Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Apoteker (Apt) Program
Studi Profesi Apoteker

Disusun oleh:

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
JAKARTA
2020
KATA
PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang menciptakan alam
semesta beserta isinya serta kehidupan yang senantiasa berjalan dalam
keseimbangan. Atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat
menyelesaikan laporan praktik kerja program studi pendidikan Apoteker.
Penulisan laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan pada
Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta.
Selama penyusunan laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker, penulis begitu
banyak mendapatkan bantuan, dorongan dan bimbingan baik bersifat moril
dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Harapan
penulis laporan ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun
pembaca.

Jakarta, 20 Mei 2020

Tim Penulis
Dasar hukum

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
3. Undang Undang Nomor 36 tahun 2016 tentang Tenaga Kesehatan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3781);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
7. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional.
8. Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan
Jasa.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan
Pasien.
11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017
tentang Formularium Nasional.
12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang
Kebijakan Obat Nasional
Tujuan/manfaat
Kebijakan/ketentuan/peraturan
TEORI

Definisi Instalasi Farmasi

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 72 tahun 2016 tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit adalah unit pelaksana fungsional
yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).

Produksi Sediaan Farmasi di Rumah Sakit


Instalasi Farmasi dapat melakukan kegiatan produksi suatu sediaan
farmasi, dengan ketentuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
Kriteria obat yang diproduksi:
1. sediaan farmasi dengan formula khusus
2. sediaan farmasi dengan harga murah
3. sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil
4. sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran
5. sediaan farmasi untuk penelitian
6. sediaan nutrisi parenteral
7. rekonstruksi sediaan obat kanker

Seksi produksi adalah seluruh rangkaian kegiatan dalam menghasilkan


suatu obat yang meliputi pembuatan obat mulai dari pengadaan bahan awal,
proses pengolahan, pengemasan sampai obat jadi siap didistribusikan. Produksi
sendiri dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), bila produk
obat/sediaan farmasi tersebut tidak diperdagangkan secara komersial atau jika
diproduksi sendiri akan lebih menguntungkan. Produksi obat sediaan farmasi yang
dilakukan merupakan produksi lokal untuk keperluan rumah sakit itu sendiri.
Dalam proses produksi tersebut dilakukan berbagai tahap mencakup desain dan
pengembangan produk, pengadaan, perencanan dan pengembangan proses,
produksi, pengujian akhir, pengemasan, penyimpanan, sampai dengan
penghantaran produk tersebut pada penderita/profesional kesehatan. Oleh karena
itu, IFRS perlu menerapkan standar sistem mutu ISO 9001 dan dilengkapi Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Dalam rangka memutuskan tepat tidaknya
produksi lokal di rumah sakit, beberapa faktor yang harus dipertimbangkan adalah
rancangan kapasitas dan sumber produksi, seleksi produksi, persediaan produksi
serta pengontrolan kualitas dan harga produk (Anief, 2001).
Tujuan perencanan produksi obat adalah merencanakan produksi obat
yang sesuai dan kebutuhan rumah sakit. Dalam proses produksi untuk
menghasilkan anggaran yang tepat selama produksi maka farmasis akan
menentukan inventaris dan pemakaian anggaran yang diperlukan untuk produk
akhir dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Persediaan dan tingkat pemakaian produk jadi.
Mengenai tingkat pemakaian setiap jenis barang yang akan diproduksi. Hal
ini dilakukan dengan meninjau kembali catatan dari satu atau dua tahun
sebelumnya dan membandingkan catatan ini dengan pola resep yang
ditulis oleh dokter.
2. Persyaratan bahan.
Seorang farmasis di rumah sakit harus menentukan produk yang akan
dibuat dengan memperhitungkan jumlah dan banyaknya produksi yang
akan dibuat serta menyusun cara terbaik dan termudah dalam mendapatkan
persediaan. Persediaan ini meliputi : Bahan baku, Wadah, Etiket dan bahan
lainnya seperti kertas saring, kotak dan etiket khusus.
3. Kepastian produksi.
Dalam kapasitas produksi ini farmasis harus mempertimbangkan dua hal
yaitu apakah farmasis mempunyai perlengkapan untuk pembuatan produk
dan apakah mesin atau perlengkapan tersebut sanggup untuk memproduksi
dalam jumlah yang diinginkan. Waktu merupakan faktor yang berharga
dalam proses produksi, maka farmasis harus menggunakan ka pasitas
maksimum dari peralatannya, pemilihan perlengkapan harusnya dibuat
sebagai dasar untuk mendapatkan peralatan yang mempunyai banyak
fungsi dan mencegah kerugian akibat penumpukan peralatan mahal yang
nantinya tidak akan digunakan.
4. Peralatan produksi dan sumber-sumbernya.
Macam dan ukuran dari perlengkapan produksi ya ng disyaratkan dalam
farmasi rumah sakit berbeda tiap rumah sakit. Penentuan peralatan
berdasarkan jangkauan program produksi, jumlah yang akan diproduksi,
lainnya waktu yang hendak disyaratkan ke pemakai produk, tersedianya
personil dan tersedianya fasilitas fisik.
5. Tenaga produksi
Tenaga produksi yang terlalu banyak akan mengakibatkan pemborosan
anggaran, akibatnya harga produksi akan menjadi mahal. Bagian produksi
harus diawasi oleh farmasis yang didukung oleh tambahan personil yang
terlatih untuk mengadakan pekerjaan non teknis seperti memasukkan
cairan ke dalam botol, menyaring, memberi etiket, dan lain-lain.
6. Biaya operasi
Biaya operasi yang dikontrol dengan baik tentu akan menghasilkan suatu
hasil yang menguntungkan pemakaian biaya operasi yang tepat biasanya
digunakan biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung ditujukan
pada tenaga kerja sedangkan biaya tidak langsung ditujukan pada biaya
personil dalam kedudukannya sebagai pengawas, tempat sewa, asuransi
dan penurunan nilai peralatan, pemeliharaan anggaran rumah tangga dan
lain-lain. Biaya tidak langsung seharusnya dibandingkan dengan biaya
langsung untuk memastikan biaya sebenarnya dari produk.
a. Perencanaan produksi, mulai dari seleksi produk, pengemasan bahan
baku dan kemasan serta pengembangan formula. Dalam perencanaan
ini perlu dipertimbangkan seleksi produk yang mungkin untuk
dimanufaktur, didasarkan pada permintaan rumah sakit terhadap
ketersediaannya, menetapkan kemungkinan pelaksanaannya secara
ekonomi dan berdasarkan penilaian dasar.
b. Perencanaan gedung dan fasilitas produksi, peralatan dan personel
yang memenuhi syarat.
c. Mengadakan pelatihan personel secara teratur, inspeksi dan evaluasi
kerja.
d. Mengadakan dokumentasi proses produksi.
e. Menjamin mutu produk akhir.

