b. Siklus Eritropoesis
1.Rubiblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritroblast, merupakan sel termuda dalam sel eritrosit. Sel ini
berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron.
Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel
berinti.
2.Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Ukuran lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya
dalam keadaan normal 1-4 % dari seluruh sel berinti.
3.Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti sel ini mengandung kromatin yang
kasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah
tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung
warna biru karena asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena hemoglobin. Jumlah sel ini dalam
sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.
4.Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel ini kecil padat dengan struktur
kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah
walaupun masih ada sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalah keadaan normal adalah 5-10%.
5.Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan inti sel, masih diperlukan
beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan
sebagian lagi dalam darah tepi. Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit
selama 1-2 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5 – 2,5% retikulosit.
6.Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan ukuran diameter 7-8 mikron dan tebal 1,5- 2,5
mikron. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna
kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan
bila mencapai umurnya oleh limpa.
a) eritropoietin
Penurunan penyaluran 02 ke ginjal merangsang ginjal darah untuk mengeluarkan hormon eritropoietin ke dalam
darah, dan hormon ini kemudian merangsang eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin bekerja pada turunan
sel-sel bakal yang belum berdiferensiasi yang telah berkomitmen untuk menjaadi sel darah merah, yaitu
merangsang proliferasi dan pematangan mereka.
Proses destruksi eritrosit terjadi secara normal setelah masa hidup eritrosit habis (sekitar 120 hari). Proses ini
terjadi melalui mekanisme yang terdiri dari:
1. Fragmentasi
Mekanisme fragmentasi terjadi apabila kehilangan beberapa bagian membrane eritrosit sehingga menyebabkan isi
sel keluar termasuk hemoglobin.
2. Lisis Osmotik
Tekanan osmotik plasma merupakan gambaran terjadinya kecenderungan mendorong air dan Na dari daerah
konsentrasi tinggi di interstisium ke daerah dengan konsentrasi air rendah di plasma (atau konsentrasi protein
plasma lebih tinggi). Sehingga protein plasma dapat dianggap “menarik air” ke dalam plasma. Hal ini dapat
mengakibat lisis eritrosit yang disebabkan efek osmotik.
3. Eritrofagositosis
Mekanisme destruksi eritrosit ini melalui fagositosis yang dilakukan oleh monosit, neutrofil, makrofag. Fagositosis
eritrosit ini terutama terjadi pada eritrosit yang dilapisi antibody. Mekanisme ini meruapakan salah satu indikator
adanya AutoImun Hemolitic Anemia (AIHA).
4. Sitolisis
Sitolisis biasanya dilakukan oleh komplemen (C5, C6, C7, C8, C9). Sitolisis ini meruapakan indikator Peroxysimal
Nocturnal Haemoglobinuria (PNH).
5. Denaturasi Hemoglobin
Hemoglobin yang terdenaturasi akan mengendap menbentuk Heinz bodies. Eritrosit dengan Heinz bodies akan
cepat didestruksi oleh limpa. Heinz bodies melekat pada membran permeabilitas membesar sehingga
mengakibatkan lisis osmotik juga.
d. Struktur Eritrosit
Eritrosit merupakan bagian utama dari sel-sel darah. Setiap milliliter darah mengandung rata-rata sekitar 5 miliar
eritrosit (sel darah merah),yang secara klinis sering dilaporkan dalam hitung sel darah merah sebagai 5 juta per
millimeter kubik (mm3). Eritrosit berbentuk lempeng bikonkaf,yang merupakan sel gepeng berbentuk piringan
yang dibagian tengah dikedua sisinya mencekung,seperti sebuah donat dengan bagian tengah mengepeng bukan
berlubang. dengan diameter 8 µm, tepi luar tebalnya 2 µm dan bagian tengah 1 µm.
