Anda di halaman 1dari 20

Nama : Metri Purnama Sari

NPM : 1943700089
Kelas : Pagi C/Apoteker 41

TUGAS
Resume Pneumonia

Organ paru - paru terdiri dari trakea,bronkus,labus kiri dan kanan (dalam lobus ada
alveoli), pleura, cairan pleura dan diafragma. Pernapasan ini diatur oleh system peredaran pusat
yang kemudian diatur oleh perbedaan tekanan. Tekanan antara paru-paru dengan respirator
adalah sama yaitu 120 mmhg.
Pneumonia → Alveoli, Pleura dan cairan diafragma
Alveoulus → Sel tipe 1 = berfungsi sebaga produksi surfaktan pada paru-paru
↘ Sel tipe 2 = berfungsi sebagai pertukaran CO2 dan O2
Penyakit pneumonia disebabkan karena bakteri, virus atau jamur. Secara patologis
semuanya sama.
Pada saat zat asing yang masuk kedalam paru-paru akan mengaktifkan system imun. Salah
satunya adalah makrofag. Ketika zat asing masuk kedalam paru-paru kita dan akan sampai
menembus alveolus maka akan mengaktivasi respon imun yaitu makrofag. Makrofag akan
berikatan dengan zat asing tersebut. Pada waktu makrofag berikatan dengan zat asing tadi maka
makrofag akan mengeluarkan 3 senyawa spesifik yaitu:
1. interleukin 1
2. interleukin 6
3. tumor nekrosis factor (TNF alfa).
Masuknya ketiga senyawa tadi kedalam alveolus mengakibatkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah disekitar alveolus. Efeknya akan terjadi pelebaran cairan di dalam
pembuluh darah , cairan pembuluh darah akan keluar ke daerah alveolus efeknya akan terjadi
yaitu edema (akibat penumpukan cairan dalam pembuluh darah akibat 3 senyawa tadi).
Tiga senyawa yang ada dalam tubuh kita akan berefek lebih banyak jika masuk dalam
pembuluh darah dan menuju ke hipotalamus, sesampainya di hipotalamus dia akan
mengaktivasi/menstimulus pelepasan prostaglandin. Prostaglandin ini akan memberikan respon
seperti demam.
Didalam paru-paru tidak terdapat syaraf kalaupun ada rasa sakit itu berarti bagian dari otot.
Systemic Inflammatory response syndrome (SIRS)
Penurunan volume darah → shock → jantung berdetak lebih cepat (takikardia) →
meningkatkan suplai darah ke sel-sel
Penurunan stimulant darah → menurunkan fungsi ginjal → urine sedikit
Sesak nafas → alveolus terendam → kolaps penyempitan
SIRS( Sistem Inflamatory Responsi Sindrom) atau yang biasa disebut dengan gejala sepsis.
Pembuluh darah akan mengalami pelebaran total, efeknya akan syok karena terjadi penurunan
volume dalam darah, penurunan tekanan darah yang akan menyebabkan syok. Efeknya pada
jantung akan membuat jantung berdetak cepat (takikardia). SIRS efeknya pada ginjal akan
adalah adanya penurunan produksi urin yang menyebabkan kegagalan ginjal. Jadi banyak gejala-
gejala yang terjadi dalam tubuh karena adanya infeksi.
Batuk akibat respon umum dari adanya zat-zat asing yang ada dalam paru-paru sehingaa
paru-paru kita akan untuk mengeluarkannya dengan batuk
Sesak napas terjadi karena alveolus kita terendam akibat pelebaran pembuluh darah disekitar
alveolus yang menyebabkan alveolus koleps. Akan terjadi bebrapa gangguan salah satunya
adalah jantung akna berdetak lebih cepat tujuannya untuk meningkatkan suplai darah ke sel-sel
otot dan organ lain. Kemudian pada waktu terjadinya kolaps pada paru-paru tubuh kita akan
merespon dengan meningkatkan respirasi yang melebihi normal.

 Bagaimana proses terbentuknya dahak yang menutupi bronkus pada saat seorang pasien
terserang infeksi paru-paru?
Produksi sputum disebabkan oleh aktivasi makrofag yang mensekresikan IL-1, IL-6, dan
TNF alfa, mediator-mediator ini besifat kemotaksis yang menyebabkan neutrophil
menjadi aktif. Adanya neutrophil ini kemudian menyebabkan hipersekresi mucus akibat
proses fagositosis yang dilakukan olehnya. Produksi sputum sebenarnya adalah
mekanisme pertahanan diri yang normal dalam tubuh untuk melawan infeksi bakteri,
jamur maupun virus namun penumpukan sputum pada saluran napas, menyebabkan sesak
napas pada pasien.

 Kenapa sebagian orang bisa mengatasi ARSD dan sebagian orang tidak bisa?
a) Terjadi koleps
b) Riwayat PPOK atau sebelumnya merokok
c) Terjadi radang pada daerah paru-paru
d) Respon imun setiap orang yang berbeda-beda, jika seseorang imunitasnya kuat maka
tubuh akan negencerkan dahak dan dapat dikeluarkan namun pada seseorang yang
imunitasnya lemah tidak bisa mengeluarkan dahak oleh karena itu dahak akan menetap
di paru-paru, ditambah dengan penyakit penyerta seperti asma.
 Berapa kelenjar yang ada di daerah tenggorokan leher dan dada?
a) Timus di antara paru-paru, diatas jantung
b) Tyroid hormone di tenggorokan
c) Kelenjar getah bening di leher samping fungsinya menlawan infeksi (system imun)
d) Saliva di mulut menhasilkan enzim amylase
 Jelaskan perbedaan asma bronchial dengan sesak nafas pada pneumonia? Dan jika ada
kesaaman maka sebutkan kesamaannya?

No Bronchiti Pneumonia
1. Terjadi peradangan di brochial Terjadi di alveolus
2. Bronchitis tanpa adanya infeksi Dahak: Jika disebabkan oleh bakteri
penyerta dahak berwarna putih dahaknya berwarna kuningan
kehijauan terkadang disertai dengan
darah, jika pneumonia karena virus
dahak berwarna putih atau bening
3. Bronchitis akut bisa sampai 3 Demam tinggi karena ada infeksi
minggu
4. Bronchitis kronis selama 3 bulan Sesak nafas yang diikuti rasa sakit
atau bertahun-tahun pada paru-paru saat batuk
5. Bersifat irreversible Pada kasus pneumonia karena
infeksi tidak diberikan
kortikosteroid karena dapat
menurunkan sitem imun sehingga
tidak bisa melawan infeksi atau
dapat memperparah penyakit.
6. Dibutuhkan obat-obat beta 2 Pneumonia dibagi dua, pneumonia
agonis/obat-obat bronkodilator akut dan kronis
7. Dibutuhkan obat kortikosteroid Pneumonia disebabkan oleh bakteri,
(prednisolon) virus atau jamur, jika disebabkan
oleh virus makan dalam 3 minngu
akan sembuh.
8. Tanpa ada infeksi tidak
menimbulkan demam

 Community Aquired Pneumonia (CAP)


Hospital Aquired Pneumonia (HAP) pada kasus ini akan terjadi kontaminasi silang
pada pasien sehingga akan menambah lama rawatan di rumah sakit karena penambahan
penyakit seperti pneumonia. Oleh karena itu akan diberikan preventif antibiotik dalam infus,
terutama pada pasien yang berada di bangsal bedah yang akan melaksanakan operasi karena
pada bangsal bedah rentan terjadi kontaminasi silang atau infeksi.
 Nilai laboratorium

Pengukuran Hasil Keterangan Nilai Normal


Suhu 39 C Tinggi 36,5 – 37,2 C
Tekanan 130/90 mmHg Tinggi <120/80 mmHg
Darah
HR 105x/menit Tinggi 60 – 100x/menit
RR 33x/menit Tinggi 12 – 20x/menit
Leukosit 4000/mm3 Normal 3200 – 10.000/mm3
Hb 12 mg/dL Normal 12 – 16 g/dL
Procalcitonin 0,1 ng/ml Normal <0,5 ng/L resiko rendah
>2 ng/L resiko tinggi
lymphocyte 800 mikroliter Rendah 1.000 – 4.800
mikroliter
CRP 2,9 Normal <3 mg/L

Foto torax : Pneumonia bilateral. Adanya bercak-bercak yang menandakan bahwa pasien
terkena pneumonia dan terjadi penumpukan cairan di paru-paru.
Tekan darah 130/90 mmHg = Hipertensi stage 1
HR 105x/menit = Takikardi
RR 33x/menit = Tachipnea
PCT 0,1 ng/ml = Resiko rendah terjadi sepsis
 Jenis pengobatan
a. Terapi farmakologi:
1) Terapi hipertensi
2) Terapi antimucolitic : membantu pengeluaran dahak
3) Terapi antibiotik antipseudomonas: untuk pasien yang dirawat lebih ndari 5 hari
rentan terjadi infeksi nosokomial/kontaminasi silang.
4) Terapi anti virus
5) Profilaksis infeksi opportunistic: dilihat dari nilai lypositositnya rendah
b. Terapi non farmakologi: Terapi O2
 Procalcitonin (PCT)
a) Digunakan sebagai penanda tingkatan sepsis
b) Nilai PCT infeksi bakteri akan lebih tinggi dibandingkan dengan non bakteri.
c) Kasus peningkatan PCT:
Infeksi bakteri
Infeksi non bakteri
Trauma
SIRS (Systemic Inflammatory Respone Syndrome)
SIRS I
Dua atau Lebih tanda SIRS, sebagai berikut :
1. Suhu >38 C atau < 36 c
2. Denyut Jantung >90 kali/menit
3. Respirasi > 12.0 x 109/L , <4.0 x 10 9, atau >0,1 bentuk immatur (band)
II Sepsis
SIRS dan dokumentasi kultur inbfeksi (Kultur positif untuk organisme)
III Sepsis Berat
Sepsis dan gangguan fungsi organ, hipotensi atau hipoperfusi (keabnormalan
hipoperfusi, termasuk tetapi tidak hanya pada laktik asidosis, oliguria atau perubahan
status mental akut)
IV Sepsis Syok
Hipotensi (walaupun dengan resusitasi cairan) dan Keabnormalan hipoperfusi.
Sepsis kultur negatif
SIRS diberi pengobatan antibiotik yang secara klinis diduga infeksi

 C-Reactive Protein (CRP)


a) Diproduksi di hati.
b) Respon terhadap IL-6 dan lipopolisakarida saat inflamasi.
c) Terjadi peningkatan nilai CRP pada saat terjadi infeksi maupun inflamasi.
 Lymphocyte
a) Terjadi lymphocytopenia
b) Dapat terjadi akibat beberapa penyakit:
1) HIV/AIDS
2) Influenza
3) Autoimun
4) Sepsis
5) Malnutrisi
6) Penggunaan obat imunosupresan.
 Terapi Antibiotik
a. Anti pseudomonas
1) Beta laktam antipseudomonas
2) Flouroquinolone antipseudomonas
3) Aminoglikosida antipseudomonas
b. INH atau Rifampisin

 Perbedaan Pneumonia Virus dengan Pneumonia Bakteri

Pneumonia Virus Pneumonia Bakteri

Patogen Corona Virus, H.Influenza Streptococcus,


Type B Staphylococcus

Penularan Droplet Air Borne

Terapi Anti Virus Antibiotik

Sel Host Membutuhkan Sel Host Tidak Membutuhkan Sel


Host

Efek terhadap Leukopenia Leukositisis


Sistem Imun

 ARDS
ARDS terjadi sebagai akibat dari cedera alveoli karena berbagai penyebab
menghasilkan kerusakan alveolar difus. Hal ini menyebabkan pelepasan sitokin proinflamasi
[faktor nekrosis tumor, interleukin (IL) -1, IL-6, IL-8], yang merekrut neutrofil ke paru-paru,
di mana mereka diaktifkan dan melepaskan mediator beracun (spesies oksigen reaktif dan
protease) yang merusak endotel kapiler dan epitel alveolar yang menyebabkan edema
alveolar. [4] Ini, pada akhirnya, menyebabkan penurunan pertukaran gas, penurunan
kepatuhan paru-paru, dan peningkatan tekanan arteri paru.
Tahap awal adalah tahap eksudatif, ditandai dengan kerusakan alveolar difus. Tahap
kedua proliferasi berkembang setelah sekitar 10-14 hari, ditandai dengan resolusi edema
paru, proliferasi sel alveolar tipe II, metaplasia skuamosa, infiltrasi interstitial oleh
myofibroblast, dan deposisi kolagen awal. Beberapa pasien berkembang ke tahap ketiga
fibrosis, ditandai dengan penghancuran arsitektur paru-paru normal, fibrosis difus, dan
pembentukan kista.

 Fungsi Vitamin
a. Vitamin A berperan dalam produksi sel darah putih.
b. Vitamin C dan E berperan dalam proses penghambatan terhadap stres oksidative.
c. Vitamin D berperan dalam menjaga sistem kekebalan tubuh.
d. Zink berperan dalam proses absorbsi nutrisi untuk kebutuhan dalam proses
pembentukkan sistem imun.

 Kortikosteroid pada Pneumonia Virus


Kortikosteroid mengurangi peradangan sistemik. Setelah diserang oleh virus, sistem
kekebalan diaktifkan. Kortikosteroid menghambat reaksi imun dengan menekan reaksi
inflamasi, mencegah migrasi sel inflamasi dari sirkulasi ke masalah dengan menekan sintesis
kemokin dan sitokin, dan menghambat respon imun yang dimediasi oleh sel T dan sel B.
Dengan demikian, perubahan dalam reaksi kekebalan yang disebabkan oleh kortikosteroid
dapat menyebabkan viremia virus yang berkepanjangan dan menunda pembersihan virus,
yang pada akhirnya meningkatkan risiko kematian.
 Perbedaan Subjective dengan Objective
Subjective : biasanya data non kuanti tidak berupa nilai, seperti keluhan, riwayat penyakit.
Objective : data kuanti berupa nilai-nilai parameter dalam betuk angka.
 Kortikosterod dapat diberika jika system imun cukup baik, demam sudah tidak ada lagi,
sudah mulai stabil (cairan dalam paru-paru tidak ada). Jika ada bronchitis dan membutuhkan
kosrtikosteroid maka pengganti kortikosteroid bisa diberika beta 2 agunis agar tidak asma.
Batuk diberikan n-asetyl sistein sebagai anti oksidan dan mengeluarkan dahak. Jika tidak
teratasi akan diberikan Codein. Mengurangi cairan yang ada di dalam alveoli bisa diberikan
antibiotik, kerena yang menyebakan cairan itu menumpuk adalah bakteri. Penyebabnya kan
virus kenapa diberikan AB? Virus bisa masuk kedalam tubuh pasien karena ada hostnya,
hostnya yaitu bakteri makanya diberikan AB.

TUGAS
PERBEDAAN JENIS ANTIVIRUS

Corona Virus Disease-2019 atau Covid-19 adalah suatu penyakit akibat virus corona.
Pada Desember 2019, dilaporkan suatu kasus pneumonia misterius yang pertama kali dilaporkan
di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 18 Desember hingga 29 Desember 2019, terdapat
lima pasien yang dirawat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Sejak 31
Desember 2019 hingga 3 Januari 2020, kasus ini meningkat pesat, dilaporkan hingga 44 kasus.
Tidak sampai satu bulan kemudian, penyakit ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di Cina,
Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. Berdasarkan hasil penelitian sampel menunjukkan etiologi
virus corona jenis baru (Huang et al, 2020; Rothan et al, 2020).

Terapi Antivirus untuk COVID-19

1. Oseltamivir (BPOM, 2020)

Gambar 3. Struktur Kimia Oseltamivir


Indikasi:
Pengobatan dan pencegahan influenza A dan B
Kontraindikasi:
Hipersensitivitas terhadap oseltamivir fosfat dan zat tambahan lain
Mekanisme Kerja:
Oseltamivir fosfat adalah pro-drug dari oseltamivir karboksilat (OC) yang merupakan
inhibitor selektif dan poten dari enzim neuroimidase virus influenza A dan B,
sehingga menghambat infeksi virus influenza dan replikasi in vitro. Enzim
neuroimidase virus berperan penting dalam pelepasan partikel virus yang baru
terbentuk dari sel yang terinfeksi dan penyebarluasan penularan virus.
Dosis:
Dewasa dan anak ≥ 13 tahun, 75 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Dosis anak 1-12
tahun disesuaikan dengan berat badan.
Efek samping:
Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah mual, muntah nyeri abdomen,
epistaksis, gangguan pendegaran dan konjungtivis.
2. Lopinavir/Ritonavir (BPOM, 2020)

Gambar 4. Struktur Kimia Lopinavir/Ritonavir


Indikasi:
terapi lini kedua HIV/AIDS dalam kombinasi dengan antivirus lain
Kontraindikasi:
Hipersensitivitas terhadap lopinavir, ritonavir, maupun komponen obat, tidak boleh
diberikan bersamaan dengan antagonis adrenoreseptor alfa-1 antiangina, antiaritmia,
antibiotic asam fusidat, antigout, antihistamin, antipsikotik, benzodiazepine, dan tidak
boleh diberikan pada pasien gangguan hati berat
Mekanisme Kerja:
Lopinavir merupakan peptidomimetik penghambat protease dari HIV-1 dan HIV-2,
yang secara selektif menghambat pemotongan polyprotein sehingga mencegah
pematangan virus sedangkan ritonavir adalah peptidomimetik penghambat protease
HIV yang menganggu siklus reproduktif HIV. Keduanya dikombinasikan karena
ritonavir meningkatkan efek penghambatan lopinavir melalui penghambatan
degradasi oleh enzim sitokrom P450.
Dosis:
Dewasa : lopinavir/ritonavir tablet 400 mg/100 mg 2 kali sehari, tidak lebih dari 10
hari. Anak: berdasarkan berat badan, tidak boleh lebih dari 10 hari.
Efek samping:
Diare, mual, muntah, hipertrigliserida, hiperkolesterolemia, kelelahan termasuk
astenia, nyeri abdomen, sakit kepala, dyspepsia, kembung, insomnia, parastesia,
anoreksia, nyeri, depresi, lipodistrofi, ruam, myalgia, penurunan berat badan,
gangguan vascular, bronchitis, hipertensi.

3. Remdesivir (BPOM, 2020)

Gambar 5. Struktur Kimia Remdesivir


Indikasi:
Sebagai obat uji untuk pengobatan covid-19, berdasarkan pengalaman pengembangan
pengobatan infeksi virus Ebola, Sars-CoV, Mers-CoV. Dari beberapa uj in-vitro dan
in-vivo, Remdesivir menunjukkan aktivitas antivirus yang kuat dan juga telah terbukti
dapat mengurangi patologi pulmonary.
Kontraindikasi:
tidak dianjurkan pada penderita covid-19 dengan gangguan ginjal sedang sampai
berat, tidak dianjurkan pemberian bersama antiviral yang lain karena dapat terjadi
antagonism, sinergi atau tidak ada efek.
Mekanisme Kerja:
Remdesivir adalah analog nukleotida adenine dengan aktivitas antiviral spectrum luas
terhadap berbagai virus RNA, seperti SARS, MERS dan Ebola. Remdesivir
mengalami konversi metabolic yang efisien dalam sel dan jaringan menjadi metabolit
nukleosida trifosfat aktif yang menghambat RNA-dependet RNA polymerase (RdRp)
virus, tetapi tidak menghambat RdRp pasien.
Dosis:
Penggunaan pada dewasa, hari ke-1, 200 mg IV 1 kali sehari (diinfus selama >30
menit) sebagai dosis muatan (loading dose). Hari ke-2 sampai ke-10 diberikan 100
mg IV sekali sehari (diinfus selama >30 menit).
Penggunaan pada anak dengan berat badan <40 kg, hari ke-1, 5 mg/kg IV 1 kali
sehari (diinfus selama >30 menit) sebagai dosis muatan (loading dose). Hari ke-2
sampai ke-10 2,5 mg/kg IV 1 kali sehari (diinfus selama >30 menit).
Efek samping:
Gangguan gastrointestinal, hepatotoksik, resiko terjadinya efek pada susunan saraf
pusat, pernapasan dan kardiovaskular rendah.

4. Tenofovir (Mims, 2018)

Gambar 6. Struktur Kimia Tenofovir

Indikasi:
Infeksi HIV dan hepatitis B kronik
Kontraindikasi:
Hipersensitivitas, laktasi
Mekanisme Kerja:
Tenofovir disoproxil fumarate, adalah suatu nukleosida asiklik fosfonase diester,
suatu analog dari adenosine monofosfat, senyawa ini akan dihidrolisa menjadi
tenofovir kemudian mengalami fosforilasi oleh enzim seluler membentuk tenovofir
difosfat. Tenofovir difosfat akan mempengaruhi sintesis DNA dari HIV melalu
inhibisi kompetitif enzim reverse transcriptase sehingga menghambat pembetukan
DNA virus. Kemudian juga menghambat polymerase virus hepatitis B, menyebabkan
inhibisi replikasi virus tersebut.
Dosis:
Dewasa 300 mg sekali sehari
Efek samping:
Gangguan GI seperti anoreksia, nyeri abdomen, diare, dispesia, kembung, mual,
muntah. Pusing, sakit kepala, lemas, miopati, asidosis laktat, hepatomegaly berat
dengan steatosis.
Perbandingan Efektivitas Terapi pada Covid-19
Parameter Oseltamivir Remdesivir Lopinavir/Ritonav Tenofovir
ir
Nucleotide Reverse
Analog
Golongan Neuroimidase Inhibitor Protease Inhibitor Transcriptase
Nukleosida
Inhibitor (NRTI)
Menghambat
Menghambat Inhibisi kompetitif
Inhibisi enzim RNA-dependet
Mekanisme protease dari HIV-1 enzim reverse
neuroimidase RNA polymerase
Kerja dan HIV-2 transcriptase
(BPOM, 2020) (RdRp) virus
(BPOM, 2020) (MIMS, 2018)
(BPOM, 2020)
Diare, mual,
Gangguan GI,
muntah,
Pusing, sakit
hipertrigliserida,
mual, muntah nyeri kepala, lemas,
Gangguan hiperkolesterolemia
abdomen, epistaksis, miopati,
Efek gastrointestinal, , kelelahan
gangguan pendegaran asidosis laktat,
samping hepatotoksik termasuk astenia,
dan konjungtivis. hepatomegaly
(BPOM, 2020) nyeri abdomen,
(BPOM, 2020) berat dengan
sakit kepala,
steatosis.
dyspepsia,
(MIMS, 2018)
(BPOM, 2020)
Evidence- Studi retrospektif pada Penelitian in vitro Tinjauan sistematis Hingga saat ini
based pada 99 pasien covid-19 di menunjukkan dalam pengobatan belum ada
Covid-19 Tiongkok, menunjukkan obat ini dapat virus corona penggunaan klinik
58% pasien tetap menginhibisi terdahulu (SARS tenofovir pada
dirawat di RS, 31% infeksi virus dan MERS) pasien covid-19.
sembuh dan 11% secara efektif. Uji ditemukan terbatas. Namun penelitian
meninggal. Berbeda klinis fase 3 acak Sebagian besar klinis acak dalam
dengan virus influenza, tersamar antivirus ini diteliti pencegahan covid-
covid-19 tidak terkontrol plasebo dalam terapi SARS. 19 pada tenaga
membutuhkan pada pasien Laporan awal kesehatan sedang
memerlukan enzim covid-19 telah antivirus ini dalam berjalan
neuroimidase untuk dimulai di cina. terapi covid19 menggunakan
melepaskan diri dari sel Studi ini sebagian besar kombinasi antara
inang. Setelah membandingkan berbentuk studi emtrisitabin/tenofo
bereplikasi didalam sel remdesivir dosis kasus (case vir, dan
inang, virus covid-19 awal 200 mg studies), penelitian kebanyakan
membutuhkan bantuin diteruskan dosis retrospektif kecil penelitian klinis
protein E virus dan 100 mg pada 9 dan studi cohort cenderung meneliti
proses eksositosis untuk hari dan terapi acak, sehingga sulit mengenai
melepaskan diri, oleh rutin (grup untuk memastikan penggunan
karena itu, terbukti intervensi) efek terapi kombinasi ini pada
oseltamivir tidak efektif dengan plasebo langsung pasien HIV yang
digunakan untuk Covid- dosis sama dan lopinavir/ritonavir mengalami covid-
19. Namun beberapa terapi rutin (grup pada covid19 19 (Blanco et al,
literature menyatakan kontrol). Hasil uji (Sanders, et al, 2020)
bahwa terapi ini dapat klinis ini 2020). Kemudian
diberikan pada awal diharapkan segera Cao et al (2020),
munculnya gejala covid- selesai (Dong et melakukan uji
19 dan beberapa uji al, 2020; Wang et klinis tak tersamar
klinik masih berjalan al, 2020) (Unblinded RCT)
sehingga masih belum pada 199 subjek
dapat disimpulkan untuk menilai
efikasi secara lopinavir/ritonavir
keseluruhan dari dibandingkan terapi
oseltamivir pada Covid- standar pada pasien
19 (AHFS, 2020; Fehr covid-19. Hasilnya,
& Perlman, 2015) tidak terdapat
perbedaan
bermakna pada
waktu perbaikan
klinis. Pada
penilaian mortalitas
28-hari didapatkan
angka yang lebih
rendah pada
kelompok LPV/r.
dapat disimpulkan
bahwa tidak ada
hubungan antara
LPV/r dengan
waktu perbaikan
klinis, durasi rawat
inap, lama rawat
ICU, mortalitas dan
perubahan jumlah
virus. Baden &
Rubin (2020)
berpendapat bahwa
LPV/r memiliki
kemampuan
inhibisi replikasi,
bukan supresi
jumlah virus. Oleh
karena itu, merekan
mengusulkan perlu
dilakukan
penelitian lebih
lanjut untuk
menyimpulkan
efektivitasnya
Biaya
(Bahan
baku obat)
USD 102/500 mg USD 850/10 mg USD 192/250 mg USD 190/100 mg
(www.med
chemexpre
ss.com)

PEMBAHASAN
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa belum ada satupun antivirus yang terbukti secara
efektif dapat digunakan dalam terapi covid-19. Hal ini dikarenakan Covid-
19 adalah virus corona jenis baru sehingga masih banyak hal yang tidak
diketahui mengenai virus tersebut. Berbagai penelitian klinis (Randomized
Clinical Trial) sedang berjalan untuk menentukan terapi yang paling
menguntungkan untuk mengatasi covid-19. Namun apabila dilakukan
analisa, dari segi mekanisme kerja serta biaya serta beberapa hasil
penelitian klinis yang telah rampung (walaupun masih menggunakan
jumlah sampel yang relatif kecil), dapat dikatakan bahwa oseltamivir tidak
direkomendasikan karena tidak memiliki efektivitas terhadap covid-19.
Hal ini disebabkan karena mekanisme kerja dari oseltamivir adalah
menghambat enzim neuroimidase dalam proses pelepasan virion (virus
baru) namun faktanya, virus corona tidak menggunakan enzim tersebut
dalam proses pelepasan virion (Fehr & Perlman, 2015). Harga (price) yang
paling murah dari seluruh antivirus yang dibahas dalam penelusuran
literatur ini adalah harga dari oseltamivir. Hal ini kemudian menjadi alasan
mengapa oseltamivir tetap digunakan meski efektivitasnya adalah yang
paling rendah dari semua antivirus yang dibahas dalam penelusuran
literature ini.
Berdasarkan hasil penelusuran literatur yang telah dilakukan maka
dapat disimpulkan pula bahwa remdesivir dari segi mekanisme kerja
adalah antivirus yang paling unggul dari semua antivirus yang dibahas
dalam penelesuran ini. Hal ini dikarenakan remdesivir menghambat RNA-
dependet RNA polymerase (RdRp), hal ini mengakibatkan remdesivir
menghambat covid-19 pada stadium awal replikasi virus. Selain itu,
remdesivir juga telah terbukti memiliki spectktrum antivirus yang luas,
diantaranya pada Ebola, Sars-CoV dan Mers-Co-V. Namun harga dari
remdesivir tergolong mahal. Dan merupakan harga antivirus paling mahal
dari semua antivirus yang dibahas dalam penelusuran ini. Dan hingga
penelusuran literature ini ditulis, remdesivir belum mendapat persetujan
FDA (FDA Approved) untuk digunakan dalam terapi covid-19.
Remdesivir hanya digunakan dengan hati-hati pada pasien covid-19
(hanya digunakan untuk anak <18 tahun dan ibu hamil serta digunakan
dalam penelitian klinis) (Sanders et al, 2020). Sedangkan tenofovir,
walaupun secara mekanisme kerja sangat mungkin untuk dikembangkan
dalam terapi covid-19, karena tenofovir menghambat enzim reverse
transcriptase virus. Merupakan suatu enzim yang khas dan spesifik
terdapat pada virus-virus RNA seperti HIV dan covid-19 ini adalah virus
RNA sehingga secara teoeri enzim tersebut ada pada covid-19 berfungsi
untuk mentranskripsi balik RNA ke DNA sehingga virus dapat melakukan
sintesis DNA dari RNAnya serta bila dilihat dari segi biaya tenofovir
termaasuk murah daripada remdesivir, lopinavir/ritonavir namun lebih
mahal dari oseltamivir. Dari mekanisme tersebut, maka tenofovir sangat
potensial untuk dikembangkan menjadi antivirus covid-19 namun hingga
kini pemakaian klinis tenofovir dalam terapi covid-19 masih belum
digunakan. Hal ini dikarenakan beberapa penelitian menunjukkan bahwa
virus korona tidak mengalami reverse transcription pada siklus hidupnya
(Unhale et al, 2020).
Setelah melewati berbagai penelusuran literatur, maka jika dilihat
dari segi mekanisme kerja dan biaya, pilihan terapi yang cukup ideal
adalah Lopinavir/ritonavir. Dikarenakan antivirus ini dapat menghambat
covid-19 dengan cara menghambat enzim protease covid-19 walaupun
hasil uji klinik menunjukkan antivirus ini tidak menunjukkan potensi yang
menjanjikan dalam terapi covid-19 bila dibandingkan dengan remdesivir
karena menghambat proses replikasi virus pada tahap akhir (pematangan)
sehingga tidak menurunkan jumlah virus yang bereplikasi hanya dapat
menginhibisi proses replikasinya saja (Baden & Rubin, 2020). Walaupun
hingga sekarang belum ada hasil uji komparatif yang menunjukkan
signifikannya perbedaan antara terapi kedua antivirus tersebut pada
covid19. Namun dari segi biaya lopinavir/ritonavir lebih murah daripada
remdesivir dan tenofovir dan lebih mahal dari oseltamivir. Sehingga bila
yang menjadi patokan terapi adalah antivirus dengan mekanisme kerja
yang sesuai serta biaya yang lumayan terjangkau maka lopinavir/ritonavir
lebih tepat digunakan dalam terapi meskipun belum ada evidence-based
efektivitas terapi.
Hingga penelusuran literature ini ditulis, ada banyak sekali
penelitian klinis yang sedang berjalan mengenai terapi antivirus pada
covid-19, mengenai efektivitas dan keamanan dari antivirus. Sehingga
dapat dikatakan bahwa terapi covid-19 masih akan terus berkembang dan
ada banyak kemungkinan yang akan terjadi di kemudian harinya.

Kesimpulan
1. Pandemi Covid-19 disebabkan oleh virus corona jenis baru.
2. Hingga sekarang belum ada bukti efektitas terapi penggunaan
oseltamivir, remdesivir, lopinavir/ritonavir dan tenofovir pada covid-
19 (no evidence-based therapy)
3. Jika dilihat dari mekanisme kerja, antivirus yang paling potensial
digunakan dalam terapi covid-19 adalah berturut-turut (dari yang
paling poten hingga tidak) yaitu remdesivir, lopinavir/ritonavir,
oseltamivir, tenofovir
4. Dari segi biaya, antivirus yang paling mahal hingga paling murah
adalah, remdesivir, tenfovir, lopinavir/ritonavir dan oseltamivir

Pustaka
Anonim. 2018. MIMS Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2020.


Informatorium Obat Covid-19 di Indonesia. Jakarta: BPOM RI

Baden, L.R., Rubin, E.J. 2020. Covid-19-The Search for Effective


Therapy. New England Journal of Medicine. Published Online March
18. DOI:10.1056/NEJMe200547

Blanco, J., Juan, A., Felipe, G., Esteban, M., Alex, S., Josep, M. 2020.
Covid-19 in Patients with HIV: Clinical Case Series. The Lancet.
Volume 7(5): 314 – 316

Cao, B., Wang, Y., Wen, D., Liu, W., Wang, J., Fan, G. A Trial of
Lopinavir-Ritonavir in Adults Hospitalized with Severe Covid-19.
New England Journal of Medicine. Published Online March 18.
DOI:10.1056/NEJMoa2001282

Dong, L., Hu, S., Gao, J. Discovering Drugs to Treat Coronavirus Disease
2019 (Covid-19). Drug Discoveries & Therapeutics. 14(1)P 58-60

Fehr, A.R., Stanley, P. 2015. Coronavirus: An Overview of Their


Replication and Pathogenesis. Methods in Molecular Biology. 1282:
1-23

Huang, C., Wang, Y., Li, X., Ren, L., Zhao, J., Hu, Y., et al. 2020. Clinical
Features of Patients Infected with 2019 Novel Coronavirus in Wuhan,
China. The Lancet. 395(10223): 497-506

Li, X., Geng, M., Peng, Y., Meng, L., Lu, S. 2020. Molecular Immune
Pathogenesis and Diagnosis of Covid-19. Journal of Pharmaceutical
Analysis. Published Online March 5.
DOI:10.1016/J.PHA.2020.03.001
Liu, Y., Gayle, A.A., Wilder-Smith, A., Rocklov, J. 2020. The
Reproductive Number of COVID-19 is Higher Compared to SARS
Coronavirus. Journal of Travel Medicine. 27(2)
Riedel, S., Morse, S., Mietzner, T., Miller, S., Jawetz, M. 2019.
Adelberg’s Medical Microbiology 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Education and Medical

Rothan, H.A., Byrareddy, S., N. 2020. The Epidemology and Pathogenesis


of Coronavirus Disease (Covid-19) Outbreak. Journal of
Autoimmunity. Published Online March 3. DOI:
10.1016/j.ut.2020.102433

Sanders, J.M, Marguerite, L., Monogue. Thomasz, Z.J., James, B.C. 2020.
Pharmacologic Treatments for Coronavirus Disease 2019 (COVID-
19) A Review. Journal of American Medical Association. Published
Online April 13. DOI: 10.1001/jama.2020.6019

Unhale, S.S., Quazi, B.A., Shubhanm, S., Suraj, T., Shreya, W., Rohit, B.
et al. 2020. A Review on Corona Virus (COVID-19). World Journal
of Pharmaceutical and Life Sciences. Volume 6(4): 109-115

Wang, M., Cao, R., Zhang, L., Yang, X., Liu, J., Xu, M. et al. 2020.
Remdesivir and Chloroquine Effectively Inhibit The Recently
Emerged Novel Coronavrus (2019-nCoV) in Vitro. Cell Research.
30(3): 269-271

Zhang, H., Penninger, J.M., Li, Y., Zhong, N., Slutsky, A.S. 2020.
Angiotensin-Converting Enzyme 2 (ACE2) as a SARS-CoV-2-
Receptor: Molecular Mechanisms and Potential Therapeutic Target.
Intensive Care Medicine. Published Online March 3. DOI:
10.1007/s00134-020-05985-9

Zhu, N., Zhang, D., Wang, W., Li, X., Yang, B., Song, J. et al. 2019. A
Novel Coronavirus from Patients with Pneumonia in China. New
England Journal of Medicine. 382(8): 727-733

Anda mungkin juga menyukai