Tingkat Kehadiran Apoteker Di Apotek Dan Konsekuensi Forensik Farmasi PDF
Tingkat Kehadiran Apoteker Di Apotek Dan Konsekuensi Forensik Farmasi PDF
OLEH :
RAI GUNAWAN 0708505029
I PUTU SUARDITA PUTRA 0708505033
I MADE DWI MULYA PURBANDIKA 0708505035
MADE CHANDRA WRASMITHA DEWI 0708505068
NI MADE WIRYATINI 0808505003
KHATIJA TAHER ALI 0808505014
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Swamedikasi
Swamedikasi (pengobatan sendiri) berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri
dengan obat-obat yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa
nasehat dokter (Tjay dan Rahardja, 1993). Kehadiran pasien di apotek didasarkan atas
keperluan untuk mendapatkan obat dan untuk berkonsultasi tentang penyakit dan kaitannya
dengan pengobatan. Dari masalah-masalah tersebut maka terdapat dua tindakan yang
dilakukan, yaitu tindakan secara nonfarmakologis (tanpa obat-obatan) dan tindakan
farmakologis (dengan obat-obatan). Dalam swamedikasi dibutuhkan penggunaan obat yang
tepat atau rasional. Penggunaan obat yang rasional adalah bahwa pasien menerima obat yang
tepat dengan keadaan kliniknya, dalam dosis yang sesuai dengan keadaan individunya, pada
waktu yang tepat dan dengan harga terjangkau. Untuk tujuan swamedikasi tersebut kehadiran
apoteker di apotek sangat penting, yaitu untuk menghindari terjadinya medication error yang
mungkin terjadi akibat kesalahan penggunaan obat dan demi menjamin bahwa pasien
mendapatkan informasi tentang obat dan pengobatan yang diperoleh.
Tidak semua obat-obatan bisa diserahkan oleh apoteker langsung kepada pasien tanpa
resep dokter. Obat-obatan yang beredar di Indonesia digolongkan ke dalam beberapa
kelompok sebagai berikut (Widjajanti, 1999):
1) Kelompok obat bebas
Obat-obat dalam golongan ini dapat diperjualbelikan bebas, tanpa resep dokter dan
dapat dibeli di apotek atau toko obat. Tanda khususnya berupa warna hijau di dalam
lingkaran warna hitam.
2) Kelompok obat bebas terbatas
Obat ini disebut juga obat daftar W (W = Waarschuing = peringatan). Golongan ini
dapat diperjualbelikan secara bebas dengan jumlah terbatas dan disertai tanda peringatan.
Tanda peringatan ditulis dengan huruf putih di atas kertas berwarna hitam, yang terdiri
dari enam macam yaitu:
a) Peringatan No.1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan memakainya.
b) Peringatan No.2: Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan.
c) Peringatan No.3: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar badan.
d) Peringatan No.4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar (untuk rokok asma).
e) Peringatan No.5: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
f) Peringatan No.6: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan.
Sesuai dengan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 kedudukan dari Peraturan Pemerintah lebih
tinggi daripada Peraturan mentri. Dengan kata lain, peraturan mengenai penyerahan obat
keras di apotek harus mengikuti peraturan sesuai dengan yang terdapat pada PP No.51 tahun
2009.
4.1 Boleh atau Tidaknya Membeli Obat Keras Tanpa Resep Dokter
Boleh/Tidaknya Membeli Obat Keras
Lokasi Jumlah Sampel Tanpa Resep Dokter
Boleh Tidak Boleh
Denpasar Utara 20 20 -
Denpasar Timur 16 16 -
Denpasar Selatan 22 22 -
Denpasar Barat 23 23 -
Kuta Utara 18 18 -
Kuta Selatan 12 11 2
Keterangan :
Obat keras yang ditanyakan adalah amoksisillin, levopar, halmezin, hufafural, dexametason,
cendocitrol, captopril, dan diazepam
4.3 Pembahasan
Sudah menjadi kenyataan umum pelayanan obat di apotek bagaikan membeli obat di
pasar. Hal ini terbukti dengan mudahnya membeli obat keras (misalnya antibiotik) tanpa
resep dokter. Hasil survey dari apotek-apotek di wilayah Denpasar Utara, Denpasar Selatan,
Denpasar Timur, Denpasar Barat, Kuta Selatan, dan Kuta Utara menunjukkan rata-rata lebih
dari 97% apotek membolehkan pembelian obat keras tanpa resep dokter.
Diagram 1. Boleh atau Tidaknya Pembelian Obat Keras tanpa Resep Dokter
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa persentase apotek yang memberikan ijin
penjualan obat keras tanpa resep dokter sangat tinggi. Adapun jenis obat keras yang
digunakan sebagai sampel dalam survey ini adalah antibiotik amoksisillin, levopar, halmezin,
hufafural, dexametason, cendocitrol, captopril, dan bahkan terdapat apotek yang menjual
obat keras sebagai obat over the counter (OTC). Diazepam merupakan obat golongan
narkotika dan psikotropika yang penjualaannya diawasi secara ketat oleh BPOM dan hanya
dapat diberikan bila terdapat resep dokter. Hasil survey yang dilakukan di 2 apotek yang
terdapat di Kuta Selatan menunjukkan bahwa apotek tersebut tidak menjual diazepam tanpa
resep dokter.
Hasil dari survey yang dilakukan sangat bertentangan dengan peraturan yang telah
berlaku, yaitu PP No. 51 Tahun 2009 yang sangat menentang penjualan obat keras tanpa
resep dokter. Apoteker telah diberi kewenangan untuk melakukan pengobatan sendiri kepada
orang yang datang ke apotek. Untuk memantapkan dan menegaskan pelayanan swamedikasi,
pemerintah juga menetapkan jenis obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dengan
membuat beberapa SK, diantaranya SK Menteri No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang
obat wajib apotek. Obat-obat yang terdaftar pada lampiran SK tersebut digolongkan menjadi
obat wajib apotek No. 1 yang selanjutnya disebut OWA No. 1. Karena perkembangan bidang
farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan obat maka dipandang perlu untuk ditetapkan
daftar OWA No.2 sebagai revisi dari daftar OWA sebelumnya. Daftar OWA No. 2 ini
kemudian dilampirkan pada keputusan menteri kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993.
Dari peraturan di atas dengan jelas diterangkan bahwa seorang apoteker hanya bisa
menyerahkan obat keras tanpa resep dokter atau swamedikasi obat keras apabila obat yang
diserahkan merupakan obat keras yang termasuk dalam OWA. Dari 8 jenis obat yang
ditanyakan dalam melakukan survey, yang termasuk OWA berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor : 924/MENKES/PER/1993 hanya dexametason dan cendocitrol dengan
zat aktif berupa dexametason. Obat lainnya merupakan obat keras yang dilarang
penjualannya tanpa menggunakan resep dokter.
Dalam Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949), yaitu pada
pasal 3 ayat 2 dinyatakan bahwa penyerahan dari bahan-bahan G yang menyimpang dari
resep dokter, dokter gigi, dan dokter hewan dilarang. Pasal 3 ayat 4 menjelaskan bahwa
Sec.V.St. dapat menetapkan bahwa sesuatu peraturan sebagaimana dimaksudkan pada ayat 2,
jika berhubungan dengan penyerahan obat - obatan G tertentu yang ditunjukan olehnya harus
ikut ditandatangani oleh seorang petugas khusus yang ditunjuk. Jika tanda tangan petugas ini
tidak terdapat maka penyerahan obat-obatan G itu dilarang. Dalam pasal 12 Undang-Undang
tersebut dinyatakan bahwa pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenai hukuman penjara
setinggi-tingginya 6 bulan atau denda uang.
PP no. 51 tahun 2009 sudah dengan tegas menyatakan bahwa permintaan terhadap obat
keras harus disertai dengan resep dokter dan diserahkan oleh seorang apoteker. Dengan
adanya PP No. 51 tahun 2009 maka dengan sendirinya permenkes yang mengatur tentang
adanya Obat Wajib Apotek menjadi tidak berlaku. Ditinjau dari kedudukan hukumnya sesuai
dengan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 kedudukan dari Peraturan Pemerintah lebih tinggi
daripada Peraturan mentri. Dengan kata lain, dengan adanya PP No. 51 tahun 2009 maka
dengan sendirinya permenkes yang mengatur tentang adanya Obat Wajib Apotek menjadi
tidak berlaku. Kurangnya sosialisasi tentang sistem perundang-undangan yang berlaku saat
ini, menyebabkan kedua peraturan ini saling tumpang tindih.
Orientasi dari suatu apotek yang masih mengarah pada money oriented menyebabkan
obat yang seharusnya dilarang penjualannya tanpa resep dokter masih dapat dengan bebas
dibeli di apotek tanpa resep dokter. Pencapaian omset suatu apotek merupakan hal yang
utama yang dituntut oleh para pemegang saham. Lemahnya fungsi kontrol dan instrumen
hukum yang kurang juga menyebabkan penjualan obat keras dengan cara bebas terus
berlangsung di apotek. Pembelian obat keras ini seharusnya diawasi oleh seorang apoteker.
Namun, berdasarkan hasil survey, tingkat kehadiran apoteker di apotek pada saat pembelian
obat keras sangat minim, ditunjukkan oleh diagram di bawah ini :
Diagram 2. Persentase Kehadiran Apoteker pada Saat Pembelian Obat Keras
5.1 Tingkat kehadiran apoteker di apotek masih sangat rendah. Dari total 111 apotek di
wilayah Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Barat, Kuta Utara,
dan Kuta Selatan, hanya 24 apotek (26,64%) yang terdapat tenaga ahli apoteker pada saat
dilakukannya survey.
5.2 Pembelian obat keras di apotek masih sangat bebas dan tidak sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Ini dilihat dari hasil survey yang menyatakan 100 % apotek masih memberikan
pembelian obat keras tanpa disertai resep dokter dan tanpa diberikan oleh seorang apoteker.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2008. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, (cited 2011 Jan, 20)
Available from : http://apotekkita.com/2008/07/23/standar-pelayanan-kefarmasian-dl-
apotek/
Anonim. 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan.
Anonim. 2009. Kehadiran Apoteker di Apotek Masih Diperlukan, (cited 2011 Jan, 20)
Available from : http://www.informasi-obat.com/ index.php?option=
com_content&task=view&id=343&Itemid=52
Tjay, T.H. dan K. Rahardja.2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo