Anda di halaman 1dari 21

Skenario 4

“Bu Asma terserang Asma”

Bu Asma, berusia 40 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan sesak nafas sejak 2
hari yang lalu. Sesak disertai batuk berdahak dan muncul suara ngik-ngik saat udara dingin.
Dari pemeriksaan fisik dan penunjang dokter mendiagnosis Bu Asma terserang penyakit
Asma. Dokter meresepkan obat untuk 10 hari. Dokter kemudian memberikan oksigen pada
pasien dan meresepkan obat :

RS. Sehat Selalu


Jalan abadi selamanya no 2500 Semarang

R/ Azythromisin no.X
1dd1
R/ salbutamol 2 mg no.XX
prn
R/ ambroxol 30 mg no.XV
3 dd ½ tab
R/ dextromethorphan no. XL
4 dd 1
R/ methylprednisolon no XXX
3x1

Pro: Ny. Asma


STEP 1 – Klarifikasi Istilah

1. Asma : dandi, serangan berulang pada saluran nafas


2. Ngik-ngik : yusri , weezing, frek tertinggi pd saat ekspirasi
3. Oksigen ; putri ; sebuah elemen gas tanpa gas, nomor atom 8
4. Azythromicin : (dinda) antibiotik yang menyerang berbagai jaringan tubuh spt sal
nafas

STEP 2 – Identifikasi Masalah


1. Bagaimana mekanisme asma?
2. Mengapa ibu Asma terserang asma?
3. Gejala asma
4. Faktor resiko asma
5. Diagnosis asma
6. Penata laksana asma
7. Cara pencegahan asma
8. Apakah resep sudah sesuai?

STEP 3 – Brainstorming

1.
2.
3.
4.
5. Diagnosis Asma
Asma adalah keadaan inflamasi kronik dengan penyempitan saluran
pernapasan yang reversibel. Tanda karakteristik berupa episode wheezing berulang,
sering disertai batuk yang menunjukkan respons terhadap obat bronkodilator dan anti-
inflamasi. Antibiotik harus diberikan hanya jika terdapat tanda pneumonia.

Diagnosis
a. Episode batuk dan atau wheezing  berulang
b. Hiperinflasi dada
c. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. Ekspirasi memanjang dengan suara wheezing yang dapat didengar
e. Respons baik terhadap bronkodilator.
Bila diagnosis tidak pasti, beri satu dosis bronkodilator kerja-cepat (lihat di
bawah). Anak dengan asma biasanya membaik dengan cepat, terlihat penurunan
frekuensi pernapasan dan tarikan dinding dada dan berkurangnya distres pernapasan.
Pada  serangan berat, anak mungkin memerlukan beberapa dosis inhalasi.

Tatalaksana
a. Anak dengan episode pertama wheezing tanpa distress pernapasan, bisa dirawat
di rumah hanya dengan terapi penunjang.  Tidak perlu diberi bronkodilator
b. Anak dengan distres pernapasan atau mengalami wheezing berulang, beri
salbutamol dengan nebulisasi atau MDI (metered dose inhaler). Jika salbutamol
tidak tersedia, beri suntikan epinefrin/adrenalin subkutan. Periksa kembali anak
setelah 20 menit untuk menentukan terapi selanjutnya:
o Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada napas cepat,
nasihati ibu untuk merawat di rumah dengan salbutamol hirup atau bila
tidak tersedia, beri salbutamol sirup per oral atau tablet (lihat di ).
o Jika distres pernapasan menetap, pasien dirawat di rumah sakit dan beri
terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain seperti yang
diterangkan di bawah.
c. Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa minum, rawat dan beri
terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain yang diterangkan di bawah.
d. Jika anak dirawat di rumah sakit, beri oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan dosis
pertama steroid dengan segera.
e. Respons positif (distres pernapasan berkurang, udara masuk terdengar lebih baik
saat auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20 menit. Bila tidak terjadi, beri
bronkodilator kerja cepat dengan interval 20 menit.
f. Jika tidak ada respons setelah 3 dosis bronkodilator kerja-cepat, beri aminofilin
IV.

Oksigen
Berikan oksigen pada semua anak dengan asma yang terlihat sianosis atau
mengalami kesulitan