Hasil uji viabilitas merupakan resultante antara Sifat Genetik dan Lingkungan
tempat pengujian. Disamping kedua faktor tersebut, faktor-faktor lain yang
mempengaruhi hasil uji viabilitas adalah
1. Produksi Benih
Kualitas benih yang dihasilkan dipengaruhi oleh input (benih, pupuk, dan pestisida),
pengelolaan selama pertumbuhan, dan kondisi ekologis. Jika ketiga hal
tersebut dalam keadaan optimum, maka kualitas benih yang diperoleh akan mencapai
maksimum, sehingga hasil pengujian dapat mencapai nilai tertinggi.
2. Penentuan Saat Panen
Benih yang dipanen saat masak fisiologis mempunyai kondisi puncak, tetapi jika
panen terlambat, kondisi benih sudah menurun, sehingga hasil uji viabilitas tidak
akan maksimum.
3. Prosesing Benih
Prosesing benih meliputi pembersihan, pengeringan, pemilahan, dan pengemasan
benih.
Prosesing benih bertujuan untuk mempertahankan kualitas benih agar tetap sama
seperti saat dipanen. Jika setelah dipanen tidak segera diproses, maka benih akan
mengalami kemunduran (deteriorasi) dan laju respirasi yang tinggi karena
kadar air (KA) benih yang baru dipanen masih relatif tinggi, sehingga akan
mempengaruhi nilai uji viabilitas.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Pengujian Viabilitas (Lanjutan)
4. Penyimpanan Benih
Selama penyimpanan, benih masih terus melakukan proses
fisiologis dasar yang erat kaitannya dengan kondisi dan metode
penyimpanan yang digunakan. Bila metode penyimpanan tidak
memadai, mengakibatkan kualitas benih menurun.
5. Rantai Pemasaran
Sebelum sampai ke petani konsumen, benih yang diproduksi oleh
Penangkar Benih harus melalui mekanisme pemasaran. Rantai
pemasaran yang perlakuannya tidak sesuai dengan prosedur dan
persyaratan tertenu mengakibatkan penurunan kualitas benih.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Pengujian Viabilitas (Lanjutan)
6. Metode Uji
Metode uji yang tidak sesuai dengan varietas benih dapat menyebabkan
turunnya nilai viabilitas, bahkan benih menjadi tidak berkecambah sama
sekali.
7. Media Perkecambahan
Media perkecambahan harus dipilih yang cocok agar proses
perkecambahan tidak terganggu, sehingga nilai viabilitas yang diperoleh
betul-betul menunjukkan kualitas benih.
8. Waktu
Waktu pengujian telah ditetapkan oleh BPSB (Balai Pengawasan
Sertifikasi Benih) dan ISTA, artinya uji viabilitas harus dihentikan jika
batas waktu pengujian telah terlampaui. Pada kondisi tertentu,
pengujian dapat diperpanjang jika pada akhir waktu pengujian tampak
ada benih yang akan berkecambah.
Perhitungan Nilai Perkecambahan
d. Sifat sitologis
Sifat sitologis meliputi perubahan sifat benih pada waktu diproduksi,
misalnya abrasi kromosom atau mutasi gen.
e. Kerusakan mekanis
Kerusakan mekanis dapat menyebabkan benih cacat atau memar
(nekrosis), sehingga menyebabkan terbentuk racun yang mempengaruhi
proses fisiologis atau sebagai sumber infeksi mikroorganisme.
f. Serangan mikroorganisme
Akumulasi mikroorganisme (fungi dan bakteri) pada benih pada periode
pemasakan benih akan mempengaruhi penampilan benih karena
mikroorganisme akan menimbulkan panas atau kerusakan langsung dan
terjadi kompetisi pengambilan O2.
g. Kerusakan karena suhu rendah
Vigor benih hillang pada benih yang mengalami suhu rendah dan dalam
keadaan berimbibisi.
Metode Pengujian Benih
Keterangan:
CG = Koefisien Perkecambahan (dinyatakan dalam %)
A = jumlah benih yang berkecambah pada hari tertentu
T = waktu yang brsesuaian dengan A
n = jumlah hari pada penilaian perhitungan terakhir
a. 2)Laju Perkecambahan atau Pengujian Kecepatan Berkecambah
(lanjutan)
Contoh:
Dikecambahkan 100 benih, setelah dilakukan pengamatan, diperoleh:
Pada hari ke-3, benih berkecambah 75 benih
Pada hari ke-7 (pengamatan terakhir), berkecambah 20 benih, maka
Koefisien Perkecambahan (CG) adalah
Jika benih yang berkecambah normal ˃ 75% dari seluruh benih yang
disemai/dikecambahkan dalam rangka pengujian, artinya Kecepatan
Berkecambah (CG) adalah tinggi.
Dari contoh di atas diperoleh CG = 26,02% , artinya kecepatan
berkecambah benih rendah.
a. 2)Laju Perkecambahan atau Pengujian Kecepatan Berkecambah
(lanjutan)
G1 G2 G3 Gn
IV = ---- + ----- + ------ + . . . + ------
D1 D2 D3 Dn
d. Biochemice Method
Metode ini dipakai untuk mengetahui aktivitas enzim dalam benih,
terdiri atas beberapa metode, yaitu
1) Tetra Zolium Test
Metode ini dikembangkan oleh George Lakon (1940) di
Jerman, disebut juga Quick Test atau Biochemice Test.
Prinsipnya adalah pengecatan embrio.
2) GADA (Glutamic Acid Decarboxylase Activity) Test
Ditemukan oleh Grabee (1964) untuk menguji aktivitas enzim
dengan melihat respon keseragaman terhadap penambahan asam
glutamat, kemudian dihitung kadar CO2-nya, semakin tinggi
CO2, semakin tinggi vigor benih.
3) Indigo Carmine = Pewarnaan Vital (Vital Coloring Test)
Prinsipnya adalah bagian benih (embrio) yang mati akan
berwarna biru, sedangkan bagian yang hidup berwarna
putih.
ANALISIS KEMURNIAN BENIH
Kualitas benih ditentukan oleh persentase benih murni, benih tanaman lain, biji
herba/gulma, kotoran yang tercampur, daya kecambah benih, bebas dari hama
dan penyakit tanaman, kadar air benih, serta berat per 1.000 benih.
Syarat benih bermutu baik secara umum adalah
Daya kecambah minimal 80%
Benih murni minimal 95%
Benih varietas lain maksimal 5%
Kotoran maksimal 2%
Benih rumput/gulma maksimal 2%
Kadar air maksimal 14%
3. Biji-bijian herba/gulma
Biji-bijian herba/gulma meliputi biji dari tanaman lain yang tidak
dikehendaki, bublet, dan tuber dari tanaman yang dinyatakan sebagai
herba/gulma menurut UU, peraturan resmi, atau pendapat umum.
4. Kotoran dan benda mati
Gian/Kotoran atau benda mati meliputi semua materi asing dalam
sampel, termasuk bagian/serpihan tanaman, tanah, pasir, batu, tubuh
jamur, serta semua materi dan struktur yang tidak secara khusus
diklasifikasikan sebagai benih murni atau biji lain.
ANALISIS KEMURNIAN BENIH