Anda di halaman 1dari 15

METODE EMPIRIS Teknik Pertambangan

KESTABILAN LERENG Q-SLOPE UPN Veteran Yogyakarta

WAHYU NUSANTARA AKBAR


wahyunusantaraakbar@gmail.com
+6282137935065
Klasifikasi Massa Batuan Metode Q-Slope untuk Kestabilan
Lereng

Wahyu Nusantara Akbar


wahyunusantaraakbar@gmail.com - +6282137935065
Teknik Pertambangan – UPN Veteran Yogyakarta

Abstrak
Q-Slope adalah klasifikasi metode empiris dalam membantu ahli geoteknik dan geologi untuk
melakukan penilaian secara kualitatif terhadap stabilitas lereng batuan di lapangan dan
membuat penyesuaian untuk sudut kemiringan lereng sesuai dengan kondisi massa batuan dan
potensi longsor selama kegiatan konstruksi sipil dan proses penambangan berlangsung (Barton
dan Bar, 2015). Metode ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 2015 yang merupakan
penelitian berdasarkan lebih dari 480 studi kasus dengan jenis batuan beku, sedimen dan
metamorf. Klasifikasi massa batuan Q-Slope merupakan pengembangan dari klasifikasi
Q-System (Barton et al., 1974) yang telah banyak diaplikasikan untuk klasifikasi massa batuan
pada konstruksi dan tambang bawah tanah. Penilaian metode Q-slope berdasarkan terhadap
enam parameter utama untuk mengetahui peringkat klasifikasi massa batuan yakni RQD, Jn,
Jr, Ja, Jw, dan SRF. Parameter RQD, Jn, Jr, dan Ja tidak mengalami perubahan dari metode
Q-System (Bar and Barton, 2015), namun terdapat penambahan perhitungan faktor orientasi
bidang diskontinu sesuai dengan potensi longsor yang dapat terjadi. Parameter Jw mengalami
perubahan menjadi Jwice dengan mempertimbangkan perubahan iklim dan lingkungan dalam
jangka waktu yang panjang. Parameter SRF dikembangkan untuk pengaplikasian pada kondisi
lereng batuan, dimana nilai SRF dibagi menjadi 3 yakni SRFa, SRFb, dan SRFc. Paper ini akan
fokus pada pengenalan metode Q-Slope untuk karakterisasi massa batuan untuk menilai
stabilitas lereng batuan dengan cepat yang diaplikasikan pada lereng konstruksi sipil dan
tambang terbuka.
Kata kunci: Q-Slope, lereng batuan, kestabilan lereng, klasifikasi massa batuan, metode
empiris.

1. Pendahuluan
Pada operasional lereng sipil dan tambang untuk mengetahui tingkat kestabilan pada umumnya
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memutuskan apakah lereng batuan dalam
keadaan stabil atau tidak, karena tingkat kestabilan perlu diketahui dengan metode yang
umumnya digunakan seperti analisis kinematik, metode kesetimbangan batas dan permodelan
metode numerik. Dengan tingginya tingkat penggalian dalam membentuk lereng maka
diperlukan suatu metode yang cepat untuk mengetahui tingkat kestabilan dengan pendekatan
yang presisi sesuai dengan keadaan aktual di lapangan.
Tujuan dari klasifikasi metode empiris Q-Slope adalah untuk memungkinkan dan membantu
ahli geoteknik dan geologi untuk melakukan penilaian secara kualitatif terhadap stabilitas
lereng batuan di lapangan dan membuat penyesuaian untuk sudut kemiringan lereng sesuai

1
dengan kondisi massa batuan dan potensi longsor selama kegiatan konstruksi sipil dan proses
penambangan. (Barton dan Bar, 2015). Metode empiris Q-Slope dalam analisis geoteknik dari
struktur batuan berdasarkan sistem klasifikasi secara kualitatif yang dikembangkan untuk
kestabilan lereng batuan dan desain lereng. Klasifikasi massa batuan diketahui melalu penilaian
atau pembobotan dari informasi yang berkaitan dengan keadaan geologi, geometri atau desain
rancangan, material properties batuan, struktur batuan atau bidang diskontinuitas dan lain-lain
(Azarafza et al, 2013)
Metode Q-Slope membantu untuk mengurangi proses dalam pengendalian potensi kestabilan
pada setiap lereng baik pada lereng tunggal, lereng pada jalan tambang, lereng keseluruhan
karena metode Q-Slope dapat mengestimasi sudut lereng yang dapat diterima untuk mencapai
tingkat kestabilan yang diinginkan. Gambar 1.1 mengilustrasikan potensi longsor yang dapat
terjadi di lereng batuan. Seperti yang diilustrasikan bahwa struktur bidang diskontinu memiliki
perang penting dalam mengontrol kestabilan pada lereng batuan.

Gambar 1.1. Potensi Longsor pada Lereng Batuan (S stabil, F longsor bidang, T longsor
toppling, US tidak stabil)
1.1. Klasifikasi Metode Empiris Batuan
Klasifikasi metode empiris batuan untuk keperluan engineering telah dikembangkan dalam 50
tahun terakhir dan telah diaplikasikan untuk keperluan beberapa kegiatan yang berhubungan
dengan kondisi batuan.

2
Pada proses pembangunan terowongan, tambang bawah tanah dan penggalian bawah tanah
lainnya telah banyak menggunakan klasifikasi metode empiris untuk membantu dalam proses
pembangunan proyek. Berikut beberapa metode empiris yang diaplikasikan pada kegiatan
bawah tanah yang pada umumnya digunakan untuk penyangga dan penguatan lainnya sesuai
dengan lubang bukaan yang dibuat, yaitu:
• Q-System (Barton et al, 1974)
• Rock Mass Rating (Bieniawski, 1976, 1989)
• Mining Rock Mass Rating (Laubscher, 1977; Laubscher dan Jakubec, 2001)
Untuk kestabilan lereng batuan, metode empiris jarang diaplikasikan dibandingkan dengan
metode kinematik, metode kesetimbangan batas dan permodelan metode numerik. Berikut
beberapa metode empiris yang diaplikasikan pada lereng batuan untuk mengetahui tingkat
kestabilan, penguatan dan performa dari penggalian lereng, yaitu:
• Slope Mass Rating (Romana, 1985, 1995)
• Global Slope Performance Index (Sullivan, 2013)
Namun, metode empiris lereng batuan diatas tidak memberikan informasi atau panduan
mengenai hubungan yang tepat antara geometri lereng dengan tingkat kestabilan lereng jangka
panjang tanpa adanya perkuatan pada lereng.

2. Metodologi
Metode Q-Slope adalah metode yang dikembangkan dari metode Q-System dimana metode Q’
telah diaplikasikan untuk keperluan analisis kestabilan konstruksi bawah tanah dan
rekomendasi sistem penyangga. Q-Slope diaplikasikan untuk mengurangi proses atau waktu
dalam pembentukan geometri lereng yang memungkinkan para teknisi mengetahui tingkat
kestabilan penggalian dan menentukan sudut lereng sesuai dengan kondisi massa batuan
selama proses pekerjaan penggalian berlangsung. Barton dan Bar (2015) merekomendasikan
metode Q-Slope dapat diaplikasikan pada seluruh tipe batuan dan potensi longsor seperti
longsor bidang, baji dan toppling. Namun perlu diperhatikan bahwa metode Q-Slope tidak
direkomendasikan untuk penilaian tingkat kestabilan untuk lereng yang sangat tinggi dan jika
diaplikasikan untuk kondisi tersebut perlu dipertimbangkan dengan metode yang lainnya.
2.1. Metode Q-System
Berdasarkan penelitian dan pengalaman yang dilakukan oleh Barton (1974) pada konstruksi
bawah tanah, metode Q-System diaplikasikan untuk mengetahui kualitas massa batuan atau
indeks kualitas batuan terowongan yang diketahui berdasarkan perumusan Q’, yaitu:
𝑅𝑄𝐷 𝐽 𝐽
𝑄𝑠𝑦𝑠𝑡𝑒𝑚 = × 𝐽𝑟 × 𝑆𝑅𝐹
𝑤
............................................................................................... (2.1)
𝐽𝑛 𝑎

Keterangan:
- RQD = Rock quality designation
- Jn = Joint set number
- Jr = Joint set roughness
- Ja = Joint alteration
- Jw = Joint water reduction factor
- SRF = Strength reduction factor

3
Pada perumusan Q’ terdapat 3 komponen utama yaitu perkiraan ukuran blok batuan (RQD/Jn),
kuat geser antar blok (Jr/Ja) dan tegangan aktif batuan (Jw/SRF). Metode empiris Q’ ini yang
menjadi dasar dalam pengembangan metode Q-Slope.

2.2. Metode Q-Slope


Tujuan dari metode empiris Q-Slope adalah untuk mengestimasi dengan cepat sudut
kemiringan lereng yang dapat diterima dalam keadaan lereng batuan yang stabil sesuai dengan
kondisi aktual dari struktur geologi, geometri lereng, dan sifat material properties batuan
sehingga metode ini membantu ahli geoteknik dan geologi dalam proses penggalian dan
pemantauan lereng batuan baik saat proses kegiatan berlangsung atau setelah lereng batuan
terbentuk. Dalam banyak kasus lereng batuan, ahli geoteknik harus memutuskan sudut lereng
yang dibentuk apakah berkisar antara 45° - 90° atau di bawah 45°.
Mengaplikasikan metode Q-Slope selama proses kegiatan penggalian berlangsung bisa
membantu dalam pengendalian dan pembentukan lereng batuan sesuai dengan potensi longsor
yang dapat terjadi. Namun, banyak di lapangan lereng dibuat dengan sudut yang sama atau
konstan walaupun memiliki struktur domain yang berbeda.
Metode Q-Slope dikembangkan dari studi kasus pada 6 negara dengan 17 jenis batuan (batuan
beku, sedimen dan metamorf) dan pada tinggi lereng 5m – 30m.
Perumusan metode empiris Q-Slope diketahui berdasarkan 6 parameter yang sama dengan
perumusan Q-System tetapi memiliki perubahan pada beberapa parameter untuk Q-Slope yang
diaplikasikan untuk lereng batuan di permukaan. Dari 6 parameter tersebut maka dapat
diketahui secara empiris nilai Q-Slope, yaitu:
𝑅𝑄𝐷 𝐽 𝐽𝑤𝑖𝑐𝑒
𝑄𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 = × ( 𝑟) × ..................................................................................... (2.2)
𝐽𝑛 𝐽𝑎 0 𝑆𝑅𝐹𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒

Nilai numerik dari perhitungan Q-Slope merupakan skala logaritma yang memiliki nilai dari
0,001 hingga 100. Setiap nilai tersebut merupakan penilaian kualitatif massa batuan terhadap
3 kelompok parameter yang tidak berubah secara signifikan dari metode Q-System sebagai
berikut:
1. Derajat bidang diskontinu atau ukuran blok (RQD/Jn)
Derajat bidang diskontinu ditentukan oleh bentuk bidang diskontinu yaitu orientasi dan
spasi yang menunjukkan ukuran relatif blok massa batuan. Kestabilan secara umum akan
berkurang ketika spasi bidang diskontinu berkurang dan jumlah set bidang diskontinu
bertambah. Derajat bidang diskontinu mempunyai pengaruh yang besar untuk batuan
lemah dibandingkan batuan yang kuat.
a. Parameter RQD
Rock Quality Designation (RQD) dikembangkan oleh Deere dan kawan-kawan
(1967) untuk memperoleh perkiraan secara kuantitatif terhadap massa batuan berdasar
hasil inti pemboran. RQD didefinisikan sebagai persentase dari bagian inti yang utuh
dengan panjang lebih dari 10 cm dalam panjang satu run pengeboran. Deskripsi RQD
dapat dilihat pada Tabel 2.1.

4
Tabel 2.1. Rock Quality Designation (Neil Bar & Nick Barton, 2015)
Rock Quality Designation
Rock quality designation description RQD (%)
A Very poor 0 - 25
B Poor 25 - 50
C Fair 50 - 75
D Good 75 - 90
E Excellent 90 - 100
where RQD is reported or measured as B10 (including zero),
a nominal value of 10 is used to evaluate Q-slope. RQD
intervals of 5,
i.e., 100, 95, 90, etc., are sufficiently accurate

b. Parameter Jn
Merupakan jumlah set bidang diskontinu atau jumlah keluarga bidang diskontinu.
Dikatakan satu set/keluarga jika kumpulan bidang diskontinu mempunyai orientasi
paralel satu sama lain, mempunyai frekuensi karakterisasi dan pengulangan yang
sama. Deskripsi Jn dapat dilihat pada Tabel 2..2.
Tabel 2.2. Joint Set Number (Neil Bar & Nick Barton, 2015)
Joint Set Number
Joint set number description Jn
A Massive, no or few joints 0,5 - 1
B One joint set 2
C One joint set plus random joints 3
D Two joint sets 4
E Two joint sets plus random joints 6
F Three joint sets 9
G Three joint sets plus random joints 12
Four or more joint sets, random,
H 15
heavily jointed
J Crushed rock, earthlike 20

2. Gesekan bidang diskontinu (Jr/Ja) atau kuat geser rata-rata dalam kasus baji (Jr/Ja)o-factor.
Gesekan bidang diskontinu menunjukkan kuat geser interblok antar bidang-bidang
diskontinu. Pada batuan keras deformasi dapat terjadi sebagai perpindahan geser
sepanjang bidang diskontinu. Gesekan bidang diskontinu ini tergantung dari kekasaran
bidang diskontinu, ketebalan dan tipe material pengisi di dalamnya. Kestabilan yang
bagus dicirikan dengan bidang diskontinu yang kasar dan tidak adanya material pengisi
atau tipis sekali material pengisi tersebut, atau tebal namun tergolong material
pengisi yang keras.
a. Parameter Jr
Menunjukkan kelas kekasaran bidang diskontinu dan kuat geser bidang diskontinu.
Deskripsi Jr dapat dilihat pada Tabel 2.3.

5
Tabel 2.3. Joint Roughness Number (Neil Bar & Nick Barton, 2015)
Joint Roughness Number
Joint roughness number description Jr
(a) Rock-wall contact, (b) Contact after shearing
A Discontinuous joint 4
B Rough or irregular, undulating 3
C Smooth, undulating 2
D Slickensided, undulating 1,5
E Rough or irregular, planar 1,5
F Smooth, planar 1,0
G Slickensided, planar 0,5
(c) No rock-wall contact when sheared
Zone containing clay minerals thick enough to prevent rock-
H 1,0
wall contact.
Sandy, gravely or crushed zone thick enough to prevent rock-
J 1,0
wall contact.
Descriptions refer to small-scale features and intermediate scale features, in that order
Add 1.0 Ja
b. Parameter if mean spacing of the relevant joint set is greater than 3 m.
- Jr = 0.5 can be used for planar, slickensided joints having lineations, provided the
Merupakan
lineations tingkat
are orientedalterasi
for minimumbidang
strength diskontinu. Selain kekasaran, isian diskontinu
- Jr and Ja classification are
menjadi parameter yang mempengaruhi applied to the discontinuity
nilaisetkekuatan
or sets that are least batuan.
geser favorable for
Isian diskontinu
stability both from the point of view of orientation and shear resistance λ, where λ & σ n tan -1
yang (Jr/Ja)
mempengaruhi yaitu ketebalan dan kekuatan, dan faktor tersebut tergantung
pada komposisi mineral didalamnya. Tingkat alterasi dibagi menjadi tiga kelompok
sesuai dengan isian pada bidang diskontinu yang ditunjukkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Joint Alteration Number (Neil Bar & Nick Barton, 2015)
Joint Alteration Number
Joint alteration number description Ja
(a) Rock-wall contact (no clay fillings, only coatings)
A Tightly healed, hard non-softening, impermeable filling, i.e., quartz or epidote 0,75
B Unaltered joint walls, surface staining only 1,0
Slightly altered joint walls. Non-softening mineral coatings, sandy particles, clay-
C 2,0
free disintegrated rock, etc.
D Silty- or sandy-clay coatings, small clay disintegrated rock, etc. 3,0
Softening or low friction clay mineral coatings, i.e., kaolinite or mica. Also chlorite,
E 4,0
talc, gypsum, graphite, etc., and small quantities of swelling clays.

(b) Rock-wall contact after some shearing (thin clay fillings, probable thickness & 1–5 mm)

F Sandy particles, clay-free disintegrated rock, etc. 4,0

G Strongly over-consolidated non-softening clay mineral fillings 6,0

H Medium or low over-consolidation, softening, clay mineral fillings 8,0


Swelling-clay fillings, i.e., montmorillonite. Value of Ja depends on percent of
J 8 - 12
swelling clay-size particles and access to water
(c) No rock-wall contact when sheared
Zones or bands of disintegrated or crushed rock and clay (see G, H, J for 6, 8, or 8-
M
description of clay condition) 12
N Zones or bands of silty- or sandy-clay, small clay fraction (non-softening) 5,0
Thick, continuous zones or bands of clay (see G, H, J for description of clay 10. 13, or
OPR
condition) 13-20

6
c. O-Faktor
Orientasi bidang diskontinu yang dideskripsikan pada Tabel 2.5 memberikan
penyesuaian orientasi untuk diskontinu pada lereng batuan (Barton dan Bar 2015).
Faktor orientasi ini diaplikasikan sesuai dengan potensi longsor yang akan
ditimbulkan. O-Faktor disesuaikan dengan orientasi diskontinu yang berperan
terhadap tingkat performa lereng apakah menguntungkan atau tidak terhadap
performa lereng dan faktor orientasi bidang diskontinu B diperlukan apabila terdapat
2 set diskontinu yang mempengaruhi potensi longsor seperti pada potensi longsor baji.
Tabel 2.5. Faktor Orientasi Diskontinu (Neil Bar & Nick Barton, 2015)
Discontinuity Orientation Factor - O-factor
O-factor description Set A Set B
A Very favorably oriented 2,0 1,5
B Quite favorable 1,0 1,0
C Unfavorable 0,75 0,9
D Very unfavorable 0,50 0,8
E Causing failure if unsupported 0,25 0,5

3. Faktor Luar dan Tekanan (Jwice/SRFslope).


Kondisi tekanan pada massa batuan biasanya ditentukan oleh kedalaman lubang bukaan
dari permukaan tanah. Secara umum kestabilan bergantung pada besar tekanan yang
dialami massa batuan. Pada metode Q-Slope parameter ini mengalami pengembangan
dari Q-System yang disesuaikan dengan aplikasi dari lereng batuan di permukaan karena
ada faktor perubahan lingkungan karena kondisi lereng diaplikasikan pada keadaan yang
berkepanjangan. Faktor luar dan tekanan aktif terdiri dari dua parameter yaitu:
a. Parameter Jwice
Merupakan faktor reduksi karena adanya pengaruh lingkungan/air pada bidang
diskontinu. Tingkat kondisi lingkungan dan geologi, Jwice, lebih baik dibandingkan
Jw pada metode Q-System karena lebih memperhatikan kondisi lereng yang berada di
permukaan dan terkena banyak unsur lain dalam jangka waktu yang lama (Barton dan
Bar, 2015).
Pada Tabel 2.6, Jwice memiliki deskripsi baru untuk lereng, termasuk pengaruh erosi,
hujan tropis dan efek ice wedging (retakan yang diakibatkan oleh pengaruh
pembekuan es dalam jangka waktu yang lama). Faktor penyesuaian dalam hal
penguatan lereng atau tindakan drainase juga disertakan.
b. Parameter SRF (SRFa, SRFb, dan SRFc)
SRF (strength reduction factor) merupakan faktor reduksi karena tegangan yaitu
perbandingan antara kuat tekan uniaksial batuan dan tegangan utama. Namun pada
metode Q-Slope, nilai SRFslope diperoleh dengan memilih nilai maksimum atau paling

7
merugikan dari SRFa, SRFb, dan SRFc yang dideskripsikan pada Tabel 2.7, 2.8, dan
2.9 (Barton dan Bar, 2015).
- SRFa mendeskripsikan strength reduction factor untuk kondisi fisik permukaan
lereng (sekarang atau yang diharapkan) karena pengaruh dari kegiatan yang tidak
diduga seperti pelapukan dan erosi.
- SRFb mendeskripsikan strength reduction factor untuk tingkat tegangan dan
kekuatan yang mempengaruhi lereng. SRFb menjadi parameter yang mengurangi
nilai Q, apabila terjadi pada material yang memiliki kekuatan yang lemah seperti
batuan yang sangat lapuk dan saprolitik, dan juga menjadi berpengaruh dengan
meningkatnya ketinggian lereng karena akan meningkatkan tegangan utama.
Tegangan utama maksimum (1) dapat diketahui dengan cara menghitung
tegangan in situ dari parameter densitas material dan geometri lereng.
- SRFc mendeskripsikan strength reduction untuk diskontinu major seperti sesar,
zona lemah, dan kumpulan kekar yang mungkin juga mengandung isian tanah liat
yang berdampak buruk pada stabilitas lereng. Major joint dapat memiliki orientasi
yang sama maupun yang berbeda dengan set diskontinu pada lereng batuan. Major
joint memiliki karakteristik diskontinu tunggal dan sangat besar sehingga memiliki
parameter geoteknik yang berbeda. Major joint ini pada umumnya diketahui pada
aplikasi dengan lereng yang sangat tinggi.
Tabel 2.6. Kondisi Lingkungan dan Geologi (Neil Bar & Nick Barton, 2015)
Environmental and geological condition number
Jwice Desert environment Wet environment Tropical storms Ice wedging
A Stable structure; competent rock 1,0 0,7 0,5 0,9

B Stable structure; incompetent rock 0,7 0,6 0,3 0,5


C Unstable structure; competent rock 0,8 0,5 0,1 0,3
D Unstable structure; incompetent rock 0,5 0,3 0,05 0,2
When drainage measures are installed, apply Jwice x 1.5, when slope reinforcement measures are installed, apply Jwice x 1.3,
and when drainage and reinforcement are installed, apply both factors Jwice x 1.5 x 1.3

Tabel 2.7. Kondisi Fisik (SRFa) (Neil Bar & Nick Barton, 2015)
SRFa physical condition
Description SRFa
A Slight loosening due to surface location, disturbance from blasting or excavation 2,5
Loose blocks, signs of tension cracks and joint shearing, susceptibility to weathering, severe
B 5
disturbance from blasting or excavation
C As B, but strong susceptibility to weathering 10
Slope is in advanced stage of erosion and loosening due to periodic erosion by water and/or ice-
D 15
wedging effects
E Residual slope with significant transport of material downslope 20

8
Tabel 2.8. Tegangan dan Kekuatan (SRFb) (Neil Bar & Nick Barton, 2015)
SRFb stress and strength
Description σc /σ1 SRFb
F Moderate stress-strength range 50-200 2,5-1
G High stress-strength range 10-50 5-2,5
H Localized intact rock failure 5-10 10-5
J Crushing or plastic yield 2,5-5 15-10
K Plastic flow of strain softened material 1-2,5 20-15

σ c = unconfined compressive strength (UCS), σ 1 = maximum principal stress

Tabel 2.9. Diskontinu Mayor (SRFc) (Neil Bar & Nick Barton, 2015)
SRFc major discontinuity
Very Causing failure
Description Favorable Unfavorable
unfavorable if unsupported
L Major discontinuity with little or no clay 1 2 4 8

Major discontinuity with RQD100 = 0a due to


M 2 4 8 16
clay and crushed
Major discontinuity with RQD300 = 0b due to
N 4 8 12 24
clay and crushed
a
RQD100= 1 m perpendicular sample of discontinuity,
b
RQD300 = 3 m perpendicular sample of discontinuity

3. Hubungan Antara Q-Slope dan Sudut Lereng


Barton and Bar (2015) mengembangkan rumus sederhana hubungan antara sudut kemiringan
paling curam (β) dengan nilai Q-Slope dengan keadaan lereng yang tidak membutuhkan
penguatan (reinforcement) untuk ketinggian lereng kurang dari 30 m. Formula ini
dikembangkan agar dapat diaplikasikan pada semua ketinggian lereng dengan maksimal
probabilitas longsor 1%:
𝛽 = 20𝑙𝑜𝑔10 𝑄𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 + 65𝑜 .............................................................................................. (3.1)
Persamaan 3.1 tersebut dapat diaplikasikan pada kondisi lereng dengan sudut kemiringan yang
lebih besar dari 35o dan kurang dari 85o seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1 dan 3.2,
yang memiliki probabilitas longsor 1%. Dari data Q-Slope, berikut korelasi sederhana untuk
mudah diingat:
Q-Slope = 10 untuk sudut lereng 85o ..............................................................................(3.2)
Q-Slope = 1 untuk sudut lereng 65o ................................................................................(3.3)
Q-Slope = 0.1 untuk sudut lereng 45o .............................................................................(3.4)
Q-Slope = 0.01 untuk sudut lereng 25o ...........................................................................(3.5)
Gambar 3.2 merupakan data Q-Slope yang didapatkan dari hasil analisis balik pada studi kasus
jalan tol, jalur kereta api, tambang terbuka, dan lereng yang terbentuk secara alami.
Gambar 3.2 juga mencakup lereng yang lebih besar seperti lereng inter-ramp di tambang
terbuka di mana parameter geologi dan kualitas massa batuan memiliki tingkat yang seragam
atau mendekati seragam di sepanjang ketinggian lereng.

9
Gambar 3.1. Grafik Kestabilan Q-Slope (Neil Bar & Nick Barton, 2015)

Gambar 3.2. Data Q-Slope – 412 Studi Kasus (Neil Bar & Nick Barton, 2015)

10
Keterangan Gambar 3.2:
1. Tanda segitiga menunjukkan lereng yang stabil. Tidak ada tanda-tanda ketidakstabilan
yang diamati secara visual dalam waktu beberapa minggu, bulan atau tahun pasca-
penggalian.
2. Tanda kotak mengindikasikan lereng-lereng yang stabil (kemungkinan besar akan segera
runtuh dengan curah hujan atau efek pelapukan). Tanda ketidakstabilan lereng yang
terlihat seperti adanya rekahan tarik, dislokasi, atau deformasi yang diketahui dari
pemantauan geoteknik yang diamati secara terus-menerus.
3. Tanda silang menunjukkan lereng yang gagal atau runtuh yang telah dilakukan analisa
balik menggunakan geometri pra-longsor dan kondisi tanah yang telah diketahui.
Persamaan (3.1) tidak mewakili nilai faktor keamanan tertentu seperti yang didapatkan dengan
melakukan analisis numerik. Melainkan mewakili batas kestabilan lereng jangka panjang
berdasarkan pengamatan performa lereng, biasanya antara 6 bulan dan lebih dari 50 tahun.
Namun, persamaan 3.1 dapat digunakan, jika diinginkan lereng yang aman pada sudut
kemiringan paling curam (β) yang tidak memerlukan penguatan atau penyanggaan lereng.
Mengingat adanya lereng yang tidak stabil dan semi-stabil, dimana kedua keadaan tersebut
merupakan peristiwa yang tidak diinginkan, maka Bar & Barton, 2017 merumuskan
probabilitas longsor (PL) dan digambarkan menggunakan garis iso-potensial pada Gambar 3.3.
Jika tingkat kegagalan tertentu dapat diterima (probabilitas longsor), seperti persentase dari
setiap terjadinya longsor bench di tambang terbuka, maka persamaan untuk mengetahui sudut
maksimal yang dapat diterima dapat dirumuskan sebagai berikut:
PL = 1% : β = 20 log10 Qslope + 65o .................................................................................(3.6)
PL = 15%: β = 20 log10 Qslope + 67,5o .............................................................................(3.7)
PL = 30%: β = 20 log10 Qslope + 70,5o .............................................................................(3.8)
PL = 50%: β = 20 log10 Qslope + 73,5o .............................................................................(3.9)

Gambar 3.3. Q-Slope - Probabilitas Longsor (Neil Bar & Nick Barton, 2017)

11
Daftar Pustaka

Bar N., Barton N., 2015, Introducing The Q-slope Method And Its Intended Use Within Civil
And Mining Engineering Projects, ISRM Regional Symposium EUROCK, Springer, Austria.

Bar N., Barton N., Ryan CA., 2016, Application of the Q-Slope Method to Highly Weathered
and Saprolitic Rocks in Far North Queensland, Rock Mechanics and Rock Engineering: From
the Past to the Future, London.

Bar N., Barton N., 2017, The Q-slope Method for Rock Slope Engineering, Rock Mechanic and
Rock Engineering, Springer, Vienna.

Bar N., Barton N., 2018, Q-Slope: An Empirical Rock Slope Engineering Approach in
Australia, Australian Geomecahnics, Australia.

Barton, Nick., Lien, R. & Lunde, J., 1974, Engineering Classification of Rock Masses for the
Design of Tunnel Support, Rock Mechanics 6.

Norwegian Geotechnical Institute., 2015, Using the Q-System, Ulleval Stadion, Oslo-Norway.

12
Lampiran 1 Tabel Parameter Q-Slope

13
14

Anda mungkin juga menyukai