Anda di halaman 1dari 71

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/267824714

SENYAWA AROMA DAN CITARASA (AROMA AND FLAVOR COMPOUNDS)

Article

CITATION READS
1 11,132

2 authors:

Nyoman Semadi Antara Ni Made Wartini


Udayana University Udayana University
20 PUBLICATIONS   110 CITATIONS    3 PUBLICATIONS   3 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

The Comparison of Media on The Microalgae Nannochloropsis sp. Culture View project

Energy View project

All content following this page was uploaded by Nyoman Semadi Antara on 12 October 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MODUL KULIAH

SENYAWA AROMA DAN CITARASA


(AROMA AND FLAVOR COMPOUNDS)

Nyoman Semadi Antara


Made Wartini

Tropical Plant Curriculum Project


Udayana University
Daftar Isi
I. REMPAH-REMPAH DAN HERBAL
Pendahuluan 1
Manfaat Rempah dan Herbal 6
Peran Fungsional 7
Nilai Nutrisi 10
Nilai Antioksidan 11
Sifat Antimikrobia 12
Sifat Repelen terhadap Serangga 13
Kasiat Obat-obatan 13
Daftar Pustaka 14
II. SENYAWA ARO MA DAN CIT ARASA DARI REMPAH -
REMPAH DAN HERBAL
Pendahuluan 16
Citarasa 16
Minyak Atsiri 19
1. Keberadaan Minyak Atsiri dalam Tanaman 22
2. Perlakuan terhadap Bahan Baku 23
a. Curing 23
b. Preparasi Bahan 32
c. Metode Separasi Minyak Atsiri 33
d. Distilasi 39
e. Distilasi pada minyak atsiri 40
Daftar Pustaka
III. ANT IMIKROBIA DARI REMPAH-REMPAH DAN HERBAL
Pendahuluan 53
Aktivitas Antimikrobia 55
Aktivitas Antibakteri 59
Aktivitas Antijamur 62
Sifat Antimikrobia pada Makanan 63
Model Penghambatan 67
Daftar Pustaka 68

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 2


I. REMPAH-REMPAH DAN HERBAL

Setelah membaca bagian dari bab ini pembaca/mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami berbagai jenis rempah-rempah dan herbal yang diproduksi di berbagai
Negara. Pembaca/mahasiswa juga diberikan penjelasan mengenai kegunaan
rempah-rempah dan herbal dan sifat fungsionalnya.

Pendahuluan

Untuk pertumbuhan dan beraktivitas, manusia membutuhkan makanan yang merupakan


kebutuhan hakiki yang harus terpenuhi. Berbagai jenis makanan berkembang di
berbagai daerah dan Negara sesuai dengan potensi lokal dan kebiasaan masyarakat
setempat. Hal ini yang menyebabkan bahwa di dunia ini dikenal banyak jenis makanan
untuk memenuhi kebutuhan kalori, nutrisi dan kepuasan manusia. Selain potensi
sumber pangan lokal, keragaman jenis dan cara penyajian makanan tergantung pada
budaya setempat, sehingga pengaruh budaya lokal sering menjadikan makanan
mempunyai citarasa spesifik lokal. Di Indonesia, yang memiliki keragaman budaya,
tercatat perkembangan berbagai jenis makanan dengan citarasa yang beragam pula.
Apabila diperhatikan dengan lebih rinci, rempah-rempah dan herbal merupakan salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap citarasa dan kekhasan makanan tersebut.
Rempah-rempah dan herbal merupakan bahan bumbu yang sangat melekat digunakan
dalam kuliner masakan di masing-masing daerah di Indonesia. Selain untuk
meningkatkan citarasa makanan, ternyata rempah-rempah dan herbal yang
ditambahkan dapat juga meningkatkan keawetan produk dan juga keamanan produk
untuk dikonsumsi. Meningkatnya daya simpan dan keamanan produk makanan yang
ditambah rempah-rempah (bumbu) ataupun herbal disebabkan oleh kemampuan
rempah-rempah maupun herbal menghambat bahkan membunuh mikroba pembusuk
dan pathogen yang ada dalam makanan. Berbagai jenis rempah-rempah dan herbal
yang berasal dan diproduksi di berbagai Negara diperlihatkan pada Tabel 1.

Potensi rempah-rempah dan herbal bukan hanya meningkatkan citarasa makanan atau
minuman, namun juga dapat berfungsi untuk kesehatan. Di dalam rempah-rempah dan
herbal banyak terkandung senyawa-senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai
antimikrobia, antioksidan, antidiabetes, antitumor, dan fungsi lainnya yang sangat
bermanfaat untuk menjaga kesehatan. Untuk itu, rempah-rempah dan herbal banyak

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 3


dikembangkan untuk obat herbal karena dipercaya tidak mempunyai efek samping yang
berbahaya.

Tabel 1. Berbagai jenis rempah-rempah, bagian tanaman yang digunakan dan Negara
asal atau produsen*

Bagian
Rempah/Herbal Nama Botani Negara penghasil/asal
Edible
Ajowan Trachyspermum ammi Biji Persia and India
(L.) Sprague
Aniseed Pimpinella anisum L. Buah Mexico, Netherlands,
Spain
Basil Ocimum basilicum L. Daun France, Hungary, USA,
Serbia and Montenegro
Bay leaf Laurus nobilis L. Daun Turkey, USA, Portugal
Cardamom Elettaria cardamomum Buah India, Guatemala
White et Mason
Large cardamom Amomum subulatum Buah India, Nepal, China
Roxb.
Cassia (kayu Cinnamomum cassia (L.) Batang, kulit China, Indonesia,
manis) Presl kayu South Vietnam
Celery Apium graveolens L. Fruit France, India
Chilli Capsicum frutescens L. Fruit Ethiopia, India, Japan,
Kenya, Mexico, Nigeria,
Pakistan, Tanzania,
USA
Cinnamon (kayu Cinnamomum verum Batang, kulit Sri Lanka, India
manis) syn. kayu
C. Zeylanicum
Cengkeh Syzygium aromaticum Kuncup Indonesia, Malaysia,
(L.) Merr. et Perry bungan Tanzania
Ketumbar Coriandrum sativum L. Buah Argentina, India,
Morocco, Romania,
Spain, Serbia and
Montenegro
Cumin Cuminum cyminum L. Buah India, Iran, Lebanon
Curry leaf Murraya koenigii Spreng Daun India, Burma
Dill Anethum graveolens L. Buah India
Fennel (adas) Foeniculum vulgare Mill. Buah Argentina, Bulgaria,
Germany, Greece,
India, Lebanon

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 4


Tabel 1. Lanjutan…
Bagian
Rempah/Herbal Nama Botani Negara penghasil/asal
Edible
Fenugreek Trigonella foenum- Buah India
graecum L.
Garcinia Garcinia cambogia Buah India, Sri Lanka
Bawang putih Allium sativum L. Bulb/clove Argentina, India
Jahe Zingiber officinale Rosc. Rimpang India, Jamaica, Nigeria,
Sierra Leone
Mint Mentha piperita L. Biji Bulgaria, Egypt, France,
Germany, Greece,
Morocco, Romania,
Russia, UK
Mustard Brassica nigra (L.) Koch Biji Canada, Denmark,
Ethiopia, UK, India
Nutmeg/Pala Myristica fragrans Houtt. Aril/seed Grenada, Indonesia,
Kernel India
Onion/Bawang Allium cepa L. Umbi/Bulb Argentina, Romania,
India
Oregano Origanum vulgare L. Daun Greece, Mexico
Paprika Capsicum annuum L. Buah Bulgaria, Hungary,
Morocco, Portugal,
Spain, Serbia and
Montenegro
Parsley Petroselinum crispum Daun Belgium, Canada,
(Mill) Nyman ex A.W. Hill France, Germany,
Hungary
Black pepper Piper nigrum L. Buah Brazil, India, Indonesia,
Malaysia, Sri Lanka,
Vietnam
Poppy Papaver somniferum L. Biji The Netherlands,
Poland, Romania,
Turkey, Russia
Rosemary Rosmarinus officinalis L. Daun, ujung France, Spain, USA,
tunas Serbia and Montenegro
Sage Salvia officinalis L. Daun Albania, Serbia and
Montenegro
Star anise Illicium verum Hooker fil. Buah China, North Vietnam
Tamarind Tamarindus indica L. Buah Indonesia, Vietnam
Turmeric Curcuma longa L. Rimpang China, Honduras, India,
Indonesia, Jamaica
Vanilla Vanilla planifolia Andrews Buah/beans Indonesia, Madagascar,
Mexico, India
* Parthasarathy et al., 2009.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 5


Manfaat Rempah dan Herbal

Dari jaman dahulu rempah-rempah dan herbal mempunyai nilai sebagai ingredient dasar
untuk dupa sebagai pembangkit aroma, penangkal racun, kosmetik dan obat-obatan.
Tercatat bahwa nenek moyang kita banyak menggunakan herbal dan rempah-rempah
sebagai bahan pengobatan berbagai macam penyakit. Sebagai contoh adalah
peninggalan luhur budaya Bali, yaitu husada taru premana yang pada saat sekarang
banyak dikembangkan berbagai jenis tanaman (termasuk rempah-rempah dan herbal)
sebagai bahan pengobatan. Keragaman budaya Indonesia memberikan keragaman
peninggalan budaya pemanfaatan herbal dan rempah-rempah. Selanjutnya, herbal dan
rempah-rempah mulai banyak digunakan sebagai bahan penyedap (flavoring) untuk
makanan dan minuman. Berjalan dengan waktu, herbal dan rempah-rempah bukan saja
digunakan untuk meningkatkan citarasa, namun juga digunakan sebagai bahan untuk
menunda atau mencegah ketengikan dan kerusakan makanan. Rempah-rempah dapat
mempengaruhi aroma, warna dan rasa makanan dan kadang-kadang dapat menutupi
aroma yang tidak dikehendaki. Senyawa volatil memberi aroma dan oleoresin
mempengaruhi rasa makanan. Pengetahuan ini mendorong penggunaan rempah-
rempah di berbagai macam pengolahan makanan.

Dengan demikian berdasarkan fungsinya, herbal dan rempah-rempah diklasifikasikan ke


dalam bahan kuliner, kosmetik, dan farmasi. Pada jaman yang modern seperti sekarang,
rempah-rempah mempunyai tempat yang luas dalam seni kuliner di seluruh dunia, dan
digunakan dalam industri pangan sebagai bahan penyedap dan bumbu, dan juga
sebagai bahan farmasi untuk pengobatan dan perawatan kecantikan. Herbal dan
rempah-rempah bermanfaat oleh karena bahan kimia yang terkandung dalam bentuk
minyak atsiri, oleoresin, oleogum dan resin, yang memberi citarasa, rasa pedas dan
warna terhadap makanan yang disajikan. Dari daftar the International Organization for
Standardization (ISO) tercatat 112 jenis tanaman yang dikategorikan sebagai herbal dan
rempah-rempah. Diantara tanaman tersebut hanya sedikit jenis yang dibudidayakan dan
dimanfaatkan secara komersial di berbagai negara, hanya sedikit dimanfaatkan namun
sangat dikenal, sementara yang lainnya kurang dikenal, tumbuh sebagai tanaman liar
dan belum dimanfaatkan. Herbal maupun rempah-rempah yang belum dimanfaatkan
akan bernilai bukan hanya sebagai penyedap rasa, namun juga sebagai tanaman obat
yang sangat penting.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 6


Peran Fungsional

Rempah-rempah dan herbal dimanfaatkan daunnya (segar atau kering), batang, kulit
maupun umbi (rimpang) sebagai penyedap makanan dan minuman. Selain itu bumbu-
bumbuan herbal juga dikenal mempunyai nilai nutrisi, antioksidan, anti-mikrobia dan
sebagai obat-obatan. Karena potensinya tersebut, daun-daunan herbal sering
digunakan sebagai garnis pada berbagai jenis makanan. Minyak atsiri yang diekstrak
dari batang, daun dan bunga dapat digunakan sebagai bahan kosmetik, parfum dan
pengharum toilet. Minyak tersebut juga dapat digunakan sebagai penyedap berbagai
jenis minuman dan sebagai bahan farmasi.

Seperti yang tercatat di berbagai literatur, rempah herbal sudah digunakan sebagai
bahan balsam semenjak jaman Romawi dan Mesir kuno. Sampai sekarangpun daerah
Mediterania, seperti Jerman, Prancis dan juga USA merupakan produsen utama herbal
berkualitas tinggi. Curly parsley, chives dan dill banyak diproduksi di Jerman. Di USA
sudah banyak ditanam herbal berkualitas tinggi seperti parsley, tarragon, oregano dan
basil. Mesir dan Maroko banyak memproduksi parsley, chives dan dill. Negara-negara
Eropa Timur, seperti Polandia, Hungaria dan Negara bekas Yugoslavia juga
memproduksi herbal, namun dengan daerah tanam yang terbatas.

Penelitian-penelitian mengenai peran rempah-rempah untuk memningkatkan mutu


sensoris makanan dan minuman sudah banyak dilakukan, khususnya yang berkaitan
dengan citarasa, aroma dan warna produk. Namun demikian, beberapa dasawarsa
belakangan, hasil-hasil penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh yang
menguntungkan dari rempah-rempah dan herbal terhadap reaksi-reaksi fisiologis tubuh.
Keuntungan fisiologis tersebut termasuk rangsangan terhadap pencernaan, pengaruh
hipolipidemia, pengaruh antidiabetes, sifat antilitogenik, potensi antioksidan, sifat anti-
imflammatory, antimutagenik dan potensi antikarsinogenik (Srinivasan, 2005). Dari
pengaruh yang menguntungkan tersebut, pengaruh hipolipidemia dan antioksidan dari
rempah-rempah sudah memberikan implikasi kesehatan yang baik. Di antara beberapa
rempah-rempah, curcumin, yang terkandung di dalam kunyit, merupakan senyawa aktif
antimutagenik yang dicoba in vitro maupun in vivo (Joe et al., 2004). Demikian pula,
sudah pula dicoba, secara in vitro dan in vovo, pengaruh curcumin, capsaicin dan
piperine terhadap sistem drug-metabolizing enzyme di dalam hati (Suresh dan
Srinivasan, 2006)

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 7


Indonesia merupakan Negara yang potensial sebagai sumber dan produsen rempah-
rempah maupun herbal. Sejak jaman dahulu masyarakat Indonesia sudah
memanfaatkan rempah-rempah dan herbal sebagai tanaman obat dan penyedap
makanan dan minuman. Bahkan, rempah-rempah dan herbal ini pula yang menarik
perhatian Negara-negara Eropah untuk datang ke Indonesia, seperti Portugis, Spanyol,
Belanda dan Inggris, sehingga Indonesia menjadi Negara jajahan yang potensial bagi
kesejahteraan Negara Eropah. Namun demikian, sampai sekarang produk cengkeh,
lada, dan panili merupakan produk potensial yang tetap diproduksi di Indonesia. Potensi
tanaman herbal dan rempah-rempah lain juga diproduksi untuk keperluan pasar dalam
negeri maupun ekspor. Banyak pula tanaman herbal yang masih belum dimanfaatkan
atau ditanam dalam jumlah terbatas, sehingga tanaman tersebut mempunyai potensi
besar untuk dikembangkan dan diproduksi secara luas untuk keperluan dalam negeri
maupun ekspor.

Amerika dan Eropah merupakan pasar rempah-rempah dan herbal terbesar dunia.
Oregano salah satu jenis herbal yang paling banyak dikonsumsi di USA dan Eropah,
diikuti oleh basil, bay leaf, parsley, thyme dan chives. Herbal seperti mint, rosemary,
savory, sage dan marjoram hanya dikonsumsi dalam jumlah terbatas yang tersebar di
berbagai pasar. Konsumsi berbagai jenis herbal dipengaruhi oleh kebiasaan lokal suatu
daerah mengkonsumsi makanan. Marjoram banyak dijual di Jerman, sementara sage
popular di USA namun di Eropa kurang diminati. Turki merupakan Negara pengekspor
bay leaf dan oregano, Mesir pengekspor terbesar basil, marjoram dan mint, dan Spanyol
pengekspor terbesar herbal jenis thyme dan rosemary. Daun herbal dapat digunakan
dalam bentuk segar maupun kering, atau dalam bentuk ekstrak seperti minyak dan
oleoresin. Secara tradisional herbal dipasarkan dalam keadaan produk kering.
Walaupun perdagangan herbal masih didominasi produk dalam bentuk kering, namun
herbal dalam bentuk beku dan segar dapat ditemukan di berbagai pasar.

Berbagai cara yang berbeda digunakan untuk mengeringkan herbal dan rempah-
rempah. Cara tradisional, seperti pengeringan dengan sinar matahari baik secara
langsung maupun tidak langsung masih banyak dilakukan. Karena pengeringan secara
alami di bawah matahari sering terjadi penurunan kualitas karena adanya kontaminasi
selama pengeringan, maka penggunaan pengering buatan dengan menggunakan
sirkulasi udara panas di dalam ruang pengering menjadi alternatif pengering yang
banyak digunakan. Pengeringan beku (freeze drying) dengan vakum merupakan metode

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 8


pengeringan yang telah terbukti merupakan metode terbaik untuk mengawetkan bahan
citarasa dan aroma. Pengeringan dengan matahari sering merusak klorofil daun,
pengeringan buatan menghasilkan daun dengan penampilan yang lebih baik dan
penerimaan pasar yang lebih baik.

Sampai saat ini, rempah-rempah dan herbal organik mendapat tempat di pasaran.
Konsumen terbesar dari rempah-rempah dan herbal organik adalah Amerika, Eropah
dan Jepang yang juga Negara yang mengkonsumsi herbal terbanyak. Perkembangan
produk organik terus meningkat dari tahun ke tahun. Konsumen lebih menyukai produk
yang tidak terkontaminasi pestisida dan bahan kimia lainnya. Dengan demikian,
produksi atau budidaya herbal organik sangat potensial dikembangkan untuk
memperoleh harga yang baik (premium price) di pasar internasional dan memperbaiki
kualitas dan penampilan produk herbal tanpa residu pestisida atau bahan kimia.

Ekstrak herbal atau rempah-rempah, seperti minyak atsiri dan oleoresin, dapat diperoleh
dengan menggunakan cara distilasi uap, ekstraksi karbondioksida superkritis dan
ekstraksi pelarut menggunakan pelarut organik titik didih rendah (low-boiling organik
solvents). Dari berbagai metode yang berbeda tersebut, ekstraksi menggunakan gas
karbondioksida terkompresi atau cairan superkritis merupakan cara yang paling efektif
dan sekarang ini digunakan pada skala komersial. Distilasi uap yang digunakan untuk
ekstraksi masih dapat merusak komponen-komponen penting minyak atsiri karena
penggunaan suhu yang tinggi, sementara penggunaan pelarut organik akan
meninggalkan residu pelarut di dalam ekstrak herbal. Di dalam proses ekstraksi
karbondioksida superkritis, biaya proses rendah, ekstrak akan bebas dari residu pelarut,
dan tidak terjadi kerusakan komponen bioaktif yang penting. Beberapa senyawa aroma
alami yang secara komersial diproduksi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Senyawa aroma alami komersial*

Acetaldehydea Citronellyl estersb 2-Heptanonea 2-Octanone


Acetoina n-Decanala n-Hexanal 4-Octanolidea
Acetophenone 4-Decanolidea 2-(E)-Hexenal/ol 1-Octen-3-ola
Anethol 5-Decanolidea 3-(Z)-Hexenol/acetateb 2-Pentanonea
Anisyl acetate 2-Decenolactonea 4-Hexanolidea i-Pentyl alcohola
Benzaldehydea Dimethyl 4-Hydroxy-2,5-dimethyl- i-Pentyl estersb
pyrazines 3(2H)-furanone
Benzyl 4-Dodecanolidea Indole Phenylacetalde
butanoatea hydea
n-Butyl estersb 5-Dodecanolidea ß-Iononea 1-Phenylethyl
acetatea

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 9


Tabel 2. Lanjutan…

n-Butanola Ethyl acetatea Maltol n-Propanola


i-Butyl alcohola Ethyl benzoateb Methionala 2-Propenyl
hexanoatec
i-Butyl estersb Ethyl butanoateab Methyl anthranilatea n-Propyl esters
i-Butanala Ethyl 2,4-(E,Z)- 2-Methylbutanoic Raspberry ketone
decadienoateb acid/estersa
d-Carvone Ethyl 2- 3-Methylbutanala Sclareolidea
methylbutanoatea
ß-Caryophyllene Ethyl Methyl salycilate 4-Undecalactonea
phenylacetatea
Cinnamic acida Farnesol n-Nonanal/ola 2-Undecanonea
Cinnamic alcohola Fenchol 2-Nonanonea Vanillina
Cinnamaldehydea Furfuryl thiola Nootkatonea
Cinnamyl estersb Geranyl acetateb n-Octanal
Citronellol n-Heptanal 3-Octanol
*Berger, 2009; a Kemungkinan diproduksi dari proses bioteknologi; b Berasal dari
ekstrak tanaman; c Tidak ditemukan di alam.

Selain sebagai penambah citarasa (citarasa), herbal dan rempah-rempah juga


mempunyai nilai nutrisi, antioksidan, antimikrobia, repelen serangga dan sebagai obat-
obatan.

Nilai Nutrisi

Sebagian besar herbal dan rempah-rempah kaya dengan sumber protein, vitamin
(khususnya vitamin A, C dan B) dan mineral seperti kalsium, fosfor, natrium, kalium dan
besi. Buah lada merah mengandung gula-gula sederhana seperti glukosa dan fruktosa,
karoten, dan vitamin C (Navarro et al., 2006). Parsley kaya vitamin A dan K, sementara
ketumbar (coriander) kaya dengan vitamin C dan A.

Nilai nutrisi yang terkandung di dalam rempah-rempah dan herbal tidak berpengaruh
apabila bahan tersebut digunakan sebagai penyedap makanan atau minuman.
Umumnya penggunaan rempah dan herbal pada makanan sebagai penyedap
proporsinya kecil, sehingga sumbangan nutrisi secara keseluruhan sangat kecil. Nilai
nutrisi rempah dan herbal akan memberikan sumbanyan yang nyata apabila bahan
tersebut dipersiapkan untuk produk selain makanan, seperti jamu-jamuan dan produk
ekstrak lainnya yang langsung dikonsumsi.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 10


Nilai Antioksidan

Antioksidan dalam makanan dapat mencegah kerusakan bahan-bahan yang mudah


teroksidasi. Lemak dalam makanan merupakan salah satu bahan yang mudah rusak
dan mengalami ketengikan karena teroksidasi, sehingga mutu makanan menjadi turun.
Antioksidan sering ditambahkan ke dalam makanan sebagai pengawet komponen lemak
agar tidak terjadi kerusakan mutu. Antioksidan sintetik yang umum digunakan adalah
butylated hydroxyl anisole (BHA), butylated hydroxyl toluene (BHT), propyl gallate (PG)
dan tert-butyl hydroquinone (TBHQ). Karena reaksinya yang dapat berfungsi sebagai
promoter penyakit kanker (carcinogenesis), maka penggunaan antioksidan sintetik mulai
dihindari dan digantikan dengan antioksidan alami.

Banyak herbal dan rempah-rempah diketahui sebagai sumber antioksidan alami, dan
konsumsi herbal dalam makanan berkontribusi pada asupan antioksidan sehari-hari.
Senyawa fenolik merupakan antioksidan utama terkandung di dalam herbal dan
rempah-rempah (Gambar 1). Dari hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan yang linear antara kandungan fenol dan sifat antioksidan dari herbal dan
rempah-rempah tersebut. Peran buah-buah, sayuran dan anggur merah untuk
mencegah penyakit diperlihatkan oleh aktivitas antioksidan dari senyawa polifenol yang
terkandung di dalamnya, seperti vitamin C, vitamin E, dan senyawa karotenoid (Rice-
Evans et al., 1997). Lebih lanjut dinyatakan bahwa banyak senyawa polifenolik yang
berasal dari tanaman mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih efektif (secara in vitro)
dibandingkan dengan vitamin C atau E, sehingga dapat berkontribusi nyata untuk fungsi
proteksi secara in vivo.

Gambar 1. Struktur umum senyawa flavonoid, R = H: flavon dan R=OH: flavonol.

Minyak atsiri, oleoresin dan bahkan ekstrak air dari rempah-rempah mempunyai sifat
antioksidan. Tanaman dari family Lamiaceae secara universal merupakan sumber

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 11


antioksidan alami yang penting. Beberapa herbal yang memiliki sifat antioksidan yang
lebih baik dibandingkan dengan antioksidan sintetik seperti butylated hydroxyl toluene
(BHT) adalah oregano, thyme, marjoram, sage, basil, fenugreek, fennel, coriander dan
pimento. Kapasitas antioksidan tinggi yang diperlihatkan oleh antioksidan alami
meningkatkan penggunaan jenis antioksidan tersebut dalam makanan maupun untuk
kebutuhan lain.

Sifat Antimikrobia

Herbal dan rempah-rempah juga dapat mempunyai sifat antimikrobia. Minyak atsirinya
dapat digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan mikrobia di dalam makanan dan
dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif bahan tambahan makanan. Beberapa
minyak atsiri dari rempah-rempah (secara individu maupun kombinasi) mempunyai
aktivitas yang tinggi untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan pembusuk.
Dengan melakukan fraksinasi terhadap minyak atsiri tersebut dapat diperoleh senyawa
dengan aktivitas antimikrobia yang lebih tinggi. Senyawa yang difraksinasi maupun
diisolasi dari minyak atsiri mempunyai aktivitas antimikrobia yang lebih tinggi
dibandingkan minyak atsirinya. Misalnya, seperti campuran senyawa carvacrol dan
thymol pada proporsi yang berbeda dapat menekan total penghambatan dari
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Penghambatan tersebut
disebabkan oleh kerusakan integritas membran sel, yang selanjutnya mempengaruhi pH
dan keseimbangan ion-ion organik di dalam sitoplasma (Ravindran dan Pillai, 2004).
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa allicin dapat dengan mudah masuk ke dalam
sitoplasma sel darah merah. Bilayer lipida tidak merupakan hambatan untuk penetrasi
allicin ke dalam sitoplasma dan difusinya melalui bilayer lipida tidak mengakibatkan
rusaknya membran. Temuan ini memunculkan kemungkinan bahwa di dalam sistem
biologis allicin dapat melakukan penetrasi secara cepat ke dalam bagian-bagian sel
yang berbeda dan menimbulkan efek biologis (Miron et al., 2000). Dari pengetahuan
mengenai mode of action tersebut membantu ekstrak rempah-rempah dimanfaatkan dan
diterapkan pada makanan. Alicin, yang merupakan senyawa aktif dari homogenate
hancuran bawang putih, mempunyai berbagai aktivitas antimikrobia (Ankri dan
Mirelman, 1999). Alicin murni memperlihatkan: 1) aktivitas antibakteri terhadap bakteri
Gram-positip dan Gram-negatif termasuk strain enterotoksigenik Escherichia coli, 2)
aktivitas antijamur, terutama terhadap Candida albicans, 3) aktivitas antiparasit,

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 12


termasuk parasit protozoa seperti Entamoeba histolytica dan Giardia lambia, dan 4)
aktivitas antiviral.

Sifat Repelen terhadap Serangga

Rempah herbal mempunyai sifat repelen atau penolakan terhadap beberapa jenis
serangga. Kemampuan repelen diperlihatkan terhadap hama gudang dari biji-bijian dan
kacang-kacangan. Rempah herbal juga dapat digunakan sebagai repelen nyamuk.
Ekstrak sereh mempunyai kemampuan sebagai repelen beberapa serangga, seperti
nyamuk, lalat dan kecoak. Minyak atsiri yang diekstrak dari daun sereh mempunyai
efikasi yang lebih baik terhadap ulat bulu dibandingkan dengan minyak atsiri yang
diekstrak dari cengkeh, jahe dan pala (Sumiarta dan Sudiarta, 2011), walaupun semua
minyak atsiri yang dicoba dapat membunuh ulat bulu pada konsentrasi yang tinggi
(10%). Minyak atsiri sereh dapur pada konsentrasi 1% dapat membunuh ulat bulu
sebanyak 98%, dan pada konsentrasi 0,5% dapat membunuh ulat bulu sebanyak 90%.
Minyak atsiri basil dan alkaloid piperidine yang diekstrak dari lada juga dapat digunakan
sebagai repelen nyamuk.

Kasiat Obat-obatan

Penggunaan obat herbal merupakan tradisi lama yang dilanjutkan sampai saat ini dalam
pengobatan modern dan terus menunjukkan peningkatan apresiasi masyarakat dunia.
Di Asia, pengobatan semacam ini meliputi obat tradisional Cina, obat Jepang-Cina
(kampo), obat Korea-Cina, obat tradisional Indonesia (jamu), dan obat tradisional India
(ayurweda). Di Eropah ditemukan fitoterapi dalam pengobatan dan di Amerika dikenal
sebagai pengobatan alternatif. Gabungan pengobatan alternatif dan pengobatan
konvensional disebut dengan integrative medicine. Penggunaan obat herbal banyak
menarik perhatian masyarakat yang berpendidikan maupun professional kesehatan,
namun masih ada hal yang membingungkan mengenai identifikasi, efikasi, dosis
pengobatan, toksisitas, standarisasi dan regulasi berhubungan dengan produk herbal.
Sudah banyak penelitian dalam ruang lingkup penggunaan bahan herbal sebagai
pengobatan tradisional, dan juga pendekatan yang baik untuk mengembangkan obat-
obatan baru serta perbaikan perencanaan kesehatan (Gupta, 2010).

Secara tradisional, sejak lama herbal dan rempah-rempah digunakan sebagai obat.
Jamu-jamuan banyak dibuat dari ekstrak herbal maupun rempah-rempah dan beberapa
bubuk rempah dapat digunakan untuk pengobatan penyakit ringan. Demikian pula

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 13


secara modern banyak dikembangkan bahan farmasi dari ekstrak herbal dan rempah-
rempah.

Obat-obatan herbal diketahui banyak mengandung berbagai jenis antioksidan. Hasil


studi herbal Cina menunjukkan kandungan senyawa flavonoid, lignin, bisbenzyl,
coumarine, dan terpen (Ng et al., 2000). Senyawa flavonoid merupakan senyawa
pigmen aromatik yang ditemukan dalam tanaman berwarna hijau dan termasuk
senyawa chalcone, flavanone, flavone, biflavonoid, dihydroflavonole, anthrocyanidine,
dan flavonole. Dilaporkan pula bahwa di Meksiko herbal banyak digunakan untuk
pengobatan berbagai penyakit seperti infeksi, arthritis, kelainan jantung, sakit kepala,
demam, astma dan sakit datang bulan. Setelah dilakukan analisis terhadap komponen
bioaktif, ternyata herbal tersebut banyak mengandung antioksidan yang berkisar antara
27 sampai 972 µmol ekivalen Trolox per gram berat kering (VanderJagt et al., 2002).
Namun demikian, selain antioksidan, hasil studi juga menunjukkan bahwa senyawa-
senyawa yang terkandung di dalam herbal dan rempah-rempah juga berfungsi sebagai
antimikrobia, antikanker, antimutagenik, antidiabetes dan lain sebagainya.

Hasil studi mengenai kandungan metabolit di dalam lada atau merica menunjukkan
bahwa lada atau merica merupakan ingredient yang banyak digunakan di dalam
makanan yang dapat meningkatkan citarasa makanan. Selain itu, di dalam lada dan
merica terkandung beragam metabolit yang mempunyai aktivitas antioksidan,
hypoglikemik, immunogenic, antihypertensive, antikolesterol, antiimplammatory, dan
antimutagenik (Kwon et al., 2007; Menichini et al., 2009).

Daftar Pustaka

Berger, R.G. 2009. Biotechnology of citarasa – the next generation. Biotechnol. Lett. 31:
1651-1659.
Gupta, V.K. 2010. Comprehensive Bioactive Natural Products, Volume 3 : Efficacy,
Safety and Clinical Evaluation II. Texas, USA: Global Media, p 134.
Joe, B., Vijaykumar, M. dan Lokesh, B.R. 2004. Biological properties of curcumin:
celluler and moleculer mechanisms of action. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 44: 97-111.
Kwon, Y.I. , Apostolidis, E. and Shetty, K. (2007) Evaluation of pepper (Capsicum
annuum) for management of diabetes and hypertension. Journal of Food
Biochemistry 31, 370-385.
Menichini, F., Tundis, R., Bonesi, M., Loizzo, M.R., Conforti, F., Statti, G., De Cindio, B.,
Houghton, P.J. and Menichini, F. (2009) The influence of fruit ripening on the
phytochemical content and biological activity of Capsicum chinense Jacq. Cv
Habanero. Food Chemistry 114, 553-560.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 14


Miron, T., Rabinkov, A., Mirelman, D., Wilchek, M., and Weiner, L. 2000. The mode of
action of allicin: its ready permeability through phospholipid membrans may
contribute to its biological activity. Biochimica et Biophysica Acta. 1463: 20-30.
Navarro, J. M., Flores, P., Garrido, C. dan Martinez, V. 2006. Changes in the contents of
antioxidant compounds in pepper fruits at different ripening stages, as affected by
salinity. Food Chem. 96: 66-73.
Ng TB, Liu F, and Wang ZT. 2000. Antioxidative activity of natural products from plants.
Life Sci 66:709–23.
Parthasarathy, V.A., Chempakam, B. dan Zachariah, T.J. 2009. Chemistry of Spices.
Biddles Ltd, King’s Lynn. UK
Ravindran, P. N. and Pillai, G. S. 2004..Under-utilized herbs and spices di dalam
Handbook of Herbs and Spices (Peter, K.V, Ed.). Cambridge, , GBR: Woodhead
Publishing, Limited. London.
Rice-Evans, C.A., Miller, N.J., dan Paganga, G. 1997. Antioxidant properties of phenolic
compounds. Trends in Plant Science Reviews. 2(4): 152-159.
Srinivasan, K. 2005. Role of spices beyond food citarasaing: nutraceuticals with multiple
health effects. Food Rev. Int. 21: 167-188.
Sumiartha, K. dan Sudiarta, P. 2011. Efficacy of some essential oil extracted from
tropical plants to hairy caterpillar. Year 2011 Report of Tropical Plant Curriculum
Project. Agrilife Texas A&M University – Udayana University.
Suresh, D;Srinivasan, K. 2006. Influence of curcumin, capsaicin, and piperine on the rat
liver drug-metabolizing enzyme system in vivo and in vitro. Canadian Journal of
Physiology and Pharmacology . 84: 1259-1265
VanderJagt, T.J., R. Ghattas, D.J VanderJagt, M. Crossey, and R.H Glew. 2002.
Comparison of the total antioxidant content of 30 widely used medicinal plants of
New Mexico. Life Sci. 70: 1035-1040.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 15


II. SENYAWA AROMA DAN CITARASA DARI REMPAH-
REMPAH DAN HERBAL

Bagian ini memberikan pemahaman kepada pembaca/mahasiswa mengenai jenis-


jenis senyawa aroma dan citarasa yang bersumber dari tanaman (herbal dan
rempah-rempah). Pembaca/mahasiswa juga diberikan penjelasan mengenai
karakteristik senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai aroma dan citarasa.

Pendahuluan

Senyawa aroma adalah senyawa kimia yang memiliki aroma atau bau. Sebuah senyawa
kimia memiliki aroma atau bau ketika dua kondisi terpenuhi yaitu (1) senyawa tersebut
bersifat volatil, sehingga mudah mencapai sistem penciuman di bagian atas hidung, dan
(2) perlu konsentrasi yang cukup untuk dapat berinteraksi dengan satu atau lebih
reseptor penciuman. Senyawa aroma dapat ditemukan dalam makanan, anggur,
rempah-rempah, parfum, minyak wangi, dan minyak esensial. Disamping itu senyawa
aroma memainkan peran penting dalam produksi penyedap, yang digunakan di industri
jasa makanan, untuk meningkatkan rasa dan umumnya meningkatkan daya tarik produk
makanan tersebut. Senyawa aroma lebih berperan dalam memberikan aroma pada
produk terutama digunakan untuk pengharum ruangan, pembersih, kosmetik.

Senyawa citarasa adalah senyawa yang dapat memberikan citarasa tertentu pada saat
dicampur dengan bahan pangan ataupun tanpa dicampur. Senyawa citarasa biasa juga
disebut senyawa flavor. Penggunaan senyawa citarasa lebih banyak ditujukan untuk
meningkatkan kesukaan pada produk makanan. Meskipun penggunaan senyawa aroma
dan citarasa berbeda penekanannya namun sifat-sifatnya dan cara ekstraksi dari
sumbernya mempunyai kesamaan. Sumber sebagian besar senyawa aroma dan
citarasa adalah minyak atsiri.

Citarasa

Salah satu faktor yang menentukan kualitas makanan adalah kandungan senyawa
citarasa. Senyawa citarasa merupakan senyawa yang menyebabkan timbulnya sensasi
rasa (manis, pahit, masam, asin), trigeminal (astringent, dingin, panas) dan aroma
setelah mengkonsumsi senyawa tersebut (Fisher dan Scott, 1997). Pada makanan atau
minuman yang tidak atau sedikit mempunyai citarasa sering ditambahkan senyawa
citarasa tertentu, untuk meningkatkan kualitas rasa dan aromanya. Senyawa citarasa

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 16


dapat berasal dari bahan sintetik ataupun bahan alami. Bahan alami dapat berupa
bagian akar, batang, biji, bunga atau daun tanaman yang selanjutnya diisolasi senyawa
citarasanya. Daun tanaman yang sering digunakan sebagai pemberi citarasa antara lain
selasih, kemangi, jeruk purut dan salam.

Definisi citarasa tergantung pada sudut pandang pendefinisinya, yaitu yang pertama,
citarasa adalah persepsi biologis seperti sensasi yang dihasilkan oleh materi yang
masuk ke mulut, dan yang kedua, citarasa adalah karakter/sifat bahan yang
menghasilkan sensasi. Citarasa terutama dirasakan oleh reseptor aroma dalam hidung
dan reseptor rasa dalam mulut (Fisher dan Scott, 1997).

Senyawa citarasa merupakan senyawa atau campuran senyawa kimia yang dapat
mempengaruhi indera tubuh, misalnya lidah sebagai indera pengecap. Pada dasarnya
lidah hanya mampu mengecap empat jenis rasa: yaitu pahit, asam, asin dan manis.
Selain itu citarasa dapat membangkitkan rasa lewat aroma yang disebarkan, lebih dari
sekedar rasa pahit, asin, asam dan manis. Lewat pencitarasa atau proses pemberian
aroma pada suatu produk pangan, lidah dapat mengecap rasa lain sesuai aroma yang
diberikan. Semua citarasa tidak tersedia dengan sendirinya, tetapi melewati proses yang
rumit, diantaranya proses distilasi. Sejalan dengan semakin canggihnya teknologi,
industri citarasa kini mampu menciptakan dan menghasilkan produk yang kisarannya
mulai dari 100% alami sampai 100% sintetis (AFFI, 2007a).

Penggunaan produk industri citarasa hanya sedikit sekali dalam produk- produk pangan
dan non pangan, meskipun demikian citarasa tersebut besar peranannya dalam
menentukan kualitas hasil akhir yang digunakan masyarakat sehari-hari. Mie instant, es
krim dan berbagai jenis makanan, kualitasnya banyak dipengaruhi produk citarasa.
Produk citarasa pada dasarnya hanya merupakan bahan baku, dan bukan produk akhir,
oleh karena itu sering luput dari perhatian masyarakat. Peran produk citarasa cukup
besar dalam menentukan minat beli konsumen, sehingga citarasa banyak digunakan
untuk menghasilkan berbagai produk dibidang industri makanan, minuman, farmasi dan
kesehatan (AFFI, 2007b).

Citarasa diklasifikasikan menjadi tiga yaitu sensasi rasa (taste), trigeminal dan aroma
(odour). Sensasi rasa dibagi menjadi empat yaitu asin, manis, masam dan pahit, sensasi
trigeminal dideskripsikan sebagai astrigent, pedas dan dingin. Sensasi rasa dan
trigeminal kebanyakan dihasilkan oleh bahan non volatil, polar dan larut dalam air,
sedangkan sensasi aroma dihasilkan oleh senyawa volatil. Selain itu citarasa

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 17


diklasifikasikan berdasarkan sumbernya diantaranya citarasa buah, citarasa sayur,
citarasa rempah, citarasa daging. Citarasa rempah meliputi aromatic herbs yaitu daun
tanaman yang mengandung senyawa volatil (Fisher dan Scott, 1997).

Industri citarasa memegang peranan penting dalam perkembangan dan kesuksesan


industri makanan dan minuman. Klasifikasi citarasa yang paling umum adalah
berdasarkan keaslian dari senyawanya yaitu terdiri atas natural citarasa ; natural dan
artificial citarasa dan artificial citarasa. Bahan-bahan alami yang digunakan untuk
formulasi citarasa adalah isolat minyak atsiri, kombinasi minyak atsiri dengan ekstrak
bahan khusus tertentu, produk hasil proses yang melibatkan reaksi biologis seperti
fermentasi, produk proses hidrolisis, dan produk hasil proses kimia seperti pemasakan,
pemanggangan, pencoklatan dan esterifikasi. Proses untuk memproduksi dan
mengisolasi senyawa tersebut memegang peranan penting dalam manufakturing
citarasa (Ojha, Singh dan Traci, 1995).

Industri citarasa dimulai pada akhir abad ke-19 dan meningkat selama awal abad ke-20
dengan meningkatnya riset mengenai isolasi dan identifikasi senyawa mayor dalam
minyak atsiri. Sumber utama bahan baku industri citarasa adalah minyak atsiri hasil
distilasi dan ekstraksi tanaman (Wright, 2002). Selanjutnya dinyatakan bahwa senyawa
citarasa dapat berbentuk padat maupun cairan dan dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:

(1) Water-soluble liquid flavours, merupakan tipe citarasa yang paling umum. Dibuat
dengan cara melarutkan senyawa citarasa dan senyawa alami dalam pelarut
sederhana seperti propilenglikol, triasetin atau alkohol dengan penambahan air bila
diperlukan.

