Makalah Kel 2 - Qawaidhul Fiqhiyyah
Makalah Kel 2 - Qawaidhul Fiqhiyyah
Disusun Oleh
Ayu Hayati
NIM. 1602130073
Muhammad Rizal
NIM. 16021300
Nurkhalis Majid
NIM. 16021300
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menciptakan manusia sebagai khalifah
di muka bumi ini dan menjadikannya sebagai makhluk sosial dan menugaskannya
untuk menegakkan hukum yang adil, agar manusia dapat hidup dengan baik dan
damai. Berkat pertolongan Allah SWT., akhirnya penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Kaidah Prinsip dan Kaidah-Kaidah Asasiyyah”. Tujuan
dalam pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
mata kuliah Qawa’id al-Fiqhiyah.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuannya baik secara moral maupun material sehingga makalah ini
dapat diselesaikan. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis terutama pembacanya pada umumnya. Penulis juga menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.
Apabila dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekeliruan dan kesalahan,
maka kami sebagai penulis mohon maaf. Segala sesuatu yang benar itu datangnya
dari Allah, dan yang salah berasal dari kami sendiri sebagai penulis. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVE
R.....................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan................................................................................................2
D. Metode Penulisan...............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................3
A. Kaidah Prinsip....................................................................................................3
B. Lima Kaidah Asasiyyah......................................................................................5
C. Kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi Maqashidiha......................................10
BAB III PENUTUP..................................................................................................15
A. Kesimpulan.......................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Memperlihatkan latar belakang di atas, agar pembahasan makalah ini
terarah, penulis perlu mengidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah prinsip?
1
2
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah menjawab dari rumusan
masalah yang tertera di atas, lebih rincinya antara lain.
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian beserta penjelasan
mengenaikaidah prinsip.
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang lima kaidah asasiyyah.
3. Untuk mengetahui dan memahami penjelasan mengenai kaidah asasiyyah
tentang al-Umuru bi Maqashidiha?
D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah berdasarkan metode telaah
perpustakaan sebagai bahan referensi dan pencarian data lewat internet, kemudian
penulis mengelola kembali menjadi satu kesatuan materi yang valid sehingga
menghasilkan komponen pembahasan yang lebih sederhana untuk dipelajari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaidah Prinsip
ِ َﺪﺮﺀُ ﺍﻟْﻣ َﻔ
ﺎﺴﺪ ِ جلب ﺍﻟﻣ
َ ْ َ ﺻﺎﻟ ِﺢ ﻭ
ََ
“Mendapat kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”.
ﺎﺴ ِﺪ
ِ َﺪﺮﺀُ ﺍﻟْﻣ َﻔ ِ ﺍِﻋﺗِﺒاﺮ ﺍﻟﻣ
َ ْ َ ﺻﺎﻟ ِﺢ ﻭ
َ َ َُ ْ
1
Abdul Helim, Kaidah Prinsip dan Kaidah Asasiyyah, http://ushulfikih.blog-spot.com/2012/05/
kaidah-prinsip-dan-kaidah-asasiyyah.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2018, pada pukul 09.00
WIB.
2
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, h. 74.
4
ﺻﺎﻟِ ِﺢ
َ ﺍﻟﻣ
َ ﺐ ُ َْﺠﻟ
ِِ
َ ﺍﻟﻣ َﻔﺎﺴﺪ ﻭ
َ َﺪ ْﺮ ُؤ
“Menolak kemafsadatan dan mendapatkan maslahat”.3
Jika suatu perbuatan ditinjau dari satu segi terlarang karena mengandung
kemaslahatan, maka segi larangnya harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena
perintah meninggalkan larangan lebih kuat daripada perintah menjalankan
kebaikan sesuai dengan sabda Nabi SAW “Apabila aku memerintahkan
kepadamu suatu perintah, kerjakanlah semampumu dan apabila aku melarang
kamu sesuatu perbuatan tinggalkanlah”.4
Demikianlah disyaratkan adanya kesanggupan dalam menjalankan
perintah, sedang dalam meninggalkan larangan tidak disyaratkan demikian, ini
menunjukkan bahwa tuntutan meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat
daripada tuntutan menjalankan perintah.5
Kaidah ini merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fikih
adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia
mendapat mashlahat. Kaidah asasi atau yang dikenal dengan al-Qawa’id al-
Kubra atau al-Qawa’id al-khamsah merupakan penyederhanaan (penjelasan yang
lebih detail) dari kaidah inti tersebut. Adapun kaidah asasi ini adalah kaidah fikih
yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum Islam.
3
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002, h. 104.
4
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah,, h. 75.
5
Ibid.
5
ﺍﻞ ﺒِﺎﻠﺸﱠﻙ ﱢ
8 ِ
ُ ُﻴَﺰ َﺍﻠﻴَﻘ ُﻦ ﻻ
“Keyakinan tidak hilang karena keraguan.”
10
ﺍﻞ ﺰﻴ ﺍﺮ
ُ َُ ُ َ ﱠﺮ
ﻀ ﺍﻟ
“Kesulitan harus dihilangkan”
ٌﺎﺪﺓُ ُﻣ َﺣ ﱠﻛ َﻣﺔ
11
َ ﺍﻟﻌ
َ
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.”
6
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, h. 113.
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Ibid., h. 114.
10
Ibid.
11
Ibid.
6
Kaidah di atas merupakan pendapat ulama Hanafiyah yang diwakili oleh al-
Syaikh Zain al-‘Abidin Ibn Ibrahim Ibn Nujaim. Berbeda dengan itu, Jalal al-Din
‘Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al Suyuthi (1987) dalam kitab al-Asybah wa al-
Nazha’ir mengatakan bahwa kaidah asasi ada lima, dimana seperti di atas yang
membedakannya hanyalah menurut al-Suyuthi tanpa kaidah ب اِال ب& & ِ&ا لنية
َ ال ثَ& &&وا,
karena menurutnya kaidah ini merupakan cabang dari kaidah al-umuru
bimaqasidiha.12
َ ﻮﺮ ﺒِمقاصد
ِﻫﺎ ُ ﺍﻷ ُُﻣ
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum yang menjadi konsekuensi
atas setiap perkara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari
perkara tersebut.14
Berdasarkan kesepakatan para ulama’, niat itu adalah kehendak dan tekad
yang terdapat dalam hati. Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut:
a. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
b. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
c. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta
membedakan yang wajib dari yang sunnah.15
Setiap kaidah memiliki pengecualian. Adapun pengecualian dhabith niat
adalah:
12
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2007, h. 39.
13
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh..., h. 115.
14
Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, Yogyakarta: Teras, 2011, h. 29.
15
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh..., h. 123.
7
16
Ibid., h. 126-127.
17
Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, , h. 71.
8
ﺍﻞ
ُ ﺍﻟﻀَﱠﺮ ُﺍﺮ ُﻴَﺰ
“Kesulitan harus dihilangkan”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa: Pertama, bahaya itu harusdihilangkan
yang didasarkan pada hadis nabi “رارKK”الضراوالض. Kedua, bahwa keadaan
dharurat dapat memperbolehkan hal yang dilarang. Ketiga, kebolehan( dalam
melakukan hal yang dilarang) itu sekedarnya saja. Keempat, bahaya tidak
boleh dihilangkan dengan bahaya serupa. Kelima, bahaya khusus ditanggungu
ntuk mencegah bahaya umum.
Berdasarkan kaidah ini contoh Yang kami ambil adalah apabila sesorang
dokter laki-laki untuk membuka/melihat aurat seorang pasien perempuan
sekedar demi pengobatan, yang apabila tidak diobati akan dapat menambah
kemudhratan atau sakit yang lebih parah lagi.19
18
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah.., h. 110
19
Ibid., h.119.
9
ٌﺎﺪﺓُ ُﻣ َﺣ ﱠﻛ َﻣﺔ
َ ﺍﻟﻌ
َ
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan
hukum”.
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa
Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan
al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus
dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu
manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau
perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya
karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak
kemanusiaannya.
Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah
“Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah
al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang
fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi kebiasaan manusia dan
tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak
membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah
menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang
haram atau membatalkan yang wajib.20
Banyak sekali penetapan hukum berdasarkan adat atau urf’ ini, diantaranya
dalam hal ibadah seperti masalah masa minimal, masa kebiasaan dan masa
maksimal haid, nifas serta suci. Dalam kategori muamalat ada masalah
mengambil buah-buahan yang jatuh dari pohonnya, masalah barang-barang yang
menjadi objek jual beli, dll.
20
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah..., h. 153.
10
1. ٌﻣ ْﻦ َﻋ َﻣﻟِِﻪ
ِ ﻨِﻴﱠﺔ ُ ﺍﻟﻣ ْﺆ ِﻣ ِﻦ ﺧ
َ ﺮْﻴ ُ
“Niat seseorang mukmin lebih baik daripada amalnya”21
Sehubungan dengan kaidah niat ini adalah dhabith yang ruang lingkup lebih
kecil dari kaidah tersebut di atas dan biasanya disebut dhabith antara lain:
“pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan
ungkapannnya.”22
Contohnya adalah apabila seseorang berkata, “saya hibahkan barang ini
untuk selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah”, meski pun katanya adalah
hibah, tpi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah(pemberian),
tapi akad jual beli dengan segala akibatnya.
21
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih...., h. 38.
22
Ibid, h. 39.
23
Ibid.
24
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, h. 44.
11
Kaidah ini pun menjelaskan bahwa tujuan niat itu untuk membedakan
tingkatan atau kualitas kebaikan yang dilakukan seseorang, juga untuk
menentukan sah tidaknya ibadah tertentu.25
Berdasarkan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh,
yaitu sebagai berikut, seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia
mengajari orang lain yang tidak mengerti tentang bagaimana mengoperasikan
komputer, dalam hal ini ia mengajari orang tersebut dengan niat karena Allah dan
berniat untuk membagi ilmunya kepada orang lain. Maka dengan niatnya tersebut
ia mendapatkan pahala. Sedangkan yang kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya
karena ingin mendapat imbalan saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah
orang yang diajarinya itu sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya memikirkan
imbalan yang akan ia peroleh dari hasil mengajari orang tersebut saja. Maka dalam
hal ini ia tidak berniat karena Allah dan karena itulah ia tidak mendapatkan pahala.
25
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh..., h. 123.
26
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih...., h. 40.
27
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh..., h. 124-125.
12
Contoh untuk kaidah ini adalah apabila dalam hati niat wudhu, sedang yang
diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudhunya tetap sah.
4. ُﺎﺪﺓِ ِﻔﻲ ُﻜ ﱠﻞ ُﺠﺯْﺀٍ ِﺇﻨ َﱠﻣﺎ ﺗَﻟْﺯَﻡُ ِﻔﻲ ُﺠ ْﻣﻟٍَﺔ َﻣﺎ َﻴ ْﻔ َﻌﻟُﻪ
َ ِﻻَ ﻴَﻟْﺯَﻡُ ﻨِﻴَﺔُﺍﻟﻌ
“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam
keseluruhan yang dikerjakan.”28
Berdasarkan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh,
yaitu sebagai berikut, ketika kita berniat untuk melakukan shalat, maka niat
cukup satu kali, dan tidak perlu mengucapkan niat pada tiap kali gerakan shalat.
28
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih....
29
Ibid.
30
Abdul Helim, Kaidah Prinsip..., diakses pada tanggal 10 Oktober 2018, pada pukul 09.00 WIB.
13
oleh kaidah di atas. jadi, prinsipnya setiap dua kewajiban ibadah atau lebih,
masing-masingnya harus dilakukan dengan niat tersendiri.31
31
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih..., h. 40.
32
Ibid., h. 41.
33
Ibid.
34
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, h. 47.
14
35
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih..., h. 41.
36
Abdul Helim, Kaidah Prinsip dan Kaidah...., diakses pada tanggal 10 Oktober 2018, pada
pukul 09.00 WIB.
37
Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah..., h. 37.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan materi di atas, dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Kaidah prinsip
َ ﻮﺮ ﺒِمقاصد
ِﻫﺎ ُ ﺍﻷ ُُﻣ
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
b. Kaidah Asasi yang Kedua
ﺍﻞ
ُ ﺍﻟﻀَﱠﺮ ُﺍﺮ ُﻴَﺰ
16
ٌﺎﺪﺓُ ُﻣ َﺣ ﱠﻛ َﻣﺔ
َ ﺍﻟﻌ
َ
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan
menerapkan hukum”.
3. Kaidah asasiyyah di atas memiliki sub-sub kaidah yang berjumlah 8 (delapan)
kaidah. Sub-sub kaidah tersebut adalah :
1. ٌﻣ ْﻦ َﻋ َﻣﻟِِﻪ
ِ ﻨِﻴﱠﺔ ُ ﺍﻟﻣ ْﺆ ِﻣ ِﻦ ﺧ
َ ﺮْﻴ ُ
“Niat seseorang mukmin lebih baik daripada amalnya”
4. ُﺎﺪﺓِ ِﻔﻲ ُﻜ ﱠﻞ ُﺠﺯْﺀٍ ِﺇﻨ َﱠﻣﺎ ﺗَﻟْﺯَﻡُ ِﻔﻲ ُﺠ ْﻣﻟٍَﺔ َﻣﺎ َﻴ ْﻔ َﻌﻟُﻪ
َ ِﻻَ ﻴَﻟْﺯَﻡُ ﻨِﻴَﺔُﺍﻟﻌ
“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam
keseluruhan yang dikerjakan.”
B. Internet
Abdul Helim, Kaidah Prinsip dan Kaidah Asasiyyah, http://ushulfikih.blog
spot.com/2012/05/kaidah-prinsip-dan-kaidah-asasiyyah.html, diakses
pada tanggal 10 Oktober 2018.