada
ular yang mematuknya, sedangkan ia tidak tahu” (T.M. Hasbi
As-Shiddiqy, 1980, I: 167).
Keempat, Mazhab Hanbali atau Hanabilah, yang
didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241
M). Selain berdasar al-Quran dan sunnah dan pendapat
sahabat, ia juga menggunakan hadis mursal dan hadis
dha‘if (dalam tingkatan hasan asal perawinya tidak
pembohong, sebelum ada hadis hasan); qiyas jika terpaksa.
Mazhab ini banyak berkembang di Irak, Mesir, Suriah,
Palestina dan Arab Saudi. Dari berbagai mazhab yang ada,
karakteristik penafsiran mazhab-mazhab tersebut dapat
disederhanakan menjadi dua kecenderungan besar, yaitu
ahl al-ra‟y dan ahl al-hadis. Para ahli hukum Iraq seperi
Imam Abu Hanifah, karena berbagai alasan, dianggap

226 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


terlalu ketat dalam menerima hadis sebagai dasar hukum,
sehingga lebih banyak menggunakan akal . Sedang ulama
Hijaz seperti Imam Malik bin Anas lebih longgar untuk
menerima hadis sebagai dasar hukum, meskipun hal ini
tidak berarti mereka menolak akal sama sekali.
Terhadap hasil pemikirannya, Ahmad bin Hambal
berkata:
‫َ فإا َقع إ نِْن َْ َ فإا َقع إ نَْ َلح كح َْ َ فإا َقعا إ نَْ نَا نََََْ اة ََْك نام إَا إى نَْ ل نام‬
‫ََ إى نْوإ‬
َ ‫ث َلح م‬
‫ََنْ إ‬
“Jangan kalian mengikutiku, jangan mengikuti Malik, jangan
mengikuti Al-Auza‟I, tetapi ambillah (ikuti) dari mana mereka
mengambilnya” (T.M. Hasbi As-Shiddiqy, 1980, I: 167).

ْ‫َْحَ إ َ ن إم ََنهبَ َْم ل نم قعْا ـ نقى َ ْ إجْ مَ ن ياإ َقع َ ْيناهَىإ َ َج َح‬
‫من‬
“Dari tanda kurang fahamnya seseorang, ia mengikuti orang lain
dalam urusan agamanya” (T.M. Hasbi As-Shiddiqy, 1980, I:
167).
Dalam pandangan umat Islam pada umumnya,
bermazhab sering dibedakan dengan berijtihad.
Bermazhab sering diidentikkan dengan melakukan taqlîd
(mengikuti tanpa mengetahui ilmunya). Sehingga, ada
kesan bahwa bermazhab tidak memerlukan ijtihad, tidak
menyentuh kekinian, dan menjadikan masa lalu sebagai
―doktrin‖ dan ―dogma‖ agama. Demikian halnya,
berijtihad tidak perlu mengikuti pendapat ulama masa lalu,
hanya mengandalkan potensi akal untuk melihat kenyataan
hari ini saja. Kedua polarisasi itu perlu direformasi dengan

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 227


menghadirkan konsep baru dalam berijtihad dan
bermazhab.
Bermazhab tidak identik dengan bertaklid buta. Masih
dapat disebut bermazhab walaupun tetap menjalankan
ijtihad, terutama sekali dalam kasus-kasus kontemporer.
Dan lebih dari itu, masih disebut bermazhab meskipun
juga berupaya mengembangkan metodologi (manhaj) yang
sangat mungkin akan menimbulkan banyaknya perbedaan
pendapat.
Pada hakikatnya, bermazhab tidak harus mengikuti
pendapat Imam mazhab dari kata-perkata (fil aqwal),
namun bisa dalam metodologinya (fil manhaj). Bermazhab
secara metodologis, misalnya kepada para imam mazhab
(empat): Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafii atau
Ahmad bin Hanbal, akan berimplikasi pada kemungkinan
perbedaan pendapat dengan para imam mazhab tersebut.
Dalam mengembangkan metodologi bermazhab, perlu
menciptakan metode dalam berijtihad baru yang diakui
secara akademik dan terjadinya kesinambungan dari proses
berijtihad sekaligus hasil pemikiran ulama masa lalu
(historical continuity). Seorang mujtahid juga sekaligus
seorang mujaddid (pembaharu) yang tengah melakukan
pembaharuan fiqih atau hukum Islam dan pengembangan
metodologi ilmu-ilmu keIslaman disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
Produk pemahaman agama lebih melihat kebutuhan
umat pada masa kini dengan tidak meninggalkan tradisi
ulama masa lalu. Kita mungkin sering mendengar klaim

228 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


universalisme Islam yang sering dikemukakan bahwa
Islam adalah sebagai agama yang rahmatan lil ‗âlamin dan
juga kaedah ushûl fiqh: al-syariah al-Islâmiyyah shalihah li
kulli zamânin wa makânin atau al-syariah al-Islâmiyyah li
mashlahat al-‗ibâd fi al-dârain (syariat Islam adalah untuk
memenuhi kemaslahatan manusia dunia dan akhirat).
Artinya, Islam akan selalu berkait-berkelindan dengan
kemajuan zaman. Untuk merealisasikan klaim-klaim
tersebut maka perlu menyegarkan kembali ajaran agama
(ilahi) yang dihubungkan dengan persoalan-persoalan baru
yang muncul. Oleh sebab itu, konsep mengenai
bermazhab dan berijtihad perlu direformasi. Sehingga,
Islam selalu segar dan sesuai dengan perkembangan
zamannya.
Rumusan yang tepat untuk menghubungkan antara
tradisi (bermazhab dan berijtihad) dan perubahan
(kekinian) adalah al-muhâfazhatu ‗ala al-qadîm al-shâlih wa
al-akhdzu bil jadîd al-ashlah (memelihara yang lalu yang
masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Sehingga, tawaran gagasan ijtihad menjadi formulasi
metodologis yang dapat dibentuk sebagai hasil kajian kritis
terhadap konsep bermazhab dan berijtihad secara
konvensional yang dipadukan dengan tuntutan zaman dan
pertanggung jawaban akademik.
Istilahnya adalah modern scientific ijtihad (al-ijtihad al-
‘ilmi al-‘ashri). ―Ijtihad‖ bisa dilakukan secara tematis,
tidak harus ke dalam seluruh aspek kehidupan. Al-‘ilmi
berarti bahwa berijtihad menggunakan prosedur keilmuan

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 229


(filsafat ilmu, studi kritis, dan semacamnya), seperti yang
terjadi dalam dunia pengetahuan umumnya. Sedangkan al-
‘ashri dimaksudkan agar mengacu pada masa kini dan
masa depan, tidak hanya terhenti pada lalu dan masa kini.
Untuk mewujudkan formulasi ijtihad modern yang
mampu memberikan jawaban masa kini dan diharapkan
juga untuk masa yang akan datang, diperlukan beberapa
langkah.
Pertama, lebih mementingkan atau mendahulukan
sumber primer (primary sources) dalam sistem
bermazhab atau dalam menentukan rujukan.
Kedua, berani mengkaji pemikiran ulama atau hasil
keputusan hukum Islam dengan tidak lagi secara
doktriner dan dogmatis. Namun, perlu menyertakan
studi kritis (critical study) sebagai sejarah pemikiran
(intellectual history) dalam menganalisa latar belakang
pemikiran atau hukum tersebut.
Ketiga, memposisikan semua hasil karya ulama masa
lalu sebagai pengetahuan (knowledge), baik yang
dihasilkan atas dasar deduktif maupun secara empirik.
Dengan catatan bahwa keberadaan teks al-Qur‘an dan
teks hadis yang terbatas (khususnya yang mutawatir)
tidak dapat diuji ulang (re-examined).
Keempat, perlu ada sikap terbuka terhadap dunia luar
dan bersedia mengantisipasi terhadap hal-hal yang
akan terjadi dengan tidak menggunakan sikap asal-
tidak setuju (apriori).

230 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Kelima, hendaknya mempunyai daya tanggap yang
meningkat dan cepat dalam merespon permasalahan
yang muncul. Untuk itulah, diperlukan jaringan atau
organisasi yang mampu mempertemukan di antara
fuqaha‟ untuk sama-sama menanggapi masalah yang
ada.
Keenam, penafsiran yang aktif dan bahkan juga
progresif, yaitu jawaban hukum Islam yang juga
sekaligus mampu memberi inspirasi untuk kehidupan
yang dialami umat.
Ketujuh, ajaran al-ahkâm al-Khamsah atau hukum Islam
berupa wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah
agar dapat dijadikan konsep atau ajaran etika sosial.
Kedelapan, menjadikan ilmu fikih („ilm al-fiqh) sebagai
bagian dari ilmu hukum secara umum, yaitu
memposisikan bahasa ilmu fikih yang mencakup
masalah-masalah kehidupan umat yang sama dengan
materi atau objek kajian dalam ilmu hukum pada
umunya.
Kesembilan, mendekati fikih yang juga berorientasi
pada kajian induktif atau empirik, di samping deduktif.
Pendekatan induktif dimaksudkan sebagai penyertaan
peran akal pada posisi yang sangat penting dalam
membantu mewujudkan hasanah fi al-dunya dan hasanah
fi al-âkhirah.
Kesepuluh, hendaknya menjadikan konsep mashalih
„ammah menjadi landasan penting dalam mewujudkan
fiqih atau hukum Islam.

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 231


Kesebelas, menjadikan wahyu Allah lewat nushûsh al-
Qurân wa as-sunnah al-shahîhah (teks-teks al-Quran dan
sunnah yang shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal
yang akan dihasilkan dalam ijtihad. Kontrol yang
dimaksud lebih menekankan pada konsep etika
dengan mengacu pada al-mashâlih al-‟ammah.
Konsep baru dalam bermazhab dapat dinyatakan
dengan pernyataan penting: ―siapa pun boleh bermazhab
tanpa kehilangan ruh ijtihad. Dan siapa pun yang
berijtihad tidak dilarang untuk bermazhab tanpa harus
terikat dengan metode dan pendapat para imam mazhab.
Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah? KH. Ahmad
Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama
yang menjadi rujukan baku untuk siapa pun, di mana pun
dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep
normatif Islam sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-
Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w.
di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî, fi‟lî dan taqrîrî.
Hanya saja apa yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w.
perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang berbeda-beda,
dan oleh karenanya ―memerlukan ijtihad‖.
Ijtihad untuk memahami dan menangkap api Islam
Islam bagi KH. Ahmad Dahlan adalah ―harga mati‖. Yang
perlu dicatat bahwa Dia menganjurkan umat Islam untuk
kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah (ar-ruju‟ ila al-
Qur‟an wassunnah al-maqbulah) secara kritis. Ia
menyayangkan sikap taqlid umat Islam terhadap apa dan
siapa pun yang pada akhirnya menghilangkan sikap kritis.

232 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Ia sangat menganjurkan umat Islam agar memiliki
keberanian untuk berijtihad dengan segenap kemampuan
dan kesungguhannya, dan dengan semangat untuk kembali
kepada al-Quran dan as-Sunnah ia pun ingin merombak
sikap taqlid menjadi – minimal – menjadi sikap ittiba‘.
Sehingga muncullah kolaborasi antara para Mujtahid dan
Muttabi‘ yang secara sinergis membangun Islam Masa
Depan, bukan Islam Masa Sekarang yang stagnant (jumud,
berhenti pada kepuasaan terhadap apa yang sudah
diperoleh), apalagi Islam Masa Lalu yang sudah lapuk
dimakan zaman. Semangatnya: ―al-Muhâfadhah „Alâ al-
Qadîm ash-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah”.
Muhammadiyah menyatakan diri tidak bermazhab,
dalam arti tidak mengikatkan diri secara tegas dengan
mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun
manhajî. Tetapi Muhammadiyah bukan berarti antimazhab.
Karena, ternyata dalam memahami Islam Muhammadiyah
banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga
Imam-imam mazhab dan para pengikutnya yang dianggap
―rajih‖ dan meninggalkan yang ―marjuh‖. Pola pikir yang
diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran
Islam adalah berijtihad secara: bayani, qiyasi dan ishtishlahi.
Yang ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah secara
simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang
kontekstual dan bersifat (lebih) operasional. Ijtihad bayani
dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash
(teks) al-Quran maupun as-Sunnah; ijtihâd qiyasi dipahami
sebagai penyeberangan hukum yang telah ada nashnya

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 233


kepada masalah baru yang belum ada hukumnya
berdasarkan nash, karena adanya kesamaan „illat; dan ijtihad
ishtishlahi dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari
realitas-empirik berdasarkan pada prinsip mashlahah,
karena tidak adanya nash yang dapat dirujuk dan tidak
adanya kemungkinan untuk melakukan qiyas Hasil
pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah
yang kemudian ditransformasikan ke dalam
pengembangan pemikiran yang — mungkin saja – linear
atau berseberangan, berkaitan dengan tuntutan zaman.
Demikian juga dalam wilayah praksis, tindakan
keberagamaan yang ditunjukkan dalam sikap dan perilaku
keagamaan umat Islam harus juga mengacu pada kemauan
dan kesediaan untuk melakukan kontekstualisasi
pemahaman keagamaan (Islam) yang bertanggung jawab.
Tidak harus terjebak pada pada pengulangan dan juga
pembaruan, yang secara ekstrem berpijak pada adagium
―purifikasi‖ dan ―reinterpretasi‖ baik yang bersifat
dekonstruktif maupun rekonstruktif.
Lalu bagaimana dengan Himpunan Putusan Tarjih?
Himpunan Putusan Tarjih (selanjutnya disebut HPT)
adalah hasil diskusi dan kesepakatan yang dihasilkan
melalui proses panjang dalam serangkaian pembahasan
para ulama tarjih (Muhammadiyah) dalam setiap
pertemuan resmi, yang saat ini disebut dengan
Musyawarah Nasional (Munas). Hasil-hasil diskusi atau
pembahasan para ulama tarjih (Muhammadiyah) tersebut
kemudian ditanfidzkan (dinyatakan keabsahan dan

234 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


keberlakuannya) oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
yang diasumsikan mengikat secara organisatoris kepada
seluruh jajaran pimpinan dan anggota Muhammadiyah.
Meskipun secara eksplisit Muhammadiyah tidak
pernah menyatakan bermazhab, tetapi dalam praktik
pembahasan atas masalah-keagamaan (utamanya: fikih)
para ulama tarjih (Muhammadiyah) sama sekali tidak bisa
menghindar dari manhaj (metodologi) dan pendapat para
imam mazhab (termasuk imam mazhab empat) dan
pengembangannya dalam berbagai ragam pendapatnya.
Dengan mencermati diktum-diktum putusan tarjih
hingga saat ini, maka kita bisa melihat nuansa mazhab dan
bermazhabnya para ulama tarjih (Muhammadiyah),
utamanya dalam pengertian manhaji (metodologis). Karena
– secara jelas – mereka menggunakan sejumlah manhaj
yang ditawarkan oleh para imam mazhab itu tanpa kecuali.
Hanya saja, para ulama tarjih tidak mau terjebak untuk
mengikatkan diri pada manhaj dan (apalagi) pendapat
ulama mazhab tertentu. Pola bermazhab seperti itu, dalam
khazanah pemikiran keIslaman disebut dengan bermazhab
dengan pola ―talfiqi‖ (memadukan pemikiran
antarmazhab), dengan pertimbangan: ―memilih yang
paling layak untuk dipilih‖ secara proporsional. Pemilihan
metode ―qiyas‖, misalnya, jelas mengacu pada
keberpihakan keempat imam mazhab pada pendekatan
ta‟lili, yang secara lebih jelas diperkenalkan oleh Imam asy-
Syafii dan para pengikutnya. Sementara pemilihan metode
―istihsan‖, jelas mengacu pada Imam Abu Hanifah.

Firqah, Ahlusunnah Waljama’ah, Mazhab, dan Muhammadiyah ~ 235


Sedangkan pemilihan metode ―mashlahah mursalah‖ dengan
berbagai ragam pengembangannya, jelas mengacu pada
Imam Malik. Dan diketika Muhammadiyah (melalui kajian
tarjih) mengadopsi metode ―istishhab‖, maka secara tidak
langsung juga mengakui keberadaan mazhab Hanabilah,
yang merujuk pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
Sebagai konklusi, Muhammadiyah bukanlah sebuah
mazhab, dan tidak berkeinginan untuk menjadikan dirinya
sebagai mazhab baru. Tetapi, dalam perjalanan waktu
temuan-temuan ijtihadnya bisa menjadi model bagi siapa
pun, utamanya warga Muhammadiyah untuk dirujuk
menjadi panduan dalam beragama, sehingga seolah-oleh
menjadi mazbah baru.
Dalam konteks mazhab dan bermazhab, hal itu
bukanlah suatu yang tabu bagi Muhammadiyah. Tetapi,
bagaimanapun juga kesediaan untuk bermazhab dan
mengakui keberadaan mazhab tidak akan pernah
menjebak Muhammadiyah untuk mengikatkan diri para
mazhab tertentu, baik dalam pengertian manhaji apalagi
qauli. Jadi, Muhammadiyah selamanya akan menempatkan
diri sebagai kelompok terbuka untuk menerima, menolak,
mengakomodasi, menghargai, mengeritik dan
menyempurnakan setiap pemikiran keagamaan, (termasuk
di dalamnya fikih), secara kritis, jujur dan terbuka dan
penuh empati kepada pemikiran siapa pun dan dari
mazhab mana pun dengan tetap konsisten untuk merujuk
(kembali) kepada al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah.

236 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


BAB IX
PENGORGANISASI MUHAMMADIYAH

A. Pegertian Organisasi
Organisasi adalah suatu perkumpulan yang terdiri dari
2-3 orang atau lebih yang bersepakat untuk bekerjasama
dalam mewujudkan tujuan bersama. Fungsi organisasi
dalam suatu peruangan adalah suatu alat untuk mencapai
tujuan yang telah dicita-citakan. Adapun unsur-unsur yang
harus dipenuhi dalam organisasi meliputi: tujuan, usaha
(kerjasama) dan pengorganisasian (pengelolaan). Tujuan
dan manfaat berorganisasi selain membuat pekerjaan
dalam mencapai tujuan menjadi ringan, baik tenaga dan
biayanya juga untuk sarana untuk berinteraksi sekaligus
meningkatkan kemampuan diri dalam membangun sebuah
jaringan dan jalinan kerjasama anta kelompok yang pada
akhirnya dapat menguntungkan semua pihak.
Dasar berorganisasi adalah firman Allah s.w.t. yang
terdapat dalam QS. Ash-Shaf ayat 4:
Organisasi bagi Muhammadiyah merupakan tuntunan
shar‟i sebagai tercantum dalam surat As Shaf ayat 4 dan
surat Al Imran ayat 104:
         

 

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 237


“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya
dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu
bangunan yang tersusun kokoh”

        

      


Artiya: hendaklah ada dari kamu sekalian suatu ummat yang
menyeru kepada Islam, melakukan amar ma‟ruf nahi munkar, dan
mereka itulah orang-orang yang berbahagia (QS Ali Imran ;104)
Seorang tokoh Muhammadiyah tahun 1960-1990,
H.M. Djindar Tamimy, sering mengungkapkan dalam
pengajian Muhammadiyah dan dikutip oleh tokoh
Muhammadiyah bahwa kedudukan organisasi
Muhammadiyah sebagai kaidah ushul fikih yang
menyatakan

ٌ ‫َلح َ يَت ُّم َن َََج إ َّْ ى ـَا إه ََ ََْج‬


“Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan unsur”,
maka unsur itu menjadi wajib adanya”.
Berdasarkan kedua dalil dan kaidah ushul fiqih
tersebut, maka keberadaan Muhammadiyah sebagi suatu
organisasi merupakan sebuah keniscayaan sebagai realisasi
atau konsekuensi logis dari pemahaman yang mendalam
dari QS. Ash-Shaff ayat 4 dan dan QS. Ali Imran ayat 104.
Jadi jelaslah bahwa Muhammadiyah merupakan sebauah
organisasi yang bermula dari pemahaman dan kecerdasan
KH. Ahmad Dahlan dalam mengaktulisasikan al-Qur‘an
sebagai sumber inpirasi.

238 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam bukan sekedar
organisasi, lebih-lebih dalam pengertian organisasi dalam
pengertian administrasi yang bersifat teknis. Sebagai
gerakan Islam, Muhammadiyah merupakan gerakan agama
(religious movements), yang di dalamnya terkandung sistem
keyakinan (belief system), pengetahuan (knowledge), organisasi
(organization), dan praktik-praktik aktivitas (practices activity)
yang mengarah kepada tujuan (goal) yang dicita-citakan.
(Haedar Nasir, 2006;5)
Kalau kita cermati Anggaran Dasar Muhammadiyah,
khususnya pasal 6, tujuan Muhammadiyah itu dirumuskan
dengan rumusan yang cukup jelas dan mudah dipahami,
yaitu : ―Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam,
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya‖. Guna mencapai tujuan tersebut,
Muhammadiyah menetapkan beberapa usaha yang
selanjutnya diwujudkan dalam bentuk amal usaha,
program kerja, dan kegiatan Persyarikatan. Di sini
organisasi menjadi salah satu unsur penting dalam gerakan
Muhammadiyah. Itulah sebabnya Muhammadiyah sering
menyebut dirinya dengan istilah Persyarikatan, yakni suatu
berserikat yang memiliki seperangkat idealisme dalam satu
sistem gerakan, baik berkaitan dengan wadahnya
(jam‟iyyah), anggota (jama‟ah) maupun kepemimpinannya
(Imamah) untuk mencapai tujuannya.
Dalam gerak langkahnya Muhammadiyah
membutuhkan perekat yang kokoh, sehingga mampu
mempertahankan nilai-nilai gerakan, sejarah gerakan,

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 239


ikatan dan kesinambungan dalam melaksanakan usaha-
usaha dan mencapai tujuannya. Dalam hal ini
Muhammadiyah secara bertahap melakukan idiologis
gerakan yang berintikan penguatan paham agama sekaligus
pandangan serta strategi dalam mencapai tujuannya.
Dalam Muhammadiyah, ideologi ialah ‖keyakinan
hidup‖ (H.M. Djindar Tamimy, 1968: 6) atau ‖keyakinan
dan cita-cita hidup‖ sebagaimana terkandung dalam Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Jika
disimpulkan bahwa ‖ideologi Muhammadiyah‖ ialah
‖seperangkat pemikiran dan sistem perjuangan untuk
mewujudkannya‖ atau ‖sistem paham dan perjuangan
untuk mewujudkannya‖, yakni ‖paham Islam dan sistem
gerakan Muhammadiyah‖. Jadi bukan hanya paham atau
pemikiran, tetapi juga sistem gerakannya. Ideologi bukan
sekadar paham tetapi sistem paham, bukan sekadar sistem
paham tetapi juga sistem perjuangan untuk mewujudkan
paham tersebut dalam kehidupan. Dalam kerangka
gerakan ideologis, bahkan hal-hal yang bersifat praktis dan
strategis pun tidak dapat dipisahkan dari ideologi,
termasuk dalam gerakan Muhammadiyah (H.M. Djindar
Tamimy, 1968: 40). Dengan deskripsi ideologi seperti ini,
maka Muhammadiyah dapat mengorganisasikan dan
memobilisasi anggota, kader, dan pimpinnannya dalam
satu sistem gerakan untuk melaksanmakan usaha-usaha
dan mencapai tujuan dalam barisan yang kokoh, tidak
berjalan sendiri-sendiri.

240 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


B. Sistem Gerakan Organisasi
Persyarikatan Muhammadiyah menggunakan sistem
organisasi modern. Sejak berdirinya tahun 1912,
Muhammadiyah telah membentuk sejumlah institusi
(kelembagaan) yang terstruktur dalam satu kesatuan yang
utuh. Setiap institusi Muhammadiyah bukan hanya
struktur kelembagaan semata, tetapi juga dijadikan wahana
pelembagaan nilai-nilai dan misi Persyarikatan. Setiap
bagian institusi dalam Muhammadiyah tidak boleh
terpisah dan harus menyatu serta berada dalam kendali
sistem gerakan dan organisasi Persyarikatan.
Sebagai gerakan Islam, pengorganisasian
Muhammadiyah seperti sebuah barisan dan bangunan
yang kokoh (QS. Ash-Shaff/61: 4). Setiap bagian di
dalamnya harus saling menyangga sebagai kesatuan yang
utuh seperti satu tubuh, sebagaimana disebut dalam hadis
Nabi.
Bangunan organisasi Muhammadiyah terdiri atas tiga
komponen, yaitu Pimpinan, Unsur Pembantu Pimpinan,
dan Organisasi Otonom. Komponen-komponen tersebut
mencerminkan distribusi tugas dan kegiatan dalam
kaitannya dengan pencapaian tujuan Persyarikatan
(Rosyad Saleh, 2005:70).
Unsur Pimpinan berada di tingkat Pusat, terdiri dari
lima orang Penasehat, seorang Ketua Umum yang dibantu
dua belas orang Ketua lainnya, seorang Sekretaris Umum
dengan dua anggota, seorang Bendahara Umum dengan
seorang anggotanya. Sedangkan ditingkat Wilayah,

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 241


Daerah, Cabang, dan Ranting terdiri dari Seorang Ketua,
dibantu oleh beberapa Wakil Ketua, Sekretaris dibantu
wakil Sekretaris, Bendahara dibantu oleh wakil Bendahara.
Unsur Pimpinan dan Organisasi Otonom bertugas
melaksanakan kegiatan kepemimpinan (managerial activity),
yaitu kegiatan yang mempunyai hubungan tidak langsung
dengan pencapaian tujuan tetapi sangat menentukan
efektifitasnya baik kegiatan tehnis maupun kegiatan
pelayanan.
Unsur Pembantu Pimpinan dan Organisasi Otonom
sebagian yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan
pokok atau kegiatan teknis (technical activity) dan sebagian
berhubngan dengan pelaksanaan kegiatan pelayanan
(auxiliary activity). Kegiatan pokok atau kegiatan teknis yang
disebutnya kegiatan operasional adalah kegiatan yang
berhubungan langsung dengan pencapaian tujuan. Adapun
kegiatan pelayanan adalah kegiatan yang tidak
berhubungan langsung tetapi sangat menunjang
keberhasilan pokok dan teknis.
Badan Pembantu Pimpinan mempunyai tugas
melaksanakan kegiatan dan amal usaha sesuai dengan
bidangnya dan terikat oleh kebijaksanaan yang ditetapkan
oleh Pimpinan. Sementara, Organisasi-Organisasi
Otonom diberi hak untuk mengatur rumah tangga sendiri,
mempunyai tugas membina bidang-bidang tertentu dalam
rangka pencapaian tujuan Muhammadiyah (Rasyad Soleh,
2005:70-71)

242 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Pimpinan merupakan sekelompok pengurus inti yang
melaksanakan tugas secara koligial dan pengambilan
keputusan melalui musyawarah, masing-masing pimpinan
tidak memiliki wewenang sendiri dalam pengambilan
keputusan. Prinsip koligialitas dan musyawarah
merupakan implementasi dari idiologi gerakan yang
mengacu kepada matan Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah yang diantaranya berbunyi:
“......suatu persyarikatan sebagai "gerakan Islam" dengan nama
"MUHAMMADIYAH" yang disusun dengan Majelis-Majelis
(Bahagian-bahagian)-nya, mengikuti peredaran zaman serta
berdasarkan "syura" yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawatan atau Muktamar.”

C. Struktur Organisasai Muhammadiyah


Pengertian struktur menurut bahasa adalah susunan
atau bangunan atau suatu lapisan masyarakat. Jika
dikaitkan dengan organisasi Muhammadiyah maka dapat
dikatakan bahwa struktur adalah suatu susunan yang
berjenjang dalam melakukan kerjasama dua orang atau
lebih untuk mewujudkan tujuan bersama. Adapun fungsi
dan manfaat struktur dalam organasasi adalah adanya
pembatasan wilayah kerja sehingga diharapkan masing-
masing pimpinan ditingkatnya merasa ringan dan tidak
memiliki beban berlebihan dalam tugas dan tanggung
jawabnya.
Struktur organisasi Muhammadiyah sebenarnya mirip
dengan struktur organisasi pemerintahan di negera kita.
Jika dalam struktur organisasi pemerintah terdapat Negara

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 243


(pusat), Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa,
maka jenjang struktur organsasi Muhammadiyah juga
sama. Hanya istilah atau namanya saja yang berbeda.
Sesuai Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab V pasal 9,
struktur organisasi Persyarikatan ini adalah sebagai berikut:
a) Cabang ialah kesatuan Ranting dalam satu tempat
b) Daerah ialah kesatuan Cabang dalam satu Kota
atau Kabupaten
c) Wilayah ialah kesatuan Daerah dalam satu
Propinsi
d) Pusat ialah kesatuan Wilayah dalam Negara
Muhammadiyah membangun struktur organisasinya
melalui jalur vertikal dan horisontal. Struktur vertikal
adalah susunan organisasi dan kepemimpinan dari tingkat
bawah ke atas atau sebaliknya, dimana masing-masing
tingkatan pimpinan bertanaggung jawab kepada organisasi
ditingkat masing-masing. Hal ini dapat dilihat dalam
struktur Pimpinan Pusat, kemudian Pimpinan Wilayah,
lalu Pimpinan Daerah, terus Pimpinan Cabang, dan
terakhir Pimpinan Ranting. Sedangkan, bentuk struktur
horizontal adalah susunan organisasi berdasarkan bidang-
bidang dan tugas yang menjadi konsentrasi gerakan
Muhammadiyah yang ada di setiap level organisasi
kepemimpinan, dalam bentuk badan atau lembaga dan
organisasi otonom. Bentuk struktur organisasi
Muhammadiyah digambarkan sebagai berikut:

244 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Sumber : www. Muhammadiyah.or.id

1. Unsur Pembantu Pimpinan


Dalam melaksanakan program-programnya
Persyarikatan Muhammadiyah dibantu oleh Majelis dan

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 245


Lembaga. Di organisasi Muhammadiyah, Majelis dan
Lembaga disebut sebagai Pembantu Unsur Pimpinan
Muhammadiyah. Meski disebut sebagai unsur pembatu
pimpinan, namun keduanya memiliki peran dan tugas yang
berbeda-beda. Agar tidak terjadi perbedaan persepsi,
berikut ini akan disajikan perbedaan antara majelis dan
lembaga sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah.

a. Majelis-Majelis
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan
bahwa Majelis adalah Unsur Pembantu Pimpinan yang
menjalankan sebagian tugas pokok Muhammadiyah.
Majelis bertugas menyelenggarakan amal usaha, program,
dan kegiatan pokok dalam bidang tertentu. Majelis
dibentuk oleh Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah,
Pimpinan Daerah, dan Pimpinan Cabang di tingkat
masing-masing sesuai dengan kebutuhan.
Unsur Pembantu Pimpinan Persyarikatan dalam
Muhammadiyah periode 2010-2015 ditetapkan
berdasarkan surat Keputusan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Nomor: 170/KEP/I.0/B/2010, Majelis
dan Lembaga yang dibentuk adalah:

1) Majelis Tarjih dan Tajdid


Majelis Tarjih didirikan pada tahun 1928 sebagai hasil
Kongres Muhammadiyah XVII pada tahun 1928 di
Yogyakarta. Majelis ini dibentuk atas prakarsa KH. Mas
Mansur dan beliau kemudian dipercaya sebagai ketua

246 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


pertamanya. Adapun faktor yang menjadi latar belakang
dibentuknya majelis ini adalah adanya persoalan-persoalan
khilafiyah yang dihadapi oleh warga Muhammadiyah dalam
amaliah sehari-hari. Jika dibiarkan, hal tersebut
dikhawatirkan dapat menimbulkan perselisishan dan
bahkan perpecahan di kalangan umat Islam termasuk
warga Muhammadiyah.
Oleh karena itu, majelis ini diharapkan dapat memilih
mana di antara pendapat-pendapat tersebut yang paling
kuat hujjahnya (rajih) untuk diamalkan oleh warga
Muhammadiyah. Atas dasar itu, majelis ini diberi nama
Majelis Tarjih. Tarjih berasal dari kata ―rajjaha, yurajjihu,
tarjîhan‖ yang berarti menguatkan yaitu menguatkan salah
satu pendapat di antara pendapat-pendapat ulama yang
diperselisihkan (ikhtilaf al-„ulama‟) karena memiliki dalil
yang paling kuat. Dengan demikian, kegiatan tarjih
menghasilkan pendapat yang kuat (rajih) sebagai pendapat
yang dipilih untuk diamalkan dan menyisihkan atau
meninggalkan pendapat-pendapat yang tidak kuat dalilnya
(marjuh).
Metode yang digunakan dalam melakukan tarjih adalah
metode muqaranah (studi komparatif). Metode ini
digunakan untuk mengkaji pendapat-pendapat ulama yang
diperselisihkan dari berbagai mazhab yang ada. Dengan
demikian, pendekatan yang digunakan adalah lintas
mazhab karena menjadi prinsip bagi Muhammadiyah
untuk tidak mengikatkan diri pada salah satu mazhab.
Ushul Fiqih yang digunakan juga Ushul Fiqih muqaranah

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 247


yang berisi kaidah-kaidah Ushul Fiqih dari berbagai
mazhab Ushul Fiqih yang ada.
Sampai sekarang nama Majelis Tarjih tetap
dipertahankan meskipun sudah mengalami perubahan
nama sesuai dengan tuntutan zaman. Tahun 1995
namanya berubah menjadi Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) untuk
mengakomodir perkembangan pemikiran keagamaan yang
berkembang begitu pesat tidak hanya dalam bidang
hukum Islam, tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya
seperti ilmu Kalam, Filsafat, Tasauf dan sebagainya.
Akhirnya, nama majelis ini berubah lagi menjadi Majelis
Tarjih dan Tajdid (MTT) untuk merespon kebutuhan
Persyarikatan yang dirasa kurang greget dalam melakukan
pembaharuan-pembaharauan (tajdîd) dalam berbagai
bidang sehingga terkesan jumud dan mandek. Padahal,
sejak berdirinya Persyarikatan ini dikenal sebagai gerakan
Islam yang mempelopori pebaharuan Islam di Indonesia
dalam berbagai bidang sehingga menjadi ―leader‖ seperti
dalam bidang pendidikan, sosial, dakwah, dan mua‘amalah
duniawiah lainnya.
Pada awalnya, majelis ini bertugas mentarjih pendapat-
pendapat yang diperselisishkan ulama dan memilih
pendapat yang râjih untuk dipedomani warga
Muhammadiyah dalam amaliah sehari-hari. Sejalan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman, akhirnya tugas majelis
ini diperluas tidak hanya sebatas mentarjih pendapat-
pendapat ulama, tetapi lebih dari itu melakukan ijtihad

248 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak ada
ketentuannya dalam Alqur‘an dan hadits.
Ijtihad yang dilakukan oleh Majelis Tarjih bukan ijtihad
fardî (ijtihad individual) sebagaimana telah dilakukan oleh
para imam mujtahid terdahulu seperti imam Abu Hanifah,
Malik bin Anas, Syafii dan Ahmad bin Hambal, tetapi
ijtihad jama‟î (ijtihad kolektif) yang melibatkan ulama dari
berbagai disipilin ilmu. Oleh karena itu, keanggotaan
majelis ini tidak ekslusif dimonopoli oleh ulama-ulama
yang menguasi ilmu agama Islam saja, tetapi juga terbuka
bagi ulama-ulama yang menguasai bidang ilmu non-agama.
Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki rencana strategis
untuk: Menghidupkan trjih, tajdid, dan pemikiran Islam
dalam Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan yang
kritis-dinamis dalam kehidupan masyarakat dan proaktif
dalam menjalankan problem dan tantangan perkembangan
sosial budaya dan kehidupan pada umumnya sehinggan
Islam selalu menjadi sumber pemikiran, moral, dan praksis
sosial di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
yang sangat kompleks.
Berdasarkan garis besar program, Majelis ini
mempunyai tugas pokok:
1. Mengembangkan dan menyegarkan pemahaman dan
pengalaman ajaran Islam dalam kehidupan
masyarakat yang multikultural dan kompleks.
2. Mensistematisasi metodologi pemikiran dan
pengalaman Islam sebagai prinsip gerakan tajdid
dalam gerakan Muhammadiyah.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 249


3. Mengoptimalkan peran kelembagaan bidang tajdid,
tarjih dan pemikiran Islam untuk selalu proaktif
dalam menjawab masalah riil masyarakat yang
sedang berkembang.
4. Mensosialisasikan produk-produk tajdid, tarjih dan
pemikiran keIslaman Muhammadiyah ke seluruh
lapisan masyarakat.
5. Membentuk dan mengembangkan pusat penelitian,
kajian, dan informasi bidang tajdid pemikiran Islam
yang terpadu dengan bidang lain.

2) Majelis Tabligh
Jiwa dan semangat KH. Ahmad Dahlan yang ingin
mengembalikan ummat Islam secara nyata kepada
kemurnian cita ajaran Islam yang bersumber dari al-
Qur‘an dan Al Hadis dijabarkan dalam bentuk mendirikan
Majelis Tabligh atau Majelis Dakwah. Muktamar ke-38
Ujung Pandangtahun 1971 ditetapkan program sebagai
berikut: ―Mewujudkan Muhammadiyah sebagai gerakan
dakwah Islam, amar ma‟ruf nahi munkar, yang mampu
menyampaikan ajaran Islam yang bersumber pada al-
Qur‘an dan Sunnah Rasul SAW, kepada segala golongan
dan lapisan masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya,
sebagai kebenaran dan hal yang diperlukan.‖
Majelis Tabligh dari tingkat pusat sampai cabang
berfungsi sebagai pelaksana program bidang tabligh dan
dakwah Khusus sesuai kebijakan Persyarikatan meliputi:
1. Pembinaan Ideologi Muhammadiyah

250 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


2. Perencanaan, pengorganisasian, pembimbingan,
pengkoordinasian dan pengawasan program dan
kegiatan
3. Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga
profesional
4. Penelitian dan pengembangan bidang tabligh dan
dakwah khusus
5. Penyampaian masukan kepada Pimpinan
Persyarikatansebagai bahan pertimbangan dalam
penetapan kebijakan bidang tabligh dan dakwah
khusus.
Majelis Tabligh dari Tingkat Pusat sampai tingkat
cabang bertugas melaksanakan program bidang tabligh
dan dakwah khusus sesuai kebijakan Persyarikatan
meliputi:
1. Pembinaan Ideologi Muhammadiyah
2. Perencanaan, pengorganisasian, pembimbingan,
pengkoordinasian dan pengawasan program dan
kegiatan
3. Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga
profesional
4. Penelitian dan pengembangan bidang tabligh dan
dakwah khusus
5. Penyampaian masukan kepada Pimpinan
Persyarikatansebagai bahan pertimbangan dalam
penetapan kebijakan bidang tabligh dan dakwah
khusus

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 251


3) Majelis Pendidikan Tinggi
Majelis Pendidikan Tinggi sebelumnya bernama
Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan
PP Muhammadiyah. Sebelumnya juga bernama Majelis
Pendidikan dan Pengajaran PP Muhammadiyah yang
disingkat dengan MPP PP Muhammadiyah yang dipimpin
oleh HS Prodjokusumo dan mengingat perkembangan
Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang terus berkembang
maka disepakati untuk membentuk Majelis yang
menangani langsung Pendidikan Tinggi dan kemudian
disebut Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan
Pengembangan PP Muhammadiyah. Adapun yang diberi
amanat untuk menjabat sebagai ketua pertama kalinya
adalah Drs. H.M. Djazman Al-Kindi. Jumlah Perguruan
Tinggi Muhammadiyah periode kepemimpinan Drs. H.M.
Djazman Al-Kindi ada 78 PTM yang terdiri dari
Universitas 23 buah, Institut 10 buah, Sekolah Tinggi 36
buah, dan Akademi 9 buah. Disamping itu pula
kepengurusan Drs. HM. Djazman Al Kindi telah
meninggalkan momentum Gedung Pusat Penelitian dan
Pengembangan PTM di Jl. Kaliurang Km 25 Yogyakarta,
serta meninggalkan beberapa buku pedoman bagi PTM
diantaranya: Buku Pedoman Administrasi Keuangan
PTM, Buku Pola Pembinaan Kemahasiswaan PTM, Buku
Memasuki Fase Baru PTS dan lain-lain. Disamping itu
dalam upaya untuk menjalin kerjasama antar PTM, Majelis
Diktilitbang PP Muhammadiyah menerbitan Warta PTM

252 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


yang dihimpun sangat sederhana dan dengan isi yang
bermanfaat bagi kalangan PTM.
Majelis sebagai penyelenggara amal usaha, program,
dan kegiatan bidang pendidikan tinggi sesuai kebijakan
Persyarikatan bertugas:
1. Membina ideologi Muhammadiyah;
2. Mengembangkan Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan
3. Merencanakan, mengorganisasikan,
mengkoordinasikan, membina, dan mengawasi
pengelolaan catur dharma perguruan tinggi;
4. Meningkatkan kualitas dan kuantitas perguruan
tinggi;
5. Melakukan penelitian dan pengembangan bidang
pendidikan tinggi;
6. Menyampaikan masukan kepada Pimpinan
Persyarikatan sebagai bahan pertimbangan dalam
penetapan kebijakan
4) Majelis Pendidikan Dasar Dan Menengah
Semenjak masa KH. Ahmad Dahlan Majelis ini
semula bernama urusan sekolahan ―Qismu Arqo” KH.
Ahmad Dahlan Majelis ini semula bernama urusan
sekolahan ―Qismu Arqo” yang kemudian menjadi
Madrasah Mu‘alimin dan Mu‘alimat Muhammadiyah.
Nama Majelis ini dari waktu ke waktu berubah-ubah,
antara lain: Majelis Pendidikan, Majelis Pendidikan dan
Pengajaran, kemudian Majelis Pendidikan dan
Kebudayaan, tahun 1985 Majelis ini dipecah menjadi

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 253


Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Majelis
dikdasmen) dan Majelis Pendidikan Tinggi.
Sebagai pelaksanaan dari garis besar program bidang
pendidikan, maka bersama-sama dengan Majelis
Pendidikan Tinggi, Majelis Dikdasmen memiliki tugas
untuk:
1) Membangaun cetak biru (blue print) pendidikan
Muhammadiyah untuk menjawab ketertinggalan
pendidikan Muhammadiyah selama ini, dan sebagai
langkah antisipasi bagi masa depan pendidikan yang
lebih kompleks.
2) Menegaskan posisi dan implementasi nilai Islam,
Kemuhammadiyahan, dan kaderisasi dalam seluruh
sistem pendidikan Muhammadiyah.
3) Mempercepat proses pengembangan institusi
pendidikan Muhammadiyah sebagai pusat
keunggulan dengan menyusun standar mutu.
4) Menjadikan mutu sebagai tujuan utama bagi
seluruh usaha pengembangan amal usaha
pendidikan Muhammadiyah.
5) Mengintegrasikan pengembangan amal usaha
pendidikan Muhammadiyah dengan program
pengembangan masyarakat.
6) Menyusun sistem pendidikan Muhammadiyah yang
berbasis Al-Qur‘an dan Sunnah.
5) Majelis Pendidikan Kader

254 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Majelis Pendidikan Kader merupakan nama baru dari
Badan Pembina Kader (1990) dan Majelis Pengembangan
Kader dan Sumber Daya Insani (2005).
Berdasarkan garis besar program, MPK memiliki
tugas-tugas antara lain sebagai berikut:
1) Meningkatkan kualitas perkaderan dalam segala
aspek, meliputi materi, pengelolaan, metode, strategi,
dan orientasi perkaderan agar lebih relevan dan
kompatibel dengan kepentingan dan kebutuhan para
kader.
2) Meningkatkan kompetensi kader yang meliputi
kompetensi akademis dan intelektual, kompetensi
keberagamaan, dan kompetensi sosial-kemanusiaan
guna menghadapi tantangan organisasi masa depan.
3) Melaksanakan transformasi kader secara terarah dan
kontinyu guna memberi peluang bagi kader dalam
mengaktualisasikan potensi dan kompetensinya di
Muhammadiyah, serta memperluas akses ke berbagai
bidang dan profesi di luar Persyarikatan.
4) Melakukan pemberdayaan AMM yang terdiri dari
tiga unsur, yaitu anggota organisasi-organisasi
otonom angkatan muda Muhammadiyah, anggota
keluarga warga Muhammadiyah dan
pelajar/mahasiswa serta lulusan lembaga pendidikan
Muhammadiyah.
5) Melaksanakan penguatan sekolah-sekolah kader
Muhammadiyah seperti Madrasah Muallimin /
Muallimat Muhammadiyah, Pondok Hj. Nuriyah

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 255


Shabran, PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih
Muhammadiyah), Pondok Pesantren Darul Arqam
Muhammadiyah, dan lain-lain dengan pengawasan
yang intensif.
6) Melaksanakan pemantapan dan peningkatan
pembinaan dan ideologi gerakan di kalangan kader,
pimpinan, dan anggota Persyarikatan sebagai basis
solidaritas dan kekuatan perjuangan dalam
mewujudkan tujuan Muhammadiyah.
6) Majelis Pembina Kesehatan Umum
Atas kesadaran menganalkan Surat Al Ma‘un, KH.
Ahmad Dahlan dibantu oleh murid-muridnya KH. Ahmad
Dahlan menggerakan Penolong Kesengsaraan Oemoem
(PKO). KH. Ahmad Dahlan berulang kali mengajarkan
ayat dan surat itu, tetapi pengamalannya tidak ada,
meskipun santrinya telah hafal, KH.. Ahmad Dahlan
mendorong santrinya mencari anak fakir miskin,
menyantuni dan menghimpun, memberikan sandang
pangan, mendidik mereka shalat dan memberikan mereka
kerja.
Ide itu diteruskan oleh KH. Sudja, murid setia KH.
Ahmad Dahlan, yang akhirnya banyak memiliki rumah
yatim, rumah miskin, panti asuhan, dan balai kesehatan
ibu dan anak (BKIA).
Nama Majelis ini sempat beberapa kali mengalami
perubahan dari PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem),
PKU (Pembina Kesejahteraan Umat), MKKM (Majelis
Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat), tahun 2010

256 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


kembali menjadi Majelis Pembina Kesehatan Umum
(MPKU).
Rencana strategis bidang Kesehatan, Kesejahteraan,
dan Pemberdayaan Masyarakat adalah mengembangkan
dan memperluas kekuatan basis gerakan Muhammadiyah
yang terletak pada pusat ―Penolong Kesengsaraan
Oemoem‖ sehingga menjadi tenda besar bagi pelayanan
dan keberpihakan sosial Muhammadiyah secara terpadu
dan lebih luas.
Berdasarkan garis besar program, Majelis ini
mempunyai tugas-tugas antara lain sebagai berikut:
1. Mendorong pelayanan terpadu bidang kesehatan
yang menekankan pada kesehatan fisik, jiwa, iman,
hukum dan sosial.
2. Mengembangkan konsep jalinan dan keterpaduan
antara pelayanan sosial kesehatan Muhammadiyah
dengan masyarakat dalam rangka mengembangkan
misi Islam dan Muhammadiyah.
3. Membangun jaringan pelayanan sosial dan kesehatan
Muhammadiyah yang mendorong bagi terciptanya
daya dukung kekuatan pelayanan yang kuat, strategis
dan cepat kepada masyarakat akar rumput.
4. Membuat dan mengembangkan pusat penelitian,
pengembangan, data, informasi dan crisis center
kesejahteraan masyarakat sebagai peta dasar dan
tindakan strategis dalam memberikan pelayanan
sosial Muhammadiyah di masyarakat.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 257


5. Mendorong, mengembangkan, dan mengoptimalkan
terus menerus kekuatan Muhammadiyah sebagai
elemen pemberantasan serta penyalahgunaan
NAPZA.
6. Menghidupkan suasana ke-Islaman dan dakwah
dalam setiap memberikan pelayanan kepada
masyarakat.

7) Majelis Pemberdayaan Masyarakat


Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) adalah
―produk baru‖ sebagai hasil keputusan Muktamar ke-45 di
Malang tahun 2005. Namun bukan sama sekali baru,
karena ia merupakan kelanjutan dari Lembaga Buruh, Tani
dan Nelayan (BTN) pada periode sebelumnya.
Berdasarkan garis besar program, Majelis ini
mempunyai tugas-tugas antara lain sebagai berikut:
1) Membuat prioritas penanganan masalah dalam
memberikan pelayanan kesejahteraan masyarakat
berdsarkan kebutuhan masyarakat.
2) Mengembangkan alternatif-alternatif baru program
pengembangan masyarakat untuk berbagai level dan
jenis kelompok masyarakat.
3) Mengintegrasikan kerja Persyarikatan dan Amal
Usaha dalam program pengembangan masyarakat.
4) Mengembangkan model-model pemberdayaan
masyarakat untuk komunitas buruh, tani, nelayan,
dan kaum marjinal di perkotaan maupun pedesaan.
5) Meningkatkan dan memperluas jangkauan program
pemberdayaan masyarakat di lingkungan komunitas
258 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan
petani, buruh, nelayan, dan mereka yang mengalami
marjinalisasi sosial perkotaan maupun pedesaan.
6) Madukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan
masyarakat dengan kegiatan dakwah yang membawa
kemajuan.
8) Majelis Wakaf dan Kehartabendaan
KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori wakaf dengan
memberikan tanah untuk musholla dan madrasah, pada
periode kepemimpinan KH. AR Fahruddin, majelis ini
diusahakan badan hukum pada pemerintah dengan SK.
Menteri Dalam Negeri RI No:SK 14/DDA/1972 tanggal
10 Februari 1972 yang menegaskan bahwa ―Persyarikatan
Muhammadiyah sebagi badan hukum dapat mempunyai
tanah dan hak milik‖.
Rencana strategis bidang Wakaf, ZIS (Zakat, Infaq,
dan Shadaqah), dan Pemberdayaan Ekonom adalah:
Terciptanya kehidupan sosial ekonomi umat yang
berkualitas sebagai benteng atas problem kemiskinan,
keterbelakangan, dan kebodohan pada masyarakat bawah
melalui berbagai program yang dikembangkan
Muhammadiyah.
Berdasarkan garis besar program, Majelis ini
mempunyai tugas pokok antara lain:
1) Peningkatan pengelolaan ZIS (Zakat, Infaq, dan
Shadaqah) dan akuntabilitasnya sehingga menjadi
penyangga kekuatan gerakan pemberdayaan umat.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 259


2) Peningkatan mutu pengelolaan wakaf dan perkuasan
gerakan sertifikasi tanah-tanah wakaf di lingkungan
Persyarikatan.
3) Pengembangan bentuk wakaf dalam bentuk wakaf
tunai dan wakaf produktif.
9) Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan
Majelis ini dibentuk dalam rangka memajukan
perekonomian warga dan anggota Muhammadiyah dengan
mewujudkan sistem jam‟iyah (jaringan ekonomi
Muhammadiyah) sebagai revitalisasi gerakan dakwah
secara menyeluruh, maka Muhammadiyah terus
membangun infrastruktur pendukung jama‘ah dalam
berbagai bentuk.
Berdasarkan garis besar program, Majelis ini
mempunyai tugas pokok antara lain:
1. Menciptakan cetak biru (blue print) pengembangan
ekonomi sebagai usaha untuk mengevaluasi dan
merancang program pemberdayaan ekonomi ummat
yang efektif.
2. Mengembangkan model pemberdayaan ekonomi
yang didasarkan atas kekuatan sendiri sebagai wujud
cita-cita kemandirian ekonomi ummat.
3. Menegaskan keberpihakan Muhammadiyah terhadap
usaha-usaha ekonomi dalam membangun kekuatan
masyarakat kecil (akar rumput) yang dhu‘afa dan
mustadh‘afin melalui kegiatan-kegiatan ekonomi
alternatif.

260 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


4. Mengupayakan terlaksananya ekonomi syariah yang
lebih kuat, terorganisasi dan tersistem.

10) Majelis Pustaka dan Informasi


Masa KH. Ahmad Dahlan mendirikan Majelis Taman
Pustaka, kemudian menjadi Majelis Pustaka. Sejak
Muktamar ke-45 di Malang diubah menjadi Lembaga
Pustaka dan Informasi, kemudian tahun 2010 pasca
Muktamar ke-46 diubah kembali menjadi Majelis Pustaka
dan Informasi dengan tugas dan fungsi sebagai berikut:
a. Mengoptimalkan pemanfaatan multimedia dan
teknologi informasi untuk menopang aktivitas
Persyarikatan meliputi media elektronik, dalam hal
ini radio dan televisi, media internet dan mobile
devices, media cetak, dan lain-lain.
b. Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan
perpustakaan yang berfungsi untuk pengembangan
pengetahuan dan informasi warga Persyarikatan dan
masyarakat luas.
c. Melaksanakan pelatihan pustakawan dan public
relations dalam menunjang pelayanan dan fungsi-
fungsi tugas Persyarikatan.
d. Meningkatkan pelayanan publikasi baik yang bersifat
cetak maupun elektronik sebagai bagian penting
dalam pengembangan syi‘ar Persyarikatan.
11) Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia
Majelis ini sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dari
Lembaga Keadilan Hukum PP Muhammadiyah pada

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 261


periode sebelum Muktamar ke-44 di Jakarta tahun 2000,
kemudian diubah menjadi Lembaga Hukum dan HAM,
Pasca Muktamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta
dikembangkan menjadi Majelis Hukum dan HAM
Berdasarkan garis besar program, majelis ini
mempunyai tugas pokok antara lain:
1. Melakukan penyadaran kepada masyarakat tentang
hak asasi manusia dan demokrasi, termasuk lewat
jalur pendidikan.
2. Mengupayakan advokasi publik yang menyangkut
kebijakan yang bersentuhan dengan kepentingan
rakyat banyak.

12) Majelis Pelayanan Sosial


Majelis ini berdiri bersamaan dengan berdirinya
Muhammadiyah dengan nama Bagian Penolong
Kesengasaraan Oemoem (PKO). Adapun kegiatan PKO
dalam bidang kesehatan.Mendirikan Rumah Sakit dan
Klinik. Bidang Sosial, mendirikan Panti Asuhan dan
Rumah Miskin
Tahun 1956 Majelis Kesengsaraan Oemoem berubah
nama menjadi Majelis Pembina Kesejahteraan Ummat
(Majelis PKU). Kemudian tahun 1990 berubah nama
menjadi Majelis Pembina Kesehatan. Dilanjutkan pada
tahun 2000 Majelis Pembina Kesehatan berubah Majelis
Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat (MKKM).
Akhir tahun 2010, pasca Muktamar 1 Abad
Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Muhammadiyah
mengesahkan Pembentukan Majelis Pelayanan Sosial

262 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


sebagai pemekaran dari MKKM, menyertai disahkannya
Majelis Pelayanan Kesehatan Umum.
13) Majelis Lingkungan Hidup
Pendirian Majelis Lingkungan Hidup sebagai bentuk
konkrit dari kepedulian Muhammadiyah dalam
mencermati masalah-masalah lingkungn hidup, yang
dalam perkembangan terakhir banyak muncul di
masyarakat.
Majelis ini mulai terbentuk tahun 2010 sebagai
pengembangan Lembaga Lingkungan Hidup yang
dibentuk sebelum Muktamar 1 Abad Muhammadiyah.
Lingkungan menjadi sorotan kajian dan aksi dari lembaga
ini adalah lingkungan hidup biologis dan lingkungan social
kemasyarakatan.
Berdasarkan garis besar program, majelis ini
mempunyai tugas pokok antara lain:
1. Mengembangkan aktivitas pendidikan dan dakwah
lingkungan yang dimotori oleh majelis terkait, guna
memberi pengertian tentang pengelolaan lingkungan
yang benar dan membangun kesadaran tentang
pentingnya kelestarian lingkungan hidup.
2. Mendorong tumbuhnya kesadaran baru etika
lingkungan di kalangan masyarakat luas, termasuk
dunia usaha, yang cenderung mengabaikan etika
lingkungan.
3. Melakukan kampanye sadar lingkungan secara luas
bekerjasama dengan berbagai instansi, baik
pemerintah maupun swasta.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 263


b. Lembaga-Lembaga
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan
bahwa Lembaga adalah Unsur Pembantu Pimpinan yang
menjalankan tugas pendukung Muhammadiyah. Lembaga
yang dibentuk oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
sebagai berikut:
1. Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
(LPCR)
Lembaga ini di bentuk untuk melakukan penguatan
kembali Ranting sebagai basis gerakan melalui proses
penataan, pemantapan, peningkatan, dan pengembangan
ranting baru ke arah kemajuan dalam berbagai aspek
gerakan Muhammadiyah.
Tugas pokok LPCR antara lain:
a. Mengaktifkan kembali Ranting-Ranting yang mati
atau setengah-mati/stagnan
b. Mengefektifkan dan mengintensifkan fungsi
Ranting sebagai pimpinan yang membina anggota
dan jama‘ah
c. Membentuk Ranting-Ranting baru terutama di
pedesaan dan pusat-pusat kawasan kota besar
d. Menjadikan Ranting-Ranting tertentu yang memiliki
infrastruktur dan prasyarat/kondisi yang kondusif
untuk pilot proyek/program Keluarga Sakinah serta
Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah (GJDJ)
e. Menghidupkan dan menyemarakkan pengajian-
pengajian pimpinan dan anggota dengan berbagai
model alternatif

264 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


f. Mengembangkan fungsi pelayanan crisis center untuk
advokasi di tingkat Ranting.
g. Menjadikan Ranting sebagai basis kegiatan
pemberdayaan masyarakat dan pembentukan Islamic
Civil Society
h. Meningkatkan konsolidasi, termasuk komunikasi
dan jaringan intensif, dengan seluruh organisasi
otonom dan unit-unit kelembagaan di tingkat
Ranting.
i. Khususdengan Aisyiyah perlu lebih
mengembangkan sinergi yang solid dan
memberikan peran yang lebih signifikan karena
organisasi otonom Khususini memiliki basis
kegiatan yang kuat dan cukup intensif yang
berhubungan langsung dengan masyarakat di
bawah.
j. Menyiapkan dan mengusahakan kader
Muhammadiyah untuk menempati posisi-posisi dan
peran-peran penting serta strategis dalam kiprah
kemasyarakatan di wilayah/kawasan Ranting
setempat seperti menjadi Ketua RT, kelompok-
kelompok sosial, organisasi kepemudaan, kelompok
tani, dan sebagainya.
k. Membangun/menyediakan/melengkapi
perkantoran/gedung Ranting yang bersifat
serbaguna dan menjadi pusat gerakan
Muhammadiyah, sekaligus pusat pelayanan
masyarakat, termasuk pemasangan papan nama.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 265


l. Selain mengelola amal usaha Ranting, perlu
meningkatkan sinergi dan kerjasama dengan amal
usaha yang berada di lingkungan Ranting
Muhammadiyah setempat.
m. Menyelenggarakan pengajian umum dan
Khusussesuai dengan model yang dikembangkan
dalam Muhammadiyah secara terpadu/tersistem,
intensif, dan bersifat alternatif.
n. Melaksanakan Gerakan Jama‘ah dan Dakwah
Jama‘ah minmal yang bersifat terbatas, tidak harus
ideal, yang mengikat Muhammadiyah dengan
masyarakat setempat.
o. Menyebarluaskan tuntunan-tuntunan hidup
beragama melalui media buletin. brosur, dsb, dalam
bahasa Indoneia atau daerah yang dikemas dengan
baik dan komunikatif.
p. Memanfaatkan radio komunitas (radio Mentari)
sebagai media informasi dan silaturahmi/interaksi
q. Membentuk jama‘ah-jama‘ah bina kesehatan, bina
kesejahteraan, bina pemberdayaan pendidikan, bina
kerukunan sosial, dsb.
r. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pemberdayaan
masyarakat seperti di bidang pertanian, perikanan,
perkebunan, dan kegiatan-kegiatan ekonomi mikro
dan kecil yang terjangkau dan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dengan pendekatan
Gerakan Jama‘ah dan Dakwah Jama‘ah (GJDJ).

266 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


2. Lembaga Pembina dan Pengawas Keuangan
(LPPK)
Tugas pokok LPPK antara lain:
1. Menyusun dan memasyarakatkan sistem
pengelolaan keuangan Persyarikatan, Pembantu
Pimpinan dan Amal Usahanya.
2. Membina dan mengawasi pengelolaan keuangan
Persyarikatan, Pembantu Pimpinan dan Amal
Usahanya.
3. Melakukan kajian tentang sistem keuangan umum
sebagai pertimbangan bagi Pimpinan Persyarikatan
dalam kebijakan keuangan.

3. Lembaga Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri


Berdasarkan garis besar program, Lembaga ini
mempunyai tugas pokok antara lain:
1. Mengembangkan kerjasama yang harmonis dan
saling menguntungkan dengan berbagai instansi,
baik pemerintah, maupun swasta, serta dalam
maupun luar negeri, untuk mendukung gerak
Pesyarikatan.
2. Berperan aktif dalam upaya membangun tata dunia
baru yang adil dan berkeadaban.
3. Mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak,
baik dalam maupun luar negeri, dalam rangka
meningkatkan kualitas kehidupan umat Islam guna
mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 267


4. Mengefektifkan kerjasama dengan berbagai
kalangan, baik dalam maupun luar negeri, guna
meningkatkan peran Muhammadiyah dan umat
Islam secara lebih luas sekaligus mengantisipasi
segala bentuk pemojokan yang merugikan
Muhammadiyah dan umat Islam.
4. Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Lembaga ini mempunyai tugas antara lain:
1. Memfasilitasi dan membantu kegiatan penelitian
melalui kerjasama dan pengembangan jaringan
penelitian didalam dan luar negeri.
2. Medorong inovasi, kretivitas, dan penemuan
program baru di bidang IPTEK yang bermanfaat
3. Mendorong dan melaksanakan penelitian tentang
muhammadiyah.

5. Lembaga Penanggulangan Bencana


Lembaga Penanggulangan Bencana atau
Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC) adalah
lembaga penanggulangan bencana Muhammadiyah yang
berdiri pertama melalui SK PP Muhammadiyah
No.58/KEP/LO/D/2007. Institusi ini merupakan
penajaman dari salah satu rekomendasi internal Muktamar
Muhammadiyah ke-46 di Malang yang secara tegas
mengamanatkan Organisasi untuk menghidupkan kembali
kerja-kerja kemanusiaan, khususnya dalam bidang
bencana, baik dalam masa darurat maupun membangun
ketahanan masyarakat.

268 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Sesuai mandatnya, maka MDMC bertugas melayani
kemanusiaan berdasarkan: (a). Nilai dasar ajaran agama
Islam ―rahmatan lil alamin‖; (b). Sejarah perjuangan
Muhammadiyah sebelumnya; (c). organisasi MDMC yang
lintas sektoral; (d). Tuntutan perkembangan kerja
kemanusiaan global. Ini juga memperjelas posisi MDMC
yang secara organisasi memiliki kapasitas sekaligus
ancaman dan peluang.
Secara umum, posisi strategis yang dimiliki saat ini
adalah bahwa MDMC adalah praksis Muhammadiyah back
to basic, kembali ke basis jati diri, khittah dan bidang
geraknya di bidang da‘wah, tarbiyah dan kesejahteraan.
Melakukan pemberdayaan organisasi dan proyek
MDMC sendiri sebagai bagian integral dari pencerahan
kembali gerakan Muhammadiyah berdasar visi 2025.
Dengan konsolidasi MDMC kedalam, dilaksanakan
seiring dengan tantangan dan keikut-sertaan
Muhammadiyah dalam kegiatan kemanusiaan global.
Harapan untuk dapat menjadi pemain global setelah
masa inkubasi 3-5 tahun ke depan.
Sesuai bidang-bidang garapan yang terdapat dalam
Penanggulangan Bencana, MDMC, dengan hasil analisis
SWOT-nya, saat ini baru dapat melakukan kegiatan yang
ada dalam bidang Tanggap Darurat dan Kesiapsiagaan.
Tujuan strategis yang dianggap sebagai prioritas utama
yang harus diselesaikan oleh MDMC dalam jangka waktu
3 (tiga) sampai 5 (lima) tahun ke depan adalah:

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 269


1. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan MDMC
untuk kerja-kerja Kemanusiaan dalam isu Bencana.
2. Penguatan Jaringan dan Mendorong Partisipasi
Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana
6. Lembaga Zakat, Infaq dan Shadaqah (LAZ-
IZMU)
Muhammadiyah didirikan dan dibesarkan dari dana
zakat, infaq dan shadaqah (LASZISMU) warga masyarakat
dan para aghniyah. Penggalian dana ini masih bersifat
parsial dan sporadic dan belum dilakukan secara sistimatis
dan terlembaga secara intensif sehingga hasil yang dicapai
dirasa kurang optimal.
Muhammadiyah memandang perlu adanya upaya
untuk menanggulangi kemiskinan dengan
mengoptimalkan penggalian dana ZIS, guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang berada dalam kemiskinan
dan kesusahan . cukup banyak ummat Islam yang belum
menunaikan zakat karena kurangnya pemahaman dan
pengetahuan mereka.
LAZISMUH bertugas membantu Pimpinan
Persyarikatan dalam penerimaan, penampungan dan
penyaluran dana dari zakat, infaq dan shadaqah dari
masyarakat Islam dan warga Muhammadiyah.
7. Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP)
Berdasarkan garis besar program, Lembaga ini
mempunyai tugas pokok antara lain:
a. Mengembangkan lembaga khusus sebagai
kelompok pemikir (think-tank) yang bertugas

270 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


melakukan kajian terus-menerus tentang berbagai
isu nasional serta kebijakan nasional yang
menyangkut rakyat banyak.
b. Berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam upaya
penguatan masyarakat sipil serta penegakan
demokrasi dan hak asasi manusia.
c. Meneruskan gerakan antikorupsi dengan
memanfaatkan kerjasama yang telah dirintis selama
ini.
d. Membangun jalinan yang sinergis dengan kader
dan simpatisan Muhammadiyah yang berada di
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
e. Meluaskan pendidikan kewarganegaraan (civic
education) yang selama ini telah dikembangkan di
berbagai Universitas Muhammadiyah bagi semua
lembaga pendidikan milik Muhammadiyah, yang
terarah pada pembangunan masyarakat yang
demokratis dan berkeadaban.
f. Menyelenggarakan pendidikan kader politik dan
menyusun panduan tentang politik yang Islami.
8. Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO)
Berdasarkan garis besar program, Lembaga ini
mempunyai tugas pokok antara lain:
a. Mengembangkan apresiasi kesenian, kesusastraan,
dan pariwisata yang Islami dan memberikan nuansa
kehalusan budi dan spiritual Islami dalam
kehidupan warga Persyarikatan, umat, dan
masyarakat luas.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 271


b. Memproduksi film, buku, dan seni pertunjukan
yang membawa pesan kerisalahan dan peradaban
Islami.
c. Melakukan kajian dan kritik terhadap praktik-
praktik kesenian dan berbagai publikasi yang
bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma
ajaran Islami serta merusak akhlak dan peradaban
manusia.
d. Meningkatkan pengadaan dan pengelolaan sarana,
prasarana, pendidikan, produksi, dan
pengembangan seni-budaya di lingkungan
persyarikatan.
e. Meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak
dalam pengembangan seni-budaya Islami.
f. Memanfaatkan media massa cetak dan elektronik
sebagai sarana dalam pengembangan program seni
budaya dalam Muhammadiyah.
9. Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional
(LHKI)
Berdasarkan garis besar program, Lembaga ini
mempunyai tugas pokok antara lain:
1. Mengembangkan kerjasama yang harmonis dan
saling menguntungkan dengan berbagai instansi,
baik pemerintah, maupun swasta, serta dalam
maupun luar negeri, untuk mendukung gerak
Pesyarikatan.
2. Berperan aktif dalam upaya membangun tata dunia
baru yang adil dan berkeadaban.

272 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


3. Mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak,
baik dalam maupun luar negeri, dalam rangka
meningkatkan kualitas kehidupan umat Islam guna
mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang.
4. Mengefektifkan kerjasama dengan berbagai
kalangan, baik dalam maupun luar negeri, guna
meningkatkan peran Muhammadiyah dan umat
Islam secara lebih luas sekaligus mengantisipasi
segala bentuk pemojokan yang merugikan
Muhammadiyah dan umat Islam.

D. Organisasi Otonom (ortom) dalam Persyarikatan


Muhammadiyah
Organisasi Otonom Muhammadiyah ialah organisasi
atau badan yang dibentuk oleh Persyarikatan
Muhammadiyah yang dengan bimbingan dan pengawasan,
diberi hak dan kewajiban untuk mengatur rumah tangga
sendiri, membina warga Persyarikatan Muhammadiyah
tertentu dan dalam bidang-bidang tertentu pula dalam
rangka mencapai maksud dan tujuan Persyarikatan
Muhammadiyah.
Organisasi Otonom (Ortom) Muhammadiyah sebagai
badan yang mempunyai otonomi dalam mengatur rumah
tangga sendiri mempunyai jaringan struktur sebagaimana
halnya dengan Muhammadiyah, mulai dari tingka pusat,
tingkat propinsi, tingkat kabupaten, tingkat kecamatan,
tingkat desa, dan kelompok-kelompok atau jama‘ah –
jama‘ah.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 273


Dalam kedudukannya sebagai organisasi otonom yang
mempunyai kewenangan mengatur rumah tangga sendiri,
Ortom Muhammadiyah mempunyai hak dan kewajiban
dalam Persyarikatan Muhammadiyah ialah sebagai berikut:
1. Melaksanakan Keputusan Persyarikatan
Muhammadiyah
2. Menjaga nama baik Persyarikatan Muhammadiyah
3. Membina anggota-anggotanya menjadi warga dan
anggota Persyarikatan Muhammadiyah ynag baik
4. Membina hubungan dan kerjasama yang baik
dengan sesama ortom
5. Melaporkan kegiatan-kegiatannya kepada pimpinan
Persyarikatan Muhammadiyah
6. Menyalurkan anggota-anggotanya dalam kegiatan
gerak dan amal usaha Persyarikatan
Muhammadiyah sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuannya
Adapun hak yang dimiliki oleh Ortom
Muhammadiyah ialah sebagai berikut :
1. Mengelola urusan kepentingan, aktivitas dan amal
usaha yang dilakukan organisasi otonomnya
2. Berhubungan dengan organisasi/ Badan lain di luar
Persyarikatan Muhammadiyah
3. Memberi saran kepada Persyarikatan
Muhammadiyah baik diminta atau atas kemauan
sendiri
4. Mengusahakan dan mengelola keuangan sendiri

274 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Ortom dalam Persyarikatan Muhammadiyah
mempunyai karakteristik dan spesifikasi bidang tertentu.
Organisasi Otonom terdiri dari Organisasi Otonom
Khususdan Organisasi Otonom Umum. Orgonisasi
Otonom Khususadalah Organisasi Otonom yang
anggotanya semua anggota Muhammadiyah (putri) dan
bisa mengelola amal usaha sama seperti Muhammadiyah
sedang Organisasi Otonom Umum adalah Ortom yang
anggotanya belum semuanya anggota Muhammadiyah dan
belum bisa mengelola Amal Usaha. Adapun Ortom dalam
Persyarikatan Muhammadiyah yang sudah ada ialah
sebagai berikut:

1. Aisyiyah
Setalah berhasil mendirikan Muhammadiyah, KH.
Ahmad Dahlan mulai membina usaha baru untuk
mendirikan bagian wanita dalam Muhammadiyah.Dengan
dibantu Nyai Ahmad Dahlan dan dibantu sahabat-sahabat
dekatnya dan murid-miridnya. KH. Ahmad Dahlan
berhasil mendirikan Aisyiyah sebagai bagian wanita dalam
Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan dalam membangun
Aisyiyah ini merupakan keberhasilan yang bertujuan
mengangkat kemajuan kaum wanita. KH. Ahmad Dahlan
berpesan kepada para sahabat dan murid-muridnya supaya
berhati-hati dengan urusan Aisyiyah. Kalau dapat
memimpin dan membimbing mereka, Insya Allah mereka
akan menjadi pembantu dan teman yang setia dalam
melancarkan persyarikatan Muhammadiyah menuju cita-
citanya. Kemajuan kepada murid-murid wanitanya KH.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 275


Ahmad Dahlan mengatakan agar urusan dapur jangan
dijadikan penghalang untuk menjalankan tugas dalam
menghadapi masyarakat. KH. Ahmad Dahlan mempunyai
perhatian cukup besar terhadap soal wanita.
Pada tanggal 19 Mei 1917 atau 27 Rajab 1335 H
organisasi Aisyiyah diresmikan. Upacara peresmian itu
waktunya bertepatan dengan Isro‘ Mi‘raj Nabi Muhammad
SAW yang diadakan oleh Muhammadiyah untuk pertama
kalinya secara meriah dan besar. Bahkan karena acaranya
terlalu padat hingga pukul tiga dini hari belum
selesai.Tempat murid-murid duduk terpisah. Dalam
upacara peresmian itu pengurus Aisyiyah berpakaian
seragam yang terbuat dari bahan sutera berenda.Pakaian
seperti itu menunjukkan kemewahan hidup waktu itu. Hal
tersebut tidak mengherankan kerena orang-orang tua
mereka pengusaha-pengusaha batik yang berhasil dan kaya
raya. Untuk memberikan suatu nama yang konkrit menjadi
nama suatu perkumpulan, KH. Mokhtar mengadakan
suatu pertemuan yang dihadiri oleh Kyai Ahmad Dahlan,
Ki Bagus Hadikusuma, KH. Fakharudin dan pengurus
Muhammadiyah lainnya. Pertemuan itu bertempat
dirumah KH. Ahmad Dahlan. (Suratmin 2005 ; 51)
Waktu memberi nama itu di antaranya diusulkan
Fatimah, tetapi nama itu tidak diterima. Kemudian oleh
almarhum KH. Fakhrudin dicetuskan nama Aisyiyah.
Rupa-rupanya nama inilah yang paling tepat sebagai nama
organisasi wanita baru itu. Nama itu dikatakan tepat
karena Siti Aisyiyah adalah isteri Nabi yang membantu

276 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


beliau waktu berdakwah dan pernah juga ikut berperang
dalam medan pertempuran. Dengan nama tersebut
diharapkan agar perkumpulan yang didirikan itu diberi
nama Aisyiyah. Setelah disetujui maka pada tahun 1917
diadakan upacara peresmiannya.
Adapun yang bertindak sebagai pembuka kelambu
pada waktu itu ialah KH. Mokhtar. Itulah peresmian
suasana terbentuknya Aisyiyah di muka umum pada tahun
1917. Susunan Pengurus Aisyiyah hasil kesepakatan dalam
pembentukannya telah ditetapkan sebagai berikut:
Siti Bariah, Ketua
Siti Badilah, Penulis
Siti Amunah Harawi, Bendahara
Ny. H. Abdullah Pembantu
Ny. Fatimah Wasaal, Pembantu
Siti Dalalah, Pembantu
Siti Wadingah, Pembantu
Siti Dawimah, Pembantu
Siti Busyuro, Pembantu
Selanjutnya untuk memberi bimbingan administrasi
dan organisai KH. Mokhtar telah menyediakan dirinya,
sedang bimbingan jiwa keagamaan diberikan sendiri oleh
KH. Ahmad Dahlan.
Setelah pengurus Aisyiyah secara resmi terbentuk,
maka agar dalam upaya mencapai cita-citanya KH. Ahmad
Dahlan memberikan bekal-bekal perjuangan sebagi
berikut:

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 277


a. Perjuangan hendaklah disertai dengan keikhlasan
hati menunaikan tugasnya sebagi wanita Islam
sesuai dengan bakat kecakapannya, tidak
menghendaki sanjung puji dan tidak mundur
selangkah karena dicela.
b. Penuh keinsafan bahwa beramal itu harus berilmu.
c. Jangan mengadakan alasan yang tidak dianggap sah
oleh Tuhan hanya untuk menghindari suatu tugas
yang diserahkan kepadanya.
d. Membulatkan tekad untuk membela kesucian
Agama Islam.
e. Menjaga persaudaraan dan kesatuan kawan sekerja
dan perjuangan.

Dari pimpinan beliau itulah wanita-wanita Islam


merasa terangkat derajatnya dikembalikan kepada
kedudukannya sebagi yang dikehendaki Tuhan.Sebagai
isteri mereka mengerti hak dan kewajibannya terhadap
suaminya. Sebagai seorang ibu, mereka memperhatikan
betul-betultentang pendidikan anak-anaknya dan
kebesaran rumah tangganya. Di dalam membimbing dan
mengikuti gerak langkah Aisyiyah yang telah terbentuk itu,
maka Nyai Ahmad Dahlan diangkat sebagai pelindungnya.
Beliau adalah sesepuh dari pengurus Aisyiyah. Sewaktu-
waktu menjadi tempat bertanya dan memohon nasihatnya.
Dalam hai ini bahkan Nyai Ahmad Dahlan member jiwa
dan semangat organisasi untuk membawa maju usaha-
usahanya.Kemudian Nyai Ahmad Dahlan diangkat sebagai

278 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


ketua pusat Pimpinan Aisyiyah. Langkah pertama setelah
terbentuknya kepengurusan Aisyiyah ialah:
a. Mingirim Muballighat ke kampung-kampung pada
bulan puasa untuk memimpin sholat Taraweh .
b. Mengadakan perayaan hari-hari besar Islam.
c. Mengadakan kursus agama Islam untuk pekerja dan
isteri pegawai di kampong.

Waktu Aisyiyah terbentuk belum mempunyai kaidah,


yaitu Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga.Kaidah
ini baru dimiliki oleh Muhammadiyah.Baru menjelang
Kongres Muhammadiyah ¼ abad di Betawi (Jakarta),
Aisyiyah mempunyai kaidah itu. Penyusunan Kaidah ini
adalah Pusat Pimpinan Muhammadiyah dan Aisyiyah
tinggal merundingkan mana yang disetujui dan mana yang
tidak.
Kaidah Aisyiyah ini ditetapkan dengan mengambil
tempat di Kaliurang dengan pertimbangan agar supaya
orang yang turut memikirkan hal tersebut tidak
mempunyai kesempatan untuk pulang kerumah mereka
masing-masing.Segala tenaga dan pikiran supaya
tercurahkan untuk selesainya kaidah tersebut. Rupa-
rupanya pembuatan Kaidah ini melalui proses mudah dan
lancar sehigga waktu yang semula direncanakan tiga hari,
tetapi dalam waktu satu jam saja kaidah dapat diselesaikan
dan disetujui secara aklamasi.
Yang dijadikan dasar dari Aisyiyah ialah ayat al-Qur‘an
yang artinya sebagi berikut: ―Barang siapa beramal sholeh
yaitu amal apa saja yang menuju kepada perdamaian baik

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 279


pria maupun wanita asal beriman dan dianugerahi
penghidupan yang layak―. Rupa-rupanya beliau yakin
bahwa takmungkin pekerjaan besar, akan berhasil tanpa
bantuan kaum wanita. Dalam melaksanakan cita-cita
beliau, bantuan dari kaum wanita diperlukan sekali. Di
sinilah kiranya Nyai Ahmad Dahlan telah dapat memenuhi
harapannya. Beliau selalu berdampingan dalam perjuangan
dan dalam suka dan duka dengan suaminya. Nyai Ahmad
Dahlan sebagai seorang wanita yang telah menempatkan
dirinya, mengerti akan kedudukannya dan kewajibannya.
Ayat ini merupakan tangkisan adanya faham swarga
nunut neraka katut (jawa). Dalam perkembangan, cita-
citanya Aisyiyah dirumuskan dalam suatu Anggaran
Dasarnya ialah: ―Aisyiyah bermaksud menyelenggarakan
terlaksananya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
dalam lingkungan (masyarakat) Wanita‖. Umumnya pada
jaman Nyai Ahmad Dahlan ada pula muslimah yang
berpaham seperti hal itu. Nyai Ahmad Dahlan meyakini
bahwa tugas itu sungguh besar, tetapi mulia. Dalam hal ini
Nyai Ahmad Dahlan sering menasehati kepada puterinya
sendiri yaitu Ngaisah Hilal, ―kalau ada tugas yang
diberikan kepada engkau terimalah, barangkali amal itu
yang akan diterima Allah.
Kegiatan Aisyiyah ini semula masih bergerak di
kampung kauman kemudian berkembang keluar kampung,
sifatnya lokal dengan bahasanya dengan bahasa
jawa.Belum seluruh di Yogyakarta ini terjangkau, tetapi

280 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


ada permintaan dari luar Yogyakarta agar mendapat
kunjungan dan member penerangan agama.
Anggaota Aisyiyah itu bukan hanya gadis-gadis lagi
tetapi orang-orang tua yang sudah berumah tangga yang
dihimpun dari sedikit-sedikit di antaranya Ibu Prof. Dr.
Baroroh Baried sendiri termasuk menjadi anggota Aisyiyah
itu. Sebagai anggota teringat betul pada waktu sedang
berkumpul itu diberi pelajaran yang menarik diantaranya
tentang memberantas buta huruf, diberi pelajaran menulis
latin dan menulis huruf arab. Hasil yang dicapai setelah
ada gerakan Aisyiyah itu ialah orang-orang yang semula
buta huruf kemudian mereka dapat membaca dan menulis.
Dalam perkembangan dan cita-cita Aisyiyah
terumuskan dalam suatu Anggaran Dasarnya Ialah:
―Aisyiyah bermaksud menyelenggarakan terlaksananya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di lingkungan
masyarakat wanita‖. Masyarakat Islam sebagai tujuan akhir
Aisyiyah ini ialah suatu masyarakat yang menerapkan
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sasaran yang
ingin dituju ialah mereka sebagai pengusaha dan pedagang,
apakah ia guru, pegawai negeri, pemimpin negara, maupun
masyarakat jelata, dicita-citakan agar kesemuanya itu dapat
memakai ajaran Islam, karena ajaran ini diyakini sebagai
pedoman hidup. Dengan berpedoman kepada ajaran,
Islam itu Insya Allah akan beres segala-galanya dan akan
selamat hidup di dunia maupun di akhirat kelak baik yang
miskin maupun yang kaya akan merasakan kebahagiaan itu

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 281


di dunia asalkan sepanjang hidupnya selau berpedoman
kepada ajaran Islam.
Untuk mencapai tujuan itu hambatannya pun banyak,
tetapi berkat penanaman pendidikan yang terus menerus
disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad
Dahlan, Aisyiyah dengan sekuat tenaga bertekad bulat
menghadapi segala hambatan itu. Jiwa berjihad telah kuat
dalam sanubari pengurus Aisyiyah. Sebagai
konsekuensinya yang harus dipikul oleh para pengurus
Aisyiyah ialah mengumpulkan dana guna membeli kursi
dan menyediakan rukuh untuk murid-murid Sekolah Siswa
Praja yang terdiri dari buruh-buruh batik dan pembantu-
pembantu rumah tangga. Tiap-tiap Anggota Aisyiyah juga
diberi.Kesempatan berinisiatif dengan pemikirannya yang
dapat dijadikan modal usaha.‗Aisyiyah dengan
dirundingkan dan dipikirkan dalam Muktamar Aisyiyah.
Cetusan ide mendirikan organisai Aisyiyah yang dimulai
dari rumah Nyai Ahmad Dahlan telah dapat tercapai.
Demikian secara selintas proses terbentuknya
organisasi Aisyiyah wanita dalam Muhammadiyah yang
selanjutnya gerak dan usahanya memiliki andil besar dalam
merintis dan mengisi Kemerdekaan Indonesia. Dalam
upaya ini Nyai Ahmad Dahlan telah memberikan
sahamnya yang besar.
Bahkan dalam usah membina serta mengembangkan
organisasi Aisyiyah harus berjuang dan beramal untuk
kemajuan masyarakat dan bangsa.