1. Sel darah merah berfungsi mengedarkan O2 ke seluruh tubuh. Sel darah merah akan mengikat oksigen dari
paru–paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dan mengikat karbon dioksida dari jaringan tubuh untuk
dikeluarkan melalui paru–paru. Pengikatan oksigen dan karbon dioksida ini dikerjakan oleh hemoglobin yang telah
bersenyawa dengan oksigen yang disebut oksihemoglobin (Hb + oksigen 4 Hb-oksigen) jadi oksigen diangkut dari
seluruh tubuh sebagai oksihemoglobin yang nantinya setelah tiba di jaringan akan dilepaskan: Hb-oksigen Hb +
oksigen, dan seterusnya. Hb tadi akan bersenyawa dengan karbon dioksida dan disebut karbon dioksida
hemoglobin (Hb + karbon dioksida Hb-karbon dioksida) yang mana karbon dioksida tersebut akan dikeluarkan di
paru-paru.
3. Eritrosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika sel darah merah mengalami proses lisis oleh
patogen atau bakteri, maka hemoglobin di dalam sel darah merah akan melepaskan radikal bebas yang akan
menghancurkan dinding dan membran sel patogen, serta membunuhnya.
4. Eritrosit juga melepaskan senyawa S-nitrosothiol saat hemoglobin terdeoksigenasi, yang juga berfungsi untuk
melebarkan pembuluh darah dan melancarkan arus darah supaya darah menuju ke daerah tubuh yang kekurangan
oksigen.
Gambaran Mikroskopik retikulosit
Retikulosit adalah eritrosit muda yang sitoplasmanya masih mengandung sejumlah besar sisa-sisa ribosome dan
RNA yang berasal dari sisa inti dari bentuk penuh pendahulunya. Ribosome mempunyai kemampuan untuk
bereaksi dengan pewarna tertentu seperti brilliant cresyl blue atau new methylene blue untuk membentuk
endapan granula atau filamen yang berwarna biru. Reaksi ini hanya terjadi pada pewarnaan terhadap sel yang
masih hidup dan tidak difiksasi. Oleh karena itu disebut pewarnaan supravital. Retikulosit paling muda (imatur)
adalah yang mengandung ribosome terbanyak, sebaliknya retikulosit tertua hanya mempunyai beberapa titik
ribosome.
Pada pewarnaan Wright retikulosit tampak sebagai eritrosit yang berukuran lebih besar dan berwarna lebih biru
daripada eritrosit. Retikulum terlihat sebagai bintik-bintik abnormal. Polikromatofilia yang menunjukkan warna
kebiru-biruan dan bintik-bintik basofil pada eritrosit, sebenarnya disebabkan oleh bahan ribosome tersebut.
Eritrosit yang matang tidak dapat menyintesis protein. Retikulosit yang aktif mensintesis protein. Ketika masuk ke
dalam peredaran darah, retikulosit akan kehilangan organel intraselnya (ribosom, mitokondria, dsbnya) dalam
waktu sekitar 24 jam, kemudian berubah menjadi eritrosit muda sehingga kehilangan kemampuan untuk
membentuk protein.
Fungsi Hemoglobin
Hemoglobin pada eritrosit vertebrata berperan penting dalam :
1) pengangkutan oksigen dari organ respirasi ke jaringan perifer
2) pengangkutan karbon dioksida dan berbagai proton dari jaringan perifer ke organ
respirasi untuk selanjutnya diekskresikan ke luar
3) menentukan kapasitas penyangga darah.
(Murray, 2003)
Struktur Hemoglobin
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu molekul organik
dengan satu atom besi. Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein (globulin chain) yang terhubung satu
sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA) terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin chains,
sedangkan pada bayi yang masih dalam kandungan atau yang sudah lahir terdiri dari beberapa rantai beta dan
molekul hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai HbF. Pada manusia
dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4 subunit protein), yang tediri dari masing-masing 2 subuint
alfa dan beta yang terikar secara nonkovalen. Subunit subunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir
sama.
Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang menahan satu atom
besi; atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme Tiap subunit
hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul
oksigen. Pada molekul heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui
darah, zat ini pula yang menjadikan darah kita berwarna merah.
