Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

QAWAIDUL KHAMSAH
(Kaedah Asasiyah)
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Studi Fiqih

Dosen Pengampu :
Drs. H. Syamsul Arifin, M.Ag

Disusun Oleh :
Kelompok 11
Muhammad Fiqri Ali (210101110006)
Ahmad Suzaki Rifa’i (210101110016)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Qawaidul
Khamsah (Kaedah Asasiyah)” tepat sesuai waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. H. Syamsul Arifin, M.Ag selaku
dosen pembimbing mata kuliah Studi Fiqih yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan kami.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya serta mendukung dan membantu penyusunan makalah, sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
para pembaca.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kami menyadari bahwa banyak
kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan dan penulisan. Demi kesempurnaan makalah ini,
kami sangat berharap adanya perbaikan, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca,
sebagai bagian dari revisi makalah ini..

Malang, 20 November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................2
B. Rumusan Masalah.............................................................................................3
C. Tujuan Masalah.................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................5
A. Ijtihat dan Fatwa................................................................................................6
B. Klasifikasi Ije....................................................................................................7
C. Iudvtr8...............................................................................................................8
BAB III PENUTUP......................................................................................................9
A. Kesimpulan........................................................................................................0
B. Saran..................................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................2

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Khazanah keislaman sangat kental dengan kekayaan pengetahuan, salah satunya
ialah fan fiqh yang selalu memposisikan dengan segala masa sesuai dengan tuntutan
dan nilai – nilai relevansinya. Fiqih yang sifatnya fleksibel berbeda dengan syariat
yang sifatnya absolut menjadikan fiqh terus berkembang dengan ulama ulama yang
memfokuskan pada ilmu tersebut. Yang mana dalam perumusanya seorang ahli fiqh
pasti membutuhkan pola atau dalam matematikanya suatu rumus guna mengetahui
gambaran atas fiqh dengan segala persoalanya seperti akan illat. Dimana dalam fiqh
disebut qawaidul fiqh, qawaid terbagi menjadi dua yang pertama ialah sifatnya yang
utama. Sedangkan kedua ialah cabang dari keseluruhan induk tersebut. Banyak
pendapat ulama akan jumlah bilangan berapa kaidah utama tersebut yang dinamai
dengan qawaidul asasiyah. Ada yang berpendapat enam atau lainya. Namun,
kebanyakan ahli fiqh terutama ahli madzab syafii memfokuskan kepada lima kaidah
utama yang menjadi acuan dari kaidah cabangnya.1

Perlu diketahui bagi kita guna memberi pengetahuan bagaimana suatu hukum
tercipta dengan mempertimbangkan akan dasar dasar qawaidul khamsah ini.
Bagaimana lima kaidah ini menjadi suatu landasan bagi penggali hukum guna
menciptakan produk hukum sesuai dengan dalil nash yang muttafaq. Bagaimana
suatu kaidah cabang harus berkaitan dengan kaidah utama tersebut. Maka perlu
dijelaskan guna memberi gambaran akan hukum fiqh yang telah kita jalankan sehari
hari bagaimana hukum tersebut muncul dan diberlakukan sampai saat ini.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan maka dapat di tulis rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengertian Qawaidul Khamsah?
2. Apa saja Qawaidul Khamsah?
3. Apa fungsi Qawaidul Khamsah?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui bagaimana pengertian Qawaidul Khamsah.

1
Asy-Syafi’i dan Ahmad Muhammad, Ushul Fiqh Al-Islami (Iskandariyah Muassah Tsaqofah Al-
Jam’iyah, 1983).

ii
i
2. Untuk mengetahui apa saja Qawaidul Khamsah.
3. Untuk mengetahui bagaimana fungsi qawaidul khamsah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qawaidul Khamsah
Kaidah asasi tersebut pada mulanya disebut dengan Kaidah Ushul, yaitu kaidah
pokok segala sesuatu kaidah fikih yang ada. Setiap masalah Furu'iyah bisa
diselesaikan dengan kalimat kaidah, meskipun mujtahid belum memiliki kesempatan
untuk memperhatikan dasar dasar hukum secara terperinci (Tafshili).
Kaidah asasi itu diambil dari Al-Quran dan sumber-sumber hukum As-Sunnah
dan dalil Istinbath. Oleh karena itu, setiap aturan didasarkan pada nash-nash pokok
yang dapat dinilai sebagai standar hukum fikih, sehingga keturunan teks-teks ini dari
populasi nash-nash Ahkam dapat direpresentasikan.
memperhatikan dasar hukum secara detail Kaidah-kaidah yang dibentuk para
ulama’ pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima
kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang.
Sebagian ulama’ menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al qawa’id
al-khams (kaidah-kaidah yang lima).2
B. Kaidah-Kaidah Qawaidul Khamsah
Kita ketahui bahwa, ulama – ulama madzab fiqh dalam istinbath suatu hukum
pasti membutuhkan suatu pola, skema ataupun rumus guna keberhasilan akan
pengalian hukum. Yang mana disebut kaidah kaidah fiqih yang dicanangkan oleh
ulama guna mempermudah mereka. Seperti penjelasan tadi bahwa kaidah fiqih ada
yang berbentuk asasi maupun furu’iyah. Sebab itu disini jelaskan apa saja kaidah
fiqih asasiyah tersebut. Dimana sebagai pondasi dari kaidah kaidah cabang yang
lainya. Tingkat keabsahan diakui semua ulama fiqih. Sebab itu akan dijelaskan apa
saja kaidah asasiyah yang lima tersebut :
1. Segala perkara tergantung niatnya
Kaidah ini adalah kaidah pertama dimana menjadi perkara penting
dalam setiap tindakan. Ulama Syafi'iyah memandang bahwa perkara yang tak
disertai niat maka percuma saja. Niat menjadi tolak ukur dalam setiap
pelaksanaan, dimana agar mengetahui bagaimana kualitas seseorang dalam

2
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah; Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2008), 201.

iv
melaksanakan perihalnya. Apakah diniatkan untuk beribadah kepada Allah
SWT, atau kepada lainya.3 Banyak penjelasan dari nash agama tentang
pentingnya suatu niat. Seperti ayat Al Quran berikut :
Artinya: Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat,
Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu”. (QS. Al-Imran: 145).
Artinya: Niat orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya (yang
kosong dari niat). (HR. Thabrani dari Shalan Ibnu Said).
Dari penggalan itu mengindikasikan kedudukan niat dalam bertindak
sangatlah urgent. Niat dalam artian adalah sesuatu yang bersamaan dengan
pekerjaannya tersebut.4 Dengan niat kualitas pekerjaan akan terukur dan
denganya apa yang dikerjakan akan barokah sesuai kadar keihlasan dan
kelurusan niat.
2. Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan
Kaidah asasiyah yang kedua ialah keyakinan tidak bisa dihilangkan
oleh keraguan. Dimana maksud dari yakin ialah kemantapan hati akan
melakukan sesuatu sesuai kehendaknya, yakin berarti tidak ada beban atas apa
yang dilakukan. Dimana berlainan dengan as syakk (keraguan ). Keraguan
adalah sesuatu yang pasti terjadi pada tiap individu manusia. Namun, tidak bisa
dibenarkan bila adanya kemantapan hati bagi seseorang dalam pelaksanaan.
Dijelaskan bahwa keraguan tersebut ada tiga, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu
Hamid al-Asfirayniy, yaitu:
a. Keragu-raguan yang berasal dari haram.
b. Keragu-raguan yang berasal dari mubah.
c. Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.
Dari ketiga diatas maka dapat dipetik pengertian secara jelas sekali
bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya
oleh keraguan.5 Sebagai penjelasan lebih lanjut ‫ل‬HH‫راءة األص‬HH‫( الذمة ب‬hukum asal
sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-
yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan. Ada penggalan hadist akan

3
Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 98.
4
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam Imam menyelesaikan masalah
yang praktis (Jakarta: Kencana, 2007).
5
Sudirman Suparmin, “Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Al-Khassah Fil Al-Ibadah Wa Tatbiqatihah,”
Jurnal Al-Irsyad III (2013).

v
kaidah fiqh ini yaitu :
Nabi Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda : Apabila salah
seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan
menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan
membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR.
Muslim).

3. Kesulitan mendatangkan kemudahan


Kaidah berikutnya adalah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir ( kesulitan
mendatangkan kemudahan). Yang memberi pengertian bahwasanya dengan
adanya kesulitan pasti akan timbul suatu kemudahan. Dimana subjek hukum
yaitu orang mukallaf ( terbebani syariat ) diberi keringanan atau kemudahan oleh
syarat dalam rutinits peribadatan. Dimana tidak ada keterpaksaan ataupun
kesukaran dalam pelaksanaan. Ada sebab-sebab tertentu yang bisa mendatangkan
keringanan atau kemudahan tatkala menghadapi kesukaran. Berikut sebab-sebab
keringanan di dalam syariat :

a. Bepergian (safar) yang tidak melanggar syariah, makanya boleh qashar


shalat, membatalkan puasa, dan lain-lain.

b. Keadaan sakit (maradh), makanya boleh bertayamum ketika dirasa ketika


menggunakan air.

c. Lupa (nisyan), contohnya lupa akan bilangan rakaat dalam sholat maupun
takbirnya dalam sholat id.

d. Keadaan terpaksa (ikrah).

e. Ketidaktahuan (jahl), memang benar ada suatu perkataan tiada hukum bagi
yang tidak tahu. Namun bila tidak ada upaya maka itu disebut kesengajaan
untuk melakukanya lagi.

Lalu, imam Jalaluddin al-Suyuthi menjelaskan bahwa masyaqqah


(kesukaran) dibagi dua :

vi
a. Masyaqqah yang lazimnya tidak menggugurkan sahnya ibadah, seperti
dinginnya air dalam masalah wudlu dan mandi, cuaca ekstrem dan durasi
waktu siang yang lama dalam masalah puasa, dan lain-lain.6

b. Masyaqqah yang lazimnya dapat menggugurkan sahnya ibadah. Masyaqqah


ini terdiri dari 3 tingkatan, yakni:

 Kesukaran level sangat berat (‫قة‬HHH‫ة المش‬HHH‫ العظیم‬,(seperti kondisi yang


membahayakan nyawa, anggota tubuh dan fungsinya.

 Kesukaran level ringan (‫قة‬HH‫ة المش‬HH‫ الخفیف‬,(seperti luka pada jari, pusing
kepala, dan lain-lain.

 Kesukaran level sedang (‫قة‬HH‫طة المش‬HH‫) المتوس‬,yakni kondisi di antara level


berat dan ringan.

Terdapat dalil akan kaidah ini seperti dijelaskan di surat – surat Al Quran
seperti : Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Intinya Allah bersama hamba yang bersabar,
relanya hamba menjalani kesulitan sehingga dipermudahkan dia olehnya.”

4. Kesulitan harus dihilangkan


Perumusan kaidah ini berdasarkan nash Al-Quran dan Sunnah yaitu :
Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudaratan karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan
tidak boleh membahayakan orang. Ada beberapa kaidah turunan yang masuk
dalam kaidah ini, di antaranya:

a. ‫ المحظورات تبیح الضرورات‬Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang,


seperti boleh makan bangkai saat kelaparan, saat tersedak melancarkan
dengan arak, artinya adanya suatu keadaan yang terpaksa.

b. ‫اأبیح‬HH‫رورة م‬HH‫ بقدرھا یقدر للض‬Apa yang dibolehkan karena alasan darurat harus
diperkirakan berdasarkan kadar kedaruratannya. Maksud dari adanya kaidah
ini adalah hal - hal yang sebetulnya haram lalu bisa diperbolehkan atas
6
Abdullah bin Said al-Lahji, Idhah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Kuwait: Dar al-Dhiya’, 2006.

vi
i
alasan darurat perlu diperkirakan sesuai dengan tingkat kedaruratannya, tidak
boleh berlebihan. Misalnya, saat kelaparan tidak makanan selain bangkai,
maka hanya boleh makan sekedarnya saja sesuai kadar kebutuhanya.7

c. ‫ بالضرر الیزال الضرر‬keadaan bahaya tidak boleh dihilangkan dengan keadaan


bahaya pula, seperti orang yang sangat kelaparan tidak boleh merampas
makanan orang lain yang juga sama-sama laparnya, atau orang tidak boleh
mengobati penyakitnya dengan barang-barang beracun yang dapat
membahayakan nyawanya.

5. Adat bisa dijadikan hukum


Kaidah ini dirumuskan berdasarkan sabda Rasulullah: Apa saja yang
dipandang kaum muslimin merupakan kebaikan maka ia di sisi Allah juga
merupakan kebaikan. Di antara masalah hukum yang berkaitan dengan kaidah
yakni tentang usia haid, usia baligh, durasi haidh, nifas maupun sucinya
perempuan, minimal najis yang dimaafkan, lama dan pendeknya waktu di dalam
berturut-turutnya membasuh wajah ketika wudlu, dan lain-lainnya.
Dalam pembahasan relasi adat dan syariat, tidak jarang terjadi
kontradiksi (ta’arudh) antara keduanya. Ada dua jenis di dalam pembahasan
apabila ada pertentangan antara adat dengan syara'.
a. Apabila syara' tidak berhubungan dengan hukum, maka yang didahulukan
adalah adat keseharian. Contohnya, apabila ada orang yang bersumpah tidak
akan makan daging, maka ketika dia memakan ikan, dia tidak terbilang orang
yang melanggar sumpah, meskipun Allah di dalam al-Qur'an menyebut ikan
tergolong daging. Namun, secara adat ikan tidak termasuk kategori daging,
sebab daging identik dengan hewan seperti ayam, sapi, kerbau, unta,
kambing, dan kawan-kawan. Dalam kasus ini, bahasa keseharian didahulukan
daripada nash yang tidak berimplikasi pada pembebanan hukum.8

b. Apabila syara' berhubungan dengan hukum, maka yang didahulukan adalah


syara' daripada adat keseharian. Contohnya, jika ada orang yang bersumpah
tidak akan menikah, maka ia disebut melanggar sumpah ketika melakukan
7
Abdullah bin Said al-Lahji, Idhah al-Qawaid al-Fiqhiyyah li Madrasah al-Shaulatiyah (Kairo:
al-Matba’ah al-Madany, 1967).
8
Ibrahim Muhammad Mahmud al-Kharizi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kulliyyah (Amman;
Dar’imar, 1998).

vi
ii
akad, bukan ketika ia melakukan hubungan badan.

Rumusan lima kaidah utama di atas tentu saja bukanlah hal yang mutlak.
Redaksi dan substansi kaidah tersebut hari ini memang dikatakan masih relevan,
namun bisa saja pada situasi dan kondisi tertentu di kemudian hari ini terjadi
perubahan-perubahan yang berdampak pula pada perumusan kaidah-kaidah fikih.
Itu disebabkan karna fiqh bersifat fleksibel, dimana bila adanya suatu produk
hukum. Dan kemudian masa mendatang ada suatu illat atau sebab masalah baru.
Maka produk hukum tersebut bisa berubah, sesuai ketentuan zaman dan
penerapanya.

C. Fungsi Qawaidul Khamsah


Qawaidul khamsah memang muncul belakangan setelah fikih dan ushul fiqh.
Meski begitu, posisi kaidah fikih pada era sekarang mempunyai fungsi yang strategis
di dalam pembahasan hukum Islam. Tentu saja, ada manfaat tersendiri di banding
pihak yang tidak memakai kaidah sebagai bagian dari alat bantu istinbath al-hukmi
(penggalian hukum). Di antara manfaat mempelajari al-qawaid al-fiqhiyyah yakni
untuk menjadi alat bantu bagi mujtahid, hakim, imam, dan mufti. Akan tetapi secara
khusus dalam perumusan hukum Islam, berfungsi untuk :

1. Kaidah fikih terdapat posisi yang bagus di dalam dasar-dasar syariat, karena di
situ terhimpun cabang-cabang yang hukumnya bisa dikecualikan. Selain itu,
masalah-masalah terkadang bisa bertentangan, namun di bawah satu tautan dapat
memudahkan untuk kembali pada kaidah dan membuatnya supaya lebih
terjangkau.

2. Memudahkan ulama selain ahli bidang fikih untuk membaca fikih Islam dan
sejauh mana ketentuan ketentuan dan kepatuhan terhadap hak dan kewajiban.
Fadlolan Musyaffa’ dalam bukunya Islam Agama Mudah memberikan penjelasan
terkait dengan fungsi dari kaidah fiqih sebagai berikut:

a) Menginventarisir masalah-masalah yang ada untuk dicarikan legitimasi


hukumnya.

b) Menyatukan hukum-hukum atas beragam persoalan yang mempunyai

ix
kesamaan illat.

c) Kaidah fiqih mampu memberikan informasi yang akurat di dalam


mengelaborasi hukum syar’i secara luas. Berbeda dengan kaidah ushul yang
hanya berorientasi kepada penggalian makna dan substansi nash. Dalam
konteks penetapan hukum, kaidah fikih berperan penting sebagai ‘pisau
analisis’ mengingat permasalahan hukum di era kontemporer semakin
berkembang dan kompleks. Tentu saja, kaidah fikih tidak sendirian,
dibutuhkan juga perangkat ilmu lain untuk menghasilkan hukum yang
komprehensif.

Lebih jauh, apabila hendak memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam fikih,


maka harus ditelusuri dahulu hukum-hukum fikihnya, baru diukur akurasi kaidah
tersebut dengan ayat dan hadis. Selanjutnya, didiskusikan dan diuji oleh para
ulama yang punya kapasitas ilmu, barulah muncul kaidah yang mapan. Kaidah
yang sudah dinilai mapan ini bisa menjadi metode di dalam menjawab problem-
problem di masyarakat dan memunculkan fikif-fikih baru. Oleh karena itu,
seseorang tidak dengan mudah mengeluarkan kaidah-kaidah fikih, apalagi
melangkah jauh seperti berfatwa melalui ijtihad tentang suatu hukum tanpa
menggunakan sederet perangkat ilmu yang tidak sedikit.9

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna
dan imasih banyak terdapat kesalahan. Oleh karena itu kami memohon maaf kepada
semua pihak serta mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca yang budiman. Saran dan kritik dari pembaca akan mempengaruhi kualitas
penyusunan makalah di masa depan.

9
Ibrahim Muhammad Mahmud al Kharizi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kulliyyyah (Amman:
Dar’imar, 1998).

x
DAFTAR PUSTAKA

xi

Anda mungkin juga menyukai