JOURNAL READING
Oleh:
Alya Tanti Nurjanah
H1A016005
PEMBIMBING
dr. Emmy Amalia, Sp.KJ
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Segala Rahmat dan Berkah yang diberikan,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penugasan Journal Reading yang berjudul “Current
Scientific Research on Paedophilia: A Review” tepat pada waktunya. Tugas ini merupakan
salah satu prasyarat dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik madya di bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Rumah Sakit Jiwa Mutiara
Sukma Provinsi NTB. Tugas ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak,
baik dari dalam institusi maupun dari luar institusi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
dan jajaran RSJ Mutiara Sukma. Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Emmy Amalia, Sp.KJ selaku
pembimbing, semoga review ini bermanfaat dan penulis mengharapkan kritik dan saran guna
perbaikan dalam review jurnal selanjutnya.
Penulis
A. ABSTRAK
1. Objektif
Kekerasan seksual pada anak menjadi suatu permasalahan yang serius di hampir seluruh
belahan dunia. Kekerasan seksual pada anak dan remaja dapat berujung pada gangguan
mental secara luas dan kesulitan dalam pengambilan keputusan yang dapat menetap sampai
dewasa bahkan sampai lanjut usia. Para pelaku pelecehan seksual ini memiliki ketertarikan
yang kuat terhadap anak-anak sebagai objek seksual nya dan berisiko untuk berkembang
menjadi tindak kejahatan. Meskipun telah ditinggalkan dan tidak begitu digemborkan selama
beberapa waktu, akhir-akhir ini tengah terjadi peningkatan ketertarikan penelitian mengenai
topik ini. Untuk dapat memahami lebih dalam mengenai pedofilia, penelitian ini bertujuan
untuk mengambil kesimpulan dari artikel artikel terkait yang membahas mengenai pedofilia
sehingga dapat mengetahui perkembangan dan trend yang mungkin akan dapat berguna bagi
klinisi pada pasien dan dapat bermanfaat untuk mencegah kekerasan seksual pada anak-anak
2. Metode
Penelitian ini didasarkan pada database salah satu platform journal terkemuka yakni
PubMed, diambil artikel dalam batas tahun januari 2010 sampai februari 2012 dengan
menggunakan kata kunci “Paedophilia”. Yang diambil adalah journal dengan data original
atau jurnal ilmiah atau review yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai diagnosis,
3. Hasil
Strategi yang digunakan menghimpun 72 artikel, dari 72 artikel tersebut, 41 abstrak yang
DSM-IV TR, pengajuan kriteria diagnosis yang baru untuk DSM-V, pedofilia yang
meningkat karena penggunaan media social, dan pentingnya keakuratan diagnosis. Selain itu
beberapa artikel juga membahas mengenai adanya kaitan antara pedofilia dengan kelainan
4. Kesimpulan
Tema pedofilia dewasa ini merupakan bahasan yang sangat penting dan sering
merupakan salah satu sudut pandang baru dalam memandang diagnosis pedofilia dan hal ini
juga memiliki relevansi yang cukup kuat dalam implikasi tata laksan serta pencegahan
penyakit ini. Penelitian lebih lanjut sangatlah dibutuhkan tentu saja dengan sampel yang lebih
Kekerasan seksual pada anak-anak adalah salah satu terminologi penyakit kejiwaan yang
sering terjadi di seluruh belahan dunia, menurut Child Maltreatment 2010 Report
Kekerasan seksual pada anak dan remaja Kekerasan seksual pada anak dan remaja dapat
berakibar pada kelainan mental secara luas dan kesulitan dalam pengambilan keputusan yang
Menurut penelitian terbaru, di 28 negara di dunia kekerasan seksual pada anak adalah
predictor atau faktor risiko terjadinya mental disorder atau keterbatasan mental pada masa
perkembangan sampai dewasa. Kekerasan seksual pada anak tidak hanya berimbas negative
pada timbulnya kelainan mental pada masa depannya tetapi juga dapat meningkatkan
morbiditas serta dapat mempengaruhi terapi. Berdasarkan studi meta analisis terbaru
seksual dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya depresi yang persisten dan
pedofilia yang memiliki keinginan untuk berbuat sesuatu yang akan merugikan anak
presentasi nya adalah 10-60% dari total pedofilia yang terdiagnosis, pedofilia yang lebih
tertarik pada anak laki-laki memiliki resiko lebih besar untuk melakukan reoffending
dibandingkan dengan pedofilia yang heterosexual. Identiikasi dan tata laksana dari epdofilia
Meskipun begitu sangat sulit untuk menentukan dengan pasti berapa prevalensi dari
pedofilia karena kesadaran diri masing-masing penderita untuk dating ke pusat layanan
kesehatan masih sangat sedikit sehingga sebagian besar data didapatkan dari rekam medis
yang sudah ada. Berdasarkan data perkiraan yang terbaru, proporsi pengidap pedofilia yang
memiliki kecendurungan untuk melakukan kekerasan seksual pada anak dibandingkan
Suatu penelitian di jerman menggunakan sampel sekitar 2000 orang laki-laki berusia 40-
79 tahun dan menghasilkan data bahwa terdapat sexual fantasy yang menggambarkan anak-
anak pada sekitar 9,5% sampel, kemudain sebanyak 3,8% mempraktikannya dalam
kecenderungan pada anak-anak yang leibih besar pada beberapa sampel dibandingkan
Dalam beberapa tahun terakhir fenomena ini menarik perhatian para peneliti internasional
sehingga menimbulkan beberapa penelitian baru, yang menitikberatkan pada definisi yang
akurat dari pedofilia yang tentu saja akan berpengaruh pada diagnosis pasien dan juga
kebijakan publik, selain itu juga telah timbul berbagai penelitian mengenai efikasi dari
algoritme pengobatan pada individu yang melakukan pelecehan seksual pada anak-anak,
tujuan lain ialah untuk mengerti lebih dalam mengenai pedofilia serta kebutuhan
Tujuan dari investigasi ini adalah untuk mengidentifikasi perkembangan penelitian yang
ada akhir-akhir ini untuk digunakan pada praktik klinis dalam diagnosis dan penatalaksanaan
pedofilia sehingga dapat melakukan pencegahan terhadap tindakan kekerasan seksual pada
anak-anak.
C. METODE
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan merangkum data terbaru
mengenai perkembangan teori diagnosis klasifikasi dan tatalaksana pedofillia terutama yang
jenis offended yang di publikasi 2 tahun terakhir. Peneliti secara sistematis melakukan review
pada literature yang diunggah pada portal MedLine atau PubMed dengan kata kunci utama
1. Dipublikasi secara online antara bulan januari 2010 sampai februaru 2012
3. Menitik beratkan pada penilaian klinik dan atau diagnosis, dan tata laksana pedofilia
1. Publikasi yang menitikberatkan pada pelaku kekerasan seksual yang tidak dianggap
Dari 72 artikel jurnal yang didapatkan melalui keyword tersebut, sebanyak 41 artikel jurnal
dengan mampu mendiagnosis maka orang-orang yang memenuhi kriteria dan atau memiliki
ciri-ciri sebagai pedofilia dapat segera diberikan tatalaksana sehingga mengurangi jumlah
anak-anak yang mendapatkan kekerasan seksual, hal ini sangatlah penting untuk menekan
Saat ini berdasarkan DSM-IV-TR, untuk mendiagnosis pedofilia yang penting adalah
gejalanya harus muncul setidaknya selama 6 bulan, dan individu tersebut merasakan hal
tersebut secara berulang, dan memiliki imajinasi kekerasan seksual, atau memiliki perilaku
yang selalu ingin melakukan tindakan seksual pada anak remaja awal dan atau anak-anak
(Kriteria A) Oleh karena hal itu individu tersebut mengalami tekanan dan kesulitan-kesulitan
interpersonal (kriteria B), individu tersebut harus berusia lebih dari 16 tahun dan setidaknya 5
tahun lebih tua usianya disbanding anak ata remaja awal yang bersangkutan (kriteria C).
beberapa penulis sempat berdebat mengenai diagnosis dari pedofilia ini dan
menitikberatkan pada ketepatan diagnosis tersebut, baik tepat dalam hal sesuai dengan apa
yang dimaksud pada DSM dan juga sesuai dengan terminologi yang digunakan untuk tujuan-
tujuan klinis. Klasifikasi pada DSM-IV terkait dengan system pedofilia tengah di kritisi
karena dianggap kurang begitu lengkap dan kurang berdasar, serta diagnosis pedofilia telah
dimodifikasi pada setiap pembaruan dari DSM. Diagnosis berdasarkan sikap dan tindakan
individu, adanya distress dan gangguan interpersonal merupakan hal hal yang dapat
Berdasarkan Malon, terdapat beberapa hal yang mengganjal pada diagnosis pedofilia
yang tercantum dalam DSM-IV TR , yang pertama adalah adanya kemungkinan bahwa
seorang individu bisa dikatakan pedofilia karena ketertarikan seksualnya terhadap anak-anak
dan atau remaja awal tetapi juga tidak dapat dikatakan pedofilia apabila individu tidak
merasakan distress atau tekanan dan gangguan interpersonal dalam dirinya, yang kedua,
sepertinya terdapat juga kemungkinan untuk bertindak sebagai pedofilia dan untuk
terdiagnosis meskipun tidak memiliki keluhan atau perasaan yang terdapat pada kriteria A.
bahwa riwayat terjadinya tindakan seksual yang melibatkan anak-anak sudah cukup dalam
mendiagnosis pedofilia, karena dianggap akan memenuhi kedua kriteria yakni kriteria A
(tanda dan gejala) dan kriteria b (tekanan atau distress dan kesuliten atau gangguan
interpersonal), berdasarkan hal ini maka tindakan seksual yang terjadi pada anak yang
sifatnya berulang sangatlah penting dalam proses diagnostic pedofilia karena tentusaja
terbatasnya phallometric test dan kesediaan individu untuk memeriksakan dirinya sendiri ke
dokter membuat para klinisi harus cermat dalam proses diagnosis, namun hal diatas tidak
mempertimbangkan individu yang hanya memiliki fantasi erotis dengan anak-anak sebagai
objek seksualnya, ataupun mereka yang sebenarnya memiliki dorongan ketertarikan tindakan
seksual pada anak-anak namun enggan dan tidak pernah melakukannya, batasan batasan
inilah yang merupakan suatu masalah dalam penegakan pasti diagnosis pedofilia
(sebagai kondisi jika kriteria A terpenuhi), dan kelainan Paraphilic (jika kriteria A dan B terpenuhi)
dalam DSM-5, dan ketentuan ini masih diperdebatkan. Penambahan istilah “kelainan” pada
ketentuan diatas dapat digunakan sebagai pengingat bahwa orang yang memenuhi kriteria A saja
tetap dapat dikategorikan sebagai Pedofilia dalam tujuan tertentu misalnya dalam penelitian,
walaupun mereka tidak melakukan tindakan seksual yang menyimpang atau terpengaruh oleh
penyimpangan seksualnya.
Pengertian lain mengenai Pedopfilia yang disebutkan oleh DSM-IV-TR adalah bahwa
pengertian tersebut hanya mengarah kepada ketertarikan seksual pada anak pre-pubertas,
namun kelemahannya adalah keberadaan orang dengan ketertarikan seksual pada anak usia
pubertas (11-15 tahun) seolah diabaikan (tidak masuk kriteria). Oleh karena itu, Blanchard
memperkenalkan istilah baaru yaitu Type Hebephilic dalam kriteria diagnosa pada DSM-V,
karena tidak semua pasien hanya mengalami ketertarikan pada anak pre-pubertas namun juga
Selain itu, definisi oleh DSM-IV-TR “recurrent and intense” kelainan ini tampak
kurang spesifik dan cukup sulit untuk diamati. Juga cukup sulit mendiagnosis dengan
ketentuan adanya kecendrungan seksual pada anak selam enam bulan, seperti disebutkan
dengan hal yang lebih wajar untuk menghindari konsekuensi interpersonal. Oleh karena itu,
kriteria DSM-5 mengenai kelainan pedofilia harus dipertimbangkan ulang sebagai berikut:
a. Selama setidaknya enam bulan, ditemukan adanya gejala gairah seksual yang lebih
besar pada anak prepubertas ataupun pubertas dini yang belum dewasa secara fisik,
manifestasi dapat muncul sebagai fantasi, dorongan maupun sikap dan kebiasaan.
c. Penderita harus berusia setidaknya 18 tahun atau minimal 5 tahun lebih tua dari anak
pada kriteria A
Hebephilic : ketertarikan seksual pada anak usia awal pubertas (tanner stage 2-3)
Lebih spesifik:
Remisi (tanpa tekanan, perubahan lingkan ataupun gejala berulang pada lima tahun di
Menurut the Rationale dalam perubahan kriteria diagnostik yang diusulkan, kriteria
baru memiliki beberapa keuntungan. Pertama, kriteria baru A menekankan bahwa diagnosis
tidak berlaku untuk individu yang mengalami atau memanifestasikan respon seksual yang
dapat dideteksi kepada anak-anak saja tetapi juga kepada individu yang merespon dengan
kuat atau lebih kuat terhadap anak-anak daripada yang mereka lakukan pada orang dewasa
secara fisik. Kedua, spesifikasi "dalam lingkungan yang terkendali" dan "dalam Remisi".
yang diperkenalkan di sini untuk pertama kalinya, menekankan perubahan dalam status
bertindak berdasarkan dorongan parafilia mungkin lebih sulit untuk dinilai secara obyektif
Beberapa penulis telah meneliti tentang kriteria baru ini, hal ini memicu perdebatan
seputar topik ini, Antara lain, pertama mengenai kecenderungan umum pada DSM untuk
secara tak terelakkan meningkatkan risiko false positive (mis. memberikan label diagnostik
Menurut penulis ini, kehadiran false positif dalam mendiagnosis pedofilia menjadi
masalah karena akan membentuk stigma negative, di sisi lain, O'Donohue menekankan
bahwa, daripada risiko false positife, masalah dalam mendiagnosis pedofilia adalah justru
false negative, karena kecenderungan penolakan untuk dilakukannya pengambilan data guna
mendiagnosis pedofil serta kualitas laporan pribadi yang meragukan dalam menilai fantasi.
O'Donohue menganggap perbedaan antara pedofilia dan hebefilia sebagai perbedaan yang
berguna dan informative, di sisi lain, Green menyanggah dan berpendapat bahwa berdasarkan
standar moral dan kredibilitas ilmiah, usia persetujuan hukum untuk berhubungan seks di
beberapa negara Eropa (termasuk Italia) adalah 14 tahun dan ketertarikan seksual pada usia
Mengenai topik ini, peneliti mengamati bahwa spesifikasi Tipe Hebephilic telah
didefinisikan oleh reaksi psikologis terhadap fitur maturasi anatomis tubuh eksternal, dan
bukan oleh pelanggaran usia, undang-undang di wilayah hukum tertentu dan dalam periode
historis tertentu .
Pendapat menarik lainnya datang dari Seto. Menurut sudut pandangnya, pedofilia
dapat didefinisikan sebagai orientasi seksual laki-laki sehubungan dengan usia, bukan
etiologinya, serta untuk praktik klinis (hipotesis baru tentang penilaian, prognosis, dan
pengobatan) serta untuk kebijakan public dan untuk memengaruhi persepsi sosial tentang
fenomena ini.
Selain perdebatan mengenai kriteria DSM-V, ada pertanyaan yang lebih umum
terkait dengan kesulitan dalam penilaian minat seksual terhadap anak-anak. Sebuah studi
menarik yang dilakukan oleh Wilson et al. - di mana 130 tersangka pelecehan seksual anak
[RRASOR] skor dan penilaian dokter yang berpengalaman) menunjukkan bahwa hanya ada
untuk menilai kecendrungan seksual pada pria. Baru-baru ini, sebuah studi oleh Lykins et al.
pada uji phallometric menemukan korelasi yang baik. Namun, teknik ini telah dikritik karena
yang menyimpang, dengan hasil yang menjanjikan. Penyimpangan seksual dan dinamika
Renaud et al. menyelidiki pergerakan mata pada individu yang terpapar dengan karakter
virtual yang menunjukkan fitur seksual yang relevan. Mereka menemukan perbedaan
signifikan antara pedofil dan subjek control ketika informasi diproses. Oleh karena itu,
tampaknya test ini dapat digunakan untuk mengkarakterisasi minat seksual yang menyimpang
Mokros et al. menilai minat seksual paedofilik dengan menggunakan Attention Time
identifikasi pada gambar seseorang, mereka menemukan bahwa pedofil membutuhkan waktu
lebih lama untuk merespons gambar anak-anak daripada gambar orang dewasa, menunjukkan
efek gangguan kognitif, hasil ini menunjukkan kemungkinan untuk menggunakan penundaan
dalam studi fungsional magnetic resonance imaging (fMRI) yang disajikan selanjutnya,
mungkin juga merupakan pilihan yang layak untuk prosedur diagnostik di masa mendatang
memungkinkan mendeteksi orientasi paedofil, dengan memahami hal ini klinisi dapat
Walaupun sifat erotis pada manusia sangat rumit, terdapat metode pemeriksaan yang
Hal ini dilakukan dengan memberikan gambar erotis anak-anak pada lelaki dewasa dan
mengukur perubahan volume darah pada penis dan dikaitkan dengan berbagai respon seksual.
Selain itu, orientasi seksual juga dapat dinilai dengan laporan pribadi atau waktu-waktu
adanya respon seksual. Korelasi neuroanatomis dan biologis telah ditemukan sebagai etiologi
pada area otak yang berhubungan dengan seks dan ditemukan pula kaitannya dengan
neurobiologis pedofilia. Terdapat dua sudut pandang investigasi yang digunakan dalam
neuropsikologikal untuk menemukan perbedaan antara pelaku kejahatan pedofilia dan non-
pedofilia. Selain itu, terdapat penelitian lain yang menyelidiki korelasi syaraf dengan
pedofilia, yaitu adanya kelainan anomaly structural dan atau fungsional tertentu dalam otak
Mengenai profil kognitif, dalam penelitian yang dilakukan oleh Cohen et al. dengan
menggunakan 51 subyek dengan pedofilia, 53 subyek dengan kecanduan opiat dan 84 kontrol
sehat dibandingkan dengan menggunakan tes neuropsikologis untuk menilai fungsi eksekutif,
hasilnya adalah didapatkan perbedaan yang cukup signifikan antara kedua kelompok.
Kruger dan Schiffer memeriksa kinerja neurokognitif dan profil kepribadian dalam
kelompok pedofil dan menemukan bahwa, dibandingkan dengan kontrol yang sehat, mereka
menunjukkan kecerdasan yang lebih rendah, kinerja yang lebih lemah dalam pemrosesan
informasi, skor tinggi untuk psikopati dan paranoia, dan tanda-tanda obsesi seksual dan
disfungsi seksual. Berbeda dengan laporan sebelumnya, penulis ini menekankan bahwa
beberapa perubahan ini dapat dijelaskan oleh faktor lain selain pedofilia, seperti tingkat
Penelitian yang bertujun untuk menunjukan adanya korelasi antara gangguan saraf
dengan minat seksual di antara para pedofil, menemukan adanya perkembangan otak atipikal
yakni berupa defisit struktural dan fungsional otak yang tampaknya berkorelasi dengan
orientasi dan perilaku seksual menyimpang mereka. Beberapa studi, yang kebanyakan
merujuk pada kasus tunggal pasien dengan pedofilia, menemukan aktivasi di fisura calcarina
sinistra, insula sinistra, korteks cinguli anterior dan vermis serebellar atau di amigdala dextra
dan girus parahippocampal yang menunjukan aktivitas pada saat subjek menanggapi gambar
erotis anak-anak. Aktivasi di daerah-daerah ini menurun apabila diterapi dengan leuprorelin
atau leuprolide asetat, menunjukkan bahwa anti-androgen dapat memodifikasi respons otak
Sebuah studi fMRI oleh Poeppl et al. mengungkapkan bahwa respons saraf pada
pedofil yang terpajan pada gambar erotis anak-anak sebanding dengan yang diamati pada pria
Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan bahwa pola respons fungsional otak
terhadap rangsangan seksual dapat membantu untuk memprediksi orientasi seksual dan untuk
Studi lain menunjukkan konsep bahwa minat paedophilic dapat dikaitkan dengan
disfungsi neurologis spesifik. Sebuah studi oleh Mendez dan Shapira pada delapan pasien
yang menunjukkan perilaku seksual terhadap anak-anak praremaja di pertengahan atau akhir
kehidupan, menunjukkan bahwa perilaku paedofilik mungkin merupakan hasil dari defisit
Sebuah studi baru-baru ini oleh para peneliti Italia menimbulkan hipotesis baru
onset lambat dan demensia fronto-temporal, dalam kaitannya dengan mutasi genetik. Rainero
et al. melaporkan kasus seorang pasien berusia 49 tahun yang mulai memanifestasikan gairah
seksual dan desakan terhadap putrinya yang berusia 9 tahun, dan kemudian pasien mengidap
demensia fronto-temporal. Dalam studi ini, para penulis ini menemukan perubahan gen
progranulin (PGRN).
Hubungan antara gen yang bermutasi dengan perilaku seksual yang menyimpang ini
menarik beberapa penelitian baru karena untuk pertama kalinya, anomali genetik dapat
menjelaskan etiologi pedofilia, penting untuk dicatat bahwa ada juga teori-teori psikologis
yang menyebabkan terjadinya pedofilia. Misalnya, Marshall dan Barbare mengusulkan teori
terpadu tentang etiologi pelanggaran seksual, bahwa pelecehan seksual pada anak terjadi
sebagai akibat dari berbagai faktor yang saling berinteraksi, seperti pengasuhan yang buruk,
pengasuhan yang tidak konsisten, serta pelecehan fisik. Baru-baru ini, Ward dan Siegert
mengusukan adanya empat mekanisme psikologis yang berbeda yang mana interaksinya
keintiman yang dimiliki dalam dirinya, kurangnya kemampuan bersosialisasi, pola seksual
dengan kemajuan teknologi yang pesat, dan munculnya sarana komunikasi baru
memungkinkan penggunaan internet sebagai wahana yang ideal bagi para online sexual
predator dalam mencari ‘korban’. Bahkan, fungsi ‘anonim’ pada dunia maya memberikan
perlindungan baru sehingga tidak ada bukti kontak yang dilakukan dengan korban.
Saat ini, ada perdebatan mengenai apakah pelaku kejahatan secara online adalah kelompok
pelaku kejahatan seksual yang berbeda atau apakah mereka pelaku kejahatan seks biasa yang
Beberapa penulis menganggap pedofilia secara online adalah jenis baru dari
pelanggaran seksual. Sebuah studi eksplorasi oleh Briggs et al. pada 51 peserta yang dihukum
kesimpulan bahwa pedofilia dari Internet dapat dibedakan sebagai kelompok yang terpisah,
yang ditandai oleh faktor kriminogenik yang kurang parah dibanding pelanggar seks lainnya
(yaitu pemerkosa, penganiaya anak secara offline): mereka cenderung menghindari hubungan
di dunia nyata, menghabiskan banyak waktu dengan chat online untuk mencari kontak sosial
maupun seksual.
Kelompok baru ini, lebih lanjut, dapat dibagi menjadi dua subkelompok: kelompok
yang didorong oleh perilaku seksual offline/secara langsung dengan remaja, dan kelompok
yang didorong oleh fantasi yang termotivasi untuk melibatkan remaja dalam seks virtual
Penelitian lain mencoba menganalisa profil pada predator sexual online tersebut, hasilnya
adalah yang membedakan mereka dari offline sexual predator antara lain kebanyakan subjek
merupakan laki-laki dengan ras kaukasia, dengan social ekonomi yang beragam dan usia
lebih muda dibanding offline sexual predator, online sexual predator juga memiliki
pengendalian diri lebih baik, empati yang lebih baik pada korban serta menunjukkan lebih
dunia nyata.
Namun, Wolak et al. menunjukan bahwa online sexual predator tampaknya memiliki
penyimpangan seksual yang lebih parah (dalam hal objek seksual), mereka ditemukan
memiliki gambar anak-anak di bawah usia 3 tahun dan beberapa video anak yang jauh lebih
Sangat penting untuk memahami kemungkinan bahwa pedofil online akan berisiko
untuk melakukan pelanggaran seksual offline dengan seorang korban, sebuah meta-analisis
pertama yang dilaporkan oleh Seto et al., Yang meneliti riwayat pelanggaran seksual kontak
dari pelaku kejahatan online, menunjukkan bahwa hanya subkelompok kecil (sekitar 1 dalam
8) pelaku kejahatan seksual online yang memiliki catatan resmi untuk pelanggaran seksual
kontak. Namun, kelemahan dari hasil penelitian ini dapat disebabkan oleh data dari enam
Meta-analisis kedua oleh penulis yang sama mengungkapkan bahwa hanya 4,6%
pelaku kejahatan online yang melakukan pelanggaran seksual, meskipun subkelompok ini
tampaknya kurang berbahaya mengingat tidak adanya kontak seksual dengan anak-anak,
namun harus diingat bahwa meskipun para online sexual predator tidak secara langsung
melecehkan anak-anak, mereka dapat membujuk orang lain untuk melakukan kejahatan oleh
Dalam konteks ini diperlukan lebih banyak penelitian karena saat ini masih belum
jelas apakah klinisi harus menilai dan memperlakukan pelaku kejahatan online sama dengan
Sejak tahun 1970, pedofilia ditatalaksana dengan terapi psikodinamik, CBT dan terapi
medis, yang berfokus untuk mengurangi ketertarikan seksual dan pencegahan kekambuhan
Seto, dan di dukung oleh penelitian neurodevelopmental terkini bahwa saat ini tidak ada bukti
Efektifitas dari terapi psikodinamis belum pernah diteliti oleh peneliti manapun
sedangkan CBT ditemukan memiliki kemampuan untuk menurunkan kelainan seksual secara
signifikan pada pasien dengan kelainan mental, intervensi ini difokuskan pada individu
dengan pedofilia yang bertujuan untuk memperbaiki orientasi seksual dan gangguani
yang paling umum digunakan dan cukup efektif. Renaud et al, mencoba menggunakan RT-
MRI dan BCI sebagai pengobatan baru bagi pedofilia, neurofeedback atau respons saraf yang
dipicu oleh adanya rangsangan visual sebagai stimulus, menjadi kunci dalam intervensi ini.
RT-MRI dapat digunakan untuk menciptakan feedback pada otak, sehingga dapat melatih
modulasi otak untuk memunculkan rangsangan seksual pada karakter visual yang dibuat
menurunkan rangsangan seksual pada pedofil dengan menekan aktifitas testosterone. Moulier
et al, menyatakan bahwa Leuprolelin (agonis GnRH) dapat menurunkan aktivitas yang akan
memediasi respon preseptual, motivasi, efek terhadap rangsang seksual., misalnya pada fisura
calcarina sinistra, insula sinistra, korteks cinguli anterior dan vermis serebellar.
Pada pedofil daerah otak ini akan aktif jika muncul rangsanan seksual berupa anak-
anak, namun setelah 5 bulan terapi leuprolin aktivasi pada daerah ini menghilang, sejauh
yang diketahui bahwa bahan-bahan kimia tadi kurang efektive digunakan sebagai terapi
apabila dorongan dari tindakan seksual itu bukanlah murni dari rangsangan libido melainkan
merupakan sebuah cara untuk mengekspresikan kemarahan dalam diri individu, perlu diingat
bahwa pasien dengan pedofilia tidak hanya mengalami penurunan kadar testosterone tapi
karena hal ini bukan hanya untuk menyembuhkan individu melainkan untuk perlindungan
social terutama anak-anak agar terhindar dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-
orang pedofilia, catatan yang menyedihkannya adalah bahwa terdapat beberapa kasus dimana
para pengidap pedofilia diberikan hukuman dan diadili tanpa diberikan pengobatan atau
Adapun menurut Seto tatalaksana sejauh ini hanya diberikan pada mereka yang
sudah mengalami gangguan seksual yang sudah bergejala dan pernah melakukan kekerasan
timbulnya kekerasan sekusal pada anak dapat diredam dari orang-orang yang memiliki
fantasi seksual terhadap anak-anak sebelum mereka melakukan hal-hal yang tidak diinginkan
jika pengobatan hanya diberikan pada orang-orang yang sudah melakukan kekerasan seksual
sebelumnya? Itulah mengapa penting dilakukan deteksi dan tatalaksana dini sebelum hal-hal
Pernyataan selanjutnya adalah seharusnya dibedakan untuk jenis terapi dan target
terapi antara orang-orang yang hanya memiliki fantasi seksual terhadap anak-anak atau
mereka yang sudah sampai ‘berbuat’ sesuatu terhadap anak-anak tersebut karena seyogyanya
tujuan dari terapinya juga sudah jelas berbeda yang satu tujuan utamanya adalah untuk
mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak dan yang kedua bertujuan untuk
menghilangkan gangguan mental tersebut apabila sudah terjadi sehingga tidak terulang
kembali.
Untuk alasan inilah ada suatu penelitian di Jerman yang dilakukan oleh scheaffer et,
al yang melakukan screening dengan menggunakan telepon genggam untuk mendata pria-pria
yang memiliki fantasi seksual pada anak-anak untuk mendeteksi dini terjadinya offends pada
pedofilia sehingga dapat dengan cepat dikenali dan diberikan intervensi baik medis ataupun
non medis.
H. KESIMPULAN
pedofilia dari berbagai sudut pandang dan perdebatan mulai terjadi diantara penelitian-
penilitan ini, sebagian besar menitik beratkan pada bagaimana definisi, diagnosis yang jelas
serta tatalaksana yang maksimal yang dapat diberikan kepada pasien dengan pedofilia.
kejelasaan dalam kriteria diagnosis dalam DSM V dan mengajukan beberapa kemungkinan
diagnosis dini dengan menilik hubungan antara pedofilia dengan kelainan organic di otak
sehingga pasien dapat di cap memiliki kemungkinan untuk mengidap pedofilia dan tidak
hanya berdasar pada perilaku seseorang melainkan ada banyak faktor lain yang perlu
dipertimbangkan, meskipun begitu masih banyak topik penelitian yang perlu untuk dilakukan
dan tentu saja diharapkan dengan sampel yang lebih besar agar dapat di generalisasi di
masyarakat.
menggunakan internet sebagai media utama nya yang dikatakan bahwa orang-orang ini hanya
memiliki fantasi terhadap anak-anak sebagai objek seksualnya namun hanya sebagian kasus
yang sampai melakukan tindakan (offenders pedophilia) suatu hipotesis mengatakan bahwa
online pedofilia tidak menjadi faktor resiko besar terjadnya offenders pedofilia (pedofilia
yang dibuktikan dengan tindakan kekerasan seksual pada anak) namun tentunya hipotesis ini
penelitian ini adalah bahwa beberapa penelitian memiliki bias yang cukup signifikan,
misalnya sampel yang digunakan hanyalah orang-orang yang memang terlibat kasus secara
hukum karena tindakannya dalam melakukan kekerasan seksual pada anak kemudian
sebagian besar laki-laki, kedua hal ini kurang menggambarkan populasi secara umum karena
peneliti juga sulit untuk memndeteksi adanya gangguan pedofilia karena para penderita
pedofilia enggan memeriksakan dirinya dan mencari pengobatan ke pusat layanan kesehatan
karena menurut mereka hal ini adalah suatu hal yang tabu dan jarang terjadi di masyarakat,
hal ini dapat diminimalisir dengan adanya pencerdasan masyarakat mengenai stigma negative
sehingga para pengidap pedofilia dapat dengan sukarela memeriksakan dirinya ke pusat
kesehatan masyarakat.
Apabila hal tersebut terpenuhi maka harapan para klinisi dan pemerintah untuk
mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak-anak lambat laun diprediksikan akan
berhasil.
I. TAMBAHAN DARI JURNAL PENDUKUNG
pelaku kekerasan seksual pada anak yang telah mendapatkan peradilan, penulis
memiliki hipotesis bahwa para pelaku kekerasan seksual pada anak memiliki
maka dari itu penulis melakukan perbandingan hasil tes IQ para pelaku kekerasan
seksual pada anak dengan orang normal, jumlah sampel pada masing-masing
kelompok adalah 15 orang dan hasilnya didapatkan perbedaan yang cukup signifikan
pada hasil dari kedua kelompok dimana kelompok individu yang merupakan para
kelompok control, selain itu penulis melakukan pemeriksaan MRI pada sampel dan
didapatkan adanya gangguan pada otak tepatnya pada region frontal dan temporal,
region frontal dikaitkan dengan respons terhadap fantasi seksual dan region temporal
dikaitkan dengan preokupasi seksual, namun hasil ini tidak begitu memiliki
signifikansi yang bermakna oleh karenanya masih perlu penilitian lanjutan dengan
b. (Khalid, et. Al. 2018) Menurut penulis, pedofilia adalah salah satu gangguan seksual
yang terjadi di seluruh negara di belahan dunia, pedofilia dapat menghasilkan korban-
korban anak-anak yang dilecehkan secara seksual apabila tidak segera didiagnosis dan
gangguan pada otak terutama pada region frontal, temporal, gyrus hippocampus, dan
itu juga didapatkan bahwa pada individu dengan kelainan seksual tipe ini didapatkan
produksi abnormal dari testosterone yang menyebabkan terjadinya urgensi seksual
pada individu tersebut oleh karenanya tatalaksana yang dianjurkan dalam jurnal ini
pada individu, contoh dari antiandrogen adalah CPA (cyproterone acetate) dan MPA
(medroxyprogesterone)
c. (Mendez, et.al, 2011) hasil dari penelitian ini ialah 100% dari sampel penelitian (8
orang individu dengan kelainan pedofilia) ini menunjukan adanya kelainan pada
mengenai aktivitas seksual dan mengalami deficit pada lobus frontalis di otak, sisanya
memiliki kelainan pada bagian prefrontalis pada otak dan menunjukan gejala
perilaku seksual individu), selain lobus frontal dan prefrontal didaptkan juga
d. (Cassini, et. Al 2019) Peneliti beranggapan bahwa pedofilia sering disertai dengan
kelainan mental ataupun fisik lainnya yang menyertai serta berkaitan dengan
penelitian ini merupakan suatu penelitian laporan kasus seorang pasien berusia 21
tahun yang dilaporkan kecanduan akan marijuana dan obat-obatan lainnya, memiliki
untuk bunuh diri yang sering terjadi dan juga delusi, ibu dari pasien mengatakan
berusia 14 tahun dan melakukan masturbasi, sejak saat itu ia sering tertarik dengan
alat genital anak lain yang berusia jauh lebih muda darinya, pasien ini mengatakan
membutuhkan bantuan dan tidak ingin menyakiti siapapun, berdasarkan tes intelejensi
yang dilakukan oleh peneliti didapatkan hasil dibawah rata-rata dari aspek verbal,
1. Capra, G.A., Forresi, B. and Caffo, E., 2014. Current scientific research on
2. Franke, I., Seipel, S., Vasic, N., Streb, J., Nigel, S., Otte, S. and Dudeck, M., 2019.
3. Khalid, N. and Yousaf, Q., 2018. Clinical Attributes of Pedophilia-A Mental Illness
Biochemistry, 4(2), pp.2-5.
4. Mendez, M. and Shapira, J.S., 2011. Pedophilic behavior from brain disease. The