Sintesis heme terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian reaksi biokimia yang bermula dengan kondensasi
glisin dan suksinil koenzim A oleh kerja enzim kunci yang bersifat membatasi kecepatan reaksi yaitu asam
aminolevulinat sintase membentuk asam aminolevulinat/ALA. Dalam reaksi ini glisin mengalami dekarboksilasi.
Piridoksal fosfat adalah koenzim untuk reaksi ini yang dirangsang oleh eritropoietin. Dalam reaksi kedua pada
pembentukan hem yang dikatalisis oleh ALA dehidratase, 2 molekul ALA menyatu membentuk pirol
porfobilinogen. Empat dari cincin-cincin pirol ini berkondensasi membentuk sebuah rantai linear dan mengandung
gugus asetil (A) dan propionil (P). Gugus asetil mengalami dekarboksilasi untuk membentuk gugus metil.
Kemudian dua rantai sisi propionil yang pertama mengalami dekarboksilasi dan teroksidasi ke gugus vinil,
membentuk protoporfirinogen Akhirnya, Jembatan metilen mengalami oksidasi untuk membentuk protoporfirin IX.
Protoporfirin bergabung dengan Fe2+ untuk membentuk heme. Masing- masing molekul heme bergabung dengan
satu rantai globin yang dibuat pada poliribosom, lalu bergabunglah tetramer yang terdiri dari empat rantai globin
dan heme nya membentuk hemoglobin. Pada saat sel darah merah tua dihancurkan, bagian globin dari hemoglobin
akan dipisahkan, dan hemenya diubah menjadi biliverdin. Lalu sebagian besar biliverdin diubah menjadi bilirubin
dan diekskresikan ke dalam empedu. Sedangkan besi dari heme digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin.
Pada langkah terakhir jalur ini, besi (sebagai Fe 2+) digabungkan ke dalam protoporfirin IX dalam reaksi
yang dikatalisis oleh ferokelatase (dikenal sebagai heme sintase).
Besi diserap dalam bentuk fero (Fe2+). Karena bersifat toksik di dalam tubuh, besi bebas biasanya terikat ke
protein. Besi diangkut di dalam darah (sebagai Fe 3+ ) oleh protein, apotransferin. Besi membentuk kompleks
dengan apotransferin menjadi transferin. Besi dioksidasi dari Fe 2+ menjadi Fe 3+ oleh feroksidase yang dikenal
sebagai seruloplasmin (enzim yang mengandung tembaga). Besi dapat diambil dari simpanan feritin, diangkut
dalam darah sebagai transferin dan diserap oleh sel yang memerlukan besi melalui proses endositosis diperantarai
oleh resptor (misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk hemoglobin). Apabila terjadi penyerapan besi
berlebihan dari makanan, kelebihan tersebut disimpan sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang
membentuk kompleks dengan besi tambahan yang tidak mudah dimobilisasi segera.
Reaksi antara O2 dan Hemoglobin
Hemoglobin mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, oksigen menempel pada Fe 2+ dalam heme.
Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat satu molekul oksigen secara reversibel. Atom besi tetap
berada dalam bentuk ferro, sehingga reaksi pengikatan oksigen merupakan suatu reaksi oksigenasi.
Dengan reaksi : Hb + O2 ↔ HbO2
Bila tekanan O2 tinggi, seperti dalam kapiler paru, O 2 berikatan dengan hemoglobin. Sedangkan jika tekanan
oksigen rendah, oksigen akan dilepas dari hemoglobin (deoksihemoglobin).
Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah kurva yang menggambarkan hubungan % saturasi kemampuan
hemoglobin mengangkut O2 dengan PO2 yang memiliki bentuk signoid khas yang disebabkan oleh interkonversi T-R.