(2) Clear water-soluble liquid flavours, banyak digunakan untuk citarasa cola yang
menginginkan produk akhir nampak jernih.

(3) Oil-soluble liquid flavours, digunakan bila produk akhir adalah minyak atau lemak
dan tidak mentolelir adanya air. Pelarut yang dapat digunakan adalah minyak nabati
alami atau sintetis (medium-chain triglyceride), benzil benzoat trietil sitrat dan minyak
atsiri seperti minyak lemon.

(4) Emulsion-based flavours, seperti minyak jeruk yang sering digunakan untuk
memberikan kekeruhan (cloud) pada minuman

(5) Dispersed flavours, merupakan tipe umum, murah dan menyenangkan karena
disajikan dalam bentuk bubuk tetapi memiliki umur simpan pendek. Bila semua

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 18


bahan berbentuk padat, penggunaannya dengan mencampur semua bahan dan
dilarutkan dengan pembawa (carrier) seperti laktosa.

(6) Spray-dried flavours, dihasilkan dengan membuat emulsi dalam larutan gum
kemudian dikeringkan dengan metode spray drying untuk menghasilkan bubuk.
Produk yang dihasilkan mempunyai citarasa yang kuat dan stabil.

Minyak Atsiri

Minyak atsiri atau minyak eteris (essential oil, volatil oil, etherial oil) adalah minyak
mudah menguap yang diperoleh dari tanaman dan merupakan campuran dari senyawa–
senyawa volatil yang dapat diperoleh dengan distilasi, pengepresan ataupun ekstraksi.
Minyak atsiri mempunyai sifat fisik dan kimia yang sangat berbeda dengan minyak
pangan (Ketaren, 1987; Boelens, 1997; Baser, 1999). Penghasil minyak atsiri berasal
dari berbagai spesies tanaman yang sangat luas dan digunakan karena bernilai sebagai
citarasa dalam makanan dan minuman serta parfum dalam produk industri, obat-obatan
dan kosmetik. Minyak atsiri tanaman diperoleh dari tanaman beraroma yang tersebar di
seluruh dunia (Simon, 1990). Dari 350.000 spesies tanaman yang ada, sekitar 17.500
(5%) spesies adalah tanaman penghasil senyawa beraroma dan sekitar 300 spesies
tanaman digunakan untuk memproduksi minyak atsiri untuk industri makanan, citarasa
dan parfum (Boelens, 1997).

Hampir semua tanaman berbau mengandung minyak atsiri. Tergantung pada tipe
tanaman, beberapa bagian tanaman dapat digunakan sebagai sumber minyak atsiri
misalnya buah, biji, bunga, daun, batang, akar, kulit kayu atau kayunya. Bahan baku
yang digunakan dalam pengolahan minyak atsiri dapat segar, setengah kering atau
kering, untuk bunga harus dalam bentuk segar. Beberapa metode digunakan untuk
mengisolasi minyak atsiri dari sumbernya (Sonwa, 2000).

Menurut Reineccius (1999) minyak atsiri terdiri atas campuran kompleks senyawa
organik yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

(1) Terpen yaitu senyawa hidrokarbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit isopren
(C5, n =1). Jika n = 2 maka hidrokarbon tersebut dikenal dengan monoterpen, jika n =
3 disebut seskuiterpen dan jika n = 4 disebut diterpen, juga dikenal triterpen (C30)
dan tetraterpen (C40). Meskipun jumlahnya signifikan dalam minyak atsiri tetapi
terpen hanya memiliki nilai citarasa yang kecil, bila dibandingkan dengan
oxygenated derivates.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 19


(2) Turunan terpen teroksidasi (oxygenated derivates) yaitu alkohol, aldehid, keton dan
ester. Senyawa tersebut memberikan kontribusi besar pada perbedaan citarasa
diantara minyak atsiri. Contoh senyawa ini diantaranya sitronelol, geraniol, nerol,
mentol, nerolidol, sitral.

(3) Senyawa aromatik dengan gugus fungsi yang bervariasi (alkohol, asam, ester,
aldehid, keton, fenol).

(4) Senyawa yang mengandung nitrogen atau sulfur. Senyawa ini tidak terdapat pada
kebanyakan minyak atsiri, biasanya terdapat pada tanaman yang mengandung
bahan albuminous diantaranya indol dan skatol.

Beberapa contoh senyawa dalam minyak atsiri dari berbagai sumber tanaman disajikan
pada Tabel 3 dan beberapa rumus bangunnya disajikan pada Gambar 2.

Golongan terpenoid merupakan senyawa yang paling banyak ditemukan pada minyak
atsiri. Terpenoid terbentuk oleh beberapa unit isopren yang berasal dari asetil Koenzim
A (KoA) dengan reaksi biosintesis melalui jalur asam mevalonat. Dua asetil KoA
membentuk asetoasetil KoA melalui reaksi Kondensasi Claisen. Asam asetoasetil KoA
yang terbentuk bergabung dengan asetil KoA membentuk glutarat KoA melalui reaksi
kondensasi aldol. Setelah glutarat KoA terbentuk terjadi pembentukan asam mevalonat
melalui reaksi hidrolisis dan reduksi. Enzim ortofosforilase mengkatalisis pembentukan
3,5-diortopirofosfomevalonat melalui reaksi fosforilasi, kemudian mengalami
dekarboksilasi dan defosforilasi membentuk isopentenil pirofosfat (IPP). IPP mengalami
isomerisasi menjadi dimetilalil pirofosfat (DMAPP). IPP adalah unit isoprena aktif yang
dapat bergabung secara kepala ke ekor (head to tail) dengan DMAPP membentuk
geranil pirofosfat (GPP) yang merupakan senyawa intermediet untuk monoterpen.
Proses tersebut dapat terus berlangsung dengan penambahan IPP terhadap GPP
dengan katalis enzim menghasilkan farnesil pirofosfat (FDP) yang merupakan senyawa
intermediet untuk seskuiterpen, begitu pula untuk pembentukan geranil-geranil pirofosfat
(GGPP) yang merupa kan senyawa intermediet untuk diterpen. Reaksi biosintesis
pembentukan terpenoid disajikan pada Gambar 2 (Kesselmeier dan Staudt, 1999).
Terpen yang telah terbentuk dapat mengalami perubahan akibat peristiwa reduksi,
oksidasi, esterifikasi dan siklisasi.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 20


Tabel 3. Komposisi minyak atsiri dari berbagai tanaman

Sumber tanaman Senyawa utama Metode separasi

Daun salam a. oktanal; 3,7-dimetil-1-oktena; a. Distilasi air1)


n-dekanal; - cis-4-dekanal; patkulen;
D-nerolidol; kariofilen oksida
b. ß-osimena; Oktanal; Cis-4- dekenal; b. Distilasi uap2)
Nonanal; α-humulena; α-pinena
Daun cengkeh a. eugenol; isokariofilen; α-kariofilen; a. tidak dijelaskan1)
eugenol asetat
b. eugenol; eugenol asetat; kariofilen b. tidak dijelaskan3)
c. eugenol; kariofilen; 14 senyawa c. Distilasi air4)
minor
Bunga cengkeh eugenol; eugenol asetat; isoptaldehid Distilasi uap5)
Daun jeruk purut sitronelal; linalool; sitronelil-asetat; Berbagai macam
sitronelol, geraniol separasi2)6
Daun pandan 2 metil pentana; 3 metil pentana; Ekstraksi pelarut7)
wangi n-heksana; 2,2 dimetil pentana;
metilsiklopentana;sikloheksana
Bunga kamboja undekana; dodekana; nonakosana; Ekstraksi pelarut 8)
cendana heptakosana; tetratetrakontana; trans-
geraniol; 2-heksil-1-dekanol; linalool
thiogeraniol; 1-eikosanol
1)
Agusta (2000); 2) Wartini (2007); 3) Nurdin et al. (2001); 4) Raina et al. (2001); 5) Geun
Lee dan Shibamoto (2001); 6) Wijaya (1995); 7) Saputra (2010); 8) Harland (2011).

Eugenol Kariofilen

Gambar 2. Rumus struktur eugenol dan kariofilen (Peerzada, 1997)

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 21


Gambar 3. Reaksi biosintesis terpenoid (Kesselmeier dan Staudt, 1999)

1. Keberadaan Minyak Atsiri dalam Tanaman

Minyak atsiri dibentuk dalam sitoplasma dan secara normal berbentuk butiran kecil
diantara sel dan bersifat volatil dan beraroma, tidak berwarna atau agak kuning dan
agak larut dalam air dan etanol (Sonwa, 2000). Guenther (1987) menyatakan bahwa
minyak atsiri yang kompleks dibentuk dari hasil ekskresi atau sekresi akibat proses
metabolisme tanaman. Selanjutnya dinyatakan bahwa vakuola dalam jaringan
tanaman berisi butiran-butiran minyak yang sulit dibedakan dari minyak atau lemak
pangan. Minyak tersebut dapat diselidiki dengan pewarnaan sudan dan asam osmat
dan perbedaannya dengan minyak pangan adalah minyak atsiri lebih aktif
membentuk warna dengan sudan. Sekresi minyak tampak di dalam kelompok sel
yang berbeda yaitu pada kelenjar eksternal dan internal. Kelenjar eksternal
merupakan sel-sel epidermis atau modifikasi dari sel epidermis, misalnya rambut-
rambut ekskresi. Hasil sekresi biasanya ditimbun di luar sel yang terletak diantara
kutikula dan dinding sel bagian luar. Kutikula adalah kulit tipis yang membungkus
produk yang dihaslkan dan mudah robek sehingga menghasilkan bau yang khas.
Kelenjar internal terdapat di seluruh bagian tanaman, dibentuk oleh endapan minyak

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 22


diantara dinding sel. Bila sel pecah (schizogenous) dan diikuti oleh kerusakan sel di
sekitarnya maka terjadi pembentukan kelenjar schizolysogenous, yang tumbuh
membentuk saluran panjang yang dibungkus oleh lapisan tipis di bagian dalam
dinding sel. Lapisan tipis tersebut mempunyai fungsi ganda yaitu memisahkan
jaringan dari minyak dan membentuk minyak serta resin. Bentuk tersebut terdapat
pada sel-sel epitel atau pada membran dan melalui dinding sel menuju ke bagian
dalam kelenjar.

Minyak atsiri dalam tanaman dikategorikan sebagai superficial oil dan subcutaneous
oil. Superficial oil dapat dilepaskan dengan mudah dari tanaman dengan menggosok
permukaan daun secara hati-hati dan biasa ditemukan pada tanaman dari famili
Labiate, Verbenaceae dan Geraniceae. Subcutaneous oil terkandung dalam sel
minyak, secretory cavities, osmophors, schizogenous, biasa ditemukan pada famili
Myrtaceae, Umbellifereae dan Gramineae. Minyak atisri yang tergolong
subcutaneous oil lebih sulit dilepaskan dari tanaman dibanding superficial oil dan
dapat dilepaskan dari tanaman dengan merusak jaringan sel. Pada tanaman,
kadang-kadang minyak atsiri terikat dengan gula dalam bentuk glikosida sehingga
untuk melepaskannya perlu proses hidrolisis (Baser, 1999).

2. Perlakuan terhadap Bahan Baku

Bahan baku minyak atsiri sebelum diekstrak dengan metode tertentu perlu mendapat
perlakuan pendahuluan tergantung dari bahannya. Perlakuan pendahuluan
diantaranya curing dan preparasi bahan (pengecilan ukuran).

a. Curing

Istilah curing digunakan untuk menyatakan perlakuan terhadap bahan antara


pemanenan sampai pengolahan, berhubungan dengan proses metabolisme bahan
tanaman yang masih hidup. Curing juga tercakup dalam proses penundaan,
penyimpanan dan pengeringan bahan yang seringkali dilakukan pada pengolahan
minyak atsiri karena terbatasnya kapasitas proses pengolahan. Proses oksidasi
merupakan dasar curing, yang menyebabkan perubahan fisik dan kimia pada bahan,
seperti tembakau dan vanili, yang berdampak pada citarasa karena selama proses
tersebut terjadi reaksi enzimatik (Abdullah dan Soedarmanto, 1986; Man dan Jones,
1995).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 23


Curing dibedakan menjadi empat metode yaitu air curing, sun curing, fire smoke
curing, dan flue curing. Metode air curing yaitu pengolahan daun segar dengan cara
mengangin-anginkan dalam ruangan yang teduh sehingga tidak terkena cahaya
matahari secara langsung (Setiawan dan Trisnawati, 1993). Perubahan yang terjadi
pada bahan tanaman setelah panen, akibat proses biokimia yang masih
berlangsung dan dapat menghasilkan senyawa yang disukai ataupun tidak disukai
(Cheetham, 2002).

Perubahan yang terjadi selama curing pada beberapa bahan dijelaskan sebagai
berikut:

a.1. Curing pada Tembakau

Pada curing daun tembakau, terjadi perubahan yang diharapkan yaitu


perubahan kadar air, perubahan warna hijau menjadi kuning dan coklat,
pemecahan protein menjadi asam amino, pati menjadi gula sederhana dan
asam-asam organik yang berdampak pada kualitas daun tembakau kering
(Abdullah dan Soedarmanto, 1986; Man dan Jones, 1995; Abubakar et al, 2003
dan Perdigon, 2006). Pada curing tembakau berlangsung aktivitas enzim malat
dehidrogenase, polifenol oksidase, diaforase, asam glikolat oksidase dan
glutamat dehidrogenase (Zelith and Zucker, 1958).

Perubahan warna daun selama curing kemungkinan disebabkan oleh dua hal
yaitu (1) proses oksidasi yang melibatkan enzim lipoksigenase, peroksidase dan
oksidase (Gross, 1991) dan (2) proses hidrolisis yang melibatkan enzim
klorofilase (Von Elbe and Schwartz, 1996) dan enzim magnesium deketalase
(Gross, 1991). Beberapa enzim yang terlibat dalam tahapan degradasi klorofil
yaitu tahap hidrolisis klorofil, pemindahan magnesium, modifikasi struktur cincin
tetrapirol dan akhirnya memecah cincin makrosiklik. Selain klorofilase dan
magnesium deketalase tidak ada enzim lain yang memiliki fungsi spesifik yang
berkaitan dengan metabolisme klorofil. Klorofilase mengkatalisis proses
hidrolisis ikatan ester antara residu 7-asam propionat pada cincin D dari sistem
makrosiklik cincin dan fitol, dalam klorofil dan feofitin. Magnesium deketalase
adalah enzim yang bertanggungjawab pada pemindahan ion Mg sentral. Hal ini
digambarkan dalam bermacam sistem dan menunjukkan pemindahan
magnesium dari klorofil dan klorofilid, tidak jelas mana langkah yang pertama
(Schoch dan Vielwerth, 1983 dalam Gross, 1991). Pemucatan klorofil terjadi

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 24


karena proses oksidasi yang melibatkan enzim lipoksigenase, peroksidase dan
oksidase (Gross, 1991). Mekanisme yang diduga sehingga warna hijau (klorofil)
berubah menjadi coklat (feofitin atau feoforbid) menurut Von Elbe and Schwartz
(1996) dapat dilihat pada Gambar 3.

Penurunan berat daun tembakau yang dicuring akibat kehilangan air berkisar
antara 60 sampai 80 % tergantung pada kondisi curing. Sebanyak 50% protein
dalam daun tembakau mengalami pemecahan selama curing menjadi asam
amino selanjutnya dipecah menjadi amonia. Pati diubah menjadi dekstrin dan
maltosa dan akhirnya monosakarida oleh enzim α-amilase. Sampai akhir curing,
kadar pati yang tersisa sebesar 3%. Perubahan asam organik selama curing
tembakau diantaranya asam sitrat dan asam malat meningkat tajam sedangkan
asam oksalat relatif stabil (Abubakar, 2003).

a.2. Curing pada Vanili

Curing merupakan salah satu proses dalam pengolahan vanili. Pada curing
vanili, terdapat 4 tahap (Gambar 4), yaitu: (1) Killing yaitu penghentian
pertumbuhan dan pemecahan struktur sel dari vanila melalui reaksi enzimatik,
(2) Sweating yaitu perubahan warna, pembentukan citarasa dengan pemecahan
karbohidrat dan asam organik serta pembentukan ester, eter dan resin (3)
Drying yaitu pengurangan kadar air sampai batas tertentu dengan jalan
penguapan tanpa merusak jaringan aslinya dan (4) Conditioning yaitu tahap
terjadinya reaksi kimia dan biokimia seperti esterifikasi, eterifikasi, degradasi
oksidatif, menghasilkan senyawa minyak atsiri yang menambah kualitas
citarasa. Perubahan citarasa dan komposisi kimia pada curing vanili disebabkan
terjadinya reaksi hidrolisis, oksidasi, eterifikasi atau esterifikasi (Ranadive,
1994).

Vanilin merupakan senyawa terpenting yang menyumbangkan citarasa pada


vanili. Pada vanili segar senyawa aroma terdapat sebagai glukosida. Selama
curing berlangsung, terjadi pelepasan aglikon sehinga glukovanilin diubah
menjadi vanilin dengan adanya enzim β-glukosidase (Ranadive, 1994; Dignum
et.al., 2002). Peerubahan glukovanilin menjadi vanilin disajikan pada Gambar 5.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 25


a.3. Curing pada bahan baku penghasil minyak atsiri

Perubahan yang terjadi selama curing bahan penghasil minyak atsiri antara lain
perubahan kadar air, perubahan jenis dan kadar senyawa citarasa.

CH3 CH3

H3C CH3 CH3 CH3


enzim H3C
H3C CH3 CH3

H3C CH3
CH3

CH3
HO
klorofil CH3 klorofilid
CH3 CH3 CH3 CH3

-Mg2+ CH3 CH3 CH3 CH3 -Mg2+


H3C OH
fitol
CH3 CH3

H3C CH3 CH3


CH3
H3C CH3
H3C CH3
H

CH3 H3C CH3

CH3
O
CH3 CH3 CH3 CH3 HO
CH3
feofitin feoforbid
Gambar 4. Proses degradasi klorofil (Von Elbe and Schwartz,1996).

O O
C C
H H
β - Glukosidase

(Curing)
OCH3 OCH3

O OH

Glu

Glukovanilin Vanilin

Gambar 5. Perubahan glukovanilin menjadi vanilin selama


curing (Ranadive, 1994; Dignum et al., 2002).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 26


Penguapan air dan senyawa volátil. Penguapan air terjadi secara bertahap
bersamaan dengan menguapnya senyawa yang mudah menguap termasuk
senyawa citarasa. Proses penguapan air dan senyawa volatil dapat terjadi
karena selama curing atau pengeringan daun, sel epitel daun mengalami retak
dan pecah. Hal tersebut terbukti pada hasil pengamatan permukaan daun
menggunakan scanning electron microscopy (SEM) pada daun spearmint (Diaz-
Maroto et al., 2003) dan daun sweet basil (Yousif et al., 1999). Kehilangan
minyak atsiri selama curing akibat terjadinya proses oksidasi dan resinifikasi.
Pengeringan alami tanaman Lippia scaberrima Sond. pada kondisi ruang
(temperatur 24 – 27 0C, kelembaban relatif 30 – 50%) menyebabkan penurunan
berat rata-rata berturut-turut sebesar 47,6% dan 58,9% setelah 48, 96 jam dan
konstan setelah pengeringan 144 jam (Combrink et al., 2006).

Perubahan senyawa citarasa. Senyawa citarasa merupakan metabolit


sekunder yang dapat mengalami transformasi ataupun degradasi yaitu
modifikasi (substitusi dan hidrogenasi diantaranya epoksidasi, metilasi dan
hidroksilasi), penataan ulang (rearrange-ment) dan degradasi menjadi metabolit
primer (Luckner, 1984). Perubahan posisi ikatan rangkap mudah terjadi dalam
minyak atsiri tanaman diantaranya terjadi pada terpen (osimen dan mirsen),
aldehid (sitronelal dan sitral) dan golongan alkohol siklik (geraniol dan linalool)
(Gambar 6) (Guenther, 1987).

OH
isomerisasi

OH

Geraniol Linalool
Gambar 6. Reaksi isomerisasi geraniol dan linalool (Guenther,1987)

Perubahan yang terjadi pada senyawa citarasa pada tanaman selama


pengeringan alami ataupun curing antara lain kehilangan senyawa volatil,
peningkatan senyawa tertentu yang sudah ada ataupun pembentukan senyawa
baru akibat proses oksidasi, hidrolisis bentuk glikosida ataupun pelepasan
senyawa akibat pecahnya dinding sel (Diaz-Maroto et al., 2002a; Diaz-Maroto et
al., 2002b). Salah satu contoh adalah terjadinya pembentukan (biosintesis)
senyawa oktanal (Gambar 7). Lukcner (1984) menyatakan senyawa aldehid

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 27


dibentuk dari asam lemak melalui jalur β-oksidasi. Asam lemak bebas seperti
asam nonanoat mengalami degradasi menjadi suatu molekul yang mempunyai
radikal hidrogen pada atom karbon posisi β dalam bentuk intermediet (I).
Intermediet (I) akan membentuk asam-2-hidroperoksi nonanoat, dengan
penambahan radikal OOH. Asam-2-hidroperoksi nonanoat mengalami reaksi
dekarboksilasi menjadi senyawa aldehid (oktanal), CO2 dan H2O.

O
O
.
OH
OH
H
asam nonanoat
I

O
O
CO2 H2O OH
+ +
H
O OH

oktanal asam 2-hidroperoksi nonanoat

Gambar 7. Reaksi biosintesis oktanal (Lukcner, 1984)

Pembentukan senyawa golongan alkana dan alkena dalam bahan tanaman


dapat terjadi melalui reaksi dekarboksilasi asam lemak jenuh dan tidak jenuh
yang kemungkinan melibatkan mekanisme α-oksidasi dan asam α-hidroksi
sebagai intermediet (Luckner, 1984). Reaksi biosintesis alkana disajikan pada
Gambar 8. Pelepasan maupun pengambilan gugus karboksilat pada molekul
alami dengan cara pemecahan maupun pembentukan ikatan karbon-karbon
dioksida sering terjadi pada metabolisme sekunder (Manitto, 1992).

CH3–(CH2)13–CH2–(CH2)13–CH2–COOH CH3–(CH2)13–CH2–(CH2)13–CH3 + CO2


Asam triakontanat nonakosana
Gambar 8. Reaksi biosintesis alkana (Lukcner, 1984)

Beberapa daun yang memiliki citarasa mint dikeringkan sebelum diisolasi


senyawa citarasanya. Daun tanaman lavender dan rosemary perlu dikeringkan
sebelum diisolasi senyawa citarasanya, karena selama proses tersebut
terjadi reaksi kimia seperti konversi enzimatik glikosida melitosida menjadi
glukosa dan asam koumarik. Pada tanaman yang lain seperti oak dan treemos,

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 28


senyawa volatilnya terbentuk setelah senyawa non volatil yang dikandungnya,
diantaranya derivat dimerik benzena dihidrolisis menjadi monomernya misalnya
atranorin diubah menjadi metil β-orsinil karboksilat (Boelens, 1997).

Hasil penelitian Ibanez et al.(1999) menunjukkan bahwa komposisi minyak atsiri


daun rosemary segar dan kering sangat berbeda. Senyawa utama minyak atsiri
yang dihasilkan dari daun rosemary segar yaitu kamfor (40%), 1,8-sineol (12%),
verbenon (9%), borneol (7%) dan bornil asetat (2,5%) sedangkan daun kering
hanya mengandung kamfor (9%), verbenon (16%) dan borneol (21%). Hal yang
menyebabkan perbedaan komposisi tersebut adalah penge-ringan
mengakibatkan terjadinya kerusakan dinding sel sehingga mempermudah
pelepasan senyawa volatil.

Komposisi senyawa volatil yang bertanggung jawab pada citarasa mengalami


perubahan akibat pengeringan secara alami terjadi pada beberapa daun
tanaman yaitu peningkatan senyawa 1,8-sineol dan limonen serta penurunan
seskuiterpen pada spearmint, (Diaz-Maroto et al., 2003), peningkatan eugenol
pada bay leaf (Diaz-Maroto et al., 2002a), peningkatan p-mentha-1,3,8-triena
pada parsley (Diaz-Maroto et al., 2002b) dan peningkatan metilkavikol pada
sweet basil (Yousif et al., 1999). Perubahan konsentrasi beberapa senyawa
volatil pada pengeringan bahan tersebut disajikan pada Tabel 4.

Hasil penelitian Combrink et al. (2006) pada pengeringan alami tanaman Lippia
scaberrima Sond. selama 4 hari, menunjukkan terjadi peningkatan persentase
relatif senyawa utama terpen yaitu limonen dan carvon, tetapi terjadi penurunan
persentase relatif humulen dan kariofilen. Peningkatan persentase relatif
limonen dan carvon disebabkan terjadinya reaksi kimia dan enzimatik selama
pengeringan sehingga senyawa terpen yang semula terdapat dalam bentuk
glikosida dapat dibebaskan. Penurunan persentase relatif humulen dan
kariofilen selama pengeringan diakibatkan terjadinya kerusakan glandular
trichomes sehingga senyawa tersebut menguap. Kerusakan glandular trichomes
dapat dibuktikan dengan pengamatan menggunakan Scanning Electron
Microscopy (SEM).

Pengaruh pengeringan pada pelepasan atau ketahanan senyawa volatil dalam


bahan tergantung pada senyawanya dan sifat bahannya (Venskutonis, 1997).
Pengeringan dapat mengakibatkan kehilangan senyawa volatil karena adanya

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 29


kerusakan dinding sel, peningkatan kadar senyawa akibat pembentukan
senyawa melalui reaksi oksidasi dan hidrolisis bentuk glikosida (Huopalahti et
al., 1985 in Diaz-Maroto et al, 2002b).

Tabel 4. Perubahan konsentrasi senyawa volatil pada beberapa bahan akibat


pengeringan alami
Konsentrasi
Bahan Senyawa (μg/g berat kering)
Segar Kering
Spearminta) α-pinen 307 407
sabinen 296 364
β-pinen 464 584
β-mirsen 325 361
1,8 sineol + limonen 6488 8319
cis-dihidrokarveol 1733 1561
cis-karveol 115 58
karvon 14399 15324
trans-hidrokarvil asetat 430 525
β-bourbon 303 225
β-kariofilen 543 406
epi- bisikloseskuipelandren 425 296
Bay leafb) α-pinen 338,2 355,3
sabinen 448,4 478,5
β-pinen 269,2 270,8
1,8 sineol 2515,8 2172,2
linalool 1822,6 1708,3
terpinen-4-ol 173,2 146,9
α-terpineol 308,7 278,6
borneol asetat 124,6 99,6
eugenol 222,5 451,0
terpinil asetat 602,5 318,6
metil eugenol 341,2 322,5
Parsleyc) β-phelandren 518 476
α-terpinolen 117 83
miristin 264 191
apiol 810 491
γ-kadiden 39 22
β-bisabolon 5 3
a) b) c)
Diaz-Maroto et al. (2003); Diaz-Maroto et al. (2002a); Diaz-Maroto et
al. (2002b)
Hasil penelitian Wijaya (1995) menunjukkan perlakuan pendahuluan pada daun
jeruk purut, yaitu penyimpanan irisan daun jeruk pada temperatur 26 oC selama
2, 4 dan 6 jam sebelum diekstrak, tidak memberikan hasil yang lebih baik
dibanding bahan segarnya. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan kandungan
senyawa volatil selama proses penyimpanan. Guenther (1990) menyatakan

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 30


bahwa penyimpanan daun Pimenta racemosa (Mill) selama 3 hari dalam
memproduksi minyak bay di Puerto Rico bertujuan untuk meningkatkan
rendemen dan mempermudah penanganan daun.

a.4. Curing pada Daun Salam

Penurunan berat. Penurunan berat daun salam selama proses curing terjadi
karena masih berlangsungnya proses metabolisme daun antara lain respirasi
dan penguapan air dan komponen volatil dari dalam daun. Penurunan berat
selama 2 dan 4 hari curing berturut-turut sebesar 24,4 dan 51,70 %.

Perubahan warna. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa


semakin lama proses curing, intensitas warna hijau daun salam berkurang dan
intensitas warna coklat bertambah (Gambar 9). Pengukuran warna secara
obyektif yang dinyatakan sebagai nilai L* = tingkat kecerahan, b* =
kecenderungan warna biru – kuning dan a* = kecenderungan warna hijau –
merah menunjukkan nilai a* semakin tinggi dengan makin lamanya proses
curing. Hal tersebut berkaitan dengan degradasi klorofil yang berwarna hijau
menjadi pheofitin yang berwarna coklat (Gross, 1991; Lawless and Heymann,
1998). Salah satu sifat terpenting klorofil adalah kelabilannya. Klorofil sangat
sensitif terhadap cahaya, panas, oksigen dan degradasi kimia (Gross, 1991).

(a) (b) (c)

Gambar 9. Warna daun salam hasil perlakuan curing


(a) 0 hari (b) 2 hari (c) 4 hari

Komposisi kimia dan ekstrak flavour daun salam hasil curing. Komposisi
kimia daun salam hasil curing dipengaruhi oleh perlakuan curing, menunjukkan
penurunan pada semua variabel (Tabel 5). Penurunan kadar pati dan gula
reduksi selama curing berkaitan dengan masih berlangsungnya proses

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 31


metabolisme yang melibatkan aktivitas enzim. Enzim diastase mengubah pati
menjadi dekstrin, disakarida dan akhirnya monosakarida. Monosakarida
selanjutnya dalam proses respirasi dioksidasi menjadi air, karbon dioksida dan
energi. Kadar total N menurun selama curing, berkaitan dengan penurunan
aktivitas beberapa enzim oksidatif seperti enzim malat dehidrogenase, polifenol
oksidase, diaphorase, asam glikolat oksidase dan glutamat dehidrogenase.
Pada curing tembakau terjadi kehilangan 2/3 kadar total N akibat penurunan
aktivitas enzim tersebut (Abubakar et al, 2003). Secara umum pada tanaman
setelah dipanen terjadi penurunan nyata pada gula terlarut, baik gula reduksi
maupun non reduksi akibat meningkatnya proses respirasi (Phan, 1987). Asam
organik menurun selama pelayuan pada kebanyakan jaringan, terutama akibat
oksidasi pada respirasi (Marten and Baardseth. 1987), sehingga terjadi
penurunan total asam dan peningkatan nilai pH.

Ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan pada proses curing daun
salam menunjukkan komposisi yang berbeda, tetapi secara organoleptik ekstrak
hasil curing 2 hari dan tanpa curing menunjukkan kesukaan aroma yang sama..
Komposisi ekstrak citarasa daun salam hasil curing disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5. Komposisi kimia daun salam hasil curing


Kadar Total
Kadar Kadar
Curing gula asam
pati total N pH
(hari) reduksi (mek/ml
(% bk) (% bk)
(% bk) NaOH)
0 22,98 0,15 2,78 0,26 4,67
2 17,73 0,11 2,47 0,17 4,89
4 12,33 0,06 1,98 0,06 5,28

b. Preparasi Bahan

Preparasi bahan dilakukan untuk mempermudah proses keluarnya minyak atsiri dari
bahan. Dalam tanaman, minyak atsiri terdapat dalam kelenjar minyak atau pada
bulu-bulu kelenjar dan dalam proses separasi dapat dikeluarkan melalui proses
difusi. Proses difusi berlangsung sangat lambat dan dapat dipercepat dengan
pengecilan ukuran bahan sebelum diproses. Pengecil-an ukuran bahan dapat
dilakukan dengan beberapa cara tergantung pada jenis bahan, misalnya pemukulan

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 32


(biji dan buah), penggilingan (buah Umbelliferous) dan perajangan (kayu cedar)
(Boelens, 1997; Sastrohamidjojo, 2004).

c. Metode Separasi Minyak Atsiri

Ada beberapa cara separasi minyak atsiri dan sangat menentukan jumlah dan jenis
senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri yang dihasilkan. Metode yang biasa
digunakan untuk separasi minyak atsiri antara lain distilasi air, distilasi uap-air dan
distilasi uap (Sastrohamidjojo, 2004). Guenter (1987) menyatakan bahwa beberapa
metode untuk memperoleh minyak atsiri adalah distilasi (dengan air, uap), ekstraksi
(dengan lemak dingin = enfleurasi, dengan lemak panas = maserasi dan dengan
pelarut mudah menguap). Disamping itu metode yang akhir-akhir ini dikembangkan
adalah ekstraksi cairan superkritis CO2 (supercritical fluid extraction = SFE). Metode
ini memerlukan investasi yang sangat besar sehingga hanya diterapkan pada bahan
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (Ojha et al., 1995). Enfleurasi dan maserasi
jarang dilakukan karena memerlukan waktu lama dan hanya cocok untuk tanaman
tertentu misalnya bunga yang membentuk minyak setelah dipetik seperti melati.
Selain itu, proses ini sering menghasilkan produk yang masih mengandung lemak
sehingga mudah tengik. Distilasi dan ekstraksi dengan pelarut mudah menguap atau
kombinasi keduanya merupakan metode yang paling umum digunakan (Guenter,
1987). Metode yang banyak digunakan dalam isolasi senyawa citarasa adalah
distilasi-ekstraksi simultan (simultaneous distillation-extraction) karena mempunyai
kelebihan dalam mengekstrak senyawa citarasa dibanding metode isolasi yang lain
(Parliament, 1997).

Tabel 6. Komposisi ekstrak citarasa daun salam hasil curing*


% Relative Area
No. Senyawa Lama curing (hari)
0 2 4
1. Sikloheksana 0,53 0,54 2,07
2. Toluena tt 0,48 0,67
3 Cis-3-heksena-1-ol 0,67 tt tt
4. 1,2 dimetil benzena tt 0,90 0,49
5. n-heksanol tt 1,53 0,34
6. 1,3-dimetil benzena tt 0,35 0,32
7. 2,2-dimetil pentanal 0,21 tt tt
8. 4,4-dimetil-1-heksena 0,27 0,20 tt
9. Oktanal 29,60 26,85 32,09
10. Heksil asetat 0,44 0,30 tt
11. α- osimen 32,00 44,09 40,62

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 33


Tabel 6. Lanjutan.
% Relative Area
No. Senyawa Lama curing (hari)
0 2 4
12. ß-osimen 1,70 1,59 1,51
13. Dodekana tt 0,20 0,17
14. Nonanal 0,47 0,42 0,37
15. 3,4-dimetil-2,4,6-oktatriena 1,01 1,54 1,44
16. Cis-4-dekenal 5,78 4,04 4,05
17 Dekanal 3,55 2,47 2,72
18. Tridekana tt 0,13 tt
19. Heksil heksanoat 0,53 0,18 tt
20. α-kopaena 3,33 2,12 1,91
21. Aromadendrena 0,27 0,25 0,18
22. α-humulen 4,56 2,82 2,29
23. Alloaromadendrena 0,36 0,22 0,13
24. 1-kloro-heksadekana 0,87 0,59 0,51
25. Tidak teridentifikasi 0,21 tt tt
26. ß-kamigrena 2,67 1,64 1,64
27. ß-selinena 2,22 1,49 1,47
28. α-selinena 2,63 1,54 1,48
29. Germakrena 0,30 0,18 tt
30. Δ-kadidena 0,72 0,41 0,30
31. α-panasinsen 1,42 0,84 0,81
32. Nerolidol 2,36 1,42 1,47
33. 1-nonadekena 0,23 0,26 tt
34. Heksadekana 0,59 0,47 0,45
35. Karyofilena oksida 0,34 0,22 0,36
*Wartini et al. (2010); tt: tidak terdeteksi.

Pemilihan metode separasi yang digunakan untuk memperoleh minyak atsiri


menurut Ojha et al. (1995) didasarkan pada kevolatilan dan titik didih dari bahan
beraroma, stabilitas senyawa pada temperatur tinggi, kepolaran kompo-nen volatil,
konsentrasi dan distribusi senyawa volatil. Bahan beraroma bersifat volatil dan
sensitif terhadap panas dan reaktif, oleh karena itu pencegahan harus dilakukan
agar tidak terjadi reaksi bahan beraroma selama proses separasi.

Hasil penelitian metode separasi pada bahan baku citarasa menunjukkan bahwa
komposisi dan karakter ekstrak citarasa yang dihasilkan tergantung pada metode
separasi dan kondisi proses yang dilakukan, diantaranya pada daun jeruk purut
(Wijaya, 1995), daun dan bunga L. angustifolia Miller (Yusufoglu et al., 2004),
minyak daun rosemary (Boutekedjiret, Belabbes, Bentahar, Bessière dan Rezzoug,
2004), buah X. purpurascens Lallem (Ozek et al., 2006a), buah P. turcica (Ozek et
al., 2006b).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 34


Wijaya menyatakan bahwa ada perbedaan aroma dan komposisi senyawa volatil
pada ekstrak yang dihasilkan dengan metode separasi distilasi uap, distilasi air,
maserasi, perkolasi dan simultan distilasi-ekstraksi. Menurut Yusufoglu et al. (2004)
produk yang dihasilkan dari daun dan bunga L. angustifolia Miller dengan distilasi
uap mempunyai komposisi kimia, sifat fisik dan kimia yang berbeda dengan produk
yang dihasilkan dengan ekstraksi pelarut petroleum eter dan hal ini menentukan
penggunaan produk tersebut, apakah sebagai citarasa makanan, obat atau
kosmetik. Senyawa utama pada ekstrak daun L. angustifolia Miller dengan metode
distilasi uap yaitu 1,8-sineol (49,23%), kamfor (34,67%) dan isoborneol (4,60%)
cocok digunakan untuk bahan stimulating dan ekspektoran. Metode ekstraksi pelarut
menghasilkan ekstrak dengan senyawa utama 2,4-dimetil-7-etil-6,8-
dioksabisiklo[3.2.1]okt-3-ene (48,49%), triakontana (12,45%), dokosana (9,01%),
tetrakosana (4,72%) dapat digunakan sebagai kosmetik dan pembersih.

Hasil penelitian Ozek et al. (2006a) menunjukkan bahwa senyawa utama minyak
buah X. purpurascens Lallem yang diperoleh dari metode hidrodistilasi (HD) dan
mikrodistilasi (MD) agak mirip, yaitu sebagian besar terdiri atas monoterpen, seperti
α-felandren ( 32% dan 27%), β-felandren (22,8% dan 19,8%), limonen ( 5,3% dan
4,5%), p-simen ( 3,7% dan 2,8%) dan α-pinen (3,2% dan 2%). Senyawa yang
diperoleh dari metode microsteam distillation - solid phase microextraction (MSD-
SPME) berbeda dengan metode HD dan MD yaitu terdiri atas γ-elemen ( 5,3%),
elemen ( 2,66%), geranil asetat ( 2,76%) dan spatulenol ( 1,71%) ditemukan dalam
jumlah lebih tinggi. Minyak atsiri hasil separasi dengan metode HD, MD dan MSD-
SPME berturut-turut mengekstrak seskuiterpen sebanyak 13, 22 dan 28%.

Minyak atsiri dari buah P. turcica yang diperoleh dengan metode HD mengandung
senyawa utama α-humulen (11,0%), germakren (10,6%), naftalen (8,5%), terpinolen
(7,9%) dan bornil asetat (6,9%). Metode MD menghasilkan minyak atsiri dengan
kandungan utama p-simen (12,7%), terpinolen (11,2%), α-pinen (9,9%), naftalen
(7,9%), γ-terpinen (7,3%), α-humulen (7,9%) dan germakren (6,2%). Minyak atsiri
yang dihasilkan dengan metode MSD-SPME, mempunyai senyawa dominan yaitu
germakren (9,2%), naftalen (8,7%), bornil asetat (8,2%), α-humulen (7,1%) dan γ-
elemen (6,7%) (Ozek, 2006b).

Minyak rosemary diisolasi dengan tiga metode yang berbeda yaitu distilasi uap,
distilasi air dan controlled instantaneous decompression. Hasil analisis terhadap

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 35


minyak yang dihasilkan menunjukkan bahwa komposisi minyak yang diperoleh dari
distilasi uap mempunyai proporsi monoterpen hidrokarbon (antara lain pinen,
kamfen, mirsen) lebih tinggi sedangkan proporsi monoterpen teroksidasinya (antara
lain terpineol, linalool, kamfor, borneol) lebih rendah dibanding distilasi air. Hal
tersebut disebabkan selama proses distilasi air senyawa monoterpen tersebut
mengalami perubahan kimia dengan adanya air, terutama terjadinya reaksi hidrolisis
menghasilkan monoterpen teroksidasi (Boutekedjiret et al., 2004).

Ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari beberapa metode separasi
menunjukkan perbedaan komposisi seperti yang disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8
menunjukkan penggolongan senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam.

Tabel 7. Senyawa utama ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan


dari metode distilasi uap, distilasi air, distilasi-ekstraksi simultan*

Persentase relatif (% RA)


No. Distilasi-
Senyawa
Distilasi uap Distilasi air ekstraksi
simultan
1 Oktanal 6,97 14,01 11,31
2 Cis-4-dekenal 18,74 24,44 28,43
3 Dekanal 3,14 2,86 6,49
4 cis-3-heksenil 0,66 0,34 1,44
heksanoat
5 Kariofilen 3,16 2,56 5,92
6 α-humulen 2,06 2,34 9,20
7 Nerolidol 4,09 20,27 1,44
8 Sitronelol 4,27 16,65 1,39
9 α-bisabolol 4,63 4,54 2,74
10 Farnesol 16,95 1,89 0,93
11 β-mirsen 1,17 tt Tt
12 β-osimen tt tt 9,04
*Wartini et al. (2008); tt: tidak terdeteksi.

Ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dengan metode distilasi uap, distilasi air
dan distilasi-ekstraksi simultan sebagian besar terdiri atas senyawa alkanal terutama
cis-4-dekenal yaitu senyawa yang mempunyai aroma jeruk (Weast et al., 1985), dan
golongan terpen. Senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari
metode distilasi uap, distilasi air dan distilasi-ekstraksi simultan dapat digolongkan
menjadi golongan senyawa yang secara umum memberi kontribusi terhadap citarasa
ekstrak yaitu terpen dan non terpen. Golongan terpen terdiri atas monoterpen
hidrokarbon (β-osimen, β-mirsen), monoterpen teroksidasi (sitronelol, tujil alkohol),
seskuiterpen hidrokarbon (isokariofilen, trans-kariofilen, α-humulen, aromadendren, β-

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 36


kamigren, α-kopaen, farnesen), seskuiterpen teroksidasi (nerolidol, Δ-kadinol, β-
bisabolol, farnesol). Senyawa non terpen terdiri atas aldehid (oktanal, dekanal, cis-4-
dekenal), ester (cis-3-heksenil heksanoat, 5,10-asam undekadienoat).

Tabel 8. Penggolongan senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam yang


dihasilkan dengan metode distilasi uap, distilasi air dan distilasi-
ekstraksi simultan*

Persentase relatif (% RA)


Golongan senyawa
Distilasi uap Distilasi air Simultan
Monoterpen hidrokarbon 1,17 1,14 9,04
Monoterpen teroksidasi 5,44 18,31 1,39
Total monoterpen 6,61 19,45 10,43
Seskuiterpen hidrokarbon 11,55 5,53 19,99
Seskuiterpen teroksidasi 25,19 26,7 5,11
Total seskuiterpen 36,74 32,23 25,1
Aldehid 28,85 41,31 46,23
*Wartini et al. (2008)

Komparasi senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam. Hasil uji kesukaan
terhadap ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dengan metode distilasi uap,
distilasi air dan distilasi-ekstraksi simultan ditentukan oleh senyawa yang menyusun
ekstrak tersebut. Persentase relatif senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam
dan sifat organoleptik ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari beberapa
metode separasi disajikan pada Gambar 10 dan 11.

Ekstrak citarasa dengan tingkat kesukaan paling tinggi ditunjukkan dengan


kandungan monoterpen hidrokarbon dan aldehid yang tinggi (Gambar 10),
sedangkan senyawa seskuiterpen hidrokarbon dan monoterpen teroksidasi tidak
banyak mempengaruhi kesukaan. Tingkat kesukaan panelis terhadap ekstrak
citarasa daun salam hasil distilasi-ekstraksi simultan paling tinggi dibanding ekstrak
citarasa yang dihasilkan dari metode separasi yang lain karena adanya β-osimen
dalam ekstrak citarasa tersebut (Gambar 11). Senyawa β-osimen termasuk
monoterpen, banyak ditemukan pada sweet basil oil, mempunyai aroma seperti
jeruk, lemon, nanas dan sering digunakan sebagai citarasa dan

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 37


50
45

golongan senyawa penyusun / sifat


40
35
30
25
organoleptik
20
15
10
5
0
Distilasi uap Disilasi air Simultan
Metode separasi
Monoterpen hidrokarbon (%RA) Monoterpen teroksidasi (%RA)
Seskuiterpen hidrokarbon (%RA) Seskuiterpen hidrokarbon (%RA)
Aldehid (% RA)
Kesukaan aroma

Gambar 10. Persentase relatif golongan senyawa penyusun ekstrak


citarasa daun salam dan sifat organoleptik ekstrak citarasa daun
salam yang dihasilkan dari beberapa metode separasi

30
senyawa penyusun / sifat organoleptik

25
20
15
10
5
0
Distilasi uap Disilasi air Simultan
Metode separasi

Oktanal (%RA) cis-4-dekenal (%RA) Dekanal (%RA)

cis-3-heksenil heksanoat (%RA) Kariofilen (%RA) α-humulen (%RA)

Nerolidol (%RA) Sitronelol (%RA) α-bisabolol (%RA)

Farnesol (%RA) β-mirsen (%RA) β-osimen (%RA)

Kesukaan aroma

Gambar 11. Persentase relatif senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam
dan tingkat kesukaan ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan
dari beberapa metode separasi

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 38


parfum. Senyawa osimen sering ditemukan sebagai campuran bentuk α-osimen dan
β-osimen, bersifat tidak larut dalam air, larut dalam alkohol (Lewis, 1992; Weast dan
Lide, 1989). Disamping itu persentase relatif cis-4-dekenal yang tinggi juga
meningkatkan kesukaan panelis.

d. Distilasi

Distilasi dapat didefinisikan sebagai metode separasi yang didasarkan pada


perbedaan komposisi antara campuran cairan dan uap yang terbentuk. Perbedaan
komposisi menyebabkan perbedaan tekanan uap efektif atau volatilitas senyawa
dalam cairan (Sastrohamidjojo, 2004; Fair, 1987). Guenther (1987) dan Ojha (1995)
menyatakan distilasi adalah pemisahan senyawa-senyawa suatu campuran dari dua
jenis cairan atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat
tersebut. Distilasi dapat dilakukan jika titik didih senyawa-senyawa dalam campuran
memiliki perbedaan yang berarti (Sattler dan Feindt, 1995). Titik didih adalah
temperatur pada saat cairan berubah menjadi uap pada tekanan atmosfer atau
temperatur pada saat tekanan uap dari cairan tersebut sama dengan tekanan gas
atau uap yang berada di sekitarnya.

Dua macam distilasi yang dikenal dalam industri minyak atsiri yaitu distilasi dengan
uap dan distilasi dengan air. Selama proses distilasi kemungkinan terjadi
dekomposisi senyawa linalil asetat seperti yang terjadi pada distilasi daun lavender
(Reverchon dan Porta, 1995). Distilasi uap dan distilasi air sampai saat ini masih
merupakan proses yang paling penting untuk mendapatkan minyak atsiri dari
tanaman (Sonwa, 2000).

Pada dasarnya ada dua sistem distilasi (Sastrohamidjojo, 2004; Guenther, 1987)
yaitu:
1. Distilasi suatu campuran yang berwujud cairan yang tidak saling mencampur,
sehingga membentuk dua fasa atau dua lapisan. Keadaan ini terjadi pada
pemisahan minyak atsiri dan air. Distilasi dengan uap air sering disebut
hidrodistilasi, dilakukan dengan memanaskan bahan tanaman penghasil minyak
atsiri dengan air atau uap air.
2. Distilasi suatu cairan yang tercampur sempurna sehingga hanya membentuk
satu fasa. Pada keadaan ini pemisahan minyak atsiri menjadi beberapa
senyawanya disebut fraksinasi, bertujuan untuk memurnikan dan memisahkan
fraksi-fraksi minyak atsiri tanpa menggunakan uap air.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 39


e. Distilasi pada minyak atsiri

Sistem campuran air dan minyak atsiri membentuk cairan dua fasa. Pada temperatur
tertentu molekul-molekul cairan tersebut mempunyai energi tertentu dan bergerak
bebas secara tetap dengan kecepatan tertentu. Bila temperatur molekul naik dengan
cara dipanaskan maka tenaga gerak molekul akan bertambah. Molekul-molekul
selama bergerak akan saling bertumbukan. Di lapisan permukaan molekul-molekul
memiliki tendensi bergerak meninggalkan permukaan cairan masuk ke ruang di atas
cairan (molekul cairan berubah menjadi molekul uap). Molekul-molekul dalam
keadaan uap memiliki tenaga gerak lebih besar dibandingkan dalam keadaan cair.
Molekul-molekul uap selama bergerak juga saling bertumbukan dan kemungkinan
arah geraknya menuju kembali ke permukaan cairan. Pada suatu saat banyaknya
molekul yang lepas dari permukaan menjadi uap dan kembali ke fasa cairnya akan
sama jumlahnya (disebut pengembunan) sehingga tercapai keseimbangan dinamik.
Tekanan yang dihasilkan oleh uap pada distilasi minyak atsiri, merupakan hasil dari
benturan secara terus menerus antara molekul uap yang bergerak cepat pada
dinding pembatas uap tersebut. Besarnya tekanan yang terjadi sama dengan jumlah
tekanan yang ditimbulkan oleh satu molekul dikalikan dengan jumlah molekul yang
membentur dinding persatuan luas dalam satuan waktu tertentu dan tergantung
pada konsentrasi molekul atau konsentrasi uapnya. Pada distilasi minyak atsiri
dengan dengan sistem uap air atau air mendidih (hydrodistillation), tekanan dalam
ruang uap akan tetap konstan, karena uap berhubungan dengan atmosfer atau
ditentukan oleh alat kontrol yang dapat menaikkan dan menurunkan tekanan. Jika
minyak atsiri yang tidak larut dalam air dimasukkan dalam alat distilasi bersama-
sama dengan air maka tekanan dalam ruang uap lebih besar dari 1 atmosfer.
Karena ruang uap berhubungan dengan udara luar (atmosfer), maka tekanan akan
turun kembali mencapai tekanan atmosfer. Keadaan ini dapat berlangsung jika
temperatur turun secara otomatis. Jika temperatur cairan diturunkan, kecenderungan
molekul cairan menjadi fase uap juga menurun, sehingga konsentrasi molekul uap
juga berkurang, akibatnya tekanan uap juga turun. Temperatur akan turun sampai
pada keadaan tekanan total yang disebabkan oleh uap campuran sama dengan
tekanan pada saat operasi (tekanan atmosfer). Dengan demikian titik didih dari
setiap cairan dua fase akan selalu lebih rendah dari titik didih masing-masing cairan
murni pada tekanan yang sama. Salah satu contoh adalah air dan benzena masing-

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 40


masing mempunyai titik didih 100 0C dan 80 0C, merupakan dua macam cairan yang
tidak saling mencampur. Jika campuran kedua cairan tersebut dididihkan pada
tekanan atmosfer, uap akan dihasilkan secara konstan pada temperatur 690 C
selama kedua cairan tersebut masih ada dalam campuran. Jika salah satu dari
kedua cairan tersebut habis menguap maka temperatur akan naik mencapai titik
didih senyawa yang masih ada. Keadaan ini berlaku untuk semua senyawa yang
mudah menguap, dengan syarat senyawa tersebut tidak larut atau sedikit larut
dalam air dan tidak bereaksi dengan air.

Uap pada cairan dua fase terdiri dari dua macam molekul dan berada dalam
kesetimbangan. Jumlah tekanan uap campuran sama dengan jumlah tekanan dari
masing-masing molekul uap. Tekanan yang dihasilkan oleh uap murni pada
temperatur yang sama merupakan tekanan uap dari senyawa murni, sedang jumlah
tekanan uap dari campuran cairan sama dengan jumlah tekanan uap parsial.
Tekanan uap parsial adalah tekanan uap dari masing-masing senyawa dalam
campuran uap. Untuk setiap sistem cairan dua fase, tekanan uap parsial sama
dengan tekanan uap masing-masing senyawa.

Komposisi uap yang terbentuk dari dua macam campuran cairan, tergantung pada
tekanan uap parsial dari senyawa murni. Kalau senyawa A mempunyai tekanan uap
tinggi sedangkan B rendah, maka campuran uap sebagian besar akan terdiri dari
senyawa A. Perbandingan berat senyawa A dan B merupakan perbandingan antara
tekanan uap A dan B dikalikan dengan perbandingan berat molekul A dan B.
Peristiwa mendidih terjadi hanya jika jumlah tekanan parsial yang dihasilkan oleh
senyawa, sama dengan tekanan dalam ruang uap, oleh karena itu cairan heterogen
(dua fase) akan mendidih atau menguap pada suatu temperatur pada jumlah
tekanan uap sama, dibawah titik didih dari senyawa bertitik didih paling rendah.

Distilasi bahan tanaman memiliki hubungan erat dengan proses difusi, terutama
dengan peristiwa osmosis. Pertukaran uap dalam jaringan tanaman segar
didasarkan pada sifat permeabilitasnya dalam keadaan segar. Von Rechenberg
dalam Guenther (1987) menggambarkan proses hidrodifusi pada distilasi bahan
tanaman sebagai berikut : pada temperatur air mendidih, sebagian minyak atsiri larut
dalam air yang terdapat dalam kelenjar. Campuran air dan minyak atsiri berdifusi
keluar dengan peristiwa osmosis, melalui selaput membran sampai ke permukaan
bahan selanjutnya menguap. Untuk mengganti minyak yang menguap tersebut,

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 41


sejumlah minyak masuk ke dalam larutan dan menembus membran sel bersamaan
dengan masuknya air. Proses tersebut berlangsung terus sampai seluruh zat
menguap didifusikan dari dalam kelenjar minyak dan diuapkan bersama uap air
panas. Kecepatan menguapnya minyak atsiri dalam proses hidrodistilasi bahan tidak
dipengaruhi oleh sifat mudah menguapnya senyawa dalam minyak, tetapi lebih
banyak ditentukan oleh derajat kelarutannya dalam air.

e.1. Distilasi air

Pada distilasi air bahan kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut
mengapung di atas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobot
jenis dan jumlah bahan yang disuling. Air dipanaskan dengan metode
pemanasan yang biasa dilakukan yaitu dengan panas langsung, mantel
pemanas, pipa uap melingkar tertutup atau dengan pipa uap berlingkar terbuka
(Guenter, 1987). Distilasi air paling banyak digunakan untuk mengisolasi minyak
dari bunga (mawar, melati). Berat air yang digunakan sama dengan berat bahan
yang didistilasi dan minyak yang diperoleh kurang dari 0,1% (Boelens, 1997).

Dalam proses distilasi, bahan tanaman dan air diletakkan bersama-sama


selanjutnya campuran tersebut dipanaskan. Campuran uap dari air dan minyak
atsiri kemudian dikondensasikan. Pada proses distilasi air akan diperoleh
senyawa yang larut dalam air dan bertitik didih rendah, proses difusi uap air ke
dalam bahan berlangsung dengan baik, tetapi memiliki kelemahan yaitu
terjadinya hidrolisis dan dekomposisi senyawa hasil distilasi serta senyawa-
senyawa bertitik didih tinggi tidak terekstrak dan efisiensi proses rendah. Proses
distilasi ini biasanya kontinyu dalam waktu dua sampai tiga jam (Sonwa, 2000).
Distilasi air (hydrodisllation) paling banyak digunakan untuk mengisolasi minyak
dari bunga (mawar, melati). Berat air yang digunakan sama dengan berat bahan
yang didistilasi dan minyak yang diperoleh kurang dari 0,1% (Boelens, 1997).

Skema proses distilasi dengan air disajikan pada Gambar 12. Dalam proses ini
bahan tanaman dan air diletakkan bersama-sama di dalam bejana A,
selanjutnya campuran tersebut dipanaskan. Campuran uap dari air dan minyak
atsiri dikondensasikan dalam trap B dan dilewatkan pada lapisan hexana yang
melarutkan minyak, sedangkan air kondensasi kembali ke bejana A. Pada
proses distilasi air akan diperoleh senyawa yang larut dalam air dan bertitik
didih rendah, proses difusi uap air ke dalam bahan berlangsung dengan baik,

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 42


tetapi memiliki kelemahan yaitu terjadinya hidrolisis dan dekomposisi senyawa
hasil distilasi serta senyawa-senyawa bertitik didih tinggi tidak terekstrak dan
efisiensi proses rendah. Proses distilasi ini biasanya kontinyu dalam waktu dua
sampai tiga jam (Sonwa, 2000).

Gambar 12. Skema proses distilasi dengan air (Sonwa, 2000)

e.2. Distilasi uap

Distilasi uap merupakan proses untuk memisahkan dan memurnikan senyawa-


senyawa organik yang mudah menguap. Pada prinsipnya proses tersebut
menguapkan substansi dengan melewatkan uap melalui campuran senyawa
dan air. Distilasi uap terjadi pada temperatur dibawah titik didih air, bahkan pada
beberapa kasus jauh dibawah titik didih senyawa organik. Hal ini memberikan
kemungkinan untuk melakukan pemurnian senyawa bertitik didih tinggi dengan
distilasi temperatur rendah terutama untuk senyawa yang mengalami
dekomposisi apabila didistilasi pada tekanan atmosfer. Hal ini juga penting
dalam pemisahan senyawa organik yang diinginkan (Furniss et al., 1978).
Distilasi uap mempunyai kelebihan yaitu efisiensi proses lebih tinggi, temperatur
proses terkontrol di bawah atau sama dengan uap sehingga hidrolisis dan
dekomposisi senyawa lebih terkendali.

Proses distilasi dengan uap, menggunakan bejana penyulingan yang diisi bahan
tanaman. Uap mengalir melalui bagian bawah tanaman dan minyak menguap

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 43


bersama air. Campuran uap air dan minyak yang bergerak ke koil kemudian
didinginkan dengan air pendingin sehingga uap dikondensasikan. Campuran air
kondensasi dan minyak atsiri dikumpulkan dan dan dipisahkan dengan
dekantasi dan kadang-kadang dengan sentrifugasi atau jika perlu minyak
dibebaskan dari air dengan penambahan sodium sulfat anhidrat. Hal ini untuk
mencegah hidrolisis ester dan senyawa lainnya di dalam minyak, menjaga
aroma dan sifat-sifatnya (Sonwa, 2000).

Skema proses distilasi dengan uap disajikan pada Gambar 13. Proses
penyulingan dengan uap terdiri dari bejana penyulingan yang mengandung
bahan tanaman. Uap mengalir melalui bagian bawah tanaman dan minyak
menguap. Campuran uap air dan minyak yang bergerak ke coil selalu
didinginkan dengan air mengalir sehingga uap dikondensasikan. Campuran air
kondensasi dan minyak atsiri dikumpulkan dan dan dipisahkan dengan
dekantasi dan kadang-kadang dengan sentrifugasi. Jika perlu minyak
dibebaskan dari air yang terlarut dan tersuspensi dengan penambahan sodium
sulfat anhidrat. Hal ini untuk mencegah hidrolisis ester dan komponen lainnya di
dalam minyak, menjaga aroma dan sifat-sifatnya (Sonwa, 2000).

Gambar 13. Skema penyulingan dengan uap (Sonwa, 2000).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 44


e.3. Ekstraksi pelarut

Ekstraksi merupakan pemisahan senyawa tertentu dari campuran


menggunakan pelarut. Berbeda dengan proses separasi yang lain, ekstraksi
menghasilkan senyawa tidak murni, karena setelah proses tersebut senyawa
yang diinginkan masih tercampur dengan pelarut, beberapa jenis lilin, albumin
dan zat warna, sehingga diperlukan proses pemisahan dan pemurnian senyawa
misalnya rektifikasi. Ekstraksi sering dilakukan pada industri citarasa, dapat
dalam bentuk padat-cair atau cair-cair. Selama isolasi senyawa beraroma,
bahan alami diperlakukan dengan pelarut yang sesuai untuk mendapatkan
citarasa yang diinginkan dalam jumlah optimal (Furniss et al., 1978; Ojha et al.,
1995). Selanjutnya dinyatakan bahwa ekstraksi secara umum dapat
digolongkan menjadi dua yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat-cair. Pada
ekstraksi cair-cair, senyawa yang dipisahkan terdapat dalam campuran yang
berupa cairan, sedangkan ekstraksi padat-cair adalah suatu metode pemisahan
senyawa dari campurannya yang berupa padatan. Semakin banyak
pengulangan dalam ekstraksi, maka semakin besar jumlah senyawa yang
terekstrak dari campurannya atau efektivitas ekstraksi semakin tinggi, mengikuti
persamaan berikut (Vogel, 1978):

DxV
Xn = Xo ( )n
DxVxv

Keterangan: Xn = berat zat terlarut yang diperoleh (g)


Xo = berat zat terlarut yang diekstrak (g)
D = perbandingan distribusi kedua fase
V = volume larutan (mL)
v = volume pelarut (mL)

Cara ekstraksi senyawa padat-cair dengan prosedur klasik adalah


menggunakan ekstraksi kontinyu dengan alat ekstraktor Soxhlet menggunakan
pelarut yang berbeda-beda, misalnya eter, petroleum eter dan kloroform. Cara
kerja dengan ekstraksi pelarut menguap cukup sederhana yaitu bahan
dimasukkan ke dalam ketel ekstraktor. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam
bahan dan melarutkan minyak beserta beberapa jenis lilin, albumin, dan zat
warna (Guenther, 1987). Ekstrak yang diperoleh disaring dengan penyaringan

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 45


vakum, lalu dipekatkan dengan rotary evaporator vakum yang akan
memekatkan larutan tanpa terjadi percikan pada temperatur antara 30 sampai
40oC. Saat ini, monoterpen dan seskuiterpen diisolasi dari jaringan tanaman
dengan ekstraksi memakai eter, eter minyak bumi atau aseton (Harborne,
1987).

Cara lain yang dapat dilakukan adalah maserasi, yaitu menggunakan lemak
panas, dengan temperatur mencapai 80oC dan jaringan tanaman yang
dimaserasi dicelupkan ke dalamnya. Penggunaan lemak panas dapat
digantikan dengan pelarut organik yang volatil. Penekanan utama metode ini
adalah tersedianya waktu kontak yang cukup antara pelarut dengan jaringan
yang diekstrasi (Guenther, 1987).

Cara kerja ekstraksi dengan pelarut mudah menguap cukup sederhana yaitu
bahan dimasukkan ke dalam ekstraktor. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam
bahan dan melarutkan minyak beserta beberapa jenis lilin, albumin dan zat
warna. Larutan selanjutnya dipekatkan dan pelarut diuapkan (Guenther, 1987).
Minyak yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut mudah menguap biasanya
berwarna gelap karena mengandung pigmen alamiah yang tidak dapat
menguap, tetapi proses ini mempunyai keunggulan yaitu untuk bahan-bahan
tertentu mempunyai bau yang mirip dengan bau tanaman aslinya.

Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan secara batch atau kontinyu. Proses
batch cenderung kurang efisien dibanding proses kontinyu. Contoh proses
ekstraksi kontinyu pada bahan padat adalah dengan ekstraktor Soxhlet
sedangkan proses batch adalah maserasi yaitu merendam bahan dalam pelarut
selama waktu tertentu (Furniss et al., 1980). Untuk meningkatkan efisiensi
proses ekstraksi digunakan panas, contoh di laboratorium adalah ekstraksi
dengan Soxhlet (Ojha et al., 1995).

Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi harus memenuhi kriteria


sebagai berikut: melarutkan semua zat pemberi citarasa, titik didih cukup
rendah sehingga mudah diuapkan, tidak larut dalam air dan bersifat inert.
Pelarut yang memiliki sifat paling mendekati kriteria di atas adalah petroleum
eter, dengan titik didih 30-70 oC, sifat stabil, mudah menguap, selektif dalam
melarutkan zat. Petroleum eter terdiri dari beberapa fraksi hidrokarbon seperti
pentana, heptana, heksana dan sebagainya (Furniss et al., 1980).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 46


Produk yang dihasilkan dari proses ekstraksi dengan pelarut, mengandung zat
pewangi alamiah, sejumlah kecil lililin, albumin, pigmen dan dikenal dengan
nama concrete. Concrete mempunyai konsistensi padat dan hanya sebagian
yang larut dalam alkohol. Concrete dapat diproses lebih lanjut menjadi absolute,
dengan cara memisahkan fraksi lilin yang tidak larut dalam alkohol, kemudian
dilakukan penyaringan dan penguapan alkohol. Absolute mempunyai
kenampakan lebih jernih dibanding concrete (Guenther, 1987). Yusufoglu et al.
(2004), mengekstrak daun dan bunga tanaman L. angustifolia Miller
menggunakan petroleum eter pada temperatur 40-60oC selama 2 jam dalam
ekstraktor Soxhlet. Concrete yang dihasilkan berupa padatan berwarna hijau
gelap untuk bunga dan kuning gelap untuk daun. Selanjutnya concrete direflux
dengan alkohol absolut selama 2 jam, didiamkan selama 2 hari dan disaring.
Filtrat dievaporasi dan dihasilkan absolut yang berupa cairan kental berwarna
hijau jika dihasilkan dari bunga dan kuning dari daun. Skema proses ekstraksi
dengan pelarut disajikan pada Gambar 14.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 47


Gambar 14. Skema proses ekstraksi dengan pelarut (Anon., 2004d)

e.4. Distilasi-ekstraksi simultan

Salah satu teknik yang populer untuk mengisolasi senyawa citarasa adalah
distilasi-ekstraksi simultan yang pertama kali diperkenalkan oleh Likens -
Nickerson. Keuntungan dari teknik tersebut adalah proses pemisahan senyawa
volatil dan mengkonsentrasikannya dilakukan dalam satu operasi, volume
pelarut yang diperlukan sedikit, senyawa yang diambil lebih banyak dan sistem
bisa dilakukan pada tekanan yang dikurangi (Parliament, 1997). Skema proses
distilasi-ekstraksi simultan disajikan pada Gambar 15.

Prinsip proses distilasi-ekstraksi simultan adalah sebagai berikut: sampel


dipanaskan dalam labu distilasi bersama-sama dengan air, demikian juga
pelarut mudah menguap diipanaskan dalam labu pelarut. Uap yang dihasilkan
dari sampel diekstrak dengan uap pelarut di dalam kondensor dan membentuk
dua lapisan. Lapisan atas yaitu fraksi pelarut yang mengandung senyawa

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 48


citarasa selanjutnya mengalir ke labu pelarut sedangkan lapisan bawah yaitu
fraksi air kembali ke labu sampel. Pelarut yang mengandung senyawa citarasa
kemudian dihilangkan pelarutnya (Barcarolo et al., 1996). Metode distilasi-
ekstraksi simultan banyak digunakan untuk mengekstrak senyawa citarasa
(senyawa volatil) karena memberikan hasil yang lebih baik dibanding metode
yang lain (Choi, 2004; Diaz-Maroto, 2002; Pino and Marbut, 2001).

Gambar 15. Skema proses distilasi-ekstraksi simultan (Barcarolo et al., 1996)

Daftar Pustaka

Abdullah, A. dan Soedarmanto. 1986. Budidaya Tembakau. C.V. Yasaguna, Jakarta. h.


115 – 117.
AFFI. 2007a. Apa itu citarasa dan fragran.
http://www.affi.or.id/related2_id.php?PHPSESSID=afcca2821a296753ad92baf0b3f
241da. 21 Pebruari 2007.
AFFI. 2007b. Produk Industri Citarasa dan Fragran.
http://www.affi.or.id/related2_id.php?PHPSESSID=afcca2821a296753ad92baf0b3f
241da. 21 Pebruari 2007.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 49


Barcaloro, R., C. Tutta and P. Casson. 1996. Aroma Compounds in Handbook of Food
Analysis Vol.1. L.M.L.Nollet (Ed.). Marcell Dekker, Inc., New York, Basel. p. 1021 -
1022.
Baser, K.H.C. 1999. Essential oil extraction from natural product by conventional
methods. TBAM-ICS/UNIDO Training Course on Quality Improvement of Essential
oil. 15 – 19 November 1999. Eskisehir, Turkey.
Boelens, M.H. 1997. Production, Chemistry and Sensory Properties of Natural Isolates
in Flavours and Fragrances. K.A.D. Swift. The Royal Society of Chemistry. p. 77 -
79.
Boutekedjiret, C., R Belabbes, F. Bentahar, J-M Bessière, S. A. Rezzoug. 2004.
Isolation of rosemary oils by different processes.
Journal of Essential Oil Research : JEOR. 16 . (3) : 195 -199.
Cheetham, P.S.J. 2002. Plant-derived Natural Sources of Flavours in Food Citarasa
Technology. A.J. Taylor (Ed.). Sheffield Academic Press. CRC Press. U.S.A. and
Canada. p. 118.
Combrink. S, A.A. Bosman, B.M. Botha, Wilma du Plooy, R.I. McCrindle and E. Retief.
2006. Effect of post-harvest drying on the essential oil and glandular trichomes of
Lippia scaberrima Sond. Journal of Essential Oil Research : JEOR. Vol. 18
(special edition): 80 - 84.
Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello and M.D. Cabezudo. 2002a. Effect of drying
method on the volatil in bay leaf (Laurus nobilis L.). J.Agric. Food Chem. 50: 4520
- 4524.
Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello and M.D. Cabezudo. 2002b. Effect of different
drying methods on the volatil components of parsley (Petroselinum crispum L.).
Eur Food Res Technol. 215 : 227 - 230.
Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello, M.A.G. Vinaz and M.D. Cabezudo. 2003.
Influence of drying on the flavour quality of spearmint (Mentha spicata L.) J.Agric.
Food Chem. 51: 1265 - 1269.
Dignum, M.J.W., J. Kerler and R. Verpoorte. 2003. Vanilla curing under laboratory
conditions. Food Chem. 79: 165-171.
Fair, J.R., 1987. Distillation in Hand Book of Separation Process Technology.
R.W.Rousseau (Ed.), John Wiley & Sons, New York. p. 1010.
Furniss, B.S., A.J. Hannaford, V. Rogers, P.W.G. Smith and A.R. Tatchell. 1980. Vogels
Textbook of Practical Organik Chemistry (Fourth Ed.) The English Language Book
Society and Longman. p. 100 -136.
Gross, J. 1991. Pigments in Vegetables. An Avi Book, Van Nostrand Reinhold, New
York. p. 3 - 13
Guenther, E. 1987. The Essential Oils. Penerjemah S. Ketaren. Minyak Atsiri (Jilid I). UI-
Press, Jakarta. h. 20 - 33, 99 - 129.
Kesselmeier J. and M. Staudt. 1999. Biogenic volatil organik compounds (VOC): An
overview on emission, physiology and ecology. Journal of Atmospheric Chemistry.
33:23–88,
http://www.naha.org/articles/biogenesis%20of%20essential%20oils.html. 23 Juni
2006.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 50


Lawless and Heymann. 1998. Sensory Evaluation of Food. Champman and Hall, New
York. p. 430.
Luckner, M. 1984. Secondary Metabolism in Microorganisms, Plants, and Animals (2nd
Ed). Springer-Verlag Berlin, Heidenberg, New York,Tokyo. p. 64, 150 - 156.
Man, C.M and A.A. Jones. 1995. Shelf Life Evaluation of Food. Champman and Hall.
New York.
Marten,M. and P. Baardseth. 1987. Sensory Quality in Postharvest Physiology of
Vegetables. J. Weichmann (Ed.) Marcel Dekker Inc., New York and Basel. p. 427 -
454.
Ojha, N.D., H.K. Singh and P. Traci. 1995. Separation Processes in Citarasa
Manufacturing in Bioseparation Processes in Food. R.K. Singh and S.S.H.Rizvi
(Ed.). Ift Basic Symposium Series, New York, Basel Hongkong. p. 417 - 426.
Ozek G., Ozek, T., K. H. C. Baser, A. Duran, M. Sagiroglu. 2006a. Comparison of
essential oil of Xanthogalum purpurascens Lallem obtained via different isolation
techniques. Journal of Essential Oil Research : JEOR. Vol. 18 (2): 181 - 184.
Ozek, G., T Ozek, K. H. C. Baser, A. Duran, M. Sagiroglu and H. Duman. 2006b.
Comparison of the essential oils of Prangos turcica fruits obtained by different
iIsolation.Techniques. Journal of Essential Oil Research : JEOR. 2006. 18 (5) :
511 - 514.
Parliament, T.H. 1997. Solvent Extraction and Distillation Techniques in Techniques for
Analyzing Food Aroma. R. Marsili (Ed.). Marcel Dekker, Inc., New York, Basel. p.
13 - 17.
Peerzada, N. 1997. Chemical composition of the essential oil of Hyptis suaveolens.
Molecules (2): 165 - 168
Perdigon, M.I. 2006. Curing and Fermentation of Tobacco Leaves.
http://www.guerrillero.co.cu/sitiotabaco/curacion/generalidades_a_inglesh.html. 25
Mei 2006.
Pino, J.A. and R. Marbut. 2001. Volatil citarasa constituents of Acerola (Mapighia
emarginata DC.). J.Agric. Food Chem. (49): 5880 - 5882.
Ranadive, A.S., 1994. Vanilla Cultivation, Curing, Chemistry, Technology and
Commercial Products in Spices, Herbs, and Edible Fungi. Elsivier Science Inc.,
Netherlands. p. 532 - 533.
Reverchon, E and G.D. Porta, 1995. Supercritical CO2 extraction and fractionation of
lavender essential oil and waxes. J. Agric. Food Chem. 43 : 1654 - 1658.
Sastrohamidjojo. 2004. Kimia Minyak Atsiri, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
h. 7 - 12.
Sattler, K. and H.J. Feindt. 1995. Thermal Separation Processes, Principles and Design.
VCH, Weinheim, New York, Base, Cabridge, Tokyo.
Setiawan, A. dan Y. Trisnawati. 1993, Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran
Tembakau. Penebar Swadaya, Jakarta.
Simon, J.E. 1990. Essential oil and Culinary herbs in Advances in New Crops. J. Janick
and J.E. Simon (Ed.). Timber Press, Portland, OR. http://www.tropical
seeds.com/techforum/veg herbs/ess.Oils cull herbs. 4 Maret 2004.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 51


Sonwa, M.M. 2000. Isolation and structure elucidation of essential oil constituents
(comparativenstudy of the oils of Cyperus alopecuroides, Cyperus papyrus, and
Cyperus rotundus). Dissertation, Departement of Organik Chemistry, Fakulty of
Chemistry, University of Hamburg, Hamburg. Diakses 30 Maret 2004.
Von Elbe J. H. and S. J. Schwartz. 1996. Colorants in Food Chemistry (Third Ed.). O.R.
Fennema. Marcel Dekker, Inc. New York, Basel, Hongkong, p. 651 - 722.
Wartini, N.M., Hariyono, T. Susanta, R. Retnowati dan Yunianta. 2007. Pengaruh proses
curing terhadap komposisi daun salam (Eugenia polyantha Wight.), profil
komponen dan tingkat kesukaan ekstrak citarasa hasil distilasi- ekstraksi simultan..
Jurnal Teknologi Pertanian 8 (1) : 10 - 18
Wartini, N.M., Hariyono, T. Susanta, Yunianta dan R. Retnowati. 2008. Tingkat
kesukaan dan senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam (Eugenia polyantha
Wight.) dari beberapa metode separasi. Agrotekno 14 (2) : 56 - 60.
Wartini, N.M., P.T. Ina dan G.P. Ganda Putra. 2010. Perbedaan kandungan senyawa
volatil daun salam (Eugenia polyantha Wight.) pada beberapa proses curing.
AGRITECH 30 (4) : 238-243.
Weast, R. C. and D. R. Lide. 1989. CRC Handbook of Chemistry and Physics. CRC
Press. Inc, Boca Raton. Florida. p. 130.
Wijaya, H. 1995. Oriental natural citarasa: liquid and spary dried of “jeruk purut” (Citrus
hystrix DC) leaves in Food Citarasa : Generation, Analysis and Process Influence.
G. Charalambous (Ed.) p. .Elsevier, Amsterdam, New York, Tokyo.
Wright, J. 2002. Creating and Formulating Citarasas in Food Citarasa Technology. A.J.
Taylor (Ed.). Sheffield Academic Press, CRC Press, U.S.A. and Canada. p. 1 - 26.
Yousif, A.N., C.H. Scaman, T.D. Durance and B. Girard. 1999. Citarasa volatils and
physical of vacuum-microwave and air-dried sweet basil (Ocimum basilicum L.).
J.Agric. Food Chem. 47: 4777 - 4781.
Yusufoglu, A., H. Celik and F.G. Kirbaslar. Utilization of Lavandula angustifolia Miller
extract as natural repellents, pharmaceutical and industrial auxiliaries. J.Serb.
Chem. Soc .69 (1): 1 - 7.
Zelith, J. and M. Zucker. 1958. Changes in oxidative enzyme activity during the curing of
connecticut shade tobacco. Plant Physio. March : 33 (2): 151 -155.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 52


III. ANTIMIKROBIA DARI REMPAH-REMPAH DAN HERBAL

Pada bagian ini pembaca/mahasiswa diberikan pemahaman mengenai senyawa


aroma dan citarasa yang terkandung di dalam rempah-rempah dan herbal. Lebih
rinci dibahas mengenai sifat antimikrobia dari senyawa-senyawa tersebut.
Hambatan yang ada ketika ekstrak rempah-rempah dan herbal diaplikasikan
langsung di dalam makanan juga dibahas dalam bagian ini baik sebagai
penambah citarasa maupun fungsinya sebagai antimikrobia. Dengan demikian,
setelah membaca bagian ini pembaca/mahasiswa diharapkan memahami sifat
antimikrobia dari senyawa aktif yang terkandung dalam rempah-rempah dan
herbal.

Pendahuluan

Sejak jaman nenek moyang kita, herbal dan rempah-rempah digunakan pada makanan
bukan untuk bahan pengawet, namun sebagai penyedap karena sifat aroma dan
citarasanya (citarasa). Walaupun sebagian besar minyak atsiri yang berasal dari herbal
dan rempah-rempah mempunyai sifat antimikrobia. Kemampuan bahan aktif yang
terkandung di dalam rempah-rempah dan herbal menghambat mikroba tergantung pada
jenis senyawa dan konsentrasinya. Semakin tinggi konsentrasi, maka kemampuan
antimikrobia dari senyawa aktif tersebut semakin tinggi. Senyawa anti microbial tersebut
dapat menghambat mikroba pathogen maupun pembusuk, sehingga dengan
kemampuan tersebut rempah-rempah dan herbal dapat berfungsi sebagai pengawet
makanan.

Senyawa antimikrobia yang diproduksi oleh tanaman dapat secara alami terkandung di
dalam tanaman dan dapat pula diproduksi sebagai respon gangguan dari luar.
Gangguan dari luar dapat berupa luka secara fisik sehingga memberikan kesempatan
enzim bertemu dengan substratnya dan senyawa antimikrobia (fitoaleksin) yang
diproduksi akibat invasi mikrobiologis.

Senyawa antimikrobia yang diekstrak dari makanan termasuk ke dalam Generally


Recognized As Safe (GRAS) karena bersifat alami dan sudah lama digunakan dalam
makanan. Penggunaan ekstrak herbal/rempah-rempah dalam makanan sebagai
pengawet masih sangat terbatas karena fungsinya sebagai komponen citarasa. Sebagai
komponen citarasa, ekstrak rempah-rempah yang digunakan hanya pada konsentrasi

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 53


yang rendah, dengan demikian apabila digunakan sebagai pengawet maka dosis
penggunaannya akan melebihi tingkat penerimaan secara organoleptik. Masalah ini
kemungkinan akan dapat ditanggulangi apabila pertanyaan-pertanyaan berikut dapat
terjawab:

 Apakah pengaruh penghambatan minyak atsiri (campuran dari banyak senyawa)


ditentukan oleh satu atau beberapa senyawa?
 Apakah minyak atsiri memberikan aktivitas yang sinergi?
 Berapa minimum inhibitory concentration (MIC) dari senyawa kimia minyak
atsiri?
 Bagaimana substansi antimikrobia apakah dipengaruhi oleh kondisi campuran
yang homogeny (cairan atau semi-solid) atau heterogen (emulsi, campuran
padatan dan semi padat) dari struktur bahan pangan?
 Dapatkah efikasi dipacu dengan metode pengawetan tradisional (penggaraman,
pemanasan, pengasaman) dan modern (kemasan vakum, pengemasan atmosfir
termodifikasi)?

Untuk memahami lebih dalam mengenai sifat antimikrobia dari senyawa-senyawa yang
terkandung di dalam herbal ataupun rempah-rempah dibutuhkan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun perkembangan literatur mengenai subjek
tersebut sangat kurang. Keterbatasan metodologi untuk mengevaluasi aktivitas
antimikrobia secara in vitro telah menunjukkan hasil yang kontradiktif. Selain itu, sedikit
studi yang sudah dilakukan mengenai sifat antimikrobia langsung pada makanan, dan
diperlukan studi aplikasi minyak atsiri pada bahan makanan. Beberapa studi yang dapat
dilakukan adalah dengan mencampur, mengimersi, enkapsulasi, penyemprotan pada
permukaan, mengevaporasi senyawa-senyawa aktif dari minyak atsiri pada kemasan
aktif yang merupakan metode menjanjikan hasil yang baik. Metode tersebut belum
banyak diteliti berkaitan dengan penggunaan langsung minyak atsiri pada cara
pengawetan.

Hasil percobaan dilaboratorium berkenaan dengan senyawa antimikrobia yang


terkandung dalam rempah-rempah atau herbal dengan menggunakan kultur media
menunjukkan hasil yang positif. Namun demikian, ketika senyawa tersebut diaplikasikan
di dalam makanan, menunjukkan hasil yang kontradiktif. Makanan merupakan media
kompleks yang dapat mempengaruhi kemampuan aktivitas antimirkobial dari senyawa
aktif rempah-rempah maupun herbal. Peningkatan konsentrasi merupakan salah satu

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 54


cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan aktivitas antimikrobia tersebut di dalam
makanan. Perlu diperhatikan bahwa peningkatan konsentrasi akan mempengaruhi sifat
organoleptik makanan. Optimasi penggunaan rempah-rempah dan herbal di dalam
makanan perlu dilakukan apabila senyawa aktif tersebut dibutuhkan sebagai bahan
pengawet selain untuk citarasa makanan. Sebagai contoh, penambahan 1% bubuk
bawang putih ke dalam mayonnaise dapat menurunkan (10 kali lipat) jumlah S. enterica
serovar Enteritidis yang hidup (Leuscnher dan Zamparini, 2002). Selain itu,
mengkombinasikan dengan cara pengawetan lain juga dapat dilakukan untuk
meningkatkan efikasi antimikrobia dari senyawa aktif dalam rempah-rempah dan herbal.

Aktivitas Antimikrobia

Aktivitas antimikrobia dari persenyawaan yang diekstrak dari tanaman terhadap


berbagai jenis mikroorganisme, yang diuji invitro dan secara individual, terdokumentasi
dengan baik di berbagai literatur. Namun demikian, hasil yang dilaporkan dari berbagai
studi sulit untuk dibandingkan secara langsung. Minyak atsiri yang diekstrak dari
rempah-rempah dan herbal merupakan gabungan dari banyak senyawa. Senyawa
tunggal belum tentu memperlihatkan aktivitas yang lebih tinggi. Sering terjadi sinergisme
dari kombinasi senyawa yang terkandung di dalam minyak atsiri memberikan aktivitas
antimikrobia yang tinggi. Juga tidak selalu jelas kelihatan apakah metode yang
digunakan ditujukan untuk mengukur bakteriostatik atau bakterisidal atau kombinasi
keduanya. Asai antimikrobia yang digambarkan dalam literatur meliputi pengukuran dari:

 Radius atau diameter daerah penghambatan dari pertumbuhan bakteri disekitar


cakram kertas (paper disk) yang diisi dengan (atau lubang/well yang diisi)
senyawa antimikrobia pada media agar (Gambar 16);
 penghambatan pertumbuhan bacteria pada medium agar dengan senyawa
antimikrobia yang terdifusi ke dalam agar;
 konsentrasi penghambatan minimum (MIC) dari senyawa antimikrobia dalam
media cair;
 perubahan optical density (OD) atau kekeruhan di dalam cairan media
pertumbuhan yang mengandung senyawa antimikrobia.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 55


Gambar 16. Aktivitas penghambatan senyawa antimikrobia dengan metode difusi
menggunakan paper disk.

Tabel 9. Senyawa antimikrobia yang terkandung secara alami di dalam tanaman


Apigenin-7-glucose, aureptan
Benzoic acid, berbamine, berberine, borneol
Caffeine, caffeic acid, 3-o-caffeylquinic acid, 4-o-caffeylquinic acid, 5-o-caffeylquinic
acid, camphene camphor, carnosol, carnosic acid, carvacrol*, caryophelene,
catechin, 1,8 cineole, cinnamaldehyde, cinnamic acid, citral, chlorogenic acid,
chicorin, columbamine, coumarine, p-coumaric acid, o-coumaric, p-cymene, cynarine
Dihydrocaffeic acid, dimethyloleuropein
Esculin, eugenol
Ferulic acid
Gallic acid, geraniol, gingerols,
Humulone, hydroxytyrosol, 4-hydroxybenzoic acid, 4-hydroxycinnamic acid
Isovanillic, isoborneol
Linalool, lupulone, luteoline-5-glucoside, ligustroside, S-limonene
Myricetin, 3-methoxybenzoic acid, menthol, menthofurane
Oleuropein
Paradols, protocatechuic acid, o-pyrocatechic, a-pinene, b-pinene, pulegone
Quercetin Rutin, resocrylic Salicylaldehyde, sesamol, shogoals, syringic acid, sinapic
Tannins, thymol, tyrosol, 3,4,5-trimethoxybenzoic acid, 3,4,5-thihydroxyphenylacetic
acid
Verbascoside, vanillin, vanillic acid

Banyaknya metode yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas antimikrobia suatu
bahan merupakan pilihan yang ditawarkan kepada peneliti. Namun demikian, masing-
masing metode mempunyai kelebihan dan kelemahan yang perlu diperhatikan
tergantung dari jenis komponen aktif dan target mikroba yang dihambat. Tiga faktor
utama dapat mempengaruhi hasil dari metode yang digunakan untuk penentuan
aktivitas antimikrobia dari minyak atsiri tanaman, yaitu: (i) komposisi tanaman yang diuji
(jenis tanaman, lokasi geografis dan waktu/musim), (ii) jenis mikroorganisme (strain,

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 56


kondisi pertumbuhan, ukuran inokulum, dll.), dan (iii) metode yang digunakan untuk
menumbuhkan dan menghitung jumlah bakteri yang bertahan hidup (Sibel, 2003).
Banyak studi yang didasarkan pada assessmen subjektif terhadap penghambatan
pertumbuhan, seperti metode disc diffusion atau metode cepat seperti dengan melihat
optical density (turbidimetri) tanpa memperhitungkan keterbatasan yang melekat pada
metode tersebut. Pada metode yang menggunakan cakram kertas (paper disc), daerah
penghambatan tergantung pada kemampuan minyak atsiri berdifusi secara merata ke
dalam agar dan juga melepaskan senyawa volatil dari minyak. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi hasil adalah keterlibatan banyak komponen aktif. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi hasil analisis adalah keterlibatan berbagai senyawa (multiple active
components) yang terkandung di dalam ekstrak herbal atau rempah-rempah. Senyawa-
senyawa tersebut pada konsentrasi yang rendah dapat berinteraksi secara antagonis
maupun sinergis. Perbedaan aktivitas antimikrobia dari minyak atsiri dari bahan pangan
yang kompleks dibandingkan dengan aktivitas apabila dicoba sendiri di laboratorium
dapat disebabkan oleh pemisahan komponen aktif antara fase minyak dan air di dalam
bahan pangan.

Metode analisis menggunakan turbidimetri merupakan metode yang cepat, tidak


merusak, murah serta mudah dilakukan namun mempunyai sensitifitas yang rendah.
Pada metode turbidimetri semua sel terdeteksi baik yang hidup maupun sel yang mati
dan hanya terdeteksi pada bagian atas (tersuspensi), sehingga memerlukan kalibrasi
yang mengkorelasikan kekeruhan dengan sel hidup yang ditumbuhkan pada medium
agar.(Dalgaard and Koutsoumanis, 2001). Perubahan absorbansi yang jelas terjadi
apabila populasi mikrobia mencapai 106 – 107 cfu/ml, dan juga dipengaruhi oleh ukuran
mikrobia yang berbeda pada setiap fase pertumbuhan. Kondisi fisiologis sel (sakit atau
sehat) dan hasil oksidasi dari minyak atsiri dapat juga mempengaruhi absorbansi media
pertumbuhan yang terukur. Tidak seperti teknik hitungan cawan, metode yang
didasarkan pada penghambatan pertumbuhan (impedimetri) dapat digunakan untuk
memantau metabolisme mikrobia yang sesungguhnya. Teknik ini bergantung pada
penggunaan medium yang memberikan perubahan pertumbuhan yang terdeteksi.
Seperti pada teknik turbidometri, kalibrasi data pertumbuhan dengan hitungan cawan
sangat diperlukan. Walaupun memerlukan waktu dan tenaga yang lebih, metode
tradisional dengan menentukan jumlah mikroba yang hidup (viable) dengan hitungan
cawan masih merupakan metode standard terbaik dalam penentuan aktivitas

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 57


antimikrobia. MIC diukur dengan seri pengenceran dalam media cair diikuti dengan
penentuan pertumbuhan dengan membaca absorbansi maupun hitungan cawan.

Tabel 10. Beberapa contoh mikroorganisme yang sensitif terhadap aktivitas antimikrobia
ekstrak minyak atsiri dari herbal dan rempah-rempah*

Bacteri Gram-positive Bacteri Gram-negative Kapang/Khamir

Arthobacter sp., Bacillus sp. Aeromonas hydrophila, Aspergillus niger, Asp.


B. subtilis, B. cereus, B. Alcaligenes sp., A.faecalis, Parasiticus, Asp. flavus
megaterium, Campylobacter jejuni, Asp. Ochraceus, Candida
Brevibacterium Citrobacter sp., C. freundii, albicans, Candida
ammoniagenes, Brev. Edwardsiella sp., tropicalis, Dekkera
linens, Brochothrix Enterobacter sp., E. bruxellensis, Fusarium
thermosphacta, Clostridium aerogenes, Escherichia coli oxysporum, F. culmorum,
botulinum, Cl. perfrigenes, E. coli O157:H7, Erwinia Mucor sp., Pichia anomala,
Cl. sporogenes, carotovora, Flavobacterium Penicillium sp., Pen.
Corynebacterium sp., sp., Fl. suaveolens, chrysogenum, Pen.
Enterococcus feacalis, Klebsiella sp., K. patulum, Pen. roquefortii,
Lactobacillus sp., Lb. pneumonia, Moraxella sp., Pen. citrinum, Rhizopus
plantarum, Lb. minor, Neisseria sp., N. sicca, sp., Saccharomyces
Leuconostoc sp., Leuc. Mycobacterium smegmatis cerevisiae, Trichophyton
cremoris, Listeria Pseudomonas spp. P. mentagrophytes, Torulopsis
monocytogenes, L. inocua aeruginosa, P. fluorescens, holmii, Pityrosporum ovale,
Micrococcus sp., M. luteus P. fragi, P. clavigerum
M. roseus, Pediococcus Proteus spp. Pr. vulgaris
spp., Photobacterium Salmonella spp. Sal.
phosphoreum, enteritidis, Sal. senftenberg,
Propionibacterium acnes Sal. typhimurium, Serratia
Sarcina spp. sp. S. marcecens, Vibrio
Staphylococcus spp., sp., V. parahaemolyticus,
Staph. aureus, Staph. Yersinia enterocolitica
epidermidis, Streptococcus
faecalis, Acetobacter spp.
Acinetobacter sp., A.
calcoaceticus
*Sibel (2003).

Hampir semua minyak atsiri dari herbal dan rempah-rempah menghambat pertumbuhan
mikrobia termasuk produksi toksinnya. Pengaruh antimikrobia bergantung pada
konsentrasi dan semakin tinggi konsentrasi maka sifat bakterisidalnya juga semakin
tinggi. Bakteri Gram-positip, Gram-negatip, khamir dan kapang semuanya dihambat
dengan kisaran yang luas dari minyak atsiri. Aktivitas antimikrobia dari senyawa yang

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 58


terkandung di dalam minyak atsiri dipengaruhi oleh medium yang digunakan dalam
pengujian, suhu inkubasi dan ukuran inokulum (Ayers et al., 1998; Brul and Coote,
1999).

Allicin, yang merupakan salah satu senyawa aktif yang terdapat di dalam hancuran
bawang putih segar, mempunyai beragam aktivitas antimikrobia. Allicin dalam bentuk
senyawa murni memperlihatkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif
maupun Gram negative termasuk E. coli dari strain multidrug-resistent enterotoxigenic;
antifungal khususnya terhadap Candida albicans; antiparasit, termasuk parasit protozoa
seperti Entamoeba hystolytica dan Giardia lamblia; dan aktivitas antiviral (Angkri dan
Mirelman, 1999)

Gambar 17. Peran alliinase dalam perubahan alliin menjadi allicin.

Aktivitas Antibakteri

Aktivitas antibakteri dari minyak atsiri yang diekstrak dari herbal dan rempah-rempah
sudah dikenal sejak lama. Sekarang ini, banyak penelitian yang dilakukan berkaitan
dengan aktivitas senyawa-senyawa aktif yang terkandung di dalam minyak atsiri yang
diekstrak dari berbagai jenis herbal dan rempah-rempah. Herba maupun rempah-
rempah sering digunakan sebagai bahan bumbu untuk penyedap makanan. Selain itu,
karena potensi bioaktifnya, herbal dan rempah-rempah banyak juga digunakan sebagai
bahan obat-obatan (pharmaceutical) dan berfungsi sebagai bahan pengawet makanan
karena sifat antibakterinya.

Hampir semua herbal dan rempah-rempah mempunyai senyawa aktif yang berfungsi
sebagai antimikrobia, namun beberapa ekstrak herbal dan rempah-rempah mempunyai
sifat khusus sebagai antibakteri. Tanaman ara (Carpobrotus edulis) sering digunakan
sebagai obat penyakit infeksi seperti sinusitis, diarrhea, infantile eczema, dan
tuberculosis. Ekstrak daunnya juga sering digunakan untuk mengobati infeksi mulut dan
radang tenggorokkan. Ekstrak kasar metanolik dari tanaman ara mempunyai aktivitas

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 59


antibakteri terhadap bakteri Moraxella catharralis pada konsentrasi 50 mg ml-1, namun
ekstrak etanoliknya tidak terdeteksi mempunyai aktivitas (van der Watt dan Pretorius,
2001). Senyawa terdeteksi yang terkandung di dalam tanaman ara adalah senyawa
flavonoid (rutin, neohesperidin, hyperoside, cactichin dan ferulic acid) yang mempunyai
aktivitas antibakteri terhadap M. catharalis (Gram negative) dan dua bakteri Gram
positive (Staphylococcus epidermidis dan Staph. aureus) Di Afrika ekstrak kulit kayu
dan daun marula (Sclerocarya birrea) juga digunakan sebagai bahan pengobatan untuk
penyakit yang berhubungan dengan bakteri. Ekstrak bagian dalam kulit kayu
mempunyai potensi antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian luar kulit
kayu maupun dari daun marula. Semua bakteri yang dicoba, Staph. aureus,
Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli and Enterococcus faecalis, pada MIC 0,15
sampai 3,0 mg.ml-1 (Eloff, 2001).

Rempah-rempah dan herbal sering digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan


citarasa makanan dan memperbaiki warna makanan, sehingga makanan mempunyai
nilai kuliner yang spesifik sesuai dengan asal dari makanan tersebut. Beberapa hasil
penelitian juga memperlihatkan bahwa komponen yang terkandung di dalam herbal dan
rempah-rempah memperlihatkan sifat antibakteri yang dapat meningkatkan keamanan
makanan yang dikonsumsi. Penelitian yang dilakukan terhadap minyak atsiri yang
diekstrak dari origanum, thymbra and satureja memperlihatkan kemampuan untuk
menghambat bakteri. Rempah-rempah ini biasa digunakan sebagai bahan untuk
meningkatkan citarasa makanan di Turki (Baydar et al., 2004). Rempah-rempah lain
yang sering digunakan di dalam ingredient makanan adalah bawang putih, mustard,
cengkeh dan jahe. Keempat rempah tersebut sudah diteliti dapat menghambat bakteri di
dalam sistem makanan yang disimulasikan. Cengkeh mempunyai aktivitas antibakteri
yang paling tinggi diikuti bahan bawang putih, sedangkan mustard dan jahe
memperlihatkan aktivitas antibakteri yang lebih kecil di dalam model sistem makanan
(Leuschner dan Zamparini, 2002). Bawang putih memperlihatkan aktivitas antibakteri
dengan sifat sensori yang baik dari mayonnaise. Bawang putih (pada konsentrasi 1%)
dapat menurunkan bakteri hidup (Salmonella enterica serovar Enteritidis) di dalam
mayonnaise sebesar 1 siklus log. Penelitian lain menunjukkan bahwa empat minyak
atsiri (kayu manis, cengkeh, pimento dan rosemerry) memperlihatkan efek
penghambatan yang kuat terhadap bakteri pembusuk daging (Quattara et al., 1997).
Aktivitas antibakteri tersebut berhubungan dengan adanya bahan-bahan yang mudah
menguap dalam minyak atsiri. Cinnamon (kayu manis) dan cengkeh mengandung

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 60


cinamaldehida dan eugenol pada konsentrasi berturut-turut 65-75% dan 93-95% dari
total kandungan senyawa volatil yang bertanggung jawab terhadap efek antibakteril.
Prasad dan Seenayya (2000) menyatakan bahwa cengkeh memberikan hambatan
paling baik terhadap bakteri halofilik dan pada konsentrasi 0,1% memberikan
penghambatan sempurna, sehingga minyak cengkeh dapat digunakan untuk
mengendalikan pertumbuhan bakteri halofilik pada produk ikan yang diasinkan.

Helicobacter pylori merupakan jenis bakteri yang tergolong dalam bakteri Gram
negative, berbentuk batang bengkok yang sering dihubungkan dengan penyakit kronis
pencernaan dan gastroduodenal ulcer disease, serta perannya dalam kanker saluran
pencernaan. Banyak penelitian dilakukan untuk dapat menghilangkan/membasmi kuman
ini di dalam saluran pencernaan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh peneliti
adalah dengan menggunakan ekstrak bawang putih (Cellini et al., 1996). Penelitian
pengaruh ekstrak bawang putih dilakukan terhadap 16 isolat klinis dan 3 strain referensi
H. pylori. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih dapat
menghambat semua strain H. pylori pada konsentrasi antara 2 – 5 mg ml-1, dan
konsentrasi ekstrak bawang putih yang dibutuhkan untuk menghambat 90% (MIC90) dari
isolate adalah 5 mg ml-1. Ekstrak bawang putih segar memberikan penghambatan 2 – 4
kali lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak bawang putih yang direbus. Tirranen et al.
(2001) dalam penelitiannya memperlihatkan hasil pengamatan yang menarik, yaitu emisi
senyawa volatil tanaman bawang putih muda secara meyakinkan menstimulasi
pertumbuhan S. aureus, B. brevis, Haphnia alvei, dan sedikit menghambat pertumbuhan
E. coli dan B. cereus. Bawang putih muda maupun tua sedikit menghambat Nocardia sp.
Namun demikian, bawang putih yang sudah tua (umur 50 hari) mempunyai aktivitas
antimikrobia dengan kisaran luas menghambat bakteri Gram negative dan Gram positif
pembentuk spora dan dalam bentuk cocci.

Rempah-rempah dan herbal telah memperlihatkan mempunyai nilai obat-obatan,


terutama sebagai antimikrobia. Dari semua jenis tanaman, ternyata bawang putih dan
cengkeh memperlihatkan aktivita antimikrobia yang tinggi (Arora dan Kaur, 1999).
Pengaruh bakterisidal dari ekstrak bawang putih sangat nyata terjadi setelah 1 jam dan
membunuh 93% Staphylococcus epidermidis dan Salmonella typhi tercapai dalam waktu
3 jam.

Dari potensi antibakteri yang dimiliki herbal dan rempah-rempah, maka produk ini
banyak digunakan untuk meningkatkan daya awet makanan dan juga untuk pengobatan

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 61


terhadap penyakit-penyakit infeksi. Peninggalan budaya nenek moyang di berbagai
daerah di Indonesia ternyata sangat kaya akan pengetahuan pengobatan herbal.
Kekayaan ini perlu untuk diungkapkan secara ilmiah dan dilakukan penelitian mendalam
untuk pengembangan teknologi yang tepat sehingga potensi hayati ini dapat
dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Selain untuk pengobatan, bahan
rempah-rempah dan herbal dapat dikembangkan sebagai bahan pengawet alami selain
meningkatkan citarasa, aroma dan warna makanan.

Aktivitas Antijamur

Selain mempunyai aktivitas antibakteri, beberapa rempah-rempah dan herbal juga


mempunyai aktivitas antijamur. Sifat antifungal yang dimilikinya sering dimanfaatkan
sebagai pengawet makanan maupun obat untuk mencegah dan mengobati penyakit
infeksi oleh jamur. Penggunaan rempah atau herbal sebagai antijamur di dalam
makanan sangat menguntungkan dan dapat sebagai pengganti fungisida sintetis.
Penelitian sifat antijamur ekstrak rempah dan herbal banyak dilakukan untuk
memperoleh bahan alami (GRAS) yang digunakan untuk makanan maupun obat-
obatan.

Ekstrak bawang putih, selain mempunyai aktivitas antibakteri, juga mempunyai aktivitas
antijamur (Arora dan Kaur, 1999; Yin dan Tsao, 1999). Tiga spesies Aspergillus (A.
niger, A. flavus dan A. fumigatus) dapat dihambat oleh ekstrak bawang putih, dan
penghambatannya meningkat apabila dikombinasikan dengan penambahan asam
asetat (Yin dan Tsao, 1999). Ketiga spesies Aspergillus tersebut banyak berperan dalam
proses kerusakan pangan maupun pakan.. Aspergillus flavus dapat menghasilkan
mikotoksin di dalam makanan, sehingga penggunaan antijamur pada makanan sangat
diperlukan untuk menghindari tumbuhnya jamur dan terbentuknya toksin. Ekstrak
bawang putih juga dapat membunuh khamir secara total dalam waktu inkubasi 1 jam.
Penghambatan ini lebih cepat dibandingkan dengan ekstrak cengkeh yang
membutuhkan waktu 5 jam untuk membunuh khamir secara total (Arora dan Kaur,
1999). Ekstrak bawang putih memperlihatkan aktivitas anti-candidal yang lebih tinggi
dibandingkan dengan nystatin. Wang dan Ng (2001) menemukan allivin (jenis protein)
yang disolasi dari bawang putih mempunyai aktivitas antijamur.

Minyak yang diekstrak dari kunyit dapat menghambat isolate dermatophyta, kapang
patogenik dan khamir, namun curcumin tidak memperlihatkan aktivitas penghambatan
terhadap isolate jamur tersebut kecuali khamir (Aplsarlyakul et al., 1995).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 62


Dermatomycosis merupakan penyakit kulit umum di berbagai Negara yang disebabkan
oleh infeksi jamur. Jamur yang menginfeksi umumnya dari jenis jamur keratinofilik yang
disebut dermatophyta. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aplsarlyakul et al. (1995)
ditemukan bahwa minyak kunyit dapat menghambat pertumbuhan dermatophyta. MIC
terhadap Microsporum gypseum adalah pada pengenceran 1:80, sedangkan MIC
terhadap Epidermophyton floccosum, Trichophyton mentagrophytes, dan Trichophyton
rubrum berturut-turut pada pengenceran 1:60-1:320, 1:40-1:160, dan 1:40-1:160.
Selanjutnya, konsentrasi penghambatan minimum terhadap kapang patogen
(pathogenic moulds) terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Konsentrasi penghambatan minimal (MIC) minyak kunyit dan ekstrak kasar
kunyit terhadap empat kapang patogen*
MIC
Kapang Patogenik Strains (µg.ml-1)
Minyak Ekstrak kasar

Exophiala jeanselmei MMC 17 459.6 > 10.000


Sporothrix schenckii MMC 38 114.9 > 10.000
Fonsecaea pedrosoi MMC 42 459.6 > 10.000
Scedosporium apiospermum MMC 70 114.9 >10.000
* Aplsarlyakul et al. (1995)

Sifat Antimikrobia pada Makanan

Perkembangan teknologi pengawetan untuk memperpanjang masa simpan produk


pangan sangat pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri pangan dan
penyediaan pangan sepanjang tahun. Sistem pengawetan seperti pemanasan,
pendinginan, dan penambahan bahan pengawet dapat memperpanjang masa simpan
dan menurunkan berkembangnya mikroba pathogen yang beresiko menyebabkan
penyakit. Namun demikian, konsumen sudah mulai menghindari penggunaan bahan-
bahan pengawet sintetis sebagai antimikrobia dan menghendaki makanan yang bebas
bahan kimia. Kondisi ini memberikan peluang penggunaan bahan antimikrobia alami
oleh industri pangan untuk memperpanjang masa simpan, seperti dalam bentuk enzim
(laktoperoksidase, laktoferin, avidin, lysozym), antimikrobia yang diproduksi
menggunakan kultur mikroba (nisin dan jenis bakteriosin lainnya), dan yang bersumber
dari tanaman (rempah-rempah dan herbal berupa ekstrak, minyak atsiri ataupun
komponen yang diisolasi dari rempah-rempah atau herbal).

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 63


Relatif masih sedikit penelitian yang mengarah pada penggunaan ekstrak rempah dan
herbal sebagai antimikrobia (pengawet) dalam model makanan atau makanan yang
sebenarnya. Kemampuan antimikrobia minyak esensial in-vitro sering lebih besar
dibandingkan in-situ di dalam makanan (Davidson, 1997). Sebagai contoh: minyak atsiri
dari mint (Mentha piperita) terlihat menghambat pertumbuhan dari Salmonella enteritidis
dan Listeria monocytogenes dalam media kultur selama 2 hari pada suhu 30oC. Namun,
pengaruh ekstrak minyak atsiri dari mint pada makanan sangat beragam tergantung
pada jenis makanan dan kondisi makanan seperti pH, emulsi, suhu dan komposisi
makanan. Pertumbuhan E. coli, Salmonella spp., L. monocytogenes dan Staph. aureus
terhambat oleh minyak atsiri ekstrak dari oregano di dalam kultur cair. Ketika minyak
atsiri tersebut dicoba pada makanan (salad, taramasalata, dan mayonnaise), aktivitas
antimikrobia minyak atsiri tersebut tergantung pada faktor lingkungan seperti pH, suhu
dan jenis minyak yang digunakan. Demikian pula, konsentrasi minyak atsiri sangat
berpengaruh terhadap aktivitas antimikrobianya. Semakin tinggi konsentrasi minyak
atsiri yang diaplikasikan, maka semakin tinggi pula aktivitas antimikrobia minyak atsiri
tersebut.

Tabel 11. Beberapa contoh minyak atsiri yang umum digunakan untuk pengawetan
makanan dan bahan aktifnya*
Herbal/rempah- Herbal/rempah-
Senyawa Aktif Senyawa Aktif
rempah rempah

Semua rrempah Eugenol Mint α-, β-pinene


Methyl eugenol limonene
1,8-cineole
Jinten Carvone Bawang d-n-propyl disulfide
methyl-n-propyl disulfide
Kayu Manis Cinnamaldehyde Oregano Thymol
Eugenol Carvacrol
Cengkeh Eugenol Merica/Lada Monoterpenes
Eugenol acetate
Ketumbar d-linalool Rosemary Borneol
d-α-pinene 1,8-cineole
β-pinene Camphor
Bornyl acetate
Kunir Cuminaldehyde Sage Thujone
1,8-cineol
Borneol
Bawang Putih Diallyl disulfide Thyme Thymol
Diallyl trisulfide Carvacrol
allyl Propyl disulfide Menthol
Menthone
*Sibel, 2003.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 64


Tabel 12. Penggunaan minyak atsiri dalam makanan

Jenis Makanan Mikroorganisme Minyak atsiri

Susu (segar, skim) Staph. aureus, Salmonella Mastic gum


enteritidis, P. fragi
Produk susu:
soft cheese, mozzarella L. monocytogenes Sal. Clove, cinnamon,
Enteritidis thyme
Daging segar: potong atau Sal. typhimurium dan Sal. Oregano, clove,
giling enteritidis Staph. Aureus basil, sage
P. fragi, L. monocytogenes
Lactic acid bacteria, Br.
thermosphacta,
Enterobacteriaceae, Yeasts &
indigenous flora
Produk daging:
Pate L. monocytogenes, Salmonella Mint
Sosis enteritidis, Indigenous flora,
Br. thermosphacta, E. coli
Ikan:
Gilt-head Salmonella enteritidis, Staph. Oregano, Basil, bay,
bream aureus, Photobacterium cinnamon, clove,
phosphoreum lemongrass,
Cod fillets, salmon marjoram, oregano,
sage, thyme
Salad dan dressing:
Tuna, kentang, terung, Staph. aureus, Salmonella Carob Mint, oregano,
taramasalata, mayonnaise, enteritidis, P. fragi L. basil, sage
tzatziki monocytogenes, Sh.
Saus Putrefaciens, Br.
thermosphacta, E. coli
Indigenous flora, Salmonella
enteritidis and typhimurium
Staph. aureus, P. fragi

Banyak penelitian yang juga dilakukan untuk memanfaatkan senyawa antimikrobia alami
rempah-rempah dan herbal sebagai bahan pengawet bahan pangan segar seperti:
sayuran, ikan dan daging. Potensi senyawa antimikrobia dari ekstrak rempah-rempah
maupun herbal dapat dijadikan rujukan untuk menggunakannya sebagai bahan
pengawet alami. Pengawet alami tersebut dapat digunakan untuk menghambat mikroba
pembusuk maupun mikroba pathogen. Sebagai contoh, L. monocytogenes dan
Salmonella typhimurium dihambat pertumbuhannya di dalam daging yang berturut-turut
diberi perlakuan dengan minyak atsiri cengkeh dan oregano (Tsigarida et al., 2000;

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 65


Skandamis et al., 2002a). S. typhimurium bertahan hidup di dalam daging yang tidak
diberi perlakuan, sementara yang ditambahkan minyak atsiri oregano pada konsentrasi
0,8% jumlah bakteri yang hidup menurun 1 – 2 log cfu/g. Pada tingkat konsentrasi yang
sama minyak oregano dapat menurunkan jumlah L. monocytogenes sebesar 2– 3 log
cfu/g dalam daging. Penurunan pertumbuhan Aeromonas hydrophila juga dilaporkan di
dalam daging babi tanpa curing yang dimasak dengan perlakuan penambahan minyak
cengkeh atau ketumbar dan dikemas vakum atau tanpa vakum yang disimpan pada
suhu 2o dan 10oC. Pengaruh letal dari kedua jenis minyak ini lebih tinggi pada kondisi
kemasan vakum dibandingkan dengan kondisi yang aerob (Stecchini et al., 1998).
Adanya oksigen di dalam kemasan mempengaruhi efikasi antimikrobia minyak atsiri.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas antimikrobia minyak oregano
terhadap Staph. aureus dan Salmonella enteritidis dipacu ketika organism tersebut
diinkubasi pada kondisi mikroaerobik atau anaerobic. Pada kondisi oksigen yang
rendah, perubahan sifat oksidatif minyak atsiri juga rendah. Selain itu, minyak oregano
lebih efektif aktivitasnya pada kondisi vakum dan pada kondisi atmosfer 40%
CO2:30%O2:30%N2 apabila film impermeable digunakan dibandingkan dengan inkubasi
aerobic atau dikemas dalam kemasan yang permeable terhadap O2 (Tsigarida et al.,
2000; Skandamis et al., 2002). Minyak oregano mempunyai aktivitas sebagai
bakteriostatik dan bakteriosidal pada ikan segar (Sparus aurata) yang diinokulasi Staph.
aureus and Salmonella enteritidis dan disimpan pada kondisi MAP (40% CO2 , 30% O2
dan 30% N2 ) atau kondisi aerob (udara) pada suhu 1ºC. Pertumbuhan mikroba
pembusuk seperti Shewanella putrefaciens dan Photobacterium phosphereum juga
dihambat pada ikan yang diperlakukan dengan minyak oregano (Tassou et al., 1996).
Penurunan yang sama juga dilaporkan untuk minyak atsiri yang diperlakukan pada
daging dan ikan (Skandamis and Nychas, 2001). Semua studi di atas memperlihatkan
bahwa aktivitas antimikrobia yang didemonstrasikan in vitro tidak semua
memperlihatkan indikasi yang baik pada pengawetan pangan. Senyawa aktif dari
minyak atsiri sering terikat dengan komponen makanan (seperti protein, lemak, gula-
gula, dll.). Oleh karena itu, hanya proporsi minyak atsiri yang bebas dari dosis total yang
berperan sebagai aktivitas antimikrobia. Faktor ekstrinsik seperti suhu juga membatasi
aktivitas antimikrobia minyak atsiri (Davidson, 1997). Selain itu, distribusi pada fase
yang berbeda (solid/liquid) di dalam makanan dan ketidakhomogenan pH dan air dapat
juga berperan terhadap efikasinya. Interaksi antara komponen yang berbeda di dalam
makanan dapat membuat perubahan pH pada produk akhir dan juga pada konsentrasi

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 66


yang berbeda dari antimikrobia pada fase yang berbeda. Kapasitas penyangga lokal dari
ingredient makanan menentukan pH pada daerah yang spesifik dari makanan yang
kompleks. Karena distribusi mikroorganisme di dalam makanan tidak homogen, maka
aktivitas antimikrobia juga tergantung pada densitas mikroba pada struktur makanan
dan pada keberadaan sumber karbon yang ditentukan oleh kemampuan berdifusi.
Ekologi mikroba dari bahan pangan, kapasitas penyangga (buffer), pH dan struktur
makanan spesifik semuanya harus diperhitungkan dalam menentukan aktivitas
antimikrobia dari senyawa bioaktif. Pertumbuhan bakteri di dalam cairan akan
tersebar/tersuspensi, berbeda kontras dengan pertumbuhan koloni yang terpisah pada
matriks yang padat (Wilson et al., 2002). Kasus lain yang bias terjadi adalah sel
diimmobilisasi dan dilokalisasi dalam jumlah banyak di dalam matriks makanan. Uji
lainnya telah memperlihatkan bahwa atribut fisiologis pertumbuhan bakteri di dalam
model matriks makanan secara nyata berbeda dengan pertumbuhan sel secara bebas di
dalam media kultur cair (Skandamis et al., 2000; Wilson et al., 2002). Perbedaan-
perbedaan ini dapat dihitung dengan: (i) densitas populasi per se, (ii) difusivitas dan
keberadaan nutrisi utama, (iii) adanya oksigen, dan (iv) akumulasi produk akhir
(Stecchini et al., 1993; Skandamis et al., 2000). Sementara difusivitas nutrient dengan
berat molekul rendah seperti glukosa dapat hampir sama seperti dalam cairan dan
matriks gel, dimana agen antimikrobia dapat sangat berbeda dan dapat secara kuat
mempengaruhi efikasinya di dalam matriks padat (Diaz et al., 1993; Stecchini et al.,
1998). Bahan berminyak di dalam emulsi membentuk tetesan dengan diameter 10-18”m
(Wilson et al., 2002). Difusi tetesan tersebut dipengaruhi oleh densitas, viskositas, dan
karakteristik yang berhubungan dengan struktur medium. Dengan demikian, mobilitas
yang lebih tinggi dari tetesan minyak atsiri di dalam media cair dapat merupakan faktor
yang sangat penting memacu penghambatan bakteri target.

Model Penghambatan

Secara umum, mode of action minyak atsiri adalah ketergantungan terhadap


konsentrasinya. Pada konsentrasi rendah menghambat kerja enzim yang berhubungan
dengan produksi energi sementara konsentrasi yang lebih tinggi dapat mempresipitasi
protein. Namun demikian, tidak pasti apakah kerusakan membran secara jumlah
berhubungan dengan jumlah senyawa aktif antimikrobia terekspos terhadap sel, atau
pengaruhnya kerusakan kecil membran dilanjutkan dengan kerusakan sel. Carvacrol,
komponen aktif dari banyak minyak atsiri, dapat menyebabkan sitoplasma dan membran

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 67


luar sel tidak stabil dan dapat berperan sebagai ‘penukar proton’ yang menghasilkan
penurunan gradient pH sepanjang membran sitoplasma (Ultee et al., 1999). Rusaknya
‘proton motive force’ dan berkurangnya pool ATP akhirnya akan mengarah pada
kematian sel. Seperti pada kerja bahan pengawet umumnya, minyak atsiri akan
menyebabkan kebocoran ion, ATP, asam nukleat dan asam amino. Tidak seperti
antibiotika, minyak atsiri dapat mencapai periplasma bakteri Gram-negatif melalui
protein porin dari membran luar. Permeabilitas membran sel tergantung pada
komposisinya dan hidropobisitas komponen yang melewatinya (Helander et al., 1998).
Suhu rendah menurunkan kelarutan minyak atsiri dan menghambat penetrasi ke dalam
membran. Gugus aldehida yang sangat reaktif dari senyawa antimikrobia tanaman
(seperti citral, salicyldehyde) membentuk basa Schiff’s dengan protein membran
sehingga mencegah biosintesis dinding sel. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa
allicin dapat dengan mudah masuk ke dalam sitoplasma sel darah merah. Bilayer lipida
tidak merupakan hambatan untuk penetrasi allicin ke dalam sitoplasma dan difusinya
melalui bilayer lipida tidak mengakibatkan rusaknya membran. Temuan ini
memunculkan kemungkinan bahwa di dalam sistem biologis allicin dapat melakukan
penetrasi secara cepat ke dalam bagian-bagian sel yang berbeda dan menimbulkan
efek biologis (Miron et al., 2000).

Dari ulasan hasil-hasil penelitian dan kajian di atas dapat dirangkum bahwa komponen
aktif yang terkandung dalam minyak atsiri hasil ekstraksi dari rempah-rempah dan
herbal mempunyai aktivitas antimikrobia. Secara umum juga dapat dinyatakan bahwa
bakteri Gram-positif lebih sensitive terhadap senyawa antimiktobia yang terkandung
dalam rempah-rempah dibandingkan dengan bakteri Gram-negatif. Untuk itu, ekstrak
rempah-rempah dan herbal dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan alami
dan dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan (herbal medicine).

Daftar Pustaka

Ankri, S. dan Mirelman, D. 1999. Antimikrobia properties of allicin from garlic. Microbes
and Infection. 2: 125−129.
Aplsarlyakul, A., Vanittanakom, N., and Buddhasukh, D. 1995. Antifungal activity of
turmeric oil extracted from Curcuma longa (Zingiberaceae). Journal of
Ethnopharmacology. 49: 163-169.
Arora, D.S. and Kaur, J. 1999. Antimikrobia activity of spices. International Journal of
Antimikrobia Agents. 12: 257–262.
Ayres, H.M., Payne, D.N., Furr, J.R. dan Russell, A.D. 1998. Use of the Malthus-AT
system to assess the efficacy of permeabilizing agents on the activity of

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 68


antibacterial agents against Pseudomonas aeruginosa. Letters in Applied
Microbiology. 26: 422.
Baydar, H., Sagdic, O., Ozkan, G. dan Karadogan, T. 2004. Antibacterial activity and
composition of essential oils from Origanum, Thymbra and Satureja species with
commercial importance in Turkey. Food Control 15: 169–172
Brul, S. dan Coote, P.1999. Preservative agents in foods. Mode of action and microbial
resistance mechanisms. International Journal of Food Microbiology. 50: 1– 17.
Cellini, L., Di Campli, E., Masulli, M., Di Bartolomeo, S. dan Allocati, N. 1996. Inhibition
of Helicobacter pylori by garlic extract ( Allium sativum). FEMS Immunology and
Medical Microbiology. 13: 273-277.
Dalgaard, P. dan Koutsoumanis, K. 2001. Comparison of maximum specific growth rates
and lag times estimated from absorbance and viable count data by different
mathematical models. Journal of Microbiological Methods. 43: 183-196.
Davidson, P.M. (1997) Chemical Preservatives and Natural antimikrobia compounds. In
Food Microbiology Fundamentals and Frontiers, Doyle, M.P., Beuchat, L.R.,
Montville, T.J. (eds): 520– 556, NY: ASM Press.
Diaz, G., Wolf, W., Kostaropoulos, A.E. and Spiess, W.E.L. 1993. Diffusion of
lowmolecular weight compounds in food model system. Journal of Food
Processing and Preservation. 17: 437– 454.
Eloff, J.N. 2001. Antibacterial activity of Marula (Sclerocarya birrea (A. rich.) Hochst.
subsp. caffra (Sond.) Kokwaro) (Anacardiaceae) bark and leaves. Journal of
Ethnopharmacology. 76: 305–308
Helander-Alakomi, H.L., Latva-Kala, K., Mattila-Sandholm, T., Pol, I., Smid, E.J., Wright,
I.K., dan Von, A. 1998. Characterization of the action of selected essential oil
components on Gram negative bacteria. Journal of Agricultural Chemistry. 46:
3590– 3595.
Leuschner, R.G.K. dan Zamparini, J. 2002. Effects of spices on growth and survival of
Escherichia coli 0157 and Salmonella enterica serovar Enteritidis in broth model
systems and mayonnaise. Food Control 13: 399–404.
Miron, T., Rabinkov, A., Mirelman, D., Wilchek, M. dan Weiner, L. 2000. The mode of
action of allicin: its ready permeability through phospholipid membrans may
contribute to its biological activity. Biochimica et Biophysica Acta. 1463: 20-30.
Prasad, M.M. dan Seenayya, G. 2000. Efect of spices on the growth of red halophilic
cocci isolated from salt cured fish and solar salt. Food Research International. 33:
793-798.
Quattara, B., Simard, R.E., Holley, R.A., Piette, G.J.P. dan Bégin, A. 1997. Antibacterial
activitiy of selected fatty acids and essential oils against six meat spoilage
organisms. Int. J. Food Microbiol. 37: 155-162.
Sibel, R. (Editor). 2003. Natural Antimikrobias for the Minimal Processing of Foods.
Cambridge, GBR: Woodhead Publishing, Limited. Hal: 177.
Skandamis, P. dan Nychas, G-J,E. 2001. Effect of oregano essential oil on
microbiological and physicochemical attributes of mince meat stored in air and
modified atmospheres Journal of Applied Microbiology. 91: 1011– 1022.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 69


Skandamis, P., Tsigarida, E. dan Nychas, G.-J.E. 2002. The effect of oregano essential
oil on survival/death of Salmonella typhimurium in meat stored at 5ºC under
aerobic, vp/map conditions. Food Microbiology. 19: 97– 103.
Stecchini, M.L., Del Torre, M., Sarais, I., Saro, O., Messina, M. and Maltini, E. 1998.
Influence of structural properties and kinetic constraints on Bacillus cereus growth.
Applied and Environmental Microbiology. 64: 1075– 1078.
Tassou, C.C., Drosinos, E.H. and Nychas, G.-J.E. 1996. Inhibition of the resident
microbial flora and pathogen inocula on cold fresh fillets in olive oil, oregano and
lemon juice under modified atmosphere or air. Journal of Food Protection. 59: 31–
34.
Tirranen, L.S., Borodina, E.V., Ushakova, S.A., Rygalov, V. YE., and Gitelson, J.I. 2001.
Effect of volatil metabolites of dill, radish and garlic on growth of bacteria.
Acta Astronautica. 49(2): 105–108.
Tsigarida, E., Skandamis, P. dan Nychas, G.-J.E. 2000. Behaviour of Listeria
monocytogenes and autochthonous flora on meat stored under aerobic, vacuum
and modified atmosphere packaging conditions with or without the presence of
oregano essential oil at 5ºC. Journal of Applied Microbiology. 89: 901– 909.
Ultee, A., Kets, E.P.W. dan Smid, E.J. 1999. Mechanisms of action of carvacrol on the
food-borne pathogen Bacillus cereus. Applied and Environmental Microbiology. 65:
4606– 4610.
van der Watt, E. dan Pretorius, J.C. 2001. Purification and identification of active
antibacterial components in Carpobrotus edulis L. Journal of Ethnopharmacology.
76: 87–91.
Yin, M.C. and Tsa, S.M. 1999. Inhibitory effect of seven Allium plants upon three
Aspergillus species. Int. J. Food Microbiol. 49: 49-56.
Wilson, P.D.G., Brocklehurst, T.F., Arino, D., Thuault, M., Jakobsen, M., Lange, J.W.T.,
Farkas, J., Van, J.W.T., Wimpenny, J.F. dan Impe. 2002. Modelling microbial
growth in structured foods: towards a unified approach. International Journal of
Food Microbiology. 75: 273– 289.

TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 70

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai