ين َآمنُوا َّات ُقوا اللَّهَ َح َّق ُت َقاتِِه َواَل مَتُوتُ َّن إِاَّل َوأَْنتُ ْم ُم ْسلِ ُمو َن ِ َّ
َ يَا أَيُّ َها الذ
َّ َاح َد ٍة َو َخلَ َق ِمْن َها َز ْو َج َها َوب
ث ِمْن ُه َما ِر َجااًل َكثِ ًريا ِسو ِ ِ َّ
َ ٍ َّاس َّات ُقوا َربَّ ُك ُم الذي َخلَ َق ُك ْم م ْن َن ْف ُ يَا أَيُّ َها الن
َونِ َساءً َو َّات ُقوا اللَّهَ الَّ ِذي تَ َساءَلُو َن بِِه َواأْل َْر َح َام إِ َّن اللَّهَ َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقِيبًا
Marilah kita senantiasa meningkatkan rasa syukur kita dengan dibuktikan dengan ketakwaan pada Allah.
Karena Allah telah memberikan kita berbagai nikmat. Terutama tiga nikmat yang besar yang disebutkan
oleh Wahb bin Munabbih sebagai tiga nikmat utama yaitu Islam, sehat dan kecukupan.
Shalawat dan salam atas junjungan kita, suri tauladan kita, Nabi akhir zaman, Nabi besar kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula kepada para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Ada tiga amalan yang bisa kita fokus untuk melakukannya di akhir-akhir Ramadhan nanti.
ِ
ْ َوأ، َُكا َن النَّىِب ُّ – صلى اهلل عليه وسلم – إِ َذا َد َخ َل الْ َع ْش ُر َش َّد مْئَز َره
ُ َوأ َْي َق َظ أ َْهلَه، َُحيَا لَْيلَه
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau
mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam
tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari, no. 2024; Muslim, no. 1174).
I’tikaf maksudnya adalah berdiam di masjid beberapa waktu untuk lebih konsen melakukan ibadah.
ِ َن اَلنَّيِب – صلى اهلل عليه وسلم – َكا َن يعتَ ِكف اَلْع ْشر اَأْل َو ِ
اخَر َ َ َ ُ َْ َّ َّ أ-:ت ْ ََع ْن َعائ َشةَ َر ِض َي اَللَّهُ َعْن َها قَال
اجهُ ِم ْن َب ْع ِد ِه – ُمَّت َف ٌق َعلَْي ِه َ مُثَّ ْاعتَ َك,ُ َحىَّت َت َوفَّاهُ اَللَّه,ضا َن
ُ ف أ َْز َو
ِ
َ م ْن َر َم
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-
istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari, no. 2026; Muslim, no. 1172).
Hikmah beliau seperti itu disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri berikut di mana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan,
Jadi, beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– melakukan i’tikaf supaya mudah mendapatkan malam lailatul
qadar.
Al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau
i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al-Inshaf, 6: 17)
اج ِد
ِ وأَْنتم عاكِ ُفو َن يِف الْمس
ََ َ ُْ َ
“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”(QS. Al Baqarah: 187).
Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam
ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” (Lihat Al-Muhalla, 5: 180).
Berarti beri’tikaf di siang atau malam hari dibolehkan walau hanya sesaat.
Menghidupkan malam lailatul qadar bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al
Qur’an. Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
Bisa juga kita mengamalkan do’a yang pernah diajarkan oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam
jikalau kita bertemu dengan malam Lailatul Qadar yaitu do’a: “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul
‘afwa fa’fu’anni” (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf,
karenanya maafkanlah aku). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan do’a ini
pada ‘Aisyah, istri tercinta beliau.
Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam
dengan ibadah dan tidak mesti seluruh malam.
Sebagaimana dinukil oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dari sekelompok ulama Madinah dan
dinukil pula sampai pada Ibnu ‘Abbas disebutkan,
اع ٍة
َ َالصْب َح يِف مَج
ُّ صلِّ َي ٍ َن إِحياءها حَي صل بِأَ ْن يصلِّي العِ َشاء يِف مَج
َ ُاعة َو َي ْع ِز ُم َعلَى أَ ْن ي
ََ َ َ َ ُ ُ ُ ْ ََ َْ أ
َّ
“Menghidupkan lailatul qadar bisa dengan melaksanakan shalat Isya’ berjamaah dan bertekad untuk
melaksanakan shalat Shubuh secara berjama’ah.”
َخ َذ حِب َظِِّه ِمْن َها ٍ من َش ِه َد لَيلَةَ ال َق ْد ِر ـ يعيِن يِف مَج
َ اعة ـ َف َق ْد أ
ََ َْ ْ َْ
“Siapa yang menghadiri shalat berjama’ah pada malam Lailatul Qadar, maka ia telah mengambil bagian
dari menghidupkan malam Lailatul Qadar tersebut.” (Latha’if Al-Ma’arif, hlm. 329).
Khutbah kedua
َُن نَبَِينَا حُمَ َّم ٌد َعْب ُدهُ َو َر ُس ْولُه َ ْ َوأَ ْش َه ُد أَ ْن اَل إِلَهَ إِاَّل اهللُ َو ْح َدهُ اَل َش ِري، ُأَمْح َ ُد َريِّب َوأَ ْش ُك ُره
َّ َوأَ ْش َه ُد أ،ُك لَه
ان إِىَل َي ْوِم الدِّيْ ِن
اللَّه َّم ص ِّل علَى نَبِِّينَا حُمَ َّم ٍد وعلَى آلِِه ومن تَبِعهم بِِإحس ٍ
َ َ ْ َُ ْ ْ َ ََ ُ َ َ
—