Anda di halaman 1dari 13

BUDAYA TERTIB BERLALU-LINTAS

Kajian Fenomenologis atas Masyarakat Pengendara Sepeda Motor di Kota Bandung

SONI SADONO
Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis Universitas Telkom
Jl. Telekomunikasi No 01, Terusan Buah Batu Bandung, Jawa Barat.
Email:sonisadono66@gmail.com

ABSTRACT
The weak of public awareness of traffic regulation seen from low level of the discipline in
driving, that produce undisciplined culture to the society. Lacking awareness from people in
traffic rules can be seen in behavior like an increased by offense traffic motorists. This was
found in many offense of the traffic signs in Bandung in 2014 by the number of 39.205 offense
(Source : Polwiltabes Bandung, 2015). Undisciplined behaviour of people in traffic as driving
exceeds the speed limit determined, passing traffic lights, passing marka roadblock, no complete
safety equipment as well not use helmet, informer to, vehicles lights, incompleteness motor
vehicles letter, disobedient pay taxes, and could not be used vehicles. A traffic violation often
happens also involved in “a rider breaking the traffic congestion, driving zigzag at high speed,
and even had breaking the traffic lights, and breaking the banned curvy” (Hendratno, 2009 :
499). This journal trying to elaborate on literature and field research of the problems of culture
orderly traffic, with a qualitative approach.

Keywords : culture, traffics, discipline attitude, phenomenology

Ketika harga BBM tidak menentu,


A. PENDAHULUAN masyarakat cenderung akan memilih
Dewasa ini, kondisi sarana angkutan kendaraan yang hemat BBM. (2) Lamanya
umum yang belum memadai membuat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
masyarakat lebih memilih untuk membeli tujuan. (3) Mahalnya harga tarif angkutan
kendaraan pribadi sebagai sarana umum yang tidak sebanding dengan
transportasi, dari pada harus menggunakan keamanan dan kenyamanan bagi
sarana transportasi umum sebagai alat penggunanya (Yogatama, 2013: 2). Akan
mobilitas dalam menunjang kehidupan tetapi, kepemilikan kendaraan pribadi
masyarakat. Pernyataan tersebut apabila tersebut tidak disertai dengan tingkat
dilihat dari sisi sosial budaya, keinginan disiplin dalam berkendara pada masyarakat.
seseorang untuk memiliki kendaraan pribadi Lemahnya kesadaran masyarakat
sedikit banyak dipengaruhi adanya terhadap peraturan berlalu-lintas terlihat dari
pandangan bahwa memiliki kendaraan rendahnya tingkat kedisiplinan masyarakat
bermotor mencerminkan status sosial di dalam berkendara, sehingga melahirkan
masyarakat (Hendratno, 2009: 449). budaya tidak disiplin pada masyarakat.
Hal tersebut terlihat dari Kurang sadarnya masyarakat dalam hukum
perkembangan transportasi darat dari tahun berlalu-lintas dapat dilihat dalam perilaku
ke tahun selalu meningkat terutama seperti semakin meningkatnya pelanggaran
transportasi kendaraan roda dua (sepeda lalu lintas oleh pengendara motor. Hal
motor) (Maspupa, 2014: 3). Meningkatnya tersebut dapat diketahui dari banyaknya
penggunaan sepeda motor, juga dipengaruhi pelnggaran rambu lalu lintas di kota
oleh beberapa faktor, yaitu: (1) harga Bandung pada tahun 2014 dengan jumlah
minyak mentah yang mempengaruhi harga 39.205 pelanggaran (Sumber: Polwiltabes
bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia Kota Bandung, 2015).
sejak tahun 2005. Perilaku ketidakdisiplinan masyarakat

58
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 59

dalam berlalu-lintas seperti mengendarai menimbulkan keadaan yang tidak stabil, dan
kendaraan melebihi batas kecepatan yang keadaan tanpa kaidah. Perilaku menyimpang
ditentukan, menerobos lampu lalu lintas, (deviant behavior) terjadi apabila manusia
melewati marka pembatas jalan, tidak mempunyai kecenderungan untuk lebih
melengkapi alat keselamatan seperti halnya mementingkan suatu nilai sosial budaya,
tidak menggunakan helmet, spion, lampu- daripada kaidah-kaidah yang ada untuk
lampu kendaraan, ketidaklengkapan surat- mencapai cita-cita atau kepentingan.
surat kendaraan bermotor, tidak taat Banyak permasalahan yang timbul
membayar pajak, menggunakan kendaraan dengan lemahnya budaya disiplin pada
tidak layak pakai. masyarakat, yang pelanggarannya dalam
Pelanggaran lalu lintas yang sering berlalu-lintas kerap terjadi, pertikaian
terjadi juga melibatkan cara pengendara sesama pengguna jalan, saling adu mulut,
yang “menerabas antrian kendaraan, dan yang paling fatal munculnya korban
berkendara zigzag dengan kecepatan tinggi, jiwa akibat ketidaksiapan para pengguna
beberapa kali pernah menerabas lampu lalu jalan dalam memahami peraturan lalu lintas.
lintas, dan melanggar rambu yang dilarang Terjadinya pelanggaran lalu lintas
menikung” (Hendratno, 2009: 499). salah satunya didasari oleh keberanian untuk
Permasalahan tersebut sampai saat ini melanggar karena adanya mentalitas bahwa
selalu dihadapi oleh para penegak hukum. setiap masalah dapat diselesaikan secara
Hal itu sudah dianggap biasa dan menjadi “damai” dengan Polantas, adanya budaya
kebiasaan masyarakat. Tatkala para menerabas dan pudarnya budaya malu
pengguna kendaraan di Indonesia bahkan bagi sebagian orang menjadi
dibandingkan dengan negara-negara maju kebanggan tersendiri apabila dapat
yang secara keseluruhan sudah mampu mengelabui Polantas atau melanggar rambu-
menciptakan budaya disiplin dalam tatanan rambu lalu lintas (Hendratno, 2009: 501).
kehidupan. Hal tersebut yang menjadikan Pernyataan tersebut dibenarkan
titik tolak pentingnya menciptakan budaya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
disiplin sebagai penunjang dalam Hadiluwih (2006: 141) yaitu sikap mental
meningkatkan kebermaknaan kehidupan dan disiplin pengguna jalan raya serta
sosial. petugas lalu lintas kurang terpuji sehingga
Keadaan masyarakat yang seperti itu muncul ketidakpatuhan yang diyakini dapat
dijelaskan sesuai dengan yang digambarkan diselesaikan dengan uang. Berdasarkan hasil
Chapin (1974: 9). penelitian yang dilakukan Akbarto di
Malang tahun 2009, dari 50 responden
What individuals actually do in terdapat 28 responden (56%) menyatakan
their daily routine is the result of a pernah melakukan suap pada Polantas guna
complex and variable mix of damai di tempat. Suap dilakukan dengan
incentives and constraints serving to terang-terangan (67,9%), dan sembunyi-
mediate choice, often functioning in sembunyi (32,1%).
differentially lagged combination, Alasan untuk menyuap petugas sebab
with some activities directly traceable mudah (25%), cepat (71,4%), dan murah
to positive choice, and some (3,6%). Mayoritas alasan melakukan suap
attributable to negative choice in the terhadap Polantas karena cepat
sense that constraints over shadow dibandingkan penyelesaiannya dengan
opportunities for choice. perundang-undangan. Hal tersebut tentu saja
menjadi indikasi bahwa masih banyak
Kondisi lain digambarkan Emile penyimpangan dan tindakan oknum polisi
Durkheim (Hendratno, 2009; Merton, 1967), yang terjadi akibat budaya kerja belum
perilaku kendaraan seperti di atas, berjalan sebagaimana mestinya (Zam, 2013:
diistilahkan sebagai anomie, berpudarnya 89).
pegangan pada kaidah-kaidah yang ada Pasal 106 ayat (1) menyebutkan
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 60

bahwa “setiap orang mengemudikan masih sangat kurang.


kendaraan bermotor di jalan wajib Untuk itu, jurnal ini berupaya untuk
mengemudikan kendarannya dengan wajar menguraikan dua hal utama. Pertama,
dan penuh konsentrasi”. Selanjutnya dalam bagaimanakah pengalaman berlalu-lintas
Pasal 283 disebutkan bahwa setiap orang kendaraan roda dua di Kota Bandung, tentu
yang mengemudikan kendaraan bermotor di dilihat dari sudut pandang Fenomenologis?
jalan secara tidak wajar dan melakukan Kedua, bagaimana internalisasi disiplin
kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu dalam berlalu-lintas kendaraan roda dua
keadaan yang mengakibatkan gangguan perlu diberikan di Kota Bandung? Ketiga,
konsentrasi dalam mengemudi di jalan. bagaimana model internalisasi disiplin
Sebagaimana Pasal 106 ayat (1), dalam berlalu-lintas kendaraan roda dua di
dipidana dengan pidana kurungan paling Kota Bandung?
lama tiga bulan kurungan atau denda paling
banyak Rp 750.000,00 (tujuh ratus lima
puluh ribu rupiah). Namun, masih banyak B. KAJIAN PUSTAKA
pengendara roda dua yang melakukan Permasalahan mengenai lalu lintas di
kegiatan-kegiatan yang dilarang tersebut Indonesia secara umum meliputi pandangan
seperti menggunakan handphone. dari segi keamanan dan keselamatan para
Selain karena sarana dan prasarana, pengguna jalan raya, hal tersebut
timbulnya kemacetan yang terdapat di kota- menjadikan permasalahan lalu lintas sebagai
kota besar diakibatkan bertambahnya jumlah hal yang harus segera dibenahi, melihat
kendaraan yang menjadi pemicu pengendara kondisi sekarang, lemahnya budaya disiplin
untuk melakukan pelanggaran. Misalnya dalam berlalu-lintas masyarakat masih
kendaraan roda dua yang menggunakan sangat rendah. Berdasarkan penelitian
trotoar sebagai jalan pintas karena jalan Anggarasena (2010: 84) yang berjudul
utama macet dan sebagainya. Hal yang “Strategi Penegakan Hukum Dalam Rangka
memerlukan perbaikan demi ketertiban Meningkatkan Keselamatan Lalu Lintas dan
dalam lalu lintas yaitu sarana dan prasarana Mewujudkan Masyarakat Patuh Hukum”,
lalu lintas yang masih terbatas, menajemen disebutkan kecelakaan lalu lintas di
lalu lintas yang belum berfungsi optimal, Indonesia dapat digambarkan dari data
pelayanan angkutan umum penumpang yang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir
belum memadai dan disiplin pemakai jalan menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas
yang masih rendah (Budiarto dan yang terjadi di Indonesia telah merenggut
Mahmudah, 2007: 6). korban jiwa rata-rata 10.000 per tahun.
Kota Bandung merupakan salah satu Penyebab kecelakaan yang terjadi
kota besar yang menjadi pusat tujuan wisata khususnya di kota-kota besar 86%
baik wisatawan lokal maupun mancanegara. didominasi oleh faktor manusia, sedangkan
Hal tersebut tentu saja mengundang semakin kendaraan 6%, faktor jalan 5,5% dan faktor
padatnya volume kendaraan terlebih lingkungan 2,5%. Kecelakaan lalu lintas
menjelang hari-hari libur. Pada saat yang dapat juga disebabkan terjadinya
bersamaan kerawanan untuk terjadinya pelanggaran lalu lintas oleh pengguna jalan
kecelakaan akan semakin besar. Semakin seperti tidak mentaati rambu-rambu lalu
lemahnya masyarakat dalam taat berkendara lintas, tidak safety riding (helm atau sabuk
membawa masyarakat Kota Bandung pengaman) ketika berlalu-lintas,
memiliki budaya yang buruk dalam berlalu- menggunakan kecepatan yang terlalu
lintas, terbukti dengan semakin banyaknya berlebihan dalam berkendaraan, dan lain
pelanggaran-pelanggaran dan masyarakat sebagainya.
menilai pelanggaran tersebut hal yang biasa Sementara itu, upaya yang dilakukan
dan lumrah adanya. Dengan demikian, dapat oleh pihak-pihak yang terkait dalam rangka
diasumsikan bahwa budaya disiplin mewujudkan kepatuhan hukum masyarakat
masyarakat Kota Bandung dalam berkendara terhadap undang-undang lalu lintas belum
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 61

menunjukkan kesungguhan yang berarti. Hal Etika Berlalu-Lintas


tersebut terlihat dari lemahnya langkah- Lalu lintas di dalam Undang-Undang Nomor
langkah sosialisasi undang-undang lalu 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan
lintas sehingga tidak dilaksanakan dengan Angkutan Jalan didefinisikan sebagai gerak
sebaik-baiknya”. kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas
Berdasarkan penelitian sebelumnya Jalan (Marzuki, 2009: 26). Transportasi
yang dilakukan Klavert (2007:57) yang jalan diselenggarakan dengan tujuan
berjudul “Kedisiplinan Berlalu-lintas mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan
Mengemudi Angkutan Kota Di Kota dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib,
Semarang Ditinjau Dari Persepsi terhadap dan teratur nyaman dan efisien, mampu
Penegakan Hukum Lalu Lintas”, memadukan moda transportasi lainnya,
menyatakan bahwa terdapat keterkaitan menjangkau seluruh pelosok wilayah
antara disiplin berlalu-lintas dengan persepsi daratan, untuk menunjang pemerataan,
penegakan hukum dalam berlalu-lintas. Hal penggerak dan penunjang pembangunan
tersebut maksudnya, persepsi penegakan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh
hukum yang pasti dapat merubah daya beli masyarakat (Kansil, 1995: 15).
kedisiplinan dalam berlalu-lintas yang Agar transportasi tersebut dapat
terjadi pada masyarakat saat ini. Sehingga digunakan sebagaimana mestinya, dibuatlah
dengan tegas dan sigapnya para penegak rambu lalu lintas untuk memberikan
hukum dalam menindak para pengguna petunjuk mengenai mana yang boleh dan
kendaraan bermotor yang tidak taat dengan mana yang tidak boleh dilakukan selama
peraturan lalu lintas akan membuat berkendara. Rambu-rambu lalu lintas
masyarakat menjadi disiplin dalam berlalu- tersebut merupakan bagian dari
lintas, kemudian menjadi suatu perilaku dan perlengkapan jalan, yang dapat berupa
kebiasaan yang pada akhirnya memunculkan lambang, angka, huruf, kalimat dan/atau
kebudayaan yang taat dalam berlalu-lintas. perpaduan di antaranya sebagai peringatan,
Selain itu, penelitian yang dilakukan larangan, perintah atau petunjuk bagi
di Kota Pontianak yang dilakukan oleh pemakai jalan. Rambu-rambu tersebut
Putra, Suni dan Hardilina (2013) digunakan untuk menyatakan perintah yang
menyebutkan bahwa kejelasan dan konsisten wajib dilakukan oleh pemakai jalan (Kansil,
komunikasi Undang-Undang Nomor 22 1995: 185).
tahun 2009 belum ditransmisikan dengan Menurut Baron & Byrne (dalam
baik kepada mayarakat, masih banyak para Ayuningtyas dan Santoso, 2007: 5)
pengguna jalan yang belum mengetahui kepatuhan merupakan bentuk dari pengaruh
ketentuan berlalu-lintas serta perilaku sosial, yaitu individu diminta untuk
berlalu-lintas yang tertib dan aman. melakukan sesuatu dan individu tersebut
Sosialisasi baru sebatas pemberian informasi pun melakukannya. Individu mematuhi
kepada masyarakat, tetapi belum mampu suatu perintah karena figur yang
merubah kesadaran masyarakat atau memerintahkan memiliki otoritas tertentu
menanamkan kesadaran kepada masyarakat (Deaux, Dane & Wrightsman, 1993; Corsini,
agar dapat mematuhi dan melaksanakan 2002: Bartoli, 2003). Figur otoritas tidak
budaya tertib berlalu-lintas. Dengan hanya individu, tetapi juga dapat berupa
demikian, menurut Hendratno (2009), suatu aturan, seperti hukum, kitab suci dan
banyaknya masalah yang belum rambu-rambu lalu lintas (Deaux, Dane &
terselesaikan, seperti kemacetan dan Wrightsman, 1993: Corsini, 2002).
infrastruktur yang buruk muncul dari Berdasarkan penjelasan di atas,
perilaku masyarakat. Sehingga, masalah Soekanto (1980: 76) melihat bahwa dari
transportasi mesti dipecahkan melalui sudut kepatuhan pemakai jalan raya,
pendekatan sosial-budaya selain perbaikan dibedakan dalam beberapa golongan.
fisik. Pertama, Golongan yang mematuhi
peraturan lalu lintas, golongan yang benar-
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 62

benar memahami manfaat kaidah-kaidah perilaku untuk mencapai tujuan yang


hukum dan keserasian kaidah-kaidah hukum bersifat spesifik.
dengan nilai yang dianutnya. Kedua, Huda (2009) menjelaskan bahwa
golongan yang secara potensial merupakan proses pembudayaan merupakan upaya
pelanggar. Golongan ini tampaknya taat membentuk perilaku dan sikap seseorang
pada kaidah-kaidah hukum, tetapi kepatuhan yang didasari oleh ilmu pengetahuan,
itu sebenarnya sifatnya rapuh karena keterampilan sehingga setiap individu dapat
tergantung pada apakah penegakan kaidah- memainkan perannya masing-masing.
kaidah hukum diawasi atau tidak. Ketiga, Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk
golongan yang secara nyata melanggar pewarisan tradisi budaya dari satu generasi
hokum. Terhadap golongan ini diterapkan kepada generasi berikutnya dan adopsi
penjatuhan sanksi atau hukuman. Keempat, tradisi budaya oleh orang yang belum
golongan bekas pelanggar. Golongan yang mengetahui budaya tersebut sebelumnya.
sudah pernah melanggar dan dikenai sanksi Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai
serta hukuman. proses enkulturasi (enculturation)
Watanabe (1995: 47) secara ekstrim sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal
menilai tinggi rendahnya disiplin nasional sebagai proses akulturasi (aculturation).
suatu bangsa diukur dari sejauh mana Kedua proses tersebut berujung pada
ketaatan masyarakat terhadap hukum lalu pembentukan budaya dalam suatu
lintasnya di jalan raya. Pendapat Watanabe komunitas. Proses pembudayaan enkulturasi
tersebut mengandung arti bahwa disiplin biasanya terjadi secara informal dalam
lalu lintas adalah cermin disiplin dan budaya keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau
bangsa (Tabah, 1991, 11-12). budaya suatu wilayah. Proses pembudayaan
Dari pemaparan di atas, penulis enkulturasi dilakukan oleh orang tua atau
dapat menarik simpulan bahwa disiplin orang yang dianggap senior terhadap anak-
berkendara seseorang dipengaruhi oleh dua anak, atau terhadap orang yang dianggap
faktor yaitu faktor internal dan eksternal. lebih muda. Sementara itu, proses akulturasi
Faktor internal dapat meliputi dorongan biasanya terjadi secara formal melalui
yang muncul dalam diri seseorang untuk pendidikan seseorang yang tidak tahu, diberi
mentaati peraturan lalu lintas, sementara tahu dan disadarkan akan keberadaan suatu
faktor ekternal yaitu tekanan agar seseorang budaya, dan kemudian orang tersebut
mentaati peraturan lalu lintas. mengadopsi budaya tersebut.
Proses pembudayaan dapat dilakukan
Internalisasi Budaya Tertib melalui internalisasi, sosialisasi, enkulturasi,
Dalam beberapa pandangan, terdapat difusi, akultuasi, dan asimilasi.
pengertian tentang pembudayaan. Salah Pertama, internalisasi, dari segi
satunya yang disampaikan oleh Naping bahasa ialah berasal dari kata kerja
dalam Rahman (2010: 71) menjelaskan internalize,…to make attitudes, fellings,
bahwa pembiasaan dapat dipahami sebagai beliefs, etc fully part of one’s personality by
pembudayaan (internalization) dan absorbing them though repeated experience
pelembagaan (institusialization). of or exposure to them, (Hornby, 1995: 624).
Makna pertama merujuk pada upaya Pandangan lain menyatakan bahwa
penanaman suatu nilai, sikap, perasaan, “internalisasi adalah proses dengan mana
pandangan dan pengetahuan yang tumbuh orientasi nilai budaya dan harapan peran
dan berkembang dalam suatu masyarakat benar-benar disatukan dengan sistem
kepada individu-individu anggota kepribadian” (Johnson, 1986: 124). Lebih
kebudayaan bersangkutan. Sedangkan lanjut, internalisasi dapat dipahami sebagai
makna kedua menekankan pada aspek nilai, proses pemantapan dan penanaman
norma dan perilaku yang disepakati secara keyakinan, sikap, nilai pada diri individu
bersama oleh individu dalam suatu konteks sehingga nilai-nilai tersebut menjadi
sosial, mengendalikan dan mengarahkan perilakunya (moral behaviour) (Rohman,
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 63

2012: 125). merupakan proses sosial yang timbul bila


terdapat golongan-golongan manusia dengan
Kedua, sosialisasi, secara luas latar belakang kebudayaan berbeda-beda,
sosialisasi dapat diartikan sebagai suatu saling bergaul secara intensif untuk waktu
proses di mana warga masyarakat dididik yang lama sehingga kebudayaan-
untuk mengenal, memahami, mentaati dan kebudayaan golongan-golongan tadi
menghargai norma-norma dan nilai-nilai masing-masing berubah sifatnya yang khas,
yang berlaku dalam masyarakat (Soerjono, dan juga unsur-unsurnya masing-masing
1982: 140). Menurut Goslin (Ihromi, 2004: berubah wujudnya menjadi kebudayaan
30), sosialisasi adalah proses belajar yang campuran.
dialami seseorang untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan Teori Perilaku Berkendara
norma-norma agar ia dapat berpartisipasi Perilaku dapat dipahami sebagai suatu
sebagai anggota dalam kelompok tindakan yang konkrit yang ada pada diri
masyarakatnya. manusia yang terwujud dari individu berupa
Ketiga, enkulturasi, Koentjaraningrat suatu sikap dari anggota badan ataupun
(2003: 145) mengemukakan bahwa proses berupa ucapan secara spontan tanpa
enkulturasi merupakan proses belajar dan direncanakan atau dipikiran dan tanpa
menyesuaikan alam pikiran serta sikap paksaan (Thoha, 2002: 11).
terhadap adat, sistem norma, dan semua Perilaku yang disebut juga tingkah
peraturan yang terdapat dalam kebudayaan laku menurut Natawidjaja (1978 : 16) adalah
seseorang. Effendi dan Setiadi (2006: 146) pernyataan kegiatan yang dapat diamati oleh
mengemukakan bahwa sejak kecil proses orang lain dan merupakan hasil perpaduan
enkulturasi sudah dimulai dalam alam dari pemahaman pengaruh-pengaruh luar
pikiran manusia, mula-mula dari lingkungan dan pengaruh dalam. Kartono (1984: 3)
keluarga, kemudian teman bermain, menjelaskan perkataan tingkah laku atau
lingkungan masyarakat dengan meniru pola perbuatan mempunyai pengertian yang luas
perilaku yang berlangsung dala suatu sekali yaitu tidak hanya mencakup moralitas
kebudayaan. Karena itu, proses enkulturasi saja seperti berbicara, berjalan, lari-lari,
disebut juga dengan pembudayaan. berolah raga, bergerak dan lain-lain akan
Keempat, difusi kebudayaan tetapi juga membahas macam-macam fungsi
merupakan proses penyebaran unsur-unsur seperti melihat, mendengar, mengingat,
kebudayaan (ide-ide, keyakinan, hasil-hasil berpikir, fantasi, pengenalan kembali,
kebudayaan, dan sebagainya) dari individu penampilan emosi-emosi dalam bentuk
satu ke individu lain, dari suatu golongan ke tangis atau senyum dan seterusnya.
golongan lain dalam suatu masyarakat atau Menurut Fishbein dan Ajzen (dalam
dari masyarakat ke masyarakat lain Guritno, 1997; Ayuningtyas, Guritnaningsih
(Koentjaraningrat, 1990: 224). dan Santoso, 2007) perilaku manusia
Kelima, akulturasi, Kontjaraningrat dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan
(1990: 248), akulturasi merupakan proses niat. Adanya pengetahuan terhadap manfaat
sosial yang timbul apabila suatu kelompok dari suatu hal akan menyebabkan seseorang
manusia dengan suatu kebudayaan tertentu mempunyai sikap terhadap hal tersebut.
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu Kemudian sikap ini akan mempengaruhi niat
kebudayaan asing dengan sedemikian rupa seseorang untuk melakukan suatu kegiatan.
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu Kegiatan yang dilakukan inilah yang disebut
lambat laun diterima dan diolah kedalam perilaku. Selain itu, sebagian besar dari
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan perilaku organisme itu sebagai respon
hilangnya kepribadian kebudayaan itu terhadap stimulus eksternal (Walgito, 2001).
sendiri. Dalam paradigma perilaku sosial yang
Keenam, asimilasi, menurut memusatkan perhatian antara individu
Koentjaraningrat (1990: 225) asimilasi dengan lingkungan sosialnya. Menurut
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 64

