Anda di halaman 1dari 18

1.

Klasifikasi rumah sakit berdasarkan:


a. Bentuk: menetap, bergerak, lapangan  RSDK menetap
b. Jenis pelayanan: RSK dan RSU  RSDK RSU
c. Pelayanan, SDM, peralatan, bangunan, dan prasarana: tipe A, B, C, D, D
pratama  RSDK tipe A
d. Kepemilikan atau pengelolaan:
1) Pemerintah atau publik: pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan
hukum yang bersifat nirlaba  RSDK milik pemerintah pusat di bawah
Kemenkes
2) Swasta atau privat
e. Afiliasi dengan lembaga pendidikan: pendidikan dan non pendidikan
RSDK adalah RS pendidikan berdasarkan SK Menkes RI no 546/SK/III/1978
f. Akreditasi: terakreditasi dan tidak terakreditasi
RSDK terakreditasi oleh KARS dan JCI
1) Predikat akreditasi oleh KARS: dasar, madya, utama, paripurna  RSDK
paripurna: memenuhi 80% bab mayor dari 15 bab mayor. Salah satu bab
mayor yang berhubungan dengan farmasi adalah manajemen pengelolaan
obat. Akreditasi berlaku 3 tahun, dilakukan verifikasi setiap tahun.
Misalnya RS diakreditasi tahun 2017, maka tahun 2018 dan 2019
dilakukan verifikasi, tahun 2020 dilakukan reakreditasi
2) Peringkat akreditasi oleh JCI: terakreditasi dan tidak terakreditasi 
RSDK terakreditasi JCI

2. Struktur organisasi RSDK


Direktur RSDK: dr. Agus Suryanto
IFRS berada di bawah direktur medik dan keperawatan

3. Struktur organisasi IFRS RSDK


Kepala IFRS: ibu Kusreni
Membawahi 3 bagian yaitu:
a. Penanggung jawab logistik dan perbekalan farmasi (ibu Eny): perencanaan
dan penyimpanan
b. Penanggung jawab pelayanan dan mutu pelayanan (pak Welly): depo farmasi
dan farmasi klinik
c. Penanggung jawab administrasi dan keuangan: keuangan dan administrasi

4. Panitia farmasi dan terapi


a. Menyusun formularium rumah sakit
Di RSDK ada 2 macam formularium yaitu
1) Formularium rumah sakit = formularium nasional (edisi terakhir tahun
2017) = formularium BPJS. Komponen dalam formularium rumah sakit:
kelas terapi, sub kelas terapi, nama generik, sediaan, kekuatan, restriksi
penggunaan, fasilitas kesehatan yang dapat menggunakan obat, peresepan
maksimal
2) Formularium alat kesehatan: jenis alkes, merek alkes yang digunakan
b. Melakukan revisi formularium rumah sakit
Revisi formularium rumah sakit di RSDK dilakukan bila ada perubahan
formularium nasional. Bila tidak ada perubahan pada formularium nasional,
maka tetap diterbitkan formularium rumah sakit per tahun, diganti tahunnya
saja
c. Melaporkan kejadian ESO ke pusat ESO nasional
d. Mengusulkan kebijakan obat dan kebijakan peresepan
e. Melakukan rapat sedikitnya 2 bulan sekali atau sebulan sekali pada rumah
sakit yang besar  RSDK jarang rapat karena kesibukan PFT dengan tugas
masing-masing. Idealnya PFT terdiri dari anggota yang tidak punya kewajiban
yang lain, jadi hanya sebagai PFT saja.
f. Ketua PFT RSDK: dr. Suyono
Sekretaris bidang obat: ibu Eny (apoteker)
Sekretaris bidang alkes: pak Alkhamudi (apoteker)
g. Di RSDK, ada obat yang di luar formularium rumah sakit yaitu: obat kosmetik
medik (hanya untuk paviliun Garuda), progesteron 400 mg vaginal
suppositoria, Duphaston, dantrolene

5. Standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit:


a. Pengelolaan sediaan farmasi, alkes, BMHP:
1) Pemilihan
2) Perencanaan kebutuhan
3) Pengadaan
4) Penerimaan
5) Penyimpanan
6) Pendistribusian
7) Pemusnahan dan penarikan
8) Pengendalian
9) Administrasi
b. Pelayanan farmasi klinik:
1) Pengkajian dan pelayanan resep
2) Penelusuran riwayat penggunaan obat
3) Rekonsiliasi obat
4) PIO
5) Konseling
6) Visite
7) PTO
8) MESO
9) EPO
10) Dispensing sediaan steril
11) PKOD
6. Pemilihan
Produk hasil kegiatan pemilihan adalah formularium rumah sakit. Pembuat
formularium rumah sakit adalah PFT. Tahapan penyusunan PFT:
a. Membuat rekapitulasi usulan obat dari masing-masing KSM berdasarkan
standar terapi atau standar pelayanan medik
b. Mengelompokkan obat berdasarkan kelas terapi
c. Membahas usulan dalam rapat PFT, jika diperlukan dapat meminta masukan
dari pakar
d. Mengembalikan rancangan hasil pembahasan PFT ke masing-masing KSM
untuk mendapatkan umpan balik
e. Membahas hasil umpan balik dari masing-masing KSM
f. Menetapkan daftar obat yang masuk dalam formularium rumah sakit
g. Menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi
h. Melakukan edukasi mengenai formularium rumas sakit kepada staf dan
melakukan monitoring

7. Perencanaan kebutuhan
a. Pelaksana perencanaan kebutuhan obat dan alkes: bagian logistik
b. Metode yang digunakan: metode konsumsi
Rumus :
Kebutuhan = (rata-rata penggunaan obat periode lalu + buffer stock) – sisa
Keuntungan metode konsumsi: sederhana dan mudah dilakukan
Kelemahan metode konsumsi: sulit memprediksi penggunaan obat ke depan
secara tepat
c. Usulan kebutuhan
1) Pengadaan non tender: setiap bulan
2) Pengadaan melalui tender: periode tertentu
a) Tiap 3 bulan: obat-obat formularium nasional
b) Tiap 6 bulan: reagen lab
c) Tiap tahun: alat-alat jantung, obat jalur khusus melalui special access
scheme atau pengadaan jalur khusus untuk obat yang tidak teregistrasi
(misalnya dantrolene)
d. Penentuan besaran buffer stock
1) Buffer stock di RSDK rata-rata 20%, artinya ada obat yang buffer
stocknya kurang dari 20%, ada yang lebih dari 20%.
2) Dasar penentuan besaran buffer stock:
a) Lead time / waktu tunggu: makin lama lead time, maka buffer stock
dibuat makin besar
b) Fluktuasi obat (fast moving atau slow moving): kalau fast moving
buffer stocknya dibuat besar, kalau slow moving buffer stocknya kecil
c) Inflasi: inflasi tinggi buffer stock besar, inflasi rendah buffer stock
kecil
3) Buffer stock besar akan mengakibatkan boros anggaran, namun aman
karena persediaan obat banyak. Sewaktu-waktu terjadi kejadian luar biasa
(wabah, bencana alam) persediaan obat aman
4) Buffer stock kecil akan menghemat anggaran, namun bila terjadi kejadian
luar biasa, persediaan obat tidak aman karena persediaan obat hanya
sedikit
5) Terdapat obat yang tidak ada buffer stocknya misalnya obat sitostatik yang
mahal harganya. Obat tersebut habis, baru dipesankan lagi
e. Evaluasi perencanaan
1) Urutan kegiatan secara teori: perencanaan, diketahui banyaknya dana yang
dibutuhkan untuk merealisasikan perencanaan, kemudian anggaran turun.
Bila anggaran yang turun lebih kecil dari dana yang dibutuhkan, maka
perlu dilakukan evaluasi perencanaan
2) Evaluasi perencanaan dapat dilakukan dengan analisa pareto (A, B, C) dan
VEN, atau kombinasi keduanya
3) Evaluasi perencanaan secara pareto tidak dilakukan di RSDK karena
urutan kegiatan tidak sesuai dengan teori. Di RSDK, diketahui anggaran
yang tersedia dulu, baru dilakukan perencanaan
4) Evaluasi perencanaan dengan metode VEN juga tidak dilakukan karena
mengkategorikan obat ke dalam kategori V, E, dan N sangat sulit
dilakukan dan tidak ada manfaatnya. Tiap depo farmasi mempunyai
kategori V, E, dan N yang berbeda-beda.
5) Obat dan alkes yang masuk kategori vital adalah obat dan alkes yang ada
di trolly emergency. Tiap bangsal isi trolly emergencynya akan berbeda
satu sama lain tergantung kebutuhannya

8. Pengadaan
a. Obat yang diprioritaskan untuk diadakan adalah obat kategori C (analisa
pareto), karena obat kategori C tidak menyerap banyak anggaran, sehingga
dengan anggaran sedikit dapat membeli banyak obat, pasien lebih banyak
terlayani
b. Obat yang diprioritaskan untuk diadakan adalah obat kategori V, karena obat
tersebut berfungsi untuk menyelamatkan kehidupan pasien
c. Pemilihan supplier:
1) Aspek legalitas: PBF yang berbadan hukum, mempunyai NPWP,
perusahaan kena pajak
2) Aspek integritas: ketepatan waktu pengiriman, mutu barang yang dikirim
d. Pengadaan dapat dilakukan melalui: pembelian, produksi sediaan farmasi,
sumbangan
e. Metode pengadaan melalui pembelian:
1) Non SPSE (sistem pengadaan secara elektronik)
a) Pengadaan langsung (< 200 juta): satu distributor ditunjuk langsung
b) Penunjukan langsung (< 200 juta): beberapa distributor ditunjuk, lalu
diadakan lelang (lelang terbatas hanya pada distributor yang ditunjuk)
2) SPSE
a) E-purchasing atau e-catalog
b) Tender cepat (kepastian ketersediaan, pengiriman, proses lelang cepat)
(> 200 juta)
c) Tender (lelang) (> 200 juta) misal pembangunan gedung parkir
3) Sayembara: pengadaan barang dengan spek sederhana (lelang sederhana).
Misalnya logo RSDK, motif batik RSDK
4) Swakelola: perbaikan minor yang dilakukan oleh IPS
f. Metode pengadaan melalui produksi sediaan farmasi: solutio lugol karena
solutio lugol tidak ada yang menjualnya di pasaran
g. Metode pengadaan melalui sumbangan: vaksin dasar, kontrasepsi, OAT, obat
HIV, obat hepatitis, metadon

9. Penerimaan
a. Bagian yang menerima obat atau barang: panitia penerimaan hasil pengadaan
b. Penerimaan obat, dilakukan pengecekan terhadap:
1) Barang dan faktur dipastikan unruk IFRS RSDK
2) Kesesuaian SP dengan barang dan faktur
3) Kesesuaian jenis
4) Kesesuaian spesifikasi
5) Kesesuaian jumlah
6) Kesesuaian mutu
Bila obat diharuskan disimpan pada suhu dingin (2 – 8 0C) maka dilakukan
pengecekan cool box, apakah suhunya benar pada suhu dingin. Bila
ditemukan ketidaksesuian, maka barang diberi tanda (diberi titik) agar
tidak dikirimkan kembali ke IFRS RSDK
c. Proses penerimaan barang: barang diterima oleh panitia penerimaan hasil
pengadaan, dilakukan pengecekan, dibuatkan berita acara penerimaan barang,
barang dibawa ke ruang transit, faktur dibawa ke ruang administrasi
d. Di ruang transit, obat diberi label LASA, HAM, suhu penyimpanan
e. Beberapa barang diterima di bagian logistik, namun kemudian langsung
didistribusikan ke depo yang membutuhkan. Contohnya reagen lab
f. Barang yang langsung diterima di depo adalah gas medik

10. Penyimpanan
a. Metode penyimpanan
1) Obat
a) Stabilitas suhu: disimpan di suhu beku (< 0 0C), dingin (2 – 80C), suhu
kamar (16 – 250C). Penyimpanan obat di suhu dingin, dipisahkan
antara obat sitostatik dan non sitostatik
b) Narkotika
c) Psikotropika
d) HAM (elektrolit konsentrasi tinggi (NaCl 3%, KCl 7,46%, dekstrosa
40%, MgSO4 50%), insulin, sitostatika (disimpan di ruang tersendiri)
e) B3 (povidon iod solution 10%, H2O2 3%, alkohol 96%, alkohol 70%)
f) Sitostatatika
g) Infus
h) Nutrisi parenteral
i) Obat sumbangan dan bukan sumbangan
Tiap kategori penyimpanan, dilakukan penataan obat lagi berdasarkan
alfabetis, LASA, FIFO, dan FEFO
2) Alat kesehatan
a) Alkes radiologi
b) Alkes untuk jantung
c) Benang bedah
d) Alkes disposible
e) Alkes non disposible
b. Kriteria gudang tempat penyimpanan obat:
1) Luasnya memadai
2) Kering, tidak lembab
3) Ventilasi cukup
4) Pencahayaan baik
5) Lantai dan dinding mudah dibersihkan
6) Ada palet
7) Terlindung dari serangga dan hewan pengerat

11. Pendistribusian
a. Metode distribusi obat berdasarkan tempat pelayanan: desentralisasi dan
sentralisasi  RSDK desentralisasi
b. Cara pelayanan: individual prescription, sistem unit dosis (one day dose
dispensing dan unit dose dispensing), floor stock. Di RSDK:
1) Individual prescription: depo rawat jalan, IGD, IBS
2) One day unit dose dispensing: merupakan gabungan dari one day dose
dispensing dan unit dose dispensing. Obat diberikan untuk kebutuhan
sehari pada perawat, namun perawat memberikan obat kepada pasien per
unit obat yang akan digunakan. Dilakukan di depo rawat inap dan ICU
3) Floor stock terbatas: trolly emergency dan ruang persalinan
c. Isi trolly emergency di ICU
1) Obat:
a) Adrenalin injeksi
b) Amiodaron inkesi
c) Dekstrosa 40% injeksi
d) Deksametason injeski
e) Difenhidramin injeksi
f) Digoksin injeksi
g) Dobutamin injeksi
h) Dopamin injeksi
i) Efedrin injeksi
j) Furosemid injeksi
k) ISDN injeksi
l) Lidokain injeksi
m) Nalokson injeksi
n) Norepinefrin injeksi
o) Atropin sulfat injeksi
2) Alkes:
a) Endotracheal tube
b) Guedel
c) Infus set
d) IV cateter
e) Masker
f) Spuit 5 cc
g) Suction cath
3) Infus:
a) Gelofusin
b) HES (what is this?)
c) Ringer laktat
d. Isi trolly emergency yang hanya ada di trolly emergency IBS:
1) Dantrolene: menangani hipertermia akibat penggunaan anestetik
2) Protamin: antidot heparin. Bedah jantung menggunakan banyak heparin,
sehingga ada kemungkinan pendarahan akibat berlebihnya penggunaan
heparin
e. Penggantian obat di trolly emergency: maksimal 2 jam setelah penggunaan

12. Pemusnahan dan penarikan


a. Obat yang mendekati ED (3 – 6 bulan sebelum ED) diberi tanda NEAR ED
b. Obat yang mendekati ED di depo farmasi dikembalikan ke gudang
c. Bila memungkinkan, obat dikembalikan ke distributornya
d. Bila obat tidak dapat dikembalikan, bila memungkinkan, obat digunakan
untuk pendidikan dan pelatihan
e. Bila obat tidak dapat dikembalikan dan tidak dapat digunakan untuk
pendidikan dan pelatihan, maka obat dimusnahkan
f. Alur pemusnahan obat:
1) Gudang menginventaris obat yang akan dimusnahkan, dihitung harga obat
yang akan dimusnahkan
2) Inventaris obat dilaporkan pada direktur medik dan keperawatan
3) Bila direktur medik dan keperawatan menyetujui obat dimusnahkan, maka
diterbitkan surat perintah ke panitia pemusnahan obat
4) Gudang melakukan serah terima obat yang akan dimusnahkan ke panitia
pemusnahan obat
5) Panitia pemusnahan obat menyerahkan obat bagian penanganan limbah
6) Bagian penanganan limbah menyerahkan obat ke pihak ke tiga untuk
melaksanakan pemusnahan obat
7) Panitia pemusnahan obat mengikuti seluruh proses pemusnahan obat atau
bila tidak dapat mengikuti, maka dimintakan berita acara pemusnahan obat
pada pihak ke tiga
g. Pemusnahan obat yang termasuk narkotika dan psikotropika tidak diserahkan
pada pihak ke tiga karena pemusnahannya harus disaksikan oleh dinas
kesehatan kota dan balai besar POM
h. Pemusnahan narkotika yang pernah dilakukan di RSDK: pemusnahan tablet
kodein dengan cara tablet ditumbuk, diberi air, dibuang ke saluran air
i. Metode pemusnahan obat (teori):
1) Pembuangan di tempat sampah akhir
2) Imobilisasi dengan cara enkapsulasi dan inertisasi
a) Metode enkapsulasi dilakukan dengan cara memasukkan obat
berbentuk padat maupun setengah padat dalam drum berbahan besi
atau plastik sebanyak 75% dari kapasitas drum. Sisa kapasitas drum
diisi dengan semen atau pasir, lalu drum ditutup rapat. Drum yang
sudah tertutup rapat dapat dibuang di tempat pembuangan sampah
akhir.
b) Inertisasi merupakan variasi dari enkapsulasi. Obat dalam bentuk padat
dikeluarkan dari kemasannya, dihancurkan, dicampur dengan air,
semen, dan kapur, lalu dicampur hingga membentuk pasta yang
homogen. Pasta yang terbentuk dibuang di tempat pembuangan
sampah akhir. Cairan yang terpisah dibuang di saluran pembuangan
air.
3) Dibakar di tempat terbuka
4) Dimasukkan insenerasi suhu sedang atau tinggi
5) Didekomposisi dengan bahan kimia
Penguraian cincin beta laktam dengan pemberian NaOH, pemberian
oksidator kuat seperti KMnO4 dan H2SO4
j. Penarikan obat dilakukan bila obat tidak memenuhi standar atau ketentuan
perundang-undangan. Metode penarikan obat:
1) Mandatory recall: berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM
2) Voluntary recall: berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar

13. Pengendalian
a. PENGENDALIAN DILAKUKAN PADA SEMUA TAHAP
PENGELOLAAN
b. Cara pengendalian berdasarkan tahap pengelolaan obat, alkes, BMHP:
1) Seleksi: melakukan seleksi obat yang ada di formularium rumah sakit
2) Perencanaan: obat yang direncanakan hanya obat yang ada di formularium
rumah sakit
3) Pengadaan: memilih distributor yang terpercaya, memprioritaskan
pengadaan berdasarkan kategori C dan V
4) Penerimaan: pemeriksaan kesesuaian barang yang diterima dengan faktur
dan SSP, obat yang diterima adalah obat dengan ED panjang
5) Penyimpanan:
a) Suhu penyimpanan obat disesuaikan dengan stabilitas obat
b) Kelembaban tempat penyimpanan obat 44 – 45 %
c) Pengontrolan suhu dan kelembaban tempat penyimpanan obat setiap 8
jam dan didokumentasikan
d) Finger lock
e) Terpasangnya CCTV
f) Ada palet
g) Kartu stok manual maupun komputerisasi
h) Dilakukan stock opname (1 bulan sekali)
6) Pendistribusian: distribusi obat yang harus disimpan pada suhu dingin dari
gudang ke depo atau dari depo 1 ke depo yang lain dengan cool box,
verifikasi permintaan dari depo ke gudang
7) Pemusnahan: pemerian label NEAR ED, pemusnahan obat bukan
narkotika dan psikotropika hanya dilakukan oleh pihak ke tiga yang
direkomendasikan oleh BLH
8) Pelayanan: dilakukan pengkajian resep, memastikan obat diberikan
(diminumkan) pada pasien atau tidak

14. Administrasi
a. Pencatatan dilakukan pada semua tahap pengelolaan
b. Pelaporan:
1) Pelaporan narkotika
2) Pelaporan psikotropika
3) Pelaporan penggunaan obat sumbangan
c. Administrasi keuangan
d. Administrasi penghapusan

15. Pengkajian dan pelayanan resep


a. Resep pasien rawat inap berupa KOP (kartu obat pasien)
b. Pengkajian resep meliputi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik,
dan persyaratan klinis
c. Pengkajian persyaratan administasi di depo rawat jalan:
1) Nama, umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan
2) Nama dokter, paraf dokter
3) Tanggal resep
4) Ruangan / unit asal resep
5) Administrasi berkaitan dengan pesyaratan BPJS (restriksi obat, arsiran)
d. Pengkajian resep di depo rawat jalan:
1) Telaah resep:
a) Nama obat / alkes, cara pemberian, dosis, aturan pakai
b) Duplikasi pengobatan
c) Interaksi (dilihat dari drug interaction checker di Medscape) dan
kontraindikasi
d) Tepat indikasi
e) Stabilitas dan ketersediaan (kesesuaian dengan formularium)
2) Telaah obat:
a) Identifikasi pasien
b) Obat dan bentuk sediaan
c) Dosis
d) Aturan pakai
e) Jumlah obat
f) Kadaluarsa
e. Pengkajian resep di depo rawat inap: TELAAH RESEP SAJA
f. Pengkajian resep di depo sitostatika:
1) Persyaratan administrasi: harus ada tanda tangan dokter, ada diagnosa, ada
hasil pemeriksaan patologi anatomi, kesesuaian dengan restriksi
2) Persyaratan farmasetik: kesesuaian sitostatik dengan pelarutnya, dapat
dilihat di Handbook on Injectable Drug secara online atau di buku
Pedoman Pencampuran Obat Suntik dan Penanganan Sediaan Sitostatika
3) Persyaratan klinis: ada data BSA bila sitostatik yang digunakan penetapan
dosisnya berdasarkan BSA, kesesuaian dengan protokol, pemilihan
regimen kemoterapi. Perhitngan BSA menggunakan rumus Dubois atau
memakai kalkulator online dari Medscape
g. Alur pelayanan resep di depo rawat jalan:
1) Resep diterima, dilakukan pengkajian resep. Petugas yang melakukan
pengkajian resep membubuhkan paraf di resep. Bila ada masalah,
dilakukan konfirmasi dengan dokter penulis resep
2) Resep yang tidak bermasalah disiapkan etiketnya
3) Resep dibawa ke ruang penyiapan obat. Obat non racikan diambilkan
obatnya, dimasukkan dalam plastik, ditempeli etiket. Obat racikan
diambilkan obat yang diracik, dilakukan pemeriksaan ulang obat yang
akan diracik, bila sudah benar obat dibawa ke tempat peracikan
4) Obat yang sudah selesai disiapkan dan diracik diperiksa oleh apoteker.
Bila obat sudah benar, maka diteruskan ke bagian penyerahan
5) Bagian penyerahan melakukan kembali pengecekan resep, lalu
menyerahkan obatnya. Petugas yang menyerahan obat dengan atau tanpa
edukasi (konseling) membubuhkan paraf di resep
6) Pasien yang menerima obat membubuhkan paraf di resep
h. Alur pelayanan resep di depo rawat inap dan ICU:
1) KOP diterima, dilakukan pengkajian. Petugas yang melakukan pengkajian
resep membubuhkan paraf di KOP. Bila ada masalah, dilakukan
konfirmasi dengan dokter penulis resep
2) KOP yang tidak bermasalah disiapkan etiketnya
3) Obat dalam KOP disiapkan. Penyiapan obat ada beberapa tahap:
a) Penyiapan alkes
b) Penyiapan obat: obat jadi dan racikan
c) Penyiapan infus
4) Obat yang sudah selesai disiapkan diperiksa oleh apoteker. Bila obat sudah
benar, maka obat dimasukkan trolly
5) Obat didistribusikan ke bangsal
6) Dilakukan serah terima obat dari petugas depo dengan perawat
i. Alur pelayanan resep di depo sitostatika:
1) Pasien mendaftar
2) Disiapkan protokol terapi dan arsiran oleh dokter
3) Dokter menuliskan resep di KOP
4) KOP diterima oleh depo, dilakukan pengkajian resep
5) Dibuat permintaan order dispensing
6) Pasien datang, dilakukan pramedikasi, sambil disiapkan (dicampurkan)
sitostatikanya
j. Alur pelayanan di IBS: obat disiapkan dalam bentuk paket anestesi dan paket
operasi, namun jumlah dan jenisnya dapat ditambahkan di luar paket. Setelah
dilakukan operasi dilakukan pencatatan obat dan alkes yang digunakan

16. Penelusuran riwayat penggunaan obat (PRPO) dan rekonsiliasi obat


a. Perbedaan PRPO dan rekonsiliasi obat: PRPO hanya menanyakan obat apa
saja yang pernah digunakan pasien, kalau rekonsiliasi obat ada kegiatan
membandingkan obat yang digunakan dengan isntruksi pengobatan
b. Rekonsiliasi obat dilakukan pada:
1) Perpindahan pasien dari satu bangsal ke bangsal yang lain
2) Perpindahan pasien dari rumah sakit satu ke rumah sakit yang lain
3) Perpindahan pasien dari faskes ke rumah sakit (dari Puskesmas ke rumah
sakit) dan sebaliknya
c. Rekonsiliasi obat tidak hanya dilakukan oleh apoteker, namun dilakukan juga
oleh perawat, namun biasanya yang mendokumentasikan adalah apoteker
d. Dokumentasi rekonsiliasi obat:
1) Identitas pasien
2) Nama obat
3) Dosis
4) Frekuensi pemberian
5) Waktu penggunaan terakhir
6) Tindak lanjut: obat dilanjutkan atau dihentikan
7) Nama pasien atau keluarga pasien yang ditemui apoteker saat
dilakukannya rekonsiliasi obat dan parafnya
8) Paraf apoteker

17. PIO dan konseling


a. Perbedaan PIO dan konseling:
1) Kedalaman materi: PIO dangkal, konseling dalam
2) Keterbatasan ruang dan waktu: PIO dapat dilakukan kapan saja dan
dimana saja, konseling terikat dengan ruang dan waktu (ada prioritas
pasien yang perlu dilakukan konseling)
3) Pihak yang terkait: PIO dapat dilakukan antara sejawat, apoteker dengan
dokter, apoteker dengan perawat atau tenaga medis lain; konseling hanya
apoteker dan pasien
b. Jenis PIO:
1) PIO aktif: penerbitan leaflet, poster, tayangan di televisi di ruang tunggu
pasien
2) PIO pasif: PIO yang hanya dilakukan ketika ada pertanyaan dari apoteker
lain, dokter, perawat, atau tenaga medis lain
c. Kriteria pasien untuk dilakukan konseling:
1) Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil,
ibu menyusui)
2) Pasein dengan terapi jangka panjang atau penyakit kronis (TB, DM,
epilepsi, hipertensi)
3) Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan obat
dengan tappering down / off, penggunaan obat dengan device khusus)
4) Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit
5) Pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi)
6) Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah
d. Dokumentasi konseling di depo rawat jalan:
1) Tanggal
2) Tema konseling
3) Paraf petugas yang memberikan konseling
4) Paraf pasien atau keluarga pasien yang diberi konseling

18. Visite
a. Kegiatan yang dilakukan apoteker saat visite:
1) Penelusuran riwayat penggunaan obat
2) Rekonsiliasi obat
3) PIO
4) Konseling
5) PTO
6) MESO
7) Pemeriksaan obat di lemari obat. Bila ada yang tidak digunakan, diretur
saja
8) Pemeriksaan obat di trolly emergency meliputi kelengkapan, ED, suhu dan
kelembaban tempat diletakkannya trolly emergency
9) Menuliskan hasil PTO (berupa SOAP) lembar terintegrasi di rekam medik
(bila diperlukan)
b. Jenis visite:
1) Visite terintegrasi: apoteker visite bersama dokter, perawat, tenaga medis
lain
2) Visite mandiri: apoteker visite sendiri
19. PTO
Pasien yang diprioritaskan untuk dilakukannya PTO adalah:
a. Pasein dengan riwayat alergi, karena bila pasien sudah mempunyai riwayat
alergi terhadap satu obat, kecenderungan alergi terhadap obat lain menjadi
besar
b. Pasien dengan gangguan ginjal, karena diperlukan penyesuaian dosis
c. Pasien yang mendapatkan terapi dengan elektrolit konsentrasi tinggi

20. MESO
Alur kegiatan MESO:
a. Dokter atau perawat atau apoteker menemukan kejadian yang dicurigai
sebagai ESO
b. Bila penemu kejadian yang dicurigai sebagai ESO adalah apoteker atau
perawat, maka kejadian dilaporkan pada dokter. Dokterlah yang menentukan
apakah kejadian tersebut ESO atau bukan
c. Bila kejadian tersebut merupakan ESO, maka dituliskan di lembar kuning
Naranjo assessment, salinannnya (lembar putih) digunakan untuk arsip
(ditaruh di rekam medik pasien)
d. Kejadian ESO dilaporkan ke PFT
e. PFT melaporkan ke pusat MESO nasional

21. EPO: kumpulan dari PTO dan MESO dapat dijadikan EPO

22. Dispensing sediaan steril


a. Dispensing sediaan steril terdiri dari: pencampuran obat suntik, penyiapan
nutrisi parenteral, penanganan sediaan sitostatika
b. Pencampuran obat suntik:
1) Mencampurkan obat dengan infus
2) Merekonstitusi serbuk injeksi dengan pelarutnya  di RSDK hal ini
dilakukan oleh perawat di bangsal
c. Penyiapan nutrisi parenteral:
1) Penyiapan parenteral nutrition, bukan total parenteral nutrition karena
yang dicampurkan hanya elektrolit. Kebutuhan nutrisi selain elaktrolit
dilakukan dengan memberikan sediaan siap pakai
2) Alur penyiapan nutrisi parenteral berupa pencampuran elektrolit:
a) Permintaan pencampuran berupa KOP diterima
b) Dilakukan pengkajian resep secara umum
c) Dilakukan pengecekan perhitungan volume obat yang akan dicampur.
Bila ditemukan ketidaksesuaian, dilakukan konfirmasi pada dokter
d) Bila pengecekan perhitungan volume obat sudah benar, maka
disiapkan obat yang akan dicampurkan
e) Petugas memakai APD, masuk ke ruang pencampuran, obat
dimasukkan dalam ruang pencampuran melalui pass box
f) Obat dicampurkan
g) Obat diberi etiket dan penandaan SUDAH DIENCERKAN
h) Obat didistribusikan ke bangsal yang meminta
i) Dilakukan serah terima obat dari petugas depo farmasi dengan perawat
d. Penanganan sediaan sitostatika:
1) Skema alur pencampuran
2) Jalus distribusi obat sitos yang sudah dicampur berbeda dengan jalur
pasien dan petugas
3) Urutan penggunaan PAD:
a) Apron kain dan plastik
b) Penutup kepala
c) Masker
d) Shoes cover
e) Kacamata
f) Sarung tangan dobel
4) Checking pencampuran obat sitos dilakukan saat:
a) Pengkajian resep
b) Penyiapan obat sitostatika yang hendak dicampur
c) Penyiapan pelarut
d) Pemeriksaan sebelum dilakukan pencampuran oleh petugas yang akan
mencampur maupun petugas QC
e) Pemeriksaan obat yang sudah dicampur
f) Pemeriksaan saat serah terima dari depo ke ruang dilakukannya
kemoterapi
g) Pemeriksaan oleh perawat sebelum obat sitostatika diberikan pada
pasien. Di rekam medik harus ada dua perawat yang membubuhkan
paraf saat obat sitostatika akan diberikan pada pasien
5) Penanganan limbah sitostatika: insenerasi suhu 10000C
6) Chemotherapy spill kit terdiri dari:
a) 1 pasang shoes cover
b) 2 pasang sarung tangan
c) Goggle (pelindung mata)
d) Apron
e) Masker N95
f) Sekop dan penadah
g) Penanda tumpahan sitostatik
h) Kantong limbah sitostatik
i) Kain atau bahan penyerap cairan
e. Perbedaan pencampuran obat sitostatika (A) dengan pencampuran obat suntik
dan penyaiapan nutrisi parenteral (B)
1) Prinsip pencampuran: A melindungi obat dari kontaminasi, melindungi
petugas, dan melindungi lingkungan; B melindungi obat dari kontaminasi
2) APD: A masker khusus (N95), sarung tangan ganda, apron ganda; B
masker biasa, sarung tangan dan apron tunggal
3) Tekanan tempat dilakukannya pencampuran; A negatif; B positif
4) Wadah kontainer limbah: A plastik warna ungu; B benda tajam
dimasukkan dalam kontainer khusus benda tajam dan benda tidak tajam
dimasukkan kontainer warna coklat

23. PKOD
a. Tidak ada PKOD di RSDK
b. Mengapa tidak ada PKOD?
1) Alatnya tidak ada
2) Reagennya mahal
3) Petugasnya tidak ada
c. PKOD dilakukan untuk memonitor kadar obat dalam darah. Obat yang
dimonitor adalah obat dengan indeks terapi sempit
d. Kalau tidak ada PKOD, bagaimana cara memonitor penggunaan obat dengan
indeks terapi sempit? Dilakukan secara tidak langsung dengan mengamati
tanda-tanda ketoksikan dan data laboratorium

24. Anggaran
Sumber anggaran di RSDK:
a. APBN untuk pembayaran gaji pegawai yang berstatus PNS
b. Pembiayaan selain gaji pegawai yang berstatus PNS bersumber dari BLU

25. Jumlah apoteker, tempat tidur, dan BOR


a. Secara teori jumlah apoteker yang diperlukan untuk RS tipe A minimal 15
apoteker
b. Jumlah tenaga kefarmasian di RSDK:
1) 48 apoteker, 29 di pelayanan farmasi klinik
2) 200 TTK
c. Jumlah tempat tidur di RSDK: 1084
d. BOR rata-rata di RSDK: 90%
e. Rasio apoteker dan pasien:
1) Rawat jalan: 1 apoteker menangani 50 pasien
2) Rawat inap: 1 apoteker menangani 30 pasien
f. Perhitungan kebutuhan apoteker untuk pasien rawat inap: (90%  1084) / 30 =
33

26. Jumlah depo farmsi di RSDK: 9 depo


a. Rawat jalan
b. Rawat inap
c. IBS
d. Sitostatika
e. IGD
f. ICU
g. Jantung
h. Garuda rajal
i. Garuda ranap

27. Apakah melakukan SOAP? Yang di-SOAP apa? Silahkan diingat-ingat

28. Patient safety dan medication error?

29. Kegiatan yang dilakukan di depo handling steril:


a. Pencampuran parenteral nutrition (elektrolit)
b. Pencampuran obat non sitostatik dengan infus
c. Pencampuran tetes mata

30. Infeksi nosokomial


a. Kriteria infeksi nosokomial:
1) Waktu mulai dirawat tidak didapat tanda-tanda klinik infeksi dan tidak
sedang dalam masa inkubasi infeksi tersebut
2) Infeksi terjadi sekurang-kurangnya 72 jam semenjak pasien mulai dirawat
3) Infeksi yang terjadi pada pasien dengan masa perawatan yang lebih lama
dari masa inkubasi infeksi tersebut
4) Infeksi yang terjadi pada neonatus yang diperoleh dari ibunya pada saat
persalinan atau selama dirawat di rumah sakit
5) Bila dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti
infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama
pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi
nosokomial
b. Pasien yang beresiko mengalami infeksi nosokomial:
1) Pasien lansia
2) Pasien berbaring lama
3) Pasien menggunakan imunosupresan atau steroid
4) Pasien dengan imunitas menurun misalnya pasien luka bakar atau
mendapatkan tindakan invasif
5) Pasien dipasangi infus terlalu lama
6) Pemasangan kateter urin yang lama
7) Pasien yang dipasangi ventilator
8) Pasien dengan luka operasi
c. Pencegahan infeksi nosokomial:
1) Mempraktekkan cuci tangan ketika di rumah sakit pada 5 momen cuci
tanga (sebelum bersentuhan dengan pasien, sebelum melakukan tindakan,
sesudah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien, sesudah bersentuhan
dengan pasien, sesudah bersentuhan dengan lingkungan pasien)
2) Mengenakan sarung tangan
3) Dekontaminasi dan pencucian diikuti dengan sterilisasi pada alat kesehatan
4) Penggunaan ruang isolasi untuk pasien dengan penyakit menular

31. CSSD
a. Mengapa CSSD menjadi tanggung jawab apoteker?
Karena apoteker bertugas mengelola alkes. Kegiatan utama di CSSD adalah
menyeterilkan alkes. Penyeterilan alkes merupakan bagian dari pengelolaan
alkes
b. Ruangan di CSSD ada 3 yaitu: ruang kotor, ruang bersih, ruang steril.
Dilakukan serangkaian usaha untuk mempertahankan jumlah koloni tidak
melebihi jumlah yang dipersyaratkan pada ruang bersih dan ruang steril.
Usaha tersebut antara lain: pembatasan petugas yang keluar masuk di ruang
bersih dan steril, penggunaan APD untuk meminimalkan penambahan
kontaminan. Ruang steril bertekanan positif, suhu 18 – 220C, dan kelembaban
35 – 75%
c. Alur kegiatan di CSSD:
1) Barang diterima di ruang kotor
2) Barang direndam dengan larutan yang mengandung deterjen, desinfektan,
dan enzim
3) Barang dicuci dengan cara:
a) Manual: tidak disarankan dilakukan, dilakukan untuk barang berukuran
besar, tidak banyak lekukan
b) Mesin otomatis: cara ini yang disarankan karena efektivitas pencucian
tinggi
c) Gelombang ultrasonik: cara ini digunakan untuk barang yang
ukurannya kecil dan banyak lekukan
4) Barang dikeringkan dengan alat otomatis yang menghembuskan udara
panas
a) Pengeringan suhu rendah (60 – 700C) digunakan untuk barang
berbahan plastik
b) Pengeringan suhu tinggi (90 – 950C) digunakan untuk barang berbahan
logam
5) Barang diberi indikator internal, lalu dikemas. Pada bahan pengemas
terdapat indikator luar
6) Barang disterilisasi
7) Barang yang sudah steril disimpan di ruang steril, kemudian
didistribusikan ke depo yang membutuhkan
d. Jenis indikator yang digunakah di CSSD:
1) Indikator mekanik: berupa print out performa mesin sterilisasi ketika
dijalankan untuk menyeterilkan barang. Performa yang diperhatikan
adalah suhu dan tekanan
2) Indikator kimia:
a) Indikator internal dan eksternal: sterilitas ditunjukkan dengan
perubahan warna pada indikator
b) Indikator Bowie-Dick: untuk menilai efisiensi pompa vakum pada alat
sterilisasi dan mengetahui adanya kebocoran udara dalam ruang
sterilisasi. Indikator ini hanya digunakan pada metode sterilisasi uap
panas yang menggunakan sistem vakum
3) Indikator biologi: menggunakan bakteri
a) Sterilisasi uap panas menggunakah Bacillus stearothermophyllus
b) Sterilisasi gas etilen oksida dan panas kering: Bacillus subtilis
e. Ruang lingkup CSSD:
1) Pembilasan
2) Pembersihan
3) Pengeringan
4) Inspeksi dan pengemasan
5) Pemberian label
6) Pembuatan atau penyiapan bahan yang disterilisasi
7) Sterilisasi
8) Penyimpanan
9) Distribusi
f. Pelajari jenis-jenis sterilisasi

Anda mungkin juga menyukai