Anda di halaman 1dari 36

KONSEP DASAR HUKUM

SURAT BERHARGA
Universitas Nasional-Fakultas Hukum
Erma Defiana, M.H
Pertemuan ke 9
Mengapa Surat Berharga Diperlukan?
 Aman, karena:
1. Tidak semua orang dapat menerbitkan surat
berharga, harus memenuhi syarat-syarat
tertentu yang diatur dalam UU
2. Tidak semua orang dapat menggunakan surat
berharga karena ada prosedur tertentu
3. Kertas/ bahan surat berharga tidak semua
badan hukum bebas untuk mencetak/ membuat
 Praktis => tidak perlu membawa uang dalam
jumlah yang banyak
 Mudah dibawa
 Merupakan suatu prestise tersendiri bagi
masyarakat untuk berbelanja maupun
berbisnis menggunakan surat berharga.
1. PENGERTIAN SURAT BERHARGA
 Menurut Para ahli hukum:
1. Abdulkadir Muhammad => SB adalah surat
yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan
sebagai pelaksanaan pemenuhan prestasi yang
berupa pembayaran sejumlah uang
2. Purwosutjipto => SB adalah surat bukti
tuntutan utang, pembawa hak, dan mudah
diperjualbelikan
3. Joni Emirzon => SB adalah alat bayar dalam
berbagai transaksi perdagangan sebagai
pengganti uang, pemegang surat berharga
orang yang berhak melakukan penagihan.
Pembedaan Kajian Objek Surat
Berharga
Surat Berharga dengan surat yang berharga: .
1. Surat Berharga
Berasal dari bahasa Belanda, “waarde papier/
negotiable instruments (anglo saxon).
Diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan
suatu prestasi, yang berupa pembayaran
sejumlah uang/ sebagai alat bayar.
2. Surat yang berharga
Diterbitkan bukan sebagai pemenuhan prestasi
berupa pembayaran sejumlah uang, tapi
sebagai bukti diri bagi pemegangnya sebagai
orang yang berhak atas apa yang tersebut di
dalamnya.
Contoh: karcis penitipan barang, KTP,
sertifikat, Ijazah
Fungsi Surat Berharga
1. Sebagai surat bukti hak tagih/ surat legitimasi
=> pemegang SB berhak atas jumlah uang
tertentu yang tercantum didalamnya
2. Alat memindahkan hak tagih => penagihan
dilakukan kepada tersangkut
3. Alat pembayaran
4. Sebagai pembawa hak => siapa saja
pembawa SB maka berhak untuk
menguangkan
SEJARAH PENGATURAN SURAT BERHARGA
1. . Pengaturan menurut sistem Perancis
Menurut “code de commerce Perancis 1807”.
a. Klausula valuta ( perjanjian yang menjadi dasar
penerbitan SB)
b. Klausula tempat (Tempat penerbit dan pemegang
pertama
 Dalam sistem Perancis, penerbitan SB ditentukan

berdasarkan dua klausula tersebut.


 Konsekuensi adanya klausula tersebut=> jika ada

cacat yang mengakibatkan batalnya perjanjian yang


menjadi dasar penerbitan SB maka pemegang SB
tidak berhak atas pembayaran meskipun pemegang
SB adalah orang yang jujur.
2. Pengaturan menurut sistem Jerman
Menurut (Algemeine Deutsche
Wechselordnung) UU Wesel di Jerman 1848.
Menganut “ajaran abstraks”. Yaitu SB yang
diterbitkan terlepas dari perikatan dasarnya.
 Konsekuensinya jika ada cacat yang
mengakibatkan batalnya perjanjian yang
menjadi dasar penerbitan SB maka pemegang
SB tetap berhak atas pembayaran.
3. Pengaturan sistem di Inggris
Menurut UU Bill of Exchange Act 1882, juga ditiru
oleh AS dalam Negotiable Instruments Law 1897.
Menolak ajaran abstraksi dan memperhatikan
perikatan dasar yang menjadi latar belakang
penerbitan wesel, serta memberikan perlindungan
kepada pemegang SB yang jujur.
 Konsekuensi => pemegang SB yang jujur tetap dapat

pembayaran atas SB meskipun perikatan dasarnya


batal.
 Usaha penyeragaman
 Perancis: mengadakan perubahan UU tentang
wesel dan surat sanggup yaitu dengan
menghapus klausula tempat dan klausula
valuta dan menganut asas perlindungan
terhadap pihak ketiga
 Jerman : melepaskan ajaran abstraksi
 Usaha penyeragaman pengaturan SB melalui
Konvensi Jenewa tahun 1930 dan tahun 1931.
Pengaturan SB dalam Hukum
Indonesia
1. KUHD buku ke I titel 6 dan 7 => mengatur:
 Wesel => Titel 6 bagian 1-12

 Surat sanggup => Titel 6 bagian ke 13

 Cek => Titel 7 bagian 1-10

 Kwitansi dan promes atas tunjuk => Titel 7

bagian 11
2. Pengaturan diluar KUHD:
 Keppres no. 5 tahun 1984 tentang penerbitan SBI

 SK Direksi BI no. 21/48/KEP/DIR dan SE BI

no.21/27/UPG tentang Sertifikat Deposito


 SKBI no. 21/52/ KEP/DIR dan SE BI no.21/30/UPG

tentang Penerbitan dan perdagangan SBI


 SK Direktur BI no. 28/ 52/KEP/DIR tentang

persyaratan dan penerbitan SB Komersial


 SKBI no.28/32/KEP/DIR/1995 tentang Bilyet Giro
4. TEORI DALAM SURAT BERHARGA
 Yang menjadi dasar hukumnya surat
berharga itu mengikat penerbit/ debitor
terhadap pemegang, yaitu ada 4 teori:
1. Teori kreasi atau penciptaan
Yang menjadi dasar hukum mengikatnya
surat berharga antara penerbit dan pemegang
ialah perbuatan menandatangani surat
berharga. Perbuatan menandatangani ini
menciptakan perikatan antara penerbit dan
pemegang.
2. Teori Kepantasan
Teori ini berdasarkan teori kreasi, hanya dengan
pembatasan.pembatasannya adalah penerbit hanya
bertanggung jawab atau terikat pada pemegang yang
memperoleh surat berharga secara pantas.

3. Teori perjanjian
Yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat
berharga antara penerbit dan pemegang ialah suatu
perjanjian yang merupakan perbuatan hukum dua
pihak, yaitu penerbit yang menandatangani dan
pemegang pertama yang menerima surat berharga
tersebut.
4. Teori penunjukkan
Yang menjadi dasar mengikatnya surat
berharga antara penerbit dan pemegang ialah
perbuatan penunjukkan surat itu kepada
debitor.
Teori ini tidak cocok dan bertentangan dengan
UU.
UPAYA TANGKISAN PADA SURAT
BERHARGA
 Upaya tangkisan dapat dipergunakan bagi pihak-
pihak yang merasa dirugikan akibat tidak dapat
melakukan penagihan/ tersangkut tidak bersedia
nelakukan pembayaran.
1. Upaya tangkisan absolut (exeption in rem)
Dapat digunakan oleh pemegang, baik pemegang
pertama maupun pemegang berikutnya.
Timbul dari surat berharga itu sendiri yang dianggap
sudah diketahui oleh umum.
 Yang termasuk dalam upaya bantahan absolut
adalah:
a. Cacat pada bentuk surat berharga => cacat
kerena tidak memenuhi ketentuan yang telah
ditetapkan oleh UU, yaitu syarat-syarat
formalnya.
syarat formal ini membawa pengaruh pada
sah atau tidaknya surat berharga.
 Contoh:
- Tanda tangan penerbit tidak ada
- Tanda tangan penerbit palsu => penerbit tidak
dapat dimintai pertanggung jawaban, karena
hubungan hukum antara penerbit dengan
penerima belum ada. Pasal 116 KUHD tidak
dapat diberlakukan meskipun pemegang surat
berharga adalah pihak ketiga yang jujur.
- Debitor/ penerbit tidak cakap => menyangkut soal
sahnya perjanjian yang menjadi dasar penerbitan
surat berharga. Jika perikatan tidak sah, akibatnya
pembayaran surat berharga juga tidak sah. Termasuk
dalam pengertian tidak cakap ini adalah tidak
berwenangnya suatu organ/ pengurus dari suatu
badan hukum untuk menandatangani surat berharga.
- Penandatangan dipaksa => tidak ada kebebasan/ atas
dasar paksaan. Tidak dapat diberlakukan Pasal 116
KUHD.
- Penandatangan sakit jiwa.
b. Lampau waktu/ Daluwarsa => hak untuk memperoleh
pembayaran suatu surat berharga telah ditentukan
dalam tenggang waktu tertentu. Jika tenggang waktu
yang ditentukan itu lampau, akibatnya hak untuk
memperoleh pembayaran hilang.
- Pasal 169 KUHD untuk wesel: Daluwarsa 3 tahun

- Pasal 229 KUHD untuk cek : daluwarsa 6 bulan


c. Kelainan formalitas dalam regres
Jika surat berharga mendapat penolakan akseptasi/
penolakan pembayaran pada hari ditunjukkan atau
pada hari bayar, maka pemegang dapat melakukan
hak regresnya guna memperoleh pembayaran kepada
penerbit.
Regres => tagihan kepada penerbit/ debitor.
Pasal 143 ayat (1) KUHD => penolakan akseptasi
atau pembayaran harus dinyatakan dengan akta
otentik (protes non akseptasi/ protes non
pembayaran).
2. Upaya tangkisan relatif
Merupakan upaya tangkisan yang tidak dapat
diketahui dari surat berharga itu sendiri,
akibatnya tidak dapat diajukan kepada setiap
kreditor/ pemegang, kecuali pada saat
menerima surat berharga tersebut kreditor/
pemegang telah dengan sengaja berbuat yang
merugikan debitor/ tidak jujur.
Hanya dapat diajukan kepada pemegang
tertentu saja.
 Yang termasuk dalam upaya tangkisan relatif:
a. Semua tangkisan yang bersumber pada
hubungan perikatan dasar
b. Semua tangkisan yang disebabkan karena
adanya paksaan, sesat, dan penipuan pada
perjanjian yang menjadi dasar penerbitan surat
berharga antara penerbit dengan penerima
(Pasal 1321 KUHPerdata).
FUNGSI SURAT BERHARGA
 Sebagai alat pembayaran => sebagai pengganti uang kartal
 Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih
penerbitan surat berharga merupakan salah satu metode
pembayaran yang dilakukan tidak secara langsung dari
debitor kepada kreditor. Tetapi pembayaran tersebut
dialihkan kepada pihak ke tiga (tersangkut) berdasarkan
perjanjian penyediaan dana.
=> pemindahan hak tagih dari debitor kepada tersangkut/ tertarik
 Sebagai bukti hak tagih (surat legitimasi) => sebagai bukti
diri bagi pemegangnya sebagai orang yang berhak atas
tagihan yang tersebut di dalamnya.
 Fungsi berlakunya asas legitimasi dalam surat
berharga => untuk memperlancar
peredarannya dalam lalu lintas pembayaran
sesuai dengan fungsi dan tujuan penerbitan
surat berharga.
 Konsekuensi dari pemberlakuan asas
legitimasi => setiap orang yang menunjukkan
surat berharga itu akan mendapat pembayaran.
 Bagaimana jika ternyata yang memegang surat
berharga tersebut adalah bukan orang yang berhak
dan debitor terlanjur membayar kepada orang yang
tidak berhak tersebut?
 Pasal 1386 KUHPerdata : pembayaran yang
dilakukan oleh debitor dengan itikad baik kepada
pemegang surat tuntutan utang adalah SAH.
 Jadi jika pemegang surat berharga datang
menunjukkan suratnya meminta pembayaran, lalu
debitor membayarnya dengan ITIKAD BAIK karena
mengira pemegang tersebut benar-benar berhak,
maka membebaskan dirinya dari segala
kewajibannya.
 Maksud dari itikad baik disini, yaitu bahwa debitor
tidak mengira sama sekali bahwa pemegang surat
tersebut bukan orang yang bergak, sedangkan debitor
tidak ada hubungan sama sekali dengan pemegang
tersebut, sehingga tidak ada persengkokolan. Selain itu
debitor juga tidak memperoleh informasi dari yang
berhak bahwa pemegang yang menunjukkan surat
tersebut bukan orang yang berhak.
 Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata : barang siapa yang
menguasai dan memegang surat berharga, dianggap
sebagai pemiliknya/ orang yang berhak atas benda
tersebut. => maksudnya, yang dianggap sebagai yang
berhak adalah orang yang menguasai benda tersebut
secara jujur.
a. Legitimasi formal => bukti bahwa pemegang
surat berharga tersebut dianggap sebagai
orang yang berhak atas tagihan yang tersebut
di dalamnya. Apabila pemegang tidak dapat
menunjukkan bukti secara formal yang diatur
dalam UU, maka tidak dapat dikatakan
sebagai pemegang yang sah.
Dasar hukum: Pasal 115 ayat (1) KUHD
untuk wesel, Pasal 176 KUHD untuk surat
sangggup, Pasal 196 KUHD untuk cek.
 Seseorang yang memegang surat berharga
(wesel, surat sanggup, cek) maka ia harus
dianggap sebagai pemegang yang sah, apabila
ia bisa membuktikan haknya dengan
memperlihatkan suatu deretan tak terputus
segala endosemen surat tersebut, walaupun
endosemen yang terakhir dilakukan secara
blangko.
b. Legitimasi material => bukti bahwa pemegang
surat berharga tersebut adalah orang yang
berhak atas tagihan yang tersebut di dalamnya.
Dasar hukum: Pasal 115 ayat (1) untuk wesel
dan termasuk surat sanggup, Pasal 198 KUHD
untuk surat cek.
DASAR MENGIKAT PENERBITAN
SURAT BERHARGA

 Surat berharga itu timbul karena adanya hubungan


dasar sebagai akibat terjadinya peristiwa dasar.
 Peristiwa dasar ini merupakan suatu perbuatan hukum
yang terjadi sebelum surat berharga tersebut
diterbitkan.
Ilustrasi:
 A (pembeli) mengadakan perjanjian jual beli

kopi dengan C (penjual). Sesuai kesepakatan,


C akan menyerahkan sejumlah kopi dengan
harga Rp. 1000.000,-. Sedangkan A akan
membayar dengan cara menerbitkan sebuah
cek. Hubungan antara A dengan C yang timbul
karena adanya peristiwa dasar tersebut disebut
HUBUNGAN DASAR.
 A sekarang telah melaksanakan prestasinya
dengan cara menerbitkan sebuah cek yang
bernilai Rp. 1000.000,-. Dalam cek ini A
memerintahkan kepada B (tersangkut) untuk
membayar uang sejumlah Rp. 1000.000,-
tersebut kepada C. Di sini A berkedudukan
sebagai “penerbit/ penarik/ debitor”, B
berkedudukan sebagai “tertarik/ tersangkut”
dan C berkedudukan sebagi “penerima/
pemegang”.
 Dari ilustrasi tersebut dapat diperoleh gambaran : bahwa
dalam penerbitan cek ini mengandung DUA HUBUNGAN
HUKUM, yaitu hubungan hukum antara penerbit (A) dengan
tersangkut (B) dan hubungan hukum antara penerbit (A)
dengan penerima (C).
1. Hubungan hukum antara penerbit dan tersangkut => timbul
karena adanya PERJANJIAN PENYEDIAAN DANA antara
A dengan B.
Perjanjian penyediaan dana adalah perjanjian timbal balik
antaranA dengan B, dimana A mengikatkan diri untuk
menyediakan sejumlah dana pada B, sedangkan B
mengikatkan diri untuk mengakseptasi dan membayar cek
tersebut pada hari bayar.
Hari bayar ditetapkan sebagai hari dimana cek itu harus
dibayar.
Dana yang ada pada tersangkut (B) ini adalah dana
milik A, yang terdiri dari simpanan uang, piutang atau
kredit.
Bila surat cek sudah diterbitkan oleh A, sebelum
diserahkan kepada C, maka harus diakseptasi dulu oleh
B. Jika sudah diakseptasi, baru diserahkan kepada C.
Sebelum cek dimintakan akseptasi kepada B, maka A
harus melakukan 2 macam perbuatan, yaitu:
a. Memberitahu kepada B bahwa ia menerbitkan surat
cek dan B ditunjuk sebagai tersangkut. Pemebritahuan
ini dilakukan dengan “surat advis”.
b. Menyerahkan sebuah dana sebesar minimum Rp.
1000.000,-

Anda mungkin juga menyukai