Pengikatan O2 oleh gugus heme pertama pada satu molekul Hb akan meningkatkan afinitas gugus heme kedua
terhadap O2, dan oksigenase gugus kedua lebih meningkatkan afinitas gugus ketiga, dan seterusnya sehingga
afinitas Hb terhadap molekul O2 keempat berkali-kali lebih besar dibandingkan reaksi pertama.
Kurva Disosiasi
Sumber : blogs.unpad.ac.id
Kurva Disosiasi
Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen , yaitu kurva yang menggambarkan hubungan persentase saturasi
kemampun hemoglobin mengangkut O2 dengan PO2, memiliki bentuk sigmoid khas yang disebabkan oleh
interkonversi T-R. Pengikatan O2 oleh gugus hem pertama pada satu molekul Hb akan meningkatkan afinitas gugus
hem kedua terhadap O2, dan oksigenasi gugus kedua lebih meningkatkan afinitas gugus ketiga, dan seterusnya
sehingga afinitas Hb terhadap molekul O2 keempat berkali-kali lebih besar dibandingkan reaksi pertama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengikatan antara oksigen dan hemoglobin adalah suhu, pH, dan 2,3
bifosfogliserat. Peningkatan pada suhu dan penurunan pH akan menggeser kurva ke kanan. Jika kurva bergeser
kanan maka akan diperlukan PO2 yang lebih tinggi agar hemoglobin dapat mengikat sejumlah O2. Penurunan suhu
dan peningkatan pH menggeser kurva oksigen ke kiri dimana diperlukan lebih sedikit PO2 untuk mengikat sejumlah
O2. Berkurangnya affinitas terhadap O2 ketika pH darah turun sering disebut sebagai reaksi Bohr.
2,3 bifosfogliserat banyak terdapat pada eritrosit, merupakan suatu rantai anion bermuatan tinggi yang berikatan
pada β-deoksihaemoglobin. Peningkatan 2,3 bifosfogliserat akan menggerser kurva ke kanan yang akan
mengakibatkan banyak O2 yang dilepas ke jaringan. 2,3 bifosfogliserat akan menurun jika pH darah turun akibat
dari terhambatnya proses glikolisis. Hormon tiroid, pertumbuhan dan androgen akan meningkatkan kadar 2,3
bifosfogliserat
Mendaki ke prmukaan yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar 2,3
bifosfogliserat sehingga terjadi peningkatan penyediaan O2 pada jaringan, hal ini terjadi karena meningkatnya pH
darah.
Kadar 2,3 bifosfogliserat akan meningkat pada anemia dan penyakit yang menimbulkan hipoksia kronik.
Keaadaan ini akan memudahkan pengangkutan O2 ke jaringan melalui peningkatan PO2 saat O2 dilepaskan di
kapiler perifer.
Etiologi Anemia
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang (produksi
eritrosit menurun), kehilangan eritrosit dari tubuh (perdarahan), proses peningkatan penghancuran eritrosit dalam
tubuh sebelum waktunya (hemolisis).
(Bakta, 2006)
Patofisiologi Anemia
Eritrosit/hemoglobin menurun
Gejala anemia
Anoksia organ target : menimbulkan gejala tergantung pada organ mana yang terkena.
Mekanisme kompensasi tubuh :
a.Penurunan afinitas Hb terhadap oksigen dengan meningkatkan enzim 2,3 DPG
b.Meningkatkan curah jantung (COP = cardiac output)
c. Redistribusi aliran darah
d.Menurunkan tekanan oksigen vena
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital untuk melihat kondisi umum yang mungkin menjadi penyebab
utama yang mempengaruhi kondisi pasien atau efek anemia terhadap kondisi umum pasien. Pemeriksaan fisik
ditujukan untuk menemukan berbagai kondisi klinis manifestasi kekurangan besi dan sindroma anemic.
Pemeriksaan laboratorium
Jenis Pemeriksaan Nilai
Hemoglobin Kadar Hb biasanya menurun disbanding nilai normal berdasarkan jenis kelamin pasien
Ferritin Ferritin mengikat Fe bebas dan berkamulasi dalam sistem RE sehingga kadar Ferritin secara
tidak langsung menggambarkan konsentrasi kadar Fe. Standar kadar normal ferritin pada
tiap center kesehatan berbeda-beda. Kadar ferritin serum normal tidak menyingkirkan
kemungkinan defisiensi besi namun kadar ferritin >100 mg/L memastikan tidak adanya
anemia defisiensi besi
TIBC Total Iron Binding Capacity biasanya akan meningkat >350 mg/L (normal: 300-360 mg/L )
Pulasan sel sumsum Dapat ditemukan hyperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan normoblas kecil.
tulang Pulasan besi dapat menunjukkan butir hemosiderin (cadangan besi) negatif. Sel-sel
sideroblas yang merupakan sel blas dengan granula ferritin biasanya negatif. Kadar
sideroblas ini adalah Gold standar untuk menentukan anemia defisiensi besi, namun
pemeriksaan kadar ferritin lebih sering digunakan.
Pemeriksaan penyait Berbagai kondisi yang mungkin menyebabkan anemia juga diperiksa, misalnya pemeriksaan
dasar feces untuk menemukan telur cacing tambang, pemeriksaan darah samar, endoskopi, dan
lainnya.
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi enjadi 3 tingkatan, yaitu :
- Deplesi besi adalah penurunan cadangan besi tanpa diikuti penurunan kadar besi serum. Deteksi dari tingkatan
ini adalah dengan menggunakan teknik biopsi atau dengan pengukuran ferritin. Karena absorpsi besi berbanding
terbalik dengan cadangan besi, maka terjadi peningkatan absorpsi besi pada fase ini.
- Eritropoiesis defisiensi besi dikatakan ada ketika cadangan besi habis namun kadar hemoglobin dalam darah
masih dalam batas bawah normal. Dalam fase ini, beberapa abnormalitas dalam pemeriksaan laboratorium dapat
dideteksi, terutama menurunnya saturasi transferrin serta meningkatnya total iron-binding capacity. Meningkatnya
protoporfirin eritrosit bebas dapat dilihat di pertengahan dan akhir dari fase ini. Mean corpuscular volume (MCV)
biasanya masih dalam batas normal walaupun sudah terlihat beberapa mikrosit pada hapusan darah.
- Ketika konsentrasi hemoglobin menurun hingga di bawah batas normal, anemia defisiensi besi terjadi. Pada fase
ini, kadar enzim yang mengandung besi seperti sitokrom juga menurun
Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi
a. Anemia penyakit kronik
Anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolism besi, yaitu
adanya hipoferemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis
hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup.
b. Thalasemia
Penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek
dari sel darah merah normal.
c. Anemia sideroblastik
Anemia dengan sideroblas cincin dalam sumsum tulang.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron replacement therapy) :
a. Terapi besi oral, merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah dan
aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphate (preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi
efektif). Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Preparat lain : ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, ferrous
succinate.
b. Terapi besi parenteral, sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar dan
harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu, seperti:
Intoleransi terhadap pemberian besi oral, kepatuhan terhadap obat rendah, penyerapan besi terganggu, keadaan
dimana kehilangan darah banyak, kebutuhan besi besar dalam waktu pendek, defisiensi besi fungsional relatif.
3. Pengobatan lain
a. Diet, sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama berasal dari protein hewani.
b. Vitamin C, diberikan 3 x 100 mg/hari untuk meningkatkan absorposi besi
c. Transfusi darah, ADB jarang memerlukan transfusi darah. Diberikan hanya pada keadaan anemia yang sangat
berat atau disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respons terapi. Jenis darah yang diberikan adalah PRC untuk
mengurangi bahaya overload.
Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan:
*pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum, dosis besi kurang, masih ada perdarahan cukup berat, ada
penyakit lain seperti peny.kronik, ada defisiensi asam folat. Serta kemungkinan salah mendiagnosis ADB. Jika
dijumpai keadaan tersebut, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepat.