Anda di halaman 1dari 24

Hand Out

HUKUM SURAT BERHARGA

A. Pengertian
Di dalam dunia perdagangan dikenal adanya bermacam-macam surat
atau dokumen yang sangat penting bagi pemegangnya, karena surat atau dokumen
tersebut mempunyai nilai/harga yang relative tinggi, surat-surat tersebut misalnya:
wesel; Cek; Aksep; Bilyet Giro; Saham; Obligasi Konosemen; Ceel; Bukti Penitipan
Barang dsb.
Pada umumnya masyarakat mengatakan surat-surat tersebut di atas
sebagai “Surat Berharga” (Commercial Paper / CP). Di dalam hukum dagang, tidak
semuanya surat-surat tersebut di atas termasuk di dalam pengertian “Surat
Berharga”, karena hukum dagang menggolongkan surat-surat tersebut menjadi dua
macam surat, yaitu :
Surat Berharga (Waarde Papieren) dan Surat yang mempunyai
harga/nilai (Papieren van Waarde).

1. Surat Berharga (Waarde Papieren)


Di dalam KUHD tidak terdapat satu pasalpun yang memberikan pengertian
tentang apa yang dimaksud dengan “Surat Berharga”, tetapi hanya menyebutkan
istilahnya saja, seperti yang terdapat dalam Pasal 96 ayat (2) dan Pasal 469 KUHD.,
demikian pula yang terdapat dalam Pasal 89 PK (Peraturan Kepailitan) dan Pasal
197 ayat (8) HIR.
Pengertian tentang surat berharga dapat disimpulkan dari cirri-ciri atau
syarat-syarat yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut, sehingga suatu surat
dapat dikatakan sebagai surat berharga apabila surat tersebut sengaja diterbitkan
oleh penerbitknya sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi yang berupa
pembayaran sejumlah uang, yang mana pembayaran tersebut tidak dilakukan
dengan menggunakan mata uang (uang kartal), melainkan dengan menggunakan
alat bayar lain, dan alat bayar itu berupa surat yang di dalamnya berisi suatu
perintah kepada pihak ketiga atau pernyataan sanggup untuk membayar sejumlah
uang (uang giral).
Bagi pemegangnya, surat tersebut memberikan hak tagih kepadanya atas
sejumlah uang sebesar yang tersebut di dalamnya, hak tagih mana dapat
dipindahkan kepada orang lain dengan mudah atau sederhana, baik dengan
penyerahan surat tersebut maupun disertai dengan membuat pernyataan tentang
pengalihan surat tersebut.
Surat tersebut juga mempunyai fungsi sebagai alat bukti bagi pemegangnya
sebagaiorang yang berhak atas sejumlah uang yang tertera di dalamnya. Di dalam
hukum dagang, surat bukti ini disebut sebagai “surat legitimasi”.
Tujuan utama dari diterbitkannya surat berharga yaitu sebagai pemenuhan
suatu prestasi berupa pembayaran sejumlah uang.
Dari uraian tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa surat
berharga mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. sebagai alat pembayaran (Betal middel);
b. sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (dapat/mudah
dipindahtangankan);
c. sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).
Contoh dari jenis surat berharga ini adalah Cek, Wesel, Promes an order dsb.

2. Surat bernilai/yang mempunyai nilai (Papieren van Waarde)


Yaitu surat bukti diri bagi pemegangnya sebagai orang yang berhak atas apa
yang tersebut di dalamnya. Pada prinsipnya surat ini tidak dapat diperjual-belikan,
karena memang tujuan dari penerbitannya bukan untuk diperjualbelikan, serta tidak
dapat dipergunakan sebagai alat bayar.
Contoh dari jenis surat ini adalah Surat Pengakuan Hutang, Surat Konosemen (B/L),
Surat Cell, Saham, dsb.

