Anda di halaman 1dari 8

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

‫السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Segala pujian hanya bagi Allah Ta’ala, sholawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang orang yang mengikuti
mereka hingga hari kiamat.

Melalui tulisan ini, kami ingin mengungkapkan rasa syukur yang mendalam karena telah
merasakan manisnya buah Tarbiyah yang kami ikuti selama lebih dari 20 tahun. Banyak sekali
ilmu dan hikmah yang kami dapatkan dalam rangka membangun keimanan dan ketaqwaan
pada Allah subhanahu wa Ta’ala, juga buah dari ukhuwah islamiyah yang terjalin di antara
ikhwah hingga menghasilkan persaudaraan dan tolong menolong dalam ikatan yang baik.

Hal berikutnya yang ingin kami sampaikan adalah, bahwa setelah mengalami fase yang cukup
panjang, dimana kami selalu berusaha untuk terbuka untuk belajar dan senantiasa
bersemangat dalam mempelajari Islam sesuai pemahaman salafus shaleh, maka kami saat ini
telah memutuskan untuk tidak lagi ikut serta dalam gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin, dan
melepaskan baiat yang pernah kami ikrarkan terhadap gerakan ini.

Keputusan ini merupakan hal yang harus kami tempuh setelah sekian lama kami saling
berdiskusi sambil mengharap taufiq dari Allah azza wa jalla, yang kemudian kami memndapati
kenyataan banyaknya hal yang berbeda antara pemahaman kami dengan IM.

Kami tidak bermaksud untuk memutus ikatan ukhuwah yang telah terjalin selama ini dengan
ikhwah, sebab setiap Muslim adalah bersaudara dengan Muslim lainnya.

Kami akan memaparkan beberapa hal perbedaan yang melatar-belakangi keputusan kami,
insya Allah. Dan kami tidak bermaksud memunculkan perdebatan, namun hanya sekedar
memberikan penjelasan singkat (hanya yang menurut kami paling penting) kiranya ikhwah
dapat memahami keputusan kami untuk tidak lagi ikut serta dalam dakwah IM.

Antara lain:

1. Kami berkeyakinan bahwa sistem Demokrasi, baik itu Demokrasi Pancasila, UUD
45 dan sejenisnya, (baik secara Nama, Pengertian, Hakikat, Maksud, maupun
Praktek dan Kenyataannya) bukanlah bagian dari Islam dan juga sebaliknya, Islam
bukanlah bagian dari itu semua. Sehingga, penggunaan semua itu termasuk bentuk
dari berhukum kepada selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:


‫ين عِ ْن َد هَّللا ِ اإْل ِسْ اَل م‬
َ ‫إِنَّ ال ِّد‬
“Sesungguhnya Dien di sisi Allah hanyalah Islam…” (QS Ali Imran:19)

َ ‫َو َمنْ َي ْب َت ِغ غَ ي َْر اإْل ِسْ اَل ِم دِي ًنا َفلَنْ ُي ْق َب َل ِم ْن ُه َوه َُو فِي اآْل خ َِر ِة م َِن ْال َخاسِ ِر‬
‫ين‬
“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia
termasuk orang yang rugi.” (QS Ali Imran:85)

‫ت َو َق ْد أ ُ ِمرُوا أَنْ َي ْكفُرُوا ِب ِه َوي ُِري ُد‬ َّ ‫ُون أَنْ َي َت َحا َكمُوا إِلَى‬
ِ ‫الطا ُغو‬ َ ِ‫ْك َو َما أ ُ ْن ِز َل مِنْ َق ْبل‬
َ ‫ك ي ُِريد‬ َ ‫ُون أَ َّن ُه ْم آ َم ُنوا ِب َما أ ُ ْن ِز َل إِلَي‬
َ ‫ِين َي ْز ُعم‬َ ‫أَلَ ْم َت َر إِلَى الَّذ‬
ً ‫ضاَل اًل َبع‬
‫ِيدا‬ َ ‫ال َّش ْي َطانُ أَنْ يُضِ لَّ ُه ْم‬

“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka


telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Thagut,
padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thagut itu. Dan setan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An Nisaa:60)

Al hafidz Ibnu Katsir berkata tentang penafsiran QS Ali Imran:85 :

“Yakni barang siapa yang menempuh suatu jalan selain jalan yang telah disyariatkan oleh Allah,
maka jalan itu tidak akan diterima darinya” (Tafsir Ibnu Katsir).

Demokrasi merupakan sistem yang bertentangan dengan Islam. Karena sistem ini meletakkan
rakyat sebagai sumber hukum atau orang-orang yang mewakilinya (seperti anggota parlemen).
Maka dengan demikian landasan hukumnya tidak merujuk kepada Allah Ta’ala, tapi kepada
kehendak rakyat dan para wakilnya. Patokannya tidak harus kesepakatan semua mereka, tapi
suara terbanyak. Kesepakatan mayoritas akan menjadi UU yang wajib dipegang masyarakat
walaupun bertentangan dengan fitrah, agama dan akal.
Beberapa fakta yang ada, dengan sistem ini, muncullah aturan bolehnya riba, bolehnya zina
suka sama suka, membuat aturan sendiri tentang batasan aurat, digugurkannya hukum-hukum
syariat, dibolehkannya khamar. Bahkan dengan sistem ini, Islam dan para penganutnya yang
taat seringkali diperangi.
Jika dalam Islam:
Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka,
jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu.
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri
(pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Sedangkan permisalan dalam demokrasi, maka seolah-olah adalah:
Hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diinginkan rakyat
(baik kafir, fasiq, muslim, semuanya), dan hendaklah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan
waspadalah, jangan sampai engkau berpaling dari keinginan mereka.
Wahai orang-orang yang berdemokrasi pancasila! Taatilah keinginan Rakyat, atau yang
mewakili rakyat dan penguasa yang mengemban amanah rakyat. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Pancasila dan UUD 45, jika kamu
beriman kepada Demokrasi Pancasila.

2. Orang-orang yang berhukum pada hukum selain Allah mendapatkan julukan yang
keras:

َ ‫َو َمنْ لَ ْم َيحْ ُك ْم ِب َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ َفأُو ٰلَئ‬


َ ‫ِك ُه ُم ْال َكافِر‬
‫ُون‬
“Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-
orang kafir. “ (QS Al Maidah:44)

‫ُون‬
َ ‫الظالِم‬ َ ‫َو َمنْ لَ ْم َيحْ ُك ْم ِب َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ َفأُو ٰلَئ‬
َّ ‫ِك ُه ُم‬
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itulah orang-orang zhalim.” (QS Al Maidah:45)

َ ‫َو َمنْ لَ ْم َيحْ ُك ْم ِب َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ َفأُو ٰلَئ‬


َ ُ‫ِك ُه ُم ْال َفاسِ ق‬
‫ون‬
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itulah orang-orang fasik.” (QS Al Maidah:47)

Walaupun mayoritas ulama mengatakan (tentang kata “kafir” pada QS Al Maidah:44) adalah
kekafiran yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam (Selama ia masih meyakini
bahwa hukum Islam tetap lebih baik dan utama), akan tetapi tidak ada satupun Ulama yang
membolehkannya, apalagi sampai menghalalkannya.

3. Bahwa, berdemokrasi, pemilu dalam bingkai demokrasi, serta membuat aturan aturan
yang menyelisihi syariat Allah, dan bermajelis bersama pendukungnya merupakan salah
satu bukti mengikuti keinginan orang-orang kafir, serta ikut terseret dalam keinginan
mereka. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan sebaliknya.

 Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk berpaling dari orang-orang yang berhukum
pada thaghut (yaitu orang-orang munafik), Allah Ta’ala berfirman:

“.....Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan
katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.” (QS An
Nisaa:63).

 Dan jangan sampai ikut terseret dengan mengikuti keinginan mereka


 Dan jangan sampai terpedaya. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan


membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan
menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan
janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu
semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu
perselisihkan.”

“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah
terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang
telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan
sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS Al Maidah:48-49)

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menafsirkan ayat:


“dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49)”
beliau berkata:

“Yaitu pendapat-pendapat mereka yang mereka peristilahkan sendiri, dan karenanya


mereka meninggalkan apa yang apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul Nya.
Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya:

dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. (Al-Maidah: 48)

Yakni janganlah kamu berpaling dari kebenaran yang diperintahkan Allah kepadamu,
lalu kamu cenderung kepada hawa nafsu orang-orang yang bodoh lagi celaka itu.” (tafsir
ibnu katsir)

 Serta tidak bermajelis bersama mereka (Apalagi bersama sama mereka membuat
undang undang berdasarkan apa apa di luar syariat Islam baik sedikit maupun
banyaknya), Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sungguh, Allah telah menurunkan (ketentuan) bagimu di dalam Kitab (Al-Qur'an)
bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh
orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sebelum mereka
memasuki pembicaraan yang lain. Karena (kalau tetap duduk dengan mereka), tentulah
kamu serupa dengan mereka. Sungguh, Allah akan mengumpulkan semua orang-orang
munafik dan orang-orang kafir di neraka Jahanam.”

4. Bahwa kami berpendapat, Jalur Demokrasi yang berdasarkan suara mayoritas tidak
akan mampu melahirkan kemenangan Islam yang sebenarnya. Dan termasuk mengikuti
jalan orang kafir yang akan menambah kesesatan manusia dengan munculnya kerelaan akan
hal tersebut.
Allah Ta’ala berfirman:

Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan. (QS Al
An’am:116)

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa
berselisih (pendapat) (QS Hud:118)

Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (QS
Yusuf:103)

“Dan sungguh, Kami telah menjelaskan berulang-ulang kepada manusia dalam Al-Qur'an ini dengan
bermacam-ma-cam perumpamaan, tetapi kebanyakan manusia tidak menyukainya bahkan mengingkari
(nya)” (QS Al Isra:89)

“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.”(QS Yusuf:21)

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu mengikuti sebagian dari orang yang diberi Kitab, niscaya
mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah beriman. (QS Ali Imran:100)

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya:

Allah Swt. memperingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar jangan sampai taat kepada kemauan
segolongan Ahli Kitab yang selalu dengki terhadap kaum mukmin, karena kaum mukmin telah mendapat
anugerah dari Allah berkat kemurahan-Nya, dan telah mengutus Rasul-Nya kepada mereka. Dalam ayat
yang lain disebutkan oleh firman-Nya:

Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran
setelah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri. (Al-Baqarah: 109).

5. Kenyataan lain, menurut pendapat kami, keikutsertaan dalam demokrasi, lebih khusus lagi pemilu,
ternyata menyebabkan kelonggaran yang besar dalam perkara agama akibat dari keinginan meraih
ridho manusia dan simpati mereka, inkonsistensi dalam praktek prakteknya, serta kesamar-samaran
dalam tujuan. Sedangkan para kader-kader yang masih berpegang teguh pada sunnah, terkadang
terpaksa harus memendam kekecewaan karena terikat dengan loyalitas pada jamaah akibat fatwa-fatwa
yang berdalil fiqh waqi’ yang seringkali berbenturan dengan pemahaman salafus shaleh.

Perluasan jamaah akibat kebutuhan dalam pesta demokrasi, menyebabkan rekrutmen yang amat lemah
dari sisi seleksinya. Seringkali ada calon Aleg yang minim pemahaman Islam, dan minim komitmen
penegakkan syariah, apalagi Pemerintahan Islam, dan terjebak pada persepsi publik yang amat takut
dengan kata syariat atau Daulah Islam.

Di sisi lain, porsi yang amat besar dari politik, meminimkan porsi tarbiyah yang seharusnya selalu
mendapat porsi terbesar. Dengan minimnya tarbiyah, maka pemahaman masyarakat sulit berubah
menjadi lebih baik, sehingga seringkali Jamaah IM/kadernya lebih suka mengikuti publik agar bisa
diterima publik daripada mentarbiyah mereka. Jadi, hakikatnya masyarakat mendakwahkan persepsi
mereka kepada Jamaah IM, bukan IM yang mendakwahkan ilmu kepada masyarakat.
Demikianlah sebagian alasan yang mendasari keputusan kami. Kami mengakui, bahwa alasan tersebut
bisa jadi tidak dapat diterima bagi sebagian orang karena perbedaan persepsi maupun penyimpulan
dalil. Akan tetapi disini kami tidak bermaksud mendebat pemahaman ikhwah, namun hanya
memaparkan apa yang kami yakini sehingga ikhwah bisa memahami keputusan kami.

Selain hal di atas, kiranya kami perlu memaparkan beberapa syubhat dan tanggapan kami terhadapnya.
Tidak semua syubhat perlu kami sampaikan dan kami jawab, sebab bukan itu maksud dari risalah ini.

Contoh Syubhat-Syubhat Demokrasi

1. Syubhat: Demokrasi harus didukung, karena justru dengan adanya demokrasi dan
kebebasan berpendapat, maka dakwah Islam bisa leluasa berkembang. Umat Islam dan
gerakan Islam terbukti mengambil manfaat dari demokrasi.

Jawaban: Ini adalah syubhat paling sering yang kami dengar. Kami jawab dari beberapa
sisi:
- Menurut kami, justru Demokrasi dan keikutsertaan Dakwah dalam demokrasi
menjadi kontraproduktif dengan penegakkan syariat Islam, apalagi Daulah
Islam. Sebab, masyarakat sudah teracuni dengan pemikiran bahwa Demokrasi
seolah-olah tidak bertentangan dengan Islam, dan para Dai pun mereka lihat
senang dengan Demokrasi, sehingga mereka merasa “Tidak Butuh” syariat
Islam, apalagi Daulah Islam/khilafah. Karena dengan demokrasi saja mereka
merasa bisa selamat dunia akhirat. Keikutsertaan ikhwah dalam demokrasi,
menjadi pembenar demokrasi itu sendiri, dan menjadi justifikasi masyarakat
bahwa para ulama sudah sepakat dengan demokrasi, jadi tidak perlu syariat
islam. Sehingga tidak heran, makin lama, masyarakat justru semakin phobia
dengan syariat Islam, dan justru memaksa ikhwah untuk makin takut berbicara
syariat Islam secara lantang, karena takut tidak simpatik.
- Sesuatu yang haram, tidak menjadi halal hanya karena memiliki manfaat. Jika
Demokrasi menjadikan Umat Islam terlindungi, bebas berpendapat (walaupun
faktanya tidak sepenuhnya demikian) maka tidak lantas menjadi pembenaran
untuk demokrasi itu sendiri.
Contoh paling nyata adalah, Kisah dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
dan dakwah beliau terlindungi karena paman beliau Abu Thalib masih musryik.
Walaupun Abu Thalib mendatangkan manfaat bagi dakwah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, namun tidak lantas kemusryikan Abu Thalib menjadi
dibenarkan. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pasti akan lebih
menyukai keislaman Abu Thalib walaupun akan beresiko Abu Thalib juga akan
dimusuhi kafir Quraisy.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya tidak masuk surga kecuali jiwa muslim dan sesungguhnya Allah akan
menguatkan dien ini dengan laki-laki fajir." (muttafaq ‘alaih).

Hadits tersebut menceritakan tentang seseorang yang sangat pemberani dalam


berperang. Para sahabat mengaguminya. Tapi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam mempersaksikan bahwa ia sebagai penghuni neraka (karena ternyata ia
orang fajir).

2. Syubhat : Sebagian pengikut demokrasi memaksakan dalil Alquran untuk menunjukkan


kesamaan antara Demokrasi dengan Syura’, yaitu dengan firman Allah Ta’ala:
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan cara musyawarah antara mereka," (QS.
Asy-Syuraa: 38)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala kepada Nabi-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu," (QS. Ali Imran: 159)

Jawaban: Ini merupakan bentuk pemaksaan dalil. Syura adalah bagian dari syariat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan Demokrasi adalah keberpalingan terhadap syariat-Nya.
Tidaklah suatu negara mengambil Demokrasi kecuali memang untuk berpaling dari
syariat Allah Azza wa Jalla.
Syura dilakukan untuk setiap hal yang tidak ada Nash di dalamnya, adapun yang sudah
ada nashnya, maka tidak ada lagi syura, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain)
bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-
Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al
Ahzab:36).
Sedangkan demokrasi justru dibuat untuk membatalkan syariat Allah, dan
mengakomodir segala keinginan dan segala bentuk manusia, baik kafir, fajir, fasiq,
munafik, zindiq, dll. Keberadaan para Dai di majelis demokrasi mengakibatkan
kompromi yang membahayakan akidah mereka, mereka terikat dengan apapun hasil
keputusan majelis majelis demokrasi tersebut. Bahkan dalam setiap keputusan, mereka
harus mengacu pada aturan perundangundangan yang mereka buat sebelumnya,
demikian seterusnya yang menjadi lingkaran kesesatan tanpa disadari.

3. Syubhat: Demokrasi dapat memenangkan Islam sebagaimana Erdogan menang di Turki.


Jawaban: Ini merupakan penyimpulan yang amat dangkal, bahkan amat mungkin
dikatakan sebagai kedustaan. Sebab, kemenangan Erdogan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan kemenangan Islam. Apakah Daulah Islam tegak di Turki? Apakah
hukum Allah tegak di Turki?. Bahkan kemenangan Erdogan harus dibayar mahal, dengan
cara meraih simpati rakyatnya dengan mengikuti paham paham sekulerisme, dimana
Erdogan menjadikan Kemal Attaturk pahlawan serta mengagung-agungkannya, serta
memuji konsep-konsepnya.
Di Indonesia juga demikian, apakah perjuangan menegakkan Agama Allah harus
dibumbui dengan takluk pada Undang-Undang buatan manusia dna menjadikannya
lebih sakral dibanding Alquran dan Sunnah.
Perhatikanlah sumpah jabatan anggota legislatif:

“Demi Allah saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya
sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;…….

Perhatikanlah bagaimana anggota legislatif bersumpah atas nama Allah untuk tunduk
pada Pancasila dan UUD 45. Itu adalah kalimat yang tidak samar, yang merupakan
kebathilan bagi para kaum Mukminin yang berusaha keras agar tidak terfitnah
agamanya. Allahul Musta’an.

Demikianlah risalah singkat ini kami tulis, kami sama sekali tidak bermaksud memaksakan kehendak
atau berdebat, namun ini hanyalah penjelasan yang mendasari keputusan kami untuk keluar dari
jamaah IM. Adapun segala kebenaran datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan segala kekeliruan
datangnya dari kami sendiri yang lemah, semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjuki kita Taufik dan
menganugerahkan kepada kita keselamatan dunia dan akhirat.

Billahi taufiq

Ari Abu Abdirrahman

Anda mungkin juga menyukai