Anda di halaman 1dari 7

Analisis Pasien Self-Diagnosis Berdasarkan Internet pada

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Muhammad Faris Akbar
Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
muhammadfaris@student.uns.ac.id

Abstract. Diagnosis is the determination of the type of disease based on the symptoms that
arise. The diagnosis of the disease can be determined after the doctor performs a history and
physical examination of the patient. As technology develops, people can easily access health
information on internet. They can find out various characteristics of the disease after reading
internet articles. They received the information immediately without thinking about it first. So
it made the diagnosis that they made wrong. Doctors need to educate patients about this self-
diagnosis. Doctors need to convince patients that to prove the diagnosis of the disease, patient
must be done several things such as history taking and vital sign examination. It can prevent
errors or malpractice. Doctors also need to advise patient to read credible articles.

Keywords: self-diagnosis, internet, advice, health

1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Perkembangan teknologi telah mengubah kehidupan manusia. Kerja dari manusia mulai
tergantikan oleh mesin. Seperti kurir surat yang mulai tergantikan karena adanya teknologi bernama
email. Teknologi informasi dan komunikasi menjadi teknologi yang paling pesat dalam segi
perkembangannya. Perkembangan teknologi informasi ternyata memiliki dampak terhadap dunia
kesehatan. Perkembangan teknologi informasi semakin mempermudah khalayak dalam mencari
informasi mengenai kesehatan. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai laman yang
menawarkan pelayanan kesehatan (Ryan & Wilson, 2008). Di Indonesia sendiri terdapat beberapa
website. Contohnya adalah alodokter.com dan halodoc.com Pasien juga dapat mengakses berbagai
informasi penyakit yang ada karena banyaknya blog atau laman yang mengulas penyakit tersebut.
Manusia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Pasien yang mengalami sejumlah keluhan
dapat langsung menanyakan keluhannya atau membaca informasi yang berkaitan dengan
keluhannya di internet (Ryan & Wilson, 2008). Terlihat bahwa pasien bisa mendiagnosis dirinya
sendiri setelah melihat informasi tersebut (Tang & Ng, 2006). Mendiagnosis diri sendiri adalah
memutuskan kita memiliki penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki atau setelah membaca
informasi yang berkaitan dengan keluhan tersebut. Orang yang terbiasa mendiagnosis diri sendiri
secara berlebihan disebut cyberchondria (White & Horvitz, 2009). Namun seringkali informasi yang
tersedia di laman tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis atau tidak evidence
based medicine (EBM).
Sering kali ketika mendapatkan sebuah informasi, seseorang langsung menggeneralisasi yang
ia ketahui dengan fakta sekitar. Tanpa informasi yang lebih spesifik dari dokter, pasien tak paham
bagaimana menilai gejala mereka. Akibatnya, mereka justru menjadi semakin cemas, ngotot, bahkan
obsesif pada diagnosis yang mereka putuskan sendiri. Padahal informasi yang tersebar di luar sana,
ada yang bersifat mentah dan butuh proses pemahaman lebih lanjut untuk dapat diaplikasikan.
Banyak pasien yang lebih untuk mempercayai informasi yang ada di internet. Alasannya adalah
mereka takut pada apa yang dikatakan dokter mengenai keluhannya. Mereka takut jika ternyata
keluhannya merupakan gejala dari suatu penyakit yang buruk. Alasan lainnya adalah kurangnya
kepercayaan pasien terhadap dokter yang akan menanganinya atau yang telah menanganinya pada
kasus yang berbeda (Kim & Kim, 2009).
Pada dasarnya jika pasien tidak puas dengan pendapat dari dokter, pasien bisa
mencari second opinion (Okamoto, Kawahara, Okawa, & Tanaka, 2015). Second opinion atau
mencari pendapat kedua yang berbeda adalah hak seorang pasien dalam memperoleh jasa pelayanan
kesehatan. Hak yang dipunyai pasien ini adalah hak mendapatkan pendapat kedua (second opinion)
dari dokter lainnya. Situasi lain di mana pasien bisa mempertimbangkan second opinion antara lain
adalah sebagai berikut.

 Pengobatan yang ditawarkan sangat berisiko, misalnya operasi kraniotomi (pembedahan


tengkorak kepala) bagi penderita stroke.
 Pengobatan yang ditawarkan masih sangat baru dan bersifat eksperimental.
 Diagnosis penyakit langka.
 Penyakit yang didiagnosis membutuhkan perawatan dan pengobatan jangka panjang,
misalnya epilepsi atau tuberkulosis paru.

b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana edukasi dokter mengenai diagnosis yang didapatkan dari internet?
2. Apakah hasil diagnosis yang didapatkan saat pemeriksaan pasien secara fisik sama
dengan diagnosis yang didapatkan dari internet?
3. Bagaimana edukasi dokter untuk meyakinkan pasien setelah pemeriksaan?

c. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah pembaca mengetahui bagaimana edukasi yang harus
dilakukan terhadap pasien yang mendiagnosis dirinya sendiri setelah membaca informasi
kesehatan yang ada di internet.

2. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang ditujukan untuk menganalisis suatu fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap,
kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok (Bachri, 2010).
Dilakukan pula wawancara pada dokter dan pasien. Wawancara pada penelitian kualitatif merupakan
pembicaraan yang mempunyai tujuan (Rachmawati, 2007).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data wawancara, dokter Weni menjelaskan mengenai keberadaan informasi


kesehatan yang ada di internet. Keberadaan informasi kesehatan tersebut dapat menguntungkan
maupun merugikan. Untung rugi tersebut didasari pada kemampuan pasien. Apakah pasien tersebut
menelan mentah informasi tersebut atau menyaring informasi yang ada untuk dikonsultasikan dengan
tenaga kesehatan profesional. Dokter Weni juga menjelaskan mengenai pentingnya memberikan
pemahaman kepada mengenai diagnosis yang dibuatnya sendiri. Jangan sampai diagnosis diri sendiri
yang tak berdasar tersebut membuat pasien stres. Pemahaman mengenai pemilihan artikel kesehatan
juga harus diberikan. Artikel yang dibaca juga harus diteliti apakah dapat dipertanggungjawabkan
kebenerannya atau tidak.
Berdasarkan data wawancara dengan pasien Wahyu Prasetyo, Wahyu menjelaskan bahwa
keberadaaan informasi kesehatan di internet membantu dirinya. Informasi tersebut membantu dirinya
mengetahui cara pencegahan dan penyembuhan penyakit. Setelah dilakukan pemeriksaan, Mas
Wahyu memahami bahwa dirinya terkena diare. Mas Wahyu dapat menerimanya karena penjelasan
dokter yang bisa dipahami oleh dirinya.

Komunikasi antara dokter dan pasien merupakan hal yang sangat penting. Pasien datang ke
dokter menyampaikan keluhannya. Pasien datang dengan harapan bahwa penyakit yang diderita
terkait keluhannya akan sembuh. Penyampaian informasi dari pasien kepada dokter harus dilakukan
dengan jujur. Apabila pasien kurang jujur mengenai penyampaian informasi atau tidak menyampaikan
fakta yang ada terkait keluhannya, diagnosis penyakit pada pasien bisa salah.

Pasien yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan mencari informasi mengenai
kemungkinan penyakit yang dimilikinya di internet. Lalu pasien datang ke dokter dengan membawa
diagnosis tersebut. Seorang dokter tidak perlu menganggap bahwa pasien tersebut ‘menggurui
dirinya’. Dokter harus bijaksana dalam menghadapi kasus seperti ini . Dokter harus tulus dalam
memberikan pelayanan terhadap pasien tersebut. Seperti yang terkandung dalam pasal 14 KODEKI
(Kode Etik Kedokteran Indonesia, “Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien...”.

Dokter perlu meyakinkan pasien bahwa diagnosis yang didapatkan dari internet tersebut
belum tentu benar. Dokter perlu menghadapi pasien tersebut dengan tenang. Jangan sampai sikap
pasien yang mendiagnosis dirinya sendiri berdasarkan informasi di internet membuat dokter
menunjukkan sikap yang tidak menghormati pasien tersebut (Santosa, Purwadianto, Sidipratomo,
Pratama, & Prawiroharjo, 2018). Dokter perlu mengedukasinya secara perlahan-lahan. Dokter harus
menjelaskan kepada pasien bahwa sebelum didapatkan diagnosis dokter perlu melakukan anamnesis
dan melakukan pemeriksaan penunjang terkait. Anamnesis adalah proses pengumpulan informasi dari
pasien melalui wawancara.

Berdasarkan manual book skills lab Fakultas Kedokteran UNS, anamnesis yang baik harus
mengacu pada pertanyaan yang sistematis, yaitu dengan berpedoman pada comprehensive health
history yang didetailkan menggunakan empat pokok pikiran (The Fundamental Four) dan tujuh
atribut anamnesis (Seven attributes). Yang dimaksud dengan empat pokok pikiran, adalah melakukan
anamnesis dengan cara mencari data:

1. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Riwayat penyakit sekarang meliputi lokasi keluhan,onset / awitan dan kronologis, kuantitas
keluhan, kualitas keluhan, faktor-faktor yang memperberat keluhan, faktor-faktor yang
meringankan keluhan, dan analisis sistem yang menyertai keluhan utama.

2. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

3. Riwayat Kesehatan Keluarga

4. Riwayat Sosial dan Ekonomi

Apabila pasien tetap bersikukuh dengan diagnosis dirinya sendiri setelah dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, dokter dapat menyarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan
penunjang di fasilitas kesehatan tingkat lanjut seperti rumah sakit. Seperti yang tertulis pada pasal 14
Kode Etik Kedokteran Indonesia, “... Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.”
Selain meyakinkan pasien mengenai diagnosisnya, dokter juga perlu mengajak berdiskusi
pasien. Pasien perlu diajak berdiskusi mengenai sumber bacaannya tersebut. Sebagai orang awam,
pasien tersebut akan menelan mentah informasi tersebut.Seperti misalnya, munculnya benjolan. Bisa
saja informasi yang muncul di internet mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kanker. Pasien
tanpa pertimbangannya akan menganggap bahwa benjolan tersebut merupakan kanker.
Dokter melalui ilmu yang dimilikinya bisa meluruskan hal-hal yang tidak benar dalam
informasi tersebut. Dokter meluruskan informasi mengenai penyakit berdasarkan ilmu yang
didapatkannya selama masa pendidikan berbeda dengan orang awam yang tidak mendapatkan
mengenai hal tersebut. Bisa saja informasi tersebut dibuat oleh suatu kelompok tertentu untuk
menciptakan kebingungan di masyarakat. Di era sekarang banyak sekali berita kebohongan atau hoax
yang muncul di masyarakat. Masyarakat perlu diarahkan untuk membaca informasi kesehatan di
laman-laman yang kredibel atau dapat dipertanggungjwabkan kebenarannya. Oleh karena itu, peran
dokter dalam meluruskan kesalahan informasi terutama penyakit sangat penting.
Setelah memberikan diagnosis, seorang dokter akan memberitahu mengenai terapi apa atau
pemberian obat apa yang dilakukan untuk menyembuhkan penyakitnya. Pasien dewasa yang sehat
secara mental memiliki hak untuk memberi ijin atau tidak memberi ijin terhadap terapi. Hal ini
sesuai dengan prinsip autonomy. Pasien diberikan kebebasan untuk mengambil keputusannya sendiri
(Afandi, 2017). Pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk
mengambil keputusannya. Pasien bisa menanyakan pada dokter mengenai kelebihan dan kelemahan
terapi tersebut. Pasien harus paham dengan jelas apa tujuan dari suatu tes atau pengobatan, hasil apa
yang akan diperoleh, dan apa dampaknya jika menunda keputusan.
Pendekatan dokter terhadap pasien dengan tepat akan membuat pasien tersadar. Pasien akan
meninggalkan diagnosis yang diberikan oleh internet dan memilih mengikuti saran yang diberikan
dokter. Berdasarkan data yang didapatkan melalui wawancara, Mas Wahyu awalnya mengira bahwa
dia hanya terkena flu. Namun setelah menjalani pemeriksaaan, diagnosis yang diberikan adalah diare.
Diare yang dialami oleh Mas Wahyu tersebut membuat dirinya kehilangan banyak cairan sehingga
mengalami dehidrasi. Dehidrasi inilah yang menyebabkan dirinya flu berdasarkan apa yang dikatakan
dokter. Penjelasan logis yang diberikan oleh dokter membuat pasien yakin mengenai kesembuhannya.
Apabila pasien belum puas terhadap informasi yang diberikan oleh dokter tersebut, pasien
dapat meminta second opinion pada dokter lain (Okamoto et al., 2015). Meminta second opinion
merupakan hak dari pasien. Seperti yang tercantum dalam Undang Undang no. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, Pasal 32 poin h : “Setiap pasien memiliki hak: meminta konsultasi tentang
penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam
maupun di luar Rumah Sakit.”

4. SIMPULAN

Setelah dilakukan pendekatan analisis wawancara dapat disimpulkan bahwa pasien yang telah
mendiagnosis dirinya sendiri perlu diedukasi dengan cara berdiskusi satu sama lain agar yakin
terhadap diagnosis yang diberikan kepadanya. Masyarakat tidak boleh menelan mentah informasi
kesehatan terutama penyakit yang berkaitan dengan keluhannya. Masyarakat perlu mengetahui bahwa
laman penyedia informasi tersebut apakah kredibel atau tidak. Untuk bisa mendapatkan diagnosis
dengan benar, seseorang perlu mendatangi dokter. Lalu dilakukan anamnesis terkait keluhan dan
pemeriksaan fisik dasar. Apabila dokter tersebut tidak mampu menangani penyakit tersebut, bisa
dilakukan proses rujuk ke fasilitas tingkat lebih tinggi.
5. SARAN

Masyarakat sebaiknya menyaring informasi kesehatan yang didapatkan dari internet.


Informasi yang didapat jangan digeneralisasikan. Informasi yang didapat sebaiknya ditanyakan atau
dikonsultasikan kepada tenaga kesehatan profesional. Untuk pemerintah sebaiknya memberikan
sosialisasi mengenai informasi hoax di internet terutama yang berkaitan dengan kesehatan.
Pemerintah juga dapat memblokir laman kesehatan yang tak berizin dan tak dapat
dipertanggungjawabkan informasinya.

6. DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Afandi, D. (2017). Kaidah dasar bioetika dalam pengambilan keputusan klinis yang etis. Majalah
Kedokteran Andalas, 40(2), 111. https://doi.org/10.22338/mka.v40.i2.p111-121.2017
Kim, J., & Kim, S. (2009). Physicians’ perception of the effects of Internet health information on the
doctor-patient relationship. Informatics for Health and Social Care, 34(3), 136–148.
https://doi.org/10.1080/17538150903102422
Okamoto, S., Kawahara, K., Okawa, A., & Tanaka, Y. (2015). Values and risks of second opinion in
Japan’s universal health-care system. Health Expectations, 18(5), 826–838.
https://doi.org/10.1111/hex.12055
Rachmawati, I. N. (2007). Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif: Wawancara. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 11(1), 35–40.
Ryan, A., & Wilson, S. (2008). Internet healthcare: do self-diagnosis sites do more harm than good?
Expert Opinion on Drug Safety, 7(3), 227–229. https://doi.org/10.1517/14740338.7.3.227
Santosa, F., Purwadianto, A., Sidipratomo, P., Pratama, P., & Prawiroharjo, P. (2018). Sikap Etis
Dokter terhadap Pasien yang “Mendiagnosis” Diri Sendiri Menggunakan Informasi Internet
pada Era Cyber Medicine. Jurnal Etika Kedokteran Indonesia, 2(2), 53.
https://doi.org/10.26880/jeki.v2i2.16
Tang, H., & Ng, J. H. K. (2006). Googling for a diagnosis - Use of Google as a diagnostic aid:
Internet based study. British Medical Journal, 333(7579), 1143–1145.
https://doi.org/10.1136/bmj.39003.640567.AE
White, R. W., & Horvitz, E. (2009). Cyberchondria: Studies of the Escalation of Medical Concerns in
Web Search. ACM Transactions on Information Systems.
https://doi.org/10.1145/1629096.1629101

7. LAMPIRAN
Transkrip Wawancara dengan Dokter

Nama dokter : dr. Weni Herlina

Alamat : Jalan Pramuka, Kebumen

Q : Perkenalkan saya Muhammad Faris Akbar, mahasiswa kedokteran FK UNS 2018, saya akan
menanyakan beberapa hal pada dokter. Pertanyaan pertama. Bagaimana pendapat dokter mengenai
informasi kesehatan di internet? Contoh seperti informasi di website alodokter.

A : Sebenernya tergantung jenis pasiennya ya, kalau pasiennya nelen mentah ya repot karena mereka
kan tau seperti benjolan, dia ngomong , nyari benjolan di internet, lalu keluar di internet kan tek tek
tek kan keluar macem macem, to. Nah itu kan pasien nelen mentah dadine mereka dalam bayangan
begitu sampai di depan dokter ya. Ah saya sakite gini gini gitu loh, nah bisa membantu bisa enggak
tergantung pasiennya .

Q : Tergantung pasiennya ya?

A : Sama tergantung informasinya , karena gak semua di website gak bisa dipercaya, jadi kamu harus
pintar memilih mana sing bisa, masalahe gak semua sama.

Q : Apakah informasi tersebut membantu kerja dokter atau membebani?

A : Gak juga membebani ya sing penting asal bias nerangkan ke pasiennya ya , nek nggo doktere sih
ora ya, lebih kea rah pasiennya ya, mungkin untuk diagnose jarak jauh mungkin bakal
dikembangkan ya, pasien ga ketemu dokter yah. Cuma yaiku gabisa ya tetep ya, tapi yagatau si,
karena itunya belum rapih.

Q : Bagaimana edukasi dokter terhadap pasien yang telah mendiagnosis dirinya sendiri?

A : Ya harus dibenerin kalo memang salah, dan tapi itu susah ya. Karena itu udah masuk ke mindset
mereka lho. Mmereka kalo udah ngejudge dirinya sendiri kita mbalikinnya sing rada susah. Mereka
datang udah dengan diagnosa. ‘Dok, saya tu kena kanker getah bening.’ Waduh lha gejalane opo
disik iki? Dadi tetep harus edukasi terhadap pasien sing penting.

Q : Apabila ada perbedaan tindakan dokter bagaimana?

A : Ya kita harus yakinkan diagnosa yang dia buat sendiri berdasarkan internet itu salah . Harus
diyakinkan. Nek salah nek gak iku kebawa. Nek gak ya pasiennya stress hahahaha. Kamu sebagai
mahasiswa kedokteran harus bener mbacane. Saya aja mesti harus lihat itu website nya darimana,
seperti ortopedi, jangan yang langsung nama orang gitu. Kalo saya patokannya mayoclinic. Nah itu
ada literature nya. Kamu sebagai mahasiswa harus bisa memilih untuk pelajaran buat kamu. Kalo
gak bakal menjerumuskan ke arah yang salah.

Transkrip Wawancara dengan Pasien


Nama pasien : Wahyu Prasetyo

Alamat : Selang, Kebumen

Q : Perkenalkan saya Muhammad Faris Akbar, mahasiswa kedokteran FK UNS 2018, sebelumnya
saya berbicara dengan mas siapa?

A : Wahyu Prasetyo

Q : Alamat nya dimana mas?

A : Selang kebumen

Q : Saya akan menanyakan beberapa hal mengenai pengobatan yang anda dapatkan dari dokter.
Bagaimana informasi kesehatan yang anda dapatkan melalui internet?

A : Kalau informasi yang saya dapatkan itu lumayan banyak. Apalagi saya sering flu. Jadi saya
berinisiatif mencari apa itu flu di internet. Terus penyebabnya dan cara penyembuhannya.

Q : Apakah informasi tersebut membantu Mas Wahyu?

A : Ya sangat membantu. Karena kita jadi tau ciri ciri flu tersebut. Lalu penyebab dan
penyembuhannya. Dan juga… apah… banyak metode yang dilakukan agar cepat sembuh.

Q : Lalu pertanyaan ketiga. Udah ya mas? Apakah edukasi yg dilakukan dokter bisa Mas Wahyu
pahami?

A : Ya bisa saya pahami. Dokter memberikan saran-saran solusi-solusi, memberi obat-obatan dan
masih banyak lagi dan cara penyembuhan.

Q : Apakah diagnosis dokter sama dengan diagnosis Anda kira?

A : Saya dulu mengiranya sama. Tapi setelah periksa ke dokter itu berbeda. Karena penyakit saya
lebih dominan ke diare bukan flu nya. Dan kata dokter sy kehilang banyak cairan sehingga suhu
badan naik.

Q : Lalu apakah anda akan melakukan dokter yg anda sarankan?

A : Ya saya akan melakukannya. Karena kalau tidak melakukannya saya akan lebih sakit dan kalau
kita melakukan kita akan cepat sembuh dan beraktvitas seperti biasa.

Anda mungkin juga menyukai