Anda di halaman 1dari 5

1.

Bentuk-Bentuk Surat Berharga


Materi kuliah 2. Teori-Teori Yang Menjadi Dasar Hukum Terikatnya
Penerbit Dan Pemegang Surat Berharga

1. Bentuk-bentuk Surat Berharga


Dari penggolongan surat berharga diatas, sebagaian besar diatur di dalam
KUHD, dan sebagian lagi diatur di luar KUHD. Surat-surat berharga yang diatur di
dalam KUHD, meliputi:
a. Surat Wesel, adalah surat yang memuat kata wesel didalamnya, ditanggali dan
ditandatangani di suatu tempat. Penerbit memberi perintah tanpa syarat kepada
tersangkut untuk pada hari bayar membayar sejumlah uang kepada orang
(penerima) yang ditunjuk oleh penerbit atau penggantinya di suatu tempat
tertentu.
b. Surat Sanggup, adalah surat berharga yang memuat kata aksep atau promes.
Dalam hal ini penerbit menyanggupi untuk membayar sejumlah uang kepada
orang yang disebut dalam surat sanggup itu atau penggantinya atau pembawanya
pada hari bayar.
c. Surat Cek, adalah surat berharga yang memuat kata cek, dimana penerbitnya
memerintahkan kepada bank tertentu untuk membayar sejumlah uang kepada
orang yang nama disebutkan di dalam cek, kepada penggantinya atau kepada
pembawa pada saat diunjukkan.
d. Carter Partij, adalah surat berharga yang memuat kata charter party, yang
membuktikan tentang adanya perjanjian pencarteran kapal, dalam mana
sipenandatangan mengikatkan diri untuk menyerahkan sebaian atau seluruh
ruangan kapal kepada pencarter untuk dioperasikan, sedangkan pencartert
mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang carter.
e. Konosemen, yaitu surat berharga yang memuat kata konosemen atau Bill of
Lading B/L, yang merupakan tanda bukti penerimaan barang dari pengirim,
ditandatangani oleh pengangkut dan memberikan hak kepada pemegangnya untuk
menuntut penyerahan barang-barang yang disebut dalam konosemen itu.
f. Delivery-order (d/o), adalah surat berharga yang mencantumkan kata
delivery-order di dalamnya dan merupakan surat perintah dari pemegang
konosemen kepada pengangkut agar kepada pemegang d/o diserahkan
barang-barang sebagai yang disebut di dalam d/o, yang diambil dari
konosemennya.
g. Surat saham, adalah surat berharga yang mencantumkan kata saham didalamnya,
sebagai tanda bukti kepemilikan sebagian dari modal perseroan.
h. Promes atas unjuk atau promes atas pembawa, adalah surat berharga yang
ditanggali, dimana penandatangannya sendiri berjanji akan membayar sejumlah
uang yang ditentukan di dalamnya kepada tertunjuk, pada waktu diperlihatkan
pada suatu waktu tertentu.

Sedangkan bentuk-bentuk surat berharga yang diatur di luar KUHD, meliputi:


a. Ceel, adalah surat berharga sebagai tanda bukti penerimaan barang-barang untuk
disimpan di dalam veem, ditandatangani oleh pengusaha veem, yang memberi
hak kepada pemegangnya untuk menuntut penyerahan barang-barang sebagai
disebut dalam ceel kepada pengusaha veem.
b. Surat obligasi, adalah surat berharga yang mencantumkan kata “obligasi” di
dalamnya dan menyanggupi membayar atau mengembalikan pokok dengan
bunga tertentu sebagai yang disebutkan dalam surat obligasi itu.
c. Sertifikat, adalah surat berharga yang mencantumkan kata “sertifikat” di
dalamnya dan merupakan tanda bukti penerimaan uang, yang diterbitkan oleh
bank-bank atau badan hukum lainnya atas sejumlah uang yang diserahkan kepada
bank atau badan hukum itu untuk suatu jangka waktu tertentu atau tidak terbatas,
dengan membayar bunga atau uang pengganti deviden sebagai imbalannya dan
dapat diperjualbelikan.
d. Sertifikat deposito, adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang
merupakan surat pengakuan hutang dari bank atau LKBB yang dapat
diperjualbelikan dalam pasar uang.
e. Sertifikat Bank Indonesia, adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang
diterbitkan BI sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan sistem
diskonto.
f. Bilyet Giro, adalah surat perintah dari nasabah kepada bank penyimpan dana
untuk memindahbukukan sejumlah dana yang tersebut didalamnya
g. Surat Berharga Komersial (CP) adalah surat sanggup tanpa jaminan spesifik yang
diterbitkan oleh perusahaan bukan bank dan dapat diperdagangkan melalui bank
atau perusahaan efek, berjangka waktu pendek dan diperdagangkan dengan
sistem diskonto.
h. Kartu Kredit, adalah suatu kartu yang umumnya dibuat dari bahan plastik, dengan
dibubuhi identitas pemegang dan penerbitannya, yang memberu hak terhadap
siapa kartu kredit tersebut diissukan untuk menandatangani tanda pelunasan
pembayaran harga dan jasa atau barang yang dibeli ditempat-tempat tertentu.

3. TEORI-TEORI YANG MENJADI DASAR HUKUM TERIKATNYA


PENERBIT DAN PEMEGANG SURAT BERHARGA

1. Teori Kreasi atau Penciptaan (creatietheorie)


Menurut teori ini, yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat berharga antara
penerbit dan pemegang ialah perbuatan menandatangani surat berharga itu.
Perbuatan inilah yang menciptakan perikatan antara penerbit dan pemegang.
Karena ada perikatan itu, penerbit bertanggung jawab membayar kepada
pemegang surat berharga itu, walaupun tanpa perjanjian dengan pemegang
berikutnya.
Keberatan terhadap teori ini adalah bahwa pernyataan sepihak dengan tanda
tangan saja tidak mungkin menimbulkan perikatan. Supaya timbul perikatan,
harus ada dua pihak yang mengadakan persetujuan. Demikian juga halnya jika
surat berharga itu jatuh ke tangan orang yang tidak berhak atau tidak jujur,
misalnya dicuri, penerbit yang menandatangani tetap terikat untuk membayar.
Padahal menurut pasal 1977 ayat 2 KUHPerdata, seorang yang kehilangan surat
berharga karena dicuri masih berhak menuntut kembali surat itu dari si pencuri
atau penemunya, selama tenggang waktu tiga tahun, kecuali pemegang tersebut
memperolehnya dari pasar umum. Karena ada beberapa keberatan, lalu teori ini
ditinggalkan.
2. Teori Kepantasan (redelijkheidstheorie)
Teori ini masih mendasarkan diri pada teori kreasi, hanya dengan pembatasan.
Jika teori kreasi menyatakan bahwa penerbit yang menadatangani surat itu tetap
terikat untuk membayar kepada pemegang, meskipun pemegang yang tidak jujur,
tetapi teori kepantasan tidak menerima akibat yang demikian itu. Pembatasannya
ialah penerbit (penandatangan) hanya bertanggung jawab atau terikat pada
pemegang yang memperoleh surat berharga itu secara pantas (redelijk,
reasonable). Pantas artinya, menurut cara yang lazim, yang diakui oleh
masyarakat dan dilindungi oleh hukum. Pemegang yang demikian ini disebut
pemegang yang jujur (in good faith).
Keberatan atas teori ini ialah karena masih berdasarkan pada teori penciptaan.
3. Teori Perjanjian (overeenkomsttheorie)
Menurut teori ini, yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat berharga antara
penerbit dan pemegang ialah suatu perjanjian, yang merupakan perbuatan dua
pihak yakni penerbit (yang menandatangan) dan pemegang pertama yang
menerima surat berharga itu. Dalam perjanjian disetujui bahwa jika pemegang
pertama memperalihkan surat berharga itu kepada pemegang berikutnya, penerbit
tetap terikat untuk membayar.
Keberatan terhadap teori ini ialah tidak memberikan penyelesaian yang
memuaskan jika surat berharga itu beredar secara tidak normal, misalnya hilang
atau dicuri. Dalam hal ini penerbit masih bertanggung jawab terhadap pemegang
atau pembawa surat itu yang memperolehnya secara tidak normal. Menghadapi
keadaan demikian, lalu timbul pertanyaan, apa dasar hukumnya sehingga penerbit
masih bertanggung jawab terhadap pemegang yang memperoleh surat berharga
secara tidak normal itu? Teori ini ternyata mengalami jalan buntu.
Jalan buntu itu dicoba diselesaikan oleh dua orang ahli hukum yang bernama
Molengraaff dan Scheltema dengan mengemukakan teori lain yang disebut teori
perjanjian dengan tambahan. Menurut mereka, tanggung jawab penerbit terhadap
pemegang tetap didasarkan pada perjanjian antara penerbit dan pemegang
pertama (perikatan dasar). Jika surat berharga itu jatuh ke tangan pemegang
berikutnya, penerbit mempunyai kewajiban baru terhadap pemegang baru itu
berdasarkan hukum positif, yaitu pasal-pasal yang terdapat dalam KUHD dan
KUHPerdata.
4. Teori Penunjukan (vertoningstheorie)
Menurut teori ini, yang menjadi dasar mengikatnya surat berharga antara penerbit
dan pemegang ialah perbuatan penunjukan surat itu kepada debitur. Debitur yang
pertama adalah penerbit, oleh siapa surat berharga itu disuruh dipertunjukkan
pada hari bayar. Sejak itu timbullah perikatan, dan penerbit selaku debitor wajib
membayarnya. Teori tidak sesuai dengan fakta dan terlalu jauh bertentangan
dengan ketentuan undang-undang.
Dikatakan tidak sesuai dengan fakta, karena pembayaran itu adalah pelaksanaan
dari suatu perjanjian (perikatan), dengan demikian perikatannya harus sudah ada
terlebih dahulu sebelum pelaksanaannya. Bagaimana pemegang memperoleh
pembayaran kalau tidak ada dasar hukumnya, yakni perikatan yang terjadi
sebelumnya antara penerbit dan pemegang.
Dikatakan terlalu jauh betentangan dengan ketentuan undang-undang, karena
KUHD sendiri menentukan bahwa perikatan itu sudah ada “sebelum hari bayar”
dan “sebelum penunjukan” surat berharga itu. Hal ini dapat disimpulkan dari
ketentuan pasal 142 KUHD, yang menyatakan pemegang surat wesel bisa
melaksanakan hak regresnya kepada para endosan, kepada penerbit, dan kepada
para debitur wesel lainnya pada haari bayarnya apabila terjadi non pembayaran,
bahkan sebelum hari bayar:
a. apabila akseptasi seluruhnya atau sebagian ditolak
b. dalam hal pailitnya tersangkut, baik tersangkut akseptan maupun tersangkut
bukan akseptan, dan mulai saat berlakunya penundaan pembayaran yang
diberikan kepadanya
c. dalam hal pailitnya penerbit surat wesel yang tidak bisa diperoleh
akseptasinya

Anda mungkin juga menyukai