Pengkajian Model Adaptasi Roy
Pengkajian Model Adaptasi Roy
Adaptasi Roy
Respon adaptasi manusia dapat berupa respon adaptif atau respon inefektif.
Respon adaptif meningkatkan integritas dan membatu seseorang untuk
mencapai tujuan adaptasi dengan tetap hidup, tumbuh, bereproduksi serta
terjadi transformasi antara seseorang dengan lingkungan. Respon inefektif
jika terdapat kegagalan dalam mencapai tujuan atau adanya ancaman terhadap
pencapaian tujuan. Keperawatan memiliki tujuan yang unik yaitu membantu
upaya individu beradaptasi dengan mengelola lingkungan dan hasilnya adalah
pencapaian kesehatan yang optimal oleh individu (Tomey & Alligood, 2006).
Sebagai suatu sistem yang terbuka, seseorang menerima input atau stimulus
dari lingkungan dan dari dirinya. Level adaptasi ditentukan oleh gabungan
stimulus fokal, kontekstual dan residual. Adaptasi terjadi ketika seseorang
berespon positif terhadap perubahan lingkungan. Respon adaptif ini akan
meningkatkan integritas seseorang dan menjadi sehat. Respon inefektif
terhadap stimulus menyebabkan seseorang mengalami gangguan integritas
(Tomey & Alligood, 2006). Respon individu terhadap perubahan lingkungan
tergantung pada proses koping.
Proses koping menurut Model Adaptasi Roy dibagi menjadi dua subsistem
yang saling berhubungan. Proses kontrol subsistem primer, fungsional terdiri
dari regulator dan kognator. Subsistem sekunder, efektor terdiri dari empat
mode adaptasi, yaitu kebutuhan fisiologi, konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi. Roy menggambarkan regulator dan kognator sebagai metoda
koping, koping subsistem regulator dengan cara adaptasi mode fisiologis
yaitu respon otomati melalui proses koping saraf (neural), kimia (chemical),
dan endokrin. Koping subsistem kognator dengan cara melalui respon mode
adaptasi konsep diri, interdependen, dan fungsi peran melalui empat chanel
kognitif-emosi yaitu proses informasi persepsi, proses belajar, penilaian dan
emosi (Tomey & Alligood, 2006). Kedua subsistem regulator dan kognator
berespon terhadap perubahan lingkungan untuk mempertahankan integritas
seseorang.
2) Nutrisi
Nutrisi merupakan intake cairan dan makanan yang berhubungan
dengan kebutuhan metabolisme (Myers, 2006). MAR
mendefinisikan nutrisi sebagai proses digesti dan metabolisme
untuk mempertahankan fungsi tubuh, pertumbuhan dan berfungsi
untuk mengganti jaringan tubuh yang mengalami cedera (Roy &
Andrews, 1999). Status nutrisi yang baik sangat penting untuk
mempertahankan kesehatan. Sedangkan status nutrisi yang jelek
dapat memperlambat proses pemulihan, meningkatkan mortalitas
dan biaya perawatan (Hilton, 2004).
3) Eliminasi
Eliminasi merupakan hal yang penting untuk mempertahankan
kesehatan. Sistem tubuh yang terlibat dalam proses eliminasi
adalah sistem perkemihan dan gastrointestinal (DeLaune & Ladner,
2002). Eliminasi merupakan proses yang penting untuk adaptasi
dan mempertahankan keseimbangan fisiologis. Sampah metabolik
sebagai hasil dari proses metabolisme dieliminasi melalui saluran
cerna, ginjal, kulit dan paru-paru (Roy & Andrews, 1999). Fokus
pengkajian eliminasi menurut Roy adalah eliminasi intestinal dan
eliminasi urinaria. Pengkajian perilaku eliminasi intestinal adalah
bagaimana karakteristik feses, bising usus, nyeri saat defekasi dan
temuan laboratorium. Sedang pengkajian perilaku eliminasi
urinaria adalah karakteristik urine, frekuensi, urgensi dan temuan
laboratorium. Pengkajian stimulus eliminasi adalah adanya proses
penyakit yang mempengaruhi proses normal sistem gastrointestinal
atau sistem urinaria, diet, intake cairan, kurangnya privasi,
temperatur dan ketidaknyamanan ruangan, ketersediaan bedpan
dan urinal, nyeri dan stress (Roy & Andrews, 1999).
6) Sensasi
Sensasi akan secara terus menerus memberikan informasi yang ada
dilingkungan sekitar baik yang dilihat, didengar maupun sentuhan
(Scanlon & Sanders, 2007). Kulit merupakan organ yang sangat
penting untuk merasakan sensasi baik sentuhan, tekanan, panas,
dingin dan nyeri (Hilton, 2004). Sensasi merupakan input yang
penting untuk berinteraksi dengan perubahan lingkungan meliputi
penglihatan, pendengaran, dan rasa. Sensasi dapat berupa cahaya,
suara, panas, tekanan dan vibrasi mekanik yang dihantarkan
melalui aktivitas neuron untuk menghasilkan persepsi (Roy &
Andrews, 1999).
8) Fungsi Neurologis
Fungsi neurologis memegang peranan penting terhadap adaptasi
seseorang. Subsistem regulator dan kognator didasarkan pada
fungsi neurologis. Fungsi neurologis meliputi fungsi kognitif dan
kesadaran (Roy & Andrews, 1999). Fungsi neurologis menurut
Roy, yaitu untuk mengkoordinasi dan mengontrol gerakan,
kesadaran, dan proses kognitif-emosi (Tomey & Alligood, 2006)
9) Fungsi Endokrin
Fungsi endokrin merupakan proses kompleks yang terakhir
diidentifikasi oleh MAR. Sistem endokrin dihubungkan dengan
sistem saraf otonom, integrasi dan mempertahankan seluruh proses
fisiologi tubuh untuk meningkatkan pertumbuhan, perkembangan,
mempertahankan struktur dan fungsi tubuh (Roy & Andrews,
1999). Pengkajian perilaku tergantung pada stimulus fokal.
Pengkajian stimulus meliputi status perkembangan yang
menunjukkan bahwa DM tipe 2 sering ditemukan pada usia >30
tahun, riwayat keluarga, etnis, kondisi lingkungan seperti
perubahan temperatur, tingkat pengetahuan dan konsep diri (Roy &
Andrews, 1999).
2.5 Evaluasi
Tahap akhir dari proses keperawatan Model Adaptasi Roy adalah evaluasi
yang dilakukan untuk menentukan apakah intervensi sudah efektif.
Intervensi efektif jika pasien menunjukkan perilaku sesuai dengan tujuan
yang diharapkan (Roy & Andrewss, 1999). Evaluasi dilakukan secara
terus menerus dan berkelanjutan untuk mengevaluasi kemajuan pasien
dalam mencapai kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi juga bertujuan
untuk menilai efektifitas komponen proses keperawatan dalam membantu
pasien mencapai kriteria hasil. Agar evaluasi lebih efektif, maka
dibutuhkan pengetahuan mengenai kesehatan, patofisiologi, strategi
intervensi keperawatan dan metode evaluasi (Christensen & Kenney,
2009).
Penerapan Model Adaptasi Roy
Asuhan Keperawatan pada Tn. A dengan Pneumothorax Spontan Paru Kiri
e.c TB Paru. Suspek MDR dengan Luluh Paru Kanan terinfeksi di Ruang
Soka Atas
RS Persahabatan
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Pasien Tn. A, umur 24 tahun, laki-laki, pendidikan terakhir SMK, pekerjaan
pramuniaga, belum menikah, beragama kristen protestan, tinggal di Jl. Duren
Terusan RT 015/008 Cilincing, Jakarta Utara. Pasien masuk RS. Persahabatan
tanggal 14 Oktober 2013 dengan No. RM: 206.89.17, pasien dirawat di ruang
Soka Atas dengan diagnosa medis Pneumothorax Spontan Paru Kiri e.c TB
Paru, suspek MDR dengan Luluh Paru Kanan terinfeksi. Kelompok melakukan
pengkajian tanggal 21 Oktober 2013 s.d 23 Oktober 2013 dengan Auto dan
Halo Anamnese serta Pemeriksaan Fisik.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan yang sangat dirasakan pada saat dikaji adalah sesak napas.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Batuk berdahak sejak 6 hari SMRS dan semakin memberat sertai disertai
sesak nafas sejak 3 hari sebelum masuk RS, rasa sakit yang dirasakan tidak
dipengaruhi aktifitas.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada tahun 2007 klien didiagnosa menderita Tuberkulosis Paru dan
mendapat terapi OAT kategori I, minum obat teratur dan dinyatakan
sembuh. Pada tahun 2011 klien kembali mengalami batuk berdahak yang
tidak sembuh-sembuh, kemudian dilakukan pemeriksaan di Klinik, setelah
diperiksa ternyata TB aktif, klien diberi OAT kategori II minum obat secara
teratur, klien dinyatakan sembuh. Bulan Agustus 2013 klien kembali
mengalami keluhan yang sama, batuk berdahak dan berdarah segar, klien
dirawat di RS Koja dan mendapatkan OAT kategori II selama 1 bulan,
namun saat minum ethambutol mengeluh gatal-gatal dan dokter
menyarankan untuk menghentikan pengobatan. Klien kemudian berobat ke
poli MDR RSUD diperiksa kultur dahak dan hasilnya akan diketahui bulan
November 2013. Sedangkan untuk riwayat merokok dan minum alkohol
dilakukan pasien sejak kelas 1 SMK.
Sianosis pada lidah, bibir dan kuku tidak ada, nadi teraba kuat 84
x/menit, tekanan darah 110/70 mmHg, CRT < 2 detik, Irama jantung
reguler, tidak terdengar murmur. Konjungtiva tidak anemis, tidak ada
distensi vena jugularis. analisa gas darah arteri (tanggal 18 Oktober
2013) PH: 7,33 PCO2 53,2 mmHg, PaO2 140 mmHg, HCO3 29
mmol/L, BE 2.0, saturasi O2 98.8%. Terapi: O2 nasal canul 2 lpm.
Pengkajian stimulus
- Stimulus fokal: kerusakan parenkim paru
- Stimulus kontekstual: asidosis respiratorik
- stimulus residual: Tb paru
2) Nutrisi
Pengkajian perilaku
Keluhan mual dan muntah tidak ada, anoreksia tidak ada, kesulitan
menelan tidak ada, mukosa mulut lembab, tidak ada lesi, karies gigi
tidak ada, tinggi badan 168 cm, berat badan 40 Kg, klien mengalami
penurunan berat badan ± 10 Kg sejak tahun 2011, IMT: 14, 28,
konjungtiva tidak anemis. Porsi makan yang disajikan habis satu porsi.
Laboratorium test (18 Oktober 2013): Hb 11,2 g/dl, Diet TKTP 1500
Kkal.
Pengkajian stimulus
- Stimulus fokal: infeksi kuman micobacterium tuberculosis
- Stimulus kontekstual: -
- Stimulus residual: -
3) Eliminasi
Pengkajian perilaku
Buang air besar tidak ada masalah, 1 – 2 x /hari, konsistensi lunak,
warna kuning tidak ada perdarahan. Tidak ada riwayat konstipasi
maupun diare, buang air kecil biasanya 4 – 6 x / hari, bising usus normal
(5x/menit). Pasien sudah terpasang douwer catheter sejak masuk, urin
keluar lancar, produksi 2300 cc/24 jam (21/10/13), keluhan nyeri pada
kandung kemih tidak ada, urin jernih, hematuria tidak ada.
Pengkajian stimulus
Stimulus fokal; tidak ada, stimulus kontekstual; tidak ada, stimulus
residual; tidak ada. Semua perilaku adaptif.
5555 5555
Kebutuhan istirahat tidur klien selama di rawat ± 6 jam sehari, tidak ada
kesulitan tidur. Pasien bedrest, aktivitas sehari-hari (kebersihan diri,
eliminasi) dibantu. Makan minum mandiri.
Pengkajian stimulus
- Stimulus fokal: dispneu, kelemahan
- Stimulus kontekstual: terpasang WSD
- Stimulus residual: nyeri dan sesak napas
6) Sensasi
Pengkajian perilaku
Klien mengatakan fungsi penginderaan: pendegaran, penglihatan dan
penghiduan, sentuhan tidak ada kelainan. Pasien mengeluh nyeri pada
area insersi pemasangan WSD, sensasi nyeri tajam dirasakan menyebar
di sampai ke area dada kanan, nyeri dirasakan hilang timbul dan
semakin memberat terutama saat klien mencoba posisi telentang, telah
dilakukan relaksasi napas dalam sesuai ajuran perawat dan mendapatkan
terapi analgetik Asam Mefenamat 500 mg (PO) namun nyeri hanya
berkurang sedikit dengan skala nyeri VAS 5 (rentang 1-10) intensitas
sedang. Ekspresi menahan nyeri tampak pada raut wajah pasien
Pengkajian stimulus
Stimulus fokal: agen injury fisik
Stimulus kontekstual: nyeri akut
Stimulus residual;-
8) Fungsi neurologi
Pengkajian perilaku
Kesadaran composmentis, status kognitif dan emosi stabil, koordinasi
dan kontrol gerakan tubuh baik, fungsi sensorik dan motorik baik,
kelumpuhan atau parasilisis tidak ada.
Pengkajian stimulus
Stimulus fokal; tidak ada, stimulus kontekstual; tidak ada, stimulus
residual; tidak ada. Semua perilaku adaptif.
9) Fungsi endokrin
Pengkajian perilaku
Tidak terdapat pembengkakan pada kelenjar tiroid dan tidak ada riwayat
DM, GDS (tanggal 18 Oktober 2013) 90 mg/dl (N : 70 – 140)
Pengkajian stimulus : Stimulus fokal; tidak ada, stimulus kontekstual;
tidak ada, stimulus residual; tidak ada. Semua perilaku adaptif.
b. Konsep diri
Pengkajian perilaku
Sensasi tubuh: mengatakan menerima kondisi kesehatannya saat ini. Citra
tubuh: menyadari dirinya menderita tuberkulosis paru dan sekarang
mengalami Pneumotorak. Konsistensi diri: Pasien mengatakan akan tetap
berusaha tetap berobat dan akan menjaga kesehatannya. Ideal diri: ingin
cepat sembuh, berhenti minum alcohol dan bekerja di klub malam dan tidak
mau dirawat lagi. Moral-spiritual-etika diri: beragama Kristen, patuh
melaksanakan ibadah. Sering berdoa untuk kesembuhannya.
Pengkajian stimulus
Stimulus fokal; tidak ada, stimulus kontekstual; tidak ada, stimulus residual;
tidak ada. Semua perilaku adaptif
c. Fungsi peran.
Pengkajian perilaku
Kegiatan sehari-hari sebelum sakit bekerja di club malam. Klien sering
kumpul dengan teman-temannya. Hubungan dengan teman dan orang tua
baik. Klien merasa tidak ada masalah dengan perannya selama sakit.
Pengkajian stimulus
Stimulus fokal tidak ada, stimulus kontekstual tidak ada, stimulus residual;
tidak ada. Semua perilaku adaptif.
d. Interdependensi.
Pengkajian perilaku
Klien merasa dekat dengan adiknya, hubungan dengan keluarga baik.
Selama dirawat klien ditunggu oleh adik dan bibinyaa secara bergantian.
Biaya berobat ditanggung oleh KJS dan keluarganya.
Pengkajian stimulus
Stimulus fokal; tidak ada, stimulus kontekstual; tidak ada, stimulus residual;
tidak ada. Semua perilaku adaptif.
Analisis Penerapan Teori Keperawatan Calista Roy dalam tahap
pengkajian pada kasus Pneumotoraks pada Tn. A:
Kelebihan:
1. Konsep teori Callista Roy yang dipaparkan cukup jelas dan dapat
didefenisikan secara operasional
2. Teori adaptasi Callista Roy konsisten dalam membahas tentang adaptasi,
mulai dari sistem, keyakinan atau nilai, dan kebutuhan asuhan
keperawatan yang dijelaskan secara konsisten memang berfokus pada
adaptasi.
3. Dalam aplikasi teori dalam praktik khususnya tahapan pengkajian mudah
untuk menilai dan memperhatikan ungkapan subjektif dari pasien berupa
keluhan gejala yang tidak menyenangkan
4. Dapat secara spesifik menentukan penyebab dari perubahan perilaku
pada pasien sehingga dapat meentukan tindakan keperawatan yang
dibutuhkan oleh klien
5. Penerapan model callista Roy dalam tahapan pengkajian melibatkan
klien sebagai fokus utama
6. Teori keperawatan Callista Roy mengutamakan optimalisasi koping
individu dalam beradaptasi terhadap stimulus (perubahan perilaku yang
inefektif)
Kekurangan:
1. Sulit untuk diaplikasikan karena memerlukan tingkat analisa dan critical
thinking yang tinggi
2. Memerlukan waktu yang cukup panjang dalam menggali permasalahan
pada klien
3. Sulit menggali masalah keperawatan yang bersifat resiko pada pasien
Daftar Pustaka
Christensen, P. J., & Kenney, J. W. (2009). Proses keperawatan: aplikasi model
konseptual. (Yuyun Yuningsih & Yasmin Asih, Penerjemah). Jakarta: EGC
DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2002). Fundamentals of nursing: Standards &
practice. 2th edition. USA: Delmar/Thomson Learning, Inc
Tomey, A. M., & Alligood, M. R. (2006). Nursing theory utilization &
application. 3th edition. St. Louis, Missouri: Mosby, Inc.
Roy, S. C., & Andrews, H. A. (1999). The roy adaptation model. 2nd
edition. United States of America: Appleton & Lange.
Scanlon, V. C., & Sanders, T. (2007). Essentials of anatomy and physiology. 5th
edition. Philadelphia: F. A. Davis Company