Anda di halaman 1dari 90

DASAR-DASAR

ILMU KEDOKTERAN JIWA

Editor:

Prof. BHR KAIRUPAN, dr, MSc, SpKJ(K)

KERJA SAMA
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA / PSIKIATRI
FK UNSRAT MANADO – PPD UNCEN JAYAPURA
2007

0
TEORI PERKEMBANGAN
KEPRIBADIAN
MATERI INI DIBUAT, DIGANDAKAN, DAN DIPERGUNAKAN
KHUSUS UNTUK PROSES PENDIDIKAN & PENGAJARAN
MAHASISWA PPD UNCEN JAYAPURA

Oleh :

Prof. dr. B.H.R. KAIRUPAN, MSc, SpKJ(K)


dr. Ch.C. ELIM, M.Repro, SpAnd
dr. L.J.F. KANDOU, SpKJ
dr. D.S. SUAK, M.Repro
dr. F.D. Senduk, S.Ked
dr. N. Ekawati, S.Ked
dr. Herdy, S.Ked

KERJA SAMA
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA / PSIKIATRI
FK UNSRAT MANADO – PPD UNCEN JAYAPURA
2007
1
PENDAHULUAN
Salah satu aspek yang harus dicapai dalam praktek dokter adalah terciptanya suatu “hubungan
dokter-pasien” (doctor-patient relationship / rapport) yang profesional.
Sebagai salah satu bidang profesi, dokter dituntut untuk menegakkan profesionalisme dalam berbagai segi
pengamalan profesinya. Pengamalan profesi dokter secara langsung terkait dengan masalah etik, hukum,
dan statusnya sebagai sarjana (ilmuwan). Dengan kata lain, setiap dokter seharusnya memiliki kemampuan
akademik, hukum dan etik. Kemampuan ini teruji pada saat dokter menghadapi pasien.
Di millenium ke II ini mahasiswa kedokteran telah menyaksikan kemajuan yang luar biasa di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran (iptekdok), khususnya di bidang bio-medik. Penguasaan
perkembangan iptekdok sangat bermanfaat bagi ketepatan diagnostik dan pengobatan penyakit atau
kelainan pasien.
Namun demikian, ada hal lain yang harus dipersiapkan dalam diri mahasiswa kedokteran yaitu:
kemampuan untuk memahami, menghayati (empati), dan memperhitungkan segala segi
penderitaan pasien.
Ingatlah bahwa pendalaman dan pengembangan iptekdok tentunya bukan demi untuk ilmu itu sendiri,
tetapi untuk menolong pasien, mengatasi penderitaan, meningkatkan taraf kesehatan, dan selanjutnya
mengikhtiarkan tercapainya kualitas hidup yang optimal dalam batas-batas kondisi pasien.
Selama manusia masih merupakan makhluk bio-psiko-sosial dengan segala segi kehidupan perasaan
kemanusiaannya, maka penderitaannya akan diatasi dengan baik melalui pemahaman menyeluruh dari
kehidupannya. Azas biological priority and psychological supremacy adalah sangat penting untuk selalu
dihayati. Untuk itu maka salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan ilmu psikiatri adalah
memberikan kompetensi kepada para calon dokter muda dan/atau calon dokter untuk mengembangkan
perilaku profesional mereka, khususnya dalam kemampuan empati, yang merupakan hal yang mutlak ada
dalam membangun hubungan dokter-pasien yang baik dan profesional.
Salah satu aspek yang paling menarik dalam praktek dokter, termasuk dokter umum, adalah luasnya variasi
manusia yang kita hadapi, mulai dari bayi sampai manula.
Manusia berubah dari tahun ke tahun, termasuk pula pelbagai aspek kehidupannya.
Perubahan kebutuhan manusia itu dipengaruhi oleh
 tuntutan masyarakat dan latar belakang sosio-budaya dimana ia hidup, serta
 perubahan fungsi yang terkait dengan usia kronologisnya.
Progresi perkembangan dari lahir sampai mati disebut siklus kehidupan. Dokter yang mengerti siklus
kehidupan, akan lebih mampu untuk mengenali pelbagai kebutuhan dan masalah pasiennya secara lebih
jelas, realistik dan menyeluruh. Karena itu sangatlah penting bahwa dokter tidak hanya mengerti
perkembangan fisik, tetapi juga perkembangan psikososial, psikoseksual, kognitif dan moral dari pasien.
Keempat aspek perkembangan ini dapat merupakan dasar berpijak yang baik untuk membangun wawasan
yang lebih luas dalam memahami pasien sebagai subjek dan bukan sekedar objek medis.

NILAI DAN PRINSIP PERKEMBANGAN


Para pakar perkembangan menyadari bahwa gambaran pola perkembangan yang tepat merupakan dasar
untuk memahami manusia. Mereka juga mengetahui bahwa pengetahuan tentang apa yang
menyebabkan adanya variasi dalam perkembangan sangat diperlukan untuk memahami setiap
manusia secara pribadi. Mengetahui bagaimana bentuk pola perkembangan mempunyai nilai
ilmiah dan sekaligus nilai praktis. Sebagai calon dokter muda/calon dokter pengetahuan ini dapat
pula dipakai sebagai sumber dalam memahami manusia pada umumnya, dan dunia anak pada
khususnya, yang menjadi subjek dalam praktek klinik mereka.
Terdapat empat nilai-nilai perkembangan dan sepuluh fakta dasar mengenai perkembangan yang
merupakan pokok bahasan dalam bagian kedua ini.

2
A. Nilai-Nilai Perkembangan
Nilai pertama, pengetahuan tentang pola perkembangan manusia membantu para pakar perkembangan dan
dokter untuk mengetahui apa yang diharapkan dari anak, pada kira-kira usia berapa diharapkan
munculnya berbagai pola perilaku, dan kapan biasanya pola ini digantikan dengan pola yang lebih
matang. Hal ini penting karena jika terlalu banyak yang diharapkan pada usia tertentu, anak-anak
mungkin akan mengembangkan perasaan tidak mampu bila mereka tidak dapat mencapai standar
yang ditetapkan oleh para orang tua, guru, dan dokter bagi mereka. Sebaliknya, jika terlalu sedikit
yang diharapkan dari mereka, maka mereka akan kehilangan rangsangan untuk mengembangkan
kemampuannya. Selain itu, mereka sering merasa tidak senang terhadap orang yang menilai
rendah kemampuan mereka. Kedua keadaan ini dapat menjadi alasan timbulnya berbagai masalah
psikososial, termasuk yang berdampak pada kesehatan fisik, yang membuat orang tua membawa
anak mereka ke dokter untuk mendapat mendapat jawabannya.
Nilai kedua, mengetahui apa yang diharapkan memungkinkan para pakar perkembangan untuk menyusun
pedoman dalam bentuk skala tinggi-berat, skala usia-berat, skala usia-tinggi, skala usia mental, dan skala
perkembangan sosial atau emosional. Skala-skala ini merupakan referensi yang penting bagi para dokter
untuk menentukan ada-tidaknya penyimpangan dalam pola perkembangan anak. Hal ini karena pola
perkembangan untuk semua anak normal hampir sama, maka ada kemungkinan untuk mengevaluasi setiap
anak menurut norma usia anak tersebut. Jika perkembangan itu khas, berarti anak itu menyesuaikan diri
secara normal terhadap harapan masyarakat. Sebaliknya bila terdapat penyimpangan dari pola yang
normal, hal ini dapat dianggap sebagai tanda bahaya adanya penyesuaian kepribadian, emosional, atau
sosial yang buruk. Kemudian dapat diambil langkah-langkah tertentu untuk menentukan penyebab
penyimpangan ini dan berupaya untuk memperbaikinya. Misalnya, apabila penyimpangan ini merupakan
akibat tidak adanya kesempatan untuk belajar maka anak kemudian dapat diberikan kesempatan untuk
belajar dan di dorong untuk menggunakan kesempatan ini.
Nilai ketiga, karena perkembangan yang berhasil mutlak membutuhkan bimbingan maka pengetahuan
mengenai pola perkembangan akan memungkinkan para orang tua, guru, dan dokter untuk memfasilitasi
proses belajar anak pada saat yang tepat. Bayi yang siap untuk belajar berjalan harus diberikan kesempatan
untuk melakukannya dan dorongan untuk tetap berusaha hingga kepandaian berjalan dikuasainya. Tidak
adanya kesempatan dan dorongan akan menghambat perkembangan yang normal.
Nilai keempat, mengetahui pola normal perkembangan memung-kinkan para orang tua, guru, dan dokter
untuk mempersiapkan anak menghadapi perubahan yang akan terjadi dalam dirinya. Setiap anak, dalam
perkembangannya yang normal sekalipun senantiasa berhadapan dengan krisis-krisis perkembangan
normal, sehingga persiapan untuk menghadapi hal tersebut akan sangat mengurangi ketegangan dan
tekanan yang akan dihadapi anak. yang Misalnya, anak dapat disiapkan untuk menghadapi berbagai
prosedur medis yang berkaitan dengan kondisi sakit yang dideritanya.

B. Prinsip-Prinsip Perkembangan
Terdapat sepuluh fakta dasar perkembangan yang lazim dikenal sebagai prinsip-prinsip perkembangan.
Kesepuluh prinsip ini tentu saja akan berkembang atau mengalami penyempurnaan seiring dengan
bertambah luasnya studi mengenai anak.
Prinsip pertama: Perkembangan melibatkan perubahan.
Kata perkembangan dan pertumbuhan sering digunakan orang secara bergantian. Kedua kata ini
sebenarnya berbeda, dan walaupun dapat dipisahkan, keduanya tidak berdiri sendiri. Pertumbuhan
berkaitan dengan perubahan kuantitatif (peningkatan struktur dan ukuran), sebaliknya perkembangan
berkaitan dengan perubahan kuantitatif dan kualitatif.
Kata perkembangan sebenarnya dapat didefinisikan sebagai deretan progresif dari perubahan yang teratur
dan koheren. “Progresif” menandai bahwa perubahannya terarah, membimbing mereka maju, dan bukan
mundur. “Teratur” dan “koheren” menunjukkan adanya hubungan nyata antara perubahan yang terjadi dan
yang telah mendahuluinya ataupun yang akan mengikutinya.
Jenis-jenis perubahan dapat berupa:
 perubahan ukuran (secara fisik: tinggi, berat; secara mental: daya ingat, penalaran, persepsi, dan
imajinasi kreatif);

3
 perubahan proporsi (harus diingat bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa dalam proporsi fisik
maupun mental);
 hilangnya ciri lama (misalnya ciri-ciri fisik: kelenjar thymus dan gigi yang mengalami atrofi; atau ciri-
ciri mental: gerak dan bicara bayi serta imaginasi yang sangat luas); dan
 mendapatkan ciri baru (secara fisik: gigi permanen dan karakteristik jenis kelamin primer dan
sekunder; secara mental: perhatian dalam hal-hal seksual, standar moral, dan keyakinan agama).
Kesehatan yang baik, penerimaan diri, lingkungan yang sehat dan mendukung, tujuan yang realistis,
pengertian akan kelemahan dan kekuatan diri dan bagaimana menerimanya secara sehat, penanggulangan
penyebab perilaku asosial sebelum perilaku itu menjadi kebiasaan, dan belajar untuk berhubungan dengan
orang lain yang kemudian menjadi berorientasi terhadap orang lain merupakan faktor-faktor yang penting
dalam membantu terciptanya realisasi diri yang baik di masa kanak.
Prinsip kedua: Perkembangan awal lebih kritis daripada perkembangan selanjutnya.
Penelitian membuktikan bahwa tahun-tahun pertama merupakan saat yang kritis bagi perkembangan anak.
“Masa anak-anak meramalkan masa dewasa.” Petujuk ilmiah pertama tentang pentingnya tahun-tahun
pertama kehidupan adalah berasal dari penelitian Freud tentang kesulitan penyesuaian kepribadian.
Kesulitan seperti itu dapat dilacak sampai ke suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di masa kanak-
kanak. Erikson menarik kesimpulan bahwa “masa kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia
sebagai seorang manusia, tempat di mana kebaikan dan sifat-sifat buruk kita yang tertentu dengan lambat
namun jelas berkembang dan mewujudkan dirinya.”
Beberapa kondisi yang mempengaruhi dasar awal adalah hubungan antar pribadi, keadaan emosi, cara
mendisplinkan anak, peran yang dini, struktur keluarga di masa kanak-kanak, dan rangsangan lingkungan.
Semua faktor-faktor ini memiliki peluang untuk mengembangkan hal-hal positif dan/atau negatif yang
pada gilirannya nanti akan bermanifestasi pada usia perkembangan selanjutnya.
Prinsip ketiga: Perekembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar.
Salah satu kontroversi tertua di dunia pengetahuan adalah ikhwal pentingnya faktor keturunan dan faktor
lingkungan yang secara relatif menentukan karakteristik fisik dan mental anak yang berkembang. Dibalik
berbagai kontroversi mengenai dominasi kontributif kedua faktor di atas, berbagai bukti menunjukkan
bahwa ciri perkembangan fisik dan mental sebagian berasal dari proses kematangan intrinsik dan sebagian
lagi berasal dari latihan dan usaha individu.
Sejumlah fakta yang nyata dari nilai teoretis dan praktis berasal dari bukti antara hubungan faktor
kematangan intrinsik dan faktor belajar yang ada sekarang dapat disimpulkan dalam variabel-variabel
berikut: variasi pola perkembangan, kematangan membatasi perkembangan, batas kematangan jarang
dicapai, hilangnya kesempatan belajar membatasi perkembangan, rangsangan diperlukan untuk
perkembangan yang purna, dan keefektifan belajar tergantung pada ketepatan waktu.
Bertolak dari segi ketepatan waktu maka perlu diingat akan pentingnya ‘kesiapan dan kesediaan belajar’ di
mana betapapun banyaknya rangsangan yang diterima anak, mereka tidak dapat belajar sampai saat
perkembangan mereka siap untuk melakukannya. Ini berarti bahwa dasar fisik dan mental tertentu harus
ada terlebih dahulu sebelum dapat dibangun suatu kemampuan baru di atasnya. Meskipun struktur dan
fungsi di masa kanak-kanak berjalan paralel, struktur sebenarnya selalu ‘mendahului’ fungsi. Ini benar
untuk kecakapan motorik, kecakapan mental, dan perilaku seksual. Pertanyaan yang timbul, bagaimana
orang dewasa dapat mengetahui seorang anak telah mencapai ‘saat untuk diajar’? Ada tiga kriteria praktis
yang dapat dipergunakan untuk menentukan ‘kesiapan belajar’ anak, yaitu: (1) adanya minat belajar yang
tampak dari keinginan anak untuk diajar dan/atau belajar sendiri; (2) adanya minat yang bertahan untuk
belajar sekalipun mereka menghadapi ‘hambatan’ dan ‘kesulitan’; dan (3) adanya kemajuan (progresivitas)
dalam hasil belajar walaupun sedikit dan berangsur-angsur.
Prinsip keempat: Pola perekembangan dapat diramalkan.
Setiap spesies, apakah hewan atau manusia mengikuti pola perkembangan yang khas spesies tersebut.
Dalam perkembangan pralahir, terdapat rangkaian genetik dengan ciri tertentu yang muncul pada interval
tertentu pula. Terdapat urutan pola yang sama dalam perkembangan pascalahir, walaupun laju
perkembangan individu akan lebih bervariasi dalam periode pascalahir daripada pralahir.
Secara fisik terdapat dua hukum rangkaian pengarahan perkembangan: hukum sefalokaudal
(perkembangan menyebar ke seluruh tubuh dari kepala ke kaki); dan hukum proksimodistal

4
(perkembangan bergerak dari yang dekat ke yang jauh – keluar dari sumbu pusat tubuh menuju ke ujung-
ujungnya.
Secara fungsional, bayi dapat menggunakan tangannya sebagai suatu unit sebelum mereka dapat
mengendalikan pergerakan jari-jarinya.
Studi longitudinal mengenai kecerdasan mengungkapkan bahwa pola perkembangan mental dapat
diramalkan seperti halnya perkembangan fisik. Selain fungsi kecerdasan, pola perkembangan fungsi
mental lainnya, seperti daya ingat dan penalaran, juga dapat diramalkan.
Prinsip kelima: Pola perekembangan memiliki khas yang dapat diramalkan.
Tidak saja pola perkembangan dapat diramalkan, tetapi ia juga mempunyai karakteristik tertentu yang
sama dan dapat diramalkan. Ini berlaku baik untuk pola perkembangan fisik maupun mental.
Studi perkembangan menunjukkan bahwa terdapat sejumlah karakteristik yang dapat diramalkan, antara
lain berdasarkan pada kenyataan-kenyataan:
 kesamaan dalam pola perkembangan anak dari satu tahap menuju ke tahap berikutnya;
 perkembangan bergerak dari tanggapan yang umum menuju tanggapan yang khsusus;
 perkembangan berlangsung secara berkesinambungan;
 berbagai bidang, secara fisik maupun mental, berkembang dengan kecepatan yang berbeda; dan
 terdapat korelasi dalam perkembangan antara perkembangan fisik dan perkembangan mental.
Prinsip keenam: Adanya perbedaan individu dalam perkembangan.
Walaupun pola perkembangan sama bagi semua anak, setiap anak mengikuti pola yang dapat diramalkan
dengan cara dan kecepatannya sendiri. Beberapa anak berkembang dengan lancar, bertahap, dan
berlangsung langkah demi langkah, sedangkan yang lain bergerak dengan kecepatan melonjak, beberapa
diantaranya menunjukkan sedikit penyimpangan, sedangkan pada yang lain banyak terjadi penyimpangan.
Oleh karena itu semua anak tidak mencapai titik perkembangan yang sama pada usia yang sama.
Penyebab terjadinya perbedaan pola perkembangan adalah karena setiap orang memang berbeda satu sama
lain secara biologis dan genetis. Tambahan pula, tidak ada dua orang yang mempunyai pengaruh
lingkungan yang identik, sekalipun mereka adalah sepasang kembar identik. Ini berarti bahwa perbedaan
individu disebabkan oleh kondisi internal dan eksternal. Akibatnya, pola perkembangan akan berbeda
untuk setiap anak, walaupun ia serupa di berbagai aspek utama dari pola yang diikuti anak lain.
Walaupun kecepatan perkembangan anak berbeda-beda, semua anak cenderung menunjukkan konsistensi
perkembangan tertentu. Ini berarti bahwa anak mengikuti pola yang khas miliknya, dan sebagai kombinasi
faktor keturunan dan lingkungan.
Dari sudut teoretis dan praktis, sangat penting untuk mengetahui bahwa anak mengikuti pola
perkembangan yang berbeda dari pola yang diikuti anak lain. Oleh karena dengan pengetahuan ini para
orang tua, guru, maupun dokter akan memberikan harapan yang berbeda terhadap setiap anak, melihat
dasar fungsi individualitas yang unik dari anak, sifat pendidikan yang seharusnya lebih bersifat
perorangan, serta menyadari bahwa meramal tingkah laku anak bukanlah hal yang mudah.
Prinsip ketujuh: Adanya periode pola perkembangan.
Walaupun perkembangan berlangsung secara berkesinambungan, terdapat bukti bahwa pada berbagai usia
ciri bawaan tertentu lebih menonjol daripada yang lain karena perkembangannya terjadi lebih cepat. Oleh
karena itu, dimungkinkan untuk menandai periode utama yang ditunjukkan oleh jenis perkembangan
tertentu yang membayangi lainnya. Karena adanya variasi individual maka batas usia untuk suatu periode
tertentu hanya dapat diramalkan secara kasar. Idealnya, menurut Bijaou, periode perkembangan tidak
ditandai dengan usia, tetapi dengan ciri biologis dan perubahan perilaku seseorang.
Prinsip kedelapan: Setiap periode perkembangan memiliki harapan sosial.
Dalam setiap kelompok budaya, pengalaman telah menunjukkan bahwa orang dapat mempelajari pola
perilaku dan ketrampilan tertentu dengan lebih muda dan berhasil pada usia-usia tertentu ketimbang saat
lainnya. Kelompok itu kemudian mengharapkan setiap individu bersikap sesuai dengan waktu
perkembangan ini.
Orang dari berbagai usia sangat menyadari adanya ‘harapan sosial’ tersebut. Bahkan anak kecil
mengetahui, dari apa yang dikatakan dan yang disuruh orang untuk dilakukannya, bahwa beberapa hal

5
tertentu diharapkan dari dirinya. Mereka menyadari, dari persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap
perilaku mereka, bahwa harapan sosial ini sebagian besar untuk menentukan pola belajar mereka.
Harapan sosial dikenal sebagai ‘tugas perkembangan’. Havighurst telah mendefinisakan tugas
perkembangan sebagai ‘tugas yang timbul pada atau sekitar periode kehidupan individu tertentu.
Keberhasilan melakukan tugas tersebut menimbulkan kebahagiaan dan menyokong keberhasilan
pelaksanaan tugas lainnya di waktu yang akan datang; sedangkan kegagalan menimbulkan
ketidakbahagiaan, ketidaksetujuan masyarakat, dan kesulitan dalam pelaksanaan tugas lainnya kelak.
Beberapa tugas perkembangan terutama muncul sebagai hasil kematangan fisik (misalnya, belajar
berjalan), yang lainnya terutama berkembang dari tuntutan budaya masyarakat (misalnya, belajar membaca
atau belajar memainkan peranan jenis kelamin yang sesuai); namun, masih ada lainnya yang timbul dari
nilai-nilai pribadi dan aspirasi individu (misalnya, memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu
pekerjaan). Kebanyakan tugas perkembangan timbul dari interaksi ketiga faktor ini. Perlu diingat bahwa
tugas perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal yang bersifat
membantu, atau sebaliknya menghambat, proses penguasaan tugas perkembangan tertentu.
Prinsip kesembilan: Setiap bidang perkembangan mengandung bahaya yang potensial.
Walaupun pola perkembangan bergerak normal, kadang-kadang pada setiap usia terdapat bahaya di
beberapa bidang perkembangan yang mengganggu pola normal ini. Seperti yang dikatakan oleh Erikson,
“Perjuangan yang tidak terelakan yang menandai seluruh pertumbuhan dapat menimbulkan sejumlah bakat
yang benar-benar dapat diandalkan atau ‘masalah’ yang tidak dapat dijajaki.”
Beberapa bahaya ini berasal dari lingkungan sedangkan yang lain timbul dari dalam diri. Terlepas dari
asalnya, bahaya ini dapat mempengaruhi usaha penyesuaian fisik, psikologis, dan sosial yang dilakukan
seorang anak. Akibatnya bahaya-bahaya tersebut mengubah pola perkembangan sehingga menghasilkan
suatu daerah mendatar di mana tidak terjadi pergerakan maju atau sebaliknya bahkan menyebabkan
kemunduran ke tahap yang lebih rendah. Bila hal ini terjadi maka anak itu menghadapi masalah
penyesuaian dan dikatakan mempunyai ‘penyesuaian yang buruk’ atau ‘tidak matang’.
Peringatan awal adanya kemungkinan bahaya yang berkaitan dengan berbagai bidang perkembangan
merupakan hal yang penting karena hal itu memungkinkan mereka yang bertanggung jawab dalam
membimbing perkembangan anak – orang tua, guru dan dokter – untuk siap menangani penyebab bahaya
itu, dan hal yang sama pentingnya ialah bagaimana seseorang mengambil langkah yang tepat untuk
menghindari bahaya tersebut.
Prinsip kesepuluh: Kebahagiaan itu bervariasi pada berbagai periode perkembangan.
Sesuai dengan tradisi, masa kanak-kanak merupakan periode kehidupan yang paling membahagiakan.
Tradisi ini telah dipertegas dengan hal lain, bahwa masa kanak-kanak seharusnya bahagia, waktu yang
bebas dan aman untuk menjamin penyesuaian yang baik dalam hidup kedewasaan. Dewasa ini, terdapat
banyak bukti yang menunjukkan bahwa keyakinan tersebut tidak benar dan bagi banyak anak, hal itu justru
berlawanan.
Studi mengenai kebahagiaan di masa kanak-kanak telah mengungkapkan bahwa bagi beberapa anak, masa
kanak-kanak adalah saat bahagia, sedangkan bagi yang lain merupakan masa yang tidak bahagia. laporan
retrospektif mengenai kebahagiaan pada berbagai usia yang dilakukan orang dewasa telah menunjukkan
hasil yang serupa.

TEORI-TEORI PERKEMBANGAN

A. Teori Perkembangan Psikoseksual: Sigmund Freud

6
Pendekatan Dinamik
Freud melihat adanya kesamaan antara transformasi energi pada ilmu alam dengan kejadian-kejadian yang
muncul dalam kehidupan kejiwaan manusia. Ia berhipotesis bahwa kehidupan seseorang dikuasai oleh
energi mental/psikisnya yang disebut libido. Energi psikis ini dapat didistribusikan, dapat terikat pada
suatu imajinasi, dapat ditransformasikan, atau dapat dilepaskan. Seperti halnya dengan energi mekanis,
listrik atau energi panas yang menghasilkan suatu kerja fisik, maka energi psikis juga akan menghasilkan
kerja psikis. Energi psikis ini dapat diubah menjadi perasaan cemas (ansietas), dapat tampil dalam bentuk
badaniah (muncul sebagai gejala kelumpuhan misalnya), atau dapat ditransformasikan ke dalam bentuk
pikiran, seperti obsesi, preokupasi, dan lain-lain.
Hal khusus lainnya adalah bahwa libido itu berpusat pada zona-zona tertentu pada tubuh manusia dalam
satuan waktu tertentu. Zona atau daerah di mana libido itu sedang terkonsentrasi atau terpusat ikut
menentukan bentuk atau jenis rangsangan manakah yang dapat memuaskan bagi seseorang, dan bentuk
atau jenis rangsangan mana yang tidak.
Hukum alam lain yang diambil oleh Freud adalah tentang prinsip pemuasan/kesenangan (pleasure
principle), yaitu prinsip untuk melepaskan energi pada setiap kesempatan yang memungkinkan tanpa
penundaan. Menurut Freud, sebenarnya setiap manusia selalu berusaha sekeras mungkin untuk segera dan
langsung mengurangi ketegangan yang terdapat di dalam dirinya; hal mana akan mengurangi rasa sakit dan
menimbulkan rasa senang. Misalnya rasa lapar akan menyebabkan seseorang segera mencari makanan dan
makan; keinginan untuk menghisap akan menyebabkan anak menghisap jarinya, dan seterusnya, yang pada
prinsipnya adalah untuk memperoleh kesenangan agar mengurangi rasa sakit atau rasa kurang enak pada
dirinya.
Prinsip lainnya yang juga dikemukakan Freud adalah prinsip realitas/kenyataan (reality principle) yaitu
prinsip yang sesedikit mungkin melepaskan energi psikiks. Hal ini dicapai dengan cara menunda pemuasan
atau mencari jalan lain yang secara tidak langsung dapat memuaskan diri. Prinsip ini dapat terlaksana
berkat kemampuan psikis seseorang untuk meneliti realitas yang ada terlebih dahulu sebelum ia
menentukan apakah ia akan melepaskan energinya untuk memuaskan diri atau tidak. Contohnya, seorang
anak TK akan berpikir lebih dahulu apakah ia akan memukul anak lain yang mengganggunya atau tidak.
Mungkin lebih baik jika dia mengatakan bahwa ia marah pada temannya itu daripada menanggung risiko
dihukum guru karena memukul teman.
Timbul pertanyaan tentang dari manakah asalnya energi psikis tersebut? Menurut Freud tubuh manusia
mempunyai instink atau dorongan biologis. Jadi energi psikis adalah energi biologis. Terdapat dua energi
psikis yang mendasar: Pertama adalah Eros (yaitu menyangkut seks, pemeliharaan diri, cinta, dorongan
untuk hidup, dan upaya untuk bersatu). Kedua adalah Tanatos atau instink menghancurkan (yaitu
menyangkut agresi, perpecahan, instink kematian, dan kebencian).
Menurut Freud, berbagai perilaku manusia jika diurut kembali sebetulnya bersumber pada kedua instink
tersebut. Hal ini dimungkinkan karena instink dapat diekspresikan dengan berbagai cara atau berbagai
kombinasi pemuasan. Umpamanya, main bola. Selain dapat memuaskan agresivitas seseorang ia juga
dapat memuaskan kebutuhan akan kerja sama. Contoh lain adalah makan. Makan, selain merupakan
pemuasan kebutuhan rasa lapar, dapat juga berupa pemuasan keinginan untuk menghancurkan (menggigit
atau mengunyah). Dorongan psikis ini dapat dipuaskan sebagian atau dengan cara tidak langsung.
Contohnya adalah gosip. Gosip merupakan salah satu cara kita untuk menghantam lawan sebagai ganti
menghantam mereka secara fisik. Dorongan juga dapat disubstitusi. Misalnya rasa benci menjadi rasa
sayang.
Pendekatan Struktural
Model struktural dari aparatus psikis adalah inti dari psikologi ego. Ketiga bidang—id, ego, dan superego
—dibedakan oleh fungsinya yang berbeda.
Id. Secara umum id yang telah ada sejak kelahiran merupakan sumber dorongan dan motif yang tidak
disadari, yang bertindak atas dasar prinsip pemuasan/kesenangan (pleasure principle), berusaha untuk
dipuasi secara langsung sesegera mungkin. Jadi id adalah sumber dan tempat dari dorongan biologis.
Walaupun Id bekerja di bawah sadar tetapi Id tidak boleh dianggap sebagai sinonim dengan bawah sadar,
karena baik ego dan superego mempunyai komponen bawah sadar. Id sering juga disebut sebagai inti dari
ego (ego nucleus).

7
Ego. Ego adalah struktur kepribadian yang tumbuh kemudian (mulai kira-kira pada usia satu tahun). Ego
memiliki semua dimensi topografik: alam sadar, alam prasadar, dan alam bawah sadar. Pikiran logika dan
abstrak dan ekspresi verbal adalah berhubungan dengan fungsi kesadaran dan prasadar dari ego.
Mekanisme pertahanan tetap dalam bagian yang tidak disadari dari ego, kecuali supresi yang berada di
alam sadar. Ego merupakan organ pelaksana dari psikis dan mengontrol pergerakan, persepsi, kontak
dengan kenyataan, dan, melalui mekanisme pertahanan yang ada padanya, memperlambat dan
memodifikasi dorongan ekspresi. Ego memiliki prinsip kenyataan (reality principle). Ego berusaha
mencari cara yang dapat diterima dalam pemuasan kebutuhan. Karena itu biasanya ego berfungsi menunda
energi psikis yang berasal dari Id sampai ego menemukan jalan yang paling dapat diterima oleh realitas.
Ego juga bertindak sebagai mediator antara Id dan superego. Secara garis besar fungsi-fungsi ego dapat
dilihat pada bagian lampiran.
Superego. Komponen ketiga dari tiga bidang model struktural adalah superego. Superego menegakkan dan
mempertahankan kesadaran moral seseorang atas dasar kompleks sistem ideal dan nilai-nilai yang
diinternalisasikan dari orangtua. Oleh Freud superego dianggap sebagai pewaris kompleks Oedipus.
Dengan kata lain, anak menginternalisasikan nilai-nilai dan standar dari orangtuanya di sekitar usia 5 atau
6 tahun. Superego berfungsi sebagai suatu agen yang memungkinkan pengawasan yang cermat terhadap
perilaku, pikiran, dan perasaan seseorang. Superego membuat perbandingan dengan standar perilaku yang
diharapkan dan menawarkan persetujuan atau penolakan.
Aktivitas tersebut sebagian besar terjadi secara tidak disadari. Dengan demikian superego turut membantu
ego dalam mengawasi id. Ego-ideal seringkali dianggap sebagai komponen superego. Ia merupakan agen
yang menginstruksikan apa yang harus dilakukan seseorang menurut standar dan nilai yang
diinternalisasikan. Sebaliknya, superego adalah agen dari kesadaran moral yang melarang (proscribe)—
yaitu yang menentukan apa yang tidak boleh dilakukan seseorang. Melalui periode laten dan setelahnya,
orang terus membangun identifikasi awal melalui kontaknya dengan orang lain yang dikagumi yang
berperan dalam pembentukan standar moral, aspirasi, dan ideal.
Mekanisme Pertahanan Diri (lihat lampiran)
Ancaman dan bahaya terhadap individu, baik yang datang dari id maupun lingkungan, secara konstan
dapat menimbulkan kecemasan (ansietas). Sedapat mungkin ego berfungsi untuk menanggulanginya secara
realistis dengan menggunakan ketrampilan pemecahan masalah yang dimilikinya (mekanisme pembelaan
yang berorientasi pada tugas yang meliputi: attack/approach (menghadapi masalah); avoidance
(menghindari masalah); dan compromise (melakukan kompromi).
Namun apabila kecemasan yang dialami sangat berlebihan sehingga mengancam integritas ego maka setiap
individu memiliki kecenderungan untuk menggunakan mekanisme pertahan diri yang berorientasi pada
ego (ego defence mechanisms) untuk menghadapinya.
Mekanisme pertahanan diri akan mengontrol dan mengurangi kecemasan dengan cara mengubah-
ubah realitas.
Walaupun cara ini kurang tepat (dibandingkan dengan mekanisme yang berorientasi pada tugas yang
terjadi secara sadar dengan berbagai pertimbangan proses pikir) dan hanya akan memuaskan sebagian dari
dorongan yang menuntut pemuasan, namun bagi individu yang sedang cemas keadaan ini lebih
menguntungkan dari pada tidak ada tindakan apa-apa.
Mekanisme pertahanan dapat dikelompokkan secara hirarkis menurut derajat relatif maturitas yang
berhubungan dengan pertahanan tersebut.
 Pertahanan narsistik adalah yang paling primitif dan digunakan oleh anak-anak dan orang yang
mengalami gangguan psikotik. Termasuk dalam pertahanan narsisitik adalah: penyangkalan, distorsi,
idealisasi primitif, proyeksi, identifikasi proyektif, dan pembelahan.
1. Pertahanan imatur adalah terlihat pada remaja dan beberapa pasien nonpsikotik. Termasuk dalam
pertahanan imatur ini adalah: memerankan, penghambatan, hipokondriasis, identifikasi, introyeksi,
perilaku pasif-agresif, proyeksi, regrasi, khayalan skizoid, dan somatisasi.
 Pertahanan neurotik ditemukan pada pasien obsesif-kompulsif dan pasien histerikal dan pada orang
dewasa dalam stres. Termasuk dalam pertahanan neurotik adalah: pengendalian, pengalihan, disosiasi,
ekternalisasi, inhibisi, intelektualisasi, isolasi, rasionalisasi, pembentukan reaksi, represi, seksualitas.

8
 Pertahanan matur adalah mekanisme adaptasi yang normal dan sehat dari kehidupan dewasa.
Termasuk dalam pertahanan matur adalah: altruisme, antisipasi, pertapaan (asceticisme), humor,
sublimasi dan supresi.
Pengelompokan di atas tidak kaku dalam batas-batasnya.
Teori Kecemasan
Sigmund Freud pada awalnya menganggap kecemasan sebagai "libido yang terbendung." Dengan kata
lain, peningkatan psikologis dalam ketegangan seksual menyebabkan peningkatan libido. Ia menamakan
kondisi yang disebabkan oleh pembendungan tersebut sebagai neurosis aktual.
Kemudian, dengan perkembangan model struktural, ia mengembangkan teori baru tentang jenis kedua dari
kecemasan yang dinamakannya sebagai kecemasan sinyal (signal anxiety). Di dalam model tersebut,
kecemasan bekerja pada tingkat bawah sadar dan bertugas memobilisasi kekuatan ego untuk menghindari
bahaya. Baik sumber bahaya eksternal maupun internal dapat menghasilkan suatu sinyal yang
menyebabkan ego menyusun mekanisme pertahanan spesifik untuk mengatasi eksitasi instinktual atau
menurunkan derajatnya.
Teori Freud yang lebih baru tentang kecemasan menjelaskan tentang gejala neurotik sebagai bagian
kegagalan parsial ego untuk mengatasi stimuli yang menimbulkan ketegangan. Derivat dorongan yang
berhubungan dengan bahaya mungkin belum ditahan secara adekuat oleh mekanisme pertahanan yang
digunakan oleh ego. Sebagai contohnya, pada fobia, Freud menjelaskan bahwa rasa takut akan ancaman
eksternal (seperti anjing atau ular) adalah suatu ekstemalisasi akan bahaya intemal.
Pendekatan Topografik
Publikasi Freud tentang The Interpretation of Dream di tahun 1900 menyuarakan kedatangan model
topografik pikiran dari Freud. Model tersebut membagi pikiran menjadi tiga daerah: sistem yang disadari
(alam sadar), sistem prasadar (alam pra sadar), dan sistem yang tidak disadari (alam bawah sadar), masing-
masingnya memiliki karakteristik uniknya sendiri-sendiri.
Sistem yang disadari. Sistem yang disadari (conscious system) dalam model topografik ditandai sebagai
bagian dari pikiran di mana persepsi yang berasal dari dunia luar atau dari dalam tubuh atau pikiran dibawa
ke kesadaran. Tetapi, dalam organisme, hanya elemen dalam prasadar (preconscious) yang memasuki
kesadaran; bagian lain pikiran berada di luar kesadaran. Kesadaran dipandang sebagai fenomena subjektif
yang isinya dapat dikomunikasikan hanya dengan cara bahasa dan perilaku.
Katheksis (cathexis) = energi psikis yang ditanam dalam suatu objek.
Freud menganggap bahwa kesadaran menggunakan suatu bentuk energi psikis yang dinetralkan yang
disebutnya sebagai katheksis atensi (attention cathexis). Dengan kata lain, seseorang menyadari ide
atau perasaan tertentu sebagai akibat dari penanaman jumlah energi psikis tertentu dalam ide atau
perasaan khusus tersebut.
Sistem prasadar. Sistem prasadar (preconscious system) terdiri dari peristiwa-peristiwa, proses, dan isi
pikiran yang dapat dibawa ke kesadaran sadar dengan memusatkan perhatian. Walaupun sebagian
besar orang tidak secara sadar menyadari gambaran guru tingkat dasamya dulu, mereka biasanya
dapat membawa citra tersebut ke dalam pikiran dengan sengaja memusatkan perhatian pada ingatan
mereka. Menurut pengertian Freud, sistem prasadar menghubungkan daerah tidak disadari dan daerah
disadari dari pikiran. Untuk mencapai kesadaran yang disadari, isi dari daerah tidak sadar harus
diikatkan dengan kata-kata dan dengan demikian menjadi prasadar. Prasadar juga mempertahankan
barier dan sensor represif terhadap harapan dan dorongan yang tidak dapat diterima.
Jenis aktivitas mental yang berhubungan dengan prasadar disebut proses berpikir sekunder
(secondary thinking process).
Pikiran tersebut ditujukan untuk menghindari ketidaksenangan, memperlambat pelepasan instinktual, dan
mengikat energi mental bersama-sama dengan kebutuhan kenyataan luar dan aturan atau nulai moral
seseorang. Proses sekunder mematuhi hubungan logika dan mentoleransi inkonsistensi secara kurang baik
dibandingkan proses primer. Jadi, proses sekunder sangat bersekutu dengan prinsip kenyataan, yang
mengatur aktivitasnya dalam sebagian besar bagian.

9
Sistem bawah sadar. Sistem bawah sadar (unconscious system) adalah sistem yang dinamik. Isi dan proses
mental sistem bawah sadar dijauhkan dari kesadaran melalui kekuatan pensensoran atau represi.
Ciri-ciri (inti) dari sistem bawah sadar adalah:
 sistem bawah sadar berhubungan erat dengan dorongan instinktual;
 isi materi bawah sadar adalah terbatas pada harapan yang mencari pemenuhan;
 sistem bawah sadar ditandai oleh proses berpikir primer, yang mempunyai tujuan utama
mempermudah pemenuhan harapan dan pelepasan instinktual. (Catatan: proses berpikir primer diatur
oleh prinsip kesenangan yang mengabaikan hubungan logika, tidak mempunyai konsepsi waktu,
mewakili harapan sebagai pemenuhan, serta memungkinkan ide yang kontradiksi untuk keluar secara
bersama-sama.
 ingatan dalam bawah sadar telah dilepaskan dari hubungannya dengan simbol verbal; dan isi bawah
sadar dapat menjadi disadari hanya dengan melalui prasadar, di mana sensor dikalahkan, dan
memungkinkan elemen-elemen memasuki kesadaran.
Pendekatan Bertahap
Freud mengemukakan ada dua hal utama dalam perkembangan manusia: Pertama, bahwa tahun-tahun
kehidupan memegang peranan penting bagi pembentukan kepribadian. Kedua, bahwa perkembangan
manusia itu meliputi tahap-tahap psikoseksual.
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian yang lebih awal, libido sebagai energi psikis dapat
berpindah-pindah dan dapat berubah bentuk (ditransformasikan). Freud juga melihat bahwa dalam rentang
kehidupan manusia, libido mengalami beberapa kali perpindahan tempat pada tubuh manusia. Tahap-tahap
psikoseksual adalah hasil perpindahan libido tersebut.
Menurut Freud seksualitas oral (sejak lahir sampai usia 1 tahun) berubah menjadi seksualitas anal (1 - 3
tahun), yang kemudian menjadi seksualitas falik (3 - 5 tahun). Sesudah melampaui masa laten, di mana
pada saat itu perasaan-perasaan seksual ditekan (5 - awal pubertas), muncullah seksualitas orang dewasa
yang sebenarnya. Pada setiap stadium/tahap, kecuali pada tahap laten, libido berpusat (“terikat”) pada
suatu zona erogen, yaitu suatu tempat di tubuh, yang bila dirangsang akan menghasilkan ketegangan
seksual yang perlu dihilangkan.
Stadium oral
Definisi: Stadium ini merupakan stadium perkembangan paling awal di mana kebutuhan, persepsi dan cara
ekspresi bayi terutama berpusat pada mulut, bibir, lidah dan organ lain yang berhubungan dengan zona
oral.
Tujuan: Untuk menegakkan ketergantungan dan mempercayai pada pengasuhan dan mempertahankan
objek untuk menegakkan ekspresi yang baik dan pemuasan kebutuhan libido oral tanpa konflik atau
ambivalensi yang berlebihan dari harapan sadistik oral.
Sifat patologis: Pemuasan (overindulgement) atau kekurang-puasan (deprivation) yang berlebihan dapat
menyebabkan fiksasi libidinal yang berperan dalam terjadinya sifat patologis. Sifat patologis ini dapat
berupa optimisme yang berlebihan, narsisisme, pesimisme (sering terlihat dalam keadaan depresif), dan
sifat menuntut.
Ciri karakter oral adalah sering tergantung secara berlebihan dan mengharuskan orang lain memberi segala
sesuatu yang mereka butuhkan serta merawat mereka. Selain itu terdapat pula ciri ketergantungan yang
berlebihan terhadap benda dalam rangka mempertahankan harga diri mereka.
Cemburu dan iri sering berhubungan dengan sifat oral.
Sifat karakter: Resolusi fase oral yang berhasil memberikan dasar dalam struktur karakter dalam
kemampuan untuk memberi kepada dan menerima dari orang lain tanpa ketergantungan yang berlebihan
atau adanya rasa iri, serta kemampuan untuk mempercayai orang lain dengan rasa kejujuran, dan juga
dengan rasa keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri.
Stadium anal
Definisi: Ini merupakan stadium perkembangan psikoseksual yang ditandai oleh maturasi pengendalian
neuromuskular sfingter anal, jadi memungkinkan pengendalian yang lebih disadari terhadap upaya
menahan ataupun mengeluarkan feses.

10
Tujuan: Periode anal pada intinya adalah periode perjuangan akan kemandirian dan perpisahan dari
ketergantungan pada dan pengendalian dari orang tua. Tujuan pengendalian sfingter tanpa pengendalian
yang berlebihan (retensi fekal) atau kehilangan kendali (mengeluarkan kotoran) adalah disesuaikan oleh
usaha anak untuk mencapai otonomi dan kemandirian tanpa rasa malu atau keraguan diri yang berlebihan
dari kehilangan kendali.
Sifat patologis: Sifat karakter maladaptif sering tampak sebagai inkonsistensi yang merupakan akibat dari
adanya erotisme anal di satu pihak dan pertahanan terhadapnya di lain pihak.
Ketertiban, keras kepala, membandel, kehematan, dan kekikiran adalah ciri-ciri dari karakter anak yang
didapatkan dari fiksasi pada fungsi anal. Sebaliknya, jika pertahanan terhadap anal adalah kurang efektif,
karakter anal menunjukkan sifat peningkatan ambivalensi, tidak adanya kerapihan, kekacauan, sifat
menentang, kekerasan, dan kecenderungan sado-masokistik.
Karakteristik dari pertahanan anal paling sering terlihat pada gangguan obsesif kompulsif.
Sifat karakter: Resolusi yang berhasil dari fase anal memberikan dasar bagi perkembangan otonomi
pribadi, suatu kapasitas untuk kemandirian dan inisiatif pribadi tanpa rasa bersalah, suatu kemampuan bagi
perilaku menentukan diri sendiri tanpa rasa malu atau keraguan terhadap diri sendiri, tidak adanya
ambivalensi, dan suatu kapasitas untuk mau bekerja sama tanpa keras kepala yang berlebihan.
Stadium uretral
Definisi: Stadium ini tidak jelas ditanggapi oleh Freud tetapi dianggap sebagai stadium transisional antara
stadium perkembangan anal dan falik. Stadium ini memiliki beberapa karakteristik stadium anal yang
mendahuluinya dan beberapa karakteristik stadium falik sesudahnya.
Tujuan: Masalahnya adalah pengendalian kinerja uretra dan hilangnya kendali sfingter uretra. Tidak jelas
sampai sejauh mana tujuan fungsi uretra berbeda dengan tujuan fungsi anal.
Sifat patologis: Sifat uretral yang predominan adalah kompetivitas dan ambisi, kemungkinan berhubungan
dengan kompensasi atas rasa malu yang disebabkan oleh kehilangan kendali uretra.
Dalam hal kendali uretra tampaknya ini mungkin merupakan awal perkembangan kecemburuan penis
(penis envy), yang berhubungan dengan rasa malu dan ketidakadekuatan feminin karena tidak mampu
menyesuaikan kinerja uretra laki-laki. Ini juga berhubungan dengan masalah pengendalian dan rasa malu.
Sifat karakter: Selain efek sehat yang analog dengan efek dari periode anal, kompetensi uretra
menghasilkan rasa kebanggaan dan keyakinan diri yang didapatkan dari kinerjanya. Kinerja uretra adalah
suatu bidang di mana anak laki-laki kecil dapat meniru dan menyesuaikan kinerja yang lebih dewasa dari
ayahnya. Resolusi konflik uretral menentukan stadium untuk pembenihan identitas jenis kelamin dan
identifikasi selanjutnya.
Stadium falik
Definisi: Stadium falik dari perkembangan seksual dimulai pada suatu saat selama tahun ketiga
perkembangan dan berlanjut sampai kira-kira akhir tahun kelima.
Tujuan: Tujuan dari stadium ini adalah untuk memusatkan minat erotik pada daerah genital dan fungsi
genital. Pemusatan ini meletakkan dasar bagi identitas jenis kelamin dan berperan untuk mengintegrasikan
residu dari stadium perkembangan psikoseksual sebelumnya ke dalam orientasi genital-seksual yang
menonjol. Penegakkan situasi oedipal adalah penting untuk kemajuan identifikasi selanjutnya yang akan
berperan sebagai dasar bagi dimensi yang penting dari organisasi karakter.
Sifat patologis: Asal mula sifat patologis dari keterlibatan falik-oedipal adalah cukup kompleks dan
merupakan sasaran dari berbagai modifikasi yang melingkupi hampir semua perkembangan neurotik.
Tetapi, masalahnya berpusat pada kastrasi pada anak laki-laki dan pada kecemburuan penis ( penis envy)
pada anak perempuan. Pusat penyimpangan perkembangan lain yang penting dalam periode ini adalah
berasal dari pola identifikasi yang berkembang dari resolusi kompleks oedipal. Pengaruh kecemasan
kastrasi dan kecemburuan penis, pertahanan terhadap keduanya, dan pola identifikasi yang timbul dari
stadium falik adalah sangat menentukan dalam perkembangan karakter manusia.
Sifat karakter: Stadium falik memberikan dasar bagi timbulnya rasa identitas seksual, suatu rasa dengan
keingintahuan tanpa rasa malu, inisiatif tanpa rasa bersalah, dan juga rasa penguasaan bukan saja terhadap
objek dan orang dalam lingkungan eksternalnya tetapi juga terhadap proses dan impuls internalnya.

11
Resolusi kompleks oedipal pada akhir periode falik merupakan kekuatan internal yang kuat untuk
pengaturan dorongan impuls dan arahnya kepada akhir yang konstruktif. Sumber pengaturan internal
adalah superego, dan ia didasarkan pada identifikasi terutama dari tokoh parental.
Stadium latensi
Definisi: Stadium dorongan seksual yang relatif tenang atau tidak aktif selama periode dari resolusi
kompleks oedipal sampai masa pubertas (dari kira-kira 5 – 6 tahun sampai kira 11 – 13 tahun).
Tujuan: Tujuan utama dari periode ini adalah integrasi identifikasi oedipal lebih lanjut dan konsolidasi
identitas peran jenis kelamin dan peran jenis kelamin. Impuls instinktual yang relatif tenang dan
pengendalian terhadapnya memungkin perkembangan aparatus ego dan ketrampilan menguasai.
Komponen identifikasi lain dapat ditambahkan pada komponen oedipal berdasarkan kontak yang lebih luas
dengan tokoh penting lain di luar keluarga, seperti guru, pelatih, dan orang dewasa lain.
Sifat patologis: Bahaya dalam periode latensi dapat timbul baik dari pengendalian internal yang sangat
berlebihan, atau sebaliknya akibat pengendalian internal yang justru sangat kurang atau tidak ada sama
sekali.
Kelebihan pengendalian internal dapat menyebabkan penutupan perkembangan
kepribadian yang prematur dan perluasan sifat karakter obsesif yang belum waktunya.
Sebaliknya, tidak adanya pengendalian internal dapat menyebabkan anak gagal untuk
mensublimasikan secara adekuat energi dalam minat belajar dan mengembangkan ketrampilan.
Sifat karakter: Periode latensi seringkali dianggap sebagai suatu periode inaktivitas yang relatif tidak
penting dalam skema perkembangan. Belakangan ini, perhatian yang besar telah ditujukan untuk proses
perkembangan yang terjadi dalam periode ini. Konsolidasi dan penambahan penting terjadi pada
identifikasi pasca-oedipal dasar. Ini adalah periode integrasi dan konsolidasi pencapaian dalam
perkembangan psikoseksual sebelumnya dan menegakkan pola penentu fungsi adaptif. Anak dapat
mengembangkan rasa industri dan kapasitas untuk menguasai objek dan konsep yang memungkinkan
fungsi otonom dan dengan rasa inisiatif tanpa memiliki risiko kegagalan atau kekalahan atau rasa
inferioritas. Pencapaian penting ini perlu diintegrasikan lebih jauh, akhirnya sebagai dasar penting bagi
kepuasan hidup dewasa yang matur dalam pekerjaan dan cinta.
Stadium genital
Definisi: Stadium genital (stadium remaja) dimulai sejak onset pubertas, usia 11 – 13 tahun, hingga
mencapai masa dewasa muda. Ada pendapat yang cenderung untuk membagi stadium ini menjadi periode
pra-remaja, remaja awal, remaja pertengahan, remaja akhir, dan pasca-remaja.
Tujuan: Tujuan utama dari periode ini akhirnya adalah perpisahan dari ketergantungan dan perlekatan pada
orang tua dan penegakkan relasi objek yang matur dan tidak sumbang. Berkaitan dengan hal ini adalah
tercapainya rasa identitas personal yang matur dan penerimaan dan integrasi peran dan fungsi dewasa yang
memungkinkan integrasi adaptif yang baru dengan harapan sosial dan nilai kultural.
Sifat patologis: Penyimpangan patologis karena kegagalan mencapai resolusi yang berhasil dari stadium
perkembangan ini adalah banyak dan kompleks. Defek dapat timbul dari keseluruhan spektrum residu
psikoseksual, karena tugas perkembangan dari periode remaja ini adalah suatu pembukaan kembali dan
pengolahan kembali dan integrasi kembali semua aspek perkembangan tersebut. Resolusi dan fiksasi yang
sebelumnya gagal pada berbagai fase atau aspek perkembangan psikoseksual akan menghasilkan defek
patologis pada kepribadian dewasa yang sedang timbul. Defek yang lebih spesifik dari kegagalan
memecahkan masalah remaja digambarkan sebagai difusi identitas.
Sifat karakter: Resolusi dan reintegrasi yang berhasil dari stadium psikoseksual sebelumnya dari fase
genital yang penuh pada masa remaja menentukan stadium normal bagi kepribadian matur yang lengkap
dengan kapasitas untuk memenuhi dan memuaskan potensi genital dari suatu integrasi diri dan rasa
identitas yang konsisten. Orang tersebut telah mencapai kapasitas yang memuaskan untuk pencapaian diri
(self-realization) dan peran serta yang berarti dalam bidang pekerjaan dan cinta dan dalam penerapan
kreatif dan produktif untuk memuaskan dan menghargai tujuan dan nilai.

12
B. Perkembangan Psikososial: Erik Erikson
Prinsip Epigenetik
Perumusan teori perkembangan Erikson didasarkan pada konsep epigenesis, suatu istilah yang dipinjam
dari embriologi. Prinsip epigenetik menganggap bahwa perkembangan terjadi dalam stadium yang
berurutan dan jelas batasnya dan tiap-tiap stadium harus diselesaikan secara memuaskan guna kelanjutan
perkembangan secara lancar. Menurut model epigenetik, jika resolusi stadium tertentu tidak berhasil,
semua stadium selanjutnya mencerminkan kegagalan dalam bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri
(maladjustment) secara fisik, kognitif, sosial, atau emosional.
Hubungan Dengan Teori Freud
Erikson menerima konsep Freud tentang perkembangan instinktual dan seksualitas infantil. Untuk tiap-tiap
stadium psikoseksual Freud (sebagai contohnya, oral, anal, falik), Erikson menggambarkan suatu zona
yang berhubungan. Tiap-tiap zona mempunyai pola atau cara (mode) perilaku yang spesifik. Jadi, zona oral
disertai dengan perilaku mengisap atau memasukkan, dan zona anal disertai dengan menahan dan
melepaskan. Erikson memusatkan pada kenyataan bahwa perkembangan ego adalah lebih dari hasil
keinginan intra-psikis atau energi psikis sebelah dalam.
Stadium dari Siklus Kehidupan
Erikson menggambarkan delapan stadium siklus kehidupan, stadium mana ditandai oleh satu atau lebih
krisis internal, yang didefinisikan sebagai titik balik (turning point) – suatu periode di mana seseorang
berada di dalam kerentanan yang meningkat. Idealnya, suatu krisis diatasi secara berhasil, dan orang
mendapatkan kekuatan dan mampu untuk pindah ke stadium selanjutnya.

Stadium 1. Kepercayaan vs ketidak-percayaan.


Stadium ini berlangsung sejak lahir sampal kira-kira usia 1 tahun. Kepercayaan lawan ketidakpercayaan
adalah krisis pertama yang harus dihadapi oleh seorang bayi. Erikson menulis di dalam bukunya "Growth
and Crisis of the Healthy Personality": “Untuk komponen pertama dari kepribadian yang sehat saya
menunjuk rasa kepercayaan dasar yang saya pikir merupakan suatu sikap pada seseorang dan dunia yang
didapatkan dari pengalaman dalam tahun pertama kehidupan. Kepercayaan adalah harapan bahwa
kebutuhan seseorang akan diperhatikan dan dunia atau pengasuhnya dapat dipercaya.”
Periode ini bertepatan dengan stadium perkembangan oral dari Freud, di mana mulut merupakan zona
tubuh yang paling sensitif. Menemukan puting payudara, menghisap, dan memasukkan makanan akan
memenuhi kebutuhan primer bayi. Perhatian yang penuh dari ibu terhadap kebutuhan tersebut yang
menimbulkan kepercayaan, selanjutnya akan meletakkan dasar untuk harapan positif bayi di masa
mendatang terhadap dunia. Erikson menambahkan istilah "sensorik" pada stadium oral dari Freud
(disebutnya sebagai oral-sensorik) karena orang tua juga mengikuti indera bayi—penglihatan, pengecapan,
pembauan, raba, dan pendengaran. Melalui interaksi tersebut, bayi mengembangkan perasaan kepercayaan
bahwa keinginannya akan dipuaskan, atau, jika ibunya tidak memperhatikan, bayi mengembangkan rasa
ketidakpercayaan bahwa mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Krisis oral: Pada setengah bagian kedua tahun pertama, terjadi krisis oral. Pada saat tersebut gigi bayi
tumbuh, dan dorongan untuk menggigit terjadi. Bayi berkembang dari semata-mata pasif menjadi semakin
aktif. Tetapi, jika bayi menggigit terlalu aktif, puting payudara dilepaskan. Respon ibu sebagian adalah
dipengaruhi oleh perilakuanya, dan bayi belajar bahwa ia harus mengontrol dorongan untuk menggigit.
Sebagai akibatnya, bayi belajar bahwa mereka dapat mempengaruhi lingkungan, dan mereka mulai
mengembangkan rasa dalam dirinya sendiri sebagai individu yang terpisah dari lingkungan. Di dalam
kultur sekarang ini, penyapihan dari payudara atau botol dimulai pada akhir fase ini. Erikson percaya
bahwa perpisahan adalah dasar dari rasa sedih, nostalgia, atau kerinduan. Akan tetapi, jika kepercayaan
dasar terbentuk dengan kuat maka anak akan mengembangkan pengertian harapan, optimisme, dan
kepercayaan diri.
Seorang ibu atau pengganti ibu yang mencintai dan penuh kasih sayang serta memberikan perawatan yang
konsisten dan berkualitas kepada anak akan memberikan dasar bagi perkembangan kepercayaan. Menurut
Erikson, pencapaian sosial pertama dari bayi adalah kemauannya untuk membiarkan ibunya di luar
jangkauan penglihatannya tanpa kecemasan atau kemarahan yang tidak semestinya. Hal tersebut terjadi
karena ibu menjadi suatu kepastian inti (inner certainity) di dalam gambaran mental bayi. Konsep yang

13
sejalan adalah konsep dari Jean Piaget mengenai keabadian objek (object permanence)—di mana
kemampuan anak untuk mempertahankan citra mental seseorang atau objek, bahkan jika orang atau objek
tersebut tidak terlihat—dan dengan konsep Margaret Mahler tentang keteguhan objek (object constancy),
di mana anak mempunyai gambaran mental tentang ibunya sebagai yang dapat dipercaya dan stabil.

Stadium 2. Otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu.


Stadium ini berlangsung kira-kira pada usia 1 sampai 3 tahun. Otonomi merupakan rasa penguasaan anak
terhadap dirinya sendiri dan terhadap dorongan dan desakannya. Anak yang baru belajar berjalan
merasakan bahwa mereka terpisah dari yang lainnya. "Saya," "kamu," dan "milikku" adalah kata-kata yang
sering digunakan oleh anak-anak selama periode ini. Anak memiliki pilihan mempertahankan atau me-
lepaskan, bekerja sama atau keras kepala. Periode ini bertepatan dengan stadium perkembangan anal dari
Freud. Bagi Erikson, periode ini adalah waktu untuk anak menahan fesesnya (holding in) atau
mengeluarkan feses (letting go).
Anak-anak dalam tahun kedua dan ketiga kehidupannya belajar untuk berjalan sendirian, makan sendiri,
mengontrol sfingter anal, dan untuk berbicara. Maturasi muskular tersebut menentukan sifat stadium
perkembangan ini. Jika orang tua mengijinkan anak untuk berfungsi secara otonom dan bersikap
membantu tanpa bersikap overprotective maka anak mendapatkan kepercayaan diri dan merasa bahwa
mereka dapat mengontrol dirinya sendiri dan dunianya. Sebaliknya, jika anak dihukum karena bersikap
otonom atau dikontrol secara berlebihan, mereka merasa marah dan dipermalukan. Jika orang tua
menunjukkan persetujuan tentang kontrol diri sendiri maka harga diri anak akan meningkat dan rasa
kebanggaan akan berkembang. Kontrol yang berlebihan dari orang tua atau bila anak kehilangan kontrol
diri akan menimbulkan rasa ragu-ragu dan malu.

Stadium 3. Inisiatif vs rasa bersalah.


Stadium ini berhubungan dengan fase falik-oedipal dari Freud (usia 3 sampai 5 tahun). Selama periode ini,
anak mengembangkan rasa ingin tahu tentang seksual yang dimanifestasikan dengan terlibat dalam “per-
mainan” seks kelompok atau “menyentuh” genitalianya sendiri atau genital ia teman sebayanya. Jika orang
tua tidak membuat masalah tentang dorongan masa anak-anak tersebut maka dorongan akhirnya ditekan
dan tampak kembali selama masa remaja sebagai bagian dari pubertas. Sebaliknya, jika orang tua terlalu
banyak mempermasalahkan dorongan tersebut, anak dapat menjadi terhambat secara seksual.
Saat anak mendekati akhir tahun ketiga, mereka mampu untuk memulai aktivitas motorik maupun
intelektual. Apakah inisiatif akan diperkuat adalah tergantung pada berapa banyak kebebasan yang
diberikan pada anak dan bagaimana baiknya keingintahuan intelektual mereka dipuaskan. Jika anak dibuat
untuk merasa tidak mampu tentang perilaku atau minatnya, mereka mungkin keluar dari periode ini dengan
rasa bersalah tentang aktivitas yang berasal dari inisiatif diri sendiri. Konflik di sekitar inisiatif dapat
menghalangi anak yang sedang berkembang untuk mengalami potensi sepenuhnya dan dapat mengganggu
perasaan ambisi mereka, yang berkembang selama stadium ini.
Anak mampu untuk bergerak secara mandiri dan aktif pada akhir stadium ini. Saat bermain dengan teman
sebayanya, anak belajar bagaimana untuk berinteraksi dengan orang lain. Jika fantasi yang agresif telah
ditangani dengan tepat (tidak dihukum maupun didorong), anak mengembangkan rasa inisiatif dan ambisi.
Pada akhir stadium inisiatif lawan rasa bersalah, kesadaran anak (superego dari Freud) akan terbentuk.
Anak belajar tidak hanya bahwa terdapat batas-batas terhadap perilaku sandiwara seseorang (sebagai
contohnya, bahwa anak laki-laki tidak dapat tidur dengan ibunya atau tidak dapat membunuh ayahnya)
tetapi juga dorongan agresif dapat diekspresikan dalam cara yang konstruktif, seperti kompetisi yang sehat,
permainan, dan menggunakan mainan. Perkembangan suatu kesadaran menentukan sifat perasaan moral
tentang benar dan salah. Tetapi, hukuman yang berlebihan dapat membatasi imajinasi dan inisiatif anak.
Anak yang mengembangkan superego yang terlalu kuat atau anak dengan kualitas “semua atau tidak sama
sekali”, dapat menuntut bahwa orang lain harus mematuhi peraturan moral mereka dan, dengan demikian,
dapat menjadi berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain. Jika krisis inisiatif diselesaikan dengan
berhasil, rasa tanggung jawab, dapat diandalkan, dan disiplin diri berkembang.

Stadium 4. Industri vs inferioritas.


Stadium ini adalah periode usia sekolah (usia 6 sampai 11 tahun), selama mana anak mulai berperan serta
di dalam program belajar yang terstruktur. Stadium ini adalah ekuivalen dengan periode latensi dari Freud,

14
di mana dorongan biologis terhenti dan terjadi interaksi yang kuat dengan teman sebaya. Di dalam semua
budaya, anak mendapatkan instruksi formal pada usia kira-kira 6 tahun; di dalam budaya Barat, anak
belajar untuk menjadi terpelajar dan teknis. Pada masyarakat lain, belajar dapat termasuk menjadi akrab
dengan alat/perkakas dan senjata. Industri, yaitu kemampuan untuk bekerja dan mendapatkan keterampilan
dewasa, adalah kunci dari stadium ini. Anak-anak belajar bahwa mereka mampu untuk membuat sesuatu
dan, yang paling penting, mampu untuk menguasai dan menyelesaikan tugasnya. Jika ditekankan terlalu
besar pada aturan-aturan, kaidah-kaidah, seharusnya, dan semestinya, anak akan mengembangkan perasaan
kewajiban secara berlebihan terhadap dorongan bekerja yang alamiah. Anak yang produktif belajar kenik-
matan kompetisi kerja dan kebanggaan dalam melakukan sesuatu yang baik.
Perasaan ketidakmampuan dan inferioritas, suatu hasil negatif yang potensial dari stadium ini, dise babkan
oleh beberapa sumber: Anak-anak mungkin dibedakan dalam sekolah; anak-anak mungkin dikatakan
sebagai anak yang kurang cerdas; anak-anak mungkin dilindungi secara berlebihan di rumah atau sangat
tergantung pada bantuan emosional keluarganya; anak-anak mungkin membandingkan dirinya sendiri
secara tidak baik dengan orang tuanya yang berjenis kelamin sama. Guru dan orang tua yang baik yang
mendorong anak ke nilai-nilai ketekunan dan produktivitas dan gigih dalam usaha yang sulit adalah
benteng terhadap rasa inferioritas.
Bilamana Freud menempatkan sebagian besar kesalahan atau pujian untuk perkembangan anak dalam
tanggungan orang tua, Erikson menekankan situasi sosial yang sensitif dapat menetralkan sikap orang tua
yang tidak mendukung. Sebaliknya, lingkungan sekolah yang mencemarkan atau tidak menguntungkan
anak dapat menghilangkan harga diri anak, bahkan jika orang tuanya menghargai sikap ketekunan anaknya
di rumah.

Stadium 5. Identitas vs difusi.


Stadium ini berlangsung dari usia 11 tahun sampai akhir masa remaja. Mengembangkan rasa identitas
adalah tugas utama dari periode ini, yang bertepatan dengan masa pubertas dan masa re maja. Identitas
didefinisikan sebagai karakteristik yang membentuk seseorang dan ke mana tujuan mereka. Identitas yang
sehat dibangun pada keberhasilan mereka melewati stadium yang lebih awal. Bagaimana keberhasilan
mereka mendapatkan kepercayaan, otonomi, inisiatif, dan industri mempunyai banyak pengaruh dengan
perkembangan rasa identitas. Identifikasi dengan orang tua atau pengganti orang tua yang sehat akan
mempermudah proses.
Identitas berarti suatu rasa kekompakan inti dengan ide dan nilai-nilai kelompok sosial. Masa remaja
merupakan masa di mana berbagai peranan diuji. Remaja mungkin melakukan beberapa kesalahan awal se-
belum memutuskan suatu pekerjaan atau mungkin keluar dari sekolah, dan kembali di kemudian hari untuk
menyelesaikan pendidikannya. Nilai moral mungkin berubah, tetapi akhirnya suatu sistem etika
digabungkan ke dalam kerangka kerja organisasi yang logis.
Krisis identitas: Suatu krisis identitas terjadi pada akhir masa remaja. Erikson menyebutnya sebagai suatu
krisis normatif, karena merupakan suatu peristiwa yang normal. Kegagalan untuk mengatasi stadium ini
meninggalkan anak remaja tanpa identitas yang kokoh; orang menderita difusi identitas atau kebingungan
peran, yang ditandai dengan tidak memiliki rasa diri dan kebingungan tentang posisinya di dunia.
Kebingungan peran (role confusion) dapat bermanifestasi dalam kelainan perilaku tertentu seperti
melarikan diri, kriminalitas, dan psikosis yang nyata. Masalah dalam identitas jenis kelamin (gender
identity) dan peranan seksual menjadi tampak pada saat ini. Anak remaja mungkin bertahan terhadap
kebingungan peran dengan bergabung dalam kelompok kecil atau dengan mengidentifikasi diri dengan
pahlawan-pahlawan rakyat.

Stadium 6. Keintiman vs absorpsi-diri atau isolasi.


Periode ini dimulai dari masa remaja akhir sampai masa usia pertengahan awal (usia 21 sampai 40 tahun).
Erikson menyatakan bahwa konflik psikososial yang penting dapat timbul selama stadium ini dan, seperti
pada stadium sebelumnya, keberhasilan atau kegagalan tergantung pada bagaimana baiknya dasar yang
telah diletakkan dalam periode yang lebih awal dan bagaimana seorang dewasa muda berinteraksi dengan
lingkungan.
Keintiman hubungan seksual, persahabatan, dan semua pergaulan yang dalam merupakan hal yang tidak
menakutkan bagi orang dengan krisis identitas yang telah terpecahkan. Sebaliknya, orang yang mencapai
tahun dewasa dalam keadaan kebingungan peran berkepanjangan akan tidak mampu untuk menjadi terlibat

15
dalam hubungan yang kuat dan lama. Tanpa seorang teman atau pasangan perkawinan, seseorang dapat
menjadi terabsorbsi dengan dirinya sendiri dan menuruti kata hatinya sendiri; sebagai akibatnya, suatu
perasaan terisolasi dapat tumbuh sampai proporsi yang berbahaya.
Di dalam keintiman yang sesungguhnya terdapat hubungan satu sama lain. Jika anak mencapai inisiatif
dalam genitalitas, kenikmatan sensual pada masa anak-anak bergabung dengan ide orgasme genital, dan
dalam masa dewasa mudanya itu mampu untuk bercinta dan membagi cinta dengan orang lain. Melalui
krisis keintiman lawan isolasi, seseorang lebih mementingkan eksklusivitas ketergantungan yang lebih
awal dan mendapatkan hubungan yang saling menguntungkan dengan kelompok sosial yang lebih luas dan
bermacam-macam. Erikson mengutip pandangan Freud bahwa seseorang yang normal harus mampu
mencinta dan bekerja (lieben und arbeiten).

16
Stadium 7. Generativitas vs stagnasi.
Selama dasawarsa yang terentang dalam tahun-tahun pertengahan kehidupan (usia 40 sampai 65 tahun),
orang dewasa memilih antara generativitas dan stagnasi. Generativitas bukan hanya mempermasalahkan
seseorang memiliki atau membesarkan anak-anak tetapi juga termasuk minat yang vital terhadap
lingkungan di luar rumah dalam membentuk dan memimpin generasi yang akan datang atau memperbaiki
masyarakat.
Orang yang tanpa anak dapat bersifat generatif jika mereka mengembangkan rasa altruisme
(mementingkan kepentingan orang lain) dan kreativitas. Tetapi sebagian besar orang, jika mampu, ingin
melanjutkan kepribadian dan energinya dalam menghasilkan dan perawatan keturunannya. Namun
demikian, menginginkan atau memiliki anak, tidak memastikan generativitas. Orang tua harus mencapai
identitasnya sendiri secara berhasil untuk dapat benar-benar generatif.
Orang dewasa yang tidak mempunyai minat dalam memimpin atau membentuk generasi yang mendatang
kemungkinan mencari secara obsesif keintiman yang tidak benar-benar intim. Orang tersebut kemungkinan
menikah dan bahkan menghasilkan anak-anak tetapi semuanya dalam suatu kepompong masalah diri
sendiri dan isolasi. Orang tersebut memanjakan dirinya sendiri seakan-akan mereka adalah anak-anak dan
menjadi asyik dengan dirinya sendiri.
Sebenarnya, orang tua yang tidak benar-benar yakin bahwa kehidupan di dalam lingkungan tertentu adalah
bermanfaat mungkin menemukan bahwa anak-anak mereka menyerap pesan tersebut hanya terlalu baik,
hasilnya adalah tidak mempunyai cucu-cucu. Stagnasi adalah suatu keadaan mandul. Ketidakmampuan
untuk mengatasi tidak adanya kreativitas adalah berbahaya karena orang tidak mampu untuk menerima
kenyataan ini.

Stadium 8. Integritas vs keputus-asaan dan isolasi.


Usia tua (di atas usia 65 tahun) adalah stadium kedelapan dari siklus kehidupan Erikson. Stadium
digambarkan sebagai konflik antara integritas (rasa kepuasan yang dirasakan seseorang sebagai
pencerminan kehidupan yang produktif) dan keputus-asaan (rasa bahwa kehidupan mempunyai sedikit
tujuan atau arti). Masa dewasa akhir dapat merupakan suatu periode kesenangan – suatu waktu untuk
bersenang-senang dengan cucu-cucu misalnya – untuk mengingat usaha besar seseorang, dan kemung-
kinan untuk melihat buah yang dihasilkan seseorang digunakan secara baik oleh generasi yang lebih muda.
Integritas memungkinkan penerimaan tempat di dalam siklus kehidupan dan pengetahuan bahwa
kehidupan seseorang adalah tanggung jawabnya sendiri.
Tanpa keyakinan bahwa kehidupan seseorang telah berarti bagi orang lain dan bahwa seseorang telah
memberikan sumbangan, baik dengan menghasilkan anak-anak yang senang atau dengan memberi pada
generasi selanjutnya, orang lanjut usia merasa takut akan kematian dan mempunyai rasa putus asa. Orang
yang membenci orang lain atau orang yang merendahkan orang lain disebut sebagai orang yang berada
dalam keadaan putus asa.
Erikson juga menulis tentang masalah orang yang berusia di atas 85 tahun yang harus menyeimbangkan
otonomi dengan kebutuhan nyata untuk pertolongan (sebagai contohnya, bantuan fisik dan ekonomi).
Setiap orang harus mengenali bahwa menjadi tua memerlukan persiapan yang aktif, yang harus dimulai
pada stadium kehidupan yang lebih awal. Karena masyarakat belum disiapkan untuk memenuhi kebutuhan
orang yang sangat lanjut usia, tanggung jawab terbesar tetap di tangan individu itu sendiri.
Di dalam kata-kata kesimpulan tentang stadium ini dalam bukunya "Childhood and Society," Erikson me-
nulis hal berikut ini: "Anak- anak yang sehat tidak akan merasa takut akan kehidupan jika orang tuanya
mempunyai integritas yang cukup untuk tidak merasa takut mati."

C. Perkembangan Kognitif: Jean Piaget


Beberapa Konsep dalam Teori Piaget
Ada beberapa konsep yang perlu dimengerti agar lebih muda memahami teori perkembangan kognitif dan
teori pengetahuan Piaget.
Inteligensi. Claparede dan Stern mendefinisikan inteligensi sebagai suatu adaptasi mental pada lingkungan
baru. Gardner (1993) menjelaskan inteligensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan-persoalan
17
atau menghasilkan produk. Piaget sendiri mengartikan inteligensi secara lebih luas dan tidak
mendefinisikannya secara ketat. Ia memberikan beberapa definisi yang umum yang lebih mengungkapkan
orientasi biologis. Berikut bebebrapa dari pernyataan Piaget tentang inteligensi:
 Inteligensi adalah contoh khusus adaptasi biologis.
 Inteligensi adalah suatu bentuk ekuilibrium ke arah mana semua struktur yang menghasilkan persepsi,
kebiasaan, dan mekanisme sensorimotor di arahkan.
Secara progresif, dapat dikatakan bahwa: inteligensi membentuk keadaan ekuilibrium, ke arah mana semua
adaptasi sifat-sifat sensorimotor dan kognitif serta interaksi-interaksi asimilasi dan akomodasi antara
organisme dan lingkungan mengacu.
Dalam bebebrapa definisi di atas, tampak menonjol unsur adaptasi dan ekuilibrium (keseimbangan) antara
seseorang atau organisme dengan lingkungannya sehingga ia dapat tetap hidup. Di situ ada keharmonisan
antara seseorang atau struktur kognitif seseorang dengan lingkungannya. Inteligensi dalam arti ini
merupakan alat atau cara yang memungkinkan individu mencapai keseimbangan atau menyesuaikan diri
(beradaptasi) dengan lingkungannya. Selain itu, menurut Piaget, tidak ada inteligensi yang sudah jadi.
Inteligensi mengalami perkembangan dalam langkah-langkah intelektual. Sekali lagi bagi Piaget,
inteligensi mencakup adaptasi biologis, ekuilibrium antara individu dan lingkungan, perkembangan yang
gradual, kegiatan mental, dan kompetensi.
Organisasi. Organisasi menunjuk pada tendensi semua spesies untuk mengadakan sistematisasi dan
mengorganisasi proses-proses mereka dalam suatu sistem yang koheren, baik secara fisis maupun
psikologis. Misalnya, seekor burung mempunyai struktur yang memungkinkan ia berfungsi di udara secara
efisien. Dalam tingkat psikologis, tendensi untuk berorganisasi ini juga ada. Dalam berinteraski dengan
dunia luar, seseorang cenderung untuk mengintegrasikan struktur psikologisnya dalam suatu sistem yang
koheren. Contoh, bayi yang yang sangat muda mempunyai kemampuan untuk melihat benda dan juga
kemampuan untuk menjamahnya. Pada awalnya, ia belum dapat menggabungkan kedua tindakan tersebut
(melihat dan menjamah). Setelah beberapa waktu, ia mengorganisasikan kedua tindakan itu dalam suatu
struktur yang lebih tinggi yang memungkinkan ia menjamah sesuatu waktu melihatnya. Dengan demikian,
organisasi adalah suatu tendensi yang umum untuk semua bentuk kehidupan guna mengintegrasikan
struktur, baik fisik maupun psikologis, dalam suatu sistem yang lebih tinggi.
Skema. Skema adalah suatu struktur mental seseorang di mana ia secara intelektual beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya. Skema itu akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan kognitif seseorang.
Skema bukanlah benda yang nyata yang dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem
kesadaran seseorang. Oleh karena itu, skema tidak mempunyai bentuk fisis dan tidak dapat dilihat. Skema
dapat juga diterangkan sebagai suatu konsep atau kategori dalam pikiran seseorang. Skema seseorang itu
terus-menerus berkembang. Skema seorang anak berkembang menjadi skema orang dewasa. Gambaran
dalam pikiran anak semakin berkembang dan lengkap. Misalnya, skema (gambaran) awal anak tentang
kucing sangat tergantung dari ceritera orang tua dan pengalaman pertamanya dengan seekor kucing
tertentu. Kemudian, seiring dengan bertambahnya pengalaman terhadap bermacam-macam kucing, skema
anak tentang kucing semakin berkembang dan lengkap. Dengan kata lain, skema seseorang akan semakin
banyak seiring dengan pengalaman hidupnya.
Asimilasi. Asimilasi adalah proses kognitif di mana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang
sebagai suatu proses kognitif untuk menempatkan dan untuk mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan
yang baru ke dalam skema yang telah ada. Setiap orang secara terus-menerus mengembangkan proses ini.
Menurut Wadsworth, asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, tetapi memperkembangkan skema.
Misalnya, seorang anak mempunyai konsep mengenai lembu. Dalam pikiran anak itu ada skema lembu.
Mungkin skema anak itu menyatakan bahwa lembu itu binatang yang berkaki empat, berwarna putih dan
makan rumput. Skema itu terjadi waktu anak tersebut melihat lembu tetangganya yang memang berwarna
putih, berkaki empat, dan sedang makan rumbut. Dalam perjalanan hidupnya, anak itu bertemu dengan
bermacam-macam lembu yang lain, yang warnanya lain, dan sedang tidak makan rumbut tetapi sedang
menarik gerobak. Berhadapan dengan pengalaman yang lain itu, anak memperkembangkan skema
awalnya. Skemanya menjadi: ‘lembu itu binatang berkaki empat, dapat berwarna putih atau kelabu,
makanannya rumput dan dapat menarik gerobak’. Jelas bahwa skema lembu anak itu menjadi bertambah
lengkap. Skema awalnya tidak hanya tetap dipakai, tetapi juga dikembangkan dan dilengkapi. Asimilasi
tersebut merupakan salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan
lingkungan/tantangan baru sehingga pengertian orang itu berkembang.
18
Akomodasi. Berkaitan dengan skema seseorang, dapat saja terjadi bahwa dalam menghadapi rangsangan
atau pengalaman baru, seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang
telah ia miliki. Hal ini terjadi karena pengalaman yang baru itu sama sekali tidak cocok dengan skema
yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini, orang tersebut akan mengadakan akomodasi. Ia dapat membuat
dua hal: pertama, ia membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru, atau kedua,
ia memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Kedua hal ini disebut akomodasi,
yaitu pembentukan skema baru atau mengubah skema yang lama. Misalnya, seorang anak perempuan
mempunyai suatu skema bahwa semua benda padat akan tenggelam dalam air. Skema ini didapat dari
abstraksinya terhadap pengalamannya akan benda-benda yang dimasukkan ke dalam air. Suatu hari, ia
melihat beberapa benda padat yang terapung di atas air sungai. Ia merasakan bahwa skema lamanya tidak
cocok lagi. Ia mengalami konflik dalam pikirannya. Ia harus mengadakan perubahan skema lama dengan
skema baru yang berisi: ‘tidak semua benda padat tenggelam dalam air’. Skema seseorang dibentuk oleh
pengalaman sepanjang waktu. Skema menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan seseorang saat ini
tentang dunia sekitarnya. Skema ini suatu konstruksi, bukan tiruan dari kenyataan dunia yang ada. menurut
Piaget, proses asimilasi dan akomodasi ini terus berlangsung dalam diri seseorang.
Ekuilibrasi. Dalam perkembangan kognitif, diperlukan kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Proses itu disebut ekuilibrium, yaitu pengaturan diri mekanis (mechanical self-regulation) yang perlu
untuk mengatur kesetimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Disekuilibrium adalah keadaan tidak
setimbang antara asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrasi adalah proses bergerak dari keadaan disekuilibrium
ke ekuilibrium. Proses tersebut berjalan terus dalam diri seseorang melalui asimilasi dan akomodasi.
Ekuilibrasi membuat seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skema).
Bila terjadi ketidaksetimbangan, seseorang dipacu untuk mencari kesetimbangan yang baru dengan
asimilasi atau akomodasi (Wadsworth, 1989).
Adaptasi. Semua organisme dilahirkan dengan suatu kecenderungan untuk beradapatasi (menyesuaikan
diri) dengan lingkungan. Cara beradaptasi berbeda bagi setiap jenis makhluk, bagi setiap individu dalam
jenis yang sama, maupun bagi tahap yang satu ke tahap yang lain dalam satu individu. Adaptasi terjadi
dalam suatu proses: asimilasi dan akomodasi. Di suatu pihak, seseorang menyatukan atau
mengasimilasikan gambaran akan realitas luar dalam struktur psikologisnya (skema) yang sudah dimiliki
untuk disesuaikan (dicocokan) dengan lingkungan. Tetapi, di lain pihak, kadang-kadang seseorang harus
mengubah skema itu dalam berhubungan dengan lingkungannya. Proses ini disebut adapatasi.
Pengetahuan figuratif dan operatif. Piaget membedakan antara pengetahuan figuratif dan pengetahuan
operatif. Pengetahuan figuratif didapatkan dari gambaran langsung seseorang terhadap objek yang
dipelajari. Misalnya, pengetahuan akan nama-nama barang dan nama-nama kota. Pengetahuan operatif
didapatkan karena orang itu mengadakan operasi terhadap objek yang dipelajari. Misalnya, pengetahuan
anak akan kaitan nama kota dengan situasi manusianya dan dengan kota-kota yang lain. Pengetahuan
seseorang akan bilangan juga merupakan pengetahuan operatif.
Stadium-Stadium Perkembangan Kognitif
Piaget menggambarkan empat stadium utama yang mengarah pada kemampuan orang dewasa untuk
berpikir. Masing-masing stadium diperlukan untuk stadium selanjutnya yang terjadi kemudian. Tetapi
kecepatan anak-anak melalui stadium yang berbeda adalah bervariasi tergantung pada anugerah alami dan
keadaan lingkungan. Keempat stadium tersebut adalah: stadium sensorimotorik, stadium pikiran
praoperasional, stadium operasional konkrit, dan stadium operasional formal. Piaget membagi stadium ini
menjadi enam substadium.
Perubahan kualitatif serta urutan manifestasi kemampuan kognitif itu dianggap sebagai sesuatu yang
berlaku universal dan berkembang sebagai suatu proses interaktif yang berkesinam-bungan antara individu
(anak) dengan lingkungannya.
Menurut Piaget cara berpikir yang merupakan petunjuk adanya kemampuan kognitif yang sebenarnya
adalah ciri-ciri berpikir yang memiliki sifat-sifat operasional. Kemampuan berpikir secara operasional
dicapai pada stadium ketiga, yaitu antara usia 7 – 11 tahun.
Sifat operasional ini ditandai oleh tiga hal, yaitu:
Pertama: Cara berpikir itu harus reversible, yang berarti bahwa arah pemikiran dapat kembali pada
asal mulanya. Contoh: suatu bentuk pemikiran matematik sederhana searah 5 + 3 = 8. Suatu pemikiran
yang reversible adalah pemikiran yang dapat dimengerti bahwa 8 itu dapat kembali ke 5 dengan

19
mengurangi apa yang ditambahkan tadi yaitu 3. Selain itu anak juga harus mampu mengikuti urutan suatu
ceritera dari A sampai Z, dan kemudian menelusurinya kembali dari Z kembali ke A.
Kedua: Cara berpikir itu harus memiliki sifat integratif dan asosiatif, yang artinya bahwa pemikiran
itu dapat mengintegrasikan dan menghubung-hubungkan satu pikiran dengan pikiran lainnya menurut
logika. Contoh pemikiran yang tidak memiliki sifat-sifat ini adalah: “Tuhan itu baik”, “Dokter itu baik”.
Jadi Tuhan sama dengan Dokter. Hubungan ini bukan berdasarkan hubungan asosiatif yang logis.
Pemikiran di sini hanya dipusatkan pada satu detail saja, yaitu baik, dan tidak melihat secara keseluruhan.
Detail tidak diintegrasikan dalam keseluruhan, seolah-olah berdiri sendiri-sendiri
lepas dari hubungannya dengan sifat-sifat yang lain.
Ketiga: Cara berpikir itu harus internal, yang artinya bahwa jalannya pikiran tidak lagi bergantung
pada hal-hal konkrit (nyata) di luar dirinya.
Stadium sensorimotorik (lahir - 2 tahun).
Jean Piaget mengunakan istilah “sensorimotorik” untuk menggambarkan stadium ini karena bayi pertama
kali mulai belajar melalui observasi sensorik, dan mereka mendapatkan pengendalian fungsi motoriknya
melalui aktivitas, eksplorasi, dan manipulasi lingkungan. Sejak permulaan, aspek biologi dan pengalaman
bercampur untuk menghasilkan perilaku yang dipelajari. Sebagai contohnya, bayi dilahirkan dengan
refleks menghisap. Suatu jenis pelajaran terjadi jika bayi mengubah bentuk mulutnya dan menemukan
lokasi puting payudara. Stimulus diterimanya, dan dihasilkan respon, deisertai dengan perasaan kesadaran
bahwa hal tersebut merupakan skema atau konsep elementer. Saat bayi menjadi lebih banyak bertindak,
satu skema dibangun di atas skema lain, dan skemata yang baru dan lebih kompleks dikembangakan.
Dunia spatial, visual, dan taktil dari bayi meluas selama periode ini, dan anak secara aktif berinteraksi
dengan lingkungannya, dengan menggunakan pola perilaku yang dipelajari sebelumnya. Sebagai
contohnya, setelah belajar bagaimana menggunakan suatu mainan yang digoyang-goyangkan, bayi
mengoyangkan setiap mainan baru mirip dengan mainan yang telah dipelajari sebelumnya. Bayi juga
menggunakan mainan tersebut dengan cara yang baru.
Pencapaian kritis dari periode ini adalah perkembangan permanensi objek atau skema tentang objek
permanen. Istilah tersebut berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengerti bahwa objek mempunyai
eksistensi yang tidak tergantung pada keterlibatan anak dengan objek tersebut. Bayi belajar bagaimana
membedakan diri mereka sendiri dari dunia dan mampu mempertahankan citra mental dari suatu objek,
bahkan jika objek tidak ada dan tidak terlihat.
Jika objek dijatuhkan di depan bayi, mereka melihat ke bawah ke lantai untuk mencari objek; yaitu,
mereka berkelakuan untuk pertama kalinya seakan-akan objek mempunyai kenyataan di luar dirinya.
Pada kira-kira usia 18 bulan, bayi mulai mengembangkan simbol mental dan mengunakan kata-kata, suatu
proses yang disebut simbolisasi. Bayi mampu menciptakan citra visual berupa bola atau simbol mental
kata “bola” untuk menyatakan atau menandakan objek yang nyata. Perwakilan mental tersebut
memmungkinkan anak beroperasi pada tingkat konseptual yang baru. Pencapaian permanensi objek
menandai transisi dari stadium sensorimotorik ke stadium praoperasional.
Kesimpulan: Tugas perkembangan utama untuk bayi pada stadium ini adalah:
 Mengkoordinasi dan mengintegrasikan berbagai sata sensorik dan pengalaman motorik.
 Mengenal adanya dunia objek di luar dirinya, sebagai suatu tempat permanen dan mempunyai sifat-
sifatnya sendiri.
 Melakukan gerakan-gerakan yang terarah dan bertujuan.
Stadium pra-operasional (2 sampai 7 tahun).
Selama periode pikiran praoperasional, anak menggunakan simbol dan bahasa secara lebih luas
dibandingkan pada stadium sensorimotorik. Berpikir dan memperhitungkan adalah berada pada tingkat
intuitif pada anak di mana anak belajar tanpa menggunakan pertimbangan. Anak tidak mampu berpikir
secara logis atau secara deduktif, dan konsep mereka adalah primitif; mereka dapat menamakan suatu
benda tetapi tidak dapat menamakan kelas benda. Peristiwa-peristiwa tidak dihubungkan dengan logika.
Pada awal stadium ini, jika anak menjatuhkan sebuah gelas dan memecahkannya, mereka tidak
mempunyai pengertian tentang sebab dan akibat. Juga, anak pada stadium ini tidak mampu untuk
mendapatkan kesamaan dari suatu benda dalam situasi yang berbeda; boneka yang sama di dalam kotak, di
tempat tidur, atau di kursi dirasakan sebagai tiga benda yang berbeda. Selama waktu ini, benda-benda

20
dilambangkan dengan fungsinya. Sebagai contoh, anak menggambarkan sebuah sepeda sebagai “untuk
mengendarai” dan sebuah lubang sebagai “untuk menggali”.
Pada stadium ini, anak mulai menggunakan bahasa dan gambar dalam cara yang lebih terperinci. Dari
ungkapan-ungkapan satu kata, berkembang frasa dua kata, yang terdiri dari satu kata benda dan satu kata
kerja atau satu kata benda dan satu kata sifat. Anak mungkin berkata: “Budi makan” atau “Budi bangun”.
Anak di dalam stadium praoperasional tidak mampu untuk menghadapi dilema moral, walaupun mereka
mempunyai perasaan tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Sebagai contohnya, jika ditanya, “Siapa
yang lebih bersalah: orang yang memecahkan satu piring dengan sengaja atau orang yang memecahkan 10
piring dengan tidak sengaja?” Anak kecil biasanya menjawab: “ … orang yang memecahkan 10 piring
dengan tidak disengaja adalah yang lebih bersalah karena lebih banyak piring yang pecah.” Anak dalam
stadium ini mempunyai perasaan keadilan yang tetap ada (immanent justice), suatu kepercayaan bahwa
hukuman untuk perbuatan jahat adalah tidak tepat dihindarkan.
Selama stadium ini, anak digambarkan sebagai egosentrik. Mereka melihat dirinya sendiri sebagai pusat
dari dunia, mereka mempunyai titik pandangan yang terbatas, dan mereka tidak mampu untuk mengambil
peran orang lain. Sebagai contoh, anak-anak tidak mendengarkan perintah untuk tenang karena kakaknya
sedang belajar. Malahan, pikiran egosentrik menghalangi pemahaman tentang titik pandang kakaknya.
Selama stadium ini, anak juga menggunakan sejenis pikiran magis, yang disebut kausalitas fenomenalistik,
dimana peritiwa-peristiwa yang terjadi bersamaan dipikir sebagai penyebab peristiwa lainnya (sebagai
contohnya guntur menyebabkan kilat dan pikiran buruk menyebabkan kecelakaan). Di samping itu, anak
menggunakan pikiran animistik, yaitu kecenderungan untuk memberikan peristiwa fisik dan benda-benda
dengan atribut psikososial yang seakan-akan hidup, seperti perasaan dan maksud.
Fungsi semiotik: Sungsi semiotik terjadi selama periode praoperasional. Dengan kemampuan yang baru
ini, anak dapat melambangkan sesuatu—seperti suatu benda, peristiwa, atau skema konseptual—dengan
suatu penekanan, yang merupakan fungsi perlambangan (sebagai contohnya, bahasa, citra mental, isyarat
simbolik).
Selama stadium ini, anak mampu untuk menggunakan simbol atau suatu tanda untuk mempertahankan
sesuatu yang lain. Menggambar adalah suatu fungsi semiotik yang awalnya dilakukan sebagai latihan yang
menggembirakan tetapi akhirnya menyatakan sesuatu yang lain di dalam dunia nyata.
Kesimpulan sifat-sifat pra-operasional dalam stadium ini mudah dikenal karena ciri-ciri berikut:
 Sifat pemikiran yang tidak reversibel (irreversibility).
 Sifat pemikiran yang berpusat pada satu detail, sehingga kedudukan detail itu dalam keseluruhan
dilupakan (centration).
 Sifat pemikiran transduktif yang merupakan konsekuensi dari sifat pemikiran yang irreversibility dan
centration. Contoh: bila A sama dengan B dalam satu hal maka A sama dengan B dalam segala hal
(transductivity).
 Sifat pemikiran yang egosentris, artinya bahwa anak itu tidak dapat menerima pendapat orang lain
tanpa melepaskan pendapatnya sendiri (egocentrisity).
Stadium operasional konkrit (7 sampai 11 tahun).
Stadium operasional konkrit dinamakan demikian karena dalam periode ini anak bertindak dan bekerja
pada dunia benda dan peristiwa yang konkritnya dan dapat dipahami. Pikiran egosentrik digantikan oleh
pikiran operasional, yang berupa memperhatikan dan mengatasi berbagai informasi di luar anak. Dengan
demikian seorang anak sekarang dapat melihat sesuatu dari pandangan orang lain.
Anak-anak dalam stadium ini mulai menggunakan proses berpikir logika yang terbatas dan mampu untuk
menghubungkan, mengurutkan, dan mengelompokkan benda-benda di dalam kelas-kelasnya secara
silogistik (sylogistic reasoning), di mana suatu kesimpulan logis dibentuk dari dua alasan, terjadi pada
stadium ini; sebagai contohnya, semua kuda adalah hewan mamalia (alasan); semua mamalia adalah hewan
berdarah panas (alasan); dengan demikian semua kuda adalah hewan berdarah panas (kesimpulan). Anak-
anak mampu untuk mempertimbangkan dan mengikuti aturan dan peraturan. Mereka mampu mengatur diri
mereka sendiri dan mulai mengembangkan suatu perasaan moral dan suatu nilai-nilai peraturan. Anak-anak
yang menjadi terpaku secara berlebihan dalam aturan-aturan dapat menunjukkan perilaku absesif-
kompulsif; anak-anak yang menolak suatu nilai peraturan kadang-kadang terlihat sengaja dan tidak aktif.

21
Hasil perkembangan yang diharapkan dari stadium ini adalah anak mampu mendapatkan rasa hormat yang
sehat terhadap aturan dan mengerti bahwa terdapat pengecualian aturan yang dibenarkan.
Konservasi adalah kemampuan untuk mengenali bahwa, walaupun bentuk dan kondisi benda mungkin
berubah, benda-benda masih mempertahankan atau memiliki karakteristik lain yang memungkinkan
mereka mengenali benda tersebut sebagai sama. Sebagai contohnya, jika sebuah bola tanah liat digulung
menjadi bentuk sosis yang panjang dan tipis, anak mengenali bahwa terdapat jumlah tanah liat yang sama
pada kedua bentuk tersebut. Ketidakmampuan untuk berkonservasi (suatu hal yang khas pada stadium
praoperasional) akan terlihat jika anak menyatakan bahwa lebih banyak tanah liat pada bentuk sosis karena
bentuk itu lebih panjang. Reversibilitas adalah kemampuan untuk mengerti hubungan antara benda-benda,
untuk mengerti bahwa satu benda dapat berubah menjadi benda lain dan kembalai lagi sebagai contohnya,
es dan air. Tanda paling penting bahwa seorang anak masih di dalam stadium praoperasional adalah
mereka tidak dapat mencapai konservasi atau reversibilitas. Kemampuan anak untuk mengerti konsep
kuantitas adalah salah satu teori perkembangan kognitif dari Piaget yang paling penting.
Tugas seorang anak berusia 7 sampai 11 tahun adalah: Menyusun dan mengurutkan kejadian di dalam
dunia nyata; dan menghadapi masa depan dan kemungkinannya terjadi di dalam stadium operasional
formal.
Stadium operasional formal (11 tahun - akhir masa remaja).
Stadium operasi formal ditandai oleh kemampuan anak untuk berpikir secara abstrak, untuk
mempertimbangkan secara deduktif, dan untuk mendefinisikan konsep-konsep.
Stadium ini dinamakan demikian karena pikiran seseorang beroperasi di dalam cara yang formal, sangat
logis, sistematik dan simbolik. Stadium ini juga ditandai oleh keterampilan dalam menghadapi
kemungkinan dan kombinasi; anak mampu menangkap konsep kemungkinan.
Remaja berusaha untuk mengatasi semua hubungan dan hipotesis yang mungkin untuk menjelaskan data
dan peristiwa-peristiwa. Selama stadium ini, penggunaan bahasa adalah kompleks, mengikuti aturan
logika yang formal, dan secara tata bahasa adalah benar. Pikiran abstrak ditunjukkan oleh minat anak
remaja dalam berbagai masalah: filosofi, agama, etika, dan politik.
Pikiran hipotetik-deduktif: Jenis pikiran ini adalah organisasi kognitif yang paling tinggi; hal ini
memungkinkan seseorang membuat suatau hipotesis atau gagasan dan menilainya terhadap kenyataan.
Pertimbangan deduktif ditandai oleh berpindah dari umum ke khusus; hal ini adalah proses yang lebih
rumit daripatda pertimbangan induktif, yang merupakan kebalikannya-pindah dari khusus menjadi umum.
Karena anak dapat mencerminkan pada pikiran dirinya sendiri dan orang lain, mereka rentan terhadap
perilaku kesadaran terhadap diri sendiri (self-conscious). Saat remaja berusaha untuk mengatasi tugas
kognitif yang baru, mereka dapat kembali ke pikiran egosentrik tetapi dalam tingkat yang lebih tinggi
daripada masa lalu. Sebagai contohnya, remaja mungkin berpikir bahwa mereka dapat menyelesaikan
segalanya atau dapat mengubah peristiwa-peristiwa hanya melalui pikiran.

D. Perkembangan Moral: Lawrence Kohlberg


Tingkat 1. Moralitas Prakonvensional:
Tahap 1. Kepatuhan dan hukuman.
Orientasi “hukuman-kepatuhan” merupakan pengertian sederhana seorang anak mengenai “moral”.
Hukuman akan didapat bila seseorang itu “nakal”, atau “tidak baik”. Fungsi dari perilaku moral adalah
untuk menghindari hukuman. Moralitas dinilai atas dasar akibat fisiknya. Tahap 1 ini sebagian besar
dikendalikan oleh orang tua sebagai figur otoritas. Alasan-alasan yang diberikan pada anak untuk
menjelaskan mengapa ia diberikan hukuman seringkali tidak menjadi penting untuk anak yang tujuan
utamanya hanyalah menghindari hukuman.
Tahap 2. Individualisme, instrumentalisme, dan tukar-menukar.
Masih dalam usia prasekolah, fase ini merepresentasi permulaan dari egosentrisme. Anak menyesuaikan
diri pada harapan sosial untuk memperoleh penghargaan. Terdapat beberapa bukti resiprositas dan berbagi,
tetapi hal itu lebih mempunyai dasar tukar menukar daripada perasaan keadilan yang sesungguhnya. Anak
melihat bahwa “bila berkelakuan baik, di samping ia akan terbebas dari hukuman, ia akan memperoleh
keuntungan-keuntungan tertentu”. Berkelakuan baik akan memberikan rewards (hadiah) tertentu, dan
karena itu adalah menguntungkan bagi dirinya. Pertimbangan mengenai untung rugi (trade offs)

22
merupakan ciri kontrak moral dalam fase ini. Seseorang mau berbuat baik karena mengharapkan akan
mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.
Tingkat 2. Moralitas Konvensional
Tahap 3. “Good boy/girl” (sial dan beruntung).
Perilaku moral di fase ini adalah penting karena mempunyai dampak pada orang lain. Seseorang mau
menjadi baik karena hal itu didukung dan direstui oleh orang lain (figur otoritas dan kelompok sebaya).
Karena aturan (rules) belum terlalu dipahami anak, maka ritus (ritual) berperan. Ritus mengenai bad luck
(sial) atau good luck (beruntung). Perbuatan-perbuatan baik akan berhubungan dengan good luck dan
perbuatan kurang baik akan berhubungan dengan bad luck. Pemikiran ritualistik itu seringkali dapat
mengurangi ketegangan dan rasa bersalah (guilt) yang mulai berperan pada usia ini. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa ciri utama pada tahap 3 ini ialah bahwa anak akan ‘menyesuaikan dengan
peraturan’ untuk mendapat persetujuan orang lain dan mempertahankan hubungan baik dengan mereka.
Tahap 4. Law and order (hukum dan aturan).
Anak yang sudah dalam usia sekolah, lebih mengerti aturan-aturan dan hukum lingkungan/masyarakat dan
berusaha untuk dapat menjadi seorang anggota masyarakat yang baik. Anak yakin bahwa bila kelompok
sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok, mereka harus berbuat sesuai
dengan peraturan itu agar terhindar dari kecaman dan ketidaksetujuan sosial. Kohlberg menyebutkan
bahwa ada orang-orang tertentu yang tidap pernah melalui fase ini, dan semakin kuat menentang aturan-
aturan masyarakat sampai taraf dimana mereka harus menjadi penghuni penjara.
Tingkat 3. Moralitas Pascakonvensional
Tahap 5. Kontrak sosial.
Pada tahap ini anak yakin bahwa harus ada keluwesan dalam keyakinan-keyakinan moral yang
memungkinkan modifikasi dan perubahan satndar moral bila ini terbukti menguntungkan kelompok
sebagai suatu keseluruhan. Fase dewasa muda ini sudah tidak dikuasai oleh egosentrisitas fase-fase
sebelumnya. Disini prinsip-prinsip etika yang berhubungan dengan harga diri, makna diri, akan sangat
menentukan perilaku moral seseorang. Sebagai orang yang bermoral berarti bahwa ia akan semakin
berguna dan berbuat baik bagi semakin banyak orang. Etika sosial dan rasa altruisme menjadi bermakna di
dalam menentukan apa-apa yang bermoral.
Tahap 6. Principled conscience.
Pada tahap ini orang-orang akan menyesuaikan dengan standar sosial. Cita-cita internal terutama untuk
menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan bukan untuk menghindari kecaman sosial. Ini
merupakan moralitas yang lebih banyak berlandaskan penghargaan terhadap orang lain daripada keinginan
pribadi. Hukum dan prinsip-prinsip universal sangat berpengaruh dalam mengembangkan rasa keadilan
bagi manusia. Hal esensial di sini adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam konteks kata
hati (conscience) seseorang.

PENERAPAN TEORI PERKEMBANGAN DALAM KLINIS


Pengenalan yang mendalam mengenai siklus kehidupan sangat penting untuk dokter, karena dua hal:
Pertama, asesmen (penilaian) keadaan fisik dan emosi seseorang hanya bermakna bila anda membuat
perbandingan dengan “apa yang biasa”. Tanpa maksud mengkotak-kotakkan orang dalam kelompok-
kelompok tertentu, mengetahui norma-norma dari proses perkembangan itu akan lebih mempertajam
kemampuan asesmen/penilaian anda. Misalnya bila seorang anak umur 3 tahun dirawat di rumah sakit dan
meronta-ronta/menangis bila ia ditinggal oleh ibunya, anda dapat lebih mengerti dan memberinya
sokongan serta membesarkan hatinya, karena anda tahu bahwa pada usia ini kehadiran fisik ibu sangatlah
penting baginya, dan setiap pemisahan walau sebentar, akan dirasakan sebagai ancaman bagi dirinya.
Kedua, pengetahuan mengenai fase-fase perkembangan akan memberikan anda suatu tilikan/pengertian
mengenai apa yang penting bagi pasien dan bagaimana ia akan berespons terhadap pengobatan/perawatan
yang akan diterimanya. Dengan demikian anda dapat membina suatu hubungan dokter-pasien yang lebih
profesional dan merencanakan suatu rencana terapeutik yang utuh dan manusiawi sesuai kebutuhan
individu yang sakit.

23
A. Masa Bayi
Dokter akan mengerti dan lebih mampu merancang suatu program terapi bagi seorang bayi, dengan
memberikannya suatu lingkungan fisik yang aman, bebas dari rangsang-rangsang akustik/visual yang
mengejutkan, dan dengan memberikan kontak fisik yang hangat serta sering berbicara dengannya. Bayi
senantiasa dapat menjadi iritabel, takut, cemas dan menangis. Segala perasaan yang kurang menyenangkan
akan diekspresikannya melalui perilaku. Keadaan sakit dapat merubah seorang “happy baby” menjadi
seorang “unhappy baby”. Penting bagi dokter untuk mengamati dan mencatat perilaku-perilaku seperti itu,
dan pada saat yang sama melakukan asesmen terhadap keadaan fisik bayi.

B. Masa Batita
Seorang batita yang sakit secara khusus harus diberi tahu bahwa sakitnya itu tidak berhubungan sama
sekali dengan kenakalannya atau perbuatannya yang buruk. Walaupun pengertian mengenai hal itu masih
sangat terbatas, tetapi batita sangat sensitif terhadap sikap lingkungan yang mencerminkan sikap
menyalahkan seperti itu. Di samping rasa bersalah, stres primernya berhubungan juga dengan pemisahan
dari ibu di saat ia sangat membutuhkan ibunya itu. Rumah sakit sekarang ini sudah semakin sadar akan
pentingnya kebutuhan akan itu dan sekarang banyak dirancang unit-unit perawatan bayi/anak-anak, dengan
sistim “rooming in” bagi ibunya. Prosedur-prosedur medik terutama yang menyakitkan, akan merupakan
ancaman baik fisik maupun mental bagi anak-anak ini. Penjelasan-penjelasan yang benar, terus terang dan
sederhana dapat diberikan dengan cara pemeranan (role playing). Berbohong malahan akan
menghilangkan rasa percaya diri (trust).

C. Anak Pra-Sekolah
Rasa bersalah yang dikaitkan dengan penyakit masih menetap pada usia ini. Kemampuan anak untuk
berimajinasi membuatnya untuk mengasosiasikan sakitnya itu dengan perbuatan-perbuatannya atau
kenakalannya. Anak-anak seumur ini dapat menghubungkan prosedur-prosedur medik yang menyakitkan
itu sebagai hukuman, kecuali bila ia telah diberikan penjelasan dan dipersiapkan terlebih dahulu.

D. Anak Sekolah
Anak usia sekolah yang sakit, cenderung menolak suasana yang restriktif dalam rumah sakit dan
pembatasan/larangan terhadap kegiatan-kegiatan untuk “ikut berperan” dalam lingkungannya. Kegiatan-
kegiatan seperti ini merupakan kebutuhan yang penting dalam usia ini. Dokter yang kurang mengerti akan
menganggap anak ini sebagai anak nakal, mengganggu dan menuntut. Penting agar dokter berbicara dan
membiarkan anak mengutarakan pendapat atau kekecewaannya. Perhatian dan empati seperti ini dapat
membuat anak lebih tenang, lebih kooperatif dan kurang menentang dalam menghadapi usaha pengobatan.

E. Anak Remaja
Khususnya bagi anak remaja, keadaan sakit merupakan ancaman yang sangat berarti, karena hal itu
menjadikannya orang yang dependen justru di saat dimana kemandirian/independensi itu merupakan hal
yang sangat vital baginya. Anak remaja dapat menjadi seorang pasien yang pemarah, iritabel dan
menentang/tidak kooperatif. Pemisahan dari teman-temannya dan kegiatan-kegiatannya dapat
menempatkan pasien remaja itu dalam keadaan stres yang berat. Dokter yang sensitif dan inovatif dapat
membantu menyalurkan gejala amarah itu ke arah yang lebih konstruktif yang dapat membantu
penyembuhan.

F. Dewasa Muda
Bila sakit, seorang dewasa muda akan merasakannya sebagai terhentinya atau terhambatnya produktivitas.
Banyak juga mengkhawatirkan akan terjadinya perubahan dalam kualitas hubungan intim. Dokter yang
mengenali gejala depresi itu akan dapat membantu pasien dalam menanggulanginya pengalaman sakitnya
itu.

24
G. Usia Pertengahan
Di usia pertengahan, menjadi sakit merupakan hal yang ekstra sulit, karena ide-ide dan rencana-rencana
yang begitu vital baginya harus ditinggalkan/ dibatalkan karena sakitnya itu. Penyakit dapat diartikan
sebagai deteorasi karena umur dan dengan demikian dapat menimbulkan depresi dan ketakutan. Ventilasi
dan saling berbagai rasa mengenai pikiran/perasaan itu, umumnya dapat membantu pasien dan dokter
dapat menjadi fasilitator dalam proses penyembuhan.

E. Usia Lanjut
Penyakit di usia lanjut dapat menurunkan harga diri dan arti diri (dignity) yang begitu vital untuk
maturitas. Dependensi terhadap orang lain dapat diartikan oleh seorang manula bahwa ia menjadi beban
bagi keluarganya dan tidak berguna lagi. Sikap dokter sangat besar peran dan pengaruhnya bagi pasien,
apakah pasien dapat mempertahankan harga diri/arti dirinya itu, atau mendorongnya ke arah keputusasaan.

KEPUSTAKAAN
Ellis, J.R., Nowlis, E.A. Nursing A Human Needs Approach, 3 rd edition, Houghton Miffin Company,
Boston, 1985.
Erikson, H.E. Childhood and Society, 2nd edition, W.W. Norton and Company, Inc., New York, 1963.
Hall, C.S., Lindzey, G. Theories of Personality. John Wiley & Sons, New York, 1978.
Hurlock, E.B. Perkembangan Anak. Jilid 1 dan 2. Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1999.
Kairupan, B.H.R. Teori-teori Perkembangan Kepribadian: Peranannya dalam Praktek Dokter. Bagian
Psikiatri FK UNSRAT, Manado, 2005.
Kairupan, B.H.R. Pendekatan “Si Tou Timou Tumou Tou” dalam Pembangunan Kesehatan Jiwa.
Tinjauan Khusus pada Penyalahgunaan Zat Psikoaktif di Kalangan Anak & Remaja. Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa pada FK UNSRAT – 11 Agustus 2006. Bagian
Psikiatri FK UNSRAT, Manado, 2006.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, J.A. Human Development Throughout the Life Cycle, Chapter 2,
Synopsis of Psychiatry, Behavioral Science, Clinical Psychiatry, 7 th edition, Williams & Wilkin, New
York, 1994.
Miller, P.H. Theories of Development Psychology. 3rd Edition. Freem and Company, New York, 1993.
Phillipis, J.L. The Origins of Intellect, Piaget’s Theory, Boise State College, W.H. Freeman and Company,
San Fransisco, 1969.
Piaget, J. The Psychology of intelliegence. Littlefield, Totowa, new Jersey, 1981.
Prasetyo, J. Perkembangan Jiwa Anak, Dalam: Humris-Pleyte, W.E., Prasetyo, J., Darmabrata, W.
Masalah Kejiwaan Pada Proses Tumbuh Kembang Anak. Simposium Sehari Psikiatri Anak, Jakarta,
1983.
Reo, P., Elim, Ch. Ilmu Kedokteran Jiwa I (Diktat), Manado, 1994.
Sarwono, W.S. Psikologi Remaja. PT Raja Grafinfo Persada, Jakarta, 2000.
Suparno, P. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Penerbit Kanisius, Jakarta, 2001.
Wibisono, S. Psikiatri dalam Berbagai Aspek Kehidupan. Pidato pengukuhan Guru Besar Tetap Psikiatri
Pada FKUI, Jakarta, 1998.

25
Lampiran 1:
FUNCTIONS OF THE EGO
1. Control and regulation of instinctual drives. The development of the capacity to delay or postpone
drive discharge, like the capacity to test reality, is closely related to the progression in early childhood
from the pleasure principle to the reality principle. That capacity is also an essential aspect of the ego's
role as mediator between the id and the outside world. Part of the infant's socialization to the external
world is the acquisition of language and secondary process or logical thinking, both of which assist in
the control of instinctual drives. The capacity to think in a logical and abstract manner allows for the
representation of drives in fantasy, which may circumvent the need to discharge them in action.The
ego's capacity to regulate thinking and to control drive discharge is intimately connected with its
defensive functioning. One example of the linkage between control of drives and defensive functioning
can be seen in the ego's use of signal affects. Affect states such as guilt, anxiety, shame, and depression
serve as signals of the potential breakthrough of threatening impulses from the unconscious. Those
signals then act to mobilize defenses in the ego to prevent the breakthrough. That function of the ego is
also instrumental in building a capacity to tolerate pain, anxiety, and frustration within manageable
limits.
2. Judgment. A closely related ego function is judgment, which involves the ability to anticipate the
consequences of one's actions. As with the control and regulation of instinctual drives, judgment
develops in parallel with the growth of secondary process thinking. The ability to think logically
allows for an assessment of how one's contemplated behavior may affect others. The consequences to
oneself can also be ascertained through the use of secondary process thinking. The ego function of
judgment may assist regulatory aspects of the ego in the avoidance of impulse discharge. Both those
ego functions are commonly impaired in impulsive personality disorders.
3. Relation to reality. The mediation between the internal world and external reality is a crucial function
of the ego. The relationship with the outside world can be divided into three aspects: the sense of
reality, reality testing, and adaptation to reality. The sense of reality develops in concert with the
infant's dawning awareness of bodily sensations. The ability to distinguish what is outside the body
from what is inside is an essential aspect of the sense of reality, and disturbances of body boundaries,
such as depersonalization, reflect impairment in that ego function. Reality testing is an ego function of
paramount importance in that it differentiates psychotic persons from nonpsychotic persons. Reality
testing refers to the capacity to distinguish internal fantasy from external reality. That function of the
ego gradually develops in parallel with the increasing dominion of the reality principle over the
pleasure principle. The third aspect, adaptation to reality, involves the ability to use one's resources to
develop effective responses to changing circumstances on the basis of previous experiences with
reality. One may perceive reality accurately but not use one's full resources to make an informed
judgment about the necessary response. In that sense, adaptation is closely linked to the concept of
mastery with respect to both control of drives and accomplishment of external tasks. Adaptation to
reality is also intimately connected with defensive functions of the ego. One commonly calls on a
variety of defensive maneuvers to master situations that may produce anxiety or other affects. To deal
with overwhelming trauma, for example, one may use temporary denial to get through the crisis.
4. Object relationships. The significance of object relationships in normal psychological development
and in psychiatric disorders was not fully appreciated until relatively late in the evolution of classical
psychoanalysis. The capacity to form mutually satisfying relationships is in part related to patterns of
internalization stemming from early interactions with parents and other significant figures. That ability
is also a fundamental function of the ego in that satisfying relatedness depends on the ability to
integrate positive and negative aspects of others and oneself and to maintain an internal sense of
others, even in their absence. Similarly, mastery of drive derivatives is crucial to the achievement of
satisfying relationships.
5. Synthetic function of the ego. First described by Herman Nunberg in 1931, the synthetic function
refers to the ego's capacity to integrate diverse elements into an overall unity. Different aspects of
oneself and others, for example, are synthesized into a consistent representation that endures over time.
The function also involves organizing, coordinating, and generalizing or simplifying large amounts of
data.
6. Primary autonomous ego functions. A direct outgrowth of the work of Hartmann, the primary
autonomous functions refer to rudimentary apparatuses that are present at birth and that develop
independently of intrapsychic conflict between drives and defenses, provided that what Hartmann

26
referred to as an average expectable environment is available to the infant. As noted previously, those
functions include perception, learning, intelligence, intuition, language, thinking, comprehension, and
motility. In the course of development, some of those conflict-free aspects of the ego may eventually
become involved in conflict if they encounter opposing forces.
7. Secondary autonomous ego functions. Hartmann originally used the concept of the conflict-free
sphere of ego functioning to identify areas of primary autonomy. However, that area may be enlarged
by functions that originally arise in the service of defense against drives but subsequently become
independent of them. Those functions are referred to as secondary autonomous ego functions. For
example, a child may develop caretaking functions as a reaction formation against murderous wishes
during the first few years of life. Later, the defensive functions of the style may be neutralized or
deinstinctualized when the child grows up to be a social worker and cares for the homeless. That
neutralization, leading to desexualization of libidinal drives or deaggressivization of aggressive drives,
provides the ego with independent energies that were formerly used to deal with drive pressures.
8. Defensive functions of the ego. Freud acknowledged the existence of several defense mechanisms,
but his writings focused predominantly on repression, which he regarded as the queen of the defenses.
In many of his contributions, defense and repression are used almost synonymously. Repression
provides a barrier against the direct expression of impulses and wishes from the unconscious.

27
LAMPIRAN 2:

CLASSIFICATION OF DEFENSE MECHANISMS


Narcissistic Defenses: (*The categorization of these defenses as narcissistic is controversial. Many
psychoanalysts would subsume them under "Immature Defenses.")
Denial Avoiding the awareness of some painful aspect of reality by negating sensory data.
Although repression defends against affects and drive derivatives, denial abolishes
external reality. Denial may be used in both normal and pathological states.
Distortion Grossly reshaping external reality to suit inner needs (including unrealistic
megalomanic beliefs, hallucinations, wish-fulfilling delusions) and using sustained
feelings of delusional superiority or entitlement.
Projection Perceiving and reacting to unacceptable inner impulses and their derivatives as
though they were outside the self. On a psychotic level, this defense mechanism
takes the form of frank delusions about external reality (usually persecutory) and
includes both perception of one's own feelings in another and subsequent acting on
the perception (psychotic paranoid delusions). The impulses may derive from the
id or the superego (hallucinated recriminations) but may undergo transformation in
the process. Thus, according to Freud's analysis of paranoid projections,
homosexual libidinal impulses are transformed into hatred and then projected
onto the object of the unacceptable homosexual impulse.
Immature Defenses
Acting out Expressing an unconscious wish or impulse through action to avoid being
conscious of an accompanying affect. The unconscious fantasy is lived out
impulsively in behavior, thereby gratifying the impulse, rather than the prohibition
against it. Acting out involves chronically giving in to an impulse to avoid the
tension that would result from the postponement of expression.
Blocking Temporarily or transiently inhibiting thinking. Affects and impulses may also be
involved. Blocking closely resembles repression but differs in that tension arises
when the impulse, affect, or thought is inhibited.
Hypochondriasis Exaggerating or overemphasizing an illness for the purpose of evasion and
regression. Reproach arising from bereavement, loneliness, or unacceptable
aggressive impulses toward others is transformed into self-reproach and
complaints of pain, somatic illness, and neurasthenia. In hypochondriasis,
responsibility can be avoided, guilt may be circumvented, and instinctual impulses
are warded off. Because hypochondriacal introjects are ego-alien, the afflicted
person experiences dysphoria and a sense of affliction.
Introjection Internalizing the qualities of an object. Although vital to development, introjection
also serves specific defensive functions. When used as a defense, it can obliterate
the distinction between the subject and the object. Through the introjection of a
loved object, the painful awareness of separateness or the threat of loss may be
avoided. Introjection of a feared object serves to avoid anxiety when the
aggressive characteristics of the object are internalized, thus placing the
aggression under one's own control. A classic example is identification with the
aggressor. An identification with the victim may also take place, whereby the self-
punitive qualities of the objects are taken over and established within one's self as
a symptom or character trait.
Passive-aggressive Expressing aggression toward others indirectly through passivity, masochism,
behavior and turning against the self. Manifestations of passive-aggressive
behavior include failure, procrastination, and illnesses that affect others more than
oneself.
Regression Attempting to return to an earlier libidinal phase of functioning to avoid the
tension and conflict evoked at the present level of development. It reflects the
basic tendency to gain instinctual gratification at a less-developed period.
Regression is a normal phenomenon as well, as a certain amount of regression is
essential for relaxation, sleep, and orgasm in sexual intercourse. Regression is also

28
considered an essential concomitant of the creative process.
Schizoid-fantasy Indulging in autistic retreat in order to resolve conflict and to obtain gratification.
Interpersonal intimacy is avoided, and eccentricity serves to repel others. The
person does not fully believe in the fantasies and does not insist on acting them
out.
Somatization Converting psychic derivatives into bodily symptoms and tending to react with
somatic manifestations, rather than psychic manifestations. In desomatization,
infantile somatic responses are replaced by thought and affect; in resomatization,
the person regresses to earlier somatic forms in the face of unresolved conflicts.
Neurotic Defenses
Controlling Attempting to manage or regulate events or objects in the environment to
minimize anxiety and to resolve inner conflicts.
Displacement Shifting an emotion or drive cathexis from one idea or object to another that
resembles the original in some aspect or quality. Displacement permits the
symbolic representation of the original idea or object by one that is less highly
cathected or evokes less distress.
Externalization Tending to perceive in the external world and in external objects elements of one's
own personality, including instinctual impulses, conflicts, moods, attitudes, and
styles of thinking. Externalization is a more general term than projection.
Inhibition Consciously limiting or renouncing some ego functions, alone or in
combination, to evade anxiety arising out of conflict with instinctual impulses,
the superego, or environmental forces or figures.
Intellectualization Excessively using intellectual processes to avoid affective expression or
experience. Undue emphasis is focused on the inanimate in order to avoid
intimacy with people, attention is paid to external reality to avoid the expression of
inner feelings, and stress is excessively placed on irrelevant details to avoid
perceiving the whole. Intellectualization is closely allied to rationalization.
Isolation Splitting or separating an idea from the affect that accompanies it but is repressed.
Social isolation refers to the absence of object relationships.
Rationalization Offering rational explanations in an attempt to justify attitudes, beliefs, or
behavior that may otherwise be unacceptable. Such underlying motives are usually
instinctually determined.
Dissociation Temporarily but drastically modifying a person's character or one's sense of
personal identity to avoid emotional distress. Fugue states and hysterical
conversion reactions are common manifestations of dissociation. Dissociation may
also be found in counterphobic behavior, dissociative identity disorder, and the use
of pharmacological highs or religious joy.
Reaction- Transforming an unacceptable impulse into its opposite. Reaction formation is
formation characteristic of obsessional neurosis, but it may occur in other forms of neuroses
as well. If this mechanism is frequently used at any early stage of ego
development, it can become a permanent character trait, as in an obsessional
character.
Repression Expelling or withholding from consciousness an idea or feeling. Primary
repression refers to the curbing of ideas and feelings before they have attained
consciousness: secondary repression excludes from awareness what was once
experienced at a conscious level. The repressed is not really forgotten in that
symbolic behavior may be present. This defense differs from suppression by
effecting conscious inhibition of impulses to the point of losing and not just
postponing cherished goals. Conscious perception of instincts and feelings is
blocked in repression.
Sexualization Endowing an object or function with sexual significance that it did not
previously have or possessed to a smaller degree in order to ward off anxieties
associated with prohibited impulses or their derivatives.
Mature Defenses
Altruism Using constructive and instinctually gratifying service to others to undergo a
vicarious experience. It includes benign and constructive reaction formation.

29
Altruism is distinguished from altruistic surrender, in which a surrender of direct
gratification or of instinctual needs takes place in favor of fulfilling the needs of
others to the detriment of the self, and the satisfaction can only be enjoyed
vicariously through introjection.
Anticipation Realistically anticipating or planning for future inner discomfort. The mechanism
is goal-directed and implies careful planning or worrying and premature but
realistic affective anticipation of dire and potentially dreadful outcomes.
Asceticism Eliminating the pleasurable effects of experiences. There is a moral element in
assigning values to specific pleasures. Gratification is derived from renunciation,
and asceticism is directed against all base pleasures perceived consciously.
Humor Using comedy to overtly express feelings and thoughts without personal
discomfort or immobilization and without producing an unpleasant effect on
others. It allows the person to tolerate and yet focus on what is too terrible to be
borne; it is different from with, a form of displacement that involves distraction
from the affective issue.
Sublimation Achieving impulse gratification and the retention of goals but altering a socially
objectionable aim or object to a socially acceptable one. Sublimation allows
instincts to be channeled, rather than blocked or diverted. Feelings are
acknowledged, modified, and directed toward a significant object or goal, and
modest instinctual satisfaction occurs.
Suppression Consciously or semiconsciously postponing attention to a conscious impulse or
conflict. Issues may be deliberately cut off, but they are not avoided. Discomfort is
acknowledged but minimized.
Note: Although analysts disagree on the total number of defense mechanisms, most agree with Freud's
assessment that defense mechanisms must possess the following properties: (1) they manage instinct,
drive, and mood; (2) they are unconscious; (3) they are discrete; (4) they are dynamic and reversible;
and (5) they can be adaptive or pathological.
Adapted by from Vaillant GE: Adaptation to Life. Little Brown, Boston, 1977; Semrad E: The operation
of ego defenses in object loss. In The Loss of Loved Ones, DM Moriarity, editor. Charles C Thomas,
Springfield, IL, 1967; and Bibring GL, Dwyer TF, Huntington DS, Valenstein AA: A study of the
psychological process in pregnancy and of the earliest mother-child relationship: Methodological
considerations. Psychoanal Stud Child 16:25, 1961.

30
DIAGNOSIS PSIKIATRIK
MATERI INI DIBUAT, DIGANDAKAN, DAN DIPERGUNAKAN
KHUSUS UNTUK PROSES PENDIDIKAN & PENGAJARAN
MAHASISWA PPD UNCEN JAYAPURA

Oleh :

Prof. dr. B.H.R. KAIRUPAN, MSc, SpKJ(K)


dr. Ch.C. ELIM, M.Repro, SpAnd
dr. L.J.F. KANDOU, SpKJ
dr. D.S. SUAK, M.Repro
dr. F.D. Senduk, S.Ked
dr. N. Ekawati, S.Ked
dr. Herdy, S.Ked

KERJA SAMA
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA / PSIKIATRI
FK UNSRAT MANADO – PPD UNCEN JAYAPURA
2007

31
PENDAHULUAN

A. Sejarah dan Definisi Psikiatri


Keberadaan psikiatri di dunia ilmu kedokteran telah berlangsung lebih dari satu abad lamanya. Sejarah
perkembangan psikiatri pada umumnya dibagi dalam tiga era:
(1) era primitif atau dikenal juga dengan era demonologik, di mana pasien gangguan jiwa dianggap
sebagai pengaruh supranatural seperti kerasukan setan atau roh-roh jahat, ataupun akibat kutukan
dewa;
(2) era Romawi-Yunani yang disebut juga sebagai era humanistik dalam usaha kesehatan jiwa; dan
(3) era modern, di mana pasien-pasien gangguan jiwa telah diperlakukan, diobati dan dirawat secara
manusiawi.
Sejak kemunculan psikiatri telah banyak terobosan yang dapat dibanggakan, baik dari segi pengembangan
ilmu itu sendiri maupun dalam kaitannya dengan manfaat yang diperoleh pasien gangguan jiwa yang
membutuhkannya. Sekalipun demikian, masih banyak yang tidak mengetahui lingkup peran psikiatri
secara benar, baik di masyarakat awam maupun masyarakat akademis, khususnya di kalangan kedokteran
sendiri. Adanya kenyataan di masyarakat yang belum dapat membedakan antara psikiatri (ilmu kedokteran
jiwa) dan ilmu kesehatan jiwa, psikologi serta ilmu-ilmu perilaku lainnya.
Selain itu, masyarakat umum dan sekelompok kecil dokter dan kalangan yang bekerja di bidang kesehatan
masih menganggap bahwa ruang lingkup psikiatri hanya berkaitan dengan gangguan jiwa berat (psikosis).
Kondisi yang lebih buruk lagi adalah berkaitan dengan belum terlepasnya psikiatri di Indonesia dari
bayangan stigma yang masih kuat terhadap gangguan jiwa. Ketiga kenyataan di atas merupakan contoh
dari kurangnya pengetahuan yang benar tentang psikiatri.
Sebenarnya istilah psikiatri bersumber dari kata psyche (soul, mind – kehidupan mental, baik yang sadar
maupun nir-sadar) dan iatrea (healing – penyembuhan). Dalam kedudukannya sebagai bidang ilmu maka
psyche berarti mind atau mental dan bukan berarti soul atau roh. Sebagai akibat dari psikiatri yang masih
sering disalah-artikan/disalah-hubungkan dengan soul atau roh maka tidaklah mengheran kalau di
masyarakat masih saja ada sementara orang yang menganggap bahwa psikiatri sama dengan spiritual
dalam arti sempit.
Perbedaan antara Psikiatri atau Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Mental Health) adalah sebagai
berikut:
(1) Psikiatri (Psychiatry atau Ilmu Kedokteran Jiwa) didefinisikan sebagai cabang spesialistik Ilmu
Kedokteran yang mempelajari aspek prevensi, aspek klinis (etiologi, patogenesis, simptomatologi,
diagnosis, terapi, prognosis), maupun aspek rehabilitasi gangguan jiwa, serta berikhtiar untuk
meningkatkan taraf kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya. Penyandang profesi keahliannya disebut
Psikiater/Spesialis Kedokteran Jiwa (SpKJ). Saat ini bidang kajian psikiatri telah melangkah ke sub-
sub spesialisasi (misalnya: anak dan remaja, adiksi, skizofrenia, komunitas, lansia, dan lain-lain).
Psikiater yang mengkhususkan diri dan dianggap kompeten dalam sub spesialisasi tertentu disebut
sebagai Psikiater Konsultan atau Spesialis Kedokteran Jiwa Konsultan (SpKJ-K).
(2) Kesehatan jiwa (Mental Health) adalah suatu bidang yang luas yang menggambarkan segi kualitas
taraf kesehatan di bidang mental. Di dalam bidang yang luas dari kesehatan jiwa inilah psikiatri
menyumbangkan peran yang sangat penting, di samping disiplin ilmu dan sektor lainnya, seperti
psikologi, ilmu sosial, keluarga, masyarakat, segi budaya, segi agama/spiritual, sosio-ekonomi, dan
sebagainya.
Hal lain yang penting diketahui pula adalah menyangkut istilah gangguan mental/jiwa dan penyakit
mental/jiwa. Berbeda dengan pengertian penyakit di bidang medik lainnya, istilah yang dipergunakan
untuk menggambarkan berbagai kondisi kejiwaan yang menyebabkan kendala dalam berbagai taraf
kemampuan menjalankan fungsi sosial adalah gangguan mental/jiwa (mental disorder), dan bukan
penyakit mental/jiwa (mental illness atau mental disease). Istilah gangguan mental/jiwa secara konsisten

32
dapat ditemukan dalam klasifikasi internasional seperti ICD-10 (WHO, 1992) dan DSM-IV (APA, 1994),
dan klasifikasi nasional seperti PPDGJ-III (DepKes, 1993).

B. Pendekatan Eklektik-Holistik
Pendekatan eklektik-holistik merupakan suatu konsep pendekatan dan penghayatan serta pemahaman
gangguan jiwa yang didasarkan atas azas-azas eksistensial manusia. Pendekatan eklektik adalah upaya
untuk memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari aspek biologis, psikologis, dan sosial
(makhluk bio-psiko-sosial). Sementara, di saat yang sama, dengan pendekatan holistik, menyadari bahwa
ketiga aspek tersebut saling berinteraksi satu sama lainnya.
Dalam perjalanan sejarah psikiatri, salah satu terobosan yang sangat berarti adalah lahirnya konsep tentang
psikosomatik yang diperkenalkan oleh psikiater Jerman, Heinroth (1816). Konsep psikosomatik ini
kemudian dikembangkan menjadi konsep ilmiah yang sistematis oleh Frans Alexander (1934). Pada
prinsipnya istilah psikomatik sebenarnya menekankan aspek dikotomi, yaitu seakan-akan ada gangguan
penyakit yang psikis saja dan somatik saja. Kenyataannya, perkembangan di bidang kedokteran
menunjukkan bahwa hampir semua penderitaan sakit memiliki aspek fisik maupun psikis. Hal utama
berkaitan dengan kenyataan di atas adalah penekanan pentingnya pendekatan integratif holistik terhadap
semua bentuk penderitaan pasien. Perkembangan ini selanjutnya semakin meningkat seiring dengan
berbagai perubahan dan perkembangan yang mempengaruhi konsep dasar pendekatan kedokteran terhadap
masalah kesehatan di akhir milenium ke-2, khususnya tentang pentingnya segi kualitas hidup sebagai
tujuan akhir pengobatan. Hal ini merupakan reaksi terhadap pelayanan medis yang cenderung bergerak
kembali ke aspek biomedik semata dengan kecenderungannya yang terkotak-kotak, sebagai dampak dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran (iptekdok) dan adanya spesialisasi-subspesialisasi
ilmu kedokteran.
Disadari atau tidak, kecenderungan ini membuat seorang pasien direduksi menjadi berbagai onggokan
organ, seperti otak, jantung, paru, hati, ginjal, tulang, dan sebagainya, dan melupakan aspek totalitas yang
integratif dari pasien itu sendiri. Kecenderungan ini tentu saja dapat dianggap sebagai proses
dehumanisasi.
Berdasarkan kenyataan di atas maka pendekatan kedokteran dalam menghadapi semua kondisi sakit atau
penderitaan pasien seharusnya didasarkan kembali pada asas psikosomatik dalam artinya yang
sesungguhnya, bukan sekedar istilah pemanis tanpa realitas.
Dalam upaya membuat kesimpulan diagnosis terhadap setiap pasien, sejak 20 tahun yang lalu bidang
psikiatri telah menggunakan sistem evaluasi multiaksial (dengan 5 aksis). Sistem evaluasi multiaksial
dapat merupakan bentuk manifestasi yang konkrit dan terstruktur dari pendekatan eklektik-holistik
(Setyonegoro, 1967) maupun pendekatan biological priority and psychological supremacy (Sabelli, 1989).
Sebagai contoh, pasien dengan kasus kegawat-daruratan medik seharusnya memperoleh prioritas
penanganan biomedik (biological priority), namun demikian begitu keadaan pasien berangsur membaik,
bila temyata ada kecacatan fisik atau perubahan body image, masalah pasien seringkali beralih ke hal
mental-emosional, di mana pasien mungkin saja menyesali penanganan medik yang telah dilakukan
terhadapnya (psychological supremacy).
Perlu diingat bahwa sikap pemeriksaan diagnostik dan terapi yang "berlebihan" yang tidak jelas
indikasinya, justru semakin memperberat keluhan pasien (iatrogenik). Adanya fenomena kasus-kasus ko-
morbiditas antara berbagai penyakit fisik dan gangguan mental semakin sering dijumpai dewasa ini.
Seringkali keluhan fisik merupakan manifestasi klinis dari dasar psikopatologi pasien. Sebaliknya,
berbagai keluhan psikis dan psikopatologi dapat merupakan dampak situasional ataupun langsung dari
penyakit medik atau efek samping obat. Fenomena ini seharusnya merupakan petanda bahwa kedua
pendekatan di atas juga relevan dalam penatalaksanaan pasien yang menderita ko-morbiditas.
Dari penjelasan sebelumnya sudah jelas bahwa psikiatri tidak hanya berorientasi dalam pelayanan
kesehatan masyarakat paripurna, baik dalam konteks komunitas maupun klinis, namun juga turut serta
berperan dalam pembentukan sikap profesionalisme calon dokter/dokter yang semestinya merupakan
prasyarat sebelum yang bersangkutan melakukan pelayanan kesehatan masyarakat.
Berkaitan dengan ikhwal profesionalisme di atas maka perlu diingat bahwa profesi kedokteran secara
langsung terkait dengan masalah etik, hukum dan ilmuwan.

33
C. Psikiatri dan Profesionalisme
Peran psikiatri juga ditujukan untuk mengembangkan, memacu dan memelihara sikap profesional seorang
calon dokter/dokter yang berorientasi kepada kedua pendekatan integratif di atas sesuai batas-batas
kewenangan dan kemampuannya. Sikap profesional mana tercermin dalam proses diagnostik maupun
terapi gangguan yang diderita pasien.
Profesionalisme seyogyanya mencakup banyak aspek di antaranya:
(1) Aspek kompetensi profesional (professional competence): melaksanakan tugas yang sesuai dengan
profesinya, yang tentunya penting dari segi hukum;
(2) Aspek sikap profesional (professional attitude): menunjukkan sikap yang benar dalam menjalankan
profesi, yang tentunya akan memberikan citra yang benar mengenai profesi yang diembannya
(professional image);
(3) Aspek identitas profesional (professional identity): melaksanakan bidang profesi secara konsisten
dengan batas kompetensi yang jelas, yang akan mengangkat jati diri profesi yang jelas;
(4) Aspek etika profesi (professional ethics): menjunjung tinggi etika profesi, yang tentunya lebih luas
dari apa yang tertulis dalam kode etik profesi, merupakan hal yang penting dalam menegakkan
integritas profesi (professional integrity), dan kehormatan profesi (professional dignity).

TANDA DAN GEJALA GANGGUAN PSIKIATRIK


Tanda (sign) adalah temuan objektif yang diobservasi oleh dokter sedangkan gejala (symptom) adalah
pengalaman subjektif yang digambarkan oleh pasien. Suatu sindrom (syndrome) adalah kelompok tanda
dan/atau gejala yang terjadi bersama-sama sebagai suatu kondisi yang dapat dikenali yang mungkin
kurang spesifik dibandingkan gangguan atau penyakit yang jelas. Dalam kenyataannya, sebagian besar
kondisi psikiatrik adalah sindrom.
Kemampuan mengenali tanda dan gejala spesifik memungkinkan dokter dapat mengerti dalam
berkomunikasi dengan dokter lain, membuat diagnosis secara akurat, menangani pengobatan dengan
berhasil, memperkirakan prognosis dengan dapat dipercaya, dan menggali masalah psikopatologi,
penyebab dan psikodinamika secara menyeluruh.
Secara garis besar tanda dan gejala psikiatrik mempunyai akar dalam perilaku normal dan mewakili
berbagai titik dalam spektrum perilaku dari normal sampai patologis.

A. Aspek Kesadaran
Kesadaran merupakan kemampuan seseorang untuk mengadakan hubungan (relasi) sekaligus mengadakan
pembatasan (limitasi) dengan lingkungannya serta dengan dirinya sendiri (melalui panca inderanya).
Gangguan Kesadaran:
(1) Disorientasi: gangguan orientasi waktu, tempat atau orang.
(2) Kesadaran yang berkabut: kejernihan ingatan yang tidak lengkap disertai gangguan persepsi dan
sikap.
(3) Stupor: hilangnya reaksi dan ketidaksadaran terhadap lingkungan sekeliling.
(4) Delirium: kebingungan, gelisah, konfusi, reaksi disorientasi yang disertai dengan rasa takut dan
halusinasi.
(5) Koma: derajat ketidaksadaran yang berat.
(6) Koma vigil: koma di mana pasien tampak tertidur tetapi segera dapat dibangunkan (juga dikenal
sebagai mutisme akinetik).
(7) Keadaan temaram (twilight state): seringkali digunakan secara sinonim dengan kejang parsial
kompleks atau epilepsi psikomotor.
(8) Sornnolensi: mengantuk abnormal; paling sering ditemukan pada proses organik.
Gangguan Perhatian:
Perhatian adalah jumlah usaha yang dilakukan untuk memusatkan pada bagian tertentu dari pengalaman;
kemampuan untuk mempertahankan perhatian pada satu aktivitas, kemampuan untuk berkonsentrasi.
(1) Distraktibilitas: ketidakmampuan untuk memusatkan atensi; penarikan atensi kepada stimulasi
eksternal yang tidak penting atau tidak relevan.
(2) Inatensi selektif: hambatan hanya pada hal-hal yang menimbulkan kecemasan.
(3) Hipervigilensi: pemusatan perhatian yang berlebihan pada semua stimulasi internal dan eksternal,

34
biasanya merupakan akibat sekunder dari keadaan delusional atau paranoid.
(4) Trance: perhatian yang terpusat dan kesadaran yang berubah, biasanya terlihat pada hipnosis,
gangguan disosiatif, dan pengalaman religius yang luar biasa.
Gangguan Sugestibilitas:
Gangguan sugestibilitas adalah kepatuhan dan respon yang tidak kritis terhadap gagasan atau pengaruh
dari luar diri pasien.
(1) Folie a deux (atau folie a trois): penyakit emosional yang berhubungan antara dua (atau tiga) orang.
(2) Hipnosis: modifikasi kesadaran yang diinduksi secara buatan yang ditandai dengan peningkatan
sugestibilitas.

B. Aspek Emosi (Afek dan Mood)


Suatu kompleks keadaan perasaan dengan komponen psikis, somatik dan perilaku yang berhubungan
dengan afek dan mood.
Afek:
Afek adalah ekspresi emosi yang terlihat; mungkin tidak konsisten dengan emosi yang dikatakan pasien.
(1) Afek yang sesuai (appropriate affect): kondisi irama emosional yang harmonis (sesuai, sinkron)
dengan gagasan, pikiran atau pembicaraan yang menyertai; digambarkan lebih lanjut sebagai yang
afek yang luas atau penuh, di mana rentang emosional yang lengkap diekspresikan secara sesuai.
(2) Afek yang tidak sesuai (inappropriate affect): ketidakharmonisan antara irama perasaan emosional
dengan gagasan, pikiran atau pembicaraan.
(3) Afek yang tumpul (blunted affect): gangguan pada afek yang dimanifestasikan oleh penurunan
yang berat pada intensitas irama perasaan yang diekspresikan.
(4) Afek yang terbatas (restricted or constricted affect): penurunan intensitas irama perasaan yang
kurang parah dari pada efek yang tumpul tetapi jelas menurun.
(5) Afek yang datar (fIat affect): tidak adanya atau hampir tidak adanya tanda ekspresi afek; suara yang
monoton, wajah yang tidak bergerak.
(6) Afek yang labil (labile affect): perubahan irama perasaan yang cepat dan tiba-tiba; tidak berkaitan
dengan stimulasi ekstemal.
Mood:
Mood adalah suatu emosi yang meresap yang dipertahankan, yang dialami secara subjektif dan dilaporkan
oleh pasien dan terlihat oleh orang lain. Contohnya adalah depresi, elasi, kemarahan.
(1) Mood disforik: mood yang tidak menyenangkan
(2) Mood eutimik: mood dalam rentang normal, menyatakan tidak adanya mood yang tertekan atau
melambung.
(3) Mood yang meluap-Iuap (expansive mood): ekspresi perasaan seseorang tanpa pembatasan,
seringkali dengan penilaian yang berlebihan terhadap kepentingan atau makna seseorang.
(4) Mood yang iritabel (irritable mood): ekspresi perasaan akibat mudah diganggu atau dibuat marah.
(5) Pergeseran mood (labile mood): osilasi antara euforia dan depresi atau dibuat marah.
(6) Mood yang meninggi (elevated mood): suasana keyakinan dan kesenangan; suatu mood yang lebih
ceria dari biasanya.
(7) Euforia: elasi yang kuat dengan perasaan kebesaran.
(8) Kegembiraan yang luar biasa (ecstasy): perasaan egairahan yang kuat.
(9) Depresi: perasaan kesedihan yang psikopatologis.
(10) Anhedonia: hilangnya minat terhadap dan menarik diri dari semua aktivitas rutin dan
menyenangkan, seringkali disertai dengan depresi.
(11) Duka cita (berkabung): kesedihan yang sesuai dengan kehilangan yang nyata.
(12) Aleksitimia: ketidaknampuan atau kesulitan dalam menggambarkan atau menyadari emosi atau
mood seseorang.
Emosi Yang Lain:
(1) Kecemasan: perasaan kekhawatiran yang disebabkan oleh dugaan bahaya, yang mungkin berasal
dari dalarn atau luar.
(2) Kecemasan yang mengambang bebas (free floating anxiety): rasa takut yang meresap dan tidak
terpusatkan dan tidak terikat pada suatu gagasan tertentu.
(3) Ketakutan: kecemasan yang disebabkan oleh bahaya yang dikenali secara sadar dan realistik.
(4) Agitasi: kecemasan berat yang disertai dengan kegelisahan rnotorik
35
(5) Ketegangan (tension): peningkatan aktifitas motorik dan psikologis yang tidak rnenyenangkan.
(6) Panik: Serangan kecemasan yang akut, episodik, yang kuat disertai dengan perasaan ketakutan yang
rnelanda dan pelepasan otonomik.
(7) Apati: irama emosi yang turnpul yang disertai dengan pelepasan (detachment) atau ketidakacuhan
(indifference).
(8) Ambivalensi: terdapat secara bersama-sama dua impuls yang berlawanan terhadap hal yang sarna
pada satu orang yang sama pada waktu yang sama.
(9) Abreaksional (abreaction): pelepasan atau pelimpahan emosional setelah mengingat pengalarnan
yang rnenakutkan.
(10) Rasa malu: kegagalan mernbangun pengharapan diri.
(11) Rasa bersalah: emosi sekunder karena rnelakukan sesuatu yang dianggap salah.
Gangguan Psikologis Yang Berhubungan dengan Mood:
Tanda disfungsi somatik (biasanya otonomik) pada seseorang, paling sering berhubungan dengan depresi
(juga disebut tanda vegetatif).
(1) Anoreksia: hilangnya atau rnenurunnya nafsu makan.
(2) Hiperfagia: meningkatnya nafsu makan dan asupan makanan.
(3) Insomnia: hilangnya atau rnenurunnya kemarnpuan untuk tidur.
a. Insomnia awal : kesulitan jatuh tertidur.
b. Insomnia pertengahan: kesulitan tidur sepanjang malam tanpa terbangun dan kesulitan
kembali tidur.
c. Insomnia terminal: terbangun pada dini hari.
(4) Hipersomnia: tidur yang berlebihan.
(5) Variasi diurnal: mood yang secara teratur terburuk pada pagi hari, segera setelah terbangun, dan
membaik dengan semakin siangnya hari.
(6) Penurunan libido: penurunan minat, dorongan dan daya seksual (peningkatan libido sering disertai
keadaan manik).
(7) Konstipasi: ketidakmampuan atau kesulitan defekasi.

C. Aspek Perilaku Motorik (Konasi)


Aspek jiwa yang termasuk impuls, motivasi, harapan, dorongan, instink dan idaman, seperti yang
diekspresikan oleh perilaku atau aktivitas motorik seseorang.
(1) Ekopraksia: peniruan pergerakan yang patologis seseorang pada orang lain.
(2) Katatonia: kelainan motorik dalam gangguan non organik (sebagai lawan dari gangguan kesadaran
dan aktivitas motorik sekunder dari patologi organik).
a. Katalepsi: istilah umum untuk suatu posisi yang tidak bergerak yang dipertahankan terus
menerus.
b. Luapan (furor) katatonik: aktivitas motorik yang teragitasi, tidak bertujuan dan tidak
dipengaruhi oleh stimulasi eksternal
c. Stupor katatonik: penurunan aktivitas motorik yang nyata, seringkali sampai titik imobilitas
dan tampaknya tidak menyadari sekeliling.
d. Rigiditas katatonik: penerimaan postur yang kaku yang disadari, menentang usaha untuk
digerakkan.
e. Posturing katatonik: penerimaan postur yang tidak sesuai atau kaku yang disadari, biasanya
dipertahankan dalam waktu yang lama.
f. Cerea flexibilitas (fleksibilitas lilin): seseorang dapat diatur dalam suatu posisi yang
kemudian dipertahan-kannya; jika pemeriksa menggerakkan anggota tubuh pasien, anggota
tubuh terasa seakan-akan terbuat dari lilin.
(3) Negativisme: tahanan tanpa motivasi terhadap semua usaha untuk menggerakkan atau terhadap
semua instruksi.
(4) Katapleksi: hilangnya tonus otot dan kelemahan secara sementara yang dicetuskan oleh berbagai
keadaan emosional.
(5) Stereotipik: pola tindakan fisik atau bicara yang terfiksasi dan berulang.
(6) Mannerisme: pergerakan tidak disadari, dan bersifat habitual.
(7) Otomatisme: tindakan atau tindakan-tindakan yang otomatis yang biasanya mewakili suatu aktivitas
simbolik yang tidak disadari.
(8) Otomatisme perintah: otomatisme mengikuti sugesti (juga disebut kepatuhan otomatik).

36
(9) Mutisme: tidak bersuara tanpa kelainan struktural.
(10) Aktivitas yang berlebihan secara patologis (overactivity)
a. Agitasi psikomotor: aktivitas motorik dan kognitif yang berlebihan, biasanya tidak produktif
dan sebagai akibat respons atas ketegangan dari dalam (inner tension).
b. Hiperaktivitas/hiperkinesis: kegelisahan dan aktivitas destruktif, seringkali disertai dengan
dasar patologi pada otak.
c. Tik: pergerakan motorik yang spasmodik dan tidak disadari.
d. Tidur berjalan (somnambulisme): aktivitas motorik saat tertidur.
e. Akathisia: perasaan subjektif terhadap ketegangan motorik sebagai akibat sekunder dari
medikasi antipsikotik atau medikasi lain yang dapat menyebabkan kegelisahan; duduk dan
berdiri berulang secara berganti-ganti dan berulang; dapat disalahartikan sebagai agitasi
psikotik.
f. Kompulsi: impuls tidak terkontrol untuk melakukan tindakan berulang.
iii. Dipsomania: kompulsi untuk minum alkohol.
iv. Kleptomania: kompulsi untuk mencuri.
v. Nimfomania: kebutuhan untuk koitus yang kuat dan kompulsif pada seorang
wanita.
vi. IV.Satiriasis: kebutuhan untuk koitus yang kuat dan kompulsif pada seorang laki-
Iaki.
vii. Trikotilomania: kompulsi untuk mencabut rambut.
viii. Ritual: aktivitas kompulsif otomatis dalam sifat, menurunkan kecemasan yang
orisinil.
g. Ataksia: kegagalan koordinasi otot, iregularitas gerakan otot.
h. Polifagia: makan berlebihan yang patologis.
(11) Hipoaktifitas/hipokinesis: penurunan aktivitas motorik dan kognitif, seperti pada retardasi
psikomotor; perlambatan pikiran, bicara dan pergerakan yang dapat terlihat.
(12) Mimikri (mimcry): aktivitas motorik tiruan dan sederhana pada anak-anak.
(13) Agresi: tindakan yang kuat dan diarahkan tujuan yang mungkin verbal atau fisik; bagian motorik
dari afek kekerasan, kemarahan atau permusuhan.
(14) Memerankan (acting out): ekspresi langsung dari suatu harapan atau impuls yang tidak disadari
dalam bentuk gerakan; fantasi yang tidak disadari dihidupkan secara impulsif dalam perilaku.
(15) Abulia: penurunan impuls untuk bertindak dan berpikir, disertai dengan ketidakacuhan tentang
akibat tindakan; disertai dengan defisit neurologis.

D. Aspek Proses Pikir (Berpikir)


Aliran gagasan, simbol dan asosiasi yang diarahkan oleh tujuan dimulai oleh suatu masalah atau suatu
tugas dan mengarah pada kesimpulan yang berorientasi kenyataan; jika terjadi urutan yang logis, berpikir
adalah normal; parapraksis (tergelincir dari logis yang termotivasi secara tidak disadari juga disebut
pelesetan menurut Freud) dianggap sebagai bagian dari berpikir yang normal.
Gangguan Umum dalam Bentuk atau Proses Berpikir:
(1) Gangguan mental: sindroma perilaku atau psikologis yang bermakna secara klinis, disertai dengan
penderitaan atau ketidakmampuan, tidak hanya suatu respon yang diperkirakan dari peristiwa
tertentu atau terbatas pada hubungan antara seseorang dan masyarakat.
(2) Psikosis/psikotik: ketidakmampuan untuk membedakan kenyataan dari fantasi; gangguan dalam
kemampuan menilai kenyataan, dengan menciptakan realitas baru (berlawanan dengan neurosis:
gangguan mental di mana kemampuan menilai kenyataan yang masih utuh, perilaku tidak jelas
melanggar norma-norma sosial, serta relatif masih dapat bertahan lama atau rekuren tanpa
pengobatan).
(3) Tes kenyataan atau realitas: pemeriksaan dan pertimbangan objektif tentang dunia di luar diri.
(4) Gangguan pikiran formal: gangguan dalam bentuk pikiran, malahan isi pikiran; berpikir ditandai
dengan kekenduran asosiasi, neologisme dan konstruksi yang tidak logis; proses berpikir
mengalami gangguan, dan lazimnya dianggap sebagai orang yang psikotik.
(5) Berpikir tidak logis: berpikir mengandung kesimpulan yang salah atau kontradiksi internal; hal ini
adalah patologis jika nyata dan tidak disebabkan oleh nilai kultural atau defisit intelektual.
(6) Dereisme: aktivitas mental yang tidak sesuai dengan logika atau pengalaman.
(7) Berpikir autistik: preokupasi dengan dunia dalam dan pribadi; istilah digunakan agak sama dengan

37
dereisme.
(8) Berpikir magis: suatu bentuk pikiran dereistik; berpikir adalah serupa dengan fase praoperasional
pada masa anak-anak (Jean Piaget), di mana pikiran, kata-kata atau tindakan mempunyai kekuatan
(sebagai contohnya, mereka dapat menyebabkan atau mencegah suatu peristiwa).
(9) Proses berpikir primer: istilah umum untuk berpikir yang dereistik, tidak logis, magis; normalnya
ditemukan pada mimpi, abnormal pada psikosis.
Gangguan Spesifik pada Bentuk Pikiran:
(1) Neologisme: kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengan mengkombinasikan suku
kata dari kata-kata lain, untuk alasan psikologis yang aneh (idiosinkratik).
(2) Word salad (gado-gado kata): carnpuran kata dan frasa yang membingungkan.
(3) Sirkumstansialitas: bicara yang tidak langsung yang lambat dalam mencapai tujuan tetapi pada
akhirnya mulai lagi dari titik awal untuk mencapai tujuan yang diharapkan; ditandai dengan
pemasukan detail-detail yang tidak bermakna.
(4) Tangensialitas: ketidakmarnpuan untuk mempunyai asosiasi pikiran yang diarahkan oleh tujuan;
pasien tidak pemah berangkat dari titik awal dari tujuan yang diinginkan.
(5) lnkoherensi: pikiran yang, biasanya, tidak dapat dimengerti; berjalan bersama pikiran atau atau
kata-kata dengan hubungan yang tidak logis atau tanpa tata bahasa, yang menyebabkan
disorganisasi; terputusnya asosiasi antar ide-ide yang ekstrim sehingga tidak dapat dimengerti sama
sekali.
(6) Perseverasi: respon terhadap stimulus sebelumnya yang menetap setelah stimulus baru diberikan,
sering disertai dengan gangguan kognitif.
(7) Verbigerasi: pengulangan kata-kata atau frasa-frasa spesifik yang tidak mempunyai arti.

(8) Ekolalia: pengulangan kata-kata atau frasa-frasa seseorang oleh seseorang lain secara
psikopatologis; cenderung berulang dan menetap, dapat diucapkan dengan mengejek atau intonasi
yang terputus-putus.
(9) Kondensasi: penggabungan berbagai konsep menjadi satu konsep.
(10) Jawaban yang tidak relevan: jawaban yang tidak harmonis dengan pertanyaan yang ditanyakan
(pasien tampaknya mengabaikan pertanyaan).
(11) Pengenduran asosiasi: aliran pikiran di mana gagasan-gagasan bergeser dari satu subjek ke subjek
lain dalam cara yang sama sekali tidak berhubungan; jika berat, bicara mungkin membingungkan
(inkoheren).
(12) Keluar dari jalur (derailment): penyimpangan yang mendadak dalarn urutan pikiran tanpa
penghambatan; seringkali digunakan secara sama dengan pengenduran asosiasi.
(13) Lompat gagasan (flight of ideas): verbalisasi atau permainan kata-kata yang cepat dan terus
menerus yang menghasilkan terus pergeseran terus menerus dari satu ide ke ide lain; ide-ide
cenderung dihubungkan, dan dalam bentuk yang kurang parah pemeriksa mungkin masih mampu
untuk mengikutinya.
(14) Asosiasi bunyi (clang assosiation): asosiasi kata-kata yang mirip bunyinya tetapi berbeda artinya;
kata tidak mempunyai hubungan logis, dapat termasuk permainan sajak dan permainan kata.
(15) Penghambatan (blocking): terputusnya aliran berpikir secara tiba-tiba sebelum pikiran atau gagasan
diselesaikan; setelah suatu periode terhenti singkat; orang tampak tidak teringat pada apa yang telah
dikatakan atau apa yang akan dikatakan (juga dikenal sebagai pencabutan pikiran).
(16) Glossolalia: ekspresi pesan-pesan yang relevan melalui kata-kata yang tidak dipahami (juga dikenal
sebagai "berbahasa lidah"); tidak dianggap sebagai gangguan pikiran jika terjadi pada praktek
keagamaan tertentu.
Gangguan Spesifik Pada Isi Pikiran:
(1) Kemiskinan isi pikiran: pikiran yang memberikan sedikit informasi karena tidak ada pengertian,
pengulangan kosong atau frasa yang tidak jelas.
(2) Gagasan yang berlebihan: keyakinan palsu yang dipertahankan dan tidak beralasan yang
dipertahankan secara kurang kuat dibandingkan dengan suatu waham.
(3) Waham: keyakinan palsu, didasarkan pada kesimpulan yang salah tentang kenyataan eksternal tidak
sejalan dengan inteligensia pasien dan latar belakang kultural, yang tidak dapat dikoreksi dengan
suatu alasan apapun.
a. Waham yang kacau dan aneh (bizzare delusion): keyakinan palsu yang aneh, mustahil dan
sama sekali tidak masuk akal (sebagai contohnya: orang dari angkasa luar telah menanamkan

38
suatu elektroda pada otak pasien).
b. Waham tersistematisasi: keyakinan yang palsu yang digabungkan oleh suatu tema atau
peristiwa tunggal (sebagai contohnya: pasien dimata-matai oleh agen rahasia, mafia atau
bos).
c. Waham yang sejalan dengan mood (mood congruent delusion): waham yang sesuai dengan
mood (sebagai contoh: seorang pasien depresi percaya bahwa ia bertanggungjawab untuk
penghancuran dunia).
d. Waham yang tidak sejalan dengan mood (mood incongruent delusion): waham dengan isi
yang tidak mempunyai hubungan dengan mood atau merupakan mood netral (sebagai
contohnya, pasien depresi mempunyai waham kontrol pikiran atau siar pikiran).
e. Waham nihilistik: perasaan palsu bahwa dirinya dan orang lain dan dunia adalah tidak ada
atau berakhir.
f. Waham kemiskinan: keyakinan palsu bahwa pasien kehilangan atau akan terampas semua
harta miliknya.
g. Waham somatik: keyakinan yang palsu menyangkut fungsi tubuh pasien (sebagai contohnya,
keyakinan bahwa otak pasien adalah berakar atau mencair).
h. Waham paranoid: termasuk waham persekutorik dan waham referensi, kontrol dan kebesaran
(dibedakan dari ide paranoid, dimana kecurigaan yang belum mencapai taraf waham).
i. Waham persekutorik: keyakinan palsu bahwa pasien sedang diganggu, ditipu atau
disiksa; sering ditemukan pada seorang pasien yang senang menuntut yang
mempunyai kecenderungan patologis untuk mengambil tindakan hukum karena
penganiayaan yang dibayangkannya.
ii. Waham kebesaran: gambaran kepentingan, kekuatan atau identitas seseorang yang
berlebihan.
iii. Waham referensi (hubungan): keyakinan palsu bahwa perilaku orang lain ditujukan
pada dirinya; bahwa peritiwa, benda-benda atau orang lain, mempunyai
kepentingan tertentu dan tidak biasanya, umumnya dalam bentuk negatif,
diturunkan dari idea referensi, di mana seseorang secara salah merasa bahwa ia
sedang dibicarakan oleh orang lain (sebagai contohnya, percaya bahwa orang di
televisi atau di radio berbicara padanya atau membicarakan dirinya).
i. Waham menyalahkan diri sendiri: keyakinan yang palsu tentang penyesalan yang dalam dan
bersalah.
j. Waham pengendalian: perasaan palsu bahwa kemauan, pikiran atau perasaan pasien
dikendalikan oleh tenaga dari luar.
i. Penarikan pikiran (thought withdrawal): waham bahwa pikiran pasien dihilangkan
dari ingatannya oleh orang lain atau tenaga lain.
ii. Penanaman pikiran (thought insertion): waham bahwa pikiran ditanam dalam
pikiran pasien oleh orang atau tenaga lain.
iii. Siar pikiran (thought broadcasting): waham bahwa pikiran pasien dapat didengar
oleh orang lain, seperti pikiran mereka sedang disiarkan di udara.
iv. Pengendalian pikiran (thought control): waham bahwa pikiran pasien dikendalikan
oleh orang atau tenaga lain.
k. Waham ketidaksetiaan (waham cemburu): keyakinan palsu yang didapatkan dari
kecemburuan patologis bahwa kekasih pasien adalah tidak jujur.
l. Erotomania: waham bahwa seseorang sangat mencintai dirinya; lebih sering pada
perempuan; juga dikenal dengan Kompleks Cleramnault-Kandinsky).
m. Pseudologia phantastica: suatu jenis kebohongan, di mana seseorang tampaknya percaya
terhadap ‘kenyataan’ fantasinya dan bertindak atas ‘kenyataan’; disertai dengan sindroma
Munchausen, berpura-pura sakit yang berulang.
(4) Kecenderungan atau preokupasi pikiran: pemusatan isi pikiran pada ide tertentu, disertai dengan
irama efektif yang kuat, seperti kecenderungan paranoid atau preokupasi tentang bunuh diri atau
membunuh.
(5) Egomania: preokupasi dengan diri sendiri yang patologis.
(6) Monomania: preokupasi dengan suatu objek tunggal.
(7) Hipokondria: keprihatinan yang berlebihan tentang kesehatan pasien yang didasarkan bukan pada
patologi organik yang nyata, tetapi pada interpretasi yang tidak realistik terhadap tanda atau sensasi
fisik sebagai suatu yang tak normal.

39
(8) Obsesi: pikiran kukuh (persisten) yang patologis, sekalipun tidak dikehendaki pasien, pikiran mana
yang tidak dapat ditentang dan tidak dapat dihilangkan dari kesadaran oleh usaha logika; biasanya
disertai dengan kecemasan.
(9) Kompulsi: kebutuhan yang patologis untuk melakukan suatu tindakan yang jika ditahan,
menyebabkan kecemasan; perilaku berulang sebagai respon suatu obsesi atau dilakukan menurut
aturan tertentu, tanpa akhir yang sebenarnya.
(10) Koprolalia: pengungkapan kompulsif dari kata kata yang cabul/kotor.
(11) Fobia: rasa takut patologis yang persisten, irasional, berlebihan, dan selalu terjadi terhadap suatu
jenis stimulasi atau situasi tertentu; menyebabkan keinginan yang memaksa untuk menghindari
stimulasi yang ditakuti. Macam-macam fobia ialah:
a. Fobia sederhana (simpleks): rasa takut yang jelas terhadap objek atau situasi yang jelas
(sebagai contohnya, rasa takut terhadap laba-laba atau ular).
b. Fobia sosial: rasa takut akan keramaian masyarakat, seperti rasa takut berbicara dengan
masyarakat, bekerja atau makan dalam masyarakat.
c. Akrofobia: rasa takut terhadap tempat yang tinggi.
d. Agorafobia: rasa takut terhadap tempat yang terbuka
e. Algofobia: rasa takut terhadap rasa nyeri.
f. Ailurofobia: rasa takut terhadap kucing.
g. Eritrofobia: rasa takut terhadap warna merah (merujuk terhadap rasa takut terhadap darah).
h. Panfobia: Rasa takut terhadap segala sesuatu.
i. Klaustrofobia: rasa takut terhadap tempat yang tertutup.
j. Xenofobia: rasa takut terhadap orang asing.
k. Zoofobia: rasa takut terhadap binatang.
(12) Noesis: suatu wahyu di mana terjadi pencerahan yang besar sekali disertai dengan perasaan bahwa
pasien telah dipilih untuk memimpin dan memerintah.
(13) Unio mystica: suatu perasaan yang meluap, pasien secara mistik bersatu dengan kekuatan yang
tidak terbatas; tidak dianggap suatu gangguan dalam isi pikiran jika sejalan dengan keyakinan
pasien atau lingkungan kultural.

E. Aspek Bicara
Gagasan, pikiran, perasaan yang diekspresikan melalui bahasa; komunikasi verbal.
Gangguan Bicara:
(1) Tekanan bicara (pressure of speech): bicara cepat yaitu peningkatan jumlah dan kesulitan untuk
memutus pembicaraan.
(2) Kesukaan/banyak bicara (logorrhea): bicara yang banyak sekali, bisa koheren, bisa inkoheren.
(3) Kemiskinan bicara (poverty of speech): pembatasan jumlah bicara yang digunakan; jawaban
mungkin hanya satu suku kata (monosyllabic).
(4) Bicara yang tidak spontan: respon verbal yang diberikan hanya jika ditanya atau dibicarakan
langsung; tidak ada bicara yang dimulai dari diri sendiri.
(5) Kemiskinan isi bicara: bicara yang adekuat dalam jumlah tetapi memberikan sedikit informasi
karena ketidakjelasan, kekosongan, atau frasa yang stereotipik.
(6) Disprosodi: hilangnya irama bicara yang normal.
(7) Disartria: kesulitan artikulasi, bukan dalam penemuan kata atau tata bahasa.
(8) Bicara yang keras atau lemah secara berlebihan: hilangnya modulasi volume bicara normal; dapat
mencerminkan berbagai keadaan patologis seperti seperti pada psikosis, depresi, atau ketulian.
(9) Gagap (stuttering): pengulangan atau perpanjangan suara atau suku kata yang sering, menyebabkan
gangguan kefasihan bicara yang jelas.
(10) Cluttering: bicara yang aneh dan disritmik, yang mengandung semburan kata-kata yang cepat dan
menyentak.
Gangguan Afasik:
Gangguan dalam pengeluaran bahasa.
(1) Afasia motorik: gangguan bicara yang disebabkan oleh gangguan kognitif di mana
pengertian/pemahaman adalah tetap utuh tetapi kemampuan untuk bicara adalah sangat terganggu;
bicara terhenti-henti, susah payah dan tidak akurat (juga dikenal sebagai afasia Broca, tidak fasih
dan ekspresif).
(2) Afasia sensoris: kehilangan kemampuan organik untuk mengerti/memahami arti kata; bicara adalah
40
lancar dan spontan, tetapi membingungkan dan yang bukan-bukan (juga dikenal sebagai afasia
Wernicke, fasih dan reseptif).
(3) Afasia nominal: kesulitan untuk menemukan nama yang tepat untuk suatu benda (juga dikenal
sebagai afasia anomia dan amnestik).
(4) Afasia sintatikal: ketidakmampuan untuk menyusun kata-kata dalam urutan yang tepat.
(5) Afasia Jargon: kata-kata yang dihasilkan seluruhnya neologistik; kata-kata yang tidak masuk akal
yang diulang-ulang dengan berbagai intonasi dan nada suara.
(6) Afasia global: kombinasi afasia yang sangat tidak fasih dan afasia fasih yang berat.

F. Aspek Persepsi
Proses pemindahan stimulasi fisik menjadi informasi psikologis; proses mental di mana stimulasi sensoris
dibawa ke kesadaran.
Gangguan Persepsi:
(1) Halusinasi: persepsi sensoris yang palsu yang tetjadi tanpa stimulasi ekstemal yang nyata; mungkin
terdapat atau tidak terdapat interpretasi waham sehubungan dengan pengalaman halusinasi tersebut.
a. Halusinasi hipnagogik: persepsi sensoris yang palsu yang terjadi saat akan tertidur biasanya
dianggap sebagai fenomena yang tak patologis.
b. Halusinasi hipnopompik: persepsi palsu yang terjadi saat terbangun dari tidur; biasanya
dianggap tidak patologis.
c. Halusinasi dengar (auditoris): persepsi bunyi yang palsu, biasanya suara tetapi juga bunyi-
bunyi lain; merupakan halusinasi yang paling sering pada gangguan psikiatrik.
d. Halusinasi visual: persepsi palsu tentang penglihatan yang berupa citra yang berbentuk
(sebagai contohnya, orang) dan citra yang tidak berbentuk (sebagai contohnya, kilatan
cahaya); paling sering pada gangguan organik.
e. Halusinasi penciuman (oflaktoris): persepsi membau yang palsu; paling sering pada
gangguan organik.
f. Halusinasi pengecapan (gustatoris): persepsi tentang rasa kecap yang palsu, seperti rasa
kecap yang tidak menyenangkan yang disebabkan oleh kejang; paling sering pada gangguan
organik.
g. Halusinasi perabaan (taktil; haptic): persepsi palsu tentang perabaan atau sensasi permukaan,
seperti dari tungkai yang teramputasi (phantom limb); sensasi adanya gerakan pada atau di
bawah kulit (kesemutan).
h. Halusinasi somatik: sensasi palsu tentang sesuatu hal yang terjadi di dalam atau terhadap
tubuh; paling sering berasal dari bagian viseral tubuh (juga dikenal sebagai halusinasi
kenestetik).
i. Halusinasi liliput: persepsi yang palsu di mana benda-benda tampak lebih kecil ukuranya
(juga dikenal sebagai mikropsia).
j. Halusinasi yang sejalan (sesuai) dengan mood (mood-congruent hallucination): di mana isi
halusinasi konsisten dengan mood yang tertekan atau manik (sebagai contohnya, pasien yang
mengalami depresi mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien adalah orang yang
jahat; seorang pasien manik mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien memiliki harga
diri, kekuatan dan pengetahuan yang tinggi).
k. Halusinasi yang tak sejalan (tak sesuai) dengan mood (mood-incongruent hallucination): di
mana isi halusinasi tidak konsisten dengan mood yang tertekan atau manik (sebagai
contohnya, pada depresi, halusinasi tidak melibatkan tematema tersebut seperti rasa bersalah,
penghukuman yang layak, atau ketidakmampuan; pada mania, halusinasi tidak mengandung
tema-tema tersebut seperti harga diri atau kekuasaan yang tinggi).
l. Halusinosis: halusinasi, paling sering adalah halusinasi dengar, yang berhubungan dengan
penyalahgunaan alkohol kronis yang terjadi dalam sensorium yang jernih; keadaan ini
berbeda dengan delirium tremens (DTs), yaitu halusinasi yang terjadi dalam konteks
sensorium yang berkabut.
m. Sinestesia: sensasi atau halusinasi yang disebabkan oleh sensasi lain, (sebagai contohnya,
suatu sensasi auditoris yang disertai atau dicetuskan oleh suatu sensasi visual; suatu bunyi
dialami sebagai dilihat, atau suatu penglihatan dialami sebagai didengar).
n. Trailing phenonemon: kelainan persepsi yang berhubungan dengan obat-obat halusinogenik
di mana benda yang bergerak dilihat sebagai sederetan citra yang terpisah dan tidak kontinu.

41
(2) Ilusi: persepsi atau interpretasi yang salah (mispersepsi atau misinterpretasi) terhadap stimulasi
eksternal yang nyata.
Gangguan yang Berhubungan dengan Gangguan Kognitif dan Kondisi Medik:
Agnosia: ketidakmampuan untuk mengenali dan menginterpretasikan kesan sensoris.
(1) Anosognosia (ketidaktahuan tentang penyakit): adanya ketidakmampuan untuk mengenali suatu
defisit neurologis yang terjadi pada pasien.
(2) Somatopagnosia (ketidaktahuan tentang tubuh): adanya ketidakmampuan untuk mengenali suatu
bagian tubuh sebagai milik tubuhnya sendiri (juga disebut sebagai autopagnosia).
(3) Agnosia visual: ketidakmampuan untuk mengenali benda-benda atau orang.
(4) Astereognosis: ketidakmampuan untuk mengenali benda melalui sentuhan.
(5) Prosopagnosia: ketidakmampuan mengenali wajah.
(6) Apraksia: ketidakmampuan untuk melakukan tugas tertentu.
(7) Simultagnosia: ketidakmampuan untuk mengerti lebih dari satu elemen pandangan visual pada
suatu waktu atau untuk mengintegrasikan bagian-bagian menjadi keseluruhan.
(8) Adiadokokinesis: adanya ketidakmampuan untuk melakukan pergerakan yang berubah dengan
cepat.
Gangguan yang Berhubungan dengan Fenomena Konversi dan Disosiatif:
Terjadinya somatisasi meteri-materi yang direpresi atau berkembangnya gejala dan distorsi fisik yang
melibatkan otot-otot volunter atau organ sensorik tertentu bukan di bawah kontrol volunter dan tidak dapat
dijelaskan oleh karena gangguan fisik.
(1) Anestesia histerikal: hilangnya modalitas sensoris yang disebabkan oleh konflik emosional.
(2) Makropsia: pasien menyatakan bahwa benda-benda tampak lebih besar dari sesungguhnya; bisa
berhubungan dengan kondisi organik, seperti epilepsi kejang parsial kompleks.
(3) Mikropsia: pasien menyatakan bahwa benda-benda adalah lebih kecil dari sesungguhnya; bisa
berhubungan dengan kondisi organik, seperti epilepsi kejang parsial kompleks.
(4) Depersonalisasi: suatu perasaan subjektif merasa tidak nyata, aneh atau tidak mengenali diri sendiri.
(5) Derealisasi: suatu perasaan subjektif bahwa lingkungan adalah aneh atau tidak nyata; suatu perasaan
tentang perubahan realistik.
(6) Fugue: mengambil identitas baru pada amnesia identitas yang lama; seringkali termasuk berjalan-
jalan atau berkelana ke lingkungan yang baru.
(7) Kepribadian ganda (multiple personality): satu orang yang tampak pada waktu yang berbeda
menjadi dua atau lebih kepribadian dan karakter yang sama sekali berbeda.

G. Aspek Daya Ingat


Daya ingat merupakan fungsi di mana informasi disimpan di otak dan selanjutnya diingat kembali ke
kesadaran.
Ganggguan Daya Ingat:
(1) Amnesia: ketidakmampuan sebagian atau keseluruhan untuk mengingat pengalaman masa lalu;
mungkin bersumber dari kelainan organik atau emosional.
a. Anterograd: amnesia untuk peristiwa yang terjadi setelah suatu titik waktu.
b. Retrograd: amnesia sebelum suatu titik waktu.
(2) Paramnesia: pemalsuan ingatan oleh distorsi pengingatan
b. Fausse reconnaissance: pengenalan yang palsu.
c. Pemalsuan restrokpektif: ingatan secara tidak diharapkan (tidak disadari) menjadi terdistorsi
saat disaring melalui keadaan emosional, kognitif, dan pengalaman pasien sekarang.
d. Konfabulasi: pengisian kekosongan ingatan secara tidak disadari oleh pengalaman yang
dibayangkan atau tidak nyata yang dipercayai pasien tetapi tidak mempunyai dasar
kenyataan; paling sering berhubungan dengan patologi organik.
e. Deja vu: ilusi pengenalan visual di mana situasi yang baru secara keliru dianggap sebagai
suatu pengulangan ingatan sebelumnya.
f. Deja entendu: ilusi pengenalan auditoris.
g. Deja pense: ilusi bahwa suatu pikiran baru dikenali sebagai pikiran yang sebelumnya telah
dirasakan atau diekspresikan.
h. Jamais vu: perasaan palsu tentang ketidakkenalan terhadap situasi nyata yang telah dialami
oleh seseorang.

42
(3) Hipermnesia (daya ingat yang ‘meninggi’): peningkatan derajat penyimpanan dan pengingatan.
(4) Eidetic image: ingatan visual tentang kejelasan halusinasi.
(5) Screen memory: ingatan yang dapat ditoleransi secara sadar menutup ingatan yang menyakitkan.
(6) Represi: suatu mekanisme pertahanan yang ditandai oleh pelupaan secara tidak disadari terhadap
gagasan atau impuls yang menyakitkan atau tidak dapat diterima.
(7) Letologika: ketidakmampuan sementara untuk mengingat suatu nama atau suatu kata benda secara
tepat.

Tingkat Daya Ingat:


(1) Daya ingat yang segera (immediate memory): pengingatan hal-hal yang dirasakan dalam beberapa
detik sampai menit.
(2) Daya ingat yang baru saja (recent memory): pengingatan peristiwa yang telah lewat beberapa hari.
(3) Daya ingat yang agak lama (recent past memory): pengingat peristiwa yang telah lewat selama
beberapa bulan.
(4) Daya ingat yang jauh (remote memory): pengingatan peristiwa yang telah lama terjadi.

H. Inteligensia
Kemampuan untuk mengerti, mengingat, menggerakkan dan menyatukan secara konstruktif pelajaran
sebelumnya dalam menghadapi situasi yang baru.
Retardasi Mental:
Kurangnya inteligensia sampai derajat di mana terdapat gangguan pada kinerja sosial dan kejuruan:
(1) Mental Retardasi Ringan (Mild) (IQ 50 atau 55 - kira-kira 70)
(2) Mental Retardasi Sedang (Moderate) (IQ 35 atau 40 - 50 atau 55)
(3) Mental Retardasi Berat (Severe) (IQ 20 atau 25 - 35 - 40).
(4) Mental Retardasi Sangat Berat (Profound) (IQ di bawah 25)
Demensia:
Pemburukan fungsi intelektual organik dan global tanpa pengaburan kesadaran.
(1) Diskalkulia/Akalkulia: hilangnya kemampuan untuk melakukan perhitungan; bukan karena
gangguan psikologis.
(2) Disgrafia/Agrafia: Hilangnya kemampuan untuk menulis dalam gaya yang kursif; hilangnya
struktur kata.
(3) Aleksia: Hilangnya kemampuan membaca yang sebelumnya dimiliki; bukan disebabkan oleh
gangguan penglihatan.
Pseudodemensia:
Gambaran klinis yang menyerupai demensia yang tidak disebabkan oleh suatu kondisi organik; paling
sering disebabkan oleh depresi (sindroma demensia dari depresi).
Berpikir Konkret:
Berpikir harafiah; penggunaan kiasan yang terbatas tanpa pengertian nuansa arti; pikiran satu-dimensi.
Berpikir Abstrak:
Kemampuan untuk mengerti nuansa arti; berpikir multidimensional dengan kemampuan menggunakan
kiasan dan hipotesis dengan tepat.

I. Aspek Tilikan ( Insight )


Kemampuan pasien untuk mengerti penyebab sebenarnya dan arti dari suatu situasi (seperti sekumpulan
gejala).
Tilikan Intelektual:
Kemampuan untuk mengerti kenyataan objektif tentang suatu keadaan tanpa kemampuan untuk
menerapkan pengetahuan dalam cara yang berguna untuk mengatasi situasi.
Tilikan Sejati:
Kemampuan untuk mengerti kenyataan objektif tentang suatu situasi, disertai daya dorong motivasi dan
emosional untuk mengatasi situasi.

43
Tilikan yang Terganggu:
Kehilangannya kemampuan untuk mengerti kenyataan objektif dari suatu situasi.

J. Aspek Pertimbangan (Judgement)


Kemampuan untuk menilai situasi secara benar dan untuk bertindak secara tepat di dalam situasi tersebut.
Pertimbangan Kritis:
Kemampuan untuk menilai, melihat dan memilih berbagai pilihan di dalam suatu situasi.
Pertimbangan yang Terganggu:
Kehilangannya kemampuan untuk mengerti suatu situasi dengan benar dan bertindak secara tepat.

WAWANCARA, RIWAYAT PSIKIATRIK, PEMERIKSAAN STATUS


MENTAL, DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA

A. Wawancara Psikiatrik
Secara definisi, suatu wawancara psikiatrik menggambarkan dialog verbal dan nonverbal antara dokter
pemeriksa dan pasien, yang perilakunya mempengaruhi gaya komunikasi masing-masing, sehingga
mengakibatkan pola interaksi spesifik. Seorang dokter pemeriksa dalam wawancara berupaya untuk
mencapai sasaran yang spesifik dengan mengajukan pertanyaan dan atau pertanyaan yang perlu direspons
oleh pasien. Secara garis besar, sasaran pengkajian klinis dari wawancara psikiatrik adalah untuk:
(1) Membina hubungan saling percaya dalam situasi terapeutik.
(2) Mengumpulkan data dasar yang valid.
(3) Mengembangkan keterlibatan dan pengertian yang empatik tentang pasien.
(4) Mengembangkan pengkajian yang dapat menghasilkan perumusan diagnosis tentatif.
(5) Mengembangkan rencana pengobatan yang sesuai.
(6) Mempengaruhi penurunan derajat ansietas pasien.
Teknik-teknik wawancara yang terdapat dalam berbagai kepustakaan umumnya dibagi atas teknik-teknik
umum yang dapat digunakan pada hampir setiap kondisi dan teknik-teknik khusus yang dikembangkan
untuk situasi-situasi khusus, seperti pada pasien-pasien dengan gangguan waham, gangguan depresi berat
dengan ide bunuh diri yang kuat, gangguan mental organik, dan lain-lain. Idealnya setiap dokter pemeriksa
perlu memiliki ketrampilan dasar untuk melakukan wawancara terhadap berbagai macam karakteristik
pasien yang dihadapinya. Alasannya adalah bahwa suatu diagnosis yang akurat dan dapat dipercaya hanya
dapat ditegakkan bila seorang dokter pemeriksa dapat melakukan wawancara psikiatrik yang baik, terlepas
dari sulit-tidaknya karakter pasien yang dihadapinya.
Nancy Andreasen dan Donald Black mengajukan 11 teknik umum yang dapat dipergunakan pada
kebanyakan situasi wawancara psikiatrik, yaitu:
(1) Bangunlah rapport (hubungan dokter pemeriksa-pasien yang baik) sedini mungkin.
(2) Tentukanlah keluhan utama pasien.
(3) Manfaatkanlah keluhan utama untuk menegakkan diagnosis banding sementara.
(4) Ajukan pertanyaan yang terarah untuk mempertimbangkan berbagai kemungkinan diagnosis.
(5) Telusuri dengan tekun setiap jawaban pasien yang masih samar-samar atau tak jelas sampai
diperoleh jawaban yang akurat.
(6) Ciptakanlah suasana yang membuat pasien dapat berbicara dengan cukup bebas untuk
mengobservasi bagaimana koherensi (adanya hubungan yang baik) dari ide satu terhadap ide yang
lain dalam pikiran pasien.
(7) Gunakanlah teknik wawancara terbuka dan/atau tertutup dengan rnempertimbangkan kondisi dan
respons pasien.
(8) Beranikan diri untuk rnendiskusikan topik-topik yang sulit atau memalukan, baik rnenurut anda
ataupun pasien.
(9) Tanyakanlah tentang kemungkinan adanya pikiran bunuh diri.
(10) Pada akhir wawancara, berikan kesempatan kepada pasien untuk mengajukan pertanyaan atau
komentar tentang isi dan proses wawancara.
(11) Sebelum berpisah dengan pasien, sampaikanlah kesimpulan sementara dari wawancara awal yang
telah berlangsung dengan menyatakan rasa kepercayaan dan harapan.

44
Waktu perlangsungan wawancara awal biasanya berkisar 30 menit hingga 1 jam, tergantung keadaan. Bagi
pasien-pasien yang menderita gangguan psikotik atau penyakit fisik, wawancara sebaiknya berlangsung
singkat oleh karena pasien sering merasakan proses wawancara sebagai sesuatu yang menimbulkan atau
menambah stres.
Wawancara terapeutik kedua dan selanjutnya umumnya berlangsung 30 menit. Pada wawancara kedua dan
seterusnya perlu dilakukan koreksi terhadap berbagai informasi yang belum jelas atau keliru yang
diperoleh pada wawancara sebelumnya. Akan lebih baik bila pasien diijinkan untuk memberikan komentar
(perasaannya) tentang wawancara sebelumnya.
Selain dengan pasien, bila memungkinkan, wawancara perlu dilakukan juga dengan keluarga pasien untuk
memperoleh tambahan informasi yang akurat mengenai kondisi dan gejala pasien. Dalam hal ini, seorang
dokter pemeriksa perlu berhati-hati agar tidak terdapat informasi yang salah dari keluarga tentang pasien,
baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, atau terjadinya penolakan (resistensi) dari pasien
terhadap proses terapeutik sebagai refleksi ketidaksetujuan pasien akan wawancara atau hasil wawancara
dengan keluarganya. Bila ini terjadi maka sangat mungkin hubungan dokter - pasien akan mengalami
hambatan.

B.Riwayat Psikiatrik
Riwayat psikiatrik pada hakekatnya merupakan catatan kehidupan pasien yang diperlukan oleh seorang
dokter pemeriksa untuk memahami siapa pasien, dari mana ia berasal, dan kemana tujuan hidupnya di
masa mendatang. Dalam hal ini termasuk kronologi pembentukan dan riwayat psikiatrik dan medis di
masa lalu, karakteristik kehidupan pasien. Perlu diingat bahwa riwayat psikiatrik berisi cerita kehidupan
pasien yang diceritakan kepada dokter pemeriksa berdasarkan kata dan dari sudut pandang pasein sendiri.
Selain bersumber dari pasien, riwayat psikiatrik dapat pula diperoleh dari sumber-sumber lain yang
mengetahui kehidupan pasien. Sumber informasi tersebut dapat berasal dari keluarga pasien (orang tua,
suami/isteri, kakak/adik, dan lain-lain), teman dekat pasien, dokter yang sebelumnya merawat pasien,
ataupun dari catatan medik pasien). Siapa dan apapun dapat dipertimbangkan sebagai sumber informasi
riwayat psikiatrik pasien sepanjang sumber tersebut relevan dan akurat.
Garis besar riwayat psikiatrik memiliki struktur sebagai berikut:
(1) Data Identitas
(2) Keluhan Utama dan Masalah
(3) Riwayat Penyakit/Gangguan Sekarang
(4) Riwayat Penyakit/Gangguan Sebelumnya
(5) Riwayat Kehidupan Pribadi
a. Masa Pranatal dan Perinatal
b. Masa Kanak Awal (sampai usia 3 tahun)
c. Masa Kanak Pertengahan (usia 3 - 11 tahun)
d. Masa Kanak Akhir (pubertas - masa remaja)
e. Masa Dewasa
i. Riwayat Pekerjaan
ii. Riwayat Perkawinan
iii. Riwayat Pendidikan
iv. Riwayat Kehidupan Keagamaan (Rohani)
v. Aktivitas Sosial
vi. Situasi Kehidupan Sekarang
vii. Riwayat Pelanggaran Hukum
f. Riwayat Kehidupan Psikoseksual
g. Riwayat Keluarga
h. Mimpi, Khayalan dan Nilai Hidup
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa riwayat psikiatrik adalah catatan kehidupan
pasien yang diceritakan kepada dokter dengan kata-kata dan dari sudut pandangannya sendiri. Selain dari
pasien, sumber informasi tentang pasien dapat berasal juga dari sumber-sumber lain, seperti orang tua atau
pasangan hidup pasien. Perlu ditekankan di sini bahwa riwayat psikiatrik agak berbeda dari riwayat yang
diperoleh dari ilmu kedokteran medik lainnya ataupun ilmu kedokteran bedah karena di samping menggali
data yang konkrit dan aktual tentang kronologi pembentukan gejala dan riwayat psikiatrik dan medis yang

45
lalu, dokter pemeriksa berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang riwayat karakteristik kepribadian
pasien, termasuk kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan pasien.
Riwayat psikiatrik juga mencakup informasi tentang sifat hubungan pasien dengan orang yang paling
dekat dengan pasien termasuk semua orang yang penting dalam kehidupan pasien di masa lalu dan saat ini.
Dengan demikian, melalui riwayat psikiatrik dapat diperoleh gambaran perkembangan pasien yang
menyeluruh dan tepat, dari tahun-tahun pertumbuhan dan perkembangan yang paling awal sampai saat
kini.
Teknik yang paling penting dalam rangka memperoleh riwayat psikiatrik adalah membiarkan pasien
menceritakan keadaan dirinya dengan kata-katanya sendiri. Dengan cara ini juga pasien akan diberikan
kesempatan untuk merasakan bahwa dirinya dianggap penting dan berarti oleh dokter pewawancara.
Data Identifikasi:
(1) Data identifikasi memberikan ringkasan demografik yang ringkas tentang nama pasien, usia, status
perkawinan, jenis kelamin, pekerjaan, bahasa jika selain bahasa Indonesia, latar belakang etnis, dan
agama, dan keadaan kehidupan sekarang ini. Informasi juga dapat menyangkut tempat dan/atau
situasi saat wawancara berlangsung dan apakah gangguan sekarang ini merupakan episode pertama.
(2) Data identifikasi yang juga perlu menyatakan tentang apakah pasien datang atas keinginannya
sendiri, dirujuk oleh orang lain, atau dibawa oleh orang lain.
(3) Data identifikasi adalah alat untuk memberikan sketsa ringkas tentang karakteristik pasien yang
penting karena dapat mempengaruhi diagnosis, prognosis, pengobatan dan kepatuhan.
Keluhan Utama:
(1) Keluhan utama dijabarkan dengan menggunakan kata-kata pasien sendiri, menyatakan alasan
mengapa pasien datang atau dibawa untuk mendapatkan bantuan.
(2) Keluhan ini harus dicatat bahkan jika pasien tidak mampu untuk berbicara. Penjelasan pasien, tidak
tergantung apakah relevan atau tidaknya keluhan itu, harus dicatat kata demi kata di dalam bagian
keluhan utama. Orang lain yang datang sebagai sumber informasi selanjutnya dapat memberikan
masukan menurut versi mereka sendiri tentang peristiwa yang ada di dalam bagian riwayat penyakit
sekarang. Contoh: "Saya merasa seperti ada orang yang akan mencelakai saya." “Saya yakin
bahwa tetangga di depan rumah saya bermaksud membunuh saya saat bulan purnama tiba. "
“Tetangga saya akan membunuh saya melalui antena TV saya saat saya menonton TV." Pasien
kemudian menangis ketakutan.
Riwayat Penyakit (Gangguan) Sekarang:
(1) Riwayat penyakit/gangguan sekarang merupakan bagian yang mengungkapkan gambaran yang
lengkap dan kronologis tentang peristiwa yang menyebabkan kondisi pasien seperti saat sekarang
ini.
(2) Bagian ini merupakan bagian riwayat penyakit yang kemungkinan paling membantu dalam
membuat suatu diagnosis:
a. Kapan onset episode terakhir?
b. Apakah peristiwa pencetus bersifat langsung atau hanya sebagai pemicu?
(3) Pengertian tentang riwayat penyakit sekarang membantu menjawab pertanyaan:
a. Mengapa penyakit/gangguan itu terjadi sekarang?
b. Mengapa pasien datang ke dokter pada saat ini?
c. Bagaimana keadaan hidup pasien saat onset gejala atau perubahan perilaku?
(4) Mengetahui apa ciri kepribadian sebelum sakit (premorbid personality) seorang pasien akan sangat
membantu memberikan wawasan dokter pemeriksa tentang keadaan pasien yang sekarang sedang
menderita sakit/gangguan.
(5) Gejala yang tidak tampak atau samar-samar juga harus digambarkan. Perkembangan gejala pasien
harus digambarkan dan diringkaskan di dalam cara yang tersusun dan sistimatis.
(6) Semakin terinci riwayat penyakit sekarang, semakin mungkin dokter pemeriksa membuat diagnosis
yang akurat. Misalnya:
a. Apa peristiwa pencetus di masa lalu yang merupakan bagian dari rantai yang menyebabkan
peristiwa sekarang?
b. Sejauh mana penyakit/gangguan tersebut berdampak pada kehidupan pasien (sebagai
contohnya, pekerjaan, hubungan yang penting, waktu luang)?
c. Bagaimana karakteristik gangguan yang dialami pasien (sebagai contoh, detail tentang
perubahan faktor-faktor tertentu seperti kepribadian, ingatan, bicara, dan lain-lain)?

46
d. Apakah terdapat gejala-tanda psikofisiologi? Bila demikian, seyogyanya gejala tersebut
harus dijabarkan dalam kaitannya dengan lokasi, intensitas dan fluktuasinya. Jika terdapat
hubungan antara gejala fisik dan psikologis, maka hal ini harus dicatat.
e. Bukti-bukti adanya tujuan sekunder (secondary gain) sebagai akibat dari terjadinya suatu
penyakit/gangguan harus dicatat.
f. Bila terdapat gejala kecemasan maka perlu dijelaskan tentang apakah kecemasan tersebut
umum dan tidak spesifik (mengalir bebas) atau secara spesifik berhubungan dengan situasi
tertentu? Bagaimana pasien menangani kecemasan tersebut?
Riwayat Penyakit/Gangguan Sebelumnya:
(1) Riwayat penyakit/gangguan sebelumnya sebenarnya merupakan bagian yang bertujuan untuk
menggambarkan peralihan dari riwayat penyakit sekarang dan riwayat pribadi pasien.
(2) Pada bagian ini juga penting untuk menggambarkan tentang episode penyakit/gangguan medik-
bedah dan psikiatrik pada waktu yang lalu, termasuk di dalamnya etiologi, gejala-gejala, derajat
penderitaan dan hendaya (gangguan fungsi) yang ditimbulkannya, diagnosis, dan jenis dan
kepatuhan serta respons pengobatan.
(3) Semua pasien harus ditanyakan tentang penggunaan alkohol dan zat lain, termasuk perincian
tentang cara penggunaan, jumlah, frekuensi pemakaian, dan faktor-faktor lain yang berkaitan
dengan masalah ini.
Riwayat Kehidupan Pribadi:
(1) Riwayat prenatal dan perinatal: Dalam bagian ini termasuk informasi mengenai:
a. Apakah pasien merupakan anak yang diinginkan untuk dilahirkan?
b. Apakah terdapat masalah dengan kehamilan dan persalinan ibu?
c. Apakah terdapat bukti-bukti cacat atau cedera saat kelahiran?
d. Bagaimana keadaan emosional dan fisik ibu saat pasien lahir? Apakah terdapat masalah
kesehatan ibu selama kehamilan? Apakah ibu menggunakan alkohol atau zat lain selama
kehamilannya?
(2) Masa anak-anak awal (sejak lahir sampai usia 3 tahun): Periode masa anak-anak awal terdiri dari
tiga tahun pertama kehidupan pasien. Informasi penting pada bagian ini menyangkut:
a. Kualitas interaksi ibu-anak selama pemberian makanan dan toilet training.
b. Gangguan awal di dalam pola tidur dan tanda tidak terpenuhinya kebutuhan, seperti
membenturkan kepala, mengguncang-guncangkan tubuh, memberikan petunjuk tentang
kemungkinan penyimpangan atau ketidakmampuan perkembangan maternal.
c. Apakah terdapat penyakit psikiatrik atau medis pada orang tua-anak?
d. Apakah ada orang selain ibu yang merawat pasien? Bila ada, apakah pasien menunjukkan
masalah kecemasan akan perpisahan atau kecemasan terhadap orang asing yang berIebihan
selama periode awal?
e. Saudara kandung pasien dan perincian hubungan pasien dengan mereka harus digali.
f. Kepribadian yang tampak pada anak juga merupakan masalah yang penting. Apakah anak
pemalu, tidak dapat diam, overaktif, menarik diri, senang belajar, senang bepergian, takut-
takut, atau ramah?
g. Bagaimana kemampuan konsentrasi, toleransi terhadap frustrasi, dan untuk menahan
kegembiraan?
h. Minat anak untuk peran aktif atau pasif di dalam permainan fisik harus juga dicatat. Apa
yang merupakan permainan atau mainan kesukaan anak? Apakah anak lebih suka bermain
sendirian, dengan anak lain, atau tidak sarna sekali?
i. Apakah terdapat mimpi atau fantasi yang rekuren selama periode ini?
Secara sistematis perlu dijelaskan hal-hal berikut:
a. Kebiasaan makan: minum ASI atau susu botol, masalah makan.
b. Perkembangan awal: berjalan, berbicara, pertumbuhan gigi, perkembangan bahasa,
perkembangan motorik, tanda kebutuhan tidak terpenuhi, pola tidur, ketetapan objek,
kecemasan pada orang asing, penyimpangan maternal, kecemasan akan perpisahan, pengasuh
lain di rumah.
c. Toilet training: usia berapa, sikap seorang tua, perilaku tentang hal ini.
d. Masalah perilaku: menghisap ibu jari, temperamen pemarah, tiks, membenturkan kepala,
menggoncang badan, night terrors mimpi buruk, ngompol atau defekasi saat tidur, menggigit
jari, masturbasi yang berlebihan.

47
e. Gambaran kepribadiaan saat anak-anak: pemalu, tidak dapat diam, overaktif, menarik diri,
persisten, senang keluar, takut-takut, ramah; pola permainan.
f. Mimpi atau fantasi awal yang rekuren.
(4) Masa anak-anak pertengahan (usia 3 tahun sampai 11 tahun): Di dalam bagian ini penting untuk
menggambarkan hal-hal berikut:
a. Identifikasi jenis kelamin, hukuman yang digunakan di rumah, dan siapa yang menegakkan
disiplin dan membentuk suara hati awal.
b. Pengalaman sekolah awal pasien, khususnya bagaimana pasien pertama kali mentoleransi
perpisahan dari ibunya.
c. Hubungan persahabatan pasien pertama kali dan hubungan pribadi.
d. Jumlah ternan-ternan pasien dan sejauh mana keakraban mereka menggambarkan apakah
pasien mengambil peran sebagai pemimpin atau pengikut, dan menggambarkan popularitas
sosial pasien dan peran serta di dalarn aktivitas kelompok. Apakah anak mampu untuk
bekerja sama dengan teman sebayanya, bersikap adil, mengerti dan mematuhi aturan, dan
mengembangkan suara hati awal? Pola awal tentang ketegasan, impulsif, agresi, pasivitas,
kecemasan atau perilaku antisosial timbul di dalam suasana hubungan sekolah.
e. Riwayat pelajaran membaca pasien dan perkembangan keterampilan intelektual dan motorik
lainnya. Riwayat gangguan belajar, penanganannya, efeknya pada anak mempunyai
kepentingan khusus.
f. Adanya mimpi malam, fobia, ngompol, kesenangan bermain api yang sampai menimbulkan
kebakaran, kekejaman pada binatang, dan masturbasi yang berlebihan.
(5) Masa anak-anak akhir (pubertas sampai masa remaja): Selama masa ini mulai terjadi proses
kemandirian dari orang tuanya melalui hubungan dengan teman sebaya dan di dalam aktivitas
kelompok. Dalam kaitan dengan hal ini maka dokter pemeriksa harus berusaha untuk menentukan
apa dan bagaimana nilai kelompok sosial pasien dan menentukan siapa tokoh yang diidealkan oleh
pasien. Informasi tersebut memberikan petunjuk yang penting tentang citra diri yang diidealkan
pasien.
Selain itu perlu dicari informasi-informasi berikut:
a. Riwayat sekolah pasien, hubungan dengan guru, pelajaran dan minat yang paling disukai
pasien, baik di sekolah maupun di bidang ekstrakurikuler. Peran serta pasien di dalam olah
raga dan kegemarannya.
b. Apakah terdapat masalah di sekolah, termasuk pembolosan yang berlebihan atau
perkelahian?
c. Masalah emosional atau fisik yang mungkin pertama kali tampak selama fase ini, seperti
identitas pribadi, penggunaan NAPZA, aktivitas seksualitas yang berlebihan.
d. Apakah pasien interaktif dan terlibat dengan teman sebaya dan sekolah, atau apakah pasien
terkucil, menarik diri, dianggap sebagai aneh oleh orang lain?
e. Apakah pasien mempunyai harga diri yang utuh, atau apakah terdapat bukti kebencian
terhadap diri sendiri yang berlebihan? Bagaimana citra tubuh (body image) pasien?
f. Apakah terdapat episode bunuh diri?
g. Bagaimana pasien menggunakan waktu pribadinya?
h. Bagaimana hubungan dengan orang tua?
i. Bagaimana perasaan tentang perkembangan karakteristik seks sekunder?
j. Bagaimana respon terhadap menarche?
k. Bagaimana sikap terhadap kencan, petting, keramaian, pesta, dan permainan seks?
Satu cara untuk menyusun sejumlah besar informasi yang bermacam-macam di atas adalah dengan
memecahkan masa anak-anak akhir (masa pubertas sampai masa dewasa) ini ke dalam subkelompok
perilaku sebagai berikut:
a. Hubungan sosial: sikap terhadap saudara kandung dan teman bermain, jumlah dan keakraban
dengan teman, pemimpin atau pengikut, popularitas sosial, peran serta di dalam aktivitas
kelompok atau gerombolan, tokoh yang diidealkan, pola agresif, pasivitas, kecemasan,
perilaku antisosial.
b. Riwayat sekolah: progresivitas dan prestasi sekolah pasien, penyesuaian diri dengan sekolah,
hubungan dengan guru, kesayangan guru atau memberontak pelajaran, atau minat yang
disukai, kemampuan atau bakat tertentu, aktivitas ekstrakurikuler, olah raga, kegemaran,
hubungan masalah atau gejala dengan tiap periode sosial.

48
c. Perkembangan kognitif dan motorik: belajar untuk membaca dan keterampilan intelektual
dan motorik lainnya, disfungsi otak minimal, ketidakmampuan belajar penatalaksanaan dan
efeknya pada anak.
d. Masalah emosional dan fisik: mimpi malam yang menakutkan, fobia, masturbasi, ngompol,
melarikan diri, pelanggaran, merokok, pemakaian alkohol atau obat-obatan, anoreksia,
bulimia, masalah berat badan, perasaan inferioritas, depresi, ide dan usaha bunuh diri.
e. Seksualitas:
i. Keingintahuan awal tentang seks, masturbasi infantil, permainan seks.
ii. Pengetahuan seksual, sikap orang tua terhadap seks, penyiksaan seksual.
iii. Onset pubertas, perasaan tentang hal tersebut, jenis persiapan, perasaan tentang
menstruasi, perkembangan karakteristik seks sekunder.
iv. Aktivitas seksual masa remaja: keramaian, pesta, kencan, petting, masturbasi,
mimpi basah (nocturnal emissions) dan sikapnya terhadap hal tersebut.
v. Sikap terhadap jenis kelamin berlawanan: takut-takut, malu, agresif, kebutuhan
untuk mempengaruhi, menggoda, penaklukan seksual, kecemasan.
vi. Praktek seksual: masalah seksual, parafilia, pelacuran.
vii. Orientasi seksual: pengalaman homoseksual dengan remaja heteroseksual dan
homoseksual, masalah identitas jenis kelamin. Harga diri.
(6) Masa dewasa:
a. Riwayat pekerjaan: pilihan jenis pekerjaan, konflik yang berhubungan dengan pekerjaan,
ambisi serta tujuan jangka panjang, hubungan dengan teman-teman kerja; bila sebelumnya
pernah bekerja di tempat lain, perlu dieksplorasi dan digambarkan tentang riwayat pekerjaan
sebelumnya, alasan pindah kerja, dan perubahan status pekerjaan; apa yang akan dilakukan
pasien untuk bekerja jika ia dapat bebas memilih antara dua atau lebih jenis dan tempat
pekerjaan?
b. Riwayat perkawinan dan persahabatan: gambarkan (tiap-tiap) perkawinan sah atau
berdasarkan hukum adat; hubungan yang bermakna dengan orang di mana pasien hidup
untuk periode waktu yang lama juga dimasukkan; riwayat perkawinan atau hubungan jangka
panjang harus memberikan suatu gambaran tentang perkembangan hubungan, termasuk usia
pasien saat memulai perkawinan atau hubungan jangka panjang; masalah persetujuan dan
ketidaksetujuan termasuk penatalaksanaan uang, kesulitan tempat tinggal, atau peranan ipar,
dan sikap dalam membesarkan anak-anak harus digambarkan; Bagaimana kualitas hubungan
seksual pasien? Bagaimana pasien melihat pasangannya? Apakah pasien mampu untuk
memulai suatu hubungan atau untuk mendekati seseorang yang dirasa pasien bahwa pasien
tertarik atau cocok? Bagaimana pasien menggambarkan hubungan sekarang dalam kualitas
positif dan negatifnya? Bagaimana pasien menerima kegagalan hubungan masa lalu dalam
pengertian apa yang salah dan siapa yang disalahkan atau tidak disalahkan.
c. Riwayat pendidikan: latar belakang sosial dan kultural pasien, kecerdasan, motivasi dan tiap
halangan dalam pencapaian prestasi; Apa tingkat pendidikan atau kelulusan tertinggi yang
dicapai pasien? Apakah pasien menyukai belajar, dan bagaimana tingkat prestasi akademik?
Bagaimana sikap pasien terhadap pencapaian akademik?
d. Keagamaan: latar belakang keagamaan kedua orang tua pasien dan bagaimana prinsip-
prinsip agama yang dianut oleh kedua orang tua pasien diajarkan dan diterapkan dalam
rumah tangga mereka? Apakah terdapat konflik antara orang tua tentang pendidikan
keagamaan anak? Apakah pasien memiliki dan aktif dalam perkumpulan keagamaan yang
kuat, dan jika memiliki, bagaimana perkumpulan tersebut mempengaruhi kehidupan pasien?
Apa yang dikatakan keagamaan pasien tentang pengobatan penyakit psikiatrik atau medis?
Apa sikap agama terhadap bunuh diri?
e. Aktivitas sosial: kehidupan sosial dan sifat persahabatan, dengan penekanan pada
kedalaman, lama dan kualitas hubungan manusia; Apa jenis minat sosial, intelektual dan fisik
yang dilakukan pasien dengan temannya? Apa jenis hubungan yang dimiliki pasien dengan
orang yang berjenis kelamin sama dan berlawanan? Apakah orang tua pada dasarnya lebih
menyukai isolasi? Apakah pasien lebih menyukai isolasi, atau apakah pasien terisolasi karena
kecemasan dan ketakutan kepada orang lain?
f. Situasi kehidupan sekarang: di mana pasien tinggal (termasuk lingkungan tetangga dan
rumah tempat tinggal); jumlah kamar, jumlah anggota keluarga yang tinggal di rumah
tersebut, dan susunan tempat tidur; Bagaimana masalah privasi ditangani, dengan penekanan

49
khusus tentang keterbukaan orang tua dan saudara kandung dan susunan kamar mandi;
sumber penghasilan keluarga dan tiap kesulitan finansial; Apakah ada bantuan finansial dari
masyarakat atau institusi dan bagaimana perasaan pasien tentang hal tersebut? Jika pasien
pernah dirawat di rumah sakit, bagaimana dengan masalah kehilangan pekerjaan atau tempat
tinggalnya selama pasien sakit? Siapa yang mengasuh anak-anak di rumah, siapa yang
mengunjungi pasien di rumah sakit, dan berapa seringnya.
g. Riwayat hukum: Apakah pasien pernah ditangkap dan, jika demikian, karena apa? Berapa
kali? Apakah pasien pernah dipenjara? Berapa lama? Apakah pasien dalam pengesahan
hakim atau dibebaskan dengan jaminan? Apakah pasien diharuskan menjalani pengobatan
sebagai bagian dari ketentuan hakim? Apakah pasien mempunyai riwayat penyerangan atau
kekerasan? Kepada siapa? Menggunakan apa? Bagaimana sikap pasien terhadap penahanan
atau penjara?
h. Riwayat psikoseksual: banyak riwayat seksualitas infantil tidak dapat diungkapkan,
walaupun banyak pasien mampu untuk mengingat keingintahuan dan permainan seksual
yang dimainkan dari 3 sampai 6 tahun. Dokter harus bertanya pada pasien tentang bagaimana
pasien mempelajari tentang seks dan apa yang mereka rasakan tentang sikap orang tua
mengenai perkembangan seksual mereka; Apakah pasien mengalami penyiksaan seksual
selama masa anak-anak? Onset pubertas dan perasaan pasien tentang kejadian tersebut
adalah penting; riwayat masturbasi pada remaja, termasuk sifat fantasi pasien dan perasaan
tentang hal tersebut, adalah penting; perilaku terhadap seks harus dijelaskan secara terinci;
Apakah pasien merasa malu, takut-takut, agresif? Ataukah pasien perlu mempengaruhi orang
lain dan menyombongkan penaklukan seksual? Apakah pasien mengalami kecemasan dalam
hal seksual? Apakah terdapat hubungan seksual dengan banyak orang? Apa orientasi seksual
pasien? Riwayat harus termasuk tiap gejala seksual, seperti anorgasmia, vaginismus,
impotensi, ejakulasi prematur atau tertahan, tidak adanya dorongan seksual, dan parafilia
(contohnya: sadisme seksual, fetihisme, voyeourisme); sikap pasien terhadap fellatio,
cunnilingus, dan teknik koitus harus dibicarakan. Topik penyesuaian seksual harus termasuk
suatu penjelasan bagaimana aktivitas seksual biasanya dimulai. Frekuensi hubungan seksual,
dan pilihan, variasi, serta teknik seksual. Biasanya tepat untuk menanyakan apakah pasien
terlibat di dalam hubungan di luar pernikahan, dan jika demikian, di dalam situasi apa dan
apakah pasangan mengetahui hubungan gelap tersebut. Jika pasangan tidak mengetahui
hubungan tersebut, Dokter harus meminta kepada pasien untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Alasan dasar dari suatu hubungan di luar pernikahan adalah sama pentingnya dengan suatu
pengetahuan tentang efek hubungan tersebut terhadap perkawinan. Sikap terhadap
kontrasepsi dan keluarga berencana adalah penting. Bentuk kontrasepsi apa yang digunakan
pasien? Dokter harus menanyakan apakah pasien ingin menjelaskan bidang lain dari fungsi
seksual dan seksualitas? Apakah pasien menyadari masalah yang terkait dalam seks yang
aman? Apakah pasien mempunyai suatu penyakit menular seksual, seperti herpes atau AIDS?
Apakah pasien merasa takut akan menjadi HIV-Positif?
i. Riwayat keluarga: Pernyataan singkat tentang tiap penyakit psikiatrik, perawatan di rumah
sakit, dan pengobatan anggota keluarga dekat pasien harus dimasukkan di dalam bagian
laporan ini. Apakah terdapat riwayat penggunaan alkohol atau zat lain atau perilaku antisosial
di dalam keluarga? Di samping itu dalam riwayat keluarga harus memberikan gambaran
tentang kepribadian dan intelegensia dari orang-orang yang hidup di rumah pasien mulai dari
masa anak-anak sampai sekarang dan gambaran tentang berbagai rumah tangga yang tinggal
di rumah tersebut. Dokter harus juga menentukan peranan yang dimainkan tiap-tiap orang
dalam asuhan pasien dan hubungan sekarang dengan pasien. Bagaimana etnik, kebangsaan
dan tradisi keagamaan keluarga? Sumber informasi lain, selain pasien mungkin hadir dan
dapat diminta untuk memberikan masukan tambahan yang bermutu tentang riwayat keluarga,
dan informasi tersebut harus ditulis dalam catatan tertulis. Seringkali, anggota keluarga yang
berbeda memberikan penjelasan yang berbeda tentang orang dan peristiwa yang sama.
Dokter harus menentukan sikap keluarga terhadap wawasannya tentang penyakit pasien.
Apakah pasien merasa bahwa ia didukung, tidak dibebankan, destruktif? Bagaimana peranan
sakit di dalam keluarga? Pertanyaan lain yang memberikan informasi yang berguna di dalam
bagian ini adalah: bagaimana sikap pasien terhadap orang tuanya dan saudara kandungnya?
Dokter harus meminta pasien untuk menggambarkan masing-masing anggota keluarga. Siapa
yang pertama kali disebut oleh pasien? Siapa yang tidak disebutkan pasien? Apa yang

50
dilakukan masing-masing orang tua untuk penghidupan? Apa yang dilakukan saudara
kandung? Bagaimana hal tersebut dibandingkan dengan apa yang dilakukan pasien sekarang,
dan bagaimana perasaan pasien tentang hal itu? Siapa yang dirasakan oleh pasien bahwa ia
paling disukai di dalam keluarga dan mengapa?
j. Mimpi, fantasi, dan nilai-nilai yang dianut: Mimpi yang berulang mempunyai nilai tertentu.
Jika pasien mempunyai mimpi menakutkan, apa tema pengulangannya? Beberapa tema
mimpi yang paling sering adalah makan, pemeriksaan, seks, keputusasaan, dan impotensi.
Dapatkah pasien menggambarkan mimpi terakhir dan mendiskusikan tentang kemungkinan
arti mimpi tersebut menurut dirinya? Fantasi dan mimpi di siang hari (daydreams) adalah
sumber material ketidaksadaran lainnya yang bernilai. Seperti pada mimpi, dokter pemeriksa
dapat menggali dan mencatat semua perincian yang bermanifestasi dan perasaan yang ada.
Apa fantasi pasien tentang masa depan? Jika pasien dapat membuat perubahan didalam
kehidupannya, apakah bagaimana jadinya? Apa fantasi pasien yang paling sering dan paling
disukai sekarang? Apakah pasien mengalami mimpi di siang hari? Apakah fantasi pasien
didasarkan pada kenyataan, atau apakah pasien tidak mampu menceritakan perbedaan antara
fantasi dan kenyataan? Dokter juga harus menanyakan tentang sistem nilai pasien baik sosial
dan moral. Termasuk nilai tentang pekerjaan, uang, bermain, anak-anak, orang tua, teman-
teman, seks, permasalahan masyarakat, dan masalah kultural. Sebagai contohnya, apakah
anak-anak dirasakan sebagai beban atau sebagai suatu kesenangan? Apakah pekerjaan
dialami sebagai kemalangan yang harus dijalani, tugas yang dapat dihindari, atau suatu
kesempatan? Apa konsep pasien tentang benar dan salah?

C. Pemeriksaan Status Mental


Pemeriksaan status mental adalah bagian dari pemeriksaan klinis yang menggambarkan jumlah total
observasi pemeriksa dan kesan tentang pasien psikiatrik saat wawancara. Walaupun riwayat pasien tetap
stabil, status mental pasien dapat berubah dari hari ke hari atau dari jam ke jam. Pemeriksaan status mental
adalah suatu gambaran tentang penampilan pasien, bicara, tindakan dan pikiran selama wawancara.
Bahkan jika pasien membisu atau inkoheren atau menolak menjawab pertanyaan, dokter pemeriksa dapat
memperoleh informasi yang banyak melalui observasi yang cermat.
Struktur pemeriksaan status mental adalah:
(1) Gambaran Umum (Penampilan, Perilaku dan Aktivitas Psikomotor, dan Sikap Terhadap Pemeriksa)
(2) Mood, Afek dan Kesesuaian
(3) Karakteristik Bicara
(4) Gangguan Persepsi
(5) Isi dan Proses Pikir
(6) Sensorium dan Kognisi
a. Kesadaran
b. Orientasi dan Memori
c. Konsentrasi dan Perhatian
d. Kemampuan Mermbaca dan Menulis
e. Kemampuan Visuospasial
f. Piliran Abstrak
g. Kecerdasan dan Inteligensia
(7) Pengendalian Impuls
(8) Pertimbangan dan Tilikan
(9) Reliabilitas (Keterpercayaan)
Gambaran Umum:
(1) Penampilan: Hal ini adalah suatu gambaran tentang penampilan pasien dan kesan fisik secara
keseluruhan yang disampaikan kepada dokter pemeriksa, seperti yang dicerminkan dari postur,
ketenangan, pakaian dan dandanan. Jika pasien tampaknya kacau, dokter pemeriksa dapat bertanya,
"Apakah seseorang pernah memberi komentar tentang bagaimana anda kelihatan?" "Dapatkah anda
membantu saya untuk mengerti beberapa pilihan yang anda ambil dalam bagaimana anda
kelihatan?" Contoh hal-hal di dalam kategori penampilan adalah jenis tubuh, postur, ketenangan,
pakaian, dandanan, rambut dan kuku. Istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan
penampilan adalah tampak sehat, sakit, agak sakit, seimbang, kelihatan tua, kelihatan muda, kusut,
seperti anak-anak dan kacau. Tanda kecemasan dicatat: tangan yang lembab, keringat pada dahi,
51
postur tegang, mata lebar.
(2) Perilaku dan aktivitas psikomotor: Kategori ini dimaksudkan pada aspek kuantitatif maupun
kualitatif dari perilaku motorik pasien; termasuk di dalamnya adalah manerisme, tiks, gerakan
isyarat, kedutan, perilaku stereotipik, echopraxia, hiperaktivitas, agitasi, melawan, fleksibilitas,
rigiditas, cara berjalan, dan ketangkasan (kecekatan). Perhatikan dan catat bila ditemukan
kegelisahan, meremas-remas tangan, melangkah, retardasi psikomotor, setiap aktivitas yang tidak
bertujuan/tidak berarti.
(3) Sikap terhadap pemeriksa: Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat digambarkan sebagai bekerja
sama, bersahabat, penuh perhatian, tertarik, datar, menggoda, bertahan, merendahkan, kebingungan,
apatis, bermusuhan, bermain-main, menyenangkan, mengelak atau berlindung. Tingkat rapport
yang ditegakkan harus dicatat.
Mood dan Afek:
(1) Mood: Mood didefinisikan sebagai emosi yang meresap dan terus-menerus yang mewamai persepsi
seseorang akan dunia. Dokter perlu mencari informasi tentang apakah pasien mengatakan secara
sukarela (dan spontan) hal perasaannya, atau apakah perlu untuk meminta pasien mengatakan apa
yang dirasakannya. Pernyataan tentang mood seorang pasien harus juga meliputi hal kedalaman,
intensitas, lama dan fluktuasinya. Kata sifat yang sering digunakan untuk menggambarkan mood
adalah depresi, kecewa, mudah marah, cemas, marah meluap-luap, euforik, kosong, bersalah,
terpesona, sia-sia, merendahkan diri sendiri, ketakutan, dan membingungkan. Mood mungkin labil,
berarti bahwa mood berfluktuasi atau berubah dengan cepat antara hal-hal yang ekstrim (sebagai
contohnya, tertawa terbahak-bahak dan meluap-Iuap pada satu waktu, menangis dan kecewa pada
waktu selanjutnya).
(2) Afek: Afek didefinisikan sebagai respon emosional pasien yang tampak. Afek adalah apa yang
disimpulkan oleh pemeriksa dari ekspresi wajah pasien, termasuk jumlah dan macam perilaku
ekspresif. Afek mungkin sejalan dengan mood atau tidak sejalan. Afek digambarkan sebagai dalam
rentang normal, terbatas, tumpul atau datar. Di dalam rentang afek yang normal, terdapat variasi
dalam ekspresi wajah, irama suara, penggunaan tangan dan pergerakan tubuh. Jika afek terbatas,
terdapat penurunan jelas di dalam rentang dan intensitas ekspresi. Demikian juga, pada afek yang
tumbul, ekspresi emosional menurun lebih jauh. Untuk mendiagnosis afek datar, dokter pemeriksa
harus tidak menemukan tanda ekspresi afektif, suara pasien harus monoton, otot wajah harus tak
'bergerak'. "Tumpul," "datar" dan "terbatas" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kedalaman emosi yang dapat dilihat. Depresi, bangga, marah, ketakutan, cemas, bersalah, euforik,
dan meluap-luap adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan mood tertentu. Dokter harus
memperhatikan kesulitan pasien dalam memulai, mempertahankan, atau mengakhiri suatu respon
emosional.
(3) Kesesuaian: Kesesuaian respon emosional dapat dipertimbangkan di dalam konteks masalah
subjektif yang didiskusikan pasien. Pasien dengan waham yang menggambarkan penyiksaan
mungkin menjadi marah atau ketakutan tentang pengalaman yang mereka percaya terjadi pada
mereka. Kemarahan atau ketakutan di dalam konteks tersebut adalah suatu ekspresi yang sesuai.
Beberapa dokter telah menggunakan istilah "ketidaksesuaian afek" untuk suatu kualitas respon yang
ditemukan pada beberapa pasien skizofrenia, di mana afek pasien adalah tidak sejalan dengan apa
yang dikatakan oleh pasien (sebagai contohnya, afek yang datar sambil berbicara tentang dorongan
pembunuhan).
Bicara dan Cara Pembicaraan:
Bagian laporan ini menggambarkan karakteristik fisik dari berbicara. Bicara dapat digambarkan di dalam
kuantitasnya, kecepatan produksi bicara, dan kualitasnya. Pasien mungkin digambarkan sebagai senang
berbicara, suka mengomel, fasih, pendiam, tidak spontan, atau berespon normal terhadap petunjuk dari
pewawancara. Bicara mungkin cepat atau lambat, tertekan, ragu-ragu, emosional, dramatik, monoton,
keras, berbisik, bersambungan, terputus-putus atau mengomel. Gangguan bicara, seperti tergagap-gagap,
dimasukkan di dalam bagian ini. Irama yang tidak biasanya (diprosodi) dan adanya 'penekanan' yang
mungkin ditemukan dalam pemeriksaan harus pula dicatat. Apakah pasien berbicara ecara spontan atau
tidak?
Gangguan Persepsi:
Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi, mungkin dialami berkenaan dengan diri sendiri atau
lingkungan. Sistem sensoris yang terlibat (sebagai contohnya, auditorius, visual, olfaktorius, gustatoris
atau taktil) dan isi pengalaman ilusi atau halusinasi harus dideskripsikan secara jelas. Keadaan saat

52
gangguan persepsi terjadi adalah penting, karena halusinasi hipnagogik (terjadi saat orang jatuh tertidur)
dan halusinasi hipnopompik (terjadi saat orang terbangun) adalah tidak seberarti jenis halusinasi lainnya.
Halusinasi mungkin juga terjadi saat pasien mengalami stres.
Perasaan depersonalisasi dan derealisasi (perasaan ekstrim terlepasnya dari diri seseorang atau lingkungan)
adalah contoh lain gangguan persepsi. Kesemutan (formication), perasaan adanya kutu berjalan-jalan pada
atau di bawah kulit, ditemukan pada pengguna kokain. Contoh pertanyaan yang digunakan untuk
mengungkapkan pengalaman halusinasi adalah: Apakah anda pernah mendengar suara atau bunyi lain
yang tidak dapat didengar oleh orang lain atau saat tidak ada orang lain di sekitar anda? Apakah anda
mengalami adanya sensasi aneh pada tubuh anda yang tampaknya tidak dialami oleh orang lain? Apakah
anda pernah mempunyai penglihatan atau melihat sesuatu yang tampaknya tidak dilihat orang lain?
Pikiran:
Pikiran dibagi menjadi proses (atau bentuk) dan isi. Proses dimaksud sebagai cara di mana seseorang
menyatukan gagasan dan asosiasi, yaitu bentuk di mana seseorang berpikir. Proses atau bentuk pikiran
mungkin logis dan koheren atau sama sekali tidak logis dan bahkan tidak dapat dimengerti. Isi pikiran
dimaksudkan ada apa yang sesungguhnya dipikirkan oleh seseorang; gagasan, keyakinan, preokupasi,
obsesi.
(1) Proses berpikir (bentuk pikrian): Pasien mungkin memiliki ide yang terlalu melimpah atau
kemiskinan ide. Mungkin terjadi berpikir yang cepat, yang di dalam keadaan ekstrim, disebut flight
of ideas. Seorang pasien mungkin menunjukkan berpikir yang lambat atau ragu-ragu. Pikiran
mungkin tidak jelas atau kosong. Apakah pasien menjawab dengan segera setelah pertanyaan
diajukan, dan apakah pasien mempunyai kemampuan untuk berpikir yang diarahkan oleh tujuan?
Apakah respon relevan atau tidak relevan? Apakah terdapat hubungan sebab-akibat yang jelas
dalam penjelasan pasien? Apakah pasien mempunyai asosiasi longgar, (sebagai contohnya, apakah
ide yang diekspresikan tampaknya tidak berhubungan satu sama lainnya, atau berhubungan secara
aneh)? Gangguan kontinuitas pikiran adalah termasuk pernyataan yang tangensial,
sirkumstansialitas, melantur, mengelak-elak, dan gigih. Hambatan adalah terputusnya alur pikiran
sebelum ide diselesaikan; pasien mungkin menyatakan suatu ketidakmampuan untuk mengingat apa
yang telah dikatakan atau akan dikatakan. Sirkumstansialitas menyatakan hilangnya kemampuan
berpikir yang diarahkan oleh tujuan (goal-directed thinking); di dalam proses menjelaskan suatu
data, pasien memasukkan banyak perincian yang tidak relevan dan komentar yang disisipkan tetapi
akhimya kembali ke titik awal. Tangensialitas adalah suatu gangguan di mana pasien kehilangan
urutan pembicaraan dan mengikuti pikiran tangensial yang distimulasi oleh berbagai stimuli
eksternal yang tidak relevan dan tidak pernah kembali ke titik awal. Gangguan proses berpikir
mungkin dicerminkan oleh hubungan pikiran yang inkoheren atau tidak dapat dimengerti (gado-
gado kata; word salad), clang association (asosiasi bunyi, asosiasi dengan bersajak), permainan
kata-kata, dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh pasien melalui kombinasi atau
kondensasi kata lain).
(2) Isi pikiran: Gangguan isi pikiran adalah termasuk waham, preokupasi (yang mungkin melibatkan
penyakit pasien), obsesi (gagasan yang mengganggu atau berulang-ulang), kompulsi (hal yang
dikerjakan berulang-ulang), fobia, rencana-rencana, tujuan, gagasan berulang tentang bunuh diri
atau membunuh, gejala hipokondriakal, dan dorongan antisosial spesifik. Kategori utama gangguan
isi pikiran adalah waham. Waham mungkin sesuai dengan mood (mood-congruent) atau tidak sesuai
dengan mood (mood incongruent). Waham adalah keyakinan yang salah dan dipertahankan oleh
pasien sekalipun tidak sesuai dengan kenyataan dan telah diberikan bukti-bukti untuk
menyangkalnya, serta tidak sesuai dengan latar belakang kebudayaan pasien. Isi dari sistem waham
harus digambarkan, dan dokter pemeriksa harus berusaha untuk memeriksa susunannya dan
keyakinan pasien akan keabsahan waham. Cara waham mempengaruhi kehidupan pasien sebaiknya
digambarkan di riwayat penyakit sekarang. Waham mugkin kacau dan aneh (bizzare) dan mungkin
melibatkan keyakinan tentang kontrol dari luar diri pasien (eksternal). Waham mungkin mempunyai
tema yang persekutorik atau paranoid, kebesaran, cemburu, somatik, bersalah, nihilistrik, atau
erotik. Pikiran hubungan (ideas of reference dan ideas of influence) harus juga digambarkan.
Contoh dari ideas of reference adalah keyakinan bahwa televisi atau radio berbicara kepada atau
tentang seseorang. Contoh dari ideas of influence adalah keyakinan yang melibatkan orang lain atau
tenaga lain yang mengontrol suatu aspek dari perilaku seseorang.

53
Sensorium dan Kognisi:
Bagian pemeriksaan status mental ini mencari petunjuk fungsi organ organik dan intelegensia pasien,
kapasitas untuk berpikir abstrak, dan tingkat tilikan dan pertimbangan.
(1) Pemeriksaan status mental singkat (Mini Mental State Examination - MMSE): adalah suatu
instrumen singkat yang disusun untuk menilai secara kasar fungsi kognitif. Perangkat ini menilai
orientasi, daya ingat, kemampuan menghitung, kemampuan membaca dan menulis, kemampuan
visuospasial, dan berbahasa. Pasien dinilai secara kuantitatif pada fungsi-fungsi tersebut. Nilai yang
sempurna adalah 30. MMSE digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana dan cepat
untuk mencari kemungkinan defisit kognitif.
(2) Kewaspadaan dan tingkat kesadaran: Gangguan kesadaran (secara kuantitatif) biasanya menyatakan
adanya gangguan otak organik. Kesadaran yang 'berkabut' (clouding of consciousness) adalah
penurunan kewaspadaan terhadap lingkungan secara menyeluruh. Seorang pasien mungkin tidak
mampu mempertahankan perhatiannya terhadap stimulus lingkungan atau untuk mempertahankan
pikiran atau perilaku yang diarahkan oleh tujuan. Kesadaran yang berkabut atau menumpul
seringkali tidak berlangsung terus-menerus. Pasien tertentu menunjukkan fluktuasi tingkat
kewaspadaan terhadap lingkungan sekelilingnya. Pasien yang mengalami perubahan tingkat
kesadaran seringkali menunjukkan juga suatu tingkat gangguan orientasi, walaupun hal yang
sebaliknva tidak selalu benar. Beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan tingkat
kesadaran pasien adalah kesadaran berkabut, somnolensia, stupor, koma, letargi, kewaspadaan, dan
keadaan fuga (fugue state).
(3) Orientasi dan Daya Ingat: Gangguan orientasi biasanya dibedakan menurut waktu, tempat, dan
orang. Tiap gangguan orientasi biasanya tampak dalam urutan tersebut (waktu-tempat-orang).
Demikian juga, saat pasien membaik, gangguan orientasi menghilang dalam urutan terbalik (orang-
tempat-waktu). Dokter pemeriksa harus menentukan apakah pasien dapat mengetahui perihal
tanggal dan waktu dalam hari yang sedang berlangsung. Di samping itu, jika pasien berada di
rumah sakit, apakah mereka tahu berapa lama mereka telah berada di rumah sakit? Apakah pasien
berkelakuan seakan-akan mereka berorientasi dengan keadaan? Dalam bertanya tentang orientasi
pasien terhadap tempat, maka adalah hal yang tidak cukup bila pasien hanya mampu menyebutkan
nama dan lokasi rumah sakit dengan tepat, tetapi mereka juga harus menunjukkan sikap yang
menggambarkan bahwa mereka mengetahui di mana mereka sedang berada. Dalam menilai
orientasi terhadap orang, dokter pemeriksa harus bertanya pada pasien apakah mereka mengetahui
nama orang di sekitar mereka dan apakah mereka mengerti peranan orang-orang tersebut, serta
mengetahui siapa yang menjadi pemeriksanya? Hanya dalam kasus yang sangat berat pasien tidak
mengetahui siapa dirinva sendiri. Fungsi daya ingat (memory) biasanya dibagi menjadi empat
bidang: (1) daya ingat jauh (remote memory), (2) daya ingat masa lalu yang belum lama (recent
past memory), (3) daya-ingat yang baru saja (recent memory), dan (4) penyimpanan dan daya ingat
segera (immediate retention and recall). Daya ingat yang baru saja (recent memory) dapat diperiksa
dengan bertanya pada pasien tentang bagaimana nafsu makan mereka dan selanjutnya bertanya pada
pasien apa yang mereka makan sebagai sarapan atau makan malam pada kemarin malam. Meminta
pasien untuk mengulangi enam angka maju dan selanjutnya mundur adalah suatu pemeriksaan
untuk daya ingat segera. Daya ingat jauh dapat diperiksa dengan bertanya pada pasien tentang
informasi masa anak-anak mereka yang selanjutnya dapat diperjelas. Mintalah pasien untuk
mengingat peristiwa-peristiwa baru yang penting dari beberapa bulan terakhir untuk menilai daya
ingat masa lalu yang belum lama. Seringkali dalam gangguan kognitif, daya ingat yang bau saja dan
daya ingat jangka pendek yang paling awal terganggu, dan daya ingat jauh atau daya ingat jangka
panjang terganggu kemudian. Jika terdapat gangguan daya ingat, tanyakan apa usaha yang
dilakukan pasien untuk mengatasi hal itu atau untuk menyembunyikan gangguan? Apakah
penyangkalan, konfabulasi, reaksi katastropik, atau sirkumstansialitas digunakan untuk
menyembunyikan gangguan? Reaksi terhadap kehilangan daya ingat dapat memberikan petunjuk
penting tentang gangguan dasar dan mekanisme mengatasinya. Sebagai contohnya, seorang pasien
yang tampaknya menderita gangguan daya ingat tetapi, pada kenyataannya, mengalami depresi
lebih mungkin merisaukan kehilangan daya ingat dari pada seseorang yang mengalami gangguan
daya ingat sekunder yang mengalami gangguan daya ingat sekunder karena demensia. Konfabulasi
(membuat jawaban palsu yang tidak disadari jika daya ingat terganggu) adalah paling dekat
berhubungan dengan gangguan kognitif.
(4) Konsentrasi dan Perhatian: Konsentrasi pasien dapat terganggu karena berbagai alasan. Sebagai
contohnya, suatu gangguan kognitif, kecemasan, depresi, dan stimuli internal, seperti halusinasi

54
dengar, semuanya dapat berperan pada gangguan konsentrasi. Mengurangi 7 secara berurutan dari
100 adalah tugas sederhana yang memerlukan kemampuan konsentrasi dan kognitif yang utuh.
Apakah pasien mampu mengurangi 7 dari 100 dan terus mengurangi 7? Jika pasien tidak dapat
mengurangi 7 secara berurutan, dapatkah mengurangi 3 secara berurutan? Pemeriksa harus selalu
menilai adanya kecemasan, gangguan mood atau kesadaran, atau pun defisit belajar sebagai faktor
penyebabnya. Perhatian dinilai dengan kemampuan berhitung atau dengan meminta pasien untuk
mengeja huruf dari suatu kata tertentu, misalanya "danai" (atau yang lainnya) secara terbalik. Pasien
juga dapat diminta untuk menyebutkan nama lima benda yang dimulai dengan huruf tertentu.
(5) Kemampuan membaca dan menulis: Pasien harus diminta untuk bereaksi terhadap suatu kalimat
(sebagai contohnya, "Tutuplah mata anda) dan selanjutnya melakukan apa yang diperintahkan oleh
kalimat. Pasien harus juga diminta untuk menulis kalimat yang sederhana tetapi lengkap.
(6) Kemampuan visuospasial: Pasien harus diminta untuk mencontoh suatu gambar, seperti jam atau
segi lima yang berpotongan.
(7) Berpikir abstrak: Berpikir abstrak adalah kemampuan pasien untuk berhadapan dengan ikhwal
konsep-konsep. Pasien dapat menunjukkan gangguan dalam cara mengkonseptualisasikan atau
mempersepsikan suatu atau lebih gagasan. Dapatkah pasien menjelaskan kemiripan-kemiripan,
seperti antara buah apel dan buah pir, atau antara kebenaran dan kecantikan? Apakah arti peribahasa
sederhana, seperti, "kucing dalam karung" dapat dimengerti? Jawaban atas pertanyaan tersebut
mungkin bersifat konkrit (memberikan contoh spesifik untuk menggambarkan arti) atau terlalu
abstrak (memberikan penjelasan yang terlalu umum). Kesesuaian dan cara jawaban pasien harus
dicatat. Pada suatu reaksi katastropik, pasien dengan cedera otak menjadi sangat emosional dan
tidak dapat berpikir secara abstrak.
(8) Informasi dan intelegensia: Jika dicurigai kemungkinan adanya suatu gangguan kognitif pada
pasien maka harus ditelusuri apakah pasien menunjukkan kesulitan dalam tugas-tugas mental,
seperti menghitung uang kembalian dari seribu rupiah setelah dibelanjakan barang seharga tiga
ratus lima puluh rupiah? Jika tugas tersebut terlalu sulit, apakah masalah yang lebih mudah dapat
dipecahkan? Misalnya: Berapa banyak permen yang dapat dibelanjakan dengan uang pecahan Rp.
500,- bila satu permen berharga lima puluh rupiah? Inteligensia pasien adalah berhubungan. dengan
perbendaharaan kata dan sumber pengetahuan umum. Dalam hal tingkat kesulitan isi pertanyaan,
maka latar belakang pendidikan pasien (baik formal maupun belajar sendiri) dan status
sosioekonomi harus diperhitungkan. Cara pasien menghadapi konsep-konsep yang sulit atau
kompleks dapat mencerminkan tingkat intelegensia secara kasar, bahkan pada pasien tanpa latar
belakang pendidikan formal atau sumber informasi yang luas sekalipun.
Pengendalian Impuls:
Apakah pasien mampu untuk mengendalikan impuls seksual, agresif, dan impuls lainnya? Pemeriksaan
pengendalian impuls adalah penting untuk memastikan kesadaran pasien tentang perilaku yang sesuai
secara sosial. Selain itu, hal ini penting juga untuk mengukur kemungkinan bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh pasien, baik bagi diri sendiri atau pun bagi orang lain.
Beberapa pasien mungkin tidak mampu untuk mengendalikan impuls sekunder karena gangguan kognitif,
serta gangguan psikotik sekunder lainnya, atau sebagai akibat defek kronis yang karakteristik, seperti yang
terlihat pada gangguan kepribadian. Pengendalian impuls dapat diperkirakan dari informasi dalam riwayat
pasien sekarang dan dari perilaku yang diobservasi selama wawancara.
Pertimbangan dan Tilikan:
(1) Pertimbangan (Judgement): Selama berlangsungnya eksplorasi tentang riwayat penyakit/gangguan
psikiatrik, dokter pemeriksa harus mampu menilai berbagai aspek kemampuan pasien dalam hal
pertimbangan sosial. Apakah pasien mengerti akibat dari perilakunya? Dapatkah pasien
memperkirakan apa yang akan dilakukannya di dalam suatu situasi yang disimulasi melalui
pembayangan (pengandaian yang dikhayalkan). Misalnya, apa yang akan dilakukan oleh pasien jika
ia mencium bau asap di dalam ruang bioskop yang padat?
(2) Tilikan: Tilikan adalah derajat kesadaran dan pengertian pasien bahwa dirinya sedang menderita
sakit/gangguan tertentu. Pasien mungkin menyangkal sama sekali bahwa dirinya menderita
penyakit/gangguan; atau mungkin juga pasien menunjukkan suatu kesadaran bahwa dirinya sedang
sakit/terganggu akan tetapi menuduh orang lain atau faktor eksternal (di luar dirinya) atau bahkan
faktor organiklah yang menjadi penyebabnya; atau pasien mungkin mengetahui bahwa mereka
menderita penyakit/gangguan tetapi menggambarkannya sebagai suatu yang tidak diketahui atau
misterius di dalam diri mereka. Tilikan intelektual dikategorikan pada pasien yang menerima

55
kenyataan bahwa dirinya sedang sakit/terganggu dan mengetahui bahwa kegagalannya untuk
beradaptasi sebagian disebabkan oleh perasaan irasional yang ada dalam dirinya sendiri namun ia
gagal untuk mengaplikasikan pengetahuannya tersebut dalam mengubah pengalaman-pengalaman
di masa depannya. Hal inilah yang merupakan keterbatasan utama dari tilikan intelektual. Tilikan
emosional yang sejati (true emotional insight) dikategorikan pada pasien yang memiliki kesadaran
bahwa motif dan perasaan-perasaannya sendirilah yang dapat merubah kepribadian atau pola
perilakunya. Suatu ringkasan tentang tingkat tilikan adalah sebagai berikut:
a. Penyangkalan penyakit sama sekali.
b. Agak menyadari bahwa mereka sakit dan membutuhkan bantuan tetapi dalam waktu yang
bersamaan menyangkal penyakitnya.
c. Sadar bahwa mereka adalah sakit tetapi melemparkan kesalahan pada orang lain, pada faktor
eksternal, atau pada faktor organik.
d. Sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui pada diri pasien.
e. Tilikan intelektual: menerima bahwa pasien sakit dan bahwa gejala atau kegagalan dalam
penyesuaian sosial adalah disebabkan oleh perasaan irasional atau gangguan tertentu dalam
diri pasien sendiri tanpa menerapkan pengetahuan untuk pengalaman di masa depan.
f. Tilikan emosional sejati: kesadaran emosional tentang motif dan perasaan di dalam diri
pasien dan orang yang penting dalam kehidupannya, yang dapat menyebabkan perubahan
dasar dalam perilaku pasien.
Reliabilitas (Keterpercayaan):
Bagian laporan dari pemeriksaan status mental menyimpulkan kesan dokter pemeriksa terhadap reliabilitas
dan kemampuan pasien untuk melaporkan situasi dirinya secara akurat. Termasuk dalam bagian ini suatu
perkiraan dokter pemeriksa tentang kebenaran atau kejujuran pasien. Sebagai contohnya, jika pasien
terbuka tentang penyalahgunaan zat secara aktif atau terhadap situasi-situasi yang diketahui pasien dapat
mencerminkan tindakan-tindakannya yang melawan hukum maka dokter pemeriksa dapat memperkirakan
kejujuran pasien berada pada kualitas yang baik.

D. Pemeriksaan Diagnostik Lanjutan


Suatu diagnosis psikiatrik yang komprehensif tidak hanya didasarkan atas wawancara psikiatrik, riwayat
psikiatrik dan pemeriksaan status mental, akan tetapi seharusnya didukung oleh informasi lain yang
bersumber dari pemeriksaan diagnostik lanjutan yang meliputi.
(1) Pemeriksaan fisik umum
(2) Pemeriksaan neurologis
(3) Wawancara psikiatrik diagnostik lanjutan
(4) Wawancara dengan anggota keluarga, teman atau tetangga pasien
(5) Tes-tes psikologis, neurologis, atau pemeriksaan penunjang.

KLASIFIKASI / PEDOMAN DIAGNOSTIK


Sebagaimana yang telah dikemukakan di bagian sebelumnya bahwa diagnosis adalah kunci terapi.
Penegakan diagnosis yang benar mengarahkan kepada terapi yang tepat. Di samping memiliki arti klinis,
diagnosis yang dibakukan dengan nomenklatur, kodifikasi, serta klasifikasinya merupakan instrumen yang
sangat penting untuk komunikasi medis antar dokter dan juga untuk mempermudah pengolahan data bagi
kepentingan statistik dan epidemiologi.
Saat ini secara internasional dikenal beberapa alat bantu utama untuk menegakkan diagnosis gangguan
jiwa yang tepat, menyeragamkan nomenklatur dengan nomor kode (alfanumerik) untuk masing-masing
diagnosis, dan pengelompokan atau kategorisasi diagnosis.
Instrumen-instrumen diagnosis gangguan jiwa yang dikenal secara internasional tersebut adalah:
(1) The ICD-I0 Classification of Mental and Behavioral Disorders: Clinical Description and
Diagnostic Guidelines (WHO, 1992). Instrumen ini merupakan deskripsi klinis dan pedoman
diagnostik gangguan jiwa, serta merupakan dokumen utama yang dapat digunakan oleh petugas
pelayanan, pendidikan, dan penelitian di bidang kesehatan.
(2) The ICD-I0 Classification of Mental and Behavioral Disorders: Conversion Tables Between lCD-8,
lCD-9, and lCD-I0 (WHO, 1992). Instrumen ini untuk melihat perbedaan penomoran dan
nomenklatur dari ketiga versi lCD.

56
(3) Lexicon of Psychiatric and Mental Health Terms. (2 Ed., WHO, 1994). Instrumen ini merupakan
kamus istilah yang digunakan dalam versi lCD10, 1992.
(4) Composite International Diagnostic Interview 1.1. (CIDI) (WHO, 1993). Instrumen wawancara
berstruktur ini dirancang untuk komputerisasi di dalam menegakkan diagnosis berkaitan dengan
penelitian epidemiologis gangguan jiwa secara internasional. ]
(5) DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual for Mental and Behavioural Disorders) (APA, 1994).
Instrumen ini khusus digunakan di Amerika Serikat namun juga digunakan di Indonesia, terutama
untuk kepentingan pendidikan karena memuat kriteria diagnostik. DSM-IV tidak banyak berbeda
dengan ICD-I0. [Catatan: saat ini telah ada DSM-IV Text Revised – DSM-IVTR].
(6) DCR-I0 (The ICD-I0 Classification of Mental and Behavioral Disorders: Diagnostic Criteria for
Research) (WHO, 1994). Versi khusus ini ini disusun untuk digunakan oleh para peneliti.
(7) ICD-10: DCR-1- Pocket (Pocket Guide to the ICD-10 Classification of Mental and Behavioral
Disorders with Glossary and Criteria for Research) (WHO-Churchill Livingstone, 1994). Instrumen
ini digunakan untuk pegangan para peneliti dengan bentuk yang mudah dibawa, isinya merupakan
gabungan antara buku 1 dan 6.
Di Indonesia telah disusun suatu instrumen diagnostik yaitu Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan
Jiwa, Edisi Ketiga (PPDGJ-III) (Depkes, 1993). PPDGJ-III setara dengan ICD-lO (WHO,1992). Selain
instrumen ini, telah disusun juga suatu Suplemen PPDGJ-III (S-PPDGJ-III) (Depkes, 1995) yang
bertujuan untuk melengkapi beberapa informasi tambahan yang berkaitan dengan diagnosis, klasifikasi,
nomenklatur dengan membandingkan pula DSM-IV, ICD-9/PPDGJ-II, ICD-8/PPDGJ-I. Pada S-PPDGJ-
III ini juga berisi antara lain konversi DSM-IV-ICD-10/PPDGJ-III, hierarki diagnosis, diagnosis dan
evaluasi multiaksial, sindrom terkait budaya, pohon/skema diagnosis, dan lain-lain.
Untuk kepentingan pendidikan dan bagi mahasiswa FK Unsrat, diwajibkan untuk memiliki penguasaan
secara garis besar blok diagnosis gangguan Jiwa yang terdapat dalam PPDGJ-III tersebut (F00 - F99)
(lihat lampiran 1).
Berkaitan dengan penggolongan gangguan jiwa di atas maka perlu ditekankan hal-hal berikut:
(1) PPDGJ-III menggunakan pendekatan ateoretik-transteoretik dan deskriptif. Artinya bahwa PPDGJ-
III menganut pendekatan yang tidak mengacu pada teori tertentu berkenaan dengan etiologi atau
proses patofisiologi, kecuali untuk gangguan-gangguan jiwa yang sudah jelas dan disepakati
penyebabnya, misalnya pada Gangguan Mental Organik di mana faktor organik merupakan faktor
yang penting dalam terjadinya gangguan tersebut. Pendekatan ini dilakukan dengan cara
mendeskripsikan (menguraikan, melukiskan) secara menyeluruh apa manifestasi gangguan Jiwa
(deskripsi gambaran klinis) dan jarang mengusahakan penjelasan bagaimana timbulnya gangguan
tersebut. Pengelompokan diagnosis gangguan jiwa dilakukan berdasarkan persamaan dalam
gambaran klinisnya.
(2) PPDGJ-III tidak menganggap bahwa setiap gangguan jiwa adalah sesuatu kesatuan yang tegas
dengan batas-batas yang jelas antara gangguan jiwa tertentu dengan gangguan jiwa lainnya,
sebagaimana juga antara adanya gangguan jiwa dan tidak adanya gangguan jiwa.
(3) PPDGJ-III tidak menggolong-golongkan orang-orang, tetapi gangguan-gangguan yang diderita
oleh seseorang atau orang-orang. Atau, orang-orang yang memiliki gangguan jiwa yang sama
adalah serupa dalam perbagai hal yang penting.

HIERARKI DIAGNOSIS, POHON / SKEMA/SILSILAH DIAGNOSIS, DAN


DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
(Catatan: Buku Saku PPDGJ – III Karangan Rusdi Maslim)

A. Hierarki Diagnosis
Dalam praktek kita mengetahui bahwa penegakkan diagnosis gangguan jiwa seringkali sukar karena: (1)
banyak sekali gangguan jiwa yang mempunyai gejala-gejala yang serupa, dan (2) jumlah gangguan jiwa
yang banyak sekali. Urutan hierarki adalah urutan organisasi yang bersifat vertikal dari atas ke bawah,
dengan pengertian bahwa apa yang terletak di atas, mengandung unsur dari yang lebih di bawah, tetapi
memiliki kelebihan yang spesifik. Dalam hubungannya dengan diagnosis di bidang psikiatrik, urutan ini
adalah berkenaan dengan tingkat 'organicity', dari diagnosis yang bersifat organik ke arah diagnosis yang
bersifat non-organik. Nomor di dalam PPDGJ-III/ICD-l0 disusun secara berurutan sesuai hierarki tersebut.
57
Pendekatan berdasarkan urutan hierarki ini memungkinkan proses diagnosis banding gangguan jiwa
berdasarkan kelas (kategori) akan sangat dipermudah, karena masing-masing kelas secara urutan dari atas
ke bawah mempunyai keunikan khusus walaupun mempunyai persamaan gejala/keluhan dengan kelas
(kategori) yang ada di bawahnya. Hal lain yang menguntungkan dengan pendekatan urutan hierarki
diagnosis ini adalah mengurangi kemungkinan terhindarnya dari perhatian gangguan jiwa yang (walaupun
jarang ditemukan) terletak pada urutan hierarki yang lebih di atas.
Konsekuensi dari cara berpikir secara hierarkis ini adalah: suatu diagnosis atau kategori diagnosis baru
dipastikan setelah kemungkinan diagnosis/diagnosis banding dalam kelas (kategori) di atasnya dapat
disingkirkan secara pasti. Apabila masih ada keraguan untuk meniadakan kemungkinan diagnosis dalam
kelas (kategori) yang lebih tinggi, maka untuk sementara, diagnosis dalam kelas (kategori) lebih rendah
dapat ditegakkan, akan tetapi dalam pemantauan lebih lanjut tetap harus dilakukan upaya untuk
memastikan atau menyingkirkan kemungkinan diagnosis dalam kelas (kategori) yang lebih tinggi itu
dengan wawancara psikiatrik yang cermat, pemeriksaan fisik/neurologis serta laboratorik. lni berarti
bahwa seorang dokter diharapkan harus menguasai ciri-ciri khas masing-masing kelas (kategori) gangguan
jiwa yang lebih tinggi untuk membedakannya dengan kelas (kategori) yang lebih rendah, serta perbedaan
antara kelompok gangguan jiwa dalam kelas (kategori) yang sama sebelum terburu-buru melaksanakan
pemeriksaan tambahan (laboratorium khusus, EEG, CT Scan, MRI dan sebagainya). Urutan hierarki kelas
(kategori) diagnostik gangguan jiwa adalah sesuai dengan urutan blok diagnostik yang ada dalam PPDGJ-
III (F00 - F99).

B. Pohon/Skema/Silsilah Diagnosis
Tujuan dari pohon/skema/silsilah diagnosis adalah untuk membantu para klinisi dalam memahami struktur
organisasi dan hierarki dari klasifikasi PPDGJ-III yang sesuai dengan DSM-IV.Setiap
pohon/skema/silsilah berawal dengan satu susunan gambaran klinis. Bila satu dari gambaran klinis ini
merupakan bagian yang menonjol dari gambaran klinis yang ditampilkan maka klinisi dapat mengikuti
serangkaian pertanyaan untuk menegakkan atau menyingkirkan berbagai diagnosis gangguan jiwa.
Perhatikan bahwa berbagai pertanyaan tersebut hanyalah suatu ilustrasi yang mendekati kriteria diagnostik
dan tidak dimaksudkan untuk menggantikannya.

C. Diagnosis dan Evaluasi Multiaksial


Sistem diagnosis multiaksial melibatkan penilaian dalam beberapa aksis, di mana masing-masing aksis
tersebut merujuk pada berbagai kelompok informasi yang dapat dipakai oleh klinisi untuk membuat
rencana pengobatan dan memprediksi hasil akhir (prognosis). Dalam DSM-IV dikenal diagnosis
multiaksial, yaitu:
Aksis I : Gangguan Klinis dan Kondisi Lainnya Yang Mungkin Merupakan Fokus Perhatian Klinis
Aksis II: Gangguan Kepribadian dan Retardasi Mental
Aksis III: Kondisi Medis Umum
Aksis IV: Problem Psikososial dan Lingkungan
Aksis V: Penilaian Fungsi Secara Global.
Penggunaan sistem multiaksial memungkinkan evaluasi yang komprehensif dan sistematik dengan
memperhatikan berbagai gangguan jiwa dan kondisi medis umum, problem psikososial dan lingkungan,
dan taraf fungsional, yang mungkin saja terlewatkan bila fokus perhatian hanya pada penilaian terhadap
problem utama yang diungkapkan saja.
Sistem multiaksial menyajikan format yang mudah untuk mengorganisasikan dan mengkomunikasikan
informasi klinis, untuk menampung kompleksitas situasi klinis, dan untuk menggambarkan heterogenitas
dari individu yang menampilkan diagnosis utama yang sama. Sistem multiaksial juga meningkatkan
penerapan dari model bio-psiko-sosial dalam setting klinis, pendidikan dan penelitian.

58
KEPUSTAKAAN
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual for Mental and Behavioural
Disorders, ed. 4. American Psychiatric Association, Washington, 1994.
DepKes RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI - Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993
DepKes RI. Suplemen PPDGJ - III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik, 1995.
Kaplan H.I., Sadock, B.J. Kaplan and Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioural Sciences/Clinical
Psychiatry, ed. 8. Lippincott William & Wilkins, Philadelphia, 1998.
Shea, S.C. Psychiatric Interview: The Art and Understanding. W.B. Saunders Company, Philadelphia,
1988.
World Health Organization. The ICD-l0 Classification of Mental and Behavioural Disorders: Clinical
Description and Diagnostic Guidelines. World Health Organization, Geneva, 1992.

59
MEDIKASI PSIKIATRIK
MATERI INI DIBUAT, DIGANDAKAN, DAN DIPERGUNAKAN
KHUSUS UNTUK PROSES PENDIDIKAN & PENGAJARAN
MAHASISWA PPD UNCEN JAYAPURA

Oleh :

Prof. dr. B.H.R. KAIRUPAN, MSc, SpKJ(K)


dr. Ch.C. ELIM, M.Repro, SpAnd
dr. L.J.F. KANDOU, SpKJ
dr. D.S. SUAK, M.Repro
dr. F.D. Senduk, S.Ked
dr. N. Ekawati, S.Ked
dr. Herdy, S.Ked

KERJA SAMA
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA / PSIKIATRI
FK UNSRAT MANADO – PPD UNCEN JAYAPURA
2007

60
PENDAHULUAN
Obat-obat psikotropik, baik digunakan secara tunggal maupun dikombinasi dengan terapi lainnya, akan
memberikan efek untuk mengurangi keparahan dan waktu perlangsungan dari berbagai gangguan jiwa.
Skizofrenia, depresi, mania, gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh, dan gangguan obsesif-
kompulsif adalah gangguan-gangguan jiwa yang memberi respons terhadap obat psiktropik. Selain
gangguan-gangguan jiwa tersebut, obat psikotropik dapat juga memberikan perbaikan simtomatik terhadap
kecemasan dan insomnia yang terjadi sebagai bagian dari krisis-krisis normal kehidupan.

Secara tradisional obat psikotropik dibagi menjadi: obat antipsikotik, obat antidepresan, obat anti mania,
obat anti cemas, dan obat anti insomnia. Sejarahnya, pembagian ini didasarkan atas penggunaan klinis
awal dari obat-obat tersebut. Akibat riset di bidang psikotropik yang maju secara pesat maka saat ini telah
banyak terjadi perubahan indikasi obat psikotropik dari pembagian awal di atas. Dengan kata lain, suatu
obat psikotropik memiliki manfaat klinis yang lebih dari satu. Selain itu, banyak obat-obat yang digunakan
dalam bidang endokrin, kardiovaskular, dan neurologi saat ini telah sering digunakan sebagai terapi
tambahan dalam regimen terapi utama. Selanjutnya, perkembangan akhir-akhir ini semakin kuat
membuktikan bahwa penggunaan obat dengan dosis yang melebihi anjuran dan dalam bentuk kombinasi
yang rasional yang tujuannya untuk meningkatkan kepatuhan pasien.
Berikut ini adalah beberapa informasi umum tentang medikasi yang seharusnya diberitahukan kepada
pasien.

A. Waktu obat-obat digunakan


Tujuan utama pengobatan adalah menghasilkan perbaikan gangguan mental secara menyeluruh. Namun
demikian, perlu diingat bahwa sebagian besar obat yang dipergunakan dalam bidang psikiatri dapat
menimbulkan efek samping yang tak menyenangkan bagi pasien. Untuk itu pasien dan keluarganya perlu
mendapat penjelasan tentang ada-tidaknya gejala efek samping obat yang mungkin terjadi serta apa yang
harus dilakukan terhadapnya.
Setiap dokter yang akan menuliskan resep harus memperhitungkan keuntungan dan kerugian jangka
pendek dan jangka panjang yang mungkin timbul akibat penggunaan suatu obat tertentu. Setelah
mempertimbangkan dengan seksama bahwa obat yang dipilih ternyata lebih banyak memberikan efek
yang menguntungkan, barulah dokter memberikan resep tersebut.

B. Jenis obat-obat yang digunakan


Pemilihan obat psikotropik tertentu, misalnya obat-obat yang dapat mempengaruhi pikiran, tergantung
pada diagnosis pasien. Sekali diagnosis telah ditegakkan maka pengobatan yang sesuai dapat dianjurkan
oleh dokter dengan terlebih dahulu mempertimbangkan faktor seperti: riwayat pengobatan pasien
sebelumnya (misalnya respon pengobatan sebelumnya terhadap obat-obatan psikotropik, efek samping
yang kemungkinan timbul, kepatuhan terhadap pengobatan), serta riwayat keluarga dalam hal respon
terhadap obat psikotropik.

C. Pengobatan yang berorientasi pada gejala sasaran


Penggunaan klinis obat psikotropik ditujukan untuk meredam (mensupresi) gejala sasaran tertentu
sehingga pemilihan jenis obat seharusnya disesuaikan dengan tampilan gejala sasaran yang akan
ditanggulangi. [Misalnya: antipsikotik untuk psikosis; antidepresan untuk depresi; antimania untuk mania;
antiansietas untuk ansietas; antiinsomnia untuk insomnia; anti obsesif-kompulsif untuk obsesif-kompulsif;
anti panik untuk panik].

D. Efek primer dan efek sekunder obat


Efek primer adalah efek klinis terhadap gejala sasaran. Efek sekunder adalah efek samping obat. Efek
primer dan sekunder bersama-sama digunakan untuk tujuan terapi, disesuaikan dengan gejala-gejala yang
muncul yang menjadi sasaran terapi. Efek sekunder biasanya timbul lebih dahulu, kemudian baru efek
primer-nya. Sebagai contoh: adanya kondisi gaduh gelisah dan sulit tidur pada sindrom psikosis akan dapat

61
diperbaiki dengan efek sekunder dari chlorpromazine, selanjutnya efek primer chlorpromazine akan
memperbaiki gejala utama psikosis secara bertahap.
Kedua efek primer dan sekunder obat di atas perlu dibedakan dengan efek idiosinkrasi (hipersensitivitas
obat) akibat faktor individu dan efek toksis akibat penggunaan obat yang melebihi dosis yang dianjurkan
(overdosis).

E. Prinsip titrasi dosis dalam pengobatan


Pada dasarnya respon obat psikotropik bersifat individual sehingga perlu dilakukan penyesuaian secara
empirik (therapeutic trial). Dosis obat biasanya dimulai dengan dosis awal (dosis anjuran), dinaikkan
secara cepat sampai mencapai dosis efektif (dosis yang mulai berefek supresi gejala sasaran), kemudian
secara perlahan-lahan dosis dinaikkan sampai mencapai dosis optimal (dosis yang mampu mengendalikan
gejala sasaran) dan dipertahankan untuk jangka waktu tertentu sambil disertakan terapi lain (non-
medikamentosa), kemudian dosis diturunkan secara perlahan-lahan sampai mencapai dosis rumatan (dosis
terkecil yang masih mampu mencegah kambuhnya gejala).

G. Dosis optimal dan dosis rumatan


Untuk sebagian besar obat, dosis optimal adalah dosis yang dapat menghasilkan manfaat terapeutik
maksimal dan efek samping minimal. Bila efek samping menjadi masalah, dosis obat harus diturunkan
atau obat-obat lain yang dapat meminimalkan dan/atau mengatasi efek samping harus ditambahkan.
Saat gejala-gejala telah reda/hilang, biasanya terdapat periode rumatan (biasanya setelah pengobatan
selama beberapa bulan atau tahun) dimana setelah periode tersebut barulah pengobatan dapat benar-benar
dihentikan. Dosis rumatan adalah dosis terkecil namun efektif untuk mencegah relaps. Dosis rumatan
memiliki ciri-ciri: bervariasi antar-individu, dan bervariasi menurut faktor-faktor psikososial [Contohnya:
selama pasien skizofrenia dalam masa stres maka dokter dan anggota-anggota keluarga lainnya harus
membahas manfaat-manfaat menaikkan dosis rumatan secara betahap dalam rangka mencegah terjadinya
relaps.

H. Obat acuan
Setiap golongan obat psikotropik mempunyai prototipe sebagai obat acuan, dimana obat yang lain yang
segolongan selalu mengacu pada obat acuan tersebut, baik dalam perbandingan efektivitas obat (efek
primer dan efek sekunder obat) maupun dalam dosis (dosis ekuivalen). Perkembangan obat-obat baru
berupaya lebih baik dari obat acuan, dalam arti efektivitas klinis lebih ampuh dan efek samping lebih
ringan dalam dosis yang ekuivalen. Sebagai contoh: sertraline dosis 50 mg per hari dosis tunggal sama
ampuhnya dengan amitriptylinee 75 mg per hari dalam 3 kali pemberian (obat acuan), akan tetapi efek
samping sertraline sangat minimal dibandingkan amitriptylinee pada dosis ekuivalen tersebut.

I. Analisis “asas manfaat-risiko”


Dalam mempertimbangkan pemilihan jenis obat psikotropik selalu harus berdasarkan analisis asas manfaat
dan risiko. Penggunaan obat psikotropik yang rasional akan menghasilkan supresi dari gejala sasaran
sehingga dengan terapi psikososial akan memberikan kesempatan untuk terjadinya integrasi bio-psiko-
sosial sampai tercapai pemulihan dari kondisi gangguanjiwa. Penggunaan obat psikotropik yang tak
rasional akan memungkinkan terjadinya ketergantungan obat dengan akibat disintegrasi bio-psiko-sosial
sehingga hendaya ataau disabilitas yang telah ada semakin lama semakin bertambah berat.Dampak dari
efek samping obat selalu harus dipantau dan dikenal untuk kemudian ditangani secara adekuat. Disinilah
pentingnya monitoring efek samping obat, baik secara klinis maupun laboratorium, untuk mendeteksi dini
dan mengupayakan penanggulangan segera bila terjadi efek samping obat.
Pertimbangan khusus perlu diberikan kepada kelompok khusus seperti:
 anak-anak dan usia lanjut (dosis harus kecil)
 wanita hamil dan menyusui (analisis asas manfaat-risiko)
 pasien-pasien dengan kelainan fisik tertentu seperti penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit
hati, glaukoma, hipertrofo prostat, asma bronkhiale, dan epilepsi (pilih obat yang berdampak
minimal)

62
J. Catatan praktis!
1. Obat psikotropik telah terbukti mengubah penanganan gangguan mental secara radikal.
2. Jangan menggunakan obat bila indikasinya tidak jelas atau bahkan merugikan pasien.
3. Beberapa jenis obat dapat memberikan efek toksis; ketidaktahuan akan hal ini merupakan hal yang
merugikan pasien.
4. Dosis obat harus dipertahankan serendah mungkin
5. Sebelum meresepkan suatu obat tanyakan pada diri anda sendiri apakah obat tersebut benar-benar
sangat diperlukan.
6. Semua institusi perawatan klinis harus memiliki protokol: (Tugas untuk mahasiswa)
7. Penanganan Transkuilisasi Cepat
8. Penanganan Keracunan Lithium
9. Penanganan Diskinesia Tradiv
10. Penanganan Distonia Akut
11. Penanganan Sindrom Neuroleptik Malignan

K. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang obat


Seperti halnya dalam bentuk pengobatan apapun, pasien berhak untuk diminta informed consent. Informed
consent berarti bahwa pasien diberitahukan sampai mengerti tentang hal-hal apa saja yang berkenaan
dengan upaya diagnostik atau pengobatan, termasuk efek samping yang mungkin timbul. Setelah diberikan
keterangan dengan jelas, pasien diminta untuk menandatangani lembar pernyataan persetujuan untuk
mengikuti suatu tindakan diagnostik maupun pengobatan tertentu.
Sebagian pasien mungkin dituntut oleh institusi tertentu (misalnya untuk kepentingan keamanan dan
hukum) untuk menjalani pengobatan tertentu yang tidak dikehendakinya, namun demikian, prinsip yang
sama dipakai untuk menjamin bahwa pasien telah mendapat informasi secara keseluruhan tentang rencana
pengobatannya. Tindakan memberikan informasi pada pasien (tanpa mempersoalkan apakah pasien
bersedia mengikuti suatu pengobatan tertentu secara sukarela atau tidak) maka pasien akan lebih
menghargai upaya pengobatan dan mungkin saja akan lebih bersedia untuk bekerja sama dalam program
pengobatan. Dokter bertanggung jawab untuk mendapatkan informed consent dari pasien dan memberikan
pengetahuan/pendidikan kepada pasien tentang pengobatan yang dianjurkannya.
Informasi berikut ini adalah penting diberikan kepada pasien:
 Nama obat yang diberikan.  Kemungkinan terjadinya adiksi terhadap obat
 Alasan pengobatan diberikan. yang diberikan.
 Manfaat pengobatan.  Kemungkinan diperlukannya tes darah dan/atau
 Kapan dan bagaimana mengkonsumsi obat. tes lainnya.
 Peringatan khusus/kontra-indikasi yang harus  Alternatif pengobatan.
diperhatikan.  Pemantauan terhadap tanda-tanda peringatan
 Lama pengobatan. dini (early warning signs) bila memungkinkan.
 Jangka waktu obat dikonsumsi sampai tampak  Penjelasan ini dapat dilakukan dengan cara
hasilnya. diskusi maupun dengan memberikan bahan
 Efek-efek samping yang mungkin timbul. bacaan/brosur yang berisi informasi bagi
 Kepatuhan dan akibat dari ketidakpatuhan pasien. Penting juga bagi keluarga pasien untuk
pasien. memperoleh informasi yang cukup mengenai
 Dosis optimal. program pengobatan tersebut.

L. Menggalang keikutsertaan pasien terhadap pengobatan


Penggunan obat psikotropik hanya akan berhasil mencapai sasaran apabila pasien mengkonsumsinya
secara teratur sesuai anjuran. Ada sejumlah pertanyaan yang dapat membantu dokter untuk menilai
mengapa pasien tidak patuh pada pengobatan:
1. Mampukah pasien membeli obat yang diresepkan?
2. Tahukah pasien alasan pengobatan?
3. Sederhanakah regimen terapi untuk diingat pasien?
4. Tahukah pasien cara mengkonsumsi obat dengan benar?
5. Tahukah pasien efek samping yang mungkin terjadi?

63
6. Tahukah pasien akan efek toksis obat?
Pada sebagian kasus dimana pasien menolak pengobatan dan ternyata tidak segera terjadi relaps maka
mereka akan percaya bahwa pengobatan tersebut tidak begitu dibutuhkan. Akan tetapi, banyak obat
psikotropik, khususnya obat antipsikotik sangat larut dalam lemak dan membutuhkan waktu lama sampai
obat tersebut benar-benar diekskresikan keluar tubuh. Oleh karenanya, selama periode tersebut, pasien
tetap mendapat manfaat dari pengobatan sekalipun ia telah berhenti mengkonsumsi obat. Saat obat telah
benar-benar diekskresikan dari tubuh maka kemungkinan besar relaps akan segera akan terjadi. Untuk itu,
sangat penting bagi pasien untuk memahami secara garis besar (yaitu dengan bahasa yang sederhana yang
dapat dimengerti oleh pasien) tentang farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat tertentu sehingga
keputusan untuk mematuhi pengobatan adalah didasarkan atas informasi yang akurat.

M. Pemantauan status fisik dan mental


Pasien yang mendapat pengobatan harus dipantau secara teratur. Tujuan pemantauan ini adalah untuk
menentukan apakah obat tersebut menghasilkan efek yang diharapkan, serta untuk menilai ada-tidaknya
dan progresivitas dari efek samping obat. Pemantauan ini akan menuntun seorang dokter untuk keputusan
selanjutnya.

N. Tanda peringatan dini dan obat rumatan terarah


Pada gangguan mental yang cenderung berulang, (seperti skizofrenia dan gangguan mood), pasien dan
keluarga dapat mengenal gejala-gejala perilaku atau afektif yang sering muncul mendahului timbulnya
relaps. Gejala ini disebut tanda-tanda peringatan awal/dini relaps (early warning signs of relapse).
Pasien yang ingin tetap bebas dari obat atau ingin agar pengobatannya dalam dosis minimal harus
mempelajari cara memantau gejala-gejala ini. Bila tanda-tanda peringatan dini terjadi, pasien harus segera
kembali pada dosis atau tingkat pengobatan yang sebelumnya sesuai persetujuan dan nasihat dokter.
Penanganan ini disebut obat rumatan terarah (targeted drug maintenance) dan biasanya disediakan bagi
pasien-pasien yang tetap stabil dan telah bebas gejala sedikitnya selama 3 bulan.

GANGGUAN PSIKIATRI DAN PENGOBATANNYA

A. Skizofrenia
Medikasi antipsikotik
Medikasi antipsikotik, atau yang juga dikenal dengan istilah neuroleptik atau trankuiliser mayor,
merupakan bentuk pengobatan utama skizofrenia akut maupun kronik. Obat-obat ini memperlihatkan
kemampuan menurunkan risiko relaps apabila dipergunakan dalam jangka waktu lama. Akan tetapi 30-
40% pasien dapat mengalami relaps dalam jangka waktu 1 tahun meskipun telah menggunakan obat-obat
antipsikotik. Relaps dalam kasus-kasus tertentu dapat dipicu oleh suatu stres akut, oleh karena itu strategi
untuk mengatasi stres perlu diajarkan kepada pasien. Penyebab paling sering dari kurangnya respon
terhadap pengobatan antipsikotik adalah kekurangpatuhan pada pengobatan.
Ada beberapa kelas antipsikotik. Setiap obat antipsikotik klasik kelihatannya sama efektif dalam
menghilangkan gejala-gejala positif. Akan tetapi clozapine dan preparat antipsikotik atipik lainnya,
tampaknya lebih efektif untuk menghilangkan gejala-gejala negatif serta dapat mengurangi gejala-gejala
positif dalam intensitas yang cukup tinggi pada pasien-pasien yang tidak responsif dengan obat-obatan
antipsikotik lain.
Dalam praktek klinis ternyata bahwa tidak semua orang berespon sama terhadap suatu jenis obat. Sebagian
berespon baik terhadap satu jenis obat namun tidak demikian terhadap obat yang lain. Selain itu, setiap
obat memiliki efek samping tersendiri. Oleh karena itu, obat-obat antipsikotik spesifik mungkin dipilih
atau pun dihindari karena alasan ini. Secara khusus, obat-obat yang memberi efek sedatif dan menekan
gejala agitasi psikomotorik dapat dipilih selama tahap akut karena efeknya yang menenangkan. Obat-obat
lain harus dihindari oleh orang-orang tertentu karena mereka tidak dapat bertoleransi dengan obat tersebut
karena menyebabkan efek samping yang tidak dapat ditoleransi seperti gejala akatisia.
Obat-obat antipsikotik dapat diberikan secara oral (tablet atau cairan), injeksi intramuskuler (IM), injeksi
intravena (IV) atau injeksi depo intramuskuler masa kerja lama. Penatalaksanaan pengobatan jangka

64
panjang optimum dengan mempertahankan pasien pada dosis paling rendah namun masih tetap berefek
terapi, dapat membantu mencegah terjadinya eksaserbasi utama dari gejala-gejala psikosis yang menonjol.
Medikasi antikolinergik
Medikasi antikolinergik, dikenal juga sebagai obat antiparkinson, dipakai untuk mengobati efek samping
ekstrapiramidal yang disebabkan oleh obat antipsikotik. Obat antikolinergik memiliki efek samping
tersendiri dan tidak boleh dipakai tanpa indikasi/alasan yang kuat. Dianjurkan agar obat-obat
antikolinergik hanya digunakan bila terjadi efek samping ekstrapiramidal dan bukan untuk tujuan
profilaksis. Walaupun demikian, atas pertimbangan-pertimbangan khusus, untuk pasien yang memiliki
risiko tinggi untuk timbulnya gejala ekstrapiramidal (seperti pada pasien-pasien usia laki-laki muda dengan
obat antipsikotik potensi tinggi; pasien dengan riwayat gejala-gejala ekstrapiramidal akibat obat
antipsikotik), atau untuk pasien yang berobat jalan dengan obat antipsikotik potensi tinggi maka pemberian
obat-obat antikolinergik untuk alasan profilaksis dapat merupakan pertimbangan khusus.
Pemberian obat tambahan dalam pengobatan skizofrenia, termasuk lithium carbonate, carbamazepine,
sodium valproat, antidepresan dan benzodiazepine, kadang-kadang diberikan, tergantung pada gejala-
gejala yang ada.

B. Gangguan Depresi
Medikasi antidepresan
Antidepresan adalah bentuk pengobatan utama untuk sindrom depresi, baik untuk pengobatan depresi akut
maupun pengobatan rumatan jangka panjang depresi. Semua obat-obat antidepresan efektif untuk
mengurangi gejala depresi apabila dipakai dalam dosis yang cukup untuk jangka waktu yang sesuai.
Namun efek samping yang muncul dapat berbeda-beda (untuk penjelasan lebih rinci lihat pembahasan tiap
obat berdasarkan kelasnya). Disamping itu, sebagian obat memberikan manfaat tambahan seperti
kemapuannya untuk mengurangi gejala ansietas yang sering juga muncul pada gangguan depresi.
Pemilihan antidepresan sangat bergantung pada gejala dan respon pasien terhadap pengobatan tertentu di
masa lampau maupun masa sekarang.
Respon terhadap antidepresan bervariasi di antara satu pasien dengan pasien lainnya. Pada sebagian orang
responnya cepat, sedangkan pada yang lain responnya lambat. Rata-rata dibutuhkan 1-2 minggu sebelum
efek obat muncul dan dibutuhkan 4-8 minggu sebelum efek antidepresan bekerja sempurna. Beberapa
gejala depresi seperti insomnia berespon dalam jangka waktu yang singkat. Pengawasan cermat selama
tahap awal pengobatan sangat diperlukan bagi pasien-pasien yang menunjukkan bukti adanya keinginan
bunuh diri.
Pengobatan depresi biasanya berlangsung 6-12 bulan setelah pulih dari episode pertama dan lebih panjang
bagi pasien-pasien yang memiliki 2 atau lebih episode depresi yang berat. Setelah penurunan dosis secara
bertahap, status mental pasien harus dinilai, sekitar 3 minggu setelah penghentian obat, kemudian setelah
masa interval 2 bulan sampai bulan ke-6 setelah penghentian obat. Oleh karena relaps kadangkala terjadi
setelah penghentian obat maka dibutuhkan kecermatan dalam mendeteksi tanda-tanda awal relaps.
Obat-obat antipsikotik
Apabila seseorang mengalami episode depresi psikotik maka selama penatalaksanaan fase akut, obat
antipsikotik harus diberikan bersama-sama dengan obat antidepresan.
Penghentian Pengobatan. Dalam beberapa kasus, penghentian semua pengobatan kadang-kadang
merupakan pilihan tindakan efektif. Penghentian ini dilakukan secara perlahan-lahan dan atas
dasar konsultasi dokter.
Penting untuk diperhatikan bahwa penanganan depresi yang paling efektif meliputi kombinasi pengobatan
medikamentosa dan terapi psikologis (khususnya terapi kognitif, terapi perilaku, dan terapi interpersonal).
Penatalaksanaan kombinasi ini bukan saja lebih efektif tetapi juga dapat mencegah relaps.

65
C. Gangguan Bipolar
Medikasi Mood Stabilizer / Penstabil Mood
Obat-obat berikut ini merupakan obat pilihan utama untuk gangguan bipolar, yaitu: lithium
carbonate, carbamaepine, valproic acid, dan divalproex natrium.
Penelitian membuktikan bahwa obat-obat tersebut memiliki efikasi yang sama untuk pengobatan
mania. Namun, lithium biasanya tetap digunakan sebagai pilihan pertama. Penstabil mood tidak hanya
menghilangkan gejala akut mania, tetapi juga mengurangi frekuensi episode mania dan depresi.
Penstabil mood juga efektif untuk episode-episode depresi pada gangguan bipolar.
Medikasi antipsikotik
Medikasi antipsikotik sering ditambahkan bersama obat penstabil mood, khususnya pada tahap awal
pengobatan, dengan maksud untuk menurunkan agitasi, hiperaktivitas motorik yang berlebihan, dan
insomnia. Pada umumnya obat-obat ini harus segera dihentikan, segera setelah gejala-gejala fase akut telah
terkontrol.
Benzodiazepine
Benzodiazepine sering ditambahkan bersama obat penstabil mood, khususnya pada tahap awal pengobatan,
juga dengan maksud untuk menurunkan tingkat agitasi dan hiperaktivitas.
Medikasi antidepresan
Pengobatan ini bermanfaat selama fase depresif gangguan bipolar, dan dihentikan secara bertahap setelah
episode depresi telah teratasi. Apabila medikasi antidepresan digunakan secara tunggal (tanpa dikombinasi
dengan antimania) maka akan terjadi peningkatan risiko presipitasi suatu gejala mania bilamana keadaan
depresi telah teratasi. Untuk alasan di atas maka pemberian antidepresan dipakai sebagai pelengkap pada
penstabil mood apabila mengobati fase depresi gangguan bipolar.

D. Gangguan Kecemasan
Pengobatan medikamentosa tidak dianjurkan untuk setiap gangguan kecemasan. Informasi di bawah ini
memberi petunjuk tentang batasan dari pengobatan yang dianjurkan untuk gangguan spesifik.
Benzodiazepine
Obat ini sangat berguna untuk pengobatan jangka pendek atau pengobatan reaksi stres akut. Toleransi dan
ketergantungan seringkali muncul seiring dengan penggunaan jangka panjang.
Medikasi antidepresan
Pengobatan antidepresan, khususnya imipramine (antidepresan trisiklik), merupakan pengobatan pilihan
untuk terapi gangguan panik, dengan atau tanpa agoraphobia. Serotonin Selective Reuptake Inhibitors –
SSRIs (obat-obat Penghambat Ambilan Serotonin Selektif) seperti fluoxetine, sertraline dan paroxetine
efektif untuk menekan gangguan panik. Penekanan gejala-gejala serangan panik terjadi setelah 4 minggu
pengobatan dengan dosis penuh. Pengobatan ini biasanya berlanjut sampai minimal 6 bulan. Jika gejala
berulang maka terapi terus dilanjutkan. Pengobatan tidak dilakukan lebih lama dari 18 bulan, dan jika
gejala berulang setelah jangka waktu tersebut, pengobatan alternatif (khususnya terapi kognitif dan
kepribadian) harus menjadi fokus utama terapi.
Clomipramine (antidepresan trisiklik) dan SSRIs, sangat efektif untuk terapi gangguan obsesif-kompulsif.
Obat ini membuat obsesi lebih mudah dilawan dan dengan demikian akan mengurangi kompulsi. SSRIs
sangat membantu mengatasi depresi yang sering berkomorbiditas dengan gangguan obsesif-kompulsif.
Clomipramine dan SSRIs juga digunakan secara bersama-sama dengan terapi perilaku.
Antidepresan trisiklik dan SSRIs sangat membantu untuk pengobatan gangguan stres pasca trauma
khususnya yang berhubungan dengan psikoterapi singkat. Reversible MAOI atau RIMA, Moclobemide
sangat bermanfaat bagi gangguan fobia sosial.
Beta blockers
Obat-obat beta blockers sangat berguna untuk pengobatan kecemasan sosial ketika tampilan kecemasan
merupakan masalah utama. Beta blockers dapat mengurangi kecemasan dan distres dengan meminimalkan

66
atau mencegah gejala fisik yang nyata dari cemas, seperti timbulnya kemerahan (blushing) atau goncangan
(shaking).

E. Gangguan Tidur
Benzodiazepine
Penggunaan benzodiazepine (sedatif-hipnotik) dalam waktu yang lama dan setiap malam hari merupakan
cara pengobatan yang tidak dianjurkan. Penggunaan benzodiazepine untuk jangka panjang akan
menyebabkan terjadinya toleransi. Akibatnya pasien membutuhkan dosis yang lebih besar untuk
memperoleh efek terapi yang sama. Selain itu dapat terjadi sindrom putus zat (obat) bilamana obat
diturunkan dosisnya atau dihentikan sama sekali. Strategi yang terbaik untuk gangguan tidur adalah
memastikan bahwa pasien mempunyai kebiasaan tidur yang baik dan dengan mengobati setiap gangguan
fisik dan mental yang mendasarinya (seperti depresi, keadaan nyeri, dll.).
Jika pasien sangat prihatin terhadap insomnianya maka pemberian benzodiazepine masa kerja pendek
(short-acting) seperti temazepam atau lorazepam terkadang sangat bermanfaat. Obat short-acting bekerja
sangat cepat dan hanya sedikit meninggalkan efek hang-over dibanding obat masa kerja panjang (long-
acting).
Bagi pasien, penting untuk diingatkan bahwa gangguan tidur yang terjadi dalam satu malam bukanlah
kebiasaan yang buruk. Indikasi yang lebih diprioritaskan untuk penggunaan benzodiazepine adalah untuk
gangguan tidur yang disebabkan oleh karena waktu kerja yang bergiliran (shift-work) atau jet lag. Dalam
kasus seperti ini penggunaan jangka pendek benzodiazepine (tidak lebih dari beberapa hari) dapat sangat
membantu untuk mengembalikan pola tidur yang teratur.

F. Gangguan Diet
Medikasi antidepresan
Antidepresan trisiklik, SSRIs dan RIMA sangat efektif untuk bulimia nervosa. Walaupun demikian, bila
tidak dilakukan psikoterapi, biasanya perubahan yang berarti tidak akan terjadi dan relaps akan segera
terjadi setelah obat dihentikan.
Tidak ada bukti yang mendukung bahwa antidepresan efektif untuk pengobatan anoreksia nervosa,
meskipun obat ini kadang digunakan untuk terapi depresi yang berkomorbiditas dengan anoreksia nervosa
tersebut. Harus diingat pula bahwa pengobatan antidepresan (khususnya antidepresan dari golongan
trisikilik) dapat menyebabkan komplikasi jantung dan oleh karena itu tidak dianjurkan untuk terapi
anoreksia nervosa.
Medikasi antipsikotik
Tidak ada fakta yang membuktikan bahwa pengobatan antipsikotik efektif untuk anoreksia nervosa yang
tidak berkomorbiditas dengan gangguan psikotik.

OBAT PSIKOTROPIK YANG UMUM DIPAKAI

A. Medikasi Antipsikotik
A.1. Antipsikotik Klasik
Penggunaan obat-obat ini biasanya hanya terbatas untuk gangguan psikotik utama seperti skizofrenia,
karena efek samping dari obat ini sering terjadi dan tidak jarang bersifat serius. Obat antipsikotik
digunakan untuk pengobatan jangka pendek gangguan psikosis dan juga untuk pencegahan terjadinya
relaps. Perlu diingat dengan terapi antipsikotik, gejala-gejala psikotik tidak langsung menghilang tetapi
memerlukan beberapa minggu lamanya.
Obat-obat antipsikotik memiliki efek terapeutik berikut:
1. Efek awal untuk menenangkan pasien.
2. Efek lanjut untuk mengatasi gejala-gejala psikotik (waham dan halusinasi).
Pada umumnya semua obat antipsikotik klasik memiliki efektivitas yang sama. Namun setiap obat
antipsikotik memiliki profil efek samping yang berbeda-beda, selain bersifat individual. Pemilihan obat

67
antipsikotik tergantung pada hal-hal berikut, antara lain: diagnosis gangguan psikiatrik yang sedang
diobati, gejala spesifik yang ada, efek samping yang menyertai suatu obat tertentu, dan respon individual
terhadap obat tertentu, baik di waktu lalu maupun sekarang.
Obat antipsikotik dapat dibagi dalam 2 golongan :
1. Obat-obat potensi rendah (low potensi drugs): digunakan dalam ratusan miligram per hari.
2. Obat-obat potensi tinggi (high potensi drug): digunakan dalam puluhan miligram per hari.
Pada umumnya antipsikotik potensi rendah bersifat lebih sedatif dan menyebabkan efek samping
kolinergik dibandingakan antipsikotik potensi tinggi. Pada prinsipnya antipsikotik potensi rendah lebih
sedikit menimbulkan efek samping ekstrapiramidal dibandingkan antipsikotik potensi tinggi.
Ada juga antipsikotik atipik seperti clozapine, risperidone, olazapine, dan quetiapine (akan dibahas dalam
bagian yang lain).
Penggunaan dalam psikiatri:
1. Skizofrenia (untuk kondisi akut dan untuk mencegah relaps)
2. Gangguan skizoafektif.
3. Mania
4. Depresi berat dengan ciri psikotik.
5. Gangguan mental organik dengan gambaran psikotik.
6. Sindrom Tourette
Dosis dan Cara Pemberian:
Pada keadaan psikosis akut, dosis dapat disesuaikan dengan gejala dan respon individual. Pengobatan
biasanya dimulai dengan dosis rendah, kemudian dinaikkan secara hati-hati sampai dicapai
keseimbangan yang memuaskan antara hasil terapi dan efek samping. Antipsikotik potensi tinggi atau
pun risperidone (dapat ditambah dengan benzodiazepine untuk keadaan agitasi dan insomnia) adalah
obat yang direkomendasikan untuk pengobatan gejala psikotik akut atau gangguan perilaku akut
selama eksaserbasi gangguan psikotik.
Pada umumnya medikasi rumatan dengan antipsikotik paling baik diberikan dalam satu dosis harian pada
saat pasien telah berada dalam kondisi yang stabil dan telah dapat bertoleransi terhadap efek samping
obat apapun. Beberapa pasien dapat dengan mudah dipertahankan kondisinya dengan dosis
antipsikotik yang sangat rendah. Pasien-pasien skizofrenia biasanya tetap mendapat antipsikotik
untuk waktu yang cukup lama (dari 6 bulan hingga seumur hidup, tergantung pada jumlah serangan
sebelumnya dan hebatnya gejala-gejala). Untuk gangguan jiwa lainnya, pemberian antipsikotik
biasanya dihentikan segera setelah gejala psikotik menghilang.
Injeksi depo antipsikotik masa kerja panjang. Terdapat 2 sediaan depo antipsikotik yang dikenal di
Indonesia: fluphenazine decanoate (25 mg/cc – intramuskular) dan haloperidol decanoate (50 mg/cc –
intramuskular). Dosis dimulai dengan ½ cc setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru
ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan. Sediaan ini pada umumnya didesain untuk pengobatan rumatan dan
secara normal tidak digunakan untuk serangan-serangan akut. Obat ini disuntikan di bokong atau lengan
setiap 2 – 4 minggu. Obat dengan pemberian intra muskular masa kerja panjang tersebut sangat dianjurkan
untuk pasien yang sulit diajak kerja sama, bila pengawasan terhadapnya sangat minimal, bila pasien tidak
dapat mengkonsumsi obat secara oral, atau pada keadaan yang sangat jarang, bila absorpsi usus kurang
baik. Pemberian obat ini juga mengurangi risiko overdosis.
Steady-state level obat-obat ini mencapai waktu 3 bulan dan selama waktu ini antipsikotik orang terus
diberikan selama minggu-minggu pertama dari pengobatan dengan antipsikotik depo masa kerja panjang
tersebut. Pada pemberian pertamanya, biasanya obat ini diberikan dalam dosis seperempat hingga setengah
dari dosis totalnya dalam rangka mengantispasi kemungkinan terjadinya reaksi efek samping yang hebat.
Bila reaksi tersebut terjadi maka gejala-gejalanya biasanya akan bertahan untuk waktu yang lama.
Efek samping:
Terdapat batasan yang luas dari efek samping dan sayangnya kebanyakan dari efek samping itu sering
terjadi. Obat antipsikotik dapat menyebabkan kelainan yang bermakna sehingga oleh beberapa pasien hal
ini menjadi alasan utama untuk menghentikan pengobatan mereka. Berbagai efek samping berikut ini dapat
timbul selama pengobatan dengan antipsikotik.

68
Efek samping yang umum:
1. Sedasi.
2. Efek antikolinergik (yaitu: mulut kering, konstipasi, kekaburan penglihatan, retensi urine).
3. Hipotensi postural.
4. Efek endokrin (meliputi: nafsu makan yang meningkat, kenaikan berat badan, berkurangnya
libido, impotensi, amenore, galaktore).
Efek samping ekstrapiramidal:
1. Distonia akut.
2. Akatisia.
3. Parkinsonisme.
4. Diskenesia tardiv.
5. Distonia tardiv.
Efek samping yang jarang terjadi :
1. Agranulositosis.
2. Reaksi kulit (kemerahan di kulit, fotosensitivitas yang menyebabkan jejas akibat sengatan sinar
matahari [akibat penggunaan chlorpromazine], pigmentasi kulit).
3. Kerusakan mata (pigmentasi retina, kekaburan kornea dan lensa, galukoma).
4. Delirium.
5. Kejang.
6. Sindrom neuroleptik maligna.
Peringatan khusus:
1. Antipsikotik yang memiliki efek sedasi yang kuat dapat menyebabkan kelainan dalam fungsi
mental, khususnya selama beberapa hari pertama pengobatan. Pasien dianjurkan untuk tidak
mengendarai kendaraan atau mengoperasikan mesin.
2. Mengingatkan pasien untuk melaporkan gejala / tanda infeksi yang tiba–tiba muncul (misalnya
sakit tenggorokan dan demam). Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan secepatnya untuk
melihat perkembangan agranulositosis. Jika terjadi agranulositosis adalah sangat penting untuk
menghentikan pengobatan atipsikotik dan mencari pertolongan segera.
3. Bila terjadi fotosensivitas, paparan langsung dengan sinar matahari harus dihindari. Penggunaan
tabir surya, kaca mata pelindung sinar matahari dan topi secara terus menerus bila berada di luar
rumah akan sangat membantu.
4. Pemakaian thioridazine jangka panjang dengan dosis melebihi 800 mg dapat menyebabkan
kebutaan akibat pigmentasi retina.
5. Gejala overdosis akibat obat antipsikotik adalah:
6. Tekanan darah rendah,
7. Sedasi,
8. Kesulitan bernapas,
9. Keadaan mirip syok,
10. Gejala berat ekstrapiramidal seperti kelemahan atau kekakuan otot dan terjadinya tremor fokal
maupun umum.

A.2. Antipsikotik Atipik


A.2.1. Clozapine:
Clozapine adalah obat antipsikotik atipik yang lebih efektif bagi pasien yang tidak lagi berespon dengan
antisikotik klasik. Obat ini sangat membantu untuk pengobatan skizofrenia yang resisten dengan
pengobatan antipsikotik klasik. Clazapine memperbaiki gejala positif skizofrenia (seperti delusi,
halusinasi, gangguan psikomotor) dan gejala negatif (kurang motivasi atau perhatian, inaktifitas,
emosi/afek yang tumpul, dan bicara yang terbatas).
Keuntungan penggunaan clozapine adalah: orang yang sudah resisten terhadap terapi lain dapat menjadi
lebih baik keadaannya. Obat ini tidak meyebabkan efek samping ekstrapiramidal dan tampaknya tidak
mengganggu fungsi seksual dan reproduksi.
Kerugian utama pemberian clozapine adalah terjadinya agranulositosis pada sekitar 1–3% kasus.
Kecenderungan terjadinya agranulositosis ini lebih sering dibanding bila menggunakan antipsikotik

69
lainnya. Clozapine hanya dindikasikan bagi pasien yang tidak berespon dengan 2 antipsikotik lainnya
dan/atau pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping pengobatan antipsikotik klasik.
Penggunaan dalam psikiatri: Pengobatan skizofrenia resisten
Dosis dan cara pemberian: Dosis rata-rata per hari clozapine berkisar antara 300 – 600 mg. Pengobatan
dimulai dengan dosis rendah pada hari pertama dan kemudian dinaikkan secara hati-hati selama 2-3
minggu berikutnya, sesuai dengan respon pasien. Waktu paruh dari clozapine relatif pendek (12 jam),
karena itu clozapine diberikan dalam dosis terbagi, dua kali sehari. Lama pemberian clozapine berkisar
antara 6 bulan dan seumur hidup, tergantung dari jumlah periode episode, gejala, dan keuntungan terapi.
Pemberhentian pemberian clozapine harus dilakukan secara bertahap selama 1-2 minggu.
Efek samping:
Efek samping yang umum:
1. Sedasi.
2. Detak jantung yang meningkat.
3. Konstipasi.
4. Pusings dan hipotensi postural.
5. Hipertermia.
6. Sekresi saliva yang berlebihan (khususnya malam hari).
7. Peningkatan berat badan.
Efek samping yang jarang tapi sangat penting:
1. Agranulositosis pada 1-3 % pasien.
2. Kejang (terjadi lebih sering akibat penggunaan clozapine dibanding antipsikotik lainnya; risiko
tinggi pada dosis melebihi 500 mg)
Efek samping yang jarang lainnya:
1. Pingsan.
2. Rasa tidak nyamam pada perut.
3. Kontraksi otot-otot involunter yang berukuran kecil.
4. Katalepsi yang periodik (responivitas yang berkurang dan berkurangnya pergerakan yang kronis).
5. Enuresis.
Peringatan khusus:
Clozapine dapat menyebabkan agranulositosis. Pasien harus diingatkan untuk melaporkan berbagai gejala
infeksi, khususnya flu, sakit tenggorokan, dan demam. Infeksi disebabkan oleh karena terjadinya
penurunan jumlah sel darah putih. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan.
Sebelum pengobatan dengan clozapine dimulai, tes darah harus dilakukan untuk memastikan bahwa hanya
orang yang hasil pemeriksaan darahnya normal yang akan diterapi dengan clozapine. Selama 18 minggu
pertama terapi, jumlah total sel darah putih dan netrofil harus dikontrol setiap minggu dan sesudah itu
paling kurang harus dikontrol setiap bulan (satu bulan satu kali).
Clozapine dapat mengganggu waktu reaksi dan menimbulkan efek sedasi yang kuat, khususnya pada awal
terapi. Untuk itu, pasien dilarang mengendarai kendaraan atau mengoperasikan mesin saat sedang
mengkonsumsi clozapine, khususnya selama masa awal terapi.
Clozapine tidak dapat dikombinasikan dengan obat antipsikotik lainnya sebelum melihat rujukan literatur
yang ada. Sebelum beralih dari antipsikotik lain ke clozapine, antipsikotik lainnya tersebut seharusnya
tidak dilanjutkan lagi dengan interval 24 jam sebelum beralih ke clozapine. Bila injeksi depo yang lebih
dahulu digunakan maka diperlukan waktu sekitar 2 – 5 minggu penghentian terlebih dahulu (tergantung
waktu paruh obat) sebelum beralih ke clozapine. Dalam beberapa kasus, clozapine dapat diberikan
bersama-sama dengan haloperidol yaitu dengan cara meningkatkan dosis clozapine secara perlahan-lahan
dan menurunkan dosis haloperidol secara bertahap sampai benar-benar dihentikan.
A.2.2. Risperidone:
Risperidone merupakan obat antipsikotik baru yang terbukti sangat efektif untuk pengobatan skizofrenia.
Risperidone mengatasi gejala positif dan negatif skizofrenia. Risperidone juga efektif untuk mengatasi
gejala-gejala afektif (yaitu depresi, ansietas, perasaan bersalah) yang timbul bersamaan dengan skizofrenia.

70
Risperidone menyebabkan efek samping ekstrapiramidal yang terkait dosis, efek samping mana lebih
sering timbul akibat dosis yang tinggi (yaitu 10 mg atau lebih). Oleh karena obat ini relatif baru maka data
efek samping obat relatif masih kurang banyak dilaporkan.
Penggunaan dalam psikiatri: Skizofrenia
Dosis dan cara pemberian: Dosis yang biasanya digunakan sehari-hari berkisar antara 2 – 8 mg.
Pengobatan dimulai dengan dosis rendah dan terbagi serta dinaikkan secara perlahan-lahan sesuai respon
pasien (untuk mengurangi risiko terjadinya hipotensi). Lama penggunaan berkisar antara 6 bulan sampai
seumur hidup.
Efek samping:
Efek samping yang umum:
1. Insomnia
2. Agitasi
3. Kecemasan
4. Sakit kepala
5. Efek samping ekstrapiramidal
Efek samping yang jarang terjadi:
1. Mengantuk.
2. Pusing.
3. Gangguan konsentrasi.
4. Rasa tidak nyamam pada perut.
5. Nausea.
6. Peningkatan berat badan.
7. Gangguan penglihatan.
8. Gangguan seksual.
9. Kemerahan di kulit.
Peringatan khusus:
Hipotensi postural dapat timbul terutama pada awal pengobatan. Bilamana hipotensi postural ini cukup
hebat maka perlu dipertimbangkan untuk menurunkan dosis risperidone.
Risperidone dapat mengganggu waktu reaksi dan kewaspadaan mental. Pasien disarankan untuk
menghindari mengendarai kendaraan dan mengoperasikan mesin.

B. Medikasi Antidepresan
Klasifikasi obat antidepresan adalah :
1. Antidepresan trisiklik
2. Antidepresan tetrasiklik
3. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
4. Ireversible Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOIs)
5. Reversibel MAOIs (RIMAs)
6. Serotonin-Noradrenalin Reuptake Inhibitor (SNRIs)
Pemilihan antidepresan akan tergantung pada beberapa faktor:
1. Gangguan psikiatri selama pengobatan
2. Gejala spesifik yang muncul
3. Efek samping yang berhubungan dengan obat tertentu
4. Respon pasien terhadap obat, sebelumnya dan saat ini
5. Keamanan terhadap overdosis obat
Adanya periode inefektivitas kira-kira 1-2 minggu sebelum timbulnya efek antidepresan dan memakan
waktu 4-8 minggu sebelum terjadinya efek penuh dari dosis antidepresan. Walaupun demikian, efek
samping dan perbaikan dalam tidur dan selera makan dapat terjadi lebih cepat. Pasien harus diberitahukan
tentang periode inefektivitas ini. Pengawasan yang cermat terhadap tendensi bunuh diri perlu terus
dilakukan.

B.1. Antidepresan Trisiklik


71
Antidepresan trisiklik adalah nama dari 3 cincin struktur kimia. Mereka juga dikenal dengan
antidepresan klasik, sekalipun mereka juga sering dipergunakan untuk pengobatan gangguan psikiatrik
lainnya. Semua antidepresan trisiklik pada hakekatnya sama efektif untuk pengobatan depresi. Sebagai
tambahan, efek samping masing-masing antidepresan trisiklik ini berbeda-beda dan bersifat individual
(misalnya dispiramine dan nortriptiline hanya memiliki beberapa efek antikolinergik dan kurang sedatif
dibanding amitriptyline dan doxepine).
Penggunaan dalam psikiatri:
1. Depresi
2. Gangguan panik, dengan atau tanpa, agoraphobia
3. Gangguan obsesif kompulsif
4. Bulimia Nervosa
5. Sindrom nyeri kronis
Dosis dan cara pemberian: Pengobatan biasanya dimulai dengan dosis rendah dan secara bertahap, dalam
beberapa hari/minggu, dosis antidepresan ditingkatkan sampai mencapai dosis maksimum dalam kisaran
terapeutik yang dapat ditoleransi oleh pasien. Peningkatan yang secara bertahap ini akan mengurangi
hebatnya efek samping selama tahap awal pengobatan. Pemberian antidepresan dalam dosis yang terbagi
dalam tahap awal pengobatan juga akan membantu dalam mengurangi hebatnya efek samping yang bisa
timbul. Antidepresan trisiklik mempunyai waktu paruh yang panjang yakni 20-40 jam, sebab itu
pengobatan hanya dilakukan satu kali dalam sehari. Pengobatan biasanya dilakukan pada malam hari,
khususnya jika digunakan jenis obat yang sedatif. Dengan cara ini pasien dapat tidur pada waktu malam
dan perasaan mengantuk akan berkurang selama pagi hari.
Ketika hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis antidepresan dan dosis yang diberikan sudah efektif
dan efek sampingnya dapat ditoleransi oleh pasien maka dosis obat dapat dipertahankan sampai gejala
yang diobati menghilang. Biasanya dianjurkan untuk melanjutkan pengobatan selama 6-12 bulan setelah
pemulihan dari suatu episode pertama dan selama 3-5 tahun setelah pemulihan dari episode yang berulang.
Setelah waktu tersebut, pengobatan antidepresan dapat dihentikan secara bertahap dalam waktu 1-2 bulan.
Perhatian: penghentian pengobatan secara tiba-tiba dapat menyebabkan terjadinya relaps dan dapat
menimbulkan cholinergic rebound syndrome. Sindrom ini ditandai oleh nausea, gangguan lambung,
berkeringat, sakit kepala, sakit pada leher dan muntah. Gejala ini dapat diobati dengan pemberian ulang
antidepresan trisiklik dosis rendah dan kemudian dosis diturunkan dengan lebih bertahap. Dalam beberapa
kasus, terutama untuk depresi yang berulang, dibutuhkan penggunaan antidepresan trisiklik untuk jangka
waktu yang lama atau bahkan untuk waktu yang tidak terbatas.
Efek samping:
3. Sedasi
4. Mulut kering
5. Gangguan penglihatan
6. Peningkatan berat badan
7. Konstipasi
8. Berkeringat
Obat-obat antidepresan golongan trisiklik memiliki efek samping yang sangat bervariasi. Efek samping
antidepresan trisiklik timbul sangat buruk pada awal pengobatan dan pada banyak pasien efek samping ini
akan menghilang sesudah beberapa hari pertama. Jika efek samping yang timbul cukup hebat maka
dianjurkan untuk menurunkan dahulu dosis obat dan kemudian dinaikkan dengan lebih bertahap.
Kebanyakan pasien akan mengalami efek samping yang ringan namun cukup menganggu akibat
pengobatan antidepresan trisiklik dalam dosis efektif dan hal ini harus diingatkan kepada pasien sebelum
pengobatan dimulai. Beberapa pasien berhenti menggunakan obat karena efek samping ini, khususnya bila
dokter lupa mengingatkan kepada pasien sebelum pengobatan dimulai.
Efek samping yang jarang terjadi tapi penting:
1. Trisiklik dapat menyebabkan hipotensi postural. Jika hipotensi cukup berat maka sebaiknya
digunakan antidepresan yang bukan dari golongan triptilin atau trisiklik.
2. Retensi urine akut yang disertai pembesaran prostat dapat terjadi dan pasien tersebut tidak boleh
menggunakan antidepresan trisiklik kecuali despiramine yang memiliki efek antikolinergik yang

72
paling kecil. Pada pasien lain, kekuatan tonus otot vesica urinaria dapat sedemikian berkurang
sehingga mengalami kesulitan dalam membuang air kecil.
3. Trisiklik, khususnya clomipramine, dapat menyebabkan impotensi atau retrograde ejaculation
pada pria, dan dapat menyebabkan gangguan orgasme pada wanita.
4. Pasien dengan glaukoma sudut tertutup tidak boleh menggunakan antidepresan trisiklik karena
risiko terjadinya peningkatan tekanan introkuler sangat besar.
5. Efek pada kardiovaskular. Efek ini tidak bermakna secara klinis bagi pasien yang memiliki fungsi
kardiovaskular yang normal. Pasien yang menderita miokard infark, gagal jantung kongestif, dan
abnormalitas dalam konduksi jantung tidak boleh menggunakan antidepresan trisiklik.
6. Pasien yang menderita kelainan fungsi kognitif, seperti pasien dengan demensia atau stroke, akan
semakin mengalami perburukan fungsi kognitif dengan trisiklik.
7. Antidepresan trisiklik dapat mempresipitasi gejala manik pada mereka yang menderita gangguan
bipolar.
Peringatan khusus:
1. Trisiklik dapat mengurangi waktu reaksi, khususnya pada saat awal pengobatan. Pasien disarankan
untuk menghindari mengedarai kendaraan bermotor dan mengopersikan mesin jika terdapat
gangguan dalam kecakapan psikomotor dan kewaspadaan.
2. Alkohol menyebabkan peningkatan efek sedatif trisiklik.
3. Overdosis trisiklik yang disengaja sebagai upaya bunuh diri dapat berakibat serius dan dapat
berakibat fatal akibat komplikasi kardiovaskular. Jika pasien tersebut mempunyai risiko untuk
bunuh diri maka obat sebaiknya diberikan tidak melebih dosis satu minggu; atau dapat diberikan
antidepresan dari golongan lain, seperti SSRIs. Gejala-gejala overdosis trisiklik dapat berupa:
agitasi, kebingungan atau delirium, kesulitan bernapas, kejang, kelumpuhan otot usus dan
kandung kemih, gangguan tekanan darah dan suhu badan, dan dilatasi pupil. Kondisi ini
memerlukan perawatan di rumah sakit.

B.2. Antidepresan Tetrasiklik


Mianserin adalah antidepresan tetrasiklik yang telah dikenal di Indonesia. Obat ini merupakan
antidepresan dengan efek sedatif dan hanya sedikit efek samping antikolinergik atau pada sistem
kardiovaskular dibanding antidepresan trisiklik
Penggunaan dalam psikiatri: Depresi
Dosis dan cara pemberian: Dosis harian yang dianjurkan adalah berkisar antara 30 – 120 mg. Dosis awal
pengobatan dapat berbeda-beda untuk setiap orang. Obat biasanya diminum di antara waktu makan, dibagi
3 dosis per hari. Lama kelamaan obat dapat diminum dalam dosis tunggal. Obat diminum secara utuh
dengan sedikit air tanpa dikunyah. Dosis perlu disesuaikan sesuai dengan respon pasien. Obat harus
dilanjutkan sampai waktu yang cukup lama walaupun telah terjadi perbaikan dari gejala. Lamanya
pengobatan tergantung dari pada riwayat psikiatri pasien.
Efek samping:
Efek samping yang biasa ditemukan:
1. Sedasi
2. Pusing
3. Sakit kepala,
4. Kekakuan otot
5. Halusinasi
Efek samping yang jarang terjadi:
1. Mulut kering
2. Penambahan berat badan
3. Kekaburan penglihatan
4. Konstipasi
5. Berkeringat
6. Tremor
7. Ikterus

73
8. Netropenia, Agranulositosis
Peringatan khusus:
1. Jika terjadi sakit tenggorokan, demam, dan gejala flu selama awal pengobatan, perlu segera
dilakukan pemeriksaan darah. Gejala ini dapat merupakan tanda pertama dari agranulositosis atau
kelainan darah lainnya.
2. Mianserin dapat mempengaruhi daya konsentrasi dan kecakapan mengemudikan kendaraan
khususnya pada awal pengobatan. Penggunaan alkohol akan semakin menurunkan daya
konsentrasi. Pasien disarankan untuk menghindari mengendarai kendaraan bermotor dan
mengoperasikan mesin. Mianserin dapat mempengaruhi tingkat toleransi glukosa dan insulin.
Disarankam untuk terus mengontrol kadar gula darah.
3. Obat ini dapat menimbulkan kematian dalam penggunaan overdosis.

B. 3. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)


SSRIs sudah diperkenalkan untuk pengobatan depresi sejak tahun 1990. SSRIs memiliki efek
samping yang lebih dapat ditoleransi dan lebih aman dalam hal overdosis dibanding antidepresan
lainnya. Efek antidepresannya adalah sama dengan antidepresan yang lain, sekalipun terdapat
perdebatan tentang kemanfaatannya terhadap pasien dengan depresi melankolia yang banyak gejala
somatik dibanding antidepresan klasik.
Penggunaan dalam psikiatri:
1. Depresi
2. Bulimia nervosa
3. Gangguan obsesi kompulsi
Dosis dan cara pemberian: Obat SSRIs digunakan 1 kali sehari pada waktu pagi saat makan. Pemberian
pada waktu malam dapat memperburuk keadaan tidur. Obat harus ditelan dan bukan dikunyah. Seperti
halnya dengan antidepresan lain, pengobatan biasanya dilanjutkan sampai beberapa waktu lamanya
walaupun telah terjadi perbaikan gejala. Lamanya pengobatan bervariasi pada setiap pasien tergantung
riwayat psikiatri. Pada akhir pengobatan, obat ini harus diturunkan secara bertahap. SSRIs mempunyai
waktu paruh yang panjang, waktu paruh dari fluoxetine kira-kira 5-7 hari; paroxetine dan sertraline kira-
kira 24 jam. Dengan demikian pengobatan hanya dapat diberikan sekali dalam sehari.
Efek samping:
Efek samping yang biasanya terjadi:
1. Kegelisahan dan kecemasan
2. Insomnia, drowsiness atau kelelahan
3. Keluhan gastrointestinal termasuk muntah dan diare
4. Hilangnya nafsu makan dan kehilangan berat badan
Efek samping yang jarang ditemukan:
1. Pusing dan light-headedness
2. Tremor
3. Berkeringat
4. Sakit kepala
Peringatan khusus:
1. Penggunaan SSRIs dan irreversible MOAIs atau RIMA dapat menyebabkan interaksi yang fatal.
Bila terdapat indikasi untuk mengubah pengobatan dari SSRIs ke irreversible MAOI atau RIMA
maka sebelumnya harus ada periode bebas obat. SSRIs, MAOIs atau RIMA tidak boleh diberikan
secara bersamaan, jadi harus ada interval waktu untuk mengganti SSRIs ke irreversible MAOIs.
2. Kombinasi SSRIs dan MAOIs dapat menyebabkan sindrom serotonergik yang memerlukan
perawatan segera di rumah sakit. Gejala-gejala sindrom serotonergik dapat berupa: perut
kembung, diare, kejang otot abdominal, sulit bicara, berkurangnya daya koordinasi, peningkatan
detak jantung dan tekanan darah, gejala-gejala mirip maniakal, kejang, dan tremor.

B.4. Irreversible Monoamin Oksidase Inhibitors (MAOIs)

74
MAO adalah enzim di dalam tubuh yang menghasilkan monoamin. MAO dibagi atas dua bentuk: MAO-
A dan MAO-B. MAO-A sangat penting di otak untuk metabolisme neurotransmiter monoamin seperti
dopamin dan noradrenalin. Kedua MAOIs, baik yang reversible maupun irreversible, bekerja dengan cara
menghambat MAO-A di otak.
MAO-A dan MAO-B normalnya menginaktivasi amine pada dinding usus, hati, atau paru-paru. Ketika
amine ini dihambat maka tiramin akan masuk dalam sistem sirkulasi darah dan menyebabkan peningkatan
tekanan darah yang hebat sehingga terjadi hipertensi.
Pasien yang menggunakan MAOIs harus menghindari makanan dan obat-obatan yang mengandung amine.
Karena bahaya dari perubahan tekanan darah dapat terjadi. Pasien juga perlu diperingatkan bahwa
penggunaan jamu-jamuan atau bahan-bahan naturopati juga mungkin dapat menyebabkan bahaya.
MAOIs disebut irreversible karena mereka menghambat aksi MAO-A dan MAO-B secara irreversible.
Ketika MAOIs berkurang maka tubuh membutuhkan waktu lebih kurang 2 minggu untuk menormalkan
kembali kadar MAO-A dan MAO-B. Itulah sebabnya pembatasan diet harus berlangsung sekurang-
kurangnya 2 minggu setelah pasien menghentikan penggunaan MAOIs.
Penggunaan dalam psikiatri:
1. Depresi, khususnya ketika antidepresan lain tidak berefek.
2. Depresi atipik (ditandai dengan meningkatnya selera makan dan waktu tidur, serta kepekaan yang
berlebihan terhadap kritikan orang lain).
3. Gangguan panik, dengan atau tanpa agorafobia.
4. Gangguan stress pasca trauma.
5. Bulimia nervosa.
6. Fobia sosial.
7. Sindrom nyeri kronis.
Dosis dan cara pemberian: Phenelzine dan tranylcypromine merupakan obat irreversible MAOIs. Dosis
obat dipertahankan bila respon yang sesuai dicapai.
Efek samping:
Efek samping yang sering terjadi
1. Gangguan tidur
2. Agitasi
3. Pusing, mengantuk
4. Gangguan gastrointestinal dan diare
5. Penambahan berat badan
6. Edema
7. Hipotensi postural
8. Efek antikolinergik Efek ini biasanya lebih ringan pada penggunaan MAOIs dibanding dengan
kebanyakan antidepresan trisiklik.
Jika efek samping menjadi berat, pasien disarankan untuk menghubungi dokternya. Insomnia dapat diobati
dengan cara tidak memakan obat di atas jam 3 sore. Dosis setengah dapat diminum pada pagi hari dan
sisanya pada sore hari. Sebagai pilihan terakhir bila insomnia tetap tidak teratasi dan mengakibatkan efek
yang sangat merugikan pasien maka obat hipnotik non-benzodiazepine, bila tersedia, dapat diberikan; atau
obat hipnotik benzodiazepine dapat digunakan untuk waktu yang singkat.
Efek samping yang jarang ditemukan:
1. Berkeringat atau menggigil
2. Palpitasi atau meningkatnya detak jantung
3. Glaukoma
4. Sakit kepala
5. Muntah
6. Kehilangan nafsu makan
7. Gangguan fungsi seksual
8. Hipomania (pada gangguan bipolar)

75
Efek samping yang jarang ditemukan tapi dapat berdampak serius: Krisis hipertensi dapat
menjadi fatal, tapi dapat diatasi dan dicegah
Peringatan khusus:
1. Perlu diet rendah tiramin untuk mencegah krisis hipertensi.
2. MOAIs tidak direkomendasikan untuk digunakan secara kombinasi dengan antidepresan lain
3. Medikasi MOAIs tidak boleh dikombinasikan dengan obat-obat lain kecuali bila dengan petunjuk
dokter. Obat-obat yang dilarang tersebut meliputi obat flu dan batuk baik yang sediaan tetes
maupun semprotan, dan obat untuk diet. Pasien juga harus memberitahu dokter gigi atau dokter
ahli anestesi sebelum mereka melakukan tindakan.
4. Overdosis dari MAOI dapat menyebabkan keadaan yang serius dan fatal. Jika terjadi hal
demikian dapat diberikan obat fentolamine 5 –10 mg IV atau nifedipine 10 mg sublingual
5. Obat MAOIs seperti tranylcypromine jika diberikan bersama amphetamine dapat menyebabkan
keadaan yang fatal.

B.5. Reversible Inhibitors of Monoamine Oxidase type A (RIMAs)


RIMAs hanya memiliki sedikit pengaruh pada MAO-B sehingga pembatasan diet tidak diperlukan,
walaupun beberapa obat lain harus dihindari. Obat ini disebut reversible karena efeknya habis dalam waktu
12 jam. Moclobemide merupakan suatu obat RIMAs yang banyak dikenal saat ini.
Penggunaan dalam psikiatri:
1. Depresi
2. Fobia sosial
Dosis dan cara pemberian: Dianjurkan untuk memulai pengobatan dengan dosis sedang yang terbagi
dalam 2-3 pemberian. Sama dengan antidepresan lainnya, pengobatan biasanya berlanjut sampai terjadinya
perbaikan gejala, dengan interval yang berbeda-beda untuk setiap orang tergantung dari riwayat psikiatri.
Efek samping:
Efek samping yang biasanya terjadi:
1. Nausea
2. Sakit kepala
3. Pusing
4. Insomnia
Efek samping yang jarang terjadi:
1. Mulut kering
2. Konstipasi atau diare
3. Kecemasan dan gelisah
4. Kekaburan penglihatan
5. Kemerahan di kulit
6. Mania atau hypomania
Peringatan khusus: Tidak seperti obat-obat dari golongan irreversible MAOIs yang memerlukan
pembatasan dan larangan tehadap makanan yang mengandung tiramin, obat dari golongan reversible
MAOIs atau RIMAs bebas dari larangan seperti itu. Walaupun demikian, untuk menghindari risiko bahaya
reaksi lanjut yang tidak diinginkan yang mungkin saja terjadi akibat mengkonsumsi makanan yang kaya
akan tiramin, seperti keju, maka dianjurkan agar pengobatan dengan Meclobemide diberikan sesudah
makan.

B.6. Serotonin Noradrenaline Reuptake Inhibitors (SNRIs)


Obat antidepresan dari golongan SNRIs seperti venlafaxine bekerja dengan cara mempengaruhi sistem
serotonergik dan noradrenergik, akan tetapi hanya sedikit sekali atau sama sekali tidak memiliki efek
samping sistem kolinergik, histaminergik, atau alfa adrenergik
Penggunaan dalam psikiatri: Depresi

76
Dosis dan cara pemberian: Dosis awal biasanya 37,5 mg, diberikan dalam 2 kali pemberian per hari,
yang selanjutnya dinaikkan sampai terdapat respon klinis dan/atau bila timbul efek samping obat.
Venlafaxine harus diberikan 2 kali sehari karena memiliki waktu paruh yang pendek.
Efek samping:
Efek samping yang biasanya terjadi :
1. Nausea
2. Mengantuk
3. Pusing
4. Mulut kering
5. Berkeringat
6. Sakit kepala
Efek samping yang jarang terjadi :
1. Hipertensi
2. Tremor
3. Disfungsi seksual
Peringatan khusus:
1. Venlafaxine dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah bila dikonsumsi dalam dosis yang
lebih dari 200 mg per hari. Itu sebabnya tekanan darah semua pasien harus diperiksa sebelum
pengobatan dimulai dan setiap minggu berjalan.
2. Venlafaxine dapat mempengaruhi derajat konsentrasi obat lain yang dikonsumsi bersamanya, dan
seperti halnya SSRIs, venlafaxine dapat juga dipengaruhi oleh obat lain yang dimetabolisme oleh
mekanisme sitokrom P450 di hati.

C. Medikasi Mood Stabilizer / Penstabil Mood


Obat-obat yang termasuk dalam kelompok penstabil mood adalah lithium carbonate, carbamazepine,
valproic acid, dan divalproex natrium.

C.1. Lithium carbonate


Lithium adalah logam yang merupakan sediaan antimaniakal yang ditemukan oleh psikiater asal Australia,
John Cade pada tahun 1949. Di samping itu, lithium ternyata mempunyai efek profilaksis pada gangguan
bipolar dan telah mebuat lonjakan besar dalam pengobatan gangguan ini. Lithium juga memiliki efek
profilaksis pada gangguan depresi dan skizoafektif yang rekuren. Preparat lithium dikemas di pasaran
dalam bentuk garam karbonat.
Lithium merupakan obat pilihan utama untuk gangguan bipolar. Efek lithium biasanya mulai tampak
setelah 7-14 hari pengobatan, sehingga pemberian antipsikotik, seperti haloperidol, dibutuhkan selama fase
akut mania atau hipomania. Seiring dengan membaiknya gejala-gejala pada fase akut maka lithium
diberikan untuk tujuan terapi rumatan.
Kira-kira 90 persen pasien yang mengalami episode manik untuk pertama kali akan mengalami
kekambuhan dari gejala manik dan/atau depresi. Akibatnya, kebanyakan pasien membutuhkan profilaksis
dengan penstabil mood. Pada kebanyakan kasus, lithium sangat ampuh dalam menurunkan frekuensi dan
derajat kekambuhan, di mana satu dari lima pasien yang mengkonsumsi lithium akan tetap bebas dari
kekambuhan selama mereka mengkonsumsinya secara teratur.
Bagi kebanyakan pasien, lithium tampaknya tidak merupakan anti-depresan yang efektif, sehingga
pemberian antidepresan yang dikombinasikan dengan lithium sangat dibutuhkan pada pasien gangguan
bipolar dalam fase depresi.
Pada depresi uni-polar seperti gangguan depresi berat, lithium digunakan dengan 2 cara. Pertama, untuk
meningkatkan efek antidepresan (terutama trisiklik) bilamana pemberian antidepresan secara tunggal tidak
efektif – cara ini biasanya memberikan hasil yang baik. Kedua, lithium dapat digunakan sebagai profilaksis
pada gangguan depresi berulang (rekuren) – efek mana sebanding dengan trisiklik.

77
Untuk tujuan profilaksis bagi depresi rekuren bisa digunakan lithium atau antidepresan; penggunaan
kombinasi ternyata masih banyak kontroversi, akan tetapi pada umumnya hasil terapi kombinasi ini
ternyata tidak lebih baik dibanding pengunaan secara tunggal.
Penggunaan dalam psikiatri:
1. Pengobatan fase akut mania atau hipomania.
2. Profilaksis pada gangguan bipolar dan gangguan skizoaktif.
3. Profilaksis pada gangguan depresi rekuren.
4. Meningkatkan efek antidepresan pada gangguan depresi akut.
5. Pengobatan depresi pada gangguan bipolar.
Dosis dan cara pemberian:
1. Dosis tepat untuk lithium yang ditentukan untuk tiap pasien didasarkan pada hasil tes kadar
lithium serum. Dosis yang dianjurkan untuk lithium serum adalah diantara 0,6 – 1,2 mmol/L.
Pemberian lithium untuk tujuan profilasis pada gangguan bipolar, sebagaimana yang dianjurkan
oleh kebanyakan dokter, berkisar antara 0,6 – 0,8 mmol/L. Pada pasien-pasien lain dibutuhkan
dosis yang lebih tinggi namun dengan risiko efek samping yang lebih tinggi.
2. Gejala-gejala dari toksisitas dari lithium jarang terjadi pada kadar lithium 1,2 mmol/L, tetapi akan
menjadi lebih sering bila kadarnya mencapai 2 mmol/L. Kadar lithium bervariasi, yaitu akan
meningkat segera setelah dikonsumsi dan akan menurun sampai waktu minum obat berikutnya.
Dosis lithium yang terstandarisasi adalah 12 jam sesudah dosis terakhir dan didasarkan pada
kadarnya dalam darah dalam waktu 12 jam.
3. Untuk pengobatan mania akut maka dosis yang biasanya diberikan untuk mencapai respon yang
sesuai adalah berkisar antara 500 – 2000 mg yang diberikan 2–3 kali per hari. Dosis yang lebih
rendah diberikan pada pasien usia lanjut dan pada pasien yang menderita gangguan ginjal. Apabila
kadar lithium serum rendah sementara dosis yang telah diberikan telah mencapai lebih dari 1500
mg/hr. maka hal-hal berikut perlu diperhatikan: adanya ketidakpatuhan pasien, gangguan absorpsi
(misalnya penggunan obat antasida), atau yang lebih sering akibat pasien menderita diabetes
insipidus nefrogenik. Namun demikian, beberapa pasien memerlukan dosis yang lebih tinggi
karena mereka memiliki metabolisme yang cepat terhadap lithium.
Mengukur kadar serum lithium. Pada awal pengobatan, kadar lithium serum perlu diperiksa setiap 5–7
hari dan dosis obat disesuaikan dengan hasil laboratorium sampai kadar stabil yang diinginkan tercapai
(biasanya dalam waktu 2–3 minggu). Setelah itu, kadar lithium diperiksa setiap 2–3 bulan, sedangkan
untuk tujuan terapi rumatan kadar lithium diperiksa setiap 3–4 bulan. Beberapa syarat sebelum pengukuran
kadar lithium:
1. Pengukuran dilakukan setelah 12 jam pemberian terakhir.
2. Lithium diminum harus dalam dosis terbagi (pagi dan malam).
3. Lithium sudah diminum 5 – 7 hari sebelumnya untuk menjamin suatu dosis dalam darah yang
tetap.
4. Pasien tersebut harus mematuhi dosis yang diberikan dan cara pemberiannya.
Pasien harus diinstruksikan bahwa pada pagi hari dimana tes darah akan diambil pasien tidak boleh
mengkonsumsi lithium sampai sampel darah diambil; bila tidak maka hasil laboratorium akan tidak tepat.
Apabila orang tersebut lupa minum obat mereka tidak boleh minum ekstra tablet untuk menutupi dosis
yang kurang, tetapi dapat dilanjutkan seperti biasanya.
Efek samping:
Efek samping umum:
1. Nausea dan Diare, gejala ini umum pada minggu-minggu pertama. Bila gejala terus berlanjut
maka dengan dosis yang lebih kecil akan sangat membantu (misalnya 250 mg 4 x sehari sampai
500 mg 2 x sehari). Apabila gejala ini muncul setelah pengobatan diberikan maka gejala ini
mungkin merupakan indikasi terjadinya keracunan.
2. Rasa logam di dalam mulut.
3. Berat badan bertambah
4. Sukar berkonsentrasi (biasanya ringan)
5. Rasa haus bertambah dan banyak meminum cairan dibanding biasanya.
Efek samping khusus:

78
1. Jerawat (lithium cenderung mengakibatkan perburukan kondisi kulit, terutama jerawat dan
psoriasis).
2. Tremor (tremor dapat diobati dengan propanolol).
3. Hipotiroidisme (lithium mengganti yodium sehingga mengganggu kemampuan kelenjar tiroid
dalam memproduksi hormon tiroid. Gangguan ini dapat dikoreksi dengan pemberian tiroksin dan
akan kembali setelah pengobatan dihentikan).
4. Lithium dapat mengganggu kontrol insulin pada pasien DM dan dosis insulin perlu untuk diatur
kembali.
5. Meningkatkan ekskresi urine dan rasa haus. Sebagian besar orang yang mengkonsumsi lithium
mengatakan bahwa mereka memerlukan cairan yang lebih banyak dan frekuensi kencingnya lebih
sering, sekalipun peningkatannya lebih sedikit. Bilamana hal ini meningkat dengan cepat, hal ini
menyatakan bahwa ginjal tidak mampu untuk mengkonsentrasi urine. Efek ini reversibel dan tak
berarti terjadi kerusakan ginjal. Indikator sederhana adalah beberapa kali kencing pada malam
hari. Bilamana pasien kencing 2 kali atau lebih pada malam hari, kemungkinan pasien tersebut
menderita diabetes insipidus. Efek samping ini dapat diatasi dengan pengobatan adekuat dan harus
dilaporkan pada dokter yang menangani.
Keracunan lithium: Bila konsentrasi lithium dalam darah menjadi tinggi, maka keracunan dapat terjadi.
Pada konsentrasi yang sangat tinggi, keracunan dapat menyebabkan kejang, gagal ginjal akut, koma dan
kematian. Hal ini jarang terjadi dan dapat dicegah dengan beberapa hal sederhana. Keracunan lithium yan
berbahaya hanya terjadi jika gejala keracunan awal diabaikan. Penyuluhan pada pasien sangatlah penting.
Penyebab terbanyak dari keracunan adalah dehidrasi, seperti yang terjadi pada udara panas ataupun
aktifitas fisik yang menyebabkan kehilangan cairan melalui keringat. Penyebab lain adalah overdosis yang
tak disengaja, infeksi saluran kemih, gastroenteritis dengan muntah dan diare, gagal ginjal dan beberapa
obat-obat yang menurunkan klirens lithium dalam darah (diuretik tiazid, NSAIDs).
Gejala awal dari keracunan lithium:
1. Nausea
2. Muntah
3. Diare
4. Gangguan keseimbangan
5. Pelupa/kebingungan yang ringan
Apabila gejala-gejala bertahan lebih dari 24 jam maka harus diobati sebagai kemungkinan keracunan
lithium.
Keracunan yang lebih parah dapat menyebabkan:
1. Tremor hebat
2. Disartria
3. Ataxia
4. Kebingungan / koma
5. Kram abdomen
6. Gagal ginjal
Bila gejala di atas diabaikan maka kondisi pasien dapat memburuk menjadi kejang-kejang dan koma.
[Lihat pembahasan mengenai penanganan keracunan lithium].
Peringatan khusus:
1. Sebelum pengobatan lithium dimulai sejumlah tes laboratorium perlu dilakukan. Hal ini termasuk
tes fungsi tiroid, fungsi ginjal dan EKG. Hal ini penting untuk mengetahui kondisi awal yang
kemudian dapat dipakai sebagai pembanding. Apabila dosis rumatan maintenance telah ditentukan
maka tes fungsi tiroid dilakukan setiap 6-12 bulan sedangkan tes fungsi ginjal dan elektrolit
dilakukan setiap 3 bulan.
2. Bila dikombinasikan dengan obat-obat lain seperti NSAIDs, diuretik tiazid, dan lain-lain. maka
dapat terjadi efek samping bahkan sampai keracunan lithium. Pasien harus mengkonsultasikan
dengan dokter atau apoteker sebelum menggunakan obat yang lain.
3. Lithium dapat menembus sistem peredaran darah fetus (janin) bila dikonsumsi selama kehamilan.
Walaupun jarang, obat ini dapat menyebabkan deformitas katup trikuspidalis, juga
ketakseimbangan fungsi tiroid neonati. Lithium diekskresi melalui ASI sehingga pemberian susu
botol dianjurkan bagi ibu yang sedang menyusui bayinya. Meskipun demikian pada penyakit yang

79
parah, pasien tetap dapat memilih untuk meneruskan pengobatan lithium selama masa
kehamilannya.

C.2. Carbamazepine
Carbamazepine adalah obat yang digunakan secara luas dalam bidang psikiatri maupun non-
psikiatri. Awalnya obat ini digunakan untuk terapi kejang, tetapi kemudian ternyata obat ini efektif untuk
pengobatan gangguan bipolar. Carbamazepine mempunyai tingkat efektifitas yang hampir sama dengan
lithium, dimana 80 % pasien berespon secara penuh maupun sebagian (parsial) dengan obat tersebut. Efek
antimanik obat ini biasanya muncul setelah 7-14 hari pengobatan.
Pengunaan dalam psikiatri:
1. Mania akut dan pengobatan profilaksis untuk gangguan bipolar. Pengobatan ini secara khusus
untuk pasien yang:
2. mempunyai gangguan bipolar pada “rapid cycling”
3. tak berespon terhadap lithium
4. tidak memiliki toleransi terhadap efek samping dari mood stabilizer / penstabil mood lainnya
5. mempunyai karakteristik manik dari afek campuran (cemas/ depresi)
6. Gangguan skizoafektif
7. Epilepsi
8. Pengobatan depresi pada gangguan disorder
Dosis dan cara pemberian:
1. Carbamazepine biasanya diberikan dengan dosis awal 200 mg per hari dan secara perlahan
ditingkatkan selama 1 – 2 minggu untuk mengurangi timbulnya efek samping minor seperti
nausea, muntah, dan lain-lain. Pada bulan pertama dosis obat harus dikontrol karena metabolisme
obat berlangsung dengan cepat, agar dosis dapat ditingkatkan. Dosis yang tepat untuk masing-
masing pasien bervariasi. Waktu paruh carbamazepine bervariasi dari 16 –24 jam sehingga
pengobatan seharusnya dibagi dalam 2 dosis per harinya.
2. Dosis antikonvulsan 20 - 50mMol/L digunakan sebagai suatu acuan. Pemeriksaan darah dan
fungsi hati diperlukan dalam 3 - 6 minggu pengobatan. Setelah itu pemeriksaan darah dilakukan
hanya apabila terdapat gangguan pencernaan seperti ulkus atau infeksi. Bila digunakan sebagai
pengobatan profilaksis untuk gangguan bipolar, carbamazepine digunakan sampai dengan batas
waktu yang tak ditentukan.
Efek samping:
Efek samping umum:
Efek samping ini muncul pada awal pengobatan dan seringkali berkurang sampai menghilang setelah
beberapa hari pengobatan. Efek samping ini antara lain:
1. Nausea
2. Muntah
3. Konstipasi atau diare
4. Keracunan ssp (nausea, pusing, ataxia, ganguan penglihatan)
5. Sedasi (berkaitan dengan dosis)
6. Urtikaria atau kemerahan di kulit
Efek samping yang lebih jarang:
1. Anemia aplastik dan agranulositosis. Pasien diminta untuk melaporkan dengan segera gejala apa
saja yang merupakan petunjuk dari kedua kondisi ini, antara lain:
2. Demam dan infeksi
3. Ulserasi mulut dan nyeri menelan
4. Kepucatan di kulit
5. Kelemahan
6. Perdarahan, termasuk petikhie
7. Hepatitis
Peringatan khusus:

80
1. Sebelum pengobatan dengan carbamazepine dimulai dan sampai pengobatan teratur, perlu
dilakukan pemeriksaan darah tepi, elektrolit, fungsi hati dan ginjal serta EKG
2. Carbamazepine dapat menurunkan konsentrasi obat-obat lain dalam darah seperti obat kontrasepsi
oral. Perdarahan spontan dapat terjadi dan efektifitas kontrasepsi oral dapat berkurang, sehingga
pasien dianjurkan untuk menggunakan metode KB lainnya pada saat sedang menggunakan
carbamazepine.
3. Seperti banyak pengobatan pada umumnya, potensi carbamazepine dapat berkurang sepertiga bila
disimpan dalam tempat lembab seperti kamar mandi. Ini penting untuk diingatkan pada pasien
supaya tidak menyimpan obat ini di tempat tersebut.
4. Carbamazepine mempengaruhi metabolisme obat-obat lain, pasien dianjurkan untuk
mengkonsultasikan keadaan pasien ke dokter bila mengkonsumsi obat lain.
5. Terdapat risiko malformasi janin, terutama spina bifida. Jadi jangan diminum saat kehamilan.

C.3. Valproic Acid / Asam Valproat


Valproic acid, juga dikenal sebagai sodium valproat, merupakan obat antikonvulsi yang bermanfaat untuk
gangguan psikiatrik dan non-psikiatri. Manfaatnya mirip lithium untuk pengobatan pada mania fase akut.
Obat ini merupakan pilihan pengobatan untuk mania dengan disforik mood atau ‘rapid cycling mania’.
Pengobatan dalam psikiatri:
1. Gangguan bipolar (pengobatan akut untuk mania dan pencegahan depresi dan mania)
2. Epilepsy
Dosis dan cara pemberian:
1. Dosis harian antara 500-2000 mg, dan dosis lebih rendah untuk orang tua. Pengobatan dimulai
dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan-lahan setiap interval 3 hari sampai level obat
tercapai. Dengan cara ini maka efek samping obat seperti muntah, nausea dan mengantuk dapat
dikurangi. Waktu paruh sodium valproat bervariasi tapi relatif singkat yaitu 8-12 jam, sehingga
obat perlu diminum 2-3 kali per hari untuk mempertahankan kadarnya dalam darah. Dosis
antikonvulsi berkisar 300-700 mMol/L. digunakan sebagai acuan.
2. Untuk mengurangi risiko toksisitas obat maka pemeriksaan darah dan fungsi hati secara periodik
perlu dilakukan. Tes darah dilakukan pagi hari sesaat sebelum minum obat. Sodium valproat dapat
digunakan untuk terapi jangka panjang dengan efek samping yang sangat sedikit.
Efek samping:
Efek samping yang umum:
1. Nausea dan muntah
2. Mengantuk
3. Diare
Toleransi terhadap efek samping dapat terjadi dalam 1-2 minggu setelah level dosis yang diharapkan dapat
tercapai. Pada stadium awal, efek samping ini dapat dikurangi dengan cara minum obat bersama dengan
makan.
Efek samping yang jarang:
1. Tremor
2. Ataxia
3. Sakit kepala
4. Kegagalam fungsi hati
5. Alopecia
6. Trombositopenia
7. Berat badan bertambah
8. Udema kaki
9. Gangguan fungsi kognitif dan psikomotor
10. Pankreatitis
Peringatan khusus:

81
1. Valproat tak dapat digunakan bersama-sama dengan aspirin atau carbamazepine. Terdapat juga
interaksi dengan obat-obat psikotropik lain seperti klonazepam dan fenotiazin. Pasien dianjurkan
untuk konsultasi ke dokter/apoteker sebelum menggunakan bersama-sama dengan obat lain.
2. Obat ini dapat meningkatkan efek dari obat atau zat depresan SSP seperti alkohol
3. Sodium valproat sebaiknya tak digunakan pada gangguan fungsi hati.
4. Terdapat risiko malformasi janin jika diminum saat hamil.

D. Medikasi Benzodiazepine
Benzodiazepine dapat digunakan sebagai obat sedatif, anti cemas, atau hipnotik, tergantung pada profil
metabolisme dari suatu obat tertentu dan dosis yang digunakan. Obat-obat sedatif memiliki efek untuk
menenangkan; obat anti cemas mengurangi derajat kecemasan yang berlebihan; dan hipnotik menyebabkan
kebingungan serta mengantuk.
Tersedia berbagai jenis obat benzodiazepine, perbedaan utama dari semua obat tersebut adalah pada waktu
paruhnya dan potensinya. Obat-obat dengan waktu paruh yang panjang memiliki gejala-gejala putus zat
yang lebih ringan, dan konsentrasinya dalam plasma yang lebih stabil dibanding obat-obat dengan waktu
paruh pendek. Meskipun demikian, obat tersebut juga meningkatkan rasa kantuk pada siang hari,
akumulasi obat yang lebih banyak dalam tubuh, dan meningkatkan risiko risiko gangguan psikomotor.
Obat dengan waktu paruh pendek dapat menyebabkan insomnia saat dosisnya dikurangi atau dihentikan,
dan gangguan daya ingat sementara.
Penggunaan dalam psikiatri:
1. Cemas derajat ringan sampai sedang
2. Gejala putus zat alkohol akut
3. Agitasi psikomotor akut
4. Akatisia
5. Psikosis akut, sebagai obat tambahan untuk antipsikotik
Dosis dan cara pemberian: Dosis anjuran diberikan sesuai dengan tabel di bagian lampiran. Jumlah dosis
harian bervariasi dari satu jenis benzodiazepine ke jenis yang berikutnya, dari 2 jam sampai lebih dari 100
jam. Karena adanya risiko tinggi terhadap ketergantungan, maka benzodiazepine hanya dianjurkan untuk
penggunaan dalam waktu yang singkat, pada umumnya berkisar antara 2 minggu dan 3 bulan.
Efek samping:
Efek samping umum: Rasa mengantuk (ditemukan pada banyak kasus)
Efek samping khusus:
1. Pusing.
2. Ataxia.
3. Depresi pernapasan (berhubungan dengan dosis dan mungkin menjadi efek samping yang penting
pada dosis anjuran bagi pasien emfisema berat).
4. Disinhibisi, khususnya pada anak-anak, orang tua dan pasien dengan kerusakan otak atau akibat
obat lain.
Peringatan khusus: Efek ansiolitik akan berkurang dengan penggunaan lanjut (efek toleransi). Sindrom
putus obat mungkin terjadi ketika obat dihentikan. Terjadinya sindrom ini tergantung dari lamanya
penggunaan benzodiazepine, dosis dan kecepatan titrasi obat, dan waktu paruh obat. Pada umumnya
sindrom putus obat akan semakin hebat pada penggunaan obat dengan dosis yang lebih tinggi, waktu paruh
yang lebih pendek dan penghentian yang tiba-tiba.
Gejala-gejala sindrom putus obat benzodiazepine dapat berupa:
1. Anxietas dan gemetaran
2. Kegelisahan dan iritabilitas
3. Kelelahan dan kelemahan
4. Delirium
5. Insomnia
6. Depresi
7. Tremor dan kejang

82
Jika benzodiazepine telah digunakan dalam waktu yang lama, maka penggunaannya tidak boleh dihentikan
tiba-tiba, karena akan menimbulkan serangan kejang.
Pasien disarankan untuk tidak mengendarai kendaraaan atau menjalankan mesin sampai diketahui apakah
obat tersebut membuat mereka mengantuk dan pusing.
Overdosis terhadap penggunaan benzodiazepine jarang fatal tetapi dapat mengakibatkan hal yang serius
jika dikonsumsi bersama dengan alkohol, antipsikotik atau antidepresan. [Catatan: kombinasi
benzodiazepine dengan antipsikotik dan/atau antidepresan dapat dilakukan dengan pengaturan dosis yang
tepat].

E. Medikasi non-benzodiazepine:
Buspirone (BusparR) digunakan untuk pengobatan jangka pendek pada anxietas. Penggunaan buspirone
tidak menyebabkan ketergantungan dan sindrom putus obat. Dosis anjuran harian adalah 10-60 mg, dibagi
dalam 2-3 kali pemberian. Efek samping umum biasanya berlangsung 1-2 minggu pertama dapat berupa
rasa mengantuk, sakit kepala, pusing dan nausea.
Zolpidem (StillnoctR), digunakan untuk pengobatan jangka pendek pada insomnia. Dosis anjuran harian
adalah 5-10 mg sebelum tidur (5 mg untuk orang tua). Efek samping umum berupa gangguan saluran
pencernaan, pusing, sakit kepala dan rasa mengantuk.

Medikasi Antikolinergik (Antiparkinson)


Obat ini digunakan untuk mengurangi efek samping ekstrapiramidal yang diakibatkan oleh pengobatan
dengan antipsikotik.
Obat ini bekerja memberikan:
1. Efek / respon yang baik untuk distonia akut dan gejala Parkinsonisme
2. Efek / respon kurang baik untuk tremor
3. Efek / respon buruk untuk akatisia; dan
4. Efek yang merugikan (memperburuk) kondisi diskinesia tardiv.
Sampai saat ini masih saja terjadi perdebatan tentang apakah obat antikolinergik harus diberikan secara
rutin kepada pasien yang mendapat obat antipsikotik. Namun, berdasarkan pendekatan yang rasional maka
obat ini sebaiknya hanya diberikan bilamana gejala-gejala ekstrapiramidal telah timbul oleh karena alasan-
alasan berikut ini:
1. Tidak semua pasien menunjukkan efek ekstrapiramidal.
2. Adanya risiko memburuknya diskinesia tardiv.
3. Adanya efek samping dari obat antikolinergik itu sendiri.
4. Adanya bahaya penyalahgunaan obat antikolinergik.
5. Sifat fluktuatif dari gejala ekstrapiramidal.
Bagaimanapun, pada beberapa kasus pengobatan anti-kolinergik dapat diberikan sebagai profilaksis untuk
laki-laki muda dengan antipsikotik potensi tinggi dan memiliki risiko tinggi untuk mengalami gejala
ekstrapiramidal.
Penggunaan dalam psikiatri: Untuk mengurangi efek samping ekstrapiramidal akibat pengobatan
antipsikotik.
Dosis dan cara pemberian: Walaupun dosis obat antikolinergik bervariasi dari satu pasien ke pasien
berikutnya, pemberian obat harus dalam dosis minimum yang efektif. Dosis dapat diberikan sekali sehari
atau dapat dibagi dan dapat diberikan dalam beberapa kali pemberian, tergantung metode mana yang
memberikan respon yang paling baik dalam menghilangkan gejala ekstrapiramidal tersebut. Obat ini dapat
diberikan secara oral dan untuk benztropine dapat secara injeksi bila dibutuhkan respon yang lebih cepat
(contohnya jika timbul reaksi distonia akut). Pengobatan dapat dihentikan setelah suatu satu periode
pengobatan untuk menentukan apakah pengobatan lanjut masih diperlukan atau tidak. Jika gejala masih
tetap ada ataupun kambuh, maka pengobatan dapat diberikan lagi.
Efek samping:
Efek samping umum:
1. Mulut kering

83
2. Dilatasi pupil
3. Kesulitan miksi
4. Konstipasi
5. Gangguan lambung
6. Nausea
7. Pandangan kabur
Efek samping jarang:
1. Takikardi
2. Vertigo
3. Halusinasi
4. Euforia dan eksitasi
5. Delirium
6. Hiperpireksia
Peringatan khusus:
1. Obat antikolinergik dapat menyebabkan glaukoma
2. Bila sedang mengkonsumsi obat antikolinergik pasien dilarang mengendarai kendaraan atau
menjalankan mesin
3. Obat antikolinergik dapat mempresipitasi retensi urin akut pada pasien hipertrofi prostat
4. Obat antikolinergik dapat memperburuk fungsi kognitif, terutama bagi pasien yang sedang berada
dalam keadaan delirium.

PEMANTAUAN DAN TERAPI EFEK SAMPING OBAT

A. Pemantauan Efek Samping


Semua obat mempunyai efek yang tak diinginkan. Efek ini bervariasi dari satu individu ke individu yang
lain, tergantung jenis obat dan dosis obat yang diberikan dan sering menjadi lebih buruk bila
dikombinasikan dengan beberapa obat lain. Beberapa efek yang tak diinginkan dapat berguna (misalnya
efek sedatif dari amitriptyline), beberapa efek yang lain dapat menyebabkan masalah (misalnya kesulitan
membaca cetakan yang halus akibat penggunaan chlorpromazine), akan tetapi semua efek samping akan
berkurang atau mungkin menghilang bila dosis obat diturunkan atau bila penggunaan obat dihentikan sama
sekali. Hal yang terburuk ialah timbulnya keengganan pasien untuk mengkonsumsi obat sehingga
menghambat tujuan utama dari obat itu sendiri.
Beberapa efek samping yang tak diinginkan sesungguhnya menunjukkan terjadi toksisitas dan merupakan
petanda bahwa dosis obat terlalu tinggi (misalnya tremor akibat dosis lithium yang tinggi) sehingga harus
dikurangi atau dihentikan sama sekali. Kadangkali, sebagaimana halnya pada diskinesia tardiv, efek toksis
tersebut akan tetap bertahan sampai obat yang menyebabkannya dihentikan.
Salah satu tugas dokter adalah memantau secara aktif mengenal dan menentukan derajat efek samping
tersebut. Adanya efek samping obat merupakan hal yang sangat mengganggu pasien. Tidak dapat disangkal
bahwa salah satu penyebab ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan adalah akibat pengalaman buruk yang
dideritanya akibat efek samping obat yang hebat dan sangat tidak menyenankan tersebut. Bila efek
samping obat dapat dikenal lebih awal maka langkah-langkah untuk meningkatkan kepatuhannya dapat
diambil oleh karena pasien telah lebih dahulu dipersiapkan untuk menerima gejala-gejala yang timbul
akibat efek samping obat tersebut dan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi atau menghentikan
gejala efek samping obat tersebut. Pemantauan efek samping obat seharusnya dilakukan secara periodik.

B. Penatalaksanaan Efek Samping Obat


Beberapa efek samping obat psikotropika dapat dieliminasi, dikurangi derajatnya, atau dibuat lebih dapat
diterima oleh pasien dengan menggunakan cara-cara yang relatif sederhana. Sebagai contoh, dokter dapat
mengusulkan kepada pasien yang sedang dirawatnya salah satu dari langkah-langkah berikut:
1. Mengganti dengan obat lain yang tidak ada efek samping.
2. Menurunkan dosis
3. Mengkonsumsi obat dalam dosis yang terbagi
4. Mengkonsumsi obat dengan makanan yang sesuai

84
5. Memberikan obat tambahan untuk menghilangkan gejala efek samping

C. Efek Samping Obat Neuroleptik


Efek samping ini terutama disebabkan oleh pengobatan antipsikotik dan terjadi paling sering dengan
antipsikotik potensi tinggi (contoh: haloperidol, fluphenazine).

Distonia Akut dan Distonia Tradiv


Reaksi distonia akut biasanya terjadi dalam 24 jam pertama setelah pengobatan dimulai. Bentuk umum
distonia akut adalah:
1. Krisis okulogirik (pasien tak dapat melihat ke bawah)
2. Tortikolis atau retrokolis
3. Trismus (lock-jaw)
4. Opistotonus
5. Spasme larings, jarang tapi dapat sebagai reaksi fatal yang menyebabkan kesulitan bernafas.
Banyak kasus terjadi dengan sedasi parenteral akut, contohnya pemberian haloperidol tanpa
dikombinasikan dengan diazepam.
Distonia tardiv adalah bentuk jarang dari distonia, terjadi pada pasien dengan pengobatan jangka panjang
antipsikotik. Seseorang yang menderita distonia tardiv biasanya tampak sebagai badan yang miring dan
memilin pada satu sisi (Sindrom Pisa). Distonia akut (dan distonia tardiv) dapat diobati dengan benztropine
parenteral lalu diikuti dengan benztropine oral.

EFEK SAMPING OBAT DAN STRATEGI PENATALAKSANAANNYA


Efek Samping Strategi Pengaturan Pengobatan
Peningkatan nafsu Diet rendah lemak dan tinggi serat
makan Hindari makanan manisan dan berlemak
Minum minuman rendah kalori
Konstipasi Meningkatkan latihan fisik
Meningkatkan serat dalam makanan
Meningkatkan masukan cairan
Rasa pusing Berdiri perlahan-lahan dari tidur/ duduk
Hindari mandi dengan air panas yang berlebihan
Hindari alkohol, sedatif (termasuk mariyuana)
Rasa kantuk Gunakan obat dengan dosis tunggal sebelum tidur (harus dikonsultasikan
dengan dokter dahulu)
Rasa kering di Konsumsi cairan teratur
mulut Batasi penggunaan alkohol dan kafein (keduanya memacu kehilangan
cairan)
Konsumsi permen rendah gula
Menggunakan “artificial saliva” (Salube atau Glandosane) atau “pilocarpine
drops”
Hisap balok es yang kecil
Sensitif terhadap Hindari sinar matahari
sinar matahari Gunakan tabir surya, topi, kacamata dan kaos

Akatisia
Akatisia merupakan suatu ‘kegelisahan’ yang hebat pada tungkai bawah (tungkai bawah tidak bisa diam).
Pasien dengan akatisia cenderung tidak bisa duduk diam, dan seringkali disalahartikan oleh dokter sebagai
kegelisahan akibat agitasi psikologis, psikosis, atau tak kooperatifnya pasien. Gejala ini merupakan suatu
kondisi yang sangat tidak menyenangkan dan merupakan suatu penyebab ketidakpatuhan yang paling
sering. Akatisia biasanya terjadi pada minggu-minggu pertama pengobatan tapi dapat juga terjadi setelah 3
bulan pengobatan.
Strategi yang dapat membantu pengobatan akatisia:

85
1. Menurunkan dosis antipsikotik
2. Mengubah ke antipsikotik dari kelas yang berbeda
3. Menggunakan pengobatan tambahan seperti propanolol, diazepam, atau antikolinergik lain.

Parkinsonisme
Parkinsonisme biasanya terjadi di minggu pertama atau kedua pengobatan. Tapi dapat juga pada bulan
ketiga. Wanita cenderung lebih sering mengalami efek samping ini dibanding pria, dan efek samping ini
bertambah sering terjadi seiring dengan meningkatnya usia. Tanda-tanda utama, termasuk:
1. Kekakuan otot
2. Rigiditas roda bergerigi (cogwheel rigidity) dari lengan dan kaki
3. Langkah menyeret (shuffling gait)
4. Tremor, khususnya di tangan
5. Kehilangan ekspresi wajah
6. Pergerakan lambat atau akinesia
7. pengeluaran air liur (drooling)
8. Postur membungkuk (stooped posture)
Sindrom kelinci (rabbit syndrome), suatu tremor di bagian bibir yang jangan disalahduga sebagai
diskinesia tardiv. Pengobatannya yaitu dengan menurunkan dosis antipsikotik, mengubah dengan
antipsikotik dari kelas yang lain, atau dengan menambahkan obat antikolinergik (trihexyphenidyl HCl
tablet 3 – 4 kali 2 mg per hari atau sulfas atropin 0,50 – 0,75 mg intramuskular)
Akinesia: Efek samping (sebagai bagian dari Parkinsonisme) biasanya terjadi beberapa minggu setelah
pengobatan antipsikotik dimulai. Akatisia ditandai oleh: apatis dan penurunan pergerakan spontan. Gejala
ini mirip dengan apati dan pelambatan pergerakan yang terdapat pada gangguan depresi atau gejala negatif
skizofrenia, sehingga seringkali tidak diterapi. Obat untuk mengobati distonia akut dapat juga digunakan
untuk pengobatan akatisia.

Dikinesia Tardiv (DT)


Diskinesia tardiv merupakan efek samping yang serius dan berpotensi ireversibel, biasanya terjadi setelah
6 bulan sampai 2 tahun atau lebih pengobatan dengan antipsikotik. Diskinesia tradiv merujuk kepada suatu
gerakan involunter abnormal dari wajah, mata, mulut, lidah, tulang belakang dan/atau tungkai. Pergerakan
abnormal, (paling sering di perioral), meliputi: perputaran, penonjolan dan pergerakan lidah, mengunyah
dan pergerkan rahang ke samping, dan grimacing wajah.
Pergerakan abnormal ini dapat menyebabkan kesulitan pada gigi-geligi. Pada beberapa kasus yang berat,
pergerakan tangan, kepala, badan dan lengan dapat menjadi lebih nyata. Pergerakan ini dapat menjadi lebih
buruk selama stres dan menghilang saat tidur.
Semua antipsikotik dapat saja menyebabkan DT dan semakin lama suatu obat antipsikotik ini digunakan,
semakin besar kemungkinan terjadinya efek samping ini. Insidens DT dilaporkan berkisar lebih dari 56%
di antara pasien-pasien yang mendapat pengobatan antipsikotik jangka panjang. Pasien wanita lebih sering
mendapat efek samping dibanding pria, dan orang tua lebih sering terkena dibanding orang muda.
Bilamana DT timbul dan dapat dideteksi lebih awal maka sebagian besar kasus ringan DT (50 – 90%) akan
dapat disembuhkan. Meskipun demikian, hanya sekitar 5 – 40% kasus berat DT yang akan mencapai
kesembuhan.
Penatalaksanaan DT meliputi: identifikasi orang-orang yang memiliki risiko untuk mendapat DT (prevensi
primer); deteksi dini terhadap setiap perubahan dalam pergerakan tubuh, yang diikuti dengan tindakan
segera dan tepat (prevensi sekunder); dan pengobatan DT yang telah terjadi (prevensi tertier).
Penatalaksanaan diskinesia tardiv: Tak ada satu pengobatan pun yang dapat diklaim sebagai suatu cara
yang efektif terhadap diskinesia tardiv. Penghentian atau penurunan dosis obat antipsikotik dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif strategi menghadapi DT namun demikian perlu diingat bahwa DT
seringkali secara temporer memburuk saat dosis obat antipsikotik diturunkan. Lebih jauh, diperlukan
beberapa bulan untuk memastikan apakah gejala-gejala DT mengurang atau pun menghilang. Secara
umum, antipsikotik hanya dapat digunakan ketika ada indikasi dan dengan dosis yang paling rendah
namun efektif, serta perlu mempertimbangkan penggunaan antipsikotik atipik seperti clozapin, risperidone,
olanzapine, dll.

86
Sindrom Malignan Neuroleptik (SMN)
Efek samping ini jarang terjadi tapi berpotensi fatal dan dapat terjadi setiap saat selama pengobatan
antipsikotik. SMN paling sering terjadi pada yang pasien mendapat antipsikotik dosis yang lebih besar atau
pada saat dosis antipsikotik sedang ditingkatkan.
Tanda-tanda SMN adalah:
1. Demam (biasanya > 38,50 C)
2. Rigiditas otot (gejala sindrom ekstrapiramidalis)
3. Labilitas simpatis (denyut nadi, tekanan darah dan frekuensi pernafasan yang secara terus-menerus
berubah-ubah antara meningkat dan normal setiap beberapa jam).
4. Gejala-gejala lain yang juga dapat ditemukan, termasuk:
5. Perubahan kesadaran: delirium
6. Berkeringat banyak
7. Kesulitan bernafas
8. Peningkatan kadar kreatinin fosfokinase dalam darah.
Penatalaksanaan SMN: Hentikan segera obat antipsikotik dan berikan perawatan suportif, serta pemberian
dopamin agonis (bromkriptin 7,5 – 60 mg per hari dalam 3 kali pemberian; l – dopa 100 mg 2 kali sehari,
atau amantadine 200 mg per hari).

Hipotensi Ortostatik
Hipotensi ortostatistik sering diakibatkan oleh penggunaan chlorpromazine injeksi. Gejala ini, sesuai
dengan namanya, berkaitan dengan perubahan posisi tubuh (efek blokade alfa adrenergik).
Untuk menanggulanginya diberikan injeksi nor-adrenalin (effortil intramuskular). Nor-adrenalin adalah
stimulator alfa adrenergik. Perlu diingat bahwa dalam keadaan ini tidak diberikan adrenalin karena
adrenalin bersifat stimulator alfa dan beta adrenergik sehingga efek beta adrenergik tetap ada dan justru
pemberiannya dapat mengakibatkan terjadinya syok.
Untuk mencegah gejala ini dapat dilakukan dengan mengatur perubahan posisi tubuh agar tidak langsung
bangun dari tidur setelah mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran selama sekitar 5 – 10 menit.

PENGGUNAN OBAT UNTUK KELOMPOK KHUSUS

A. Wanita Hamil dan Menyusui


Kelainan kongenital dapat terjadi di antara 1 dari 25 bayi yang lahir di Australia. Sebagian kecil dari bayi-
bayi dengan berat badan lahir rendah dapat disebabkan oleh pengobatan yang diberikan kepada sang ibu
selama kehamilannya. Pengobatan dapat berbahaya pada fetus dalam berbagai masa kehamilan. Pada
umumnya penggunaan obat yang tak terlalu perlu selama kehamilan harus dihindari, dan sedapat mungkin,
semua obat-obat perlu dihindari selama 12 minggu pertama kehamilan. Namun demikian, pengobatan
dapat dianjurkan setelah melewati pertimbangan “indikasi-risiko” (untung-rugi) pada ibu dan janin/bayi
yang dikandungnya. Contohnya, risiko yang berkenaan dengan kondisi psikotik atau gangguan mood pada
umumnya lebih besar dibanding risiko penggunaan obat.
Semua antipsikotik melewati plasenta dan juga diekskresikan lewat air susu ibu. Dalam banyak kasus,
konsentrasi obat dalam ASI kecil, kecuali lithium, benzodiazepine dan antikonvulsan. Obat antidepresan
dan antipsikotik aksi panjang (long-acting) seperti fenotiazine dan trisiklik, tidak diketahui menyebabkan
bahaya pada bayi yang menyusui sekalipun pabrik obat-obat psikotropik telah merekomendasi bahwa
menyusui bayi (pemberian ASI) selama pengobatan harus dihindari.
Berikut ini pedoman tentang risiko relatif dari bermacam-macam obat selama kehamilan, dari tingkatan
yang paling merugikan sampai dengan yang paling kurang merugikan:
Obat-obat yang telah disimpulkan meningkatkan angka malformasi fetus atau kerugian/kelainan yang
ireversibel pada fetus, yaitu:
1. Lithium carbonate
2. Carbamazepine
3. Sodium valproat
4. Clonazepam

87
5. Obat-obat yang telah disimpulkan merusak/melukai fetus tanpa menyebabkan malformasi
(mungkin reversibel):
6. Benzodiazepine (kecuali clonazepam)
7. Obat antipsikotik (kecuali pimozide dan thiothixene)
8. Antidepresan tricyclik
9. Obat-obat yang telah dipakai oleh sebagian kecil wanita hamil, wanita menyusui dan yang tidak
dikaitkan dengan yang penyebab kerusakan pada fetus. (Dibagi dalam kategori berdasarkan
penelitian terhadap binatang coba):
10. Obat-obat yang menyebabkan kerusakan fetus pada binatang coba dengan suatu hasil yang tidak
pasti pada manusia, yaitu: Paroxetine, Moclobemide, Phenelzine, Sertaline, Risperidone.
11. Obat-obat yang tidak menunjukkan/menyebabkan kerusakan fetus pada hewan tapi ditemukan
pada beberapa penelitian binatang coba, yaitu: Tranylcypromine, Mianserin, Fluoxetine,
Biperiden, Benztropine.
12. Obat-obat yang tak menunjukkan adanya bukti peningkatan angka kerusakan fetus pada binatang
coba, yaitu: Benzhexol, Pimozide, Thiothixene
13. Obat-obat yang telah dipakai oleh sejumlah wanita hamil atau menyusui dan tidak adanya bukti
peningkatan angka kerusakan fetus, yaitu: Procyclidine

B. Kelompok Lanjut Usia (Lansia)


Umur dapat mempengaruhi manusia dalam bereaksi terhadap obat-obat yang bekerja sentral dan
bagaimana obat diabsorpsi, metabolisme, dan diekskresikan, termasuk psikotropik. Perubahan ini semakin
nyata pada individu berusia lebih dari 65 tahun.
Kelompok lansia pada umumnya lebih sensitif terhadap sebagian besar obat psikotropik. Karena itu, orang
tua pada umumnya membutuhkan dosis yang lebih kecil dan lebih sering mengalami efek samping. Ada
banyak alasan yang menyebabkan kenaikan sensitifitas ini tapi penyebab yang paling penting adalah
perubahan sawar darah otak yang sesuai dengan umur sehingga obat lebih mudah memasuki sistem saraf
pusat. Peningkatan sensitifitas ini terutama berpengaruh pada obat-obat yang memiliki efek sedatif dan
antikolinergik serta obat-obat yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah. Pemilihan jenis dan
dosis obat sangat berpengaruh untuk meminimalkan hal ini.
Kelompok lansia cenderung lebih lamban dalam proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dari
obat-obat. Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam mulainya efek obat pada dosis tunggal dan
peningkatan akumulasi obat dalam tubuh pada pemberian dosis ulangan. Sebagai contoh, obat tidur yang
diminum pada jam 10 malam oleh orang muda akan mempunyai efek sebelum jam 11 malam, tapi pada
orangtua obat tersebut mungkin belum memberikan efek hingga jam 3 pagi atau lebih. Bila obat diminum
secara berulang, orang tersebut dapat mengalami gangguan siklus tidur dimana pasien akan terbangun pada
waktu malam dan tidur sepanjang siang hari. Sebagai tambahan, efek dari peningkatan sensitifitas dan
akumulasi obat dapat menimbulkan sedasi yang berlebihan, penurunan kemampuan kinerja, kebingungan
dan gangguan tingkah laku. Efek-efek samping ini dapat disalahartikan sebagai adanya gangguan
psikiatrik, terutama pada kelompok lansia yang menderita demensia, sehingga dapat menyebabkan dokter
memberikan resep obat yang lebih banyak lagi yang pada gilirannya semakin memperburuk masalah yang
telah ada.

Obat-obat Sedatif:
Obat-obat sedatif seperti benzodiazepine, antipsikotik, dan beberapa antidepresan menyebabkan rasa
kantuk, menurunkan kinerja, dan meningkatkan risiko untuk jatuh. Sedasi yang lebih dalam lagi dapat
mengakibatkan gangguan tingkah laku, gangguan tidur, kebingungan, kelainan persepsi.

Obat-obat Antikoliergik:
Obat-obat antikolinergik, khususnya antidepresan trisiklik, antipsikotik potensi rendah, dan
antiparkinsonime akan mengakibatkan kelainan fungsi kognitif serta halusinasi dan delirium. Mereka yang
telah mengalami demensia adalah lebih peka terhadap reaksi bentuk ini.
Perlu diingat bahwa angka penyakit jantung pada kelompok lansia cukup tinggi, sehingga dokter perlu
berhati-hati dalam memberi resep obat yang mempengaruhi fungsi jantung (misalnya, antidepresan
trisiklik dan antipsikotik fenotiazin).

88
Prinsip-prinsip umum:
1. Orangtua membutuhkan dosis yang lebih rendah, terutama bila memulai pengobatan yang baru.
2. Bila memungkinkan, hindari pemberian obat yang mengandung efek sedatif atau antikolinergik
3. Bila memungkinkan, hindari pemberian obat kombinasi.
4. Efek samping obat sering menyerupai gejala gangguan psikiatrik dan sering memperburuk
gangguan psikiatrik yang sudah ada (misalnya demensia dan delirium).
5. Beberapa orangtua sering membutuhkan bantuan agar mereka tidak meminum obat secara tidak
beraturan (misalnya kotak obat dengan label dan dosis/cara pemberian yang jelas, kunjungan
rumah, supervisi).
6. Bantulah orang tua untuk tidak menyimpan obat-obat yang telah lama tidak digunakan di rumah.
7. Banyak pengobatan yang hanya diberikan dalam waktu terbatas, hindari untuk memberikan obat
secara terus menerus yang tidak perlu.

C. Kelompok Anak-anak dan Remaja


Peringatan khusus perlu diberikan jika bermaksud memberikan obat psikotropik pada kelompok anak-anak
dan remaja. Walaupun volume distribusi yang kecil menyatakan pemakaian dosis yang lebih kecil
dibandingkan pada kelompok usia dewasa namun kecepatan metabolisme anak-anak yang lebih tinggi
menyatakan bahwa rasio miligram obat terhadap miligram berat badan yang lebih tinggi harus digunakan.
Dalam prakteknya, paling baik memulai pengobatan dengan dosis kecil dan meningkatkannya sampai
terlihat efek klinis yang dikehendaki (lihat lampiran). Tetapi para dokter tidak boleh ragu-ragu menaikkan
dosis hingga mencapai dosis dewasa jika dosis tersebut adalah efektif dan efek sampingnya dapat diterima.

D. Pasien dengan Penyakit Medis


Risiko peningkatan sensitivitas efek samping obat karena penurunan atau pun peningkatan metabolisme
pada pasien dengan penyakit medis menyebabkan pengobatan harus dimulai dengan dosis kecil, kemudian
ditingkatkan perlahan-lahan sampai tercapai efek klinis yang diinginkan tanpa efek samping yang
memperburuk keadaan. Pengujian kadar obat dalam plasma akan sangat membantu menilai asas manfaat
dan risiko bagi pasien.

KEPUSTAKAAN
Frances, A., Docherty, J.P. & Kahn, D.A. The expert consensus guideline series: Treatment of
schizophrenia. The Jurnal of Clinical Psychiatry, 57 (Suppl. 12b).1996.
Frances, A., Docherty, J.P. & Kahn, D.A.The expert consensus guideline series: Treatment of bipolar
disorder. The Jurnal of Clinical Psychiatry, 57 (Suppl. 12a), 1996.
Gorman, J.M. The Essential Guide to Psychiatric Drugs. New York: W.H. Freeman & Co, 1990.
Kaplan, H.I., & Sadock, B.J. Pocket Handbook of Psychiatry Drug Treatment. Baltimore: Williams &
Wilkins, 1993.
Kaplan, H.I., & Sadock, B.J. Synopsis of Psychiatry – Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Eighth
Edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 1998.
Maslim, R. Panduan Praktis: Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi Ketiga. Jakarta, 2007.
World Health Organization. Essential Drug in Psychiatry. Geneva: WHO, 1993.
World Health Organization. Medication: Management of Mental Disorder. Second Edition. NSW: Wild
& Wooley, 1997.

89

Anda mungkin juga menyukai