Dalam proses produksi, dasar perencanaan produksi adalah formulir


permintaan yang dikirim ke instalasi produksi di mana mekanisme pengadaan,
penyimpanan dan penyaluran bahan baku dan bahan jadi adalah :
a. Untuk pengadaan bahan baku dan pengemasan yang digunakan dalam
proses produksi diperoleh dari sub instalasi perbekalan setiap bulan sekali.
b. Untuk penyimpanan obat jadi dan bahan baku yang akan digunakan,
masing-masing ditempatkan dalam lemari terpisah.
c. Obat jadi didistribusikan ke sub instalasi perbekalan untuk kemudian ke
ruang atau depo farmasi.

Untuk produk yang dipesan oleh pihak lain selain di rumah sakit diambil
sendiri. Kegiatan produksi yang dilakukan oleh sub instalasi produksi farmasi ada
dua, yaitu :
1) Produk Obat Steril
Pembuatan produk steril terbagi menjadi :
a. Produksi steril adalah proses mencampur atau meracik bahan obat steril
dan dilakukan di dalam ruang steril.
b. Aseptic dispensing adalah teknik aseptic yang dapat menjamin
ketepatan sediaan steril yang dibuat dan bebas kontaminasi.

Kegiatan produksi steril yang akan dilakukan sub instalasi produksi


farmasi:
a) Total Parenteral Nutrition (TPN)
Total parenteral nutrition adalah membuat atau mencampur bahan
nutrisi yang berisi asam amino, karbohidrat dan lipid yang steril dengan
kadar yang sesuai kebutuhan masing-masing pasien, sehingga
dihasilkan sediaan yang steril. Ruang untuk TPN bertekanan positif dari
pada di luar karena obat ini tidak berbahaya hanya saja dalam
pembuatannya harus steril.
b) IV admixture atau pencampuran obat-obat suntik
Proses pencampuran obat steril ke dalam larutan intravena steril untuk
menghasilkan suatu sediaan steril yang bertujuan untuk penggunaan
Intra Vena (I.V)
Ruang lingkup dari IV admixture :
 Pelarutan serbuk steril.
 Menyiapkan suntikan IV sederhana (tunggal)
 Menyiapkan suntikan IV kompleks

Keuntungan IV admixture:
 Terjaminnya sterillitas produk
 Terkontrolnya kompatibilitas obat
 Terjaminnya kondisi penyimpanan yang optimum sebelum dan
sesudah pengoplosan.

c) Obat Sitostatika
Obat sitostatika adalah obat yang digunakan dalam pengobatan kanker
(antineoplastik). Peracikan obat kanker atau sitostatika adalah kegiatan
rekonstitusi (pencampuran) obat-obat sitostatik dan menyiapkan agar
siap digunakan dengan mempertimbangkan dasar-dasar keamanan bagi
pekerja dan lingkungan serta prinsip dasar pencampuran obat steril. Sub
instalasi produksi farmasi melayani permintaan penyiapan obat
sitostatika dengan sumber obat yang berasal dari:
 Farmasi atau apotek Korpri untuk pasien umum
 Apotek askes untuk pasien askes
 YKI (Yayasan Kanker Indonesia) untuk pasien tidak mampu.
Obat tersebut diberikan pada bagian produksi obat steril maksimal
sehari sebelum dilakukan kemoterapi. Sebelum obat dibuat harus
dilakukan pengecekan apakah pasien jadi di kemoterapi pada waktu
yang telah ditentukan atau tidak. Jika tidak maka obat tidak boleh
disiapkan, karena obat harus diberikan segera setelah direkonstitusi
mengingat ketidakstabilan obat dan jika terlalu lama disimpan maka
obat menjadi rusak. Dalam formulir permintaan obat sitostatika
tercantum data pasien meliputi nama, nomor medical record, ruangan,
jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, umur, luas permukaan tubuh,
diagnosis, nama dokter, dan paraf dokter, dan data permintaan obat
yang meliputi nama obat, dosis, cara pemberian, volume, jumlah
(ampul/vial), pelarut, volume pelarut, volume akhir, expire date, dan
alat kesehatan yang digunakan. Rekonstitusi obat sitostatika dilakukan
secara aseptik di ruang steril di dalam laminar air flow. Dalam CPOB,
ruang yang digunakan untuk kegiatan steril disebut ruang kelas II, tidak
boleh mengandung lebih dari 350.000 partikel berukuran 0,5 mikron
atau lebih. Dua ribu partikel berukuran 5 mikron atau lebih, serta tidak
lebih dari 100 mikroba setiap meter kubik udara. Tekanan udara di
ruangan ini makin ke dalam atau makin mendekati laminar air flow
harus makin negatif. Hal ini untuk mencegah keluarnya obat yang
direkonstitusi dan ag ar tidak mengkontaminasi personil yang
mengerjakannya. Personil yang mengerjakan harus memakai pakaian
steril model khusus, penutup kepala, masker, kacamata, sarung tangan,
dan penutup kaki (Sukmadinata, 2005).

2) Produk Obat Non Steril


Sub instalasi produksi farmasi membuat perencanaan produksi obat -obat
yang dibutuhkan selama satu bulan dan mencatat realisasi kerjanya,
perencanaan produksi dibuat untuk bulan berikutnya berdasarkan
permintaan barang dari sub instalasi apotek pegawai distribusi farmasi dan
persediaan minimum produksi, selanjutnya dilaksanakan dalam kegiatan
harian. Kegiatan yang dilakukan dalam produksi non steril yaitu
pembuatan, pengenceran, dan pengemasan kembali.
a. Pembuatan
Sub instalasi produksi farmasi memproduksi obat non steril
berdasarkan master formula. Produksi obat dilakukan dengan mengisi
formulir pembuatan obat. Tahapan pembuatan obat dilakukan
berdasarkan urutan seperti contoh yang terdapat pada formulir
pembuatan obat dan pada setiap tahap pembuatan harus diparaf oleh
petugas yang mengerjakannya. Formulir pembuatan obat dibuat
berdasarkan per item obat. Pengemasan dan pemberian etiket
dilakukan setelah produksi obat atau pengenceran antiseptik selesai
dibuat dan diperiksa kembali. Setelah selesai pengemasan, maka
penyelia harus mengisi lembaran atau formulir pengemasan yang
berisi tanggal produksi, nama obat, nomor produksi, volume dan
kemasan, kemudian diparaf. Selanjutnya formulir pembuatan obat,
formulir pengemasan dan etiket diparaf atau diberi cap oleh
penanggung jawab sebagai tanda bahwa obat sudah diperiksa dan
dapat didistribusikan.
b. Pengenceran
Pengenceran dilakukan berdasarkan urutan seperti yang terdapat pada
formulir obat dan pada setiap tahap harus diparaf oleh petugas yang
mengerjakannya. Pengenceran misalnya pembuatan alkohol 70% dari
alkohol 95%.
c. Pengemasan kembali
Pengemasan kembali misalnya Betadine dan Rivanol dari kemasan
besar menjadi kemasan yang lebih kecil.

Penyimpanan hasil produksi dipisahkan antara obat dalam dan obat


luar yang masing-masing disusun secara alfabet. Obat yang lebih dulu
dikeluarkan adalah obat yang lebih dulu diproduksi dengan
mempertimbangkan waktu kadaluarsanya. Setiap pengeluaran obat dicatat
dalam kartu sediaan. Instalasi produksi farmasi melayani kebutuhan
barang dari sub instalasi distribusi, apotek pegawai dan apotek korpri.
Pengiriman barang dilakukan setiap minggu. Sub instalasi produksi
farmasi juga melayani permintaan untuk pembuatan formula khusus yang
berasal dari resep dokter dan tidak ada dalam rencana produksi. Laporan-
laporan yang dibuat adalah laporan pemasukan dan pengeluaran bahan
baku yang dibuat setiap bulan; laporan pembuatan dan pengeluaran produk
jadi non steril, serta laporan pelayanan sitostatika. Obta-obat yang
diproduksi di instalasi produksi farmasi adalah obat-obat yang lebih murah
jika diproduksi sendiri dan obat yang tidak terdapat di pasaran atau
merupakan formula khusus.

Meskipun banyak alasan untuk melakukan produksi lokal, tapi


studi feasibilitas (kelayakan) tetap dibutuhkan sebelum produksi dimulai.
Hal ini tergantung pada pengadaan dan kualitas sumber bahan. Perusahaan
farmasi biasa menjalankan produksi yang sangat sederhana atau dapat pula
membuat produk yang berbeda tingkat kompleksitasnya, studi feasibilitas
ini harus memperhatikan:
a) Personil
Personil bagian produksi adalah sumber terkontaminasi dan error yang
terjadi pelatihan kepada mereka harus secara regular, dan evaluasi dan
inspeksi dilakukakan secara periodik.
b) Gedung dan bangunan fisik.
Dasar dari produksi adalah lokasi, desain, konstruksi, adaptasi, dan
pemeliharaan. Gedung bisa saja sederhana, tapi dengan ukuran yang cukup
untuk melakukan semua kegiatan. Penyusunan area harus bebas debu,
dengan menggunakan AC, jendela harus terkena sinar matahari dan terjaga
keamanannya. Jumlah gedung, ruang dan ukuran ruang tergantung pada
beberapa faktor :
 Jenis umum produksi Farmasi yang dilaksanakan (Steril/non steril)
 Jumlah bentuk produk Farmasi (eksternal dan internal liquid, serbuk,
salep, tetes mata, parenteral, dll)
 Jumlah atau kuantitas dari tiap produk sediaan.
 Volume dari repacking dan COT packaging
 Tingkat penyediaan servis (pusat pelatihan, pusat distribusi, rumah sakit
sederhana).

Ruang-ruang terpisah (pada beberapa hal mempunyai ciri khusus)


dibutuhkan untuk :
 Kegiatan administrasi.
 Ruang untuk mencuci botol – botol
 Produksi non steril
 Ruang steril
 Sterilisasi dan penyaringan air
 Pelabelan dan internal QC
 Gudang
 Ruang penerimaan
 Ruang istirahat
 Kafetaria/dapur kecil
 Ruang pemeliharaan
 Garasi
 Ruang kelas (disatukan dengan ruang istirahat)
 Rumah untuk staf
 Laboratorium.

c) Sumber air
Pengadaan air yang cukup adalah hal yang sangat fundamental. Tetapi
terkadang, produksi farmasi di beberapa daerah berkembang tidak
mempunyai pelayanan persediaan air, dan jika ada air harus diteliti dulu
sebelum digunakan, jika persediaan air kurang harus ada alternatif lain
sumber air sebelum produksi dimulai. Sumber-sumber air yang dapat
digunakan antara lain :
 Air hujan
 Air permukaan (danau/sungai)
 Air bawah tanah (sumber/mata air)
 Penyaringan air dengan sinar matahari.
Hal ini tergantung pada sumber air, cuaca, kontaminasi dan jumlah
yang dibutuhkan. Air dari berbagai sumber tersebut di atas perlu diuji
laboratorium untuk memonitor kemurniannya.

d) Peralatan
Lokasi dan desain dari peralatan harus meminimalisir resiko error dan
efektif pada pembersihan dan perawatannya. Berat dan ukuran peralatan
harus dikalibrasi secara teratur.

e) Dokumentasi
Setiap produksi harus punya literatur teknis, yang terdiri dari Formularium
Nasional yang resmi dan Farmakope. Sumber dari formula harus
menggunakan referensi dari literatur sains dan tercatat pada bagian produksi
dan kontrol buku kerja, kalkulasi ukuran batch dan intruksi harus jelas
sebelum memproduksi produk baru (Anonim, 2006).

Sediaan Intravena
 Mempersiapkan salinan pesanan asli dari dokter berisi nama pasien, no
ruangan, cairan intravena yang diinginkan, bahan tambahan, waktu
mulai, lama terapi dan kecepatan alir.
 Memeriksa stabilitas, interaksi obat, dosis lazim, kontabilitas bahan,
duplikasi obat, alergi, lama terapi dan membandingkannya dengan aturan
automatic stop or der dan terapi lain yang diterima pasien. Resep pesanan
tersebut dimasukkan dalam profil pasien.
 Penyimpanan label dan lembar kerja, lalu di cek kembali sesuai pesanan.
 Mempersiapkan produk parenteral (oleh farmasis atau asisten apoteker
berpengalaman tergantung aturan yang berlaku)
 Produk dipersiapkan, di cek kembali labelnya dengan pesanan aslinya.
Dosis, bahan, label pembantu, kompatibilitas, rute, kecepatan, kehadiran
bahan partikulat, perubahan warna integritas wadah periksa. Umumnya
setiap dosis intravena diberikan sesuai urutan pesanan.
 Pada pengiriman produk intravena ke unit pasien, larutan sekali lagi di
cek oleh orang yang akan memberi obat.
 Jika tidak langsung digunakan, racikan intravena harus dimasukan ke
dalam lemari pendingin sampai akan digunakan. Jika tidak digunakan
selama 24 jam harus dikembalikan ke bagian farmasis untuk
didistribusikan kembali atau dibuang.
 Sebelum pemberian pada pasien, perawat harus memeriksa kebenaran
nama pasien, nama obat, konsentrasi larutan, tanggal kadaluarsa dan
waktu mulainya (Anonim, 2016).

Tanggung jawab terhadap sistem peracikan intravena ada di tangan


farmasis karena faktor :
 Kontaminasi, farmasis memperhatikan kebersihan dengan aliran udara
laminar vertikal atau horizontal untuk peracikan intravena.
 Kompatibilitas, farmasis dapat mengontrol larutan intravena yang
digunakan dan obat yang dikombinasikan dalam larutan. Farmasis harus
disiapkan untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan
ketidaksempurnaan kimia, fisik, terapeutik dan merancang alternatif yang
cocok untuk mengatasinya.
 Stabilitas, informasi stabilitas obat harus diperoleh dengan mudah agar
farmasis dapat memantapkan kondisi optimum penyiapan sesudah
pembuatan.
 Biaya, keuntungan bila sistem ini dilakukan adalah berkurangnya biaya
keseluruhan karena obat dan pelarut, penyimpanan, waktu pembuatan,
sediaan yang tidak terpakai dan terbuang lebih sedikit. Obat dibuat dalam
jumlah besar sehingga mengurangi tenaga dan waktu serta lebih
ekonomis.
 Kesalahan, farmasis dididik untuk mengakumulasi pengobatan dalam
menentukan dosis terapi parenteral terutama pada peracikan nutrisi dan
ke terapi.
 Kualitas, peracikan harus memperhatikan mutu di mana larutan diperiksa
selama dan sesudah pembuatan. Kompatibilitas dan sterilisasi, pelabelan
merupakan sistem farmasi yang khas.
 Keamanan, direktur pelayanan farmasi bertanggung jawab atas
pembuatan, sterilitas, pelabelan larutan dan obat parenteral yang
diproduksi di rumah sakit.
 Proses memeriksa pesanan atau resep awal (menentukan apabila dosis,
diluen, kecepatan pemberian sudah benar). Farmasis dilatih untuk
membaca label tiga kali untuk memastikan pesanan dan resep yang
dibuat adalah benar.
 Pelayanan kefarmasian total, tetapi intravena digunakan sebagian atau
selama waktu inapnya. Untuk memonitor pengobatan, perlu dibuat
penyimpanan data terpusat sehingga dapat ditinjau.
 Ruang penyimpanan
Idealnya, produk parenteral harus disiapkan dalam clean room. Beberapa
rekomendasi untuk ruang penyimpanan produk parenteral antara lain:
a. Lantai mudah dibersihkan.
b. Fasilitas untuk cuci tangan.
c. Hood Laminar Air flow.
d. Lemari pendingin.
e. Penerangan yang baik.
f. Ruangan yang memadai.
g. Peralatan untuk penyiapan.
Pengemasan Kembali Dan Pemberian Etiket
Instalasi farmasi rumah sakit melaksanakan pengemasan dan atau
pengemasan kembali obat sediaan farmasi dan pengemasan unit tunggal/dosis
yang merupakan salah satu bentuk produksi obat.
Pengemasan obat adalah salah satu metode ekonomis yang memberikan
kenyamanan, identifikasi, penyajian dan perlindungan terhadap suatu sediaan obat
sampai dikonsumsi. Profesi farmasi selalu terlibat dalam pengemasan sediaan obat
sampai diserahkan kepada penderita. Fungsi pengemasan, pengemasan kembali,
dan pra-pengemasan dilaksanakan dalam IFRS rumah sakit besar dan kecil. Sejak
industri farmasi membuat sediaan obat, peranan apoteker rumah sakit berubah dari
formulator menjadi pengemas dan atau pengemasan kembali atau pra-
pengemasan. Macam-macam jenis pengemas :
1. jenis pengemasan yang pertama adalah pengemasan sediaan obat yang
dimanufaktur rumah sakit dalam wadah tertentu dan atau o bat yang sudah
selesai diracik untuk diserahkan kepada penderita
2. jenis pengemasan yang kedua adalah pendosisan kemasan sediaan o bat
dari wadah ruah ke dalam wadah khusus penderita, disebut pengemas
kembali atau secara khusus disebut kemasan ”unit penggunaan”, kemasan
unit penggunaan dikarakterisasi, misalnya kemasan vial, ampul, botol
plastik, yang berisi beberapa dosis obat.
3. jenis kemasan yang ketiga adalah ”unit” atau kemasan unit tunggal yaitu
kemasan obat yang berisi satu bentuk sediaan tersendiri, misalnya satu
kemasan satu tablet atau satu kapsul, satu kemasan 2 ml volume cairan,
satu kemasan dari 2 g salep. Kemasan seperti ini adalah dasar dari
pelaksanaan sistem dosis urut.
4. jenis kemasan yang keempat adalah ”unit” atau kemasan unit tunggal atau
dosis tunggal. Kemasan dosis unit adalah kemasan yang berisi satu atau
lebih kemasan unit tunggal dari obat tertentu yang diminta atau ditulis
untuk penderita tertentu (Anief, 2000).
Fungsi utama kemasan adalah seperti tertera di bawah ini:
a. Fungsi pokok dari suatu kemasan obat adalah mewadahi sediaan obat
agar tidak membiarkannya menjadi bagian dari lingkungan. Terutama
hal ini mensyaratkan suatu kemasan yang tidak bocor dan tetap kedap
terhadap pengaruh bahan-bahan formulasi sediaan obat yang cukup
kuat menahan isinya selama distribusi fisik.
b. Perlindungan adalah fungsi kemasan yang paling penting. Sediaan
obat harus dilindungi terhadap kerusakan fisik, kehilangan kandungan
atau bahan ram uan dan terhadap gangguan komponen lingkungan
yang tidak dikehendaki, seperti uap air (lembab), oksigen, cairan,
kotoran, kontaminasi, dan cahaya matahari.
c. Memberi identitas terhadap isinya secara lengkap dan tepat.
d. Membolehkan isinya dapat digunakan dengan cepat, mudah, dan aman
(Juliantini, 2007).

Pengemasan Kembali (Ulang)


Pengemasan sediaan obat dari wadah ruah ke dalam wadah khusus
penderita disebut pengemasan kembali atau pengemasan ulang atau pengemasan
unit penggunaan. Pengemasan kembali biasanya dipertimbangkan apabila sediaan
obat dapat dibeli dalam kuantitas ruah (kemasan rumah sakit dengan harga lebih
menguntungkan kemudian dikemas kembali) dalam IFRS dengan biaya tenaga
kerja lebih murah, dalam kemasan rangkaian terapi (kemasan selama terapi),
maupun dalam kemasan dosis unit (Anonim, 2014).
Pra-pengemasan juga termasuk pengemasan kembali, untuk
mengantisipasi pelayanan sediaan obat tertentu yang sering dan banyak diminta
melalui order atau resep dokter, bertujuan untuk mempercepat dan efisiensi
pelayanan. Pengemasan kembali atau pra-pengemasan untuk dispensing atau
menguntungkan, jika kondisi berikut dapat dipenuhi:
a. jumlah penderita yang besar datang mengambil obat pada waktu yang
sama
b. segolongan obat kecil sering ditulis atau diorder dalam jumlah yang
sama
c. jenis kemasan yang digunakan akan memberikan perlindungan dari
atmosfer sampai penderita menggunakan obat
d. harus dapat diberi etiket pada kemasan dengan nama dan kekuatan obat
e. dokter penulisan resep terlibat dalam pemilihan kuantitas, isi kemasan,
dan menyetujui kuantitas yang dipilih tersebut (Aditama, 2006).

Persyaratan praktis untuk wadah :


a. Sebelum diisi, wadah harus bersih dan kering.
b. Perhatian khusus dan prosedur pembersihan terdokumentasi diperlukan
guna memastikan agar partikel asing tidak masuk ke dalam sediaan
obat.
c. Wadah dan tutup tidak reaktif atau absorptif.
d. Sistem tutup wadah harus memberikan perlindungan yang memadai
terhadap kerusakan atau kontaminasi pada sediaan obat.
e. Wadah sediaan obat dan tutupnya harus bersih dan jika dinyatakan sifat
obat, disterilkan, dan diproses untuk menghilangkan sifat pirogenik
guna memastikan bahwa wadah dan tutupnya layak untuk penggunaan
yang dimaksudkan.
f. Sterilisasi dan proses untuk menghilangkan sifat pirogenik harus
terdokumentasi dan diikuti untuk wadah dan tutup sediaan obat.
g. Wadah dapat ditutup kembali sehingga isi yang belum digunakan tidak
terkontaminasi atau menimbulkan bahaya pada anak-anak.
h. Apabila isi wadah adalah steril, sterilitas harus dipertahankan sampai
sisa isi yang belum digunakan.
i. Wadah harus menyajikan semua informasi tentang sediaan obat dan
praktik terapi yang baik.
j. Wadah harus memberikan kemudahan kepada penderita dalam
penggunaan sediaan obat.
Untuk membuat keputusan tentang jenis dan jumlah sediaan yang dikemas
kembali atau prakemas dapat dilakukan hanya setelah meneliti secara luas situasi
rumah sakit. Beberapa faktor yang harus dipertimbangan sebagai berikut:
a. Permintaan terhadap suatu sediaan obat
 Permintaan sepanjang satu tahun atau sepanjang suatu musim
 Asal permintaan dari klinik atau ruang perawatan penderita
 Sediaan obat dapat dibeli dalam kuantitas yang dapat memenuhi
permintaan yang telah di kemas dalam unit kecil oleh manufakturnya
dengan harga yang lebih rendah daripada biaya-biaya yang
dikeluarkan rumah sakit untuk pengemasan kembali/pra-kemas
sediaan obat yang sama dalam wadah yang serupa
b. Ukuran unit yang dikemas dan jumlah produk kemasan dari tiap ukuran
c. Jenis wadah dan tutup yang harus digunakan untuk mempertahankan
keutuhan terapi
d. Etiket khusus yang diperlukan
e. Cara pengemasan sediaan obat dengan mesin atau cara manual
f. Stabilitas dan tanggal kadaluarsa sediaan obat
g. Harga unit dari pengemasan kembali dan pihak yang membiayai
pengemasan kembali itu.

Jenis pengemasan kembali berdasarkan jangka waktu penggunaan sediaan


obat mencakup pengemasan kembali ekstemporer (tanpa persiapan) dan
pengemasaan kembali dalam bets.
1. Pengemasan Kembali Ekstemporer
Adalah pengemasan sediaan obat yang dibutuhkan sebelum ada resep atau
order. Pengemasan kembali ekstemporer disebut juga pengemasan kembali
tanpa persiapan atau pengemasan segar, adalah proses pengemasan
kembali harian sediaan obat yang digunakan selama priode waktu yang
pendek. Pada umumnya jumlah dosis yang dikemas kembali merupakan
jumlah dosis yang akan dikonsumsi dari tanggal kadaluarsa dari sediaan
obat yang dikemas kembali tersebut.
2. Pengemasan Kembali Bets
Adalah pengemasan kembali suatu bentuk sediaan obat tertentu dari wadah
ruah ke dalam wadah khusus penderita oleh personil yang ditugaskan
dalam kuantitas yang cukup sampai akhir dari suatu waktu yang ditetapkan
terlebih dahulu. Pengemasan kembali dilakukan untuk sediaan obat yang
stabil selama periode waktu yang lama di dalam bahan pengemas yang
merupakan sediaan obat yang sering dibutuhkan oleh dokter di rumah sakit
(Pohan, 2007).

Pengemasan Kembali Berdasarkan Jumlah Dosis Per Kemasan, Jenis


pengemasan kembali berdasarkan jumlah dosis per kemasan mencakup kemasan
dosis unit dan selama terpakai.
1. Kemasan Dosis Unit
Adalah kemasan berisi dosis tertentu dari suatu bentuk yang diorder, yang
siap digunakan atau dikonsumsi untuk seorang penderita tertentu, melalui
rute pada waktu pemberian yang tertulis dan untuk kebanyakan sediaan
obat disuplai tidak lebih dari 24 jam. Kemasan dosis unit merupakan
kemasan sediaan obat dalam sistem distribusi obat dosis unit bagi
penderita rawat tinggal di rumah sakit. Keuntungan umum dari sistem ini
adalah sediaan obat selalu dapat diidentifikasi, kesalahan obat akan
berkurang, kontaminasi yang disebabkan penanganan ditiadakan, waktu
penyimpanan obat oleh perawat ditiadakan dan penyediaan obat dapat
terkendali secara teliti.
2. Kemasan Selama Terapi
Adalah kemasan yang mengandung sejumlah sediaan obat sejenis untuk
penggunaan selama satu periode waktu yang ditetapkan dokter atau staf
medik oleh PFT. Pengemasan selama terapi pada umumnya untuk
penderita ambolatori. Informasi pada etiket kemasan kembali
 nama obat generik dan kekuatan obat (pencantuman nama dagang jika
ada dapat disertakan)
 nama rumah sakit y ang melakukan pengemasan kembali
 nama industri farmasi produsen sediaan obat yang dikemas kembali
 jumlah isi atau kandungan sediaan obat dan kemasan
 karakteristik khusus dari bentuk sediaan ( misal lepas lambat)
 rute pemberian jika di luar pemberian oral (misal pemakaian pada
kulit)
 rute injeksi harus tertera pada kemasan luar dan kemasan dalam
 kekuatan harus dinyatakan sesuai dengan terminologi dalam
Farmakope Indonesia, yaitu sistem metric
 isi total dan dosis total kemasan harus dinyatakan pada etiket
 catatan khusus seperti kondisi penyimpanan (misal lemari pendingin),
penyiapan (misal kocok dahulu atau rekonstitusi dulu), dan pemberian
(misal jangan kunyah)
 tanggal kadaluarsa harus secara mencolok terlihat pada kemasan.
 kode identifikasi sediaan
 nomor bets pada wadah

Di rumah sakit pengemasan dalam jumlah kecil tidak memerlukan


pegawai, area, dan peralatan khusus. Pengemasan dapat dilakukan oleh staf
apoteker dengan pembantu paruh waktu. Alat yang diperlukan adalah alat
penghitung tablet secara manual atau timbangan yang cukup sensitif. Sedangkan
untuk jumlah besar dimungkinkan adanya unit khusus yang terpisah dengan
tenaga kerja di bawah pengawasan seorang farmasis dan pengemasan dilakukan
dengan bantuan mesin pengisi ototmatis untuk sediaan cair, alat penghitung
otomatis untuk tablet dan kapsul, serta mesin penandaan otomatis. Apalagi jumlah
bahan yang akan dikemas terlalu banyak untuk pelaksanaan manual tetapi terlalu
kecil untuk pelaksanaan otomatis, maka digunakanlah al at semi otomatis seperti
alat penghitung tablet dan kapsul elektronik dan otomat is, mesin penutup dan
pengisi otomatis, mesin pemipet dan perlengkapan untuk memberi tanda semi
otomatis (Umar, 2010).
Menurut ASHP (Association Society Hospital Pharmacy), kemasan unit
tunggal dan unit dosis harus memenuhi empat fungsi dasar, yaitu:
1. melindungi isinya dari efek yang merusak peralatan
2. melindungi isinya dari kerusakan hasil dari penanganan
3. tidak mempengaruhi identifikasi dari produknya sendiri
4. memungkinkan isinya dapat digunakan secara tepat, mudah, dan
teliti.

Peralatan yang dipergunakan dalam proses pengemasan kembali harus di


rancang dengan tepat, ukurannya cukup, lokasinya memudahkan jalannya proses
pengemasan, dan mempermudah proses pembersihan dan perawatannya. Peralatan
yang otomatis, mekanik, atau elektronik atau peralatan lain termasuk komputer
atau sistem yang berhubungan dengan proses penyiapan obat harus rutin
dikalibrasi, diperiksa dan dicek berdasarkan program tertulis yang dibuat dan
dirancang untuk menjamin penampilan atau hasil yang baik. Farmasis yang
bertanggung jawb dalam pemilihan peralatan pengemas bahan harus mengerti
prinsip CPOB yang digunakan untuk menjamin ketepatan pemakaian peralatan.
Peralatan harus dapat diandalkan, aman, terbukti baik untuk pengemasan,
dapat dibersihkan atau disterilkan atau disanitasi agar terhindar dari kontaminasi
silang, dapat dikalibrasi dalam pemakaian dan cocok dengan produk yang akan
dikemas kembali. Sebagai tambahan, pemilihan larutan pembersih dan
desinfektan juga harus diperhatikan dalam pemilihan alat (Astuti, 2003).
Pengemasan Obat Sediaan Tunggal (kemasan tunggal) adalah salah satu
kemasan dalam sediaan farmasi seperti tablet, kapsul, atau kemasan 2 ml volume
cairan. Pertimbangan umum:
1. Bahan kemasan dapat melindungi sediaan obat dan ditentukan serta
disediakan oleh perusahaan farmasi yang disesuaikan dengan alat dan
perlengkapan yang ada.
2. Bentuk dan ukuran harus dapat diterima dengan mudah oleh pasien ag ar
mudah membuka dan menggunakannya.
3. Label
 Nama generik dan nama paten
Nama generik obat merupakan bagian yang paling menonjol dari label
kemasan. Nama pabrik atau distributor harus ada ada kemasan. Nama
generik dari suatu produk dianggap perlu tetapi tidak demikian halnya
dengan nama paten.
 Bentuk sediaan
Karakteristik khusus dari bentuk sediaan harus disebutkan dalam
label, contohnya sediaan lepas lambat. Untuk rute pemberian selain
oral, l abel pada kemasan harus mencantumkan rute yang
digunakan, contoh untuk topikal. Dalam kemasan injeksi rute
pemberian injeksi harus dinyatakan pada bagian luar dan dalam
kemasan, contoh: tercantum pada unit syringe atau karton (jika ada).
 Kekuatan
Kandungan harus dinyatakan sesuai dengan pengertian dalam
AHFS (American Hospital Formulary Service). Sistem metrik harus
digunakan yang mana untuk suatu formula sediaan, USP telah
menyediakan tabel untuk perkiraan pembulatan yang ekuivalen dan
dinyatakan dengan jumlah yang paling kecil, mikro gram digunakan
sampai batas 999, kemudian gram. Maka bahan dinyatakan
sejumlah 300 mg bukan 325 mg, bukan pula 0,3 g; sedangkan 400
mikrogram, bukan 1/150 g, bukan pula 0,4 mg atau 0,0004 g dan
untuk volume dinyatakan dalam ml, bukan cc.
 Kandungan dosis dan kandungan total obat
Kandungan total dan kandungan dosis pada kemasan harus
disebutkan. Maka kemasan unit dosis yang mengandung dosis 600
mg, yang terdiri dari 2 tablet 300 mg harus diberi label 600 mg
(sama dengan tablet 300 mg). Sama halnya dengan dosis 500 mg
dengan bentuk sediaan cair 100 mg/ml, harus diberikan label:
berikan sejumlah 500 mg (sama dengan 500 ml dari sediaan 100
mg/ml).
 Catatan khusus
Catatan khusus seperti kondisi penyimpanan (dalam lemari
pendingin, dan lain-lain), cara penyiapan (dikocok dahulu,
dibasahkan, dan lain-lain), dan cara pakai (seperti: jangan dikunyah)
dan sebagainya yang tidak begitu jelas bila dilihat dari desain
bentuk sediaan, harus tercantum pada label.
 Tanggal kadaluarsa
Sama bila produk tersebut dikemas kembali. Tanggal kadaluarsa
harus terlihat dalam kemasan namun pada beberapa rumah sakit
jarang digunakan penempelan tanggal kadaluarsa karena
menganggap bahwa obat di rumah sakit cepat dikonsumsi dalam
persediaannya, serta untuk memperoleh informasi dipermudah oleh
adanya informasi dari catatan kontrol.
 Nomor Lot (nomor kontrol)
Nomor kontrol harus ada pada kemasan. Nomor ini umumnya dari
tanggal pengemasan dilakukan, dengan sejumlah nomor atau huruf
tambahan yang amenggambarkan urutan pengemasan sediaan pada
hari itu. Nomor kontrol hendaknya sesederhana mungkin untuk
mengurangi kesalahan mengartikan nomor. Contoh: Nomor Lot:
A123091 yang berarti produk pertama yang dikemas pada tanggal
20 Desember 1991.
 Kode identifikasi produk
Kode identifikasi produk dianjurkan tercantum l angsung pada
bentuk sediaan.

4. Jumlah minimum produksi sediaan tunggal ada dalam semua ukuran, di


mana pertimbangannya berdasarkan kebutuhannya.
5. Tiap kemasan harus didesain bahannya tidak akan keluar sebelum
dibuka. Pertimbangan Khusus :
a. Sediaan Padat Oral
 kemasan blister mempunyai latar yang tidak tembus cahaya dan
tidak memantulkan cahaya (permukaan atas dasar)untuk dicetak
 kemasan kantong
b. Sediaan Cair
c. Sediaan Injeksi
d. Larutan IV admixture
e. Sediaan untuk Pengobatan Saluran Cerna
f. Sediaan Topikal
g. Bentuk Sediaan Lain (Anonim, 2006).
Daftar Pustaka

Aditama, T, 2006, Manajemen Rumah sakit, 3-4, 9, UI, Press, Jakarta.


Anonim, 2014, Panduan pelayanan informasi obat, PT Kimia Farma, Jakarta.
Anonim, 2016, Pedoman, pengelolaan dan pelayanan farmasi rumah sakit, 10-11,
Instalasi farmasi rumah sakit Dr. Soetomo, Surabaya.
Anonim, 2006, pedoman pelayanan informasi obat di rumah sakit, Dirjen
pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan Depkes RI 2006.
Anief, M, 2001, Manajemen Farmasi, Cetakan III, 3-4, Gadjah Mada University
Press, Jogjakarta.
Anief, M., 2000, Manajemen pemasaran di bidang farmasi, cetakan I, 81-82,
Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.
Astuti, L, 2003, pelaksanaan Informasi obat Rumah sakit, Gadjah Mada
University Press, Jogjakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Undang-undang RI No. 44
tahun 2009 tentang rumah sakit. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Juliantini, E, 2007, pelayanan informasi obat RSUD Dr. Soetomo, Prosiding
Kongres Ilmiah XI, Jawa Tengah.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. Menteri
Kesehatan RI, Jakarta.
Muhlis, M, 2009, pelayanan informasi dan kebijakan obat, 31-33, Rineka Cipta,
Jakarta
Pohan, I, 2007, Jaminan layanan kesehatan, 13-15, EGC, Jakarta.
Republik Indonesia, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Sukmadinata, N, 2005, perkembangan dan pelaksanaan kebijakan obat nasional,
Ghalia, Jakarta.
Umar, M, 2010, Manajemen Rumah Sakit, 67-69, CV Ar-Rahman, Solo.

Anda mungkin juga menyukai