Homan (dalam Ritzer, 1985) melalui teori penilaian, seperti tidak melihat
exchange, bahwa terjadinya proses interaksi rambu/kendaraan lain, gagal belok, di mana
sosial timbul fenomena baru yang dapat tingkah laku ini lebih berbahaya dan semua
diterangkan melalui pendekatan perilaku pengendara mengalaminya, (3) violations
(behavioral), bahwa satu fakta sosial mewakili tingkah laku berkendara yang
menjadi penyebab dari fakta sosial yang beresiko dan dilakukan dengan sengaja,
lain. seperti mengebut dan menerabas lampu
Menurut Ali (1993:302) “kepatuhan merah, di mana anak muda dan laki-laki
hukum atau ketaatan hukum adalah cenderung lebih terlibat dalam tingkah laku.
kesadaran hukum yang positif. Sementara
itu ketidaktaatan hukum padahal yang C. HASIL DAN KAJIAN
bersangkutan memiliki kesadaran hukum, FENOMENOLOGIS
berarti kesadaran hukum yang dipunyainya Faktor yang Mempengaruhi
adalah kesadaran hukum yang negatif”. Pembentukan Budaya Disiplin Bekendara
Kesadaran hukum masyarakat tidak identik Dalam publikasi resmi UN WHO “Data
dengan kepatuhan atau ketaatan hukum systems: a road safety manual for decision-
masyarakat itu sendiri. Hal tersebut makers and practitioners”, mengutip Zero
dikarenakan kesadaran hukum yang dimiliki (2008), “Ambitious road safety targets and
oleh masyarakat belum menjamin the safe systemapproach” dijelaskan bahwa
masyarakat tersebut akan mentaati suatu sebuah sistem keselamatan (safe System)
aturan hukum atau perundang-undangan lalu lintas merupakan sebuah strategi dan
(Ali: 1993:300). pendekatan yang sangat efektif dalam
Berkaitan dengan hal tersebut, menciptakan lalu lintas yang lebih selamat
Rahardjo (2006: 81), mendefinisikan sebab bagi seluruh pengguna jalan.
ketidakpedulian masyarakat terhadap hukum Mobilitas manusia dan barang dengan
menjadi 3 (tiga), yaitu: “(1) kurangnya kendaraan bermotor berkembang begitu
sosialisasi dari pemerintah mengenai pesatnya, hal ini antara lain akibat
peraturan yang ada, baik peraturan lama peningkatan kesejahteraan dan kemajuan
maupun yang telah disempurnakan (baru). teknologi dibidang transportasi. Hal ini
Minimnya pengetahuan masyarakat akan berdampak pada munculnya berbagai
hukum, juga merupakan salah satu penyebab permasalahan lalu lintas berupa
pelanggaran hukum, (2) hukum yang saat ini pelanggaran, kemacetan dan kecelakaan lalu
dirasakan terlalu bersifat kaku sehingga lintas yang semakin meningkat dan
masyarakat seolah-olah diperlakukan kompleks dari waktu kewaktu apabila tidak
sebagai robot yang didikte dalam melakukan segera ditangani dan diantisipasi.
berbagai kegiatan. Upaya yang dapat dilakukan
Perilaku pelanggaran aturan lalu lintas memecahkan masalah disiplin dalam lalu
didorong oleh sikap terhadap pelanggaran lintas yaitu diperlukan pengendalian sosial
itu sendiri, sikap terhadap hukum/aturan lalu (mechanism of social control), yang
lintas, sikap terhadap polantas, yang tentu merupakan segala proses yang direncanakan
memiliki implikasi di tiga level individual, maupun tidak direncanakan untuk mendidik,
interpersonal, dan societal. Menurut mengajak atau bahkan memaksa para warga
Reason, Manstead, Stradling, Baxter, & masyarakat agar menyesuaikan diri dengan
Campbell (dalam Junef, 2014: 54) bahwa kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan
tingkah laku berkendara yang tidak biasa masyarakat yang bersangkutan (Soekanto,
(aberrant driving behavior) dapat dibedakan 2007: 179).
menjadi tiga jenis: (1) lapses; mewakili Pengendalian sosial tersebut dapat
problem perhatian dan memori, umumnya dilakukan melalui pembudayaan disiplin
dialami orang tua dan perempuan, kadang sebagai sikap dan perilaku dapat
tidak berbahaya namun memalukan, (2) dilaksanakan melalui pembinaan baik lewat
error; mewakili kegagalan observasi dan jalur pendidikan formal, in-fomal maupun
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 65

non-formal. Pendidikan formal dapat berbeda-beda. Subagya (2010), pendidikan


membiasakan disiplin melalui materi-materi berlalu-lintas ditekankan dalam upaya
yang terdapat dalam persekolahan dan membangun karakter dan budaya berlalu-
kebiasaan-kebiasaan yang diberlakukan lintas yang aman tertib dan lancar.
dalam situasi dan kondisi lingkungan Pertama, pendidikan, internalisasi
sekolah. Melalui pendidikan in-formal, disiplin sebagai sikap dan perilaku manusia
kedisiplinan dapat dilaksanakan melalui dapat dikembangkan baik melalui jalur
pelatihan berkendara yang baik dan benar pendidikan formal maupun non formal.
sesuai dengan prosedur peraturan yang a. Melalui pendidikan formal, dalam
berlaku, dan dalam pendidikan non-formal melaksanakan ketentuan dalam pasal
dapat dilakukan melalui kedisiplinan yang 208 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22
dikembangkan dalam keluarga. tahun 2009 tentang Lalu lintas dan
Dengan adanya pembudayaan melalui Angkutan Jalan, Peraturan Gubernur
3 (tiga) jalur pendidikan tersebut, Daerah Istimewa Yogyakarta No 54
diharapkan terjadi pergeseran perilaku Tahun 2011 tentang Pendidikan Etika
disiplin berlalu-lintas masyarakat kepada berlalu-lintas pada Satuan Pendidikan,
arah yang lebih baik guna terciptanya pasal 1 yang salah satunya berisi bahwa
suasana lalu lintas yang tertib dan nyaman. pendidikan etika berlalu-lintas adalah
Selain itu, agar penelitian ini implementatif penanaman budaya tertib lalu lintas yang
dalam menunjang pemberlakukan peraturan dimulai dengan pembiasaaan di satuan
tentang berkendara, maka harus pendidikan
dikembangkan suatu model yang dapat b. Pendidikan nonformal yang dimaksud
mengakomodir semua permasalahan yang adalah keluarga maupun intitusi sosial di
berhubungan tentang lalu lintas secara masyarakat. Karena tidak terlepas dari
umum, khususnya yang terjadi di kota-kota itu, bahwa perilaku disiplin itu pada
besar. dasarnya mulai diterapkan di keluarga,
Budaya Disiplin Berlalu-lintas mengingat suatu perilaku khususnya
Kendaraan Roda Dua di Kota Bandung ditata secara baik dan terarah dimulai
Dari uraian di atas, dapat ditarik simpulan dari lingkungan keluarga, di mana orang
sementara bahwa internalisasi disiplin tua membina dan mendidik anaknya agar
berlalu-lintas di Kota Bandung belum memiliki perilaku yang baik salah
berjalan dengan optimal. Hal tersebut satunya disiplin. Keluarga sebagai media
disebabkan internalisasi baru berjalan pada merupakan alat yang paling efektif
tataran pendidikan formal terbatas belum dalam pembiasaan perilaku sejak dini.
menyeluruh. Keadaan tersebut diperparah Pada pelaksanaannya, harus ada
dengan belum adanya lembaga pelatihan dorongan yang kuat dan konsistensi dari
resmi berkendara roda dua dan kurangnya orangtua agar anak mudah memahami
figur (teladan) masyarakat yang disiplin dan dan melaksanakannya. Orang tua
berkendara. Sehingga masyarakat tidak adalah sosok teladan yang akan
terlalu peduli apakah dirinya melanggar diidentifikasi dan di internalisasi
peraturan lalu lintas atau tidak, yang penting menjadi peran dan sikap oleh anak.
mereka bisa menguasai kendaraan dan Maka salah satu tugas utama orang tua
berani mengendarainya di jalan raya dan ialah mendidik keturunannya dengan
saat di jalan raya mereka berprinsip kata lain dalam relasi anak dan orang tua
bagaimana caranya agar sampai tujuan secara kodrati tercakup unsur pendidik
dengan tepat waktu. untuk membangun kepribadian anak dan
Apabila merujuk pada keadaan mendewasakannya, karena orang tua
tersebut perilaku disiplin sebagai modal merupakan pendidik paling pertama dan
utama dalam berlalu-lintas dipengaruhi oleh paling utama bagi anak-anaknya
beberapa faktor, dalam penyesuaiannya (Kartono, 1992:59-60). Ki Hadjar
perkembangan perilaku disiplin seseorang Dewantoro (1962:100) menyatakan
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 66

bahwa keluarga merupakan “Pusat openness to experience, agreeableness, dan


Pendidikan“ yang pertama kali dan extroversion. Pervin, et.al. (2005: 292)
terpenting karena sejak timbulnya adab mengatakan big five factor personality
kemanusiaan sampai kini, keluarga merupakan pendekatan teori faktor, di mana
selalu mempengaruhi pertumbuhan budi lima kategori faktor tersebut dapat
pekerti tiap-tiap manusia. Di samping dimasukan dalam emotionaly, activity dan
itu, orang tua dapat menanamkan benih sociability factor.
kebatinan yang sesuai dengan Ketiga, peranan Petugas Keamanan
kebatinannya sendiri ke dalam jiwa Lalu Lintas. Peranan para petugas
anak-anaknya. Inilah hak orang tua merupakan hal yang menjadi mutlak dalam
utama dan tidak bisa dibatalkan oleh penerapan kedisiplinan sebagai pengawas
orang lain. Bahkan Shochib (2000:3) maupun penegak para pelanggar lalu lintas
menegaskan bahwa pihak yang harus di jalanan. Konsistensi para penegak hukum
berperan pertama kali dalam kunci dalam pembentukan perlaku disiplin,
mewujudkan disiplin pada anak supaya tanpa adanya konsistensi dari penegak
tidak terbawa arus globalisasi adalah hukum maka tata tertib lalu lintas hanya
peran keluarga. akan menjadi impian saja. Menurut Ancok
Sekaitan dengan pendapat tersebut, (1995: 175-176) bila terjadinya
narasumber yang berasal dari Kepolisian ketidakdisiplinan pada masyarakat maka
Sumur Bandung (Firmansyah, penyebab pokoknya adalah kurangnya
wawancara tanggal 14 Mei 2015), petugas keamanan dalam menegakan hukum
menegaskan bahwa yang menjadi bagi si pelanggar, bukan karena lemahnya
masalah di Kota Bandung dewasa ini kesadaran masyarakat. Keadaan tersebut
yaitu mudahnya orang untuk dungkapkan oleh hampir semua narasumber
mendapatkan kendaraan bermotor. yang menjelaskan bahwa pengendara
Dengan demikian terdapat tantangan kendaraan roda dua akan disiplin dalam
yang dihadapi para orang tua yang berkendara apabila terdapat polisi lalu lintas
memberikan kemudahan kepada yang bertugas, apabila tidak ada yang
anaknya untuk mengendarai kendaraan bertugas maka keadaan lalu lintas kembali
roda dua. semberawut.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Hal tersebut terjadi dikarenakan
(Siswanto, wawancara tanggal 24 April masyarakat takut apabila dihadapkan dengan
2015), yang menuturkan bahwa peran petugas yang pada akhirnya akan dikenakan
orang tua merupakan hal terpenting sanksi apabila melangar aturan lalu lintas.
dalam mengawasi serta mendidik Menurut Rahardjo (1993:15) penegakan
langsung anak-anaknya untuk hukum diartikan sebagai suatu proses untuk
mempersiapkan saat nanti waktunya mewujudkan keinginan-keinginan hukum,
untuk berkendara, tetapi banyak ditemui yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan
juga orang tua saat ini malah pembuat undang-undang yang dirumuskan
memberikan kebebasan pada anaknya dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan
untuk mengendarai motor. hukum yang kemudian menjadi kenyataan.
Penegakan hukum bidang pencegahan, yang
Kedua, faktor Kepribadian. Faktor meliputi kegiatan pengaturan, penjagaan,
kepribadian banyak dikaitkan dengan pengawalan dan patroli. Di mana di dalam
pelanggaran dalam berlalu-lintas dan pelaksanannya tidak dapat dipisah pisahkan,
kecelakaan. McShane dan Glinow karena merupakan suatu sistem lalu lintas
(2000:188) mengungkapkan bahwa big five untuk mewujudkan keselamatan tertib lalu
personality dimention adalah lima abstrak lintas.
dimensi kepribadian yang banyak disajikan Dengan melihat penjelasn di atas,
oleh pendekatan kepribadian, yang terdiri masyarakat pengguna kendaraan roda dua
dari conscientiousness, emotional stability, mempunyai harapan terhadap petugas dari
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 67

Kepolisian maupun Dinas Perhubungan. dan harus mengikuti sanksi yang


Harapan tersebut diantaranya: berlaku, bukan malah "berdamai" (Aji
1. Ketegasan sanksi bagi para pelanggar Prasetyo wawancara tanggal 28 April
Sejumlah informan menyatakan harapan 2015).
ketegasan penegak hukum dalam “Peran penegak hukum saat ini terus
menindak pelanggaran yang terjadi di berupaya melakukan penindakan tegas
jalan raya, seperti pernyataan informan dengan melakukan razia-razia di
berikut: berbagai wilayah di Kota Bandung
dalam upaya untuk meminimalisir
“Kemacetan yang disebabkan di wilayah pelanggaran-pelanggaran untuk
ini tentunya membuat para penegak menertibkan dan mendisiplinkan para
hukum ekstra bekerja keras untuk pengendara motor. Hal tersebut menjadi
menertibkan kondisi lalu lintas. Namun hal yang sangat penting secara terus-
sepatutnya seorang penegak hukum menerus untuk melakukan tindakan bagi
yang melindungi dan mengayomi para pengendara nakal yang tidak
masyarakat mampu bekerja sama membawa kelengkapan kendaraan
dengan masyarakat, di mana bagaimana maupun surat-surat izin
pun penegak hukum memberikan berkendara….Namun niatan baik razia-
pengertian yang cukup bagi pelanggar razia yang dilakukan pihak penegak
lalu lintas. Memperingati pengguna hukum harusnya tidak memunculkan
motor yang melakukan pelanggaran, anggapan bahwa banyak sekali terjadi
bukan langsung menilang, "permainan" antara pelanggar dan
dikhawatirkan saat terjadi penilangan penegak hukum untuk sama-sama hanya
terjadi hal yang tidak pantas atau untuk memperoleh keuntungan semata,
dengan kata lain "berdamai" dengan sudah sepatutnya sebagai pengendara
biaya Rp. 30.000 atau bahkan lebih. Hal motor harus lebih berhati-hati dan
tersebut yang dikhawatirkan saat para disiplin dalam berlalu-lintas untuk
pengedara motor ditilang, tetapi malah saling membantu pihak penegak hukum
"berdamai" dengan penegak hukum, lebih ringan dalam menjalankan
jelas uang tersebut menjadi uang tugasnya” (Vebi Vebriansyah,
tambahan bagi penegak hukum bukan wawancara tanggal 19 Mei 2015).
masuk pada kas negara, dan terlihat
ketidaksenangan para masyarakat “Pihak penegak hukum untuk
dengan penegak hukum seperti itu, bersungguh sungguh dalam menindak
sehingga dikhawatirkan kesalahan pelanggar yang melanggar dan tidak
pengendara motor menjadi suatu hal menaati peraturan yang ada, bukan
yang dicari-cari oleh penegak hukum sekedar "cengli" ucap narasumber,
hanya untuk mendapatkan keuntungan harus tegas dan tanpa memberikan
semata” (Fauzan, wawancara tanggal 15 pilihan sedikitpun untuk melakukan
Maret 2015). tindakan yang tidak pantas sepertu
sogok menyogok. Sehingga dapat
“Bagi mereka yang melanggar dapat terwujudnya ketertiban dalam berlalu-
"Berdamai" antara pengguna motor lintas dan budaya disiplin dalam
dengan penegak hukum sering sekali berkendara” (Heru Setiawan,
terjadi, hanya dengan Rp 50.000,- wawancara tanggal 19 April 2015).
pelanggar dapat terbebas dari sanksi
dan kembali melanjutkan perjalanan, “Penegak hukum dalam hal ini perlu
berbeda dengan pengguna kendaraan lebih serius menangani permasalahan
bermotor yang melakukan pelanggaran lalu lintas, bukan berarti permasalahan
di luar negeri, penegak tidak lalu lintas terjadi di pagi dan sore hari
memberikan pilihan pada pelanggaran saja, karena penegak hukum di wilayah
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 68

ini cenderung tampak saat jam


berangkat kerja dan jam pulang kerja. “Permasalahan kepadatan pengguna
Saat siang hari tiba, lalu lintas di motor ini menjadi hal yang harus di
wilayah ini kembali semberaut dan perbaiki gunu membuat kenyamanan
banyak pelanggaran yang terjadi, dalam berlalu-lintas, hampir secara
tentunya peran semua pihak menjadi hal mayoritas kendaraan yang berada di
terpenting untuk saling mengingatkan jalan adalah kendaraan-kendaraan
dan menghargai pengguba lainnya baru. Membeli motor baru itu
maupun penegak hukum” (Siswanto, cenderung lebih murah, karena bisa
wawancara tanggal 24 April 2015). melalui proses kredit, berbeda dengan
membeli motor bekas, harus secara
2. Kebutuhan informasi dari petugas kontan. Hal tersebut membuat
Sejumlah informan menyatakan masyarakat tidak ragu untuk membeli
kebutuhan informasi dari petugas baik kendaraan motor baru, dan setiap
dari Kepolisian maupun Dinas harinya kendaraan motor terus
Perhubungan, seperti pernyataan bertambah dan semakin membuat
informan berikut: kemacetan tanpa adanya budaya
disiplin dalam berkendara motor”
“Jalan ini menyambungkan wilayah (Fauzan, wawancara tanggal 15 Maret
Bandung Timur dari Cicaheum Ujung 2015).
Berung dan Cibiru. Kondisi jalan ini
terdiri dari lajur kendaraan tanpa “ketidakdisiplinan pengendara motor
pembatas dan mulai lunturnya marka dalam berkendara disebabkan karena
jalan yang ada, tentu membuat terlalu banyaknya volume kendaraan
kebingungan pengendara motor dan yang ada di jalanan sehingga membuat
cenderung malah membuat kemacetan para pengendara begiti banyak di
di wilayah ini” (Fauzan, wawancara jalanan dan membuat tingkat kesabaran
tanggal 15 Maret 2015). para pengendara sulit dikendalikan
karena kesal dengan kondisi jalanan
Hal ini memang sangat sulit sekali yang semakin macet. Meningkatnya
dibenahi, di mana seharusnya baik volume kendaraan di Kota Bandung
wanita dan pria tentunya dalam tentunya tidak terlepas dari peran
berkendara harus benar-benar produsen yang menjual dengan mudah
memahami tata cara baik mengetahui motor pada konsumen, cukup dengan
rambu-rambu dan keterampilan dalam DP ringan dan syarat-syarat mudah
berkendara itu sendiri, buka semata- bisa memiliki motor yang baru” (Aji
mata hanya bisa mengendarai saja, Prasetyo, wawancara tanggal 28 April
tetapi saling menjaga keselamatan diri 2015).
sendiri serta pengendara lainnya”
(Heriman wawancara tanggal 25 April Pengalaman Fenomenologis Tertib
2015). Berlalu-lintas
Pengalaman berlalu-lintas di Kota Bandung
3. Proaktif dari petugas masih terdapat pelanggaran seperti
Sejumlah informan mengharapkan sikap pelanggaran marka jalan, tidak
proaktif dari petugas, seperti pernyataan menggunakan helm, modifikasi kenalpot,
informan berikut: pelepasan spion, pelepasan badan motor,
Informan mengharapkan adanya sikap menyalip dari kiri jalan dan sebagainya. Hal
proaktif dari petugas dinas perhubungan tersebut terjadi karena sikap pengendara
untuk membatasi jumlah kendaraan roda roda dua selama berkendara masih muncul
dua yang beredar di masyarakat untuk sikap yang negatif seperti sikap penerabas,
mengurangi pelanggaran lalu lintas. hipokrit, ketidakjujuran, dan membeo.
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 69

Dalam rangka meminimalisir untuk melakukan pendidikan disiplin yang


pelanggaran tersebut, pengguna kendaraan terintegrasi. Dari pihak keluarga berupa
roda dua mengharapkan kepada petugas pemberian dasar pemaknaan disiplin dalam
yang berwenang untuk tegas dalam kehidupan sehari; dari pihak sekolah yaitu
memberikan sanksi kepada setiap pelanggar, memberikan sajian-sajian materi yang
terus memberikan informasi yang dapat dikuatkan dengan kurikulum dengan
menambah pengetahuan tentang bagaimana penekanan disiplin berkendara; dari lembaga
berkendara yang baik, dan proaktif dalam pelatihan yaitu memberikan masukan-
membatasi jumlah kendaraan roda dua yang masukan kepada kepolisian dengan ikut
beredar di masyarakat baik itu berupa serta mengawasi pemberian lisensi
kendaraan roda dua yang bodong maupun berkendara dan memberikan masukan apaka
kendaraan roda dua yang tidak laik guna, seseorang masih memerlukan pelatihan atau
dan petugas terus dituntut proaktif dalam tidak agar dapat menjadi pengendara yang
memberikan sosialisasi kepada masyarakat baik.
tentang berkendara yang sesuai dengan Dari kepolisian yaitu memberikan
peraturan yang berlaku. sosialisasi peraturan penggunaan kendaraan
Internalisasi disiplin berkendara roda roda dua yang baik, aman dan tidak
dua di Kota Bandung selama ini baru terjadi menimbulkan kerugian bagi orang lain serta
pada tataran sekolah formal yaitu pada pemberian informasi sanksi apabila terdapat
tingkatan Sekolah Dasar. Internalisasi pelanggaran dalam penggunaan kendaraan
disiplin berkendara roda dua di Kota roda dua; dan untuk dinas perhubungan
Bandung diwujudkan dengan membangun yaitu dengan memberikan pelayanan berupa
hal-hal seperti berikut: 1) Sikap disiplin pemberian rambu yang tegas dan terbaca
berasal dari latihan, pengendalian pikiran untuk semua pengendara misalnya dengan
dan pengendalian watak yang dibangun dari memberikan penjelasan di bawah tanda
sekolah. 2) Penanaman pemahaman yang rambu seperti dilarang parkir dan
baik mengenai sistem peraturan perilaku sebagainya.
disiplin berkendara roda dua. Hal tersebut DAFTAR PUSTAKA
dilakukan dengan melakukan sosialisasi
peraturan yang mengatur tentang lalu lintas Anggarasena, B. 2010. Strategi Penegakkan
di Kota Bandung seperti mengadakan Hukum dalam Rangka Meningkatkan
sosialisasi ke sekolah dan razia kendaraan Keselamatan Lalu Lintas dan
roda dua yang dilakukan bekerjasama Mewujudkan Masyarakat Patuh
dengan Dinas Perhubungan. Selain itu, salah Hukum. Tesis pada Program
satu cara yang telah di tempuh oleh Pascasarjana Universitas
Kepolisian Republik Indonesia yaitu kerja Dipenogoro. Tidak Diterbitkan.
sama dengan salah satu stasiun televisi
swasta dalam tayangan “86” untuk Anggraini. D. 2013. Studi tentang Perilaku
memberikan informasi berupa pemahaman Pengendara Kendaraan Bermotor Di
yang baik mengenai sistem peraturan Kota Samarinda dalam E-Journal
perilaku disiplin berkendara roda dua. 3) Sosiatri-Sosiologi, 1 (1), 10-19.
Sikap kelakuan atau perilaku yang secara
wajar menunjukkan kesungguhan hati, untuk Ayuningtyas, D.S.,Guritnaningsih, dan
mentaati segala hal secara cermat dan tertib. Santoso, A. 2007. Hubungan Antara
Keadaan tersebut ditunjang dengan petunjuk Intensi untuk Mematuhi Rambu-
berupa rambu-rambu lalu lintas yang jelas Rambu Lalu Lintas dengan Perilaku
dan kuat akan sanksinya. Melanggar Lalu Lintas pada Supir
Model internalisasi disiplin berkendara Bus 01 Jakarta. JPS. 13 (1). 1-14.
di Kota Bandung dapat terjadi apabila semua
unsur (orang tua, lembaga pendidikan, Baron, R.A., and Byrne, D. 1991. Social
kepolisian, dinas perhubungan) bekerjasama Psychology. Understanding Human
Soni Sadono, Budaya Tertib Berlalu Lintas 70

Interaction, Sixth Edition. Boton:


Alyn and Bacon Inc.

Beninga, J. S. 1991. “Moral And Character


Education In The Elementary
School: In Introduction”. Benninga,
J.S. (Penyunting). Moral, Character,
And Civic Education In The
Elementary School. New York:
Teachers College, Columbia
University.

Boediningsih, W. 2011. Dampak Kepadatan


Lalu Lintas terhadap Polusi Udara
Kota Surabaya. Jurnal Fakultas
Hukum. 20 (20). 119-138.

Budiarto, A dan Mahmudah. 2007.


Rekayasa Lalu Lintas. UNS Press:
Surakarta.

Chapin F.S. Jr. 1974. Human Activity


Patterns and the City: Things People
Do in Time and in Spice. Wiley.
New York.

Chapin. F.S.Jr. 1974. Human Activity


Patterns and the City: Things People
Do in Time and Space Wiley, New
York, hlm.9. Lihat juga D.J.
Walmsky, Urban Living; the
Individual in the City. John Wiley &
Sons: New York

Daeng, H.J. 2000. Manusia Kebudayaan


dan lingkungan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai