Anda di halaman 1dari 17

PORTOFOLIO

Pain Management

Faddlan Arduha
1807601080008
PORTOFOLIO STASE Pain Management Februari 2019
Nama : Faddlan Arduha
NPM : 1807601080008
Kasus 1
Identitas Pasien
Inisial : An. IM
Umur : 17 tahun
Diagnosis : Tumor Gaster Non Hodgkin Limfoma
DPJP Anestesi : dr. Mujahidin, SpAn KAKV
DPJP Bedah : dr. Heru Noviat, Sp.A (K)

Anamnesis:
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan perut membesar sejak 10 hari yang lalu, pasien
juga mengeluhkan nyeri di seluruh lapangan perut sejak 6 hari yang lalu dengan intensitas nyeri
dirasakan sama secara terus menerus. Nyeri dirasakan di seluruh lapangan perut menjalar ka
bagian punggung belakang, nyeri tidak dapat ditunjuk dengan satu jari, nyeri seperti perut yang
kembung, nyeri bertambah saat makan dan minum, juga saat sedang berkemih. Nyeri dirasakan
berkurang dengan posisi duduk, namun tidak berkurang dengan pemberian obat. Pasien
dengan riwayat tumor lambung, sudah dioperasi 1 bulan yang lalu. Riw penyakit lainnya
disangkal, Riw kemoterapi/radioterapi tidak ada.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 110/80 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 102 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut
Frekuensi napas: 22 x/menit tiga jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,9⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 99% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 35 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 155 cm wheezing maupun ronkhi
IMT : 15,5 Abdomen: Distensi Abdomen dengan LP 69
cm, kesan Asites (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada
Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 9 Februari 2020
HB 10,8 Ht 40 Leuko 14.300 Ur 14 Cr 0.73 OT 34 PT 31
Thrombo 360.000 GDS 98
CT/BT 8/2 Na 148 K 3.6 Cl 114
Assessment :
 Nyeri patologis dd Nyeri Kronis Viseral ec Tumor Gaster Non Hodgkin Limfoma
 Malnutrisi

Pain Management :
 Easy pump :
o Morphine 20 mg
o Ondansentron 4 mg
o Novalgin 3000 mg
 Pasien diikuti oleh pain management selama 3 hari
 Pasien dilanjutkan dengan terapi injeksi : tramadol 3x1 amp dan novalgin 3x1 amp
 Pasien dikembalikan ke DPJP

PEMBAHASAN

Mekanisme Nyeri Kanker


Nyeri kanker umumnya diakibatkan oleh infiltrasi sel tumor pada struktur yang sensitif dengan nyeri
seperti tulang, jaringan lunak, serabut saraf, organ dalam, dan pembuluh darah. Nyeri juga dapat
diakibatkan oleh terapi pembedahan, kemoterapi, atau radioterapi. Meskipun penyebab nyeri kanker
dan tipenya bervariasi, mekanisme yang mendasarinya telah dipahami sebagai fenomena neurofisiologik
dan neurofarmakologik yang kompleks. Dua golongan nyeri kanker dipaparkan sebagai nyeri nosiseptif,
terdiri dari nyeri somatik dan nyeri viseral, dan nyeri neuropatik. Pengetahuan akan tipe nyeri kanker
penting dalam penatalaksanaan nyeri kanker yang adekuat.
Terdapat beberapa reseptor yang sensitif terhadap stimuli noksius. Nosiseptor ini adalah saraf aferen
primer dengan ujung perifernya berespon terhadap berbagai stimuli noksius. Nosiseptor ini memiliki dua
fungsi yaitu transduksi dan transmisi. Beberapa faktor kimiawi, mekanik dan termal dapat mengaktivasi
reseptor, mengakibatkan impuls saraf elektrokimiawi pada aferen primer. Informasi ini selanjutnya
dikodekan dalam frekuensi impuls yang ditransmisi menuju sistem saraf pusat, dimana persepsi nyeri
terjadi. Baik nosiseptor bermielin ataupun tidak bermielin menyampaikan sensasi nyeri ke sistem saraf
pusat. Nosiseptor bermielin berespon terhadap stimuli mekanik secara khusus dan dengan konduksi
yang cepat melalui serabut saraf A-delta, menyebabkan sensasi nyeri tajam. Nosiseptor tak bermielin
adalah serabut saraf polimodal, berespon terhadap stimuli mekanik, termal dan kimiawi, dengan
penghantaran konduksi yang lebih lambat melalui serabut C dan sifat nyerinya tumpul dan rasa
terbakar.
Infiltrasi dan kompresi tumor dapat menyebabkan aktivasi nosiseptor baik secara mekanik maupun
kimiawi. Telah diketahui berbagai molekul yang digunakan nosiseptor untuk mendeteksi stimuli. Contoh,
reseptor vanilloid (VR1), yang diekspresikan oleh kebanyakan nosiseptor, mendeteksi panas dan asam,
proton ekstrasellular, dan metabolit lipid. Untuk mendeteksi stimuli mekanik, nosiseptor
mengekspresikan pintu saluran mekanik yang mengaktifkan cascade pengiriman sinyal sebagai respon
terhadap regangan yang berlebihan-dan beberapa reseptor purinergik, yang diaktifkan oleh ATP. ATP
dilepaskan oleh sel-sel akibat stimulasi mekanik yang berlebihan. Untuk merasakan stimuli  noksius
kimiawi, nosiseptor mengekspresikan reseptor dengan susunan kompleks yang diaktivasi oleh faktor
inflamasi yang dilepaskan oleh jaringan rusak. Faktor inflamasi tersebut antara lain proton, endothelin,
prostaglandin, bradikinin, dan nerve growth factor. Dengan teridentifikasinya reseptor yang
diekspresikan pada permukaan nosiseptor maka meningkatkan pemahaman kita mengenai mengapa
tumor menyebabkan nyeri ketika sel-selnya menginvasi dan menghancurkan jaringan perifer.

Nyeri Kanker Viseral

Beberapa karakteristik klinik khas untuk nyeri viseral. Beberapa organ dalam kurang sensitif terhadap
nyeri. Organ padat seperti paru, hati, dan parenkim ginjal tidak sensitif, meski terjadi destruksi besar-
besaran oleh proses keganasan dan nyeri terasa hanya jika kapsular atau struktur dekat kapsul terlibat.
Organ berlubang dengan mukosa serosa seperti kolon sangat sensitif dengan distensi lumen dan
inflamasi namun tidak terhadap pembakaran atau pemotongan. Nyeri akibat distensi kolon lebih
bergantung pada tekanan daripada volume. Diketahui bahawa tekanan intralumen dalam kolon yang
dibutuhkan untuk menimbulkan sensasi nyeri adalah 40-50 mm Hg. Sehingga tumor   dapat terus
berkembang tanpa terdeteksi dan menyebabkan nyeri hanya pada stadium terjadinya obstruksi komplit
dan terjadi peningkatan tekanan intrakolonik.
Nyeri viseral bersifat difus dan sulit dilokalisir, dan kadang dialihkan oleh nyeri struktur nonviseral yang
lain, sehingga sumber nyeri sebenarnya sulit dijelaskan. Nyeri viseral kadang disalah artikan sebagai
nyeri kutaneus. Nyeri bahu, dihasilkan oleh iritasi diafragma akibat penyakit pada pleura, adalah contoh
nyeri alih kutaneus dari nyeri viseral. Nyeri viseral kadang disertai refleks otonom seperti mual.
Nyeri viseral dimediasi oleh nosiseptor tersendiri pada sistem kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal,
dan urogenitalia, yang dideskripsikan sebagai nyeri yang dalam, menekan, kolik, dan diteruskan ke
daerah kutaneus yang nyeri. Nyeri alih ini dianggap sehubungan dengan fakta bahwa struktur somatik
dan viseral memiliki innervasi ganda dengan serabut saraf yang umum. Serabut saraf ini bertemu pada
kornu dorsalis medulla spinalis.

Mekanisme Nyeri Viseral

Reseptor-reseptor — Penelitian terkini menunjukkan terdapat dua kelas reseptor nosiseptor sensorik
dalam visera. Kelas pertama terdiri dari reseptor “high-threshold” yang berespon terhadap stimuli
noksius mekanik. Reseptor ini diidentifikasi terdapat pada jantung, paru, saluran cerna, ureter dan
kandung kemih. Kelas kedua terdiri dari reseptor “low threshold” terhadap stimuli alami dan
menyandikan intensitas stimulus sesuai yang dilepaskan, sehingga disebut reseptor “intensity-
encoding”.
Kedua tipe reseptor sensitif terhadap stimuli mekanik seperti regangan. Data eksperimen menunjukkan
bahwa organ visera memiliki afferent nosiseptif yang normalnya dianggap “diam”. Dengan adanya
inflamasi lokal atau trauma jaringan, aferen ini menjadi tersensitasi dan berespon terhadap stimuli alami
inokous sebelumnya. Mekanisme sensitivitas yang diinduksi inflamasi ini masih belum diketahui.
Aferen high-threshold menyampaikan nyeri akut visceral. Iskemik lokal, hipoksia, dan inflamasi  
menyebabkan nyeri oleh sensitisasi reseptor high-threshold dan sebelumnya reseptor ini “diam” atau
reseptor tak berespon. Mediator inflamasi yang terlepas menurunkan firing threshold-nya dan dengan
sensitisasi perifer, menambah dan membiarkan terus-menerus stimuli noksius. Jalur — Informasi
sensorik visceral diteruskan dari perifer oleh serabut  saraf aferen simpatis dan parasimpatis. Aferen
nosiseptif dari toraks dan visera abdomen berjalan melalui serabut saraf eferen simpatis visceral. Aferen
nosiseptif toraks berjalan menuju splanknik thorasik sebelum menyatu bersama trunkus simpatis
paravertebralis dan memasuki kornu dorsalis. Aferen nosiseptif abdominal berjalan ke pleksus celiac dan
splanknik thorasik sebelum memasuki trunkus simpatis dan kornu dorsalis.
Sebaliknya, aferen nosiseptor viseral pelvik menyatu pada saraf splanknik pelvik, yang primernya adalah
serabut eferen parasimpatis. Saat memasuki kornu dorsalis, aferen viseral berakhir pada medulla
spinalis lamina I dan V. Aferen viseral menyusun 10% dari seluruh aferen yang masuk ke medulla
spinalis. Jumlah ini tergolong sedikit mengingat luasnya permukaan area beberapa organ. Meski
demikian, jumlah neuron kornu dorsalis yang berespon terhadap stimuli visceral diperkirakan sekitar
56% hingga 75%, menandakan perbedaan fungsional neuron-neuron ini. Tidak ada neuron yang
berespon hanya terhadap aferen viseral. Penelitian anatomik dan elektrofisiologik memperlihatkan
viserosomatik bertemu pada kornu dorsalis dan pusat supraspinal. Juga terdapat bukti viseroviseral
bertemu pada neuron ordo kedua ini. Contoh, yaitu pertemuan input viseral pelvik seperti
kolon/rectum, kandung kemih, serviks, dan vagina. Lokalisasi nyeri viseral yang kurang mungkin dapat
dijelaskan oleh kepadatan nosiseptor viseral yang rendah, perbedaan fungsional input visceral dengan
sistem saraf pusat, dan pertemuan viseroviseral pada medulla spinalis.
Sebagai tambahan traktus spinothalamik dan spinoretikular, telah diidentifikasi tiga jalur nyeri yang baru
lain pada medulla spinalis, yaitu jalur kolumna dorsalis, jalur spinoparabrachioamygdaloid, dan jalur
spinohypothalamik. Jalur kolumna dorsalis berbeda dengan neuron spinothalamik, dimana jalur ini naik
ipsilateral di dekat midline sebelum berakhir pada nucleus gracilis. Dari sana, serabut arkuata internal
menghantarkan input nosiseptif ke nucleus ventroposterolateral (VPL) di thalamus. Nyeri Alih — Nyeri
alih pada bahu, abdomen, dan tulang belakang sering didapatkan pada pasien karsinoma pankreas.
Pertemuan viserosomatik menjelaskan mengenai nyeri alih ini. Teori convergence-projection
mengemukakan bahwa aktivitas jalur spinal ascending salah menanggapinya sebagai nyeri struktur
somatik karena pengalaman nyeri somatik sebelumnya. Ketika struktur somatik terlibat pada keganasan
viseral, lokalisasi nyeri yang lebih lanjut kemudian terjadi. Hiperalgesia lokal bisa terjadi pada daerah
alih. Ini akibat kombinasi sensitisasi sentral oleh input noksius viseral kontinyu dan mekanisme algogenik
perifer. 

Penilaian dan Pemeriksaan Nyeri Kanker

Dalam menangani pasien nyeri dengan kanker, perlu diidentifikasi sifat nyeri (somatik, viseral,
neuropatik). Telah diketahui bahwa pendekatan farmakologik merupakan terapi utama, namun harus
diketahui pula pentingnya pendekatan psikologik, tingkah laku, anestetik, dan pembedahan pada pasien
kanker.
Prinsip strategi terapi pada pasien kanker harus meliputi : (a) pemeriksaan yang detail mengenai nyeri
pasien, (b) pendekatan terapi sesuai individu, (c) jaminan mengenai tersedianya tenaga ahli yang
mendukung terapi pasien, (d) penilaian kontinyu derajat perbaikan nyeri dan efeknya terhadap mood,
status fungsional, penerimaan pasien dan keluarga, serta kualitas hidup keseluruhan pasien, (e) memilih
pendekatan terapi yang paling mudah sebelum terapi yang lebih kompleks dan teknik yang lebih lanjut,  
(f) komunikasi antara dokter dan pasien dalam menentukan pilihan terapi serta mempertimbangkan
manfaat dan kerugian terapi, (g) menentukan tujuan penatalaksanaan nyeri pada pasien paliatif.

Penatalaksanaan Nyeri Kanker

Badan Kesehatan Sedunia (WHO) mengembangkan model konseptual 3-langkah untuk memandu
penatalaksanaan nyeri.  Model ini memberikan pendekatan yang telah teruji dan sederhana untuk
seleksi yang rasional dalam pemberian dan titrasi analgesik. Saat  ini, terdapat konsensus yang
menyeluruh mengenai penggunaan  terapi medis dengan model ini untuk seluruh nyeri.
Bergantung pada beratnya nyeri, pemberian terapi dimulai sesuai tingkatan nyeri. Untuk nyeri ringan
(sesuai skala analog numerik 1-3/10) dimulai pada langkah 1. Untuk nyeri sedang (4-6/10), dimulai pada
langkah ke-2. Hal ini dicirikan oleh nyeri yang mempengaruhi konsentrasi dan waktu tidur. Untuk nyeri
berat, berupa nyeri yang mempengaruhi seluruh aspek dari kehidupan, termasuk fungsi sosial (7-10/10),
dimulai pada langkah ke-3. Tidak perlu untuk melalui semua langkah secara bertahap, pasien dengan
nyeri berat mungkin bisa langsung mendapat terapi opioid langkah ke-3 segera mungkin.
Penanganan yang efektif membutuhkan pengetahuan yang jelas mengenai farmakologi, akibat yang
mungkin ditimbulkan, dan efek yang tidak diinginkan sehubungan dengan analgesik yang diberikan, dan
bagaimana efek ini  berbeda dari satu pasien ke pasien lain. 
PORTOFOLIO STASE Pain Management Februari 2019
Nama : Faddlan Arduha
NPM : 1807601080008
Kasus 2
Identitas Pasien
Inisial : Ny. RM
Umur : 47 tahun
Diagnosis : Chronic Wound ar Cruris Dekstra
DPJP Anestesi : dr. T. Yasir, Sp.An KIC
DPJP Bedah : dr. Syamsul Rizal, Sp. BP

Anamnesis:
Pasien dikonsulkan dari ruangan dengan keluhan nyeri di bagian kaki sebelah kanan. Awalnya
pasien post kecelakaan sepeda motor 10 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan nyeri di kaki kanan
sejak 4 hari yang lalu dengan intesitas nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri dirasakan di bagian
lutut yang menjalar ke bagian telapak kaki dan jari-jari kaki. Nyeri dirasakan seperti berdenyut
yang bersifat periodic. Nyeri memberat jika pasien bergerak dan saat setelah balutan luka
diganti. Nyeri berkurang jika pasien diberikan obat pereda nyeri. Pasien awalnya kecelakaan
sepeda motor, dan mengalami luka menganga di kaki bagian kanan, sudah dilakukan operasi
emergensi untuk pembersihan luka. Riw penyakit lainnya disangkal.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 130/80 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 92 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut
Frekuensi napas: 22 x/menit tiga jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,9⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 99% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 90 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 150 cm wheezing maupun ronkhi
Abdomen: Soepel
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada

Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 20 Februari 2020
HB 12,8 Ht 40 Leuko 11.300 Ur 14 Cr 0.73 OT 34 PT 31
Thrombo 260.000 GDS 98
CT/BT 8/2 Na 148 K 3.6 Cl 114
Assessment :
 Nyeri Kronis tipe Nyeri Somatik ec Chronic wound ar kruris dekstra
Pain Management :
 Easy pump :
o Inj Tramadol 50 mg/ 8 jam
o Inj Deksketoprofen 1 amp/ 8 jam
 Pasien dikembalikan ke DPJP

PEMBAHASAN

Definisi Nyeri
Menurut “ The International Association for the Study of Pain ” (IASP) tahun
1979, yang diajukan oleh Merskey, seorang psikiater sebagai berikut: “Painis the unpleasant sensory and
emotional experience,associated with actual or potensial tissue damage or described in term of such
damage” (Nyeri adalah rasa inderawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat
adanya kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi rusak atau sesuatu yang tergambarkan
seperti itu).
Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian antara lain:
 Nyeri adalah perasaan inderawi yang tidak menyenangkan, artinya unsur utama yang harus
ada untuk disebut nyeri, adalah rasa tidak menyenangkan.
 Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, artinya persepsi nyeri
seseorang ditentukan oleh pengalamannya dan status emosionalnya. Persepsi nyeri sangat
bersifat pribadi dan subjektif. Oleh karena itulah maka, suatu rangsang yang sama dapat
dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda, bahkan suatu rangsang yang sama dapat
dirasakan berbeda oleh satu orang karena keadaan emosionalnya yang berbeda.
 Nyeri terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain associated with actual tissue
damage). Nyeri ini disebut sebagai nyeri akut (acute pain) yang diharapkan menghilang
seiraima dengan proses penyembuhannya.
 Nyeri dapat juga terjadi oleh suatu rangsang yang cukup kuat (rangsang noksius), yang
berpotensi merusak jaringan. Nyeri ini disebut nyeri fisiologik (physiological pain), fungsinya
untuk membangkitkan refleks proteksi guna mencegah terjadinya kerusakan jaringan
lebih lanjut.
 Nyeri dapat juga terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan, tetapi tergambarkan seolah-olah
terdapat kerusakan jaringan yang hebat (pain described in term such damage). Nyeri yang
terakhir ini justru timbul setelah penyembuhan usai, dan jika berlangsung lebih dari 3 bulan
digolongkan sebagai nyeri kronik (chronic pain).
Mekanisme Nyeri

Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri,
terdapat suatu rangkaian proses elektro fisiologik yang secara kolektif disebut
nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu nosisepsi, yakni:
1. Proses Transduksi (transduction), merupakan proses di mana suatu rangsang
nyeri (noxious  stimuli)  diubah menjadi suatu aktifitas listrik, yang akan diterima oleh ujung-
ujung saraf (nerve endings). Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun kimia.
2. Proses Transmisi (transmission), dimaksudkan sebagai perambatan rangsang melalui
saraf sensoris menyusul proses transduksi.
3. Proses Modulasi (modulation), adalah proses di mana terjadi interaksi antara sistem
analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan proses
desendern yang dikontrol oleh otak seseorang. Analgesik endogen ini
meliputi endorfin, serotonin, dan noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan
nyeri pada kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang
dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan
tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen di atas. Proses
modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan subjektif pada
setiap orang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya,pendidikan, atensi, serta
makna atau arti dari suatu rangsang.
4. Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik
yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan
suatu perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

  Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf Aδ yang bermielin
(konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Walaupun keduanya peka
terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan baik reseptor maupun
neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut Aδ
hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C, peka terhadap berbagai
stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga
sebgai polymodal nociceptors. Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut Aδ di
presinaps adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi
P (neurokinin) yang merupakan polipeptida. Hal ini menjadi penting sehubungan dengan mekanisme
nyeri pascabedah. Selama pembedahan trauma pembedahan merupakan stimulus noksius yang akan
diterima dan dihantar oleh kedua saraf tersebut, sedangkan pascabedah (proses inflamasi) merupakan
rangsang noksius yang hanya diterima dan dihantar oleh  serabut C. Dengan kata lain nyeri pascabedah
akan didominasi oleh serabut C.

Sensitasi Perifer
Kerusakan jaringan akibat suatu pembedahan selain akan menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam sel
juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari
itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya
vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya suatu soup yang mengandung mediator inflamasi seperti
ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk siklooksigenase
dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia
inilah yang menyebabkan  sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas

Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri sekarang terasa nyeri.
Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer  yang ditandai dengan meningkatnya respon terhadap
stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi
oleh adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita
ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia
tersebut. Upaya demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS)
yang merupakan anti enzim siklooksigenase.

Sensitasi Sentral.
Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah
respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama
dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses
transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang
merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari
neuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi
atau menghambat suatu stimulus noksius.
Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis yakni pertama, nociceptive-
specific neuron  (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan serabut C.
Keduanya disebut wide-dynamic range neuron  (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius
maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta
meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan  signal transmisi ke otak menyebabkan
meningkatnya persepsi nyeri. Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan
pada kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut
sebagai sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut
menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini
menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang kaku tetapi
seperti plastik, artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah diketahui
bahwa  suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari serabut aferen primer akan
menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini
menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan

Perubahan lain yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi sentral adalah:


 Pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan berespon terhadap
stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif.
 Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari
potensial ambang.  
 Ketiga, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang  secara normal tidak bersifat
nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif.

Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan
terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya
daerah nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu dorsalis. Telah
dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf  perifer pada ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi
perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya
tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada
transmisi nyeri. Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang normalnya
menghantarkan informasi non-noxious  dengan neuron-neuron  yang secara normal menerima input
nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan
sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.
Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-reseptor ini
berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari reseptor ini telah
menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat
(NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi
proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA
pada perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme “wind-up” dan perubahan-perubahan lain
termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian
antagonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas
dapat mengurangi kebutuhan opioid  bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan
batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekstrometorfan juga
merupakan penyekat reseptor NMDA.
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana memberikan analgesik
sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif
dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya “wind-up”. Idealnya, pemberian
analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian
farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua
pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat,
adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi
fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan
ini dan menjadi sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi
pada proses nyeri.

Tatalaksana Farmakologi
Badan Kesehatan Sedunia (WHO) mengembangkan model konseptual 3-langkah untuk memandu
penatalaksanaan nyeri.  Model ini memberikan pendekatan yang telah teruji dan sederhana untuk
seleksi yang rasional dalam pemberian dan titrasi analgesik. Saat  ini, terdapat konsensus yang
menyeluruh mengenai penggunaan  terapi medis dengan model ini untuk seluruh nyeri.
Bergantung pada beratnya nyeri, pemberian terapi dimulai sesuai tingkatan nyeri. Untuk nyeri ringan
(sesuai skala analog numerik 1-3/10) dimulai pada langkah 1. Untuk nyeri sedang (4-6/10), dimulai pada
langkah ke-2. Hal ini dicirikan oleh nyeri yang mempengaruhi konsentrasi dan waktu tidur. Untuk nyeri
berat, berupa nyeri yang mempengaruhi seluruh aspek dari kehidupan, termasuk fungsi sosial (7-10/10),
dimulai pada langkah ke-3. Tidak perlu untuk melalui semua langkah secara bertahap, pasien dengan
nyeri berat mungkin bisa langsung mendapat terapi opioid langkah ke-3 segera mungkin.
Penanganan yang efektif membutuhkan pengetahuan yang jelas mengenai farmakologi, akibat yang
mungkin ditimbulkan, dan efek yang tidak diinginkan sehubungan dengan analgesik yang diberikan, dan
bagaimana efek ini  berbeda dari satu pasien ke pasien lain. 

a. Analgesik Nonopioid
 Usual analgesics : Aspirin, Acetominophen
 NSAIDs ( Non-selective COX Inhibitors ):Ibuprofen, Ketoprofen, Naproxen, Diclofenac
Sodium, Indomethacin, Ketorolac, Piroxicam, Mefenamic acid.
 NSAIDs ( Selective COX-2 Inhibitors ): Celecoxib, Parecoxib, Rofecoxib, etc.
b. Opioids untuk Moderate Pain
 Weak Opioid : Codein (biasanya digunakan sebagai  antitussive, Konstipasi merupakan efek
yang sering terjadi)
c. Opioids untuk Severe Pain
 Morphine - Like Agonist
Morphine, Levorphanol, Codein, Hydromorphine, Methadone, Oxycodone, Fentanyl
transdermal, Meperidine
 Partial Agonist  : Buprenorphine
 Mixed Agonist – Antagonist : Pentazocine, Nalbuphine, Butorphanol
d. Obat Adjuvant
 Corticosteroids    : Dexamethasone, Prednison
 Anticonvulsant     : Carbamazepine, Gabapentin, etc
 Antidepressant     : Amytriptiline, Doxepine
 Neuroleptics        : Methotrimeprazine
 Antihistamines     : Hydroxyzine
 Local anesthetic/antiarrhytmics : Lidocaine
 Psycho-stimulans  : Dextroamphetamine
 Laxatives  : Bisacodyl, Lactulose, etc
 Antiemetics  : Droperidol, Metoclopropamide, etc
PORTOFOLIO STASE Pain Management Februari 2019
Nama : Faddlan Arduha
NPM : 1807601080008
Kasus 3
Identitas Pasien
Inisial : Ny. DA
Umur : 30 tahun
Diagnosis : Post Op Sectio Caesarea
DPJP Anestesi : dr. Mujahidin, Sp.An KAKV
DPJP Bedah : dr. Hilwah Nora, Sp.OG

Anamnesis:
Pasien merupakan pasien post operasi SC dengan teknik pembiusan regional berupa epidural. Hari
rawatan pertama pasca operasi pasien mengeluh nyeri yang dirasakan di luka jahitan bekas operasi
dengan intensitas ringan. Nyeri dirasakan terlokalisir dan tidak menjalar. Nyeri dirasakan seperti
berdenyut. Nyeri dirasakan memberat saat pasien bergerak seperti saat mandi dan perubahan posisi
tidur. Nyeri dirasakan berkurang saat penyuntikan obat epidural. Nyeri tidak sampai mengganggu
aktivitas dan tidur. Pasien juga tidak merasakan efek samping seperti gatal di lokasi insersi kateter
epidural, mual, muntah, dan lainnya saat obat epidural dimasukkan. Riw penyakit lainnya disangkal.

Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Compos Mentis Status generalis:
Tekanan darah : 120/80 mmHg Mata: Tidak anemis, tidak ikterik
Frekuensi nadi : 92 x/menit Airway: Clear, mallampati 2, buka mulut
Frekuensi napas: 22 x/menit tiga jari, ekstensi leher maksimal
Suhu : 36,9⁰C Jantung: bunyi jantung I dan II regular,
Saturasi O2 : 99% Room air tanpa murmur maupun gallop
Berat badan: 65 kg Paru: vesikuler di kedua paru, tanpa
Tinggi Badan : 150 cm wheezing maupun ronkhi
Abdomen: Soepel
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik,
Oedema Tidak ada

Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium 25 Februari 2020
HB 11,8 Ht 40 Leuko 11.300
Thrombo 260.000
CT/BT 8/2
Ur 14 Cr 0.73 OT 34 PT 31
GDS 98

Assessment :
 Nyeri Akut tipe Nyeri Somatik ec Post Operasi Sectio Caesaria
Pain Management :
 Epidural :
o Levobupivacaine 0,25%
o Morfin 1 mg
o Total Volume 10 cc
 Pasien masi di follow up divisi Pain Management dengan skala nyeri NRS 1-2

PEMBAHASAN

Nyeri Akut
Menurut Federation of State Medical Boards of the United States; acute pain is the normal,
predicted physiological response to an adverse chemical, thermal or mechanical stimulus, associated
with surgery trauma and acute illness. (Nyeri akut adalah respon fisiologik normal yang diramalkan
terhadap rangsang kimiawi, panas atau mekanik menyusul suatu pembedahan, trauma, dan penyakit
akut). Ciri khas suatu nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang
nyata dan akan hilang seirama dengan proses penyembuhannya.
Dikenal 3 macam nyeri akut yaitu :
 Nyeri somatik luar / cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit, subkutis, mukosa.
Biasanya bersifat burning (seperti terbakar), contoh :  terkena ujung pisau atau gunting
 Nyeri somatik dalam / deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari otot
rangka,tulang, sendi, jaringan ikat, pembuluh  darah, tendon dan syaraf. Nyeri
menyebar dan lebih lama dari pada nyeri somatik luar,  contoh : sprain sendi
 Nyeri visceral, yaitu nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam, stimulasi reseptor nyeri
dalam rongga abdomen, cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia,
regangan jaringan.
Prototipe dari nyeri akut adalah nyeri pascabedah. Analgesia balans merupakan teknik penaganan nyeri
pasca bedah yang sangat ideal dan efektif sebab dapat menghasilkan pain free dan stress free. Analgesia
balans adalah suatu teknik pengelolaan nyeri pascabedah yang menggunakan pendekatan multimodal di
mana, mekanisme nyeri dihambat atau ditekan pada setiap tahap pada proses nosisepsi (transduksi,
transmisi dan modulasi). Jadi nyeri dihambat pada tiga tempat secara bersamaan, sehingga terjadi
hambatan yang bersifat sinergik.

Epidural Anestesi/Analgesi
Anestesia epidural dihasilkan dengan  menyuntikkan obat anestesi local kedalam ruang epidural. Blok
saraf terjadi pada akar nervus spinalis  yang  berasal dari medula spinalis  dan melintasi ruang epidural.
Anestetik local melewati duramater memasuki cairan cerebro spinal sehingga menimbulkan efek
anestesinya.  Efek anesthesia yang dihasilkan lebih lambat dari anesthesia spinal dan terbentuk secara
segmental. 
Anesthesia epidural dapat digunakan mulai dari analgesia dengan  blok motorik minimal sampai 
anesthesia dengan blok motorik penuh. Variasi ini dapat dikontrol dengan  pemilihan obat, konsentrasi
dan dosis. Pengunaan analgesia post operasi secara kontinu dengan narkotik  atau local  anestesi melalui
kateter epidural  semakin popular saat ini.
Pada umumnya indikasi epidural anestesi sama dengan spinal anestesi. Sebagai keuntungan epidural
anestesi adalah anestesi dapat diberikan secara kontinyu setelah penempatan cateter epidural, oleh
karena  itu tehnik ini cocok untuk  pembedahan yang lama dan  analgesia  setelah pembedahan.

Indikasi Khusus :
 Pembedahan sendi panggul dan lutut. Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi epidural
untuk pembedahan panggul dan lutut dapat mengurangi insidens trombosis vena. Penyebab
kematian  pasien yang menjalani pembedahan sendi yang total adalah  emboli paru. Lagi  pula 
kehilangan darah selama pembedahan sendi panggul  lebih kecil pada   pemakaian  tehnik 
anestesi  epidural.
 Revaskularisasi ektremitas bawah. Penelitian menunjukkan bahwa anestesia  epidural pada
pasien dengan penyakit pembuluh darah periper ,  aliran darah kedistal  selama rekonstruksi
pembuluh darah  anggota  gerak bagian  bawah adalah baik dan  penyumbatan  cangkokan 
pembuluh darah  setelah operasi adalah kecil dibandingkan dengan anestesi umum. 
 Persalinan. Pasien-pasien obsteric yang takut nyeri melahirkan dapat ditangani dengan epidural
anestesi  dan memperoleh bayi dengan riwayat biokemia yang baik dari pada bayi dilahirkan 
pada ibu yang diberikan opioid atau anetestetik lainnya secara intravena.
 Penanganan nyeri post operasi. Anestesi local konsentrasi rendah dan opoid atau kombinasi
obat ini dengan analgesik lain adalah manjur pada kontrol nyeri post operasi.  Analgesia  post
operasi ini memudahkan ambulatory dini dan kerja sama yang baik dengan phisio terapi.

Kontraindikasi
Absolut :
 Pasien tidak setuju
 Infeksi local pada daerah kulit yang akan ditusuk.
 Sepsis generalisata (seperti septicemia, bacteremia).
 Koagulopati
 Alergi terhadap suatu jenis anestetik local.
 Peningkatan tekanan intracranial.
Relatif :
 Hipovolemia
 Penyakit SSP
 Nyeri punggung kronik.
 Pasien yang mendapat obat penghambat platelet, termasuk aspirin, dripiridamol,  dan NSAID
Penentuan letak kateter epidural untuk penanganan nyeri pasca bedah

High to mid thoracic Bedah thoraks


(antara  T5-T8) Bedah abdomen atas (esophagectomy,
gastric, open chole, pancreas)
Mid to Low thoracic Bedah abdomen bawah (colectomy)
(antara  T8-T12) Nephrectomy
Low thoracic to high Bedah abdomen bawah
lumbar Bedah pelvis (hysterectomy, radical
(antara T10 – T12) prostectomy)
Lumbar Seluruh prosedur ekstremitas bawah
(antara L1 – L4) Bedah panggul

Regimen epidural untuk pemberian intermittent

Kombinasi obat Dosis pemberian Interval pemberian

Bupivacaine atau Levobupivacaine  0,1 – 0,125 % 6 – 10 ml 4 – 6 jam


Fentanyl  20-30 mcg
Bupivacaine atau Levobupivacaine  0,1 – 0,125 % 6 – 10 ml 6 – 8 jam
Pethidine  20-30 mg
Bupivacaine atau Levobupivacaine  0,1 – 0,125 % 6 – 10 ml 12 - 18 jam
Morphine 1 - 4 mg *

Beberapa blok saraf untuk penanganan nyeri pasca bedah


Blok Saraf Jenis Pembedahan
Ilioinguinal, iliohipogastrik, dan genitofemoral Hernia inguinal dan femoral
Nervus dorsalis penis Penis
Femoral Femur bagian depan diatas lutut
Nervus kutaneus lateral Femur bagian lateral
Ankle Blok (Sural nerve) Kaki
Digital (ring block) Jari-jari
Interkostal Dinding dada atau abdomen

Obat anestetik lokal yang digunakan adalah anestetik lokal kerja panjang seperti bupivacaine ,
levobupivacaine dan ropivacaine dengan pengenceran sampai konsentrasi 0.0625 % - 0.2 % yang tidak
mempunyai pengaruh pada kemampuan motorik  otot. Bila terjadi depresi nafas ( < 8 x/mnt atau SpO2 <
92% ) maka dapat diberikan terapi suportif jalan nafas dan pernafasan disertai pemberian naloxon 1-2
mcg/kg secara pelan (1-2) menit   dan dapat diulang setiap 3-5 menit sampai efek depresi nafas teratasi.
Monitoring pasca pemberian nalokson perlu dilakukan mengingat efek kardiopulmonal yang mungkin
terjadi ( ventricular takikardia dan udem paru )

Anda mungkin juga menyukai