282 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Adapun Identitas Aisyiyah, organisasi perempuan
Persyarikatan Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam
dan dakwah amar makruf nahi munkar, yang berazaskan
Islam serta bersumber pada Al-Quran dan as-Sunnah.
Sedangkan visi ideal Aisyiah adalah tegaknya agama Islam dan
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Visi pengembangan tercapainya usaha-usaba Aisyiyah
yang mengarah pada penguatan dan pengembangan
dakwah amar makruf nahi munkar secara lebih berkualitas
menuju masyarakat madani, yakni masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Misi Aisyiyah diwujudkan dalam bentuk
amal usaha, program dan kegiatan meliputi:
1. Menanamkan keyakinan, memperdalam dan
memperluas pemahaman, meningkatkan
pengamalan serta menyebarluaskan ajaran Islam
dalam segala aspek kehidupan.
2. Meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita
sesuai dengan ajaran Islam.
3. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pengkaian
terhadap ajaran Islam.
4. Memperteguh iman, memperkuat dan
menggembirakan ibadah, serta mempertinggi
akhlak.
5. Meningkatkan semangat ibadah, jihad zakat, infaq,
shodaqoh, wakaf, hibah, serta membangun dan
memelihara tempat ibadah, dan amal usaha yang
lain.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 283


6. Membina Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM)
puteri untuk menjadi pelopor, pelangsung, dan
penyempurna gerakan Aisyiyah.
7. Meningkatkan pendidikan, mengembangkan
kebudayaan, mempertuas ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta menggairahkan penelitian.
8. Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke
arah perbaikan hidup yang berkualitas.
9. Meningkatkan dan mengembangkan kegiatan
dalam bidang-bidang sosial, kesejahteraan
masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup
10. Meningkatkan dan mengupayakan penegakan
hukum, keadilan, dan kebenaran serta memupuk
semangat kesatuan dan persatuan bangsa.
11. Meningkatkan komunikasi, ukhuwah, kerjasama di
berbagai bidang dan kalangan masyarakat dalam
dan luar negeri.
12. Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan
tujuan organisasi.

2. Pemuda Muhammadiyah
Awal berdirinya Pemuda Muhammadiyah secara
kronologis dapat dikaitkan dengan keberadaan Siswo
Proyo Priyo (SPP), suatu gerakan yang sejak awal
diharapkan KH. Ahmad Dahlan dapat melakukan kegiatan
pembinaan terhadap remaja/pemuda Islam. Dalam
perkembangannya SPP mengalami kemajuan yang pesat,
hingga pada Konggres Muhammadiyah ke-21 di Makasar
pada tahun 1932 diputuskan berdirinya Muhammadiyah

284 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Bagian Pemuda, yang merupakan bagian dari organisasi
dalam Muhammadiyah yang secara Khususmengasuh dan
mendidik para pemuda keluarga Muhammadiyah.
Keputusan Muhammadiyah tersebut mendapat sambutan
luar biasa dari kalangan pemuda keluarga Muhammadiyah,
sehingga dalam waktu relatif singkat Muhammadiyah
Bagian Pemuda telah terbentuk di hampir semua ranting
dan cabang Muhammadiyah. Dengan demikian
pembinaan Pemuda Muhammadiyah menjadi tanggung
jawab pimpinan Muhammadiyah di masing-masing level.
Misalnya, di tingkat Pimpinan Pusat Muhammadiyah
tanggung jawab mengasuh, mendidik dan membimbing
Pemuda Muhammadiyah diserahkan kepada Majelis
Pemuda, yaitu lembaga yang menjadi kepanjangan tangan
dan pembantu Pimpinan Pusat yang memimpin gerakan
pemuda.
Selanjutnya dengan persetujuan Majelis Tanwir,
Muhammadiyah Bagian Pemuda dijadikan suatu ortom
yang mempunyai kewenangan mengurusi rumah tangga
organisasinya sendiri. Akhirnya pada 26 Dzulhijjah 1350 H
bertepatan dengan 2 Mei 1932 secara resmi Pemuda
Muhammadiyah berdiri sebagai ortom.
Kendati secara resmi baru berdiri pada 2 Mei 1932,
Pemuda Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dari
pertumbuhan awal Muhammadiyah. Di daerah-daerah di
Jawa Timur, berdirinya Muhammadiyah sering didahului
oleh kegiatan-kegiatan yang dipelopori oleh kalangan
pemuda. Pada awal pertumbuhan Muhammadiyah di

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 285


berbagai daerah, cabang dan ranting mengadakan
kegiatan-kegiatan di bidang kepemudaan dan kepanduan.
Cabang-cabang dan ranting mengadakan HW yang
menjadi wadah pembinaan anak-anak muda
Muhammadiyah. Usaha-usaha pendirian HW dilakukan
oleh cabang dan ranting sejak awal pertumbuhan
Muhammadiyah.
Pertumbuhan Pemuda Muhammadiyah pada dekade
1930-an tergolong dinamis, dan paruh kedua dekade itu
setiap cabang memiliki bagian Pemuda Muhammadiyah.
Terbukti dengan pelaksanaan konferensi-konferensi
daerah yang diikuti oleh pimpinan Pemuda
Muhammadiyah cabang dan ranting. Pada 1937,
dilaksanakan konferensi Pemuda Muhammadiyah di
berbagai daerah.
Pemuda Muhammadiyah melandasi kiprah
perjuangannya pada cita-cita Muhammadiyah untuk
menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya. Sehingga seluruh gerakan Pemuda
Muhammadiyah diarahkan pada upaya akselerasi
pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian,
dimensi keagamaan, keiImuan, dan kemasyarakatan
yang menjadi inspirasi perjuangan Muhammadiyah
selama ini harus dijadikan ruh pergerakan Pemuda
Muhammadiyah.
Pada tataran praktis, Pemuda Muhammadiyah
meneguhkan doktrin perjuangannya melalui upaya:

286 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Pertama, mempertegas komitmen dan jati dirinya
pada pemberdayaan umat di seluruh sektor
kehidupan. Kedua, melakukan rekrutmen kader-
kader berkualitas secara proaktif di tengah-tengah
masyarakat dengan cara melibatkan mereka pada
setiap pelaksanaan program- program kerja Pemuda
Muhammadiyah. Ketiga meningkatkan kapasitas dan
kualitas para kader me1alui jenjang pendidikan
kader yang terencana secara sistematis dan
berkesinambungan.

3. Nasyiatul Aisyiyah
Berdirinya Nasyi‘atul Aisyiyah (NA) tidak bisa
dilepaskan dari komitmen Muhammadiyah-‗Aisyiyah
untuk menjaga keberlangsungan kader penerus
perjuangan. Muhammadiyah memerlukan kader-kader
tangguh guna melanjutkan estafeta perjuangan
persyarikatan Muhammadiyah.
Gagasan mendirikan NA bermula dari ide
Soemodirdjo, seorang guru Standart School
Muhammadiyah. Dalam usahanya untuk memajukan
Muhammadiyah, ia menekankan pentingnya peningkatan
mutu ilmu pengetahuan, baik pada aspek spiritual,
intelektual, maupun jasmani. Ide Soemodirdjo tersebut
kemudian diwujudkan dalam bentuk menambah pelajaran
praktik bagi para muridnya yang diwadahi dalam kegiatan
bersama. Dengan bantuan Hadjid, seorang kepala guru
agama di Standart School Muhammadiyah, maka pada
tahun 1919, Soemodirdjo berhasil mendirikan

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 287


perkumpulan yang anggotanya terdiri dari para remaja
putra-putri siswa Standart School Muhammadiyah.
Perkumpulan tersebut diberi nama Siswa Praja (SP).
Tujuan dibentuknya Siswa Praja adalah menanamkan rasa
persatuan, memperbaiki akhlak, dan memperdalam agama.
Pada mulanya, SP mempunyai ranting-ranting di
sekolah Muhammadiyah yang ada, yaitu di Suronatan,
Karangkajen, Bausasran, dan Kotagede. Seminggu sekali
anggota SP Pusat memberi tuntunan ke ranting-ranting.
Setelah lima bulan berjalan, diadakan pemisahan antara
anggota laki-laki dan perempuan dalam SP. Kegiatan SP
Wanita dipusatkan di rumah Haji Irsyad (sekarang
Musholla ‗Aisyiyah Kauman). Beberapa jenis kegiatan SP
Wanita, yaitu pengajian, berpidato, jama‘ah subuh,
membunyikan kentongan untuk membangunkan umat
Islam Kauman agar menjalankan shalat shubuh,
mengadakan peringatan hari-hari besar Islam, dan kegiatan
keputrian.
Kegiatan SP berkembang cukup pesat. Jenis Kegiatan
yang dilakukannya mulai tersegmentasi sesuai usia.
Kegiatan Thalabus Sa‘adah diselenggarakan bagi anak di
atas umur 15 tahun. Aktivitas Tajmilul Akhlak diadakan
untuk anak berumur 10-15 tahun. Dirasatul Bannat
diselenggarakan dalam bentuk pengajian sesudah Maghrib
bagi anak-anak kecil. Sedangkan Jam‘iatul Athfal
dilaksanakan seminggu dua kali untuk anak berumur 7-10
tahun. Selain itu, tak jarang diselenggarakan juga tamasya
ke luar kota setiap satu bulan sekali. Pada tahun 1924,

288 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


akhirnya SP Wanita mampu mendirikan Bustanul Athfal,
yakni usaha untuk membina anak laki-laki maupun
perempuan berumur 4-5 tahun. SP Wanita juga
menerbitkan buku nyanyian berbahasa Jawa dengan nama
Pujian Siswa Praja.Pada tahun 1926, kegiatan SP Wanita
sudah menjangkau cabang-cabang hingga di luar
Yogyakarta.
SP Wanita mulai diintegrasikan menjadi urusan
‗Aisyiyah di tahun 1923. Selanjutnya pada Konggres
Muhammadiyah Ke-18 Tahun 1929, diputuskan bahwa
semua cabang Muhammadiyah diharuskan mendirikan SP
Wanita dengan sebutan ‗Aisyiyah Urusan Siswa Praja.
Nama SPW pun mulai berganti menjadi Nasyiatul
Aisyiyah setelah pada tahun 1931, dalam Konggres
Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta, ditetapkan agar
semua nama gerakan dalam Muhammadiyah harus
memakai bahasa Arab atau bahasa Indonesia. Adapun
simbol padi yang menjadi lambang NA diputuskan dalam
Konggres Muhammadiyah ke-26 Tahun 1938 di
Yogyakarta, yang sekaligus juga menetapkan nyanyian
Simbol Padi sebagai Mars NA.
Perkembangan NA semakin pesat pada tahun 1939
dengan diselenggarakannya Taman Aisyiyah yang
mengakomodasikan potensi, minat, dan bakat putri-putri
NA. Selain itu, Taman Aisyiyah juga menghimpun lagu-
lagu yang dikarang oleh komponis-komponis
Muhammadiyah dan dibukukan dengan diberi nama
‗Kumandang Nasyi‘ah.‘

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 289


Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1963
diputuskan untuk memberi status otonom kepada NA. Di
bawah kepemimpinan Majelis Bimbingan Pemuda, NA
yang saat itu dipimpin oleh Siti Karimah mulai
mengadakan persiapan-persiapan untuk mengadakan
musyawarahnya yang pertama di Bandung. Dengan
didahului mengadakan konferensi di Solo, selanjutnya NA
berhasil menyelenggarakan Munasnya pada tahun 1965
bersama-sama dengan Muktamar Muhammadiyah dan
‗Aisyiyah di Bandung. Dalam Munas pertama tersebut,
tampaklah wajah-wajah baru penuh semangat dari 33
daerah dan 166 cabang yang siap mengembangkan
dakwah NA serta berkontribusi bagi umat dan bangsa

4. Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)


Latar belakang berdirinya IPM tidak terlepas dari latar
belakang berdirinya Muhammadiyah sebagai gerakan
dakwah Islam amar ma‘ruf nahi munkar, serta
konsekuensi dari banyaknya sekolah yangmerupakan amal
usaha Muhammadiyah dalam membina dan mendidik
kader.
Di samping itu, kondisi dan situasi politik di Indonesia
pada era tahun 1960-an, dimana pada masa itu merupakan
masa kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan masa
orde lama.Muhammadiyah menghadapi tantangan yang
berat dari berbagai pihak, sehingga dirasakan perlu adanya
dukungan terutama untuk menegakkan dan menjalankan
misi Muhammadiyah, khususnya dikalangan pelajar.Oleh
karena itu, kehadiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah

290 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


pelajar sebagai organisasi pelajar yang terpanggil pada misi
Muhammadiyah dan ingin tampil sebagai pelopor,
pelangsung dan penyempurna perjuangan
Muhammadiyah.
Upaya dan keinginan para pelajar Muhammadiyah
untuk mendirikan organisasi pelajar Muhammadiyah telah
dirintis sejak tahun 1919, akan tetapi selalu saja mendapat
halangan dan rintangan dari berbagai pihak, termasuk oleh
Muhammadiyah sendiri. Aktivitas pelajar Muhammadiyah
untuk membentuk organisasi kader Muhammadiyah
dikalangan pelajar akhirnya mulai mendapatkan titik terang
dan mulai menunjukkan keberhasilannya, yaitu ketika
Konferensi Pemuda Muhammadiyah tahun 1958 di Garut,
Jawa Barat, organisasi pelajar Muhammadiyah
ditempatkan dibawah pengawasan Pemuda
Muhammadiyah.
Keputusan Konferensi Pemuda Muhammadiyah di
Garut tersebut diperkuat pada Muktamar Pemuda
Muhammadiyah II yang berlangsung pada tanggal 24-28
Juli 1960 di Yogyakarta, dengan memutuskan membentuk
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (Keputusan II/No. 4).
Keputusan tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Muktamar meminta kepada PP Muhammadiyah
Majelis Pendidikan bagian Pendidikan dan
Pengajaran supaya memberi kesempatan dan
menyerahkan kompetensi pembentukan IPM
kepada Pemuda Muhammadiyah.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 291


b. Muktamar mengamanatkan kepada PP Pemuda
Muhammadiyah untuk menyusun konsepsi Ikatan
Pelajar Muhammadiyah dan untuk segera
dilaksanakan setelah mencapai persesuaian
pendapat dengan PP Muhammadiyah Majelis
Pendidikan dan Pengajaran.
Setelah ada kesepakatan antara PP Pemuda
Muhammadiyah dan PP Muhammadiyah Majelis
Pendidikan dan Pengajaran pada tanggal 15 Juni 1961,
ditandatanganilah peraturan bersama tentang organisasi
Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan rencana pendirian IPM
tersebut dimatangkan lagi di dalam Konferensi Pemuda
Muhammadiyah tanggal 18-20 Juli 1961 di Surakarta, Jawa
Tengah. Melalui forum tersebut, secara nasional IPM
dapat berdiri dengan Ketua Umum Herman Helmi Farid
dan Sekretaris Umum Muh. Wirsyam Hasan. Ditetapkan
pula bahwa tanggal 5 Shafar 1381 H bertepatan dengan
tanggal 18 Juli 1961 M sebagai hari kelahiran Ikatan
Pelajar Muhammadiyah.
Maksud dan tujuan IPM adalah terbentuknya pelajar
muslim yang berilmu, berakhlak mulia dan terampil dalam
rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai
ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Gambaran pelajar yang berilmu,
berakhlak mulia dan terampil merupakan wujud ideal
pelajar yang mempunyai kemampuan baik dari segi dari
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.Aspek kognitif
merupakan aspek yang berkaitan dengan perilaku berfikir,

292 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


mengetahui dan memecahkan masalah.Hal tersebut
terdeskripsi dalam bentuk pelajar yang berilmu.Aspek
afektif merupakan aspek yang berkaitan dengan sikap,
nilai-nilai, ketertarikan, perasaan, apresiasi dan
menyesuaikan perasaan sosial.Hal tersebut terdeskripsi
dalam bentuk pelajar yang berakhlak mulia.Aspek
psikomotorik merupakan aspek yang berkaitan dengan
keterampilan yang bersifat manual dan motorik, ini
tercermin dalam wujud pelajar yang terampil.
a. Pelajar yang memiliki ketiga kemampuan tersebut
juga belum cukup jika tidak digunakan untuk
menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai
ajaran Islam. Masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya merupakan penterjemahan dari Baldatun
Thayyibatun Wa Rabbun Ghofur, yaitu masyarakat
yang sejahtera, aman, damai, makmur dan bahagia,
yang diridhoi oleh Allah SWT. Deskripsi konsep
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yaitu:
b. Beriman, beramal, bertaqwa dan berjuang karena
Allah semata.
c. Merdeka, terbuka bagi segala orang, suku-suku dan
bangsa, dengan tidak ada ikatan dan syarat, kecuali
tidak menghalang-halangi dakwah dan akidah, tidak
akan menganiaya manusia dan tidak akan merusak
di muka bumi ini.
d. Bebas dari perbudakan, perhambaan, perkosaan,
penghisapan dan penindasan.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 293


e. Menegakkan keadilan mutlak untuk seluruh
penduduk manusia dengan tiada memandang jenis,
warna dan kepercayaan.
f. Menuju ke kesatuan manusia di dunia ini, dengan
melenyapkan fanatik jenis, warna dan negara,
bersedia untuk bekerja sama dengan segala agama,
dengan tidak ada kebencian dan sanggup
melakukan jihad/berjuang karena mempertahankan
kemerdekaan dakwah, kemerdekaan kepercayaan
dan kemerdekaan ibadah, menolak penganiayaan
dan kerusakan di muka bumi.
g. Terjauh dari rasa takut, kecuali takut kepada Allah,
cukup hidupnya yang menuju kea rah keadilan
sosial.
h. Berakhlak yang mulia, jiwanya kuat dan tinggi,
kelakuannya baik dan menarik, menuju ke arah
ketinggian dan kesempurnaan.
i. Kuat, dinamis, progresif dan revolusioner, yang
mempunyai pembawaan dan pengeruh yang besar
terhadap golongan apa dan mana pun juga.
j. Mendasarkan musyawarah dalam hal ihwal mereka,
kecuali yang telah ditentukan nasnya oleh Tuhan
Yang Maha Esa.
k. Bersatu padu, tolong-menolong, gotong-royong
dan saling berkasih-kasihan menuju ke arah
kebenaran, keadilan dan peradaban.

294 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


5. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Kelahiran IMM tidak lepas kaitannya dengan sejarah
perjalanan Muhammadiyah, dan juga bisa dianggap sejalan
dengan faktor kelahiran Muhammadiyah itu sendiri. Hal
ini berarti bahwa setia hal yang dilakukan Muhammadiyah
merupakan perwujudan dari keinginan Muhammadiyah
untuk memenuhi cita-cita sesuai dengan kehendak
Muhammadiyah dilahirkan. Di samping itu, kelahiran
IMM juga merupakan respond atas persoalan-persoalan
keummatan dalam sejarah bangsa ini pada awal kelahiran
IMM, sehingga kehadiran IMM sebenarnya merupakan
sebuah keharusan sejarah. Faktor-faktor problematis
dalam persoalan keummatan itu antara lain ialah sebagai
berikut (Farid Fathoni, 1990: 102) :
1. Situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil,
pemerintahan yang otoriter dan serba tunggal, serta
adanya ancaman komunisme di Indonesia
2. Terpecah-belahnya umat Islam dalam bentuk saling
curiga dan fitnah, serta kehidupan politik ummat
Islam yang semakin buruk
3. Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus
(mahasiswa) yang berorientasi pada kepentingan
politik praktis
4. Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk
merosotnya akhlak, dan semakin tumbuhnya
materialisme-individualisme

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 295


5. Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam
kampus, serta masih kuatnya suasana kehidupan
kampus yang sekuler
6. Masih membekasnya ketertindasan imperialisme
penjajahan dalam bentuk keterbelakangan,
kebodohan, dan kemiskinan
7. Masih banyaknya praktek-praktek kehidupan yang
serba bid'ah, Khurafat, bahkan ke-syirik-an, serta
semakin meningkatnya misionaris-Kristenisasi
8. Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang
semakin memburuk
Dengan latar belakang tersebut, sesungguhnya
semangat untuk mewadahi dan membina mahasiswa dari
kalangan Muhammadiyah telah dimulai sejak lama.
Semangat tersebut sebenarnya telah tumbuh dengan
adanya keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi
Muhammadiyah pada Kongres Seperempat Abad
Muhammadiyah di Betawi Jakarta pada tahun 1936. Pada
saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah diketuai oleh
KH. Hisyam (periode 1934-1937). Keinginan tersebut
sangat logis dan realistis, karena keluarga besar
Muhammadiyah semakin banyak dengan putera-puterinya
yang sedang dalam penyelesaian pendidikan menengahnya.
Di samping itu, Muhammadiyah juga sudah banyak
memiliki amal usaha pendidikan tingkat menengah.
Gagasan pembinaan kader di lingkungan maha-siswa
dalam bentuk penghimpunan dan pembinaan langsung
adalah selaras dengan kehendak pendiri Muhammadiyah,

296 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


KH.Ahmad Dahlan, yang berpesan bahwa "dari kalian
nanti akan ada yang jadi dokter, meester, insinyur, tetapi
kembalilah kepada Muhammadiyah" (Suara Muhammadiyah,
nomor 6 tahun ke-68, Maret II 1988, halaman 19).
Dengan demikian, sejak awal Muhammadiyah sudah
memikirkan bahwa kader-kader muda yang profesional
harus memiliki dasar keIslaman yang tangguh dengan
kembali ke Muhammadiyah.
Namun demikian, gagasan untuk menghimpun dan
membina mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah
cenderung terabaikan, lantaran Muhammadiyah sendiri
belum memiliki perguruan tinggi. Belum mendesaknya
pembentukan wadah kader di lingkungan mahasiswa
Muhammadiyah saat itu juga karena saat itu jumlah
mahasiswa yang ada di lingkungan Muhammadiyah belum
terlalu banyak. Dengan demikian, pembinaan kader
mahasiswa Muhammadiyah dilakukan melalui wadah
Pemuda Muhammadiyah (1932) untuk mahasiswa putera
dan melalui Nasyi'atul Aisyiyah (1931) untuk mahasiswa
puteri.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 pada tahun
1950 di Yogyakarta, dihembuskan kembali keinginan
untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah.
Namun karena berbagai macam hal, keinginan tersebut
belum bisa diwujudkan, sehingga gagasan untuk dapat
secara langsung membina dan menghimpun para
mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah tidak berhasil.
Dengan demikian, keinginan untuk membentuk wadah

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 297


bagi mahasiswa Muhammadiyah juga masih jauh dari
kenyataan.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di
Palembang, gagasan pendirian perguruan tinggi
Muhammadiyah baru bisa direalisasikan. Namun gagasan
untuk mewadahi mahasiswa Muhammadiyah dalam satu
himpunan belum bisa diwujudkan. Untuk mewadahi
pembinaan terhadap mahasiswa dari kalangan
Muhammadiyah, maka Muhammadiyah membentuk
Badan Pendidikan Kader (BPK) yang dalam menjalankan
aktivitasnya bekerja sama dengan Pemuda
Muhammadiyah.
Gagasan untuk mewadahi mahasiswa dari ka-langan
Muhammadiyah dalam satu himpunan setidaknya telah
menjadi polemik di lingkungan Muhammadiyah sejak
lama. Perdebatan seputar kelahiran Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah berlangsung cukup sengit, baik di
kalangan Muhammadiyah sendiri maupun di kalangan
gerakan mahasiswa yang lain. Setidaknya, kelahiran IMM
sebagai wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah
mendapatkan resistensi, baik dari kalangan
Muhammadiyah sendiri maupun dari kalangan gerakan
mahasiswa yang lain, terutama Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI). Di kalangan Muhammadiyah sendiri pada
awal munculnya gagasan pendirian IMM terdapat
anggapan bahwa IMM belum dibutuhkan kehadirannya
dalam Muhammadiyah, karena Pemuda Muhammadiyah
dan Nasyi'atul Aisyiyah masih dianggap cukup mampu

298 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan
Muhammadiyah.
Di samping itu, resistensi terhadap ide kelahiran IMM
pada awalnya juga disebabkan adanya hubungan dekat
yang tidak kentara antara Muhammadiyah dengan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan dekat itu
dapat dilihat ketika Lafrane Pane mau menjajagi pendirian
HMI. Dia bertukar pikiran dengan Prof. Abdul Kahar
Mudzakir (tokoh Muhammadiyah), dan beliau setuju.
Pendiri HMI yang lain ialah Maisarah Hilal (cucu KH.A.
Dahlan) yang juga seorang aktifis di Nasyi'atul Aisyiyah.
Bila asumsi itu benar adanya, maka hubungan dekat
itu selanjutnya sangat mempengaruhi perjalanan IMM,
karena dengan demikian Muhammadiyah saat itu
beranggapan bahwa pembinaan dan pengkaderan
mahasiswa Muhammadiyah bisa dititipkan melalui HMI
(Farid Fathoni, 1990: 94). Pengaruh hubungan dekat
tersebut sangat besar bagi kelahiran IMM. Hal ini bisa
dilihat dari perdebatan tentang kelahiran IMM. Pimpinan
Muhammadiyah di tingkat lokal seringkali menganggap
bahwa kelahiran IMM saat itu tidak diperlukan, karena
sudah terwadahi dalam Pemuda Muhammadiyah dan
Nasyi'atul Aisyiyah, serta HMI yang sudah cukup eksis
(dan mempunyai pandangan ideologis yang sama).
Pimpinan Muhammadiyah pada saat itu lebih
menganakemaskan HMI daripada IMM. Hal ini terlihat
jelas dengan banyaknya pimpinan Muhammadiyah, baik
secara pribadi maupun kelembagaan, yang memberikan

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 299


dukungan pada aktivitas HMI. Di kalangan Pemuda
Muhammadiyah juga terjadi perdebatan yang cukup sengit
seputar kelahiran IMM. Perdebatan seputar kelahiran
IMM tersebut cukup beralasan, karena sebagian pimpinan
(baik di Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah,
Nasyi'atul Aisyiyah, serta amal-amal usaha
Muhammadiyah) adalah kader-kader yang dibesarkan di
HMI.
Setelah mengalami polemik yang cukup serius tentang
gagasan untuk mendirikan IMM, maka pada tahun 1956
polemik tersebut mulai mengalami pengendapan. Tahun
1956 bisa disebut sebagai tahap awal bagi embrio
operasional pendirian IMM dalam bentuk pemenuhan
gagasan penghimpun wadah mahasiswa di lingkungan
Muhammadiyah (Farid Fathoni, 1990: 98). Pertama, pada
tahun itu (1956) Muham-madiyah secara formal
membentuk kader terlembaga (yaitu BPK). Kedua,
Muhammadiyah pada tahun itu telah bertekad untuk
kembali pada identitasnya sebagai gerakan Islam dakwah
amar ma'ruf nahi munkar (tiga tahun sesudahnya, 1959,
dikukuhkan dengan melepas-kan diri dari komitmen
politik dengan Masyumi, yang berarti bahwa
Muhammadiyah tidak harus mengakui bahwa satu-satunya
organisasi mahasiswa Islam di Indonesia adalah HMI).
Ketiga, perguruan tinggi Muham-madiyah telah banyak
didirikan. Keempat, keputusan Muktamar Muhammadiyah
bersamaan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956 di
Palembang tentang "..... menghimpun pelajar dan mahasiswa

300 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Muhammadiyah agar kelak menjadi pemuda Muhammadiyah atau
warga Muhammadiyah yang mampu mengembangkan amanah."
Baru pada tahun 1961 (menjelang Muktamar
Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta) diseleng-
garakan Kongres Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
di Yogyakarta (saat itu, Muhammadiyah sudah mempunyai
perguruan tinggi Muhammadiyah sebelas buah yang
tersebar di berbagai kota). Pada saat itulah, gagasan untuk
mendirikan IMM digulirkan sekuat-kuatnya. Keinginan
tersebut ternyata tidak hanya dari mahasiswa Universitas
Muhammadiyah, tetapi juga dari kalangan mahasiswa di
berbagai universitas non-Muhammadiyah. Keinginan kuat
tersebut tercermin dari tindakan para tokoh Pemuda
Muhammadiyah untuk melepaskan Departemen
Kemahasiswaan di lingkungan Pemuda Muhammadiyah
untuk berdiri sendiri. Oleh karena itu, lahirlah Lembaga
Dakwah Muhammadiyah yang dikoordinasikan oleh
Margono (UGM, Ir.), Sudibyo Markus (UGM, dr.),
Rosyad Saleh (IAIN, Drs.), sedang-kan ide
pembentukannya dari Djazman al-Kindi (UGM, Drs.).
Tahun 1963 dilakukan penjajagan untuk mendirikan
wadah mahasiswa Muhammadiyah secara resmi oleh
Lembaga Dakwah Muhammadiyah dengan disponsori
oleh Djasman al-Kindi yang saat itu menjabat sebagai
Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah.
Dengan demikian, Lembaga Dakwah Muhammadiyah
(yang banyak dimotori oleh para mahasiswa Yogyakarta)

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 301


inilah yang menjadi embrio lahirnya IMM dengan
terbentuknya IMM Lokal Yogyakarta.
Tiga bulan setelah penjajagan tersebut, Pimpinan
Pusat Muhmmadiyah meresmikan berdirinya Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tanggal 29 Syawal
1384 Hijriyah atau 14 Maret 1964 Miladiyah.
Penandatanganan Piagam Pendirian Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah dilakukan oleh Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah saat itu, yaitu KH.A. Badawi. Resepsi
peresmian IMM dilaksanakan di Gedung Dinoto
Yogyakarta dengan penandatanganan „Enam Penegasan
IMM' oleh KH.A. Badawi, yaitu :
1. Meegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa
Islam
2. Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah
adalah landasan perjuangan IMM
3. Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponen
mahasiswa dalam Muhammadiyah
4. Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi
mahasiswa yang sah dengan mengindahkan segala
hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan
falsafah negara
5. Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amal
adalah ilmiah
6. Menegaskan bahwa amal IMM adalah lillahi ta'ala
dan senantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat
Tujuan akhir kehadiran Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah untuk pertama kalinya ialah membentuk

302 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


akademisi Islam dalam rangka melaksanakan tujuan
Muhammadiyah. Sedangkan aktifitas IMM pada awal
kehadirannya yang paling menonjol ialah kegiatan
keagamaan dan pengkaderan, sehingga seringkali IMM
pada awal kelahirannya disebut sebagai Kelompok
Pengajian Mahasiswa Yogya (Farid Fathoni, 1990: 102).
Adapun maksud didirikannya Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah antara lain adalah sebagai berikut :
1. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan
bangsa
2. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
3. Sebagai upaya menopang, melangsungkan, dan
meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah
4. Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna
amal usaha Muhammadiyah
5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman
dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa,
ummat, dan persyarikatan

6. Hitzbul Wathan
Bermula dari perjalanan dakwah yangdilakukan Kiai
Ahmad Dahlan ke Surakarta pada tahun 1920, berdirinya
Hizbut Wathan merupakan inovasi terbuka dan kreatif
untuk membina anak- anak muda dalam keagamaan dan
pendidikan mereka. Ketika melewati alun-alun
Mangkunegaran, KH. Dahlan melihat anak-anak muda
berseragam (para anggota Javaannsche Padvinder
Organisatie ), berbaris rapi, dan metakukan berbagai
kegiatan yang menarik. Mereka kelihatan tegap dan

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 303


disiplin. Sekembalinya di Yogyakarta, KH Dahlan
memanggil beberapa guru Muhammadiyah untuk
membahas metodologi baru dalam pembinaan anak-anak
muda Muhammadiyah, baik di sekolah-sekolahmaupun di
masyarakat umum. KH. Dahlan mengungkapkan bahwa
alangkah baiknya kalau Muhammadiyah mendirikan
padvinder untuk mendidik anak-anak mudanya agar
memiliki badan yang sehat serta jiwa yang luhur untuk
mengabdi kepada Allah.
Metode padvinder diambil sebagai metode pendidikan
anak muda Muhammadiyah di luar sekolah. Hal ini sangat
bermanfaat bagi metode pendidikan dan dakwah yang
dilakukan Muhammadiyah, yang semuanya merupakan
tindakan strategis yang sangat erat dengan masa depan
Islam, pembaharuan masyarakat dan bangsa, serta
kecepatan penyebaran gagasan-gagasan pembaharuan dan
da'wah Islam.
Gagasan KH. Dahlan tersebut kemudian
dikembangkan lagi, setelah diadakan pembahasan oleh
beberapa orang yang dipelopori oleh Soemodirdjo, dengan
mendirikan Padvinder Muhammadiyah yang terbentuk
pada tahun 1921 (Almanak Muhammadiyah, 1924: 49,
lihat juga Almanak 1357 H: 226-227) yang diberi nama
nama Hizbut Wathan (HW). Namun ada pendapat lain
yang mengemukakan bahwa Hizbut Wathan berdiri pada
tahun 1919.
Aktivitas-aktivitas kepanduan di lingkungan
Muhammadiyah segera dimulai. Syarbini, seorang bekas

304 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


anggota militer Belanda dan bekas order office, mengadakan
latihan berbaris dan berolahraga setiap hari Ahad sore di
halaman Sekolah Muhammadiyah Suronatan. Kian hari
kian bertambah pengikutnya, tidak lagi terbatas pada guru
saja, juga banyak para pemuda Kauman yang ikut berlatih.
Yang sangat menarik perhatian masyarakat ialah adanya
barisan Padvinder Muhammadiyah yang tegap, disiplin, dan
rapi, yang merupakan hal yang sangat menarik bagi
masyarakat saat itu.
Semboyan HW pada waktu itu ialah setia kepada util
amri; sungguh berhajat akan menjadi orang utama; tahu
akan sopan santun dan tidak akan membesarkan diri;
boleh dipercaya; bermuka manis; hemat dan cermat;
penyayang; suka pada sekalian kerukunan; tangkas,
pemberani, tahan, serta terpercaya; kuat pikiran menerjang
segata kebenaran; ringan menolong dan rajin akan
kewajiban; menetapi akan undang-undang HW (Almanak
Muham-madiyah, 1924: 50). Dari semboyan (kewajiban)
HW ini dapat diketahui semangat, cita-cita dan karakter
yangakan itanamkan pada setiap anggota pandu HW.
Semboyan itu kemudian menjadi Undang-Undang HW,
dan selalu diucapkan pada setiap latihan dan upacara,
sehingga meresap dalam kesadaran setiap anggota HW,
yang pada akhirnya akan membentuk karakter dan
kepribadian setiap anggota pandu HW.
Pada perkembangan selanjutnya, HW banyak
mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat umum
dan kepanduan lain. Di Solo, HW mendapat tanggapan

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 305


hangat dari Javaannsche Padvinder Organisatie. HW juga
banyak terlibat dalam berbagai aktivitas di masyarakat
umum, sehingga HW akhirnya cepat dikenal di tengah
masyarakat.
Dalam berbagai moment, seperti penghormatan atas
pengiringan Sultan Hamengkubuwono Vll yang pindah
dari Keraton ke Amburukmo, HW banyak mengambil
peran dalam prosesi tersebut. Dalam setiap kongres yang
diselenggarakan Muhammadiyah dan Aisiyah, HW selalu
siap untuk membantu menyelenggarakan, menjaga
keamanan, menyemarakkan dengan barisan tambur dan
terompetnya. Demikian pula di setiap hari besar Islam dan
hari besar nasional, HW selalu tampil dalam barisan 'elite'
yang dengan gagah dan tegap berada di tengah-tengah
barisan organisasi kemasyarakatan yang lain. Juga, tidak
jarang H tampil dalam berbagai upacara jumenengan Sri
Sultan Hamengkubuono VIll. Di situ HW tampil dengan
barisan tambur dan terompetnya yang dipimpin langsung
oleh KH. Dahlan.
HW juga sering tampil senciri dengan acara dan
kegiatan yang menarik dan menjadi perhatian masyarakat.
Pada giliranya banyak warga masyarakat, khususnya anak-
anak dan generasi mudanya tertarik untuk menjadi
anggota HW. Tidak sedikit dengan golongan yang dulu
tidak senang dengan Muhammadiyah tertarik kepada HW-
nya, bahkan dari kalangan kaum'abangan' pun tidak sedikit
yang memasukan anak-anaknya kedalam pandu HW.
Pesatnya kemajuan HW rupanya mendapat perhatian

306 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


pihak NIPV, yaitu perkumpulan padvinder Hindia
Belanda yang merupakan cabang dari padvinderij di negeri
Belanda (NPV). Pada saat itu, gerakan padvinderij Hindia
Belanda (Indonesia) yang dapat pengakuan internasional
adalah yang bergabung dalam NIPV tersebut yang
merupakan perwakilan NPV. Pimpinan NIPV datang ke
Yogyakarta untuk mengajak Hizbut Wathan bergabung ke
dalam organisasi NIPV. Usaha-usaha Comissaris
NIPVReneff) tiada hentinya untuk mengajak HW menjadi
anggota NIPV, sehingga ketika Kongres Muhammadiyah
tahun 1926 di Surabaya, mereka mengambil inisiatif
mengikuti HW dalam Kongres Muhammadiyah dari awal
sampai akhir. Pertemuan dilanjutkan lagi di Yogyakarta
oleh wakil NIPV untuk mengajak HW masuk kedalam
organisasi NIPV, tetapi HW tetap ingin mempertahankan
kedaulatannya, tidak mau menerima tawaran dari Reneff
(wakil NIPV) tersebut, arena HW mempunyai prinsip-
prinsip tersendiri.
Kepanduan HW dalam perjalanan sejarahnya telah
menjadi wadah pendidikan bagi generasi muda
Muhammadiyah yang berhasil, sekaligus menjadi sarana
da'wah yang ampuh. Banyak anak- anak muda yang
tertarik memasuki kepanduan HW. Mereka merasakan
banyak mendapatkan manfaat dan keuntungan menjadi
pandu HW. Tidak sedikit pemuda- pemuda anggota
pandu HW menjadi orang yang percaya diri dan memiliki
keperibadian yang baik (memiliki akhlak utama, luhur budi

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 307


pekertinya, beriman serta bertaqwa kepada Allah) serta
menjadi warga masyarakat yang berguna.
Kepanduan HW melahirkan orang- orang yang
kemudian tidak hanya menjadi tokoh Muhammadiyah,
tetapi juga menjadi tokoh nasional, seperti Soedirman
(Panglima Besar TNI/Bapak TNI), Soedirman
Bojonegoro (Mantan Pangdam Brawijaya), Syarbini
(Mantan Pangdam Diponogoro/Menteri Veteran), M.
Amien Rais (Ketua MPR), Soeharto (mantan Presiden RI
II), Daryadmo (Mantan Ketua MPR), Feisal Tanjung
(mantan Menko Polkam), Hari Sabarno (Wakil Ketua
MPR), dan lain-lain.
Pertumbuhan Muhammadiyah di masa awal tidak
dapat dilepaskan dari peranan HW yang selalu menjadi
pelopor dalam setiap perintisan berdirinya Cabang dan
Ranting Muhammadiyah. Sebelum Muhammadiyah berdiri
di suatu daerah, biasanya lebih dahulu telah berdiri HW.
Oleh karena itu, dari HW ini kemudian lahir pemimpin,
da'i, dan mubaligh yang ulet, percaya diri, dan disiplin,
serta mereka menjadi penggerak Muhammadiyah. HW
diakui sebagai wadah untuk mendidik generasi muda
menjadi generasi muda yang disiplin, jujur, berani,mandiri,
dan terampil dan berjiwa perwira sebagaimana ditanamkan
datam kesadaran setiap anggota HW metalui perjanjian
HW dan Undang-undang HW.
Perjalanan HW terpotong oleh rasionalisasi yang
dilakukan pemerintah pada tahun 1960 bahwa seluruh
organisasi kepanduan harus melebur ke dalam pramuka.

308 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Dengan demikian, perjalanan sejarah pandu HW menjadi
terhenti. Geliat untuk bangkit kembali muncul setelah
datangnya gelombang reformasi, yaitu keinginan untuk
metahirkan kembali gerakan kepanduan HW. Pada Sidang
Tanwir Muhammadiyah di Bandung pada tahun 2000
akhirnya diputuskan bahwa gerakan kepanduan HW
dilahirkan kembali sebagai organisasi otonom di
lingkungan Muhammadiyah.
Kepanduan HW adalah organisasi otonom
Persyarikatan Muhammadiyah yang bergerak dalam bidang
pendidikan kepanduan putra maupun putri, merupakan
gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi munkar,
berakidah Islam dan bersumberkan Al-Qur‘an dan As-
Sunnah. Organisasi ini didirikan dengan tujuan untuk
mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur yang
diridlai Allah dengan jalan menegakkan dan menjunjung
tinggi Agama Islam lewat jalur pendidikan kepanduan.
Pencapaian maksud dan tujuan HW dilakukan dengan
upaya-upaya sebagai berikut:
1. Melalui jalur kepanduan ingin meningkatkan
pendidikan angkatan muda putra ataupun putri
menurut ajaran Islam.
2. Mendidik angkatan muda putra dan putri agar
menjadi manusia Muslim yang berakhlak mulia,
berbudi luhur sehat jasmani dan rohani.
3. Mendidik angkatan muda putra dan putrid menjadi
generasi yang taat beragama, berorganisasi, cerdas
dan trampil.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 309


4. Mendidik generasi muda putra dan putri gemar
beramal, amar makruf nahi munkar dan berlomba
dalam kebajikan.
5. Meningkatkan dan memajukan pendidikan dan
pengajaran, kebudayaan serta memperluas ilmu
pengetahuan sesuai dengan ajaran agama Islam.
6. Membentuk karakter dan kepribadian sehingga
diharapkan menjadi kader pimpinan dan
pelangsung amal usaha Muhammadiyah.
7. Memantapkan persatuan dan kesatuan serta
penanaman rasa demokrasi serta ukhuwah sehingga
berguna bagi agama, nusa dan bangsa.
8. Melaksanakan kegiatan lain yang sesuai dengan
tujuan organisasi.

7. Tapak Suci Putra Muhammadiyah


Tradisi Pencak Silat sudah berurat-berakar dikalangan
masyarakat Indonesia sejak lama. Sebagaimana seni
beladiri di negara-negara lain, pencak sitat yang
merupakan seni beladiri khas Indonesia memiliki ciri khas
tersendiri yang dikembangkan untuk mewujudkan
identitas. Demikian pula bahwa seni beladiri pencak silat
di Indonesia juga beragam dan memiliki ciri khas masing-
masing.
Tapak Suci sebagai salah satu varian seni beladiri
pencak silat juga memiliki ciri khas yang bias
menunjukkan identitas yang kuat. Ciri khas tersebut
dikembangkan metalui proses panjang dalam akar sejarah
yang dilatuinya.

310 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Berawal dari atiran pencak sitat Banjaran di Pesantren
Binorong Banjarnegara pada tahun 1872, atiran ini
kemudian berkembang menjadi perguruan seni bela diri di
Kauman Yogyakarta karena perpindahan guru
(pendekarnya), yaitu KH. Busyro Syuhada, akibat gerakan
perlawanan bersenjata yang dilakukannya sehingga ia
menjadi sasaran penangkapan yang dilakukan rezim
colonial Belanda. Di Kauman inilah pendekar KH. Busyro
Syuhada mendapatkan murid-murid yang tangguh dan
sanggup mewarisi keahliannya dalam seni pencak silat.
Perguruan seni pencak sitat ini didirikan pada tahun
1925 dan diberi nama Perguruan cik auman yang dipimpin
langsung oleh Pendekar M.A Wahib dan Pendekar A.
Dimyati, yaitu dua orang murid yang tangguh dari KH.
Busyro Syuhada. Perguruan ini memiliki andasan agama
dan kebangsaan yang kuat. Perguruan ini menegaskan
seluruh pengikutnya untuk bebas dari syirik
(menyekutukan Tuhan) dan mengabdikan perguruan
untuk perjuangan agama dan bangsa. Perguruan Cikauman
banyak melahirkan pendekar-pendekar muda yang
akhirnya mengembangkan cabang perguruan untuk
memperluas jangkauan yang lebih luas dengan nama
Perguruan Seranoman pada tahun 1930.
Perkembangan kedua perguruan ini semakin hari
semakin pesat dengan pertambahan murid yang cukup
banyak. Murid-murid dari perguruan ini kemudian banyak
menjadi anggota Laskar Angkatan Perang Sabil (APS)
untuk melawan penjajah, dan banyak yang gugur dalam

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 311


perlawanan bersenjata. Lahirnya pendekar-pendekar muda
basil didikan perguruanCikaumandan Seranoman
memungkinkan untuk mendirikan perguruan- perguruan
baru, yang di antaranya ialah Perguruan Kasegu pada
tahun 1951. Atas desakan murid-murid dari Perguruan
Kasegu inilah inisiatif untuk menggabungkan semua
perguruan sitat yang sealiran dimulai. Pada tahun 1963,
desakan itu semakin kuat, namun mendapatkan tentangan
dari para ulama Kauman dan para pendekar tua yang
merasa terlangkahi. Dengan pendekatan yang intensif dan
dengan pertimbangan bahwa harus ada kekuatan fisik yang
dimiliki ummat Islam menghadapi kekuatan komunis yang
melakukan provokasi terhadap ummat Islam, maka
gagasan untuk menyatukan kembali kekuatan-kekuatan
perguruan yang terserak ke datam satu kekuatan
perguruandimulai. Seluruhperangkat organisasional
dipersiapkan, dan akhirnya disepakati untuk
menggabungkan kembali kekuatan-kekuatan perguruan
yang terserak ke datam satu kekuatan perguruan, yaitu
mendirikan Perguruan Tapak Suci pada tanggal 31 Juli
1960 yang merupakan keberlanjutan sejarah dari
perguruan-perguruan sebelumnya.
Pada perkembangan selanjutnya, Perguruan Tapak
Suci yang berkedudukan di Yogyakarta akhirnya
berkembang di Yogyakarta dan daerah-daerah lainnya.
Setelah meletusnya pemberontakan G30 S/PKI, pada
tahun 1966 diselenggarakan Konferensi Nasional I Tapak
Suci yang dihadiri oleh para utusan Perguruan Tapak Suci

312 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Pada saat
itulah berhasil dirumuskan pemantapan organisasi secara
nasional, dan Perguruan Tapak Suci dikembangkan lagi
namanya menjadi Gerakan dan Lembaga Perguruan Seni
Beladiri Indonesia Tapak Suci Putera Muhammadiyah.
Dan pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1967,
Tapak Suci Putera Muhammadiyah ditetapkan menjadi
organisasi otonom di lingkungan Muhammadiyah, karena
Tapak Suci Putera Muhammadiyah juga mampu dijadikan
wadah pengkaderan Muhammadiyah.
Tapak Suci Putera Muhammadiyah adalah organisasi
otonom di lingkungan Muhammadiyah yang beraqidah
Islam, bersumber pada Al-Qur‘an dan As-sunnah, berjiwa
persaudaraan, dan merupakan perkumputan dan
perguruan seni bela diri. Maksud dan tujuan Tapak Suci
adatah sebagaiberikut:
1. Mendidik serta membina ketangkasan dan
ketrampilan pencak sitat sebagai seni beladiri
Indonesia.
2. Memelihara kemurnian pencak sitat sebagai seni
beladiri Indonesia yang sesuai dan tidak
menyimpang dari ajaran Islam sebagai budaya
bangsa yang luhur dan bermoral.
3. Mendidik dan membina anggota untuk menjadi
kader Muhammadiyah.
4. Metalui seni beladiri menggembirakan dan
mengamalkan dakwah amar ma'ruf nahi munkar
dalam usaha mempertinggi ketahanan Nasional.

Pengorganisasi Kemuhammadiyah ~ 313


Pencapaian maksud dan tujuan Tapak Suci tersebut
dilakukan dengan upaya-upaya berikut:
a. Memperteguh iman, menggembirakan dan
memperkuat ibadah serta mempertinggi akhlaq
yang mulia sesuai dengan ajaran Islam.
b. Menyelenggarakan pembinaan dan pendidikan
untuk melahirkan kader Muhammadiyah.
c. Menyelenggarakan pembinaan seni Beladiri
Indonesia.
d. Mengadakan penggalian dan penelitian limu Seni
Beladiri untuk meningkatkan dan mengembangkan
kemajuan Seni Beladiri Indonesia.
e. Aktif datam lebaga olahraga dan seni baik yang
diadakan oleh Pemerintah maupun swasta yang
tidak menyimpang dari maksud dan tujuan Tapak
Suci.
f. Menggembirakan penyelenggaraan dakwah amar
ma'ruf nahi munkar sesuai dengan proporsi seni
beladiri.
g. Menyelenggarakan pertandingan dan tomba serta
pertemuanuntuk memperluas pengalaman dan
persaudaraan.
h. Menyelenggarakan usaha lain yang dapat
mewujudkan tercapainya meksud dan tujuan.

314 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


BAB X
MUHAMMADIYAH DAN KIPRAH SOSIAL
KEMASYARAKATAN

A. Muhammadiyah dan Pendidikan.


Pada masa penjajahan belanda Pendidikan terbelah
menjadi dua arus utama, yaitu pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah Belanda dan pendidikan
pesantren. Sejak masa VOC atau perkumpulan Dagang
Hindia Timur hingga akhr abad 19, pemerintah belanda
tidak pernah memikirkan pendidikan untuk pribumi.
Tetapi, hal itu terbuka setelah adanya kebijakan politik etis.
Mulai saat itulah belanda akhirnya membuka lembaga-
lembaga pendidikan bagi Pribumi.
Bagi pemerintah Kolinial belanda, pendidikan
merupakan titik pusat dari strateginya untuk memperkuat
cengkeramannya kolonialisme di Indonesia. Pendidikan
yang diselenggarakan Belanda justru telah membuka ruang
kesenjangan yang lebar antara penduduk Indonesia.
Kesenjangan tersebut terletak pada sektor budaya dan
agama. Bagi ummat Islam sekolah-sekolah dipandang
sebagai salah satu upaya Belanda untuk ―membelandakan‖
pelajar Indonesia. Anak dididik di sekolah Belanda selain
hanya diajarkan ilmu pengetahuan umum dan budaya
Barat, mereka juga dijauhkan dari pelajaran agama Islam.

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 315


Disinilah, misi kristenisasi Belanda melalui jalur
pendidikan (Mahmud Fauzi ; 2012;65).
Sedangkan pendidikan pesantren merupakan lembaga
pendidikan bagi umat Islam yang cukup tua usianya.
Nurcholis Majid menyebutkan pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang tidak hanya indentik dengan makna
keislaman, akan tetapi juga mengandung makna keaslian
Indonesia (indigenus). Pendidikan yang diseleanggarakan
umat Islam melalui pesantren hanyalah berkutat pada
kajian ilmu agama. Saat itu, pesantren hanyalah berfungsi
sebagai pusat dakwah Islam yang membentuk kelompok
ekslusif di wilayah yang telah diislamkan. Kitab-kitab
Islam klasik karya ulama penganut paham Syafiiyah
merupakan satu-satunya pelajaran yang diberikan di
pesantren. Model pendidikan yang diselenggarakan
dipesantren jelas belum mampu menjawab kebutuah
jaman.
KH. Ahmad Dahlan merasa tidak puas dengan
system dan praktik pendidikan saat itu, dibuktikan dengan
pandangannya mengenai tujuan pendidikan adalah untuk
menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan
bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat (Amir
Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan
Pengajaran Islam, (95-96).
Berawal dari masuknya KH. Ahmad Dahlan di Budi
Utomo, dengan tujuan selain sebagai wadah semangar
kebangsaan juga untuk memperlancar aktivitas dakwah
dan pendidikan Islam yang hendak dilakukannya.

316 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Keanggotaan di Budi Utomo memberikan kesempatan
yang luas baginya untuk berdakwah kepada para
anggotanya, dan mengajarkan agama Islam pada siswa-
siswi yang belajar di sekolah Belanda.
KH. Ahmad Dahlan melakukan pembaharuan di
bidang pendidikan untuk menangani persoalan
kebodohan, keterbelakangan, kristenisasi dan penyeberan
agama Islam kepada masyarakat luas. Pembaharuan bidang
tersebut dilakukan dengan mendirikan sekolah bersistem
modern. Sekolah ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama
saja tetapi juga ilmu umum, dengan harapan sekolah
bersisitem modern ini, anak-anak muslim bumi putra
mendapat wawasan luas mengenai persoalan dunia dengan
tanpa harus meninggalkan nilai-nilai spritualitas Islam
(Mahmud Fauzi, 2012:70)
Pada tanggal 1 Desember 1911, KH. Ahmad Dahlan
mulai merintis amal usaha bidang pendidikan, Madrasah
Ibtidaiyah Islamiyah atau Sekolah Rakyat. Sekolah ini
menggunakan system pendidikan Barat. Kurikulm yang
digunakan adalah perpaduan antara ilmu agama Islam dan
ilmu pengetahuan umum, atau biasa disebut dengan
system intergralistik. Proses belajar-mengajar
diselenggarakan di dalam kelas dengan mengunakan meja,
kursi dan papan tulis, menggunakan seragam, berpatolan
dan bersepatu. Selain itu, murid juga diajarkan menyanyi
do, re, mi, fa, sol dengan bahasa pengantarnya menggunakan
bahasa Arab serta bahasa Belanda (Farid Setiawan,
2010:11)

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 317


Karena tidak mungkin menghapus sama sekali system-
sistem pendidikan yang telah ada, maka didirikanlah
sekolah-sekolah umum dengan memasukan ilmu-ilmu
keagamaan dan mendirikan madrasah-madrasah yang juga
diberi mata pelajaran umum. Model pendidikan
Muhammadiyah semacam ini biasa disebut pendidikan
intergralistik, yaitu memadukan ilmu umum dan ilmu
agama ke dalam sebuah system yang terpadu.
Sistem pendidikan integralistik yang dikembangkan
dalam pendidikan Muhammadiyah dipandang sebagai
salah satu alternative bagi pemecah kebuntuhan
penyelenggarakan pendidikan umat Islam. Karena itu
wajar jika kemudian lembaga-lembaga pendidikan
Muhammadiyah secara pelan namun pasti dapat diterima
oleh masyarakat luas bahkan menyebar di seluruh wilayah
Indonesia. Penerimaan masyarakat ini stidaknya dapat
dilihat dari jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah
yang kian hari semakin bertambah jika secara kuantitatif.
Sebagai gambaran, berikut disajikan perkembangan jumlah
amal usaha pendidikan Muhammadiyah hingga 2010.
Dalam bidang pendidikan hingga tahun 2010
Muhammadiyah memiliki 4.623 Taman Kanak-Kanak;
6.723 Pendidikan Anak Usia Dini; 15 Sekolah Luar Biasa;
1.137 Sekolah Dasar; 1.079 Madrasah Ibtidaiyah; 347
Madrasah Diniyah; 1.178 Sekolah Menengah Pertama; 507
Madrasah Tsanawiyah; 158 Madrasah Aliyah; 589 Sekolah
Menengah Atas; 396 Sekolah Menengah Kejuruan; 7
Muallimin/Muallimat; 101 Pondok Pesantren; serta 3

318 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Sekolah Menengah Farmasi. Dalam bidang pendidikan
tinggi, sampai tahun 2010, Muhammadiyah memiliki 40
Universitas, 93 Sekolah Tinggi, 32 Akademi (PP.
Muhammadiyah, Berita Resmi Muhammadiyah, 2010;61)
Dengan menyaksikan data-data di atas maka
keberadaan dan konstribusi Muhammadiyah dalam ikut
serta menyumbang kemajuan bangsa tampaklah sangat
besar. Sumbangan disini dalam bentuk usaha
mencedaskan kehidupan anak bangsa yang diartikulasikan
dalam bidang pendikan. Jumlah lembaga pendidikan yang
sedemikian besar itu, berapa banyakkan anak didik yang
telah menggantungkan hidup dan masa depannya kepada
amal usaha Muhammadiyah? Inilah salah satu bentuk amal
social Muhammadiyah yang hingga saat ini masih banyak
dirasakan manfaat oleh masyarakat luas.

B. Muhammadiyah dan Ekonomi


Muhammadiyah lahir dan berkembang berawal dari
kalangan kelompok ekonomi maju, yaitu para produsen
dan pedagang di Nusantara. Juga dari kelompok elit lokal
seperti Lurah, Wedana dan Bupati. Bahkan para ulama
Muhammadiyah juga kebanyakan berlatarbelakang
pengusaha dan pedagang.
Memperhatikan kondisi ekonomi para perintis
pendirian Muhammadiyah maka dapat dikatakan para
perintis pendukung persyarikatan memiliki kemandirian
ekonomi. Mereka dapat dengan mudah memobilisasi dana
besar karena mereka sendiri memiliki dana tersebut.

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 319


Mereka dapat membiayai kegiatan persyarikatan melalui
wakaf, zakat dan sedekah sehingga persyarikatan ini dapat
bergerak dengan cepat di berbagai daerah.
Pada periode berikutnya para aktifis Muhammadiyah
melakukan ijtihad ekonomi yaitu secara kelembagaan
mendirikan unit-unit usaha. Mulai dari unit usaha
percetakan, penerbitan, kerajinan, makanan olahan dan
sebagainya. Proses ini berlangsung terus sampai hari
ini. Sekarang kita dapat menyaksikan bagaimana
Muhammadiyah di berbagai daerah, relatif memiliki unit
usaha ekonomi yang lengkap. Mulai unit usaha yang
menggarap permodalan dari yang mikro berupa usaha
bersama, koperasi, Baitul Mal Wattamwil (BMT) sampai
yang tingkat menengah berupa Bank Perkreditan Syariah,
unit usaha produksi juga berkembang di mana-mana
termasuk usaha tani, kerajinan dan industri.
Unit usaha perdagangan atau distribusi pun juga
berkembang, dari yang bersifat eceran atau retail sampai
perdagangan menengah dan besar. Jaringan distribusi yang
dimiliki oleh persyarikatan meliputi pompa bensin sampai
toko swalayan. Yang belum banyak kedengaran adalah
jasa, termasuk jasa transportasi. Ini masih terbatas pada
jasa tiketing dan warung telekomunikasi. Apalagi jasa
akomodasi, baru Univeritas Muhammadiyah Malang yang
punya hotel. Jasa konsumsi berupa restoran, atau warung
yang dikelola atas nama persyarikatan juga belum
kedengaran.

320 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Meski Muhammadiyah secara kelembagaan berusaha
terus mengembangkan begitu banyak unit usaha
sebagaimana tersebut di atas, kalau dibaca secara makro,
apa yang dilakukan oleh persyarikatan masih sangat
minim. Omzet-nya masih terlalu sedikit dibanding omzet
yang diperoleh para konglomerat yang tidak suka melihat
tumbuhnya kekuatan ekonomi rakyat itu. Dan ketika
kebijkan nasional ekonomi kita tidak selalu berpihak pada
ekonomi rakyat maka ijtihad ekonomi yang dirintis oleh
persyarikatan pun sulit berkembang optimal.
Masalahnya, mampukah Muhammadiyah yang besar
ini mempengaruhi kebijakan ekonomi nasional sehingga
kemandirian ekonomi rakyat dan bangsa ini betul-betul
dapat ditumbuhkan? Lantas bagaimana langkah srategis
muhammadiyah melihat keserakahan pelaku ekonomi
global yang jaringannya sudah masuk sampai ke kampung
dan desa-desa? Relakah para pimpinan persyarikatan
menyaksikan pasar komumsi, pasar produksi, pasar
permodalan dan pasar jasah di gerogoti oleh kekuatan
gelobal sehingga nantinya bangsa dan rakyat Indonesia
hanya boleh dan di posisikan sebagai konsumen belaka?
Relakah kita semua kalau umat Islam dan warga
Muhammadiyah kemudian dijadikan makmum dalam
berekonomi, sementara para imam ekonomi dipegang dan
didominasi para pemegang kuasa pasar global?
Dalam Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah
dijelaskan bahwa usaha Muhammadiyah dibidang
ekonomi adalah : ―memajukan perekonomian dan

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 321


kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang berkualitas.
Kalimat yang digunakan dalam anggaran Rumah Tangga
Muhammadiyah pasal 3 ayat 6 tersebut tidak spesifik
penyebutannya, namun cukup dapat dipahami maksudnya.
Memajukan perekonomian dan kewirausahaan dapat
dicapai dengan berbagai strategi dan taktik atau sejak dari
tiori sampai praktik. Sasaran yang hendak dicapai dari
usaha dibidang ekonomi adalah perbaikan hidup yang
berkualitas. Memperbaiki hidup dari tidak mampu menjadi
mampu, dari bodoh menjadi cerdas dan lain-lain.
Tujuan Ekonomi menurut Muhammadiyah adalah
terciptanya kehidupan social ekonomi umat yang
berkualitas sebagai benteng atas problem kemiskinan,
keterbelakangan, dan kebodohan pada masyarakat bawah
melalui berbagai program yang dikembangkan
Muhammadiyah.

C. Muhammadiyah dan Politik


Sejak berdirinya (1912), Muhammadiyah bukan partai
politik, meskipun pendirinya, Ahmad Dahlan (1868-1923),
mengenal dari dekat tokoh-tokoh politik Indonesia,
seperti dr. Wahidin Sudirohusodo, pendiri Budi Utomo
(Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota dan penasihat
Budi Utomo); H. Samanhudi, H.O.S. Cokroaminoto, dan
H. Agus Salim, ketiganya pendiri dan pemuka Syarikat
Islam (SI) (Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota dan
penasihat SI). Ketika H.O.S.Cokroaminoto mengadakan
Kongres Islam di Cirebon pada 1922, Muhammadiyah

322 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


ikut memfasilitasi penyelenggaraannya. Bahkan, dalam
kongres tersebut, Ahmad Dahlan menyarnpaikan prasaran
tentang Pembaruan Pemikiran Islam dan
KonsepmPendidikan Islam (Hamka, 1990: 158-168).
Mas Mansur, tokoh puncak Muhammadiyah (1937-
1943), juga pernah menjadi anggota dan penasihat SI pada
1915, selepas dari studi keIslamannya di Timur Tengah.
Pada 1925, Mas Mansur, sebagai tokoh Muhammadiyah
sekaligus sebagai tokoh SI, bersama Cokroaminoto,
sebagai tokoh puncak SI, menjadi delegasi resmi Indonesia
yang menghadiri Kongres Dunia Islam tentang Khilafah
Islam di Mekah. Namun, setahun kemudian, pada 1926, SI
mengeluarkan disiplin partai yang melarang keanggotaan
rangkap. Dan, Muhammadiyah terkena disiplin partai ini,
termasuk Mas Mansur (Hamka, 1990: 77).
Ketika Partai Syarikat Islam melakukan politik hijrah
atau noncooperation dengan pemerintah Hindia-Belanda,
Muhammadiyah menyadari suatu keharusan adanya politik
tidak hijrah atau cooperation Oleh karena ini, lewat Mas
Mansur dan Wiwoho, Muhammadiyah mendirikan Partai
Islam Indonesia (PII) pada 1938, meskipun sebelumnya
Mas Mansur menemui pemimpin Partai SI agar displin
partai yang dikenakan pada Muhammadiyah bisa dicabut.
Namun, harapan Muhammadiyah tidak terwujud. Jika
terwujud, keadaannya akan lain: Muhammadiyah akan
memprioritaskan saluran politiknya pada SI (Hamka, 1990:
17).

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 323


Setahun sebelumnya, pada September 1937, telah
berdiri lembaga permusyawaratan Islam Indonesia
bernama, Majlis A‘la Islam Indonesia (MIAI) yang
diprakarsai tokoh Islam ―empat serangkai‖: Mas Mansur
(Muhammadiyah), Wiwoho Wondoamiseno (SI), Ahmad
Dahlan, dan Abdul Wahab (NU). Pelaksanaan lembaga ini
diserahkan kepada tokoh 11 empat serangkai‖ tersebut. Di
lembaga, ini bertemu berbagai organisasi Islam, yang
tercermin saat organisasi ini berdiri, yaitu Muhammadiyah,
SI, Persatuan Islam, AI-Irsyad (Surabaya), Hidayatul
Islamiyah (Banyuwangi), dan Khairiyah (Surabaya)
(Sekretariat MIAI, Boekoe Peringatan 1937-1941, hal. 2)
Data sejarah di atas menunjukkan peran dan
kontribusi aktif Muhammadiyah dalam perjuangan politik
dan ini merupakan bagian dari perjuangan
Muhammadiyah untuk mewujudkan citanya.
Muhammadiyah menyalurkan perjuangan politik pada
partai politik lslam atau berjiwa Islam, tanpa harus
menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik.
Perjuangan politik ini dilakukan dengan melibatkan
seluruh kekuatan umat Islam dengan satu tujuan, yaitu
kemenangan Islam. Dengan kata lain, perjuangan politik
bagi Muhammadiyah didasarkan pada dua prinsip. Pertama
Muhammadiyah memerlukan saluran saluran aspirasi
politik dan ini dliakukan di luar organisasi Muhammdiyah.
Kedua, penyaluran aspirasi politik melalui partai politik
Islam harus dilakukan dengan tujuan kemenangan Islam
dan umatnya secara keseluruhan. Karena itu, upaya untuk

324 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


melibatkan dan memberdayakan seluruh kekuatan umat
Islam merupakan suatu keniscayaan.
Dua prinsip inilah yang dipegang teguh
Muhammadiyah ketika bersama tokoh-tokoh Islam
lainnya memelopori berdirinya Partai Majlis Syura
Muslimin Indonesia (Masyumi) pada. 7-8 November 1945,
di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Saat
pembentukan Partai Masyumi ini, ada pengakuan bahwa
Muhammadiyah memerlukan saluran aspirasi dan
perjuangan politik, juga ada ikrar bahwa Masyumi adalah
satu-satunya partai politik Islam bagi seluruh organisasi
umat Islam Indonesia. Meskipun demikian, pada 1947 SI
keluar dari Masyumi, dan pada 1952 Nahdlatul Ulama
(NU) mengikutinya (PP Muhammadiyah Majlis Hikmah,
1989; 297).
Perilaku politik Muhammadiyah ini mempunyai wujud
pada akar sejarah Muhammadiyah. Pertama, pada periode
sebelum kemerdekaan Republik Indonesia (1945) dan
kedua, pada periode paro kedua tahun 1960-an, ketiga pada
periode reformasi. Untuk periode pertama, perlaku ini
tercermin dalam beberapa data sejarah, yaitu: pada 1922,
SI yang diwakili H.O.S. Cokroaminoto dan
Muhammadiyah yang diwakili KH. Ahmad Dahlan
membangun kekuatan umat Islam melalui
penyelenggaraan kongres Islam di Cirebon yang diikuti
oleh seluruh potensi umat Islam Indonesia; pada 1925,
Muhammadiyah yang diwakili KH. Mas Mansur ikut
membidani lahirnya Lembaga Tinggi Hukum Islam

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 325


Indonesia yang bernama Majlis Islam A‘la Far‘i Hindi
Syarqiyah (MIAHS) di Surabaya pada 1926, dua utusan
Indonesia, yaitu KH. Mas Mansur (wakil dari
Muhammadiyah) dan H.O.S. Cokroaminoto (wakil dari
SI) menghadiri kongres Khilafah Islam di Hijaz, Arab
Saudi, sebuah kongres untuk membangun kepemimpinan
dunia Islam; pada 1937, Majlis A‘la Islam Indonesia
(MIAI), yang diprakarsai dan dipimpin oleh empat
serangkai yaitu: KH. Mas Mansur (wakil dari
Muhammadiyah), Wiwoho Wondoamiseno (wakil SI, yang
kemudian berubah PSII), KH. Ahmad Dahlan, dan KH.
Abdul Wahab (wakil NU), berdiri. Jabatan ketua dipegang
oleh Wiwoho. bendahara dipegang KH. Mas Mansur, dan
anggotanya adalah KH. Ahmad Dahlan dan KH. Abdul
Wahab. Dalam MIAI ini, seluruh potensi Islam
tertampung dan tersalurkan. Pada awalnya majlis ini tidak
memiliki kecenderungan politis, tetapi dalam
perkembangannya kemudian memasuki arena politik
Lembaga ini sempat mengadakan kongres setiap tahun.
Pada zaman Jepang, tepatnya pada 1943, MIAI berubah
nama menjadi Masyumi dan nama ini diabadikan oleh
pemimpin-pemimpin Islam Indonesia pada 7-8 November
1945 dengan mendirikan Partai Islam Masyumi.
Setahun setelah berdirinya MIAI, berdiri Partai Islam
Indonesia (PII) di Surakarta, yang diprakarsai
Muhammadiyah dan tokoh-tokoh Islam lainnya. PII lahir
pada satu dasa warsa setelah orang-orang Muhammadlyah
dan orang-orang Islam lainnya terkena peraturan disiplin

326 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


partai dari SI sebagai hasil kongres SI di Pekalongan pada
1927, yang isinya melarang anggota-anggotanya
merangkap organisasi dan harus memilih salah satu di
antara keduanya. Ini membuat orang-orang
Muhammadiyah tetap berada dalam Muhammadiyah dan
keluar dari SI, termasuk KH. Mas Mansur.
Pada periode kedua, yaitu paro kedua 1960-an (1966-
70), corak modernism perilaku politik Muhammadiyah
tercermin dalam tiga peristiwa yang dialami
Muhammadiyah. Pertama, pangakuan wajah ganda;
Muhammadiyah oleh pemerintah Orde Lama dan Orde
Baru, yaitu Muhammadiyah sebagai organisasi
kemasyarakatan, dan sekaligus berfungsi sebagai organisasi
massa politik (ormaspol), sehingga Muhammadiyah
banyak menempatkan orang-orangnya di DPR dan di
MPR Gotong Royong. Pengakuan ormaspol terjadi pada
akhir Pemerintahan Orde Lama, pada 5 januari 1966, dan
dikukuhkan dengan tiga surat pada awal pemerintahan
Orde Baru, yaitu surat Wakil Perdana Menteri Bidang
Sosial Politik (Adam Malik) tertanggal 27 April 1966 No.
19/WPM/SP/1966; surat Menteri Dalam Negeri (Basuki
Rachmat) tertanggal 24 juni 1966 No. 22/2/32; dan surat
Menteri Dalam Negeri tertanggal 8 Agustus 1966 No.
22/2/47. Baik surat Wakil Perdana Menteri Adam Malik
maupun surat Menteri Dalam Negeri Basuki Rachmat
menegaskan pelaksanaan Muhammadiyah sebagai
ormaspol supaya dilayani oleh jajaran pemerintah,
termasuk gubernur, untuk memperlakukan hak hidup

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 327


Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan
sebagaimana organisasi kemasyarakatan yang lain. Dan,
juga memperlakukan Muhammadiyah sebagai organisasi
politik sebagaimana organisasi-organisasi politik yang lain.
Kedua, peristiwa lahirnya Parmusi dangan SK Presiden
No. 70 tertanggal 20 Februari 1968 yang dibidani
Muhammadiyah dan tokoh-tokoh Islam yang lain.
Aktivitas Muhammadiyah tersebut memperlihatkan bahwa
persyarikatan ini membidani lahirnya partai politik Islam
bagi umat Islam yang belum berpartai. Pembidanan ini
sebagai wujud amanat sidang tanwir 1966 di Bandung dan
siding tanwir 1967 di Yogyakarta.
Ketiga, peristiwa sidang tanwir 1969 di Ponorogo,
Jawa Timur, yang memutuskan kebijakan strategi atau
khittah perjuangan Muhammadiyah, yang di kalangan
Muhammadiyah lebih populer dengan istilah khittah
Ponorogo. Khittah Ponorogo ini menegaskan bahwa cita-
cita perjuangan Muhammadiyah hanya bias diwujudkan
melalui dakwah Islam dengan dua saluran secara serentak,
yaitu saluran politik, alatnya adalah organisasi politik atau
partai politik, dan saluran masyarakat, alatnya adalah
organisasi nonpolitik atau organisasi kernasyarakatan.
Meskipun ada kesadaran bahiva Muhammadiyah
merupakan organisasi yang memilih dan menempatkan
diri pada bentuk organisasi kemasyarakatan,
Muhammadiyah tetap membentuk organisasi politik atau
partai politik di luar Muhammadiyah yang menyalurkan

328 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


aspirasi politik Muhammadiyah bersama dengan kekuatan
umat Islam lainnya.
Khittah Ponorogo (1969), yang menjadi cermin corak
modernisme politik Muhammadiyah pada awal Orde Baru,
dalam. prakteknya kemudian berakhir setelah kebijakan
politik Muhammadiyah dalam muktamar Muhammadiyah
ke-38 tahun 1971 di Ujungpandang.
Saat membidani kelahiran Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi) pada awal Orde Baru (20 Februari 1968), dua
prinsip di atas tetap dipegang teguh dan dijadikan panduan
bagi Muhammadiyah Sejak Masyumi bubar pada 1960
sampai sebelum Parmusi, Muhammadiyah secara formal
belum mempunyai saluran aspirasi politik pada partai
politik Islam. Maka dari itu, pada awal Orde Baru, lewat
prakarsa Mulyadi Djojomartono (anggota PP
Muhammadiyah yang pernah menjadi menteri sosial dalam
Kabinet Juanda pada 1957) Muhammadiyah
menghidupkan kembali Partai Islam Indonesia (PII) yang
pernah didirikan Mas Mansur pada 1938. Namun, upaya
ini dihentikan demi menjaga keutuhan sikap sesama
keluarga mantan anggota Masyumi. (Yusuf Abdullah Puar,
1989; 297.) Menurut Lukman Harun dan Rusjdi Hamka,
setelah menemui pihak-pihak yang mempunyai rencana
yang sama, termasuk Mohammad Natsir di kediamannya,
rencana untuk mendirikan PII ditunda demi solidaritas
Islam, sambil mengikuti perkembangan. Dalam pertemuan
itu, Mohammad Natsir ikut mendukung rehabilitasi
Masyumi.

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 329


Sementara itu, Hamka, dalam acara tasyakuran di
Mesjid Al-Azhar Jakarta untuk menyambut pembebasan
tokoh-tokoh Islam dari tahanan, secara tegas mengatakan
bahwa rehabilitasi Masyumi merupakan kehendak umat
Islam, termasuk Muhammadiyah (Abdul Munir
Mulkhan,1990: 4).
Meskipun demikian, usaha rehabilitasi partai tersebut
gagal, sebagaimana upaya Mohammad Hatta untuk
mendirikan Partai Demokrasi Islam. Akhirnya, melalui SK
Presiden No. 70, pemerintah hanya merestui Parmusi,
dengan ketua Jarnawi Hadikusuma. dan sekretaris Lukman
Harun (keduanya anggota PP Muhammadiyah) (Abdul
Munir Mulkhan,1990: 298).
Seminggu setelah Parmusi berdiri, Muhammadiyah
membuat pernyataan resmi, yang antara lain menegaskan
tentang prinsip keutuhan dan kemenangan perjuangan
umat Islam dan negara, serta arah perjuangan Parmusi.
Setelah mengeluarkan pernyataan resmi yang
merupakan prinsip dasar Muhammadiyah untuk mencapai
kemenangan Islam dan umatnya tersebut, Muhammadiyah
mengeluarkan pedoman resmi untuk pegangan para
pemimpinnya sesudah Parmusi berdiri. Pedoman itu
diawali dengan penegasan bahwa berdirinya Parmusi
adalah sesuai dengan amanat sidang Majlis Tanwir tahun
1966 di Bandung dan tahun 1967 di Yogyakarta agar PP
Muhammadiyah memprakarsai pembentukan wadah
politik bagi umat Islam yang belum berpartai, namun
dinyatakan pula bahwa berdirinya Parmusi tetap

330 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


merupakan ―proyek bersama‖ serta mendapat pengertian
yang baik dari mantan Pimpinan Pusat (PP) Masyumi.
Dalam penegasan ini, tercermin prinsip Muhammadiyah
yang lain, yaitu bahwa institusi politik di luar
Muhammadiyah yang menjadi saluran aspirasi dan
perjuangan politik Muhammadiyah merupakan suatu
keharusan. Selama delapan tahun, sejak Masyumi bubar
pada 1960, Muhammadiyah belum mempunyai saluran
politik. Oleh karena itu, dalam sidang Majlis Tanwir 1966
di Bandung, dua tahun sebelum Parmusi berdiri,
Muhammadiyah mengamanatkan kepada PP-nya agar
memprakarsai berdirinya partai politik Islam. Amanat ini
diulangi lagi pada sidang Majlis Tanwir 1967 di
Yogyakarta.
Kemudian PP Muhammadiyah menyerukan kepada
pimpinan-pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan
(wilayah, daerah, dan cabang) untuk segera mengambil
prakarsa dalam pembentukan partai tersebut bersama
ormas-ormas pendukung lainnya dan untuk menyalurkan
tenaga-tenaga Muhammadiyah yang berbakat dan
berhasrat berjuang di bidang politik.
Dengan demikian, prinsip-prinsip dasar yang dijadikan
pedoman aktivitas Muhammadiyah dalam percaturan
politik sebelum dan sesudah kemerdekaan Republik
Indonesia selalu ditegakkan. Prinsip-prinsip dasar ini
mengandung makna ganda, yaitu sebagai saluran aspirasi
dan perjuangan politik Muhammadiyah, sekaligus untuk
kemenangan Islam dan umatnya secara keseleruhan. Hal

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 331


serupa, prinsip-prinsip yang dipegang Muhammadiyah
dalam melahirkan Partai Amanat Nasional, walaupun
secara tidak langsung.
Periode ketiga (reformasi). Ketika ketua Pimpinan
Pusat Muhammadiyah KH. Ahmad Azhar Basyir, MA
wafat tanggal 28 Juni 1994, Amien Rais tampil sebagai
tokoh puncak Muhammadiyah. Sejak kepemimpinan
Muhammadiyah dipegang Amien Rais tarikan politik
dalam Muhammadiyah kembali menguat. Dalam banyak
kesempatan, disamping banyak mengkritik kebijakan-
kabijakan politik Soeharto, Amien Rais juga senantiasa
menyuarakan kembali perlunya suksesi kepemimpinan
Nasional. Kabarnya Soeharto marah besar sehingga beliau
berupaya agar ―musuh‖nya itu tak terpilih dalam
Muktamar Muhammadiyah ke 43 tahun 1995 di Banda
Aceh, tapi upayanya gagal, dan Amien terpilih dengan
meraih suara hampir seratus persen. Sebagai ketua PP
Muhammadiyah, Amien tak henti-hentinya mengkritik
Soeharto sehingga gerakan reformasi politik tahun 1998,
alumnus Universitas Chicago, AS, ini dianggap sebagai
motor utamanya, dan sejumlah mahasiswa menobatkannya
sebagai ―Bapak Reformasi‖ Kepeloporan Amien
menggerakan reformasi hingga Soeharto lengser dari
singgasananya, 21 Mei 1998 bukan tanpa resiko. Sejurnlah
tokoh reformasi lainnya mendorong Amien Rais
mendirikan partai politik untuk menjadi ―kendaraan
politik‖ baginya untuk tampil ke kursi kepresidenan,
menuntaskan gerakan reformasi.

332 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Kuatnya dorongan pada Amien itu berdampak
langsung pada Muhammadiyah sehingga Tanwir 1998 di
Semarang antara lain memberikan ijin kepada Amien Rais
untuk mendirikan partai politik baru, maka berdirilah
Partai Amanat Nasional (PAN), 23 Agustus 1998.
Kelahiran PAN kendati tidak keluar langsung dari rahim
organisasi Muhammadiyah tetapi secara moral dan
kesejarahan terkait dengan ijtihad politik hasil Tanwir
Muhammadiyah bulan juli tahun 1998 di Semarang. Pada
waktu menjelang dan selama Sidang Tanwir di Semarang
itu, terdapat dua isu yang merupakan kenyataan sosiologis
yang dihadapi kalangan Muhammadiyah.
Pertama, M. Amien Rais yang waktu itu Ketua PP
Muhammadiyah telah muncul menjadi tokoh utama
gerakan reformasi yang memaksa Soeharto berhenti dari
jabatan Presiden Indonesia pada 21 Mei 1998. Amien Rais
bahkan oleh kalangan mahasiswa dinobatkan sebagai
Bapak Reformasi Indonesia, setelah sejak tahun 1993 isu
suksesi dan berbagai kritik serta langkah politiknya
menimbulkan perubahan peta politik Orde Baru sampai
akhirnya meledak menjadi gerakan reformasi.
Kedua, sebagai tindak-lanjut ingin mendorong kereta
reformasi ke arah yang makin konkret dalam memasuki
era baru paska kejatuhan Orde Baru yang memerlukan
pemerintahan baru yang memperoleh legitimasi rakyat,
sejumlah tokoh Muhammadiyah dari wilayah-wilayah se-
Indonesia menghendaki Ketua PP Muhammadiyah itu
mendirikan partai politik baru dan kemudian

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 333


memproyeksikan tokoh ini untuk menjadi salah satu calon
Presiden Indonesia ke-4. Dukungan yang luas dari elit dan
warga Muhammadiyah itu mencerminkan tanggungjawab
orangorang Muhammadiyah terhadap gerakan reformasi.
Dalam Komisi C di Sidang Tanwir itu keinginan para
elit Muhammadiyah itu disepakati secara bulat, namun Dr.
Amien Rais sendiri merasa terlalu berat menerima mandat
yang sangat besar dari Tanwir Muhammadiyah itu,
sehingga dirinya meminta keputusan yang lebih fleksibel
yang kemudian menjadi ketetapan Sidang Tanwir yang
intinya memberikan amanat kepada PP Muhammadiyah
agar melakukan ijtihad politik untuk membentuk partai
politik baru.
Dalam perkembangan berikutnya setelah melalui
berbagai proses politik yang berliku-liku, akhirnya, Amien
Rais sampai pada ketetapan untuk mendirikan partai
politik baru yakni Partai Amanat Nasional. Karena itu,
pada Pleno PP Muhammadiyah bersama Ketua-Ketua
Pirmpinan Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia di
jakarta pada 22 Agustus 1998 diputuskanlah ketetapan
untuk memberikan izin kepada Dr. M. Amien Rais untuk
melepaskan jabatan Ketua PP Muhammadiyah dan
selanjutnya memimpin Partai Amanat Nasional. Ketua PP
Muhammadiyah kemudian dijabat oleh Prof. Dr. H.
Ahmad Syafii Maarif, sedangkan Amien Rais masih tetap
dalam kepengurusan sebagai anggota PP Muhammadiyah
dan Ketua Majelis Hikmah PP Muhammadiyah.

334 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Di kalangan sebagian warga Muhammadiyah sering
terdapat diskusi apakah kehadiran PAN itu merupakan
hasil iitihad politik PP Muhammadiyah atau sekedar ijtihad
politik Amien Rais sendiri. Hal ini menggambarkan adanya
dinamika internal di tubuh organisasi ini antara yang
berpandangan formalistik-organisatoris dengan pandangan
substansialis-fungsional. Pandangan pertama cenderung
mencari legitimasi formal secara kelembagaan; sedangkan
pandangan kedua lebih pada peran fungsional dalam
menentukan sikap politik sejauh senapas dengan misi
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi
munkar.
Lepas dari perdebatan internal itum satu hal yang
tampaknya tidak dapat dihapuskan dari kenyataan
sosiologis bahwa kendati PAN tidak lahir langsung dari
rahim organisasi Muhammadiyah namun hal itu tidak
dapat dilepaskan dari keterkaitan antara langkah Amien
Rais sebagai Ketua PP Muhammadiyah dalam gerakan
reformasi dengan dukungan sidang Tanwir
Muhammadiyah Semarang dan Pleno Muhammadiyah 22
Agustus di Jakarta.
Muhammadiyah sendiri cukup taktis dengan tetap
berpijak pada khittah Ujung Pandang 1971 yang menjaga
jarak yang sama dengan organisasi politik, sehingga tidak
mensubordinasikan diri dengan PAN dan relatif bebas
dari kontaminasi konflik yang keras dalam proses politik
nasional.

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 335


Akan tetapi, secara de facto, mayoritas elit pimpinan
Muhammadiyah di hampir seluruh tingkatan
kepemimpinan terlibat menjadi inisiator dan pengurus
PAN maupun sebagian besar warga Muhammadiyah yang
menjadi basis pendukung utama reformasi ini, sehingga
keberadaan partai baru ini tetap terkait dengan dinamika
gerakan Muhammadiyah. Dalam kenyataan sosiologis
sebagaimana dipaparkan itulah dapat dijelaskan
kecenderungan kedekatan PAN dengan Muhammadiyah,
yang tentu saja berbeda dengan partai-partai politik lain
yangtumbuh pada era reformasi itu kendati secara
organisasi Muhammadiyah tetap menjaga jarak yang sama.
Patut disayangkan nasib PAN tidak terlalu baik karena
hanya menempati urutan kelima dari lima Parpol peraih
suara signifikan Pemilu 1999 dan posisi rangking ke 7
dalam Pemilu 2004. PAN mendapat suara tidak lebih dari
10% dalam Pemilu 1999 dan tidak tebih dari 8% dalam
Pemilu 2004. Sungguhpun suaranya tidak lebih dari 10%
dalam Pemilu 1999 namun Amin Rais mampu
menempatkan diri sebagai ketua MPR.
Sekali lagi patut disayangkan partai yang disebut
sementara kalangan sebagai partai ―Eksperimen‖ tak
mampu mengantarkan maestro politiknya ialah Amien
Rais sebagai orang pertama di republik ini. Sungguhpun
dalam pemilu 2004 mengalami penurunan perolehan
suaranya di DPR (tidak lebih 8%) di DPR namun dengan
kuantitas kursinya bertambah dari pemilu sebelumnya di
atas perolehan kursi PKB, PKS dan Partai Demokrat

336 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


walaupun secara rangking 7 besar PAN dibawah PKB,
PKS dan partai Demokrat.
Agaknya konstituen pemilih belum siap menerima
partai baru yang reformis dengan artikulasinya progresif
untuk tidak mengatakan ekstrem. Tentu saja faktor-faktor
lain ikut mempengaruhi nasib PAN, antara lain: secara
internal dan kinerja PAN dan kuatnya tarik menarik
kepentingan politik ―faksi-faksi‖ dalam PAN, juga
kekuatan-kekuatan politik nasional yang masih didominasi
kelompok status quo dan kelompok-kelompok lain yang
cenderung mengambil jalan pragmatis.
Munculnya Amien Rais dan PAN-nya, sekali lagi
mencerminkan prinsip-prinsip yang dibangun
Muhammadiyah: sebagai saluran aspirasi politik
Muhammadiyah, selain partai-partai yang lain. Juga tetap
menjaga dan mencitrakan keunggulan Islam dan
keanggunan umat Islam, sungguhpun pada era reformasi
ini tidak mesti coraknya sama dengan corak Masyumi awal
yang terwadai dalam satu institusi, namun mengalami
keragaman institusi. Ini sebuah realita sekaligus Sunatullah.
Selain PAN yang lahir pasca Reformasi, terbentuk juga
Partai Matahari Bangsa (PMB) semula bernama PAM,
sebuah perhimpunan gerakan kultur yang di deklarasikan 9
Maret 2005 di kantor PP Muhammadiyah Jakarta dan
dibidani anak-anak muda Muhammadiyah, menyusul
rekomendasi sidang Tanwir di Mataram tahun 2004. Kini
PAM menjadi partai politik.

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 337


Kita bisa menangkap benang merah dari eksistensi
dan aktualisasi partai politik dan lembaga-lembaga formal
politik yang menjadi aspirasi Muhammadiyah dengan tetap
berprinsip dwi fungsi, disatu sisi sebagai kanal atau saluran
aspirasi politik Muhammadiyah, disisi lain tetap terjaga
izzul Islam wal muslimin, keanggunan umat dan
keunggulan dunia Islam, tanpa memperdebatkan
pendekatan agama dan politik secara formalitas,
substansialitas atau pendekatan fungsionalitas.

D. Muhammadiyah dan Sosial Budaya


Masalah kebudayaan dikalangan umat Islam pada
umumnya, dan Muhammdiyah pada Khususnya, tampak
kurang menonjol, meskipun semasa Orde Lama umat
Islam telah memiliki beberapa wadah yang berkaitan
dengan seni budaya. Wadah tersebut antara lain
Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Lembaga Seni
Budaya Islam (Lesbumi), dan Ikatan Seni Budaya
Muhammadiyah (ISBM). Kemunculan mereka
dimungkinkan karena ada tantangan dari peran seniman
komunis yang betul-betul sudah dianggap memasyarakat
di kalangan rakyat kecil, bahkan di gunakan nama
Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), tanpa memakai
identitas partai atau organisasi. Mereka dapat masuk ke
berbagai saluran.
Meskipun demikian, keputusan Muktamar ke-36
Muhammadiyah di Bandung tahun 1965 sudah
menyinggung soal kebudayaan. Salah satu poin keputusan

338 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Muktamar tersebut adalah menyusun konsep yang lebih
sempurna dalam bidang kebudayaan, pendidikan, dan
pengajaran Muhammadiyah dalam rangka pendidikan yang
berdasarkan Pancasila serta kebudayaan nasional dengan
unsur-unsur ajaran Islam yang murni dengan tuntunan
pelaksanaannya, sebagai sumbangan bagi pembentukan
masyarakat sosialis Indonesia. Bahkan pada Muktamar ke-
39 di Padang, konsep kebudayaan juga menjadi materi
dalam pelaksanaan program keluarga sejahtera yang telah
diputuskan pada muktamar sebelumnya. Selain itu, materi
tentang kebudayaan juga masuk dalam penguatan dan
pembinaan pengaderan di Angkatan Muda
Muhammadiyah.
Namun, pada tahun 1970-an, lembaga-lembaga
kebudayaan yang bersifat Islam tidak dapat lagi dinikmati.
Meskipun kesenian seperti drum band, marching band, dan
kasidah masih terlihat, jenis kesenian tersebut hanya
dimiliki oleh beberapa perguruan saja. Di kalangan
organisasi Muhammadiyah dikenal Majelis Pendidikan dan
Kebudayaan. Namun, majelis ini tampaknya tidak
mengaktualisasikan budaya dikalangan perguruan, apalagi
di kalangan masyarakat. Majelis ini cenderung hanya
memikirkan masalah pendidikan saja. Padahal, pada saat
itu Indonesia sedang dilanda budaya baru yang dating dari
barat, yang sering dinilai sebagai budaya negative daripada
sebaliknya.
Secara kelembagaan, Muhammadiyah pada periode
1968-1971 memberi tekanan yang kuat pada nilai-nilai

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 339


budaya masyarakat Indonesia. Karena itu, Muhammadiyah
meminta agar sekolah yang bernaung dibawahnya
memperhatikan secara serius (a) prinsip pelaksanaan
kesenian; (b) kelengkapan alat-alat kesenian atau
instrumen yang sesuai dengan daerah masing-masing; (c)
perangsangan bakat-bakat seni pada anak-anak melalui
seni keramik; (d) seni tari yang dapat dierima berdasarkan
norma-norma agama dan adat istiadat; (e) pengembangan
seni drama dan sandiwara, wayang, dan sebagainya.
Kelima poin itu memiliki sasaran yang tidak tunggal.
Selain membumikan nilai-nilai budaya masyarat, juga
menjadi sarana yang dapat mendukung kegiatan dakwah
Islamiyah. Namun, hal itu belum terwujud. Malah, banyak
sekolah yang nonmuslim memperhatikan hal itu, jika
dibandingkan dengan sekolah-sekolah muslim termasuk
sekolah yang dikelola Muhammadiyah. Karena
ketertinggalan dalam bidang kebudayaan, Muhammadiyah
selalu menganjurkan agar kebudayaan terus dibina. Hal ini
dapat dilihat dalam keputusan Muktamar ke-40
Muhammadiyah di Padang, yang isinya antara lain:
1. Memberikan kesadaran, kemampuan dan tuntunan
kepada keluarga Muhammadiyah atau masyarakat
untuk menentukan dan menciptakan keudayaan
yang tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam
bagi kemanfaatan hidup beragama dan sarana
dakwah;
2. Menggembirakan dan menggairahkan kegiatan
kebudayaan Nasional untuk menampung bakat

340 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


atau hasrat keluarga Muhammadiyah atau
masyarakat, disertai dengan bimbingan sehingga
tidak menyimpang dari agama Islam.
Pada tahun 1980-an situasi budaya masyarakat
Indonesia semakin kompleks. Munculnya tempat-tempat
hiburan dan perjudian, lalu meningkatnya kriminalitas
pada tahun 1980-an, menuntut Muhammadiyah semakin
berperan. Oleh karena itu, Sidang Tanwir Muhammadiyah
tanggal 16-20 Desember 1981 di Yogyakarta memutuskan
hal-hal sebagai berikut:
1. Tanwir mendukung sepenuhnya kebijakan
pemerintah mengenai pelarangan pembuatan dan
terjadinya pelanggaran perjudian.
2. Tanwir mendukung sepenuhnya kebijakan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang telah
mengimbau Presiden mengenai peningkatan usaha-
usaha penanggulangan kriminalitas dan
mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat
Muhammadiyah agar melanjutkan kebijakan
tersebut dengan menyampaikan konsepsi-konsepsi
yang konkret kepada pejabat yang berwenang.
Begitu pentingnya masalah kebudayaan, hampir semua
gerakan Islam memberikan perhatian serius, termasuk
Muhammadiyah. Prof.A. Mukti Ali (Menteri Agama)
dalam seminar nasional tentang keberadaan
Muhammadiyah mengemukakan tentang ―Konsolidasi
Organisasi dalam Rangka Pemantapan Muhammadiyah‖,
yang isinya sebagai berikut: ―Muktamar ke-40

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 341


Muhammadiyah telah mengkonstatir akan terjadinya
pergeseran nilai dalam masyarakat sebagai akibat
perubahan sosial. Dalam menanggapi pergeseran itu,
Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada fungsinya
sebagai Gerakan Dakwah Islam Amar Makruf Nahi
Munkar‖.
Namun, akibat dari pergeseran nilai itu, bagi
Muhammadiyah bukannya tidak ada. Hal itu disebabkan
oleh adanya kecenderungan diferensiasi sosial dan
sekularisasi kultural dalam setiap perubahan sosial, yang
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku manusia sebagai
individu maupun sebagai kelompok cukup kuat.
Sekularisasi kultural menimbulkan kecenderungan
pragmatisme dalam Muhammadiyah sehingga dimensi
agama semakin kurang memperoleh perhatian dan sekedar
ditempatkan sebagai formalisme dan simbol gerakan. Hal
yang sama menyebabkan mengapa Muhammadiyah
berkembang dengan pesat terletak pada sektor amal usaha,
dimana penyimpangan-penyimpangan dan kaidah-kaidah
tarjih ditolerir daripada di eselon pimpinan, sedangkan
pada sektor kepemimpinan mengalami sedikit kelesuan
karena tidak mampu menjawab masalah-masalah yang
ditimbulkan oleh perubahan itu.
Diferensiasi sosial menimbulkan personalisme. Citra
kepemimpinan Muhammadiyah sebagai jamaah semakin
berkurang. Yang menonjol adalah individu sehingga
seharusnya dianalisis, mengapa kesetiaan anggota terhadap
persyarikatan semakin lama semakin berkurang.

342 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Penyebabnya adalah karena kurang adanya kepemimpinan
yang memiliki daya rekat yang menghubungkan antara ide
persyarikatan dan anggota.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, ada tiga
pilihan, yaitu kembali kepada sikap tradisional dengan
tambal sulam; merombak sama sekali struktur gerakan;
dan menyesuaikan diri secara kreatif. Apa pun alternatif
yang dipilih, harus tetap bersandar pada strategi
kebersamaan, karena strategi itu mampu menjadi esensi
dari umat atau jamaah sebagai institusi yang mampu
melawan kecenderungan diferensiasi sosial dan sekularisasi
kultural.

E. Dakwah Kultural Muhammadiyah

1. Pengertian Dakwah Kultural


Dakwah kultural secara organisasi mulai diperkenalkan
pada sidang Tanwir Muhammadiyah di Bali 2002 dan di
sempurnakan pada sidang Tanwir Muhammadiyah di
Makasar 2003. Keputusan ini merupakan langkah strategis
dan penting bagi Muhammadiyah yang sekaligus menandai
babak baru dari dakwah yang dikembangkan oleh
Muhammadiyah. Dakwah Kultural adalah wujud
kesadaran Muhammadiyah terhadap situasi dan kondisi
masyarakat Indonesia yang sangat beragambaik dari sisi
etnis, bahasa, budaya dan seni.
Disebut sebagai babak baru karena selama ini
Muhammadiyah dalam dakwahnya cenderung kurang
terbuka pada realitas kebudayaan umat yang sangat

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 343


beragam (sosio-budaya). Akibatnya, Muhammadiyah
terjebak-meminjam istilahnaya Baidhawi- dalam
imprealisme Islam murni. Bahkan pada level tertentu
karna kuatnya hegemoni itu (baca: Islam murni),
Muhammadiyah ccenderung dianggap anti terhadap seni
dan budaya, persis seperti apa yang dikeritik oleh
Kuntowijoyo, bahwa Muhammadiyah adalah gerakan
budaya tanpa kebudayaan.
Menurut Suminto A. Sayuti (2006), inti kebudayaan
hampir selalu merupakan refleksi langsung kebutuhan dan
potensi spiritualitas manusia, baik dalam tataran individual
maupun sosial, yang di dalamnya terkandung dimensi
masa lalu, masa kini, dan masa depan. Karenanya,
kebudayaan merupakan kerja perencanaan manusia dan
sekaligus tindakan nyatanya dalam rangka melaksanakan
tugas kekhalifahan; bagaimana menjadikan dirinya sebagai
pemakmur dunia dan rahmat bagi seluruh alam dan
kehidupan manusia.
Dakwah Islam Muhammadiyah pada hakikatnya
merupakan kelanjutan dari risalah din al-Islam yang telah
dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW kepada umat
manusia. Misi utama Rasulullah itu sendiri adalah upaya
menjadikan Islam sebagai rahmatan li al-„alamin. Dakwah
kultural Muhammadiyah bermaksud menyebar luaskan
universitas Islam untuk kesejahteraan seluruh umat
manusia tanpa memandang perbadaaan agama (Muslim
maupun non-Muslim), ras, warna kuit, bahasa dan jenis
kelamin; melalui cara-cara yang bijak sesuai dengan

344 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


kapsitas intelektualdan psikologi perkembangan manusia
dan tanpa paksaan; dengan mempertimbangkan keunikan
dan keanakaragaman kultural dan historis obyek dakwah
dan bahasa yang tepat; agar Islam kaffah dapat
bersentuhan dengan urusan-urusan kecil kehidpan
manusia dalam ruang dan waktu (Syarifuddin Jurdi,
dkk:2010).
Dalam tanfidz Keputusan Tanwir yang diterbitkan
oleh PP Muhammadiyah tahun 2004, dakwah kultural
dirumuskan sebagai upaya menanamkan nila-nilai Islam
dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan
potensi dan kecenderungan manusia sebagai maKH.luk
budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Jika mencermati pengertian
dakwah kultural, dapat dipahami bahwa pergeseran
orientasi dakwah tersebut lebih pada keinginan
Muhammadiyah untuk memperluas arena dakwahnya
keranah kebudayaan yang sangat luas dan dinamis.
Ciri-ciri dakwah kultural secara Khusus adalah
akomodatif, persuasif, elastis dan tidak konfrontatif.
Dalam kaitan ini, perlu diperhatikan bahwa dalam seni dan
budaya lokal itu, banyak unsur mitologinya, karena itu
Muhammadiyah perlu melakukan demitologisasi dan
rasionalisasi agar dimensi purifikasi yang dilakukan oleh
Muhammadiyah tidak terhambat. Inti dakwah kultural
adalah menempatkan Islam diatas pluralitas budaya dalam
rangka memberikan visi, motivasi dan pencerahan
kemanusiaan dalam bingkai kabangsaan dan kebudayaan.

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 345


Karena itu dakwah sesuai ragam kehidupan
keagamaan sebagai proses sosial budaya itulah yang
disebut dakwah kultural. Perubahan dari dakwah ini
dilakukan secara bertahap, sesuai kondisi sosial budaya
masing-masing orang dan masyarakat. Hal ini didasari
pada pandangan bahwa ke-kaffah-an Islamnya seseorang
atau masyarakat itu mudah, menyenangkan dan
menggembirakan yang bisa dilakukan setiap orang selama
masa hidupnya. Keberagaman sebagai proses sosial
budaya inilah, yang disebut sabagai Islam kultural (Abdul
Munir Mulkhan, 2010).
Problemnya sekarang adalah bagaimana
mengimplementasikan konsep ini pada berbagai level
organisasi Muhammadiyah. Tantangannya tentu terletak
pada ―elitisme‖ sebagian aktivis Muhammadiyah. Ini bisa
dipahami karena saat ini sebagian besar aktivis
Muhammadiyah adalah kelas menengah dan PNS.
Tantangan berikutnya adalah cara pandang yang
cenderung fiqihisme. Karena itu, paradigma dakwah
kultural amat mendesak untuk segera diterapkan dalam
aktivitas organisasi, sehingga Muhammdiyah bisa
merespon dinamika kebudayaan dan keumatan yang hadir
melalui pendekatan dakwah kultural.

2. Tujuan dan Manfaat Dakwah Kultural bagi


Pengajian Cabang
Sebagai sebuah paradigma dakwah dalam
Muhammadiyah, dakwah kultural memiliki tujuan:

346 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


a. Terbangunnya solidaritas (kebersamaan dan
kesatuan) keumatan di antara berbagai organisasi
Islam dalam menjawab tantangan/persoalan
keumata yang demikian rumit.
b. Tumbuhnya dialog dan kerjasama diantara berbagi
elemen (Islam maupun non Islam) untuk
memperkuata kerjasama (kemitraan) antar iman
dalam menghadapi tantangan kemanusiaan.
c. Membangun pondasi masyarakat madani (Ismic civil
society) Yang kokoh.

Adapun manfaat yang bisa diperoleh oleh


Muhammadiyah dari pendekatan dakwah kultural ini
adalah.
a. Semakin meluasnya daya jangkau dakwah
Muhammadiyah.
b. Memperkuat basis dan penerimaan masyarakat
terhadap Muhammadiyah yang dalam jangka
panjang berdampak pada peningkatan kuantitas
dan anggota dan simpatisan Muhammadiyah.
c. Meningkatnya pemehaman masyarakat luas
mengenai karakteristik Islam yang rahmatan lil
alamin.

3. Batas-batas Dakwah Kultural


Sampai sejauh mana dakwah kultural dipahami dan
diterapkan? Pertanyaan ini penting dalam memandu kita
memahami batas-batas dakwah kultural. Jika merujuk
kepada definisi dakwah kultural yaitu upaya menanamkan

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 347


nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan
memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia
sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka
menghasilkan kultur baru yang bernilai Islami sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Ada tiga aspek yang perlu diberi catatan dari
pengertian diatas sebagai batasan dakwah kultural
Muhammadiyah.
a. Muhammadiyah mengapresiasi keudayaan yang
berarti perlu memahami sistem gagasan, adat
istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, norma, sistem
aktivitas, simbol dan kebudayaan material lainnya
yang memiliki makna tertentu yang tumbuh dalam
kehidupan masyarakat. Apresiasi tersebut dibingkai
oleh pandanga dan sistem nilai ajaran Islam yang
membawa pesan rahmatan lil alamin. Artinya,
dakwah kultural Muhammadiyah menekankan
pada dinamisasi dakwah, selain pada purifikasi.
Dinamisasi berarti mencoba untuk menghargai
potensi dan kecenderungan manusia sebagai
makhluk budaya dalam arti luas, sekaligus
malakukan usaha-usaha agar budaya tesebut
membawa kemajuan dan pencerahan hidup.
Sementara purifikasi mencoba untuk menghindari
pelestarian budaya yang nyata-nyata dari segi ajaran
Islam besifat syirik, takhayul, bid‘ah dan Khurafat
(TBC). Karena itu, dakwah kultural bukan
cenderung melestarikan TBC, tetapi cara memahai

348 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


dan menyikapi dengan menggunakan pendekatan
dakwah. Dakwah kultural memandang label priayi,
abangan dan santri, modernis, tradisional, atau
sinkretik sebagai tahapan keberagaman masyarkat.
Keberagaman ini merupakan proses sosial budaya
yang akan berubah searah perubahan kehidupan
masyarakat. Islam disajikan dalam beragam menu
sesuai struktur masyarakatnya. Menjadi muslim itu
mudah (taisyir) dan menggembirakan (tabsyir), bisa
dilakukan semua orang sesuai truktur sosial
ekonomi masing-masing (Abdul Munir Mulkhan,
2010).
b. Bagaimana melakukan kreasi dan inovasi kultural?
Dakwah kultural memungkinkan tumbuhnya
inovasi hasil olah, cipta, rasa, dan karsa manusia.
Proses inovsi inilah dharapkan terbentuknya
kebudayaan yang membawa pesan-pesan
pencerahan dan nilai-niai Islam sehingga
terbentuknaya sebuah masyarakat yang berbudaya
Islam. Sebagai sebuah ilustrasi, kiprah KH. Ahmad
Dahlan menarik dicermati sebagai refleksi ats
kehidupan umat di zamannya. Dia tumbuh dipusat
kebudayaan jawa-Islam yang amat akrab dengan
praktek kejawen. Dahlan tidak merespon budaya
kejawen dengan prontal atau tindakan anarkis. Ia
justru merespon dinamika itu dengan kritis dan
kreatif. Tatkala Dahlan menjumpai masyarakat
yang dalam keyakinan mereka, bahwa kalau

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 349


mereka sakit itu karena kesambet (terkena) deemit
atau yang lain. Yang terpikir oleh kyai adalah
rumah sakit. Ia menawarkan rasionalitas dengan
cara yang sangat lembut, santun dan bersahaja
bahkan melibatkan dokter atau perawat-perawat
Belanda yang non Islam. Betapa inklusifnya sikap
dan ekspresi berdakwah yang dilakukan oleh
Dahlan. Itulah manifestasi dakwah kultural.
c. Muara dari dakwah kultural bahkan seluruh
dimensi dakwah Muhammadiyah tentu adalah
dalam kerangka mewujudkan cita-cita
Muhammadiyah, yaitu terbentuknya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Karena itu, dakwah
kultural mesti memperhatikan aspek visi
Muhammadiyah sebagai muara dari seluruh
aktivitas dakwah Muhammadiyah dengan
mempertimbangkan aspek kerisalahan, kerahmatan
dan kesejarahan.

4. Bentuk Dakwah Kultural


Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana manifestasi
dakwah kulltural Muhammadiyah? Pertanyaan ini begitu
sangat krusial karena masih adanya semacam ―protes‖
terhadap paradigma dakwah kultural yang telah menjadi
manhaj dakwah Persyarikatan, sebab secara organisasi
telah melalui proses permusyawaratan dan ditetapkan
sebagai keputusan organisasi. Agar tidak berlarut dalam
diskursus itu, beberapa bentuk dakwah kultural dan
contohnya yaitu:

350 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Dakwah Kultural Dalam Konteks Budaya Lokal
Dakwah Muahammadiyah dalam konteks bidaya lokal
berarti mencari bentuk pemahaman dan upaya yang lebuh
empatik dalam mengapresiasi kebudayaan masyarakat yang
akan menjadi sasaran dakwah dan mengaktualisasikan
gerakan dakwah Islam dalam realitas kebudayaan
masyarakat Indonesia secara terus menerus dan berproses,
sehingga nilia-nilai Islam mempengaruhi dan membentuk
kebudayaan yang Islami, khususnya dikalangan umat
Islam, melalui pendekatan dan sterategi yang tepat.

Dakwah Kultural Dalam Konteks Budaya Global


Muhammadiyah perlu mengkaji secara mendalam titik-
titik silang antara Islam dan budaya global, baik secara
teoritik maupun empirik, untuk keberhasilan dakwah,
seperti memperhatikan substansi atau pesan dakwah,
memperhatikan pendekatan dan sterategi dakwah,
memperhatikan media atau wahana dakwah dan
memperhatikan pelaku atau subjek dakwah. Maka dari itu,
Muhammadiyah perlu memperluas khazanah dakwahnya
agar sesuai dengan pola perkembangan budaya global.

Dakwah Kultural Melalui Apresiasi Seni


Budaya termasuk seni khususnya adalah ekspresi dari
perasaan sosial yang bersifat kolektif sehingga merupakan
ungkapan yang sesungguhnya dari hidup dan kehidupan
masyarakat. Muhammadiyah mengembangkan dakwah
kultural melaui apresiasi seni, dengan pengembangan seni
yang ma‘ruf untuk kepentingan dakwah Islam. Adapun

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 351


untuk seni yang belum ma‘ruf, maka perlu dilakukan
tahapan dan seleksi pemilihan secara syar‘i, tahap
intervensi nilai dan rekayasa isi, tahap penguatan dan
pengembangan seni sehingga bisa menjadi seni yang
ma‘ruf. Maka dakwah kultural Muhammadiyah bisa
berperan untuk melahirkan inovasi dan kreasi.

Dakwah Kultural Melaui Multimedia


Dakwah melalui Multimedia merupakan aktivitas
dakwah dengan memanfaatkan berbagai bentuk teknologi
informasi dan komunikasi sebagai media pencapaian
tujuan dakwah. Dakwah melalui multimedia dapat melalui
media cetak, media elektronik, media virtual atau internet.
Adapun agenda yang perlu dilakuakan Muhammadiyah
menyangkut aspek persepsi atau wawasan, aspek
sumberdaya manusia, dan kelembagaan, serta aspek
kegiatan/program. Contohnya, pengembangan program
Islam melalui media teknologi informasi serta konsultasi
akwah lewat website, penyebaran pesan Islam melaui
android, blackberry atau yang lain.

Dakwah Kultural GJDJ


Dakwah kultural sebenarnya merupakan kelanjutan
dari program Gerakan Jama‘ah dan Dakwah Jama‘ah
(GJDJ). GJDJ bisa menjadi media bagi dakwah kultural
dengan fokus pemberdayaan dan pengembangan
masyarakat melalui pembentukan jamaah sebagai satuan
sosial (komunitas), menjadi penting dan mendesak untuk
direalisasikan. Contoh, pengembangan kelompok-

352 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


kelompok (5-7 orang) dampingan masyarakat marginal
melalui advokasi, pendampingan, pengembangan ekonomi
dan bantuan sosial.

F. Gerakan Dakwah Jama‟ah


Bagi Muhammadiyah, masalah dakwah merupakan hal
yang sangat pokok. Hal itu sesuai dengan maksud dan
tujuan pendirian Muhammadiyah yang terdapat dalam Bab
II, Pasal 3 Anggaran Dasar Muhammadiyah, yang
berbunyi: ―Maksud dan tujuan persyarikatan ialah
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya‖.
Untuk mewujudkan pasal tersebut, perlu sekali
diadakan dakwah Islamiyah. Karena itu, pada Muktamar
ke-36 tahun 1965 diagendakan penguatan gerakan dakwah
dengan memutuskan beberapa strategi penting tentang
dakwah Muhammadiyah. Poin penting dari keputusan
Muktamar tentang dakwah ini adalah Muhammadiyah
menyusun pedoman, program dan rencana kerja guna
meningkatkan, meluaskan dan menyempurnakan
perjuangan sebagai gerakan dakwah Islam dan Amar
Makruf Nahi Munkar dari alat revolusi dan pembangunan
Negara (Koran Tempo 14 Maret 2005:15).
Keterangan Tanfiz tentang keputusan dalam bidang
dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar:
a. Sebutan Majelis/Bagian Tablig diganti dengan
Majelis/Bagian Dakwah.

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 353


b. Pimpinan Pusat/Majelis Dakwah dalam waktu
singkat akan menyusun pedoman/tuntunan dalam
melaksanakan Dakwah Islam dan amar makruf
nahi munkar bagi organisasi Muhammadiyah
sebagai gerakan dakwah dan amar makruf nahi
munkar.
c. Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan
Daerah dan Pimpinan Cabang supaya menyadari
sepenuhnya akan tugasnya sebagai pimpinan yang
harus dapat menggerakkan organisasi
Muhammadiyah secara keseluruhan sebagai
gerakan dakwah, terutama dalam memimpin dan
mengge(rakkan seluruh anggota Muhammadiyah
sebagai mubalig/mibaligah yang melaksanakan
tugas dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar
kepada masyarakat semuanya.
d. Sementara belum ada peraturan perubahan,
gerakan tablig supaya terus dilaksanakan
berdasarkan pedoman-pedoman/tuntuna dalam
peraturan yang masih berlaku dengan lebih
digiatkan, ditingkatkan, dan ditertibkan (Abdul
Mu‘ti:2005).
Dalam lampiran keputusan Muktamar ke-36 tersebut
juga dijelaskan guna mendapat tenaga-tenaga yang dapat
menimbulkan gerak secara mendalam tujuan
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bertugas
pokok dalam Islamiyah, Muhammadiyah perlu

354 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


mengadakan kursus ke-Muhammadiyah-an secara teratur
dan harus dengan pimpinan secara sungguh-sungguh:
a. Kursus ke-Muhammadiyah-an diadakan ditiap
cabang, daerah, atau wilayah.
b. Peserta kursus terdiri dari keluarga Muhammadiyah
yang berusia paling sedikit 18 tahun.
c. Tujuan kursus: membentuk mubalig/pemimpin
yang militan Pancasilais, Manipolis, Usdekis,
Berakhlak luhur, Berkepribadian Muhammadiyah:
mempunyai kemampuan daya amal dan daya juang
untuk dapat. . . (seterusnya lihat dari nomer 1
sampai 5).
d. Pelajaran kursus ialah: Al-Islam, Ke-
Muhammadiyah-an, Pancasila, Manipol-Usdek
dengan segala rangkaiannya, pengetahuan yang
berguna bagi dakwah.
Dalam rangka menindaklanjuti keputusan Muktamar
tersebut, dalam sidang Tannwir yang diselenggarakan
tahun 1967 Muhammadiyah memantapkan dirinya sebagai
―Gerakan Dakwah Islam dan Amar Makruf Nahi Munkar
didalam Bidang Masyarakat‖. Berdasarkan pemantapan
tersebut, maka ketika diselenggarakan Muktamar ke-37
tanggal 21-26 September 1968 di Yogyakarta dicantumkan
tema ―Menigkatkan Dakwah dan Ukhuwah Islamiyah:
Memantapkan Perjuangan dan pembangunan: menuhu
Tegaknya keadilan, kebenaran dan Kemakmuran yang
Diridhoi Allah SWT‖. Dengan tema tersebut,
Muhammadiyah semakin memantapkan dirinya sebagai

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 355


organisasi yang bergelut dalam masalah dakwah Islamiyah.
Untuk merealisasikan tema tersebut, muncullah sebuah ide
yang dikenal dengan ―Gerakan Jamaah dan Dakwak
Jamaah‖ atau GJDJ.
Muhammadiyah menghendaki agar GJDJ ini tidak
sekedar merupakan kegiatan temporer. Ia merupakan
suatu teori, suatu konsep yang termasuk salah satu prinsip
persyarikatan Muhammadiyah dalam membina dan
mengembangkan kesejahteraan hidup bermasyarakat
sesuai dengan ajaran Islam. GJDJ mempunyai program
yang telah dibuat tahapan-tahapannya, yaitu sebagai
berikut:
1. Pembaruan dan penyegaran pimpinan
persyarikatan;
2. Pemahaman bersama tentang Gerakan Jamaah dan
Dakwah Jamaah;
3. Penyebarluasan pengertian Gerakan Jamaah dan
Dakwah Jamaah;
4. Pembentukan inti jamaah;
5. Percobaan (try out) pendahuluan;
6. Penilaian dan perbaikan (avaluasi dan
koreksi/revisi)
Sebetulnya, jika dilihat kata jamaah, maka sudah
diketahuai banyak orang, terutama kaum muslimin yang
biasa melaksanakan salat jamaah, bahwa artinya salat
bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang Imam.
Dalam pengertian ini gerakan Jamaah juga berarti
―kelompok orang‖ yang selanjutnya diajak (didakwahi)

356 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


untuk hidup sejahtera bersama-sama yang selanjutnya
diberi istilah dakwah jamaah. Utuk itu, diperlukan
komponen-komponen yang terdiri dari [1] inti jamaah,
yaitu tim yang terdiri dari anggota Muhammadiyah; [2]
Dakwah Jamaah, yaitu dakwah yang dilaksanakan oleh inti
jamaah untuk mengajak hidup sejahtera; [3] jamaah, yaitu
kelompok keluarga di suatu tempat yang telah berhasil
didakwahi oleh inti jamaah dengan system dakwah jamaah.
Adapun tujuan Gerakan Jamaah ini adalah untuk
melaksanakan ajaran Islam dalam membangun
kesejahteraan hidup bermasyarakat. Maksudnya adalah
untuk meningkatkan aktivitas dan partisipasi anggota dan
keluarga Muhammadiyah dalam membangun Negara dan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Ide Gerakan
Jamaah yang juga kemudian disempurnakan dalam
Muktamar ke-38 di Ujung Pandang akhirnya dilakukan
dalam Muktamar ke-39 di Padang sebagai program
persyarikatan jangka panjang.
Oleh karena itu, materi, system, dan metodenya
berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
Indonesia. Muktamar ke-38 memutuskan bahwa system
dan metodenya meliputi [1] penggunaan system
jamaah(ikatan sekelompok rumah tangga dalam
masyarakat dengan inti dan pimpinan sekelompok anggota
Muhammadiyah dan ranting-ranting) dengan
menitikberatkan pembinaan keluarga sejahtera yang
dimulai lebih dahulu dari keluarga Muhammadiyah sendiri;
[2] penggunaan metode integrasi, yang menjadikan

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 357


kehidupan pribadi dan keluarga Muhammadiyah sebagai
uswatun hasanah (teladan yang baik), juga menjadikan
masjid, langgar, dan musala sebagai pusat kegiatan.
Oleh karena itu, pada saat itu materinya hanya
meliputi mahasin al-Islam beserta aspek-aspeknya dan
perbandingan agama. Pada waktu Muktamar ke-39 di
Padang tahun 1975, materinya diputuskan lebih rinci lagi,
yaitu bidang pendidikan, sosial, ekonomi, kebudayaan,
hukum, dan hubungan luar negeri. Selanjutnya, mengingat
pentingnya gerakan jamaah, maka dalam Muktamar ke-40
di Surabaya tahun 1978 Muhammadiyah masih
mempertahankan ide gerakan jamaah. Putusannya adalah
sebagai berikut:
a. Menyebarluaskan pengertian Gerakan Jamaah dan
Dakwah Jamaah;
b. Mengusahakan agar setiap anggota menyadari
pentingnya arti peranan Gerakan Jamaah dan
Dakwah Jamaah, serta bersedia melaksanakan
program Gerakan Jamaah, dan Dakwah Jamaah;
c. Membentuk ranting dan membinanya sehingga
benar-benar berfungsi dan melembaga di tengah-
tengah masyarakat;
d. Membentuk dan membina biro organisasi kader
ditingkat pusat, wilayah, dan daerah sebagai aparat
seluruh tanggung jawab pimpinan persyarikatan
dalam melaksanakan Gerakan Jamaah dan Dakwah
Jamaah;

358 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


e. Bagi ranting-ranting yang belum berfungsi, maka
cabang memilih anggota calon inti jamaah yang
dibina dicabang, baik lewat latihan bait al-arqam
(latihan 24 jam) atau kaderisasi, yaitu tiap-tiap
mubalig mengikuti pembinaan 3 jam kali 8 minggu
(2 bulan); selanjutnya dakwah kesejahteraan rakyat
agar tiap-tiap mubalig membekali diri dengan
materi dakwah keluarga sejahtera dengan
berpedoman pada pelaksanaan pembinaan keluarga
atau masyarakat sejahtera lewat jamaah yang
menuju tercapainya enam, yakni orang yang salah;
kuat dalam social ekonomi; sehat rohani dan
jasmani; hidup dalam suasana tolong-menolong;
pendidikan keluarga; dan perencanaan keluarga.
Dalam Muktamar tersebut juga disampaikan
penyataan tentang hal-hal berikut: menyambut gembira
dan berterima kasih atar Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1978 dan Instruksi
Menteri Agama RI Nomor 9 Tahun 1978 tentang tidak
perlunya perizinan dari yang berwajib bagi pelaksanaan
dakwah Islam dan kuliah subuh melalui radio, serta
mengharapkan pelaksanaannya yang mubalig dan
mubaligahat agar benar-benar meningkatkan aktivitas
tablignya di dakwah Islam.
Pada dasarnya program operasional Muhammadiyah
ditetapkan berdasarkan pilihan-pilihan program umum
1978-1988. Dengan demikian, program operasional
tersebut merupakan masalah-masalah yang dihadapi.

Muhammadiyah dan Kiprah Sosial Kemasyarakatan ~ 359


Maka, program ini menitikberatkan pada pilihan kegiatan
yang menyangkut berbagai aspek, misalnya aspek dakwah,
ekonomi, pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan,
wakaf dan zakat, kepustakaan, hubungan luar negeri,
kewarganegaraan, dan regenerasi. Khusus untuk masalah
luar dakwah, bidang garapannya meliputi daerah-daerah
pemukiman baru; urbanisasi dan masalahnya; generasai
muda; daerah pinggiran (marginal area); ekses negative
modernisasi, Khususnya akibat dari meluasnya media
massa.
Orientasi dakwah dipadukan antara dakwah billisan dan
dakwah bilhal. Mengingat perkembangan situasi dan
kondisi masyarakat, maka persoalan yang perlu diubah
bukan hanya teknik dakwah, tapi juga isi dan tujuannya,
termasuk wilayah dakwahnya. Dengan demikian, kedua
teknik dakwah diatas dapat dijalankan secara efisien dan
efektif. Untuk mendukung program-program yang telah di
uraikan diatas, Muhammadiyah terus melaksanakan
dakwah bilhal. Di antaranya mendirikan panti-panti asuhan
dan bantuan kesehatan lewat Pertolongan Kesengsaraan
Umat, baik melalui rumah sakit, klinik-klinik, maupun
rumah-rumah bersalin.

360 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


DAFTAR PUSTAKA

A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan


Islam di Indonesia, Yogyakarta,Ombak, 2012.
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah:
Metodologi dan Aplikasi , Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.
Abdul Munir MulKH.an, Masalah-masalah Teologi dan Fiqh
dalam Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Sipress, 1997.

Abdul Munir MulKH.an, Islam Murni Dalam Masyarakat


Petani, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000.
Amir Hamzah Wiryosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan
Pengajaran Islam, Jember : UNMUH , 1985.
AKH.mad Taufik, Dimyati Huda, Binti Maunah, Sejarah
Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta,
Paramadina, 2005.
Abdul Hamid & Yahya, Pemikiran Modern Dalam Islam,
Bandung, CV. Pustaka Setia, 2010.
Ayman Al-Yassini, Wahhabiyah, The Oxford Encyclopedia of
the Modern Islamic World, Vol. IV New York, Oxford,
Oxford University Press, 1995.
Anwar Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesai, Jakarta,
Paramadhina, 1995.

Daftar Pustaka ~ 361


Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari
Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme,
Jakarta, Paramadhina, 1996.
---------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII, Bandung:
Mizan, 1998.
Abdur Rahman Abdul KH.aliq, Sistem Da‟wah Salafiyah,
Jakarta, Gema Insani Press, 1992.
Abdul Wahhab KH.allaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: Darul
Qalam, 1978.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1997.
Busthami Muhamad Said, Gerakan Pembaharuan Agama,
Bekasi, PT. Wacanalazuardi Amanah, 1995.
Bargon Creg, Gagasan Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka
Nusantara, 1999.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol.
V, Jakarta, IKH.tiar Baru Van Hoeve, 1993.
Didi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka
Setia, 2008.
-------------------, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan
Baru, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,
Jakarta, LP3ES, 1980.
Fazlurrahman, Islam, Bandung: Pustaka, 1994.

362 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Haedar Nashir, KH.ittah Muhammadiyah Tentang Politik,
Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2008.
-------------------, Menengok Kembali Kelahiran Muhammadiyah,
Kontirbutor dalam Muhammadiyah online, Selasa, 12
Desember 2006.
-------------------, Muhammadiyah dan Pembentukan Masyarakat
Islam I, Kontribtor Muhammadiyah online, Selasa, 02
Juli 2008.
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2,
Jakarta, Kalam Mulia, 2001.
Hasan Muarif Ambary, dkk., Ensiklopedi Islam, Jakarta,
IKH.tiar, Van Hoeven, 2001.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta, UI Press, 1985.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran
dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
---------------------, Pembaharuan dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
---------------------, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Isma‘il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas
Budaya Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Imam Munawir, Kebangkitan Islam dan Tantangan-Tantangan
yang Dihadapi Dari Masa Kemasa, Surabaya, PT. Bina
Ilmu, 1984.

Daftar Pustaka ~ 363


Imran Nasri dkk, Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi,
KH.ittah dan Langkah, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2010.
Joesoef Sou‘yb, Orientalisme dan Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1995.
Khozin, Menggugat Pedidikan Muhammadiyah, Malang: UMM
Press, 2005.
Khudari Beik, Tarikh A-Tasyri‟ Al-Islami, Beirut: Dar Al-
Fikr, 1968.
KRH. Hadjid, Pelajarann KH. A Dahlan: 7 Falsafah Ajaran
dan 17 Kelompok Ayat al-Qur‟an, Yogyakarta: LPI PPM,
2008.
Mahsyar Idris, Studi Tentang Muhammadiyah, Parepare:
Lembaga Penerbitan Universitas Muhammadiyah
Parepare, 2007.
Mustafa Kamal Pasha dan Adabi Darban, Muhammadiyah
Sebagai Gerakan Islam, Dalam Perspektif Historis dan
Ideologis. Yogyakarta: LPPI UMY, 2003.
Mustafa Kamal Pasha dan Adabi Darban, Muhammadiyah
Sebagai Gerakan Islam, Dalam Perspektif Historis dan
Ideologis. Yogyakarta: Pustaka SM, 2009.
M. Muchlas Abror, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah, Makalah Dapinas, MPK PP
Muhammadiyah, 2011.
M Sukriyanto, Menangkap Makna Lambang Muhammadiyah,
Suara Muhammadiyah, No. 10, 16-31 Mei 2015.

364 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


M. Yusron Asrofi, KH. Ahmad Dahlan: Pemikiran dan
Kepemimpinannya Yogyakarta: Yogyakarta Press, 1983.
Majelis Diktilitbang, LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad
Muhammadiyah Gagasan Pembaharuan Sosial Keagamaan,
Kompas, 2010.
Syamsul Hidayat dkk, Studi Kemuhammadiyahan Kajian
Historis, Ideoligis Organisasi, Surakarta: LPID UMS,
2012,
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyab dalam Masyumi,
Jakarta: Grafiti, 1997
Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 1991.
Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus, Surabaya: Bina
Ilmu, 1990.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, Himpunan
Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta:
Persatuan, t.t.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Berita Resmi
Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar ke-46,
Yogyakarta, Surya Sarana Grafika, 2010.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Berita Resmi
Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Tanwir
Muhammadiyah, Yogyakarta, Surya Sarana Grafika,
2007.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 70 Tahun Rosyad Sholeh,
Istiqomah di Muhammadiyah, Yogyakarta, Gramasurya,
2012.

Daftar Pustaka ~ 365


Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu,
Beirut: Dar Al-Fikr, 1989.
Wikipedia, diakses tanggal 5 Maret 2015.
T.M. Hasbi As-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam I, Jakarta:
Bulan Bintang, 1980.

366 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


BIODATA PENULIS

H. Falahuddin, S.Ag., M.Ag.


Lahir di dusun Pidada, Desa Sintung,
Kecamatan Pringgarata, Kabupaten
Lombok Tengah, dari pasangan H.
Zaenuddin dan Hj. Faizah, pada
tanggal 31 Desember 1973.
Menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri
(SDN) di Pidada. Setelah itu melanjutkan ke Madrasah
Tsanawiyah dan Aliyah Nurul Hakim di Kediri Lombok
Barat. Kemudian melanjutkan program D3 Hukum Islam
dan Dakwah di Pesantren Tinggi Ilmu Fikih dan Dakwah
Bangil, Jawa Timur. Program sarjana S1 diselesaikan pada
Fakultas Agama Islam (FAI) jurusan Pendidikan Agama
Islam (PAI) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY). Pernah diterima masuk di program S2 Universitas
Gadjah Mada (UGM) jurusan filsafat, tetapi tidak selesai
dan memilih program S2 Hukum Islam di Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta, lulus tahun
2004. Pernah aktif di organisasi sebagai ketua Senat dan
ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pertama kali
memilih presiden mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta Tahun 2000. Aktif mengikuti seminar, diskusi
dan menjadi narasumber, terutama tentang
Muhammadiyah dan keislaman. Wakil Ketua Pimpinan

Tentang Penulis ~ 367


Wilayah Muhammadiyah NTB 2010-2015. Wakil Rektor
IV Universitas Muhammadiyah Mataram 2013-2017.
Menerjemah buku Fatawa Muhimmah fi Salat an-Nabi, karya
Abdullah bin Baz; Mausu‟ah Fiqh Umar al-Khaattab, karya
Muhammad Rawwas Qal‘ah Jii, dan menyusun buku paket
di Madrasah Mu‘allimin Muhammadiyah Jogjakarta untuk
buku Tafsir tahun 2004. Menyusun buku ajar Al-Islam II
(Fikih Ibadah) dan buku Kemuhammadiyahan ini untuk
mahasiswa Universitas Muhammadiyah Mataram.
Pekerjaan sehari-hari sebagai aktifis Muhammadiyah dan
tenaga edukatif Universitas Muhammadiyah Mataram.

Syafruddin AR Baso, S.IP, lahir di Seteluk


Sumbawa, 25 April 1976 dari Pasangan ayah
bernama Abdurrahim Baso (alm) dan Ibu
bernama Siti Aminah. Masa muda dihabiskan
untuk menempuh penididikan SD dan SMP di
Seteluk Kabupaten Sumbawa Barat, kemudian
pindah ke Mataram untuk menempuh
pendidikan SMEA Negeri 2 Mataram dan pendidikan S1 di
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik jurusan Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Mataram. Mulai aktif di
Muhammadiyah sebagai pengurus Pimpinan Wilayah Ikatan
Pelajar Muhammadiyah NTB tahun 1998 s.d 2002, Sekretaris
Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah NTB dua periode
2002 – 2006 dan 2006 – 2010, dan pada Musywil
Muhammadiyah ke -12 di Kota Bima tahun 2010 terpilih
sebagai salah seorang Anggota Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah NTB.

368 ~ Kuliah Kemuhammadiyahan


Mardiyah Hayati, lahir di Sumbawa Besar
tanggal 02 September 1967, merupakan anak
kelima dari Bapak Abdul Kadir (Allahu
Yarham) dan Hj. Syamsidariah (Allahu
Yarham) . Menyelesaikan pendidikan di
Sekolah Dasar Muhammadiyah Sumbawa
Besar , SMP Negri 2 Mataram Tahun 1983,
SMA Negri 2 Mataram Tahun 1986, mendapat Ijazah
Ushuluddin di Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun
1992, serta melanjutkan belajar di Institut Agama Islam Negeri
Mataram dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam
(PAI) Tahun 2012/2013.
Karir sebagai pendidik dimulai pada tahun 1992 sebagai
guru pada SMA Muhammadiyah Mataram, sampai dengan
tahun 1993 dan guru di Pesantren Muhammadiyah Darul
Arqom Sawangan Bogor mulai tahun 1993-2005. Mulai tahun
2008 kembali ke Mataram dengan tugas sebagai dosen Al-Islam
Kemuhammadiyahan hingga sekarang. Menikah dengan
Rusli Saimun Tanggal 22 Agustus Tahun 1993 dan di karuniai
dua orang anak yaitu: Mohammad Nashih Ulwan (20 tahun)
Mahasiswa Akademi Kimia Analis Bogor dan Nadira Nurul
Izza (14 tahun) Murid SMP Negri 6 Mataram di Kelas 9.

Tentang Penulis ~ 369

Anda mungkin juga menyukai