Dari penjelasan singkat mengenai surat berharga dan surat bernilai


sebagaimana tersebut di atas, yang menjadi pokok pembahasan di dalam hukum
surat berharga hanyalah surat-surat yang termasuk di dalam pengertian surat
berharga.
B. Klausula Aan Toonder dan Aan Order
Salah satu sifat utama dari surat berharga adalah dapat atau mudahnya
surat tersebut dialihkan atau dipindahtangankan dari pemegang pertama kepada
pemegang kedua dan demikian seterusnya. Yang menjadi permasalahan disini
adalah bagaimana cara mengalihkan surat berharga tersebut dari pemegang
pertama kepada pemegang berikutnya.
Untuk itu di dalam suatu surat berharga selalu tercantum klausula yang
menentukan cara pengalihan surat berharga tersebut, klausula tersebut adalah Aan
Toonder atau Aan Order.
Terhadap terjemahan dari kedua istilah tersebut di atas, supaya mendapat
perhatian khusus mengingat terdapatnya perbedaan pendapat dari beberapa
sarjana seperti yang tersebut di bawah ini.
1. Aan Toonder
Subekti, penerjemah KUHD dan KUHPerdata (lihat Pasal 613 KUHPerdata),
menerjemahkan Aan Toonder dengan “Kepada Pembawa”, yang mempunyai
kemiripan dengan Wirjono Projodikoro, yang menterjemahkannya dengan
“Untuk Pembawa”.
Maksud dari kedua sarjana tersebut di atas yang menterjemahkan istilah
Aan Toonder dengan “kepada pembawa/untuk pembawa” yaitu memberikan
hak kepada setiap pembawa surat berharga dengan klausula aan toonder
tersebut atas sejumlah uang yang tercantum di dalamnya.
Pendapat berbeda diberikan oleh Abdul Kadir Muhammad dan Emmy
Pangaribuan Simanjutak, yang menterjemahkan istilah Aaan Toonder dengan
“atas tunjuk”. Di dalam penjelasannya, kedua sarjana ini mengatakan bahwa
kurang tepat apabila istilah aan toonder diterjemahkan dengan “kepada
pembawa/untuk pembawa”, karena untuk dapat mempunyai hak milik atas
suatu surat berharga yang mempunyai klausula aan toonder, tidak cukup
membawa surat tersebut, tetapi harus pula dengan menunjukkannya kepada
pihak tertarik (pihak yang wajib membayar), dan oleh karena itulah beliau
menterjemahkannya dengan “atas tunjuk”.
2. Aan Order
Subekti dan Wirjono Projodikoro menterjemahkan istilah aan order ini
dengan “kepada tertunjuk/orang yang ditunjuk/kuasanya”. Maksud
kedua sarjana ini adalah bahwa orang yang berhak atas pembayaran suatu
surat berharga adalah orang yang ditunjuk atau orang yang mendapat kuasa
dari pemegang pertama.
Pendapat berbeda diberikan oleh Abduk Kadir Muhhamad dan Emmy
Pangaribuan Simanjutak, yang menterjemahkan istilah aan order dengan “atas
pembawa”. Di dalam penjelasannya kedua sarjana ini kurang setuju dengan
pendapat Subekti, karena apabila istilah aan order diterjemahkan dengan
“kepada tertunjuk/orang yang ditunjuk/kuasanya”, maka yang sebenarnya
beralih adalah hak penguasaannya (bezit) atas surat berharga tersebut,
sedangkan hak miliknya tetap berada pada pemegang pertama, padahal dengan
dialihkannya suatu surat berharga dari pemegang pertama kepada pemegang
berikutnya, yang beralih adalah hak miliknya (eigendom), dan pemegang
berikutnya seluruh kedudukan dari pemegang pertama, sehingga untuk istilah
aan order, Abdul Kadir Muhammad menterjemahkannya dengan átas
pengganti”.

C. Cara Peralihannya
Di atas telah diuraikan bahwa setiap surat berharga selalu memuat klausula
aan toonder atau aan order, klausula tersebut menentukan bagaimana cara
beralihnya suatu suarat berharga dari pemegang pertama ke pemegang berikutnya.
Apabila suatu surat berharga memuat klausula Aan Toonder, maka
berdasarkan Pasal 613 ayat 3 KUHPerdata, cara beralihnya surat berharga tersebut
dari pemegang pertama ke pemegang berikutnya yaitu cukup dengan cara
peralihan nyata atau penyerahan suratnya saja tanpa disertai dengan perbuatan
hukum lain.
Bilamana suatu surat berharga tersebut memuat klausula aan order, maka
cara peralihannya di samping penyerahan nyata surat tersebut juga harus disertai
dengan perbuatan hukum tambahan yaitu endosemen. Endosemen berasal dari
kata “dos” (Perancis = punggung), artinya dengan memberikan keterangan tentang
peralihan surat tersebut “dibalik” surat berharga tersebut.
Dari uraian tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa surat
berharga adalah surat order atau surat toonder, tetapi surat order atau surt toonder
belum tentu surat berharga, karena ada surat-surat diluar pengertian surat
berharga yang mencantumkan klausula toonder atau order.

D. Penggolongan Surat Toonder atau Order


Untuk mengetahui apakah suatu surat toonder atau surat order termasuk
surat berharga atau tidak, maka harus dapat diketahui apa yang menjadi
perikatan dasarnya, yaitu perikatan antara penerbit dengan pemegang pertama
yang mengakibatkan lahirnya surat toonder atau order tersebut. Untuk itu
Scheltema menggolongan surat toonder atau order berdasarkan perikatan
dasarnya, yaitu :
1. Zaakenrechtelijke Papieren
Yaitu surat toonder atau order yang perikatan dasarnya adalah
penyerahan barang-barang sebagaimana yang disebut di dalam surat itu.
Akibat hukum dari penerbitan surat tersebut yaitu bagi
pemilik/pemegang/dokumen tersebut berhak atas benda-benda
sebagaimana yang disebut dalam surat itu.
Contoh bentuk ini adalah : konosemen (Pasal 517 a KUHD); Ceel.

2. Lidmaatschaps Papieren
Yaitu surat toonder atau order yang perikatan dasarnya adalah hak-hak
tertentu yang diberikan oleh suatu persekutuan kepada pemegangnya,
misalnya hak suara dalam rapat; hak atas deviden dsb.
Contoh bentuk surat ini adalah Saham.

3. Schuldvorderings Papieren
Yaitu surat toonder atau order yang perikatan dasarnya adalah
kewajiban untuk membayar sejumlah uang, artinya pemegang surat
tersebut berhak atas pembayaran sejumlah uang sebagaimana yang
tersebut di dalamnya. Surat-surat bentuk ini dapat dibedakan menjadi :
a. Surat Sanggup untuk membayar atau Janji untuk Membayar
Artinya si penandatangan surat tersebut (penerbit)
berjanji/menyanggupi untuk membayar sejumlah uang kepada
pemegang/penggantinya.
Misalnya : Surat Sanggup dan Promes atas tunjuk
b. Surat Perintah Membayar
Artinya sipenandatangan (penerbit) memerintahkan kepada pihak ketiga
(tersangkut/tertarik) yang namanya disebutkan dalam surat tersebut
untuk membayar sejumlah uang kepada pemegangnya/penggantinya.
Misalnya : Wesel atau Cek
c. Surat Pembebasan Utang
Artinya sipenandatangan (penerbit) memberi perintah kepada pihak
ketiga untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang menunjukkan
dan menyerahkan surat tersebut, dan bagi pihak ketiga yang telah
melakukan pembayaran, surat tersebut menjadi bukti bahwa ia telah
melunasi hutangnya, sehingga ia dibebaskan dari kewajiban untuk
membayar kepada penerbit.
Misalnya : Kwitansi atas tunjuk.

Dari penggolongan surat toonder dan order oleh Scheltema sebagaimana


tersebut di atas, yang termasuk surat berharga adalah surat-surat tagihan hutang,
yaitu surat sanggup untuk membayar atau janji untuk membayar dan surat perintah
membayar yang termasuk dalam jenis Schuldvorderings Papieren.

A : Penerbit/Trekker, yaitu orang yang menerbitkan surat cek


X
B : Pemegang/Nemmer, yaitu orang yang memegang surat Cek

X : Tertarik/Tersangkut/Betrokkene, yaitu orang yang diperintah


A B untuk membayar

Perikatan sebagaimana yang dimaksud di atas adalah perikatan antara A (Penerbit)


dengan B (pemegang), yang mengakibatkan lahirnya surat berharga tersebut.

E. Dasar Hukum yang Mengikat antara Penerbit dengan Pemegang


Di atas telah dijelaskan terjadinya perikatan dasar yang mengakibatkan
penerbit terikat untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang, misalnya telah
terjadi perjanjian jual-beli antara penerbit dengan pemegang yang menimbulkan
kewajiban bagi penerbit untuk membayar sejumlah uang, yang dalam hal ini
kewajiban tersebut diganti dengan menerbitkan surat berharga.
Contoh di atas cukup jelas serta tidak menimbulkan permasalahan, karena
telah ada hubungan hukum yang jelas antara penerbit dengan pemegang, yaitu
hubungan hukum jual beli. Yang menjadi persoalan adalah apabila pemegang
mengalihkan surat berharga tersebut kepada pemegang berikutnya, yaitu apakah
penerbit masih terikat untuk membayar kepada pemegang berikutnya tersebut dan
apa dasar hukumnya ?
Untuk menjawab permasalahan tersebut terdapat empat macam teori yang
dikemukakan oleh zevenbergen, yaitu :
1. Teori Kreasi/penciptaan
Teori ini dikemukakan oleh Finert (Creatie Theorie), yang
mengemukakan bahwa dasar mengikatnya penerbit untuk membayar kepada
pemegang berikutnya adalah perbuatan “menandatangani” surat berharga
tersebut oleh penerbit. Perbuatan inilah yang menciptakan perikatan antara
penerbit dengan pemegang, dan karenanya penerbit bertanggung jawab untuk
membayar kepada pemegang surat berharga itu walaupun tanpa adanya
perjanjian dengan pemegang berikutnya.
Keberatan teori ini adalah :
 Pernyataan sepihak dengan tanda tangan saja
tidak mungkin menimbulkan suatu perikatan atau dengan kata lain teori ini
bertentangan dengan bunyi Pasal 1313 KUHPerdata;
 Teori ini menimbulkan pertanyaan apakah
penerbit tetap terikat seandainya surat berharga tersebut jatuh ketangan
orang yang tidak berhak atau beritikad buruk (bandingkan dengan Pasal
1977 ayat 2 KUHPerdata).

2. Teori Kepantasan (Redelijkheids Theorie)


Teori ini merupakan perbaikan dari teori kreasi, yaitu memberikan
pembatasan kepada penerbit untuk hanya terikat kepada pemegang berikutnya
yang memperoleh surat berharga tertsebut dengan itikad baik saja.
Keberatan teori ini sama dengan teori kreasi, yaitu pernyataan sepihak
oleh penerbit tidak menimbulkan perikatan.
3. Teori Perjanjian (Overeenkomst Theorie)
Teori ini mengatakan bahwa yang menjadi dasar mengikat6nya penerbit
adalah adanya “perjanjian” antara penerbit yang menandatangani surat tersebut
dengan pemegang pertama, dimana dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa
penerbit bertanggung jawab/terikat untuk membayar kepada pemegang
berikutnya.
Keberatan teori ini adalah apabila surat berharga ini beredar secara tidak
normal/ tidak sah (dicuri atau hilang), apakah penerbit masih tetap terikat ?

4. Teori Penunjukkan (Vertonings Theorie)


Teori ini mengatakan bahwa yang menjadi dasar mengikatnya penerbit
adalah perbuatan “penunjukkan” surat tersebut kepada debitor (penerbit) yang
dilakukan oleh pemegang berikutnya.
Keberatan teori ini adalah :
 Teori ini tidak sesuai dengan fakta, karena perbuatan penunjukkan surat
berharga tersebut kepada penerbit merupakan pelaksanaan dari suatu
perikatan, sedang yang menjadi permasalahan disini adalah perikatannya.
 Teori ini bertentangan dengan KUHD, karena perikatan tersebut sudah
ada pada hari sebelum hari bayar atau sebelum penunjukkan (lihat Pasal
142 KUHD).

F. Surat Legitimasi
Salah satu funggsi dari surat berharga adalah bahwa surat tersebut dapat
digunakan sebagai bukti diri bagi pemegangnya sebagai orang yang berhak ata apa
yang disebut di dalamnya, untuk itulah surat berharga disebut juga sebagai “Surat
legitimasi”.
Ciri surat berharga adalah surat legitimasi dapat dilihat dari klausula yang
tercantum di dalam surat tersebut, misalnya Cek aan toonder, maka siapapun yang
menguasai surat berharga tersebut secara sah (hukum) adalah orang yang berhak
atas pembayaran.
Di dalam hukum surat berharga, surat legitimasi dibagi menjadi dua, yaitu
legitimasi formil dan legitimasi materiil.
1. Legitimasi Formil
Adalah bukti bahwa pemegang surat berharga tersebut dianggap
sebagai orang yang berhak atas pembayaran. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal
115 (1) KUHD tentang Wesel; Pasal 176 KUHD tentang Surat Sanggup dan Pasal
196 KUHD tentang Cek.
Di dalam pasal-pasal tersebut mengatakan bahwa barang siapa
memegang surat berharga maka ia harus dianggap sebagai pemegang yang
sah, apabila ia bisa membuktikan haknya dengan memperlihatkan suatu deretan
tidak terputus endosemen surat tersebut.
Asas ini disebut dengan legitimasi formil.

2. Legitimasi Materiil
Adalah bukti bahwa pemegang surat berharga tersebut sesungguhnya
adalah orang yang berhak atas pembayaran. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal
115 (3) KUHD dan Pasal 198 KUHD. Dari pasal-pasal tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa bagi pemegang yang secara materiil tidak berhak atas surat
berharga itu, tidak mendapat perlindungan hukum.
Asas ini disebut dengan legitimasi materiil.

Hukum dagang kita mengutamakan legitimasi formil, mengingat fungsi


utama surat berharga tersebut sebagai alat bayar dan mudah dialihkan, supaya
tidak terhambat, namun demikian tetap memperhatikan legitimasi materiil.
Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pemegang
surat berharga secara formil adalah orang yang mempunyai hak tagih yang sah
tanpa mengenyampingkan kebenaran materiilnya.

Demikian uraian singkat mengenai Hukum Surat Berharga, selanjutnya


mengenai contoh bentuk-bentuk surat berharga beserta uraiannya dapat saudara
lihat pada bagian berikut.
BENTUK-BENTUK SURAT BERHARGA

WESEL
1. Pengertian
Adalah surat perintah dari seseorang (penerbit) kepada orang lain
(tertarik) untuk membayar kepada orang lain lagi (pemegang), pada suatu
tanggal tertentu serta mengenai sejumlah uang tertentu pula (Volmar).
Jadi pada hakekatnya wesel itu adalah surat yang berisikan “perintah”
(opdracht) untuk membayar, dari seseorang (penerbit) kepada orang lain
(tertarik), sedang yang berhak adalah orang ketiga (pemegang).

2. Pengaturan
Diatur di dalam KUHD Bab VI Buku I, Pasal 100 s/d 173.

3. Pihak-pihak dalam Surat Wesel

X C A : Penerbit/Trekker

B : Pemegang I (Nemer/Endosan)

C : Pemegang II/Pengganti (Geendosseerde)


A B
X : Tersangkut/Betrokkene/Akseptan

4. Kewajiban Penerbit
Walaupun yang memiliki kewajiban untuk membayar adalah orang lain
(bukan penerbit), tetapi penerbit tetap dibebankan kewajiban-kewajiban
tertentu, yaitu :
a. Penerbit menanggung akseptasi dan pembayarannya (Ps. 108 ayat 1
KUHD)
b. Penerbit menjamin adanya pembayaran yang seharusnya dilakukan
oleh tersangkut atau akseptan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siapa saja yang berkedudukan
sebagai penerbit, menandatangani wesel dan mengalihkannya kepada orang
lain, maka dia juga mengambil kewajiban untuk dirinya sendiri, yaitu menjamin
akseptasi dan pembayaran dari wesel itu.

5. Bentuk Surat Wesel

SURAT WESEL Surabaya, 21 Desember 2006

Pada tanggal 15 Januari 2007, bayarlah Surat Wesel ini kepada :


Tuan Bram atau Penggantinya (order) di Surabaya, uang sejumlah Rp 50.000.000,-
(Lima Puluh Juta Rupiah)

Kepada : Achmad & Co.


Bank Xtra Surabaya
Surabaya

6. Syarat-syarat Surat Wesel


Semua bentuk Surat Wesel harus memenuhi syarat-syarat sebagai yang
tercantum dalam Pasal 100 KUHD, atau yang disebut dengan syarat formil,
yaitu:
a. Nama Surat Wesel (Wesel Clausule)
Istilah ini harus dimasukkan ke dalam teksnya sendiri dalam bahasa
yang dipergunakan dalam wesel itu, dengan tujuan untuk membedakan
dengan surat berharga lainnya.
b. Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang
Pembayaran tersebut tidak boleh digantungkan pada suatu syarat
tertentu, dan harus dibayar dalam bentuk uang, bukan barang atau
lainnya,untuk itu nilai uang harus ditulis dalam anka dan huruf.
c. Nama tersangkut / tertarik
Harus disebutkan dengan jelas nama orang yang harus membayar
atau yang mendapat perintah untuk melakukan pembayaran.
d. Penetapan hari bayar / hari gugur (vervaldag)
Yaitu saat dimana wesel tersebut harus dibayar oleh tertarik, dan
berdasarkan penetapan hari bayar tersebut, surat wesel dapat digolongkan
menjadi beberapa golongan (Pasal 132 KUHD), yaitu :

1. Zich Wesel (Wesel atas penglihatan), Ps. 101 ay. 2 & Ps. 133 KUHD
Yaitu wesel yang hari bayarnya adalah seketika ketika ditunjukkan
kepada tertarik (sembarang waktu), dalam tenggang waktu satu tahun
sejak tanggal penerbitan.
Misalnya : “Atas penunjukkan dan penyerahan Surat Wesel ini bayar
kepada …….”
Waktu satu tahun tersebut dapat diperpanjang atau diperpendek
tergantung dari Penerbit.
Misalnya : “Atas penunjukkan dan penyerahan Surat Wesel ini sebelum
tanggal ……..”
“Atas penunjukkan dan penyerahan Surat Wesel ini sesudah
tanggal …….”
2. Nazichtwessel (Wesel sesudah penunjukkan), Ps. 134 KUHD
Yaitu wesel yang hari bayarnya adalah pada suatu waktu tertentu
setelah ditunjukkan kepada penerbit (diperlihatkan kepada tertarik untuk
diakseptasi), sedangkan tenggang waktu untuk memperlihatkan wesel
tersebut adalah satu tahun (Ps 122 KUHD) sejak penerbitan.
Misalnya : “Empat bulan sesudah penunjukkan Wesel ini bayar kepada..”
3. Dato Wesel (Wesel sesudah penangggalan), Pasal 135 KUHD.
Yaitu wesel yang hari bayarnya adalah pada suatu waktu tertentu
setelah penanggalan.
Misalnya : “Satu bulan setelah tanggal surat Wesel ini, bayar kepada…”
4. Dag Wesel (Wesel Penanggalan), Ps. 136 KUHD
Yaitu wesel yang hari bayarnya pada suatu tanggal tertentu yang sudah
ditentukan dalam Surat Wesel tersebut.
Misalnya : “Pada tanggal 21 Desember 2006, bayar Surat Wesel ini
kepada …..”

e. Penetapan tempat pembayaran (Pasal 101 KUHD)


Apabila hal ini tidak disebutkan, maka tempat yang disebut di samping atau
di bawah nama tertarik merupakan tempat pembayaran wesel tersebut.

f. Nama pemegang pertama atau penggantinya


Yaitu nama orang atau penggantinay (order) kepada siapa pembayaran
harus dilakukan, oleh karena di dalam Surat Wesel dikenal sebagai
Praesumptif order papier, maka pengalihannya harus dengan cara
endosemen (Pasal 110 KUHD).
g. Penetapan tanggal dan tempat penerbitan wesel
Tanggal tersebut berfungsi untuk mengetahui berwenang tidaknya penerbit
pada saat menerbitkan wesel tersebut, sedangkan tempat untuk
menentukan hukum mana yang berlaku untuk penerbitan surat wesel
tersebut. Apabila tidak disebutkan, maka dianggap diterbitkan pada tempat
dan tanggal di samping nama penerbit.
h. Tanda-tangan penerbit
Surat Wesel ini adalah akta yang berfungsi sebagai alat bukti, sehingga
penerbit bertanggungjawab seandainya terjadi non pembayaran atau non
akseptasi (lihat Pasal 1874 dan 1875 KUHPerdata).

SURAT SANGGUP
1. Istilah :
Surat sanggup disebut juga dengan Orderbriefje; Prommese aan Order atau
Surat Aksep.

2. Pengertian
Adalah surat tanda sanggup atau setuju untuk membayar sejumlah uang
kepada pemegang atau penggantinya.

3. Persamaan dengan Surat Wesel


Sipenandatangan Surat Sanggup sama dengan akseptan pada Surat Wesel.
4. Perbedaan dengan Surat Wesel
 Pada Surat Sanggup tidak ada tertarik/tersangkut, karena penerbit
mengikatkan diri untuk membayar (tertariknya adalah penerbit itu sendiri);
 Penerbit pada Surat Sanggup bukan debitor regres (debitor yang dapat
digugat), tetapi debitor yang wajib membayar;
 Surat Sanggup adalah surat janji untuk membayar, sedang Surt Wesel
adalah surat perintah untuk membayar.

5. Personil
Pada prinsipnya di dalam Surat Sanggup terdapat dua orang perseonel, yaitu
Penerbit dan Pemegang

A B

Penerbit Pemegang

6. Contoh Surat Sanggup

Pada tanggal 2 Januari 2007, yang bertandatangan di bawah ini sanggup


membayar kepada Tuan Bram atau order, uang sejumlah Rp 5.000,000,- (lima
juta Rupiah)

Surbaya, 29 Desember 2006

Tuan Achmad

7. Sifat Surat Sanggup


Sifat surat Sanggup adalah surat berharga yang selalu dianggap sebagai
surat atas pengganti atau surat order (praesumptif order papier), oleh karena
itu surat sanggup disebut juga dengan prommese atas pengganti atau surat
atas pengganti, sehingga dengan demikian cara pemindahan/pengalihan surat
sanggup harus dilakukan dengan cara endosemen.
Surat sanggup digolongkan sebagai surat tagihan hutang
(Schuldvorderings papieren), bukan surat perintah untuk membayar, tetapi
berupa janji untuk membayar, sehingga surat sanggup tidak sama dengan surat
pengakuan hutang, karena surat pengakuan hutang adalah surat bukti hutang
(bukan surat berharga) sehingga cara peralihannya harus dengan cara cessie
dan kemudian diperlihatkan kepada debitornya.

8. Pengaturan
Terdapat dua cara untuk mengatur surat sanggup, yaitu :
a. Pengaturan secara mendetail dan khusus untuk surat sanggup
b. Pengaturan dengan menunjuk pada ketentuan tentang surat wesel.
KUHD mengikuti cara kedua, yaitu dengan cara menunjuk pada
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi surat wesel sejauh hal itu sesuai dengan
surat sanggup, sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 176 KUHD.
Ketentuan-ketentuan pada surat wesel yang tidak ditunjuk di dalam
Pasal 176 KUHD tidak berlaku terhadap surat sanggup, karena dipandang tidak
sesuai dengan sifat surat sanggup. Misalnya : semua ketentuan dalam surat
wesel yang berhubungan dengan akseptasi tidak berlaku terhadap surat
sanggup, karena surat sanggup sudah sama dengan akseptasi (kesanggupan).

9. Syarat Formil Surat Sanggup


Syarat formil surat sanggup ini diatur di dalam Pasal 174 KUHD, yaitu :
a. Penyebutan surat sanggup atau prommese atas pengganti yang ditulis
dalam kalimatnya, ingat surat sanggup adalah praesumptif order papier
yang cara pengalihannya harus dengan cara endosemen;
b. Kesanggupan untuk membayar sejumlah uang tanpa syarat, artinya
kesanggupan untuk membayar dalam bentuk uang (bukan barang atau
lainnya), dan tidak digantungkan pada suatu syarat tertentu (misalnya
sanggup untuk membayar dengan syarat barang sudah dikirim….dsb).
c. Penetapan hari bayar, dikenal dengan empat macam, yaitu :
 Pada waktu diperlihatkan
 Pada waktu tertentu sesudah diperlihatkan
 Pada waktu tertentu sesudah penanggalan
 Pada waktu yang ditentukan
Untuk selanjutnya baca Pasal 177 KUHD.
d. Tempat pembayaran harus dilakukan
Baca Pasal 175 ayat 3 KUHD
e. Nama penerima/pemegang atau penggantinya (order)
f. Tanggap dan tempat penandatanganan
Tanggal : untuk mengetahui hari bayar (verbvaldaag)
Tempat : untuk mengetahui hukum mana yang berlaku terhadap surat
sanggup tersebut;
g. Tandatangan Penerbit
Surat sanggup tersebut adalah akta yang berfungsi sebagai alat bukti,
sehingga penerbit bertangguna jawab seandainya terjadi non pembayaran.

SURAT CEK (CHEQUE)


1. Pengertian :
Adalah surat yang memuat kata cek yang diterbitkan pada tanggal dan tempat
tertentu, dimana penerbit memerintahkan tanpa syarat kepada Bankir (tertarik)
untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pemegang atau pembawa di
tempat tertentu.
Cek termasuk Surat tagihan hutang (Schuldvorderings papieren) yang
bersifat suatu perintah untuk membayar, jadi sama dengan surat wesel.

2. Personil:

X C Keterangan :
A : Penerbit / Trekker
B : Pemegang I / Nemmer
C : Pemegang II / Nemmer
X : Tersangkut / Tertarik / Betrokkene (Bankir)
A B

3. Pengaturan :
Surat Cek diatur di dalam Titel VII Pasal 178 s/d Pasal 229 KUH.
4. Syarat Formil Surat Cek :
Secara yuridis yang membuat surat cek adalah Penerbit, namun di dalam
praktek pihak Bankir menyediakan pelayanan kepada nasabahnya (penerbit)
dalam bentuk Buku Cek, sehingga pihak Penerbit tinggal menulis tanggal, nilai
uang serta tandatangannya. Hal ini dapat deibenarkan, dengan catatan bahwa
setiap penerbitan surat cek harus memenuhi syarat formil sebagaimana yang
disebutkan di dalam Pasal 178 KUHD sebagai berikut :
a. Nama “Cek” yang harus ditulis dalam bahasa dimana surat tersebut
dibuat;
b. Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang;
c. Nama orang yang harus membayar (tersangkut / tertarik / bankir);
Perhatikan Pasal 180 dan Pasal 229a KUHD.
d. Penetapan tempat pembayaran;
e. Tanggal dan tempat penerbitan (tanggal penerbitan berfungsi untuk
menghitung tenggang waktu selama 70 hari;
f. Tandtangan penerbit.

5. Penyediaan dana / Fond


Surat Cek adalah surat perintah untuk membayar sejumlah uang, untuk
itu pihak penerbit haruslah terlebih dahulu memiliki dana yang tersimpan dalam
bentuk rekening pada sebuah bank selaku pihak yang diperintah. Apabila dana
pihak penerbit pada bank tersebut kurang atau tidak ada, maka cek tersebut
termasuk “cek kosong”. Yang menjadi pertanyaan adalah kapan Penerbit wajib
menyediakan dana tersebut, pada saat dia menandatangani cek tersebut atau
pada saat Pemegang menunjukkan surat cek tersebut kepada tertarik (bankir).
Untuk menjawab pertanyaan tersebut marilah kita lihat bunyi Pasal 180
KUHD sebagai berikut : “Tiap-tiap cek harus ditarik atas seorang bankir yang
mempunyai dana di bawah pengawasannya guna kepentingan penarik, ….dst”
(kalimat pertama). “….dalam pada itu apabila ketentuan-ketentuan tersebut
tidak diindahkan….dst” (kalimat kedua).
Dari bunyi Pasal 180 KUHD kalimat pertama dapat disimpulkan bahwa
untuk menjadi tertarik harus memenuhi syarat-syarat sbb.:
a. harus seorang bankir;
b. mempunyai dana yang dipergunakan oleh penerbit.
Sedangkan dari kalimat kedua Pasal 180 KUHD tersebut dapat
disimpulkan bahwa kewajiban untuk menyediakan dana bagi tertarik tidak ada
lagi.
Dari keseluruhan bunyi Pasal 180 KUHD tersebut dapat disimpulkan
bahwa kewajiban menyediakan dana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
180 KUHD kalimat pertama, bukanlah hal yang wajib, oleh karena sebenarnya
yang harus menyediakan dana adalah pihak penerbit, sebagaimana juga
tercantum dalam Pasal 189 KUHD, yang mengatakan bahwa setiap penerbit
harus menanggung adanya pembayaran ,serta Pasal 190a KUHD yang
mengatakan bahwa penerbit wajib menyediakan dana yang cukup.
Masalah kapan dana atau fonds tersebut harus sudah ada pada tangan
tertarik / bankir, marilah kita lihat penjelasan beberapa pasal berikut ini :
Pasal 180 KUHD : “……cek ditarik /diterbitkan atas/pada seorang bankir
yang menpunyai dana….”, dengan demikian berdasarkan bunyi pasal tersebut,
dana harus sudah tersedia pada saat cek diterbitkan.
Pasal 190a KUHD : “……agar pada hari bayarnya….” , berdasarkan bunyi
pasal tersebut, maka dana harus tersedia pada saat hari bayarnya (vervaldaag
/ dimintakan pembayarannya).
Bunyi Pasal 180 KUHD tanpa kalimat kedua, nampak bertentangan
dengan bunyi Pasal 190a KUHD, akan tetapi dengan adanya kalimat kedua dari
Pasal 180 KUHD tersebut, maka kewajiban untuk menydiakan dana pada saat
penerbitan menjadi tidak diharuskan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentuk KUHD
menghendaki agar dana tersedia pada saat dimintakan pembayarannya / hari
bayarnya, jadi tidak diperhatikan lagi apakah pada saat penerbitkan cek, dana
atas cek tersebut tersedia atau tidak, yang penting pada saat dimintakan
pembayarannya oleh pemegang dana tersebut harus sudah ada / mencukupi.

6. Cek Kosong
di atas telah dijelaskan bahwa dana harus tersedia pada saat cek
tersebut dimintakan pembayarannya, apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka
akan timbul apa yang dikenal dengan cek kosong.
Masalah cek kosong di Indonesia pernah berlaku Undang-Undang No
17 / tahun 1964 tentang “Larangan Penerbitan Cek Kosong”, dimana di dalam
Pasal 1 nya memberikan pengertian tentang cek kosong sebagai sepucuk cek
yang pada saat penerbitannya tidak tersedia dana, dan undang-undang ini
memberikan sanksi yang sangat beraqt bagi penerbit yang menerbitkan cek
kosong, yaitu sanksi pidana mati, atau pidana seumur hidup, atau pidana
penjara maksimum 20 tahun, serta denda sebanyak-banyaknya empat kali
jumlah yang ditulis dalam cek. Sanksi yang sangat berat ini menyebabkan orang
menjadi takut untuk menerbitkan cek, yang pada akhirnya akan mengganggu
kegiatan perekonomian secara nasional, untuk itu pada tahun 1971 dengan
undang-undang No. 13 / 1971, UU No. 17 / 1964 dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi, karena pada kenyataannya justru menghambat lalu lintas
perekonomian pada umumnya dan dunia perbankan pada khususnya, yaitu pada
masalah lalu-lintas pembayaran.
Untuk mengatasi masalah cek kosong, yang juga dapat mengganggu
perekonomian, dikeluarkanlah suatu keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 5
Januari 1996, yaitu bagi penerbit cek kosong akan dikenakan sanksi administrasi
berupa peringatan serta ancaman penutupan rekening.

7. Perbedaan Cek dengan Wesel


a. Fungsi ekonomis
Wesel : Berfungsi sebagai alat bayar kredit
Cek : Berfungsi sebagai alat bayar tunai
b. Waktu Peredaran
Wesel : satu tahun (bisa lebih tergantung pada perjanjian)
Cek : 70 hari sejak penerbitan
c. Waktu Pembayaran (vervaldaag)
Wesel : pada hari yang sudah ditentukan
Cek : pada setiap saat diperlihatkan kepada bankir
d. Tersangkut
Wesel : bankir ataupun bukan bankir
Cek : haruslah seorang bankir (Pasal 180 KUHD)
e. Lembaga Akseptasi (kesanggupan tertarik untuk membayar)
Wesel : dikenal, yaitu ditunjukan kepada tertarik sebelum hari bayarnya.
Cek : tidak dikenal, karena begitu ditunjukkan itu adalah hari bayar.

f. Kalusula Pemegang
Wesel : bersifat aan order (Praesumptif order papier)
Cek : dapat aan order ataupun aan toonder.

8. Contoh Surat Cek


CEK NOMOR : …….. Surabaya, 12 Januari 2007
BANK X-TRA
Cabang Surabaya
JL. Semolowaru No. 45 Surabaya

Bayarlah atas penyerahan Cek ini kepada Tuan BEJO atau


ORDER/TOONDER, uang sejumlah SERATUS JUTA RUPIAH.

Ttd.

Rp 100.000,- TUAN AMAN

GIRO BILYET
1. Pengertian
Adalah surat perintah dari seseorang (Penarik) kepada orang lain
(Tertarik/Bankir) untuk pada tanggal tertentu memindahbukukan sejumlah dana
dari rekening penarik kepada rekening pemegang.

2. Surat Perintah
Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Giro Bilyet
termasuk jenis surat perintah, yaitu perintah dari seseorang (penerbit) kepada
orang lain (tertarik), hanya perintah tersebut bukan perintah untuk membayar
sejumlah uang, seperti yang terdapat pada surat wesel maupun cek, tetapi
perintah untuk memindahbukukan sejumlah dana, dari dana yang terdapat pada
rekening penerbit ke rekening Pemegang.
3. Para Pihak
Sama halnya di dalam surat cek, di dalam surat Giro Bilyet terdapat tiga
pihak, yaitu pihak Penerbit, Pemegang dan tertarik. Mengingat isi perintah
berupa pemindahbukuan sejumlah dana dari rekening Penerbit ke rekening
Pemegang, maka pihak Penerbit maupun Pemegang haruslah pihak yang
menjadi nasabah pada sebuah bank (baik bank yang sama maupun berbeda).
Sedang pihak tertarik haruslah sebuah bank (bankir).

4. Sifat
Pada dasarnya surat Giro Bilyet dikonstruksikan sebagai sebuah surat
yang tidak dapat dipindahtangankan (diperjualbelikan), untuk itu pada surat
Giro Bilyet tercantum dengan tegas nama Pemegang beserta nomor
rekeningnya, sedang pada bagian belakang surat Giro Bilyet selalu tercantuk
sebuah kalimat “TIDAK DAPAT DIPINDAHTANGANKAN & TIDAK DAPAT
DIUANGKAN”.
Dengan sifat-sifat tersebut di atas, maka surat Giro Bilyet tidak dapat
digolongkan sebagai surat berharga. Tetapi di dalam praktek, giro bilyet dapat
beredar/dipindahtangankan dari Pemegang I ke Pemegang II dst. Yaitu dengan
cara mengosongkan nama Pemegang serta nomor rekening kemana dana
tersebut harus dipindahkan.

5. Pengaturan
Giro Bilyet ini diatur di dalam SEBI No. 4/670-UPPB/PbB tanggal 24
Januari 1972, yang kemudian diganti dengan SEBI No. 28/32/UPG, tanggal 4
Juli 1995.

6. Contoh Giro Bilyet

BILYET GIRO Nomor : ………………


BANK X-TRA
Cabang Surabaya
Jl. Semolowaru No. 45 Surabaya

Diminta kepada saudara supaya pada tanggal 12 Maret 2007


memindahkan dana atas beban rekening kami kepada rekening
Saudara BEJO, pada BANK YOYO CABANG SURABAYA, dengan
permintaan supaya bank ini mengkriditkan rekening nasabah
tersebut di atas sejumlah LIMA JUTA RUPIAH.
Surabaya, 12 Januari 2007

Ttd.
Terbilang : Rp 5.000.000,- TUAN AMAN
PROMES ATAS TUNJUK (PROMESE AAN TOONDER)
1. Pengertian
Adakah surat yang diterbitkan oleh penandatangan (penerbit) pada tanggal
tertentu, yang berisi janji atau kesanggupan membayar sejumlah uang tertentu
kepada Pemegang pada saat diperlihatkan

2. Pengaturannya
Promese aan Toonder ini diatur di dalam Pasal 229e s/d 229 k KUHD,
bersama-sama dengan pengaturan tentang Kwitansi.

3. Contoh Promese aan Toonder

Yang bertandatangan di bawah ini, snaggup pada saat


surat ini dipertunjukkan, membayar uang sejunlah LIMA
JUTA RUPIAH.

Surabaya, 12 Januari 2007

Ttd.
Rp 5.000.000,- TUAN AMAN

-------o0o-------

Referensi :

1. Abdukkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga.


2. Emmy Pangaribuan, Hukum Dagang Surat-surat Berharga.
HAND OUT MATA KULIAH HUKUM DAGANG

HUKUM SURAT BERHARGA

Disusun oleh :
Dipo W. Hariyono, SH.,MHum.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2007

Anda mungkin juga menyukai