Anda di halaman 1dari 25

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KEDOKTERAN JIWA

JOURNAL READING

“Current Scientific Research on Paedophilia: A Review”

Oleh:
Alya Tanti Nurjanah
H1A016005

PEMBIMBING
dr. Emmy Amalia, Sp.KJ

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN


ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT JIWA MUTIARA SUKMA NTB
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Segala Rahmat dan Berkah yang diberikan,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penugasan Journal Reading yang berjudul “Current
Scientific Research on Paedophilia: A Review” tepat pada waktunya. Tugas ini merupakan
salah satu prasyarat dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik madya di bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Rumah Sakit Jiwa Mutiara
Sukma Provinsi NTB. Tugas ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak,
baik dari dalam institusi maupun dari luar institusi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
dan jajaran RSJ Mutiara Sukma. Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Emmy Amalia, Sp.KJ selaku
pembimbing, semoga review ini bermanfaat dan penulis mengharapkan kritik dan saran guna
perbaikan dalam review jurnal selanjutnya.

Mataram, Mei 2020

Penulis
A. ABSTRAK

1. Objektif

Kekerasan seksual pada anak menjadi suatu permasalahan yang serius di hampir seluruh

belahan dunia. Kekerasan seksual pada anak dan remaja dapat berujung pada gangguan

mental secara luas dan kesulitan dalam pengambilan keputusan yang dapat menetap sampai

dewasa bahkan sampai lanjut usia. Para pelaku pelecehan seksual ini memiliki ketertarikan

yang kuat terhadap anak-anak sebagai objek seksual nya dan berisiko untuk berkembang

menjadi tindak kejahatan. Meskipun telah ditinggalkan dan tidak begitu digemborkan selama

beberapa waktu, akhir-akhir ini tengah terjadi peningkatan ketertarikan penelitian mengenai

topik ini. Untuk dapat memahami lebih dalam mengenai pedofilia, penelitian ini bertujuan

untuk mengambil kesimpulan dari artikel artikel terkait yang membahas mengenai pedofilia

sehingga dapat mengetahui perkembangan dan trend yang mungkin akan dapat berguna bagi

klinisi pada pasien dan dapat bermanfaat untuk mencegah kekerasan seksual pada anak-anak

2. Metode

Penelitian ini didasarkan pada database salah satu platform journal terkemuka yakni

PubMed, diambil artikel dalam batas tahun januari 2010 sampai februari 2012 dengan

menggunakan kata kunci “Paedophilia”. Yang diambil adalah journal dengan data original

atau jurnal ilmiah atau review yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai diagnosis,

assessment, tata laksana, klasifikasi dan studi yg relevan yg lain.

3. Hasil

Strategi yang digunakan menghimpun 72 artikel, dari 72 artikel tersebut, 41 abstrak yang

memenuhi kriteria, penelitian-penelitian ini berisikan beberapa pertanyaan penelitian yang

mendasar diantaranya adalah validitas penelitian terbaru, kriteria diagnostic pedofilia di

DSM-IV TR, pengajuan kriteria diagnosis yang baru untuk DSM-V, pedofilia yang

meningkat karena penggunaan media social, dan pentingnya keakuratan diagnosis. Selain itu
beberapa artikel juga membahas mengenai adanya kaitan antara pedofilia dengan kelainan

organic atau neurobiological.

4. Kesimpulan

Tema pedofilia dewasa ini merupakan bahasan yang sangat penting dan sering

diperdebatkan. Penelitian terbaru dalam mendeteksi adanya gangguan fungsional otak

merupakan salah satu sudut pandang baru dalam memandang diagnosis pedofilia dan hal ini

juga memiliki relevansi yang cukup kuat dalam implikasi tata laksan serta pencegahan

penyakit ini. Penelitian lebih lanjut sangatlah dibutuhkan tentu saja dengan sampel yang lebih

besar dan pembahasan yang lebih mandalam


B. PENDAHULUAN

Kekerasan seksual pada anak-anak adalah salah satu terminologi penyakit kejiwaan yang

sering terjadi di seluruh belahan dunia, menurut Child Maltreatment 2010 Report

(USDHHS,2011) sekitar 9,2% anak-anak di Amerika mengalami kekerasan seksual.

Kekerasan seksual pada anak dan remaja Kekerasan seksual pada anak dan remaja dapat

berakibar pada kelainan mental secara luas dan kesulitan dalam pengambilan keputusan yang

dapat menetap sampai dewasa bahkan sampai lanjut usia.

Menurut penelitian terbaru, di 28 negara di dunia kekerasan seksual pada anak adalah

predictor atau faktor risiko terjadinya mental disorder atau keterbatasan mental pada masa

perkembangan sampai dewasa. Kekerasan seksual pada anak tidak hanya berimbas negative

pada timbulnya kelainan mental pada masa depannya tetapi juga dapat meningkatkan

morbiditas serta dapat mempengaruhi terapi. Berdasarkan studi meta analisis terbaru

didapatkan bahwa anak-anak yang diberlakukan semena-mena dan mendapatkan kekerasan

seksual dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya depresi yang persisten dan

berkepanjangan dan memiliki efek terapi yang buruk.

pedofilia yang memiliki keinginan untuk berbuat sesuatu yang akan merugikan anak

presentasi nya adalah 10-60% dari total pedofilia yang terdiagnosis, pedofilia yang lebih

tertarik pada anak laki-laki memiliki resiko lebih besar untuk melakukan reoffending

dibandingkan dengan pedofilia yang heterosexual. Identiikasi dan tata laksana dari epdofilia

harus ditetapkan menjadi perhatian utama paramedik.

Meskipun begitu sangat sulit untuk menentukan dengan pasti berapa prevalensi dari

pedofilia karena kesadaran diri masing-masing penderita untuk dating ke pusat layanan

kesehatan masih sangat sedikit sehingga sebagian besar data didapatkan dari rekam medis

yang sudah ada. Berdasarkan data perkiraan yang terbaru, proporsi pengidap pedofilia yang
memiliki kecendurungan untuk melakukan kekerasan seksual pada anak dibandingkan

dengan pengidap pedofilia yang non offenders adalah sekitar 25-45%.

Suatu penelitian di jerman menggunakan sampel sekitar 2000 orang laki-laki berusia 40-

79 tahun dan menghasilkan data bahwa terdapat sexual fantasy yang menggambarkan anak-

anak pada sekitar 9,5% sampel, kemudain sebanyak 3,8% mempraktikannya dalam

kehidupan biosexual mereka. Kemudian penelitian lain menemukan bahwa didapatkan

kecenderungan pada anak-anak yang leibih besar pada beberapa sampel dibandingkan

kecenderungan seksual kepada anak-anak, setelah beberapa lama ditinggalkan.

Dalam beberapa tahun terakhir fenomena ini menarik perhatian para peneliti internasional

sehingga menimbulkan beberapa penelitian baru, yang menitikberatkan pada definisi yang

akurat dari pedofilia yang tentu saja akan berpengaruh pada diagnosis pasien dan juga

kebijakan publik, selain itu juga telah timbul berbagai penelitian mengenai efikasi dari

algoritme pengobatan pada individu yang melakukan pelecehan seksual pada anak-anak,

tujuan lain ialah untuk mengerti lebih dalam mengenai pedofilia serta kebutuhan

pendampingan mental yang dibutuhkan.

Tujuan dari investigasi ini adalah untuk mengidentifikasi perkembangan penelitian yang

ada akhir-akhir ini untuk digunakan pada praktik klinis dalam diagnosis dan penatalaksanaan

pedofilia sehingga dapat melakukan pencegahan terhadap tindakan kekerasan seksual pada

anak-anak.
C. METODE

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan merangkum data terbaru

mengenai perkembangan teori diagnosis klasifikasi dan tatalaksana pedofillia terutama yang

jenis offended yang di publikasi 2 tahun terakhir. Peneliti secara sistematis melakukan review

pada literature yang diunggah pada portal MedLine atau PubMed dengan kata kunci utama

“Paedophilia”. Adapun kriteria inklusinya adalah

1. Dipublikasi secara online antara bulan januari 2010 sampai februaru 2012

2. Termasuk artikel atau jurnal asli atau review

3. Menitik beratkan pada penilaian klinik dan atau diagnosis, dan tata laksana pedofilia

dan kriteria eksklusinya adalah

1. Publikasi yang menitikberatkan pada pelaku kekerasan seksual yang tidak dianggap

atau dikenali sebagai pedofilia (tidak memenuhi kriteria diagnosis)

Dari 72 artikel jurnal yang didapatkan melalui keyword tersebut, sebanyak 41 artikel jurnal

dipilih karena memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

D. DEBAT TERBARU MENGENAI DIAGNOSIS PEDOFILIA

Beberapa literature terbaru menjelaskan mengenai bagaimana mendiagosis pedofilia,

dengan mampu mendiagnosis maka orang-orang yang memenuhi kriteria dan atau memiliki

ciri-ciri sebagai pedofilia dapat segera diberikan tatalaksana sehingga mengurangi jumlah

anak-anak yang mendapatkan kekerasan seksual, hal ini sangatlah penting untuk menekan

angka kejadian kekerasan seksual pada anak.

Saat ini berdasarkan DSM-IV-TR, untuk mendiagnosis pedofilia yang penting adalah

gejalanya harus muncul setidaknya selama 6 bulan, dan individu tersebut merasakan hal

tersebut secara berulang, dan memiliki imajinasi kekerasan seksual, atau memiliki perilaku

yang selalu ingin melakukan tindakan seksual pada anak remaja awal dan atau anak-anak
(Kriteria A) Oleh karena hal itu individu tersebut mengalami tekanan dan kesulitan-kesulitan

interpersonal (kriteria B), individu tersebut harus berusia lebih dari 16 tahun dan setidaknya 5

tahun lebih tua usianya disbanding anak ata remaja awal yang bersangkutan (kriteria C).

beberapa penulis sempat berdebat mengenai diagnosis dari pedofilia ini dan

menitikberatkan pada ketepatan diagnosis tersebut, baik tepat dalam hal sesuai dengan apa

yang dimaksud pada DSM dan juga sesuai dengan terminologi yang digunakan untuk tujuan-

tujuan klinis. Klasifikasi pada DSM-IV terkait dengan system pedofilia tengah di kritisi

karena dianggap kurang begitu lengkap dan kurang berdasar, serta diagnosis pedofilia telah

dimodifikasi pada setiap pembaruan dari DSM. Diagnosis berdasarkan sikap dan tindakan

individu, adanya distress dan gangguan interpersonal merupakan hal hal yang dapat

menimbulkan ambigu pada penereapannya.

Berdasarkan Malon, terdapat beberapa hal yang mengganjal pada diagnosis pedofilia

yang tercantum dalam DSM-IV TR , yang pertama adalah adanya kemungkinan bahwa

seorang individu bisa dikatakan pedofilia karena ketertarikan seksualnya terhadap anak-anak

dan atau remaja awal tetapi juga tidak dapat dikatakan pedofilia apabila individu tidak

merasakan distress atau tekanan dan gangguan interpersonal dalam dirinya, yang kedua,

sepertinya terdapat juga kemungkinan untuk bertindak sebagai pedofilia dan untuk

terdiagnosis meskipun tidak memiliki keluhan atau perasaan yang terdapat pada kriteria A.

Berdasarkan Blanchard yang melaporkan bahwa pedofilia dalam DSM-IV-TR adalah

bahwa riwayat terjadinya tindakan seksual yang melibatkan anak-anak sudah cukup dalam

mendiagnosis pedofilia, karena dianggap akan memenuhi kedua kriteria yakni kriteria A

(tanda dan gejala) dan kriteria b (tekanan atau distress dan kesuliten atau gangguan

interpersonal), berdasarkan hal ini maka tindakan seksual yang terjadi pada anak yang

sifatnya berulang sangatlah penting dalam proses diagnostic pedofilia karena tentusaja

terbatasnya phallometric test dan kesediaan individu untuk memeriksakan dirinya sendiri ke
dokter membuat para klinisi harus cermat dalam proses diagnosis, namun hal diatas tidak

mempertimbangkan individu yang hanya memiliki fantasi erotis dengan anak-anak sebagai

objek seksualnya, ataupun mereka yang sebenarnya memiliki dorongan ketertarikan tindakan

seksual pada anak-anak namun enggan dan tidak pernah melakukannya, batasan batasan

inilah yang merupakan suatu masalah dalam penegakan pasti diagnosis pedofilia

Untuk mengatasi masalah diatas, Blanchard mencoba membedakan antara Paraphilia

(sebagai kondisi jika kriteria A terpenuhi), dan kelainan Paraphilic (jika kriteria A dan B terpenuhi)

dalam DSM-5, dan ketentuan ini masih diperdebatkan. Penambahan istilah “kelainan” pada

ketentuan diatas dapat digunakan sebagai pengingat bahwa orang yang memenuhi kriteria A saja

tetap dapat dikategorikan sebagai Pedofilia dalam tujuan tertentu misalnya dalam penelitian,

walaupun mereka tidak melakukan tindakan seksual yang menyimpang atau terpengaruh oleh

penyimpangan seksualnya.

Pengertian lain mengenai Pedopfilia yang disebutkan oleh DSM-IV-TR adalah bahwa

pengertian tersebut hanya mengarah kepada ketertarikan seksual pada anak pre-pubertas,

namun kelemahannya adalah keberadaan orang dengan ketertarikan seksual pada anak usia

pubertas (11-15 tahun) seolah diabaikan (tidak masuk kriteria). Oleh karena itu, Blanchard

memperkenalkan istilah baaru yaitu Type Hebephilic dalam kriteria diagnosa pada DSM-V,

karena tidak semua pasien hanya mengalami ketertarikan pada anak pre-pubertas namun juga

pada anak usia pubertas yang belum matang secara fisik.

Selain itu, definisi oleh DSM-IV-TR “recurrent and intense” kelainan ini tampak

kurang spesifik dan cukup sulit untuk diamati. Juga cukup sulit mendiagnosis dengan

ketentuan adanya kecendrungan seksual pada anak selam enam bulan, seperti disebutkan

dalam kriteria A, sebagaimana sebagian besar pedofil menyalurkan keinginan seksualnya

dengan hal yang lebih wajar untuk menghindari konsekuensi interpersonal. Oleh karena itu,

kriteria DSM-5 mengenai kelainan pedofilia harus dipertimbangkan ulang sebagai berikut:
a. Selama setidaknya enam bulan, ditemukan adanya gejala gairah seksual yang lebih

besar pada anak prepubertas ataupun pubertas dini yang belum dewasa secara fisik,

manifestasi dapat muncul sebagai fantasi, dorongan maupun sikap dan kebiasaan.

b. Tindakan yang berdasarkan dorongan seksual, atau fantasi tersebut mengganggu

fungsi sosial, pekerjaan ataupun hal lain yang cukup penting

c. Penderita harus berusia setidaknya 18 tahun atau minimal 5 tahun lebih tua dari anak

pada kriteria A

Pembagian tipe spesifik:

Classic : ketertatikan seksual pada anak prepubertas (Tanner stage 1)

Hebephilic : ketertarikan seksual pada anak usia awal pubertas (tanner stage 2-3)

Paedohebephilic : ketertarikan seksual pada keduanya

Lebih spesifik:

Ketertarikan seksual pada laki-laki

Ketertarikan seksual pada perempuan

Ketertarikan seksual pada keduanya

Lebih spesifik lagi:

Pada lingkungan control

Remisi (tanpa tekanan, perubahan lingkan ataupun gejala berulang pada lima tahun di

lingkungan tak terkontrol).

Menurut the Rationale dalam perubahan kriteria diagnostik yang diusulkan, kriteria

baru memiliki beberapa keuntungan. Pertama, kriteria baru A menekankan bahwa diagnosis

tidak berlaku untuk individu yang mengalami atau memanifestasikan respon seksual yang

dapat dideteksi kepada anak-anak saja tetapi juga kepada individu yang merespon dengan

kuat atau lebih kuat terhadap anak-anak daripada yang mereka lakukan pada orang dewasa

secara fisik. Kedua, spesifikasi "dalam lingkungan yang terkendali" dan "dalam Remisi".
yang diperkenalkan di sini untuk pertama kalinya, menekankan perubahan dalam status

individu: yang pertama tampaknya menunjukkan bahwa kecenderungan individu untuk

bertindak berdasarkan dorongan parafilia mungkin lebih sulit untuk dinilai secara obyektif

ketika individu tidak memiliki kesempatan untuk bertindak.

Beberapa penulis telah meneliti tentang kriteria baru ini, hal ini memicu perdebatan

seputar topik ini, Antara lain, pertama mengenai kecenderungan umum pada DSM untuk

memperluas diagnostik dari kategori yang diungkapkan, ini dimaksudkan untuk

meningkatkan cakupan diagnostik, dengan mengurangi kemungkinan false negatif, tetapi

secara tak terelakkan meningkatkan risiko false positive (mis. memberikan label diagnostik

kepada seseorang yang tidak mengalami kelainan).

Menurut penulis ini, kehadiran false positif dalam mendiagnosis pedofilia menjadi

masalah karena akan membentuk stigma negative, di sisi lain, O'Donohue menekankan

bahwa, daripada risiko false positife, masalah dalam mendiagnosis pedofilia adalah justru

false negative, karena kecenderungan penolakan untuk dilakukannya pengambilan data guna

mendiagnosis pedofil serta kualitas laporan pribadi yang meragukan dalam menilai fantasi.

Mengenai saran untuk memperkenalkan diagnosis hebephilia, ada pendapat berbeda.

O'Donohue menganggap perbedaan antara pedofilia dan hebefilia sebagai perbedaan yang

berguna dan informative, di sisi lain, Green menyanggah dan berpendapat bahwa berdasarkan

standar moral dan kredibilitas ilmiah, usia persetujuan hukum untuk berhubungan seks di

beberapa negara Eropa (termasuk Italia) adalah 14 tahun dan ketertarikan seksual pada usia

tersebut tidak dapat dilihat sebagai gangguan mental.

Mengenai topik ini, peneliti mengamati bahwa spesifikasi Tipe Hebephilic telah

diperkenalkan dalam formulasi baru tetapi, menekankan bahwa gangguan pedofilik

didefinisikan oleh reaksi psikologis terhadap fitur maturasi anatomis tubuh eksternal, dan
bukan oleh pelanggaran usia, undang-undang di wilayah hukum tertentu dan dalam periode

historis tertentu .

Pendapat menarik lainnya datang dari Seto. Menurut sudut pandangnya, pedofilia

dapat didefinisikan sebagai orientasi seksual laki-laki sehubungan dengan usia, bukan

berkaitan dengan gender (seperti, misalnya, hetero atau homoseksualitas).

Jelas bahwa pedofilia masih membutuhkan penelitian ilmiah lanjutan mengenai

etiologinya, serta untuk praktik klinis (hipotesis baru tentang penilaian, prognosis, dan

pengobatan) serta untuk kebijakan public dan untuk memengaruhi persepsi sosial tentang

fenomena ini.

Selain perdebatan mengenai kriteria DSM-V, ada pertanyaan yang lebih umum

terkait dengan kesulitan dalam penilaian minat seksual terhadap anak-anak. Sebuah studi

menarik yang dilakukan oleh Wilson et al. - di mana 130 tersangka pelecehan seksual anak

didiagnosis menggunakan metode yang berbeda (pengujian phallometrik, wawancara klinis

dengan penerapan kriteria DSM-IV-TR, Rapid Risk Assasement of Sexual Reoffendinh

[RRASOR] skor dan penilaian dokter yang berpengalaman) menunjukkan bahwa hanya ada

sedikit perbedaan antara metode diagnostik ini.

Pengujian phallometrik secara luas dianggap sebagai prosedur psikofisiologis terbaik

untuk menilai kecendrungan seksual pada pria. Baru-baru ini, sebuah studi oleh Lykins et al.

pada uji phallometric menemukan korelasi yang baik. Namun, teknik ini telah dikritik karena

reliabilitasnya yang terbatas.

Penelitian lain menemukan metode alternatif untuk menilai kecendrungan seksual

yang menyimpang, dengan hasil yang menjanjikan. Penyimpangan seksual dan dinamika

perilaku digunakan untuk mengkarakterisasi penyimpangan seksual pada subjek laki-laki.

Renaud et al. menyelidiki pergerakan mata pada individu yang terpapar dengan karakter

virtual yang menunjukkan fitur seksual yang relevan. Mereka menemukan perbedaan
signifikan antara pedofil dan subjek control ketika informasi diproses. Oleh karena itu,

tampaknya test ini dapat digunakan untuk mengkarakterisasi minat seksual yang menyimpang

pada subjek laki-laki

Mokros et al. menilai minat seksual paedofilik dengan menggunakan Attention Time

Reaction Time (CRT), yang merupakan metode pemrosesan informasi eksperimental

berdasarkan efek interferensi dalam perhatian visual. Tugas tersebut membutuhkan

identifikasi pada gambar seseorang, mereka menemukan bahwa pedofil membutuhkan waktu

lebih lama untuk merespons gambar anak-anak daripada gambar orang dewasa, menunjukkan

efek gangguan kognitif, hasil ini menunjukkan kemungkinan untuk menggunakan penundaan

waktu respons untuk tujuan diagnostik.

Pola respons fungsional otak terhadap rangsangan seksual, sebagaimana dianalisis

dalam studi fungsional magnetic resonance imaging (fMRI) yang disajikan selanjutnya,

mungkin juga merupakan pilihan yang layak untuk prosedur diagnostik di masa mendatang

memungkinkan mendeteksi orientasi paedofil, dengan memahami hal ini klinisi dapat

membedakan antar subtipe pedofil.

E. TEMUAN TERKINI PADA PENELITIAN NEUROBIOLOGICAL

Walaupun sifat erotis pada manusia sangat rumit, terdapat metode pemeriksaan yang

digunakan untuk mendeteksi pedofilia yaitu prosedur phallometric atau plethismographic.

Hal ini dilakukan dengan memberikan gambar erotis anak-anak pada lelaki dewasa dan

mengukur perubahan volume darah pada penis dan dikaitkan dengan berbagai respon seksual.

Selain itu, orientasi seksual juga dapat dinilai dengan laporan pribadi atau waktu-waktu

adanya respon seksual. Korelasi neuroanatomis dan biologis telah ditemukan sebagai etiologi

dari pedofilia, sebagaimana disebutkan oleh artikel terkini.

Penelitian neuroscientifik menemukan adanya perbedaan struktural dan fungsional

pada area otak yang berhubungan dengan seks dan ditemukan pula kaitannya dengan
neurobiologis pedofilia. Terdapat dua sudut pandang investigasi yang digunakan dalam

beberapa artikel, diantaranya adalah penelitian yang menganalisa fungsi eksekutif

neuropsikologikal untuk menemukan perbedaan antara pelaku kejahatan pedofilia dan non-

pedofilia. Selain itu, terdapat penelitian lain yang menyelidiki korelasi syaraf dengan

pedofilia, yaitu adanya kelainan anomaly structural dan atau fungsional tertentu dalam otak

pedofil dibanding dengan control sehat dengan menggunakan teknik neuroimaging.

Mengenai profil kognitif, dalam penelitian yang dilakukan oleh Cohen et al. dengan

menggunakan 51 subyek dengan pedofilia, 53 subyek dengan kecanduan opiat dan 84 kontrol

sehat dibandingkan dengan menggunakan tes neuropsikologis untuk menilai fungsi eksekutif,

hasilnya adalah didapatkan perbedaan yang cukup signifikan antara kedua kelompok.

Kruger dan Schiffer memeriksa kinerja neurokognitif dan profil kepribadian dalam

kelompok pedofil dan menemukan bahwa, dibandingkan dengan kontrol yang sehat, mereka

menunjukkan kecerdasan yang lebih rendah, kinerja yang lebih lemah dalam pemrosesan

informasi, skor tinggi untuk psikopati dan paranoia, dan tanda-tanda obsesi seksual dan

disfungsi seksual. Berbeda dengan laporan sebelumnya, penulis ini menekankan bahwa

beberapa perubahan ini dapat dijelaskan oleh faktor lain selain pedofilia, seperti tingkat

pendidikan atau usia.

Penelitian yang bertujun untuk menunjukan adanya korelasi antara gangguan saraf

dengan minat seksual di antara para pedofil, menemukan adanya perkembangan otak atipikal

yakni berupa defisit struktural dan fungsional otak yang tampaknya berkorelasi dengan

orientasi dan perilaku seksual menyimpang mereka. Beberapa studi, yang kebanyakan

merujuk pada kasus tunggal pasien dengan pedofilia, menemukan aktivasi di fisura calcarina

sinistra, insula sinistra, korteks cinguli anterior dan vermis serebellar atau di amigdala dextra

dan girus parahippocampal yang menunjukan aktivitas pada saat subjek menanggapi gambar

erotis anak-anak. Aktivasi di daerah-daerah ini menurun apabila diterapi dengan leuprorelin
atau leuprolide asetat, menunjukkan bahwa anti-androgen dapat memodifikasi respons otak

terhadap stimulasi erotis visual.

Sebuah studi fMRI oleh Poeppl et al. mengungkapkan bahwa respons saraf pada

pedofil yang terpajan pada gambar erotis anak-anak sebanding dengan yang diamati pada pria

non-paedofilik yang distimulasi dengan gambar erotis orang dewasa.

Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan bahwa pola respons fungsional otak

terhadap rangsangan seksual dapat membantu untuk memprediksi orientasi seksual dan untuk

mengidentifikasi pedofil dengan akurasi yang lebih tinggi daripada phallometry.

Studi lain menunjukkan konsep bahwa minat paedophilic dapat dikaitkan dengan

disfungsi neurologis spesifik. Sebuah studi oleh Mendez dan Shapira pada delapan pasien

yang menunjukkan perilaku seksual terhadap anak-anak praremaja di pertengahan atau akhir

kehidupan, menunjukkan bahwa perilaku paedofilik mungkin merupakan hasil dari defisit

eksekutif lobus frontal atau lesi subkortikal.

Sebuah studi baru-baru ini oleh para peneliti Italia menimbulkan hipotesis baru

tentang korelasi biologis pedofilia, mengungkapkan hubungan antara pedofilia heteroseksual

onset lambat dan demensia fronto-temporal, dalam kaitannya dengan mutasi genetik. Rainero

et al. melaporkan kasus seorang pasien berusia 49 tahun yang mulai memanifestasikan gairah

seksual dan desakan terhadap putrinya yang berusia 9 tahun, dan kemudian pasien mengidap

demensia fronto-temporal. Dalam studi ini, para penulis ini menemukan perubahan gen

progranulin (PGRN).

Hubungan antara gen yang bermutasi dengan perilaku seksual yang menyimpang ini

menarik beberapa penelitian baru karena untuk pertama kalinya, anomali genetik dapat

dikorelasikan dengan disfungsi seksual.

Meskipun literatur yang ditinjau berfokus pada aspek neurobiologis untuk

menjelaskan etiologi pedofilia, penting untuk dicatat bahwa ada juga teori-teori psikologis
yang menyebabkan terjadinya pedofilia. Misalnya, Marshall dan Barbare mengusulkan teori

terpadu tentang etiologi pelanggaran seksual, bahwa pelecehan seksual pada anak terjadi

sebagai akibat dari berbagai faktor yang saling berinteraksi, seperti pengasuhan yang buruk,

pengasuhan yang tidak konsisten, serta pelecehan fisik. Baru-baru ini, Ward dan Siegert

mengusukan adanya empat mekanisme psikologis yang berbeda yang mana interaksinya

dapat mengakibatkan kekerasan seksual terhadap anak-anak diantaranya adalah berkurangnya

keintiman yang dimiliki dalam dirinya, kurangnya kemampuan bersosialisasi, pola seksual

yang menyimpang, serta adanya gangguan emosional dan kognitif.

F. “PEDOFILIA ONILINE”: KLASIFIKASI BARU KELOMPOK

PENYIMPANGAN SEKSUAL PADA ANAK.

dengan kemajuan teknologi yang pesat, dan munculnya sarana komunikasi baru

memungkinkan penggunaan internet sebagai wahana yang ideal bagi para online sexual

predator dalam mencari ‘korban’. Bahkan, fungsi ‘anonim’ pada dunia maya memberikan

perlindungan baru sehingga tidak ada bukti kontak yang dilakukan dengan korban.

Saat ini, ada perdebatan mengenai apakah pelaku kejahatan secara online adalah kelompok

pelaku kejahatan seksual yang berbeda atau apakah mereka pelaku kejahatan seks biasa yang

hanya menggunakan teknologi baru.

Beberapa penulis menganggap pedofilia secara online adalah jenis baru dari

pelanggaran seksual. Sebuah studi eksplorasi oleh Briggs et al. pada 51 peserta yang dihukum

karena pelanggaran seks dengan Internet-initiated terhadap remaja , menghasilkan

kesimpulan bahwa pedofilia dari Internet dapat dibedakan sebagai kelompok yang terpisah,

yang ditandai oleh faktor kriminogenik yang kurang parah dibanding pelanggar seks lainnya

(yaitu pemerkosa, penganiaya anak secara offline): mereka cenderung menghindari hubungan

di dunia nyata, menghabiskan banyak waktu dengan chat online untuk mencari kontak sosial

maupun seksual.
Kelompok baru ini, lebih lanjut, dapat dibagi menjadi dua subkelompok: kelompok

yang didorong oleh perilaku seksual offline/secara langsung dengan remaja, dan kelompok

yang didorong oleh fantasi yang termotivasi untuk melibatkan remaja dalam seks virtual

online, tanpa keinginan untuk bertemu secara langsung.

Penelitian lain mencoba menganalisa profil pada predator sexual online tersebut, hasilnya

adalah yang membedakan mereka dari offline sexual predator antara lain kebanyakan subjek

merupakan laki-laki dengan ras kaukasia, dengan social ekonomi yang beragam dan usia

lebih muda dibanding offline sexual predator, online sexual predator juga memiliki

pengendalian diri lebih baik, empati yang lebih baik pada korban serta menunjukkan lebih

banyak hambatan psikologis dalam tidakan menyimpangnya dibandingkan pedofilia pada

dunia nyata.

Namun, Wolak et al. menunjukan bahwa online sexual predator tampaknya memiliki

penyimpangan seksual yang lebih parah (dalam hal objek seksual), mereka ditemukan

memiliki gambar anak-anak di bawah usia 3 tahun dan beberapa video anak yang jauh lebih

muda dari objek seksual pedofilia biasanya.

Sangat penting untuk memahami kemungkinan bahwa pedofil online akan berisiko

untuk melakukan pelanggaran seksual offline dengan seorang korban, sebuah meta-analisis

pertama yang dilaporkan oleh Seto et al., Yang meneliti riwayat pelanggaran seksual kontak

dari pelaku kejahatan online, menunjukkan bahwa hanya subkelompok kecil (sekitar 1 dalam

8) pelaku kejahatan seksual online yang memiliki catatan resmi untuk pelanggaran seksual

kontak. Namun, kelemahan dari hasil penelitian ini dapat disebabkan oleh data dari enam

sampel penelitian hanyalah bersumber dari keterangan pribadi sehingga memiliki

kemungkinan bias yang tinggi

Meta-analisis kedua oleh penulis yang sama mengungkapkan bahwa hanya 4,6%

pelaku kejahatan online yang melakukan pelanggaran seksual, meskipun subkelompok ini
tampaknya kurang berbahaya mengingat tidak adanya kontak seksual dengan anak-anak,

namun harus diingat bahwa meskipun para online sexual predator tidak secara langsung

melecehkan anak-anak, mereka dapat membujuk orang lain untuk melakukan kejahatan oleh

karenanya risiko dari populasi ini tidak boleh diremehkan.

Dalam konteks ini diperlukan lebih banyak penelitian karena saat ini masih belum

jelas apakah klinisi harus menilai dan memperlakukan pelaku kejahatan online sama dengan

pelaku kejahatan seksual lainnya atau tidak.

G. TATALAKSANA BERBASIS “EVIDENCE”

Sejak tahun 1970, pedofilia ditatalaksana dengan terapi psikodinamik, CBT dan terapi

medis, yang berfokus untuk mengurangi ketertarikan seksual dan pencegahan kekambuhan

dibanding mengubah orientasi seksual terhadap anak-anak, sebagaimana dikumukakan oleh

Seto, dan di dukung oleh penelitian neurodevelopmental terkini bahwa saat ini tidak ada bukti

bahwa pedofilia bisa ditatalaksana sampai tuntas 100%.

Efektifitas dari terapi psikodinamis belum pernah diteliti oleh peneliti manapun

sedangkan CBT ditemukan memiliki kemampuan untuk menurunkan kelainan seksual secara

signifikan pada pasien dengan kelainan mental, intervensi ini difokuskan pada individu

dengan pedofilia yang bertujuan untuk memperbaiki orientasi seksual dan gangguani

kognitif yang berhubungan dengan kelainan ini.

Pencegahan kekambuhan dilakukan dengan perbaikan perilaku pasien, dengan

memperbaiki kebiasaan terkait dengan perilaku seksual dilaporkan merupakan intervensi

yang paling umum digunakan dan cukup efektif. Renaud et al, mencoba menggunakan RT-

MRI dan BCI sebagai pengobatan baru bagi pedofilia, neurofeedback atau respons saraf yang

dipicu oleh adanya rangsangan visual sebagai stimulus, menjadi kunci dalam intervensi ini.

RT-MRI dapat digunakan untuk menciptakan feedback pada otak, sehingga dapat melatih
modulasi otak untuk memunculkan rangsangan seksual pada karakter visual yang dibuat

(rangsangan visual normal).

Beberapa artikel akhir-akhir ini membahas mengenai penggunaan obat-obatan dalam

menurunkan rangsangan seksual pada pedofil dengan menekan aktifitas testosterone. Moulier

et al, menyatakan bahwa Leuprolelin (agonis GnRH) dapat menurunkan aktivitas yang akan

memediasi respon preseptual, motivasi, efek terhadap rangsang seksual., misalnya pada fisura

calcarina sinistra, insula sinistra, korteks cinguli anterior dan vermis serebellar.

Pada pedofil daerah otak ini akan aktif jika muncul rangsanan seksual berupa anak-

anak, namun setelah 5 bulan terapi leuprolin aktivasi pada daerah ini menghilang, sejauh

yang diketahui bahwa bahan-bahan kimia tadi kurang efektive digunakan sebagai terapi

apabila dorongan dari tindakan seksual itu bukanlah murni dari rangsangan libido melainkan

merupakan sebuah cara untuk mengekspresikan kemarahan dalam diri individu, perlu diingat

bahwa pasien dengan pedofilia tidak hanya mengalami penurunan kadar testosterone tapi

juga beberapa parameter diantaranya fungsi dari jaras hipotalamic-pituitary, prolactin,

dopaminergic dan serotonergic.

Beberapa penelitian mengatakan bahwa tatalaksana pedofilia sangatlah penting

karena hal ini bukan hanya untuk menyembuhkan individu melainkan untuk perlindungan

social terutama anak-anak agar terhindar dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-

orang pedofilia, catatan yang menyedihkannya adalah bahwa terdapat beberapa kasus dimana

para pengidap pedofilia diberikan hukuman dan diadili tanpa diberikan pengobatan atau

penatalaksanaan terhadap kelainan seksual tersebut.

Adapun menurut Seto tatalaksana sejauh ini hanya diberikan pada mereka yang

sudah mengalami gangguan seksual yang sudah bergejala dan pernah melakukan kekerasan

seksual terhadap anak-anak, pertanyaan besarnya adalah bagaimana pencegahan untuk

timbulnya kekerasan sekusal pada anak dapat diredam dari orang-orang yang memiliki
fantasi seksual terhadap anak-anak sebelum mereka melakukan hal-hal yang tidak diinginkan

jika pengobatan hanya diberikan pada orang-orang yang sudah melakukan kekerasan seksual

sebelumnya? Itulah mengapa penting dilakukan deteksi dan tatalaksana dini sebelum hal-hal

yang tidak diinginkan terjadi.

Pernyataan selanjutnya adalah seharusnya dibedakan untuk jenis terapi dan target

terapi antara orang-orang yang hanya memiliki fantasi seksual terhadap anak-anak atau

mereka yang sudah sampai ‘berbuat’ sesuatu terhadap anak-anak tersebut karena seyogyanya

tujuan dari terapinya juga sudah jelas berbeda yang satu tujuan utamanya adalah untuk

mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak dan yang kedua bertujuan untuk

menghilangkan gangguan mental tersebut apabila sudah terjadi sehingga tidak terulang

kembali.

Untuk alasan inilah ada suatu penelitian di Jerman yang dilakukan oleh scheaffer et,

al yang melakukan screening dengan menggunakan telepon genggam untuk mendata pria-pria

yang memiliki fantasi seksual pada anak-anak untuk mendeteksi dini terjadinya offends pada

pedofilia sehingga dapat dengan cepat dikenali dan diberikan intervensi baik medis ataupun

non medis.

H. KESIMPULAN

Pada beberapa tahun belakangan, telah merebak berbagai penelitian mengenai

pedofilia dari berbagai sudut pandang dan perdebatan mulai terjadi diantara penelitian-

penilitan ini, sebagian besar menitik beratkan pada bagaimana definisi, diagnosis yang jelas

serta tatalaksana yang maksimal yang dapat diberikan kepada pasien dengan pedofilia.

Beberapa peneliti telah memberikan berbagai pengajuan-pengajuan menambahkan

kejelasaan dalam kriteria diagnosis dalam DSM V dan mengajukan beberapa kemungkinan

diagnosis dini dengan menilik hubungan antara pedofilia dengan kelainan organic di otak

sehingga pasien dapat di cap memiliki kemungkinan untuk mengidap pedofilia dan tidak
hanya berdasar pada perilaku seseorang melainkan ada banyak faktor lain yang perlu

dipertimbangkan, meskipun begitu masih banyak topik penelitian yang perlu untuk dilakukan

dan tentu saja diharapkan dengan sampel yang lebih besar agar dapat di generalisasi di

masyarakat.

Beberapa penelitian juga mulai mengungkapkan adanya pedofilia yang

menggunakan internet sebagai media utama nya yang dikatakan bahwa orang-orang ini hanya

memiliki fantasi terhadap anak-anak sebagai objek seksualnya namun hanya sebagian kasus

yang sampai melakukan tindakan (offenders pedophilia) suatu hipotesis mengatakan bahwa

online pedofilia tidak menjadi faktor resiko besar terjadnya offenders pedofilia (pedofilia

yang dibuktikan dengan tindakan kekerasan seksual pada anak) namun tentunya hipotesis ini

perlu penelitian lanjutan sebelum ditarik kesimpulan secara pasti

Beberapa kekurangan pada penilitian penelitian yang digunakan sebagai sampel

penelitian ini adalah bahwa beberapa penelitian memiliki bias yang cukup signifikan,

misalnya sampel yang digunakan hanyalah orang-orang yang memang terlibat kasus secara

hukum karena tindakannya dalam melakukan kekerasan seksual pada anak kemudian

sebagian besar laki-laki, kedua hal ini kurang menggambarkan populasi secara umum karena

peneliti juga sulit untuk memndeteksi adanya gangguan pedofilia karena para penderita

pedofilia enggan memeriksakan dirinya dan mencari pengobatan ke pusat layanan kesehatan

karena menurut mereka hal ini adalah suatu hal yang tabu dan jarang terjadi di masyarakat,

hal ini dapat diminimalisir dengan adanya pencerdasan masyarakat mengenai stigma negative

sehingga para pengidap pedofilia dapat dengan sukarela memeriksakan dirinya ke pusat

kesehatan masyarakat.

Apabila hal tersebut terpenuhi maka harapan para klinisi dan pemerintah untuk

mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak-anak lambat laun diprediksikan akan

berhasil.
I. TAMBAHAN DARI JURNAL PENDUKUNG

a. (Franke, et al 2019) Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan subjek para

pelaku kekerasan seksual pada anak yang telah mendapatkan peradilan, penulis

memiliki hipotesis bahwa para pelaku kekerasan seksual pada anak memiliki

kecerdasan intelektual lebih rendah dibandingkan dengan orang normal seusianya,

maka dari itu penulis melakukan perbandingan hasil tes IQ para pelaku kekerasan

seksual pada anak dengan orang normal, jumlah sampel pada masing-masing

kelompok adalah 15 orang dan hasilnya didapatkan perbedaan yang cukup signifikan

pada hasil dari kedua kelompok dimana kelompok individu yang merupakan para

pelaku kekerasan seksual rata-rata memiliki IQ yang lebih rendah dibanding

kelompok control, selain itu penulis melakukan pemeriksaan MRI pada sampel dan

didapatkan adanya gangguan pada otak tepatnya pada region frontal dan temporal,

region frontal dikaitkan dengan respons terhadap fantasi seksual dan region temporal

dikaitkan dengan preokupasi seksual, namun hasil ini tidak begitu memiliki

signifikansi yang bermakna oleh karenanya masih perlu penilitian lanjutan dengan

sampel yang lebih besar agar dapat digeneralisasi

b. (Khalid, et. Al. 2018) Menurut penulis, pedofilia adalah salah satu gangguan seksual

yang terjadi di seluruh negara di belahan dunia, pedofilia dapat menghasilkan korban-

korban anak-anak yang dilecehkan secara seksual apabila tidak segera didiagnosis dan

di tatalaksana, pedofilia dikaitkan dengan terjadinya penurunan IQ dan adanya

gangguan pada otak terutama pada region frontal, temporal, gyrus hippocampus, dan

amygdala sehingga tidak sepenuhnya penyebabnya adalah karena psikologikal, selain

itu juga didapatkan bahwa pada individu dengan kelainan seksual tipe ini didapatkan
produksi abnormal dari testosterone yang menyebabkan terjadinya urgensi seksual

pada individu tersebut oleh karenanya tatalaksana yang dianjurkan dalam jurnal ini

adalah dengan GnRH antagonis dan antiandrogen untuk menekan terjadinya

spermatogenesis dan terbentuknya testosterone sehingga menghambat urgensi seksual

pada individu, contoh dari antiandrogen adalah CPA (cyproterone acetate) dan MPA

(medroxyprogesterone)

c. (Mendez, et.al, 2011) hasil dari penelitian ini ialah 100% dari sampel penelitian (8

orang individu dengan kelainan pedofilia) ini menunjukan adanya kelainan pada

neurobiological, 5 dari mereka memiliki keterbatasan tilikan, kebiasaan yang buruk

mengenai aktivitas seksual dan mengalami deficit pada lobus frontalis di otak, sisanya

memiliki kelainan pada bagian prefrontalis pada otak dan menunjukan gejala

hypersexual (dorongan seksual yang berlebihan), sebagian dari sampel merupakan

pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obatan untuk meredakan gejala Parkinson

(dibutuhkan penelitian lanjutan mengenai kaitan obat-obatan Parkinson dengan

perilaku seksual individu), selain lobus frontal dan prefrontal didaptkan juga

kecenderungan untuk didapatkannya deficit (disinhibisi) pada lobus temporal dan


pada amygdala. Hal-hal diatas dapat membimbing klinisi untuk memberikan target

terapi yang tepat.

d. (Cassini, et. Al 2019) Peneliti beranggapan bahwa pedofilia sering disertai dengan

kelainan mental ataupun fisik lainnya yang menyertai serta berkaitan dengan

penggunaan suatu substansi atau obat-obatan, oleh karenanya perlu dilakukan

penelitian mengenai hubungan antara pedofilia dengan penggunaan substansi atau

obat-obatan terlarang serta terjadinya gangguan intelektual yang mungkin terjadi,

penelitian ini merupakan suatu penelitian laporan kasus seorang pasien berusia 21

tahun yang dilaporkan kecanduan akan marijuana dan obat-obatan lainnya, memiliki

perilaku yang agresif dan memiliki kecenderungan untuk melakukan suatu

pelanggaran social di masyarakat seperti mencuri, pasien juga dilaporkan memiliki

gangguan mental berupa depresi yang berkepanjangan dengan keinginan-keinginan

untuk bunuh diri yang sering terjadi dan juga delusi, ibu dari pasien mengatakan

mendapatinya sering menonton adegan pornografi yang dilakukan anak-anak saat ia

berusia 14 tahun dan melakukan masturbasi, sejak saat itu ia sering tertarik dengan

alat genital anak lain yang berusia jauh lebih muda darinya, pasien ini mengatakan

membutuhkan bantuan dan tidak ingin menyakiti siapapun, berdasarkan tes intelejensi

yang dilakukan oleh peneliti didapatkan hasil dibawah rata-rata dari aspek verbal,

konseptual, memori dan pemrosesan informasi. Pasien terdiagnosis pedofilia

berdasarkan DSM V khususnya termasuk pada klasifikasi yang exclusive (hanya

memiliki selera seksual pada anak dibawah usianya).


Daftar Pustaka

1. Capra, G.A., Forresi, B. and Caffo, E., 2014. Current scientific research on

paedophilia: A review. Journal of Psychopathology, 20, pp.17-26.

2. Franke, I., Seipel, S., Vasic, N., Streb, J., Nigel, S., Otte, S. and Dudeck, M., 2019.

Neuropsychological profile of pedophilic child sexual offenders compared with an

IQ-matched non-offender sample–Results of a pilot study. International journal of

law and psychiatry, 64, pp.137-141.

3. Khalid, N. and Yousaf, Q., 2018. Clinical Attributes of Pedophilia-A Mental Illness

and Psychopharmacological Approaches to Hit Pedophiles. Clinical & Medical

Biochemistry, 4(2), pp.2-5.

4. Mendez, M. and Shapira, J.S., 2011. Pedophilic behavior from brain disease. The

journal of sexual medicine, 8(4), pp.1092-1100.

5. Cassiani-Miranda, C.A., Quintero-Gómez, T.C., Burbano, A.L. and Eduard, A.C.,

2019. Pedophilia, substance-use disorder, and intellectual disability: A case

report. Addictive Disorders & Their Treatment, 18(1), pp.58-62.

Anda mungkin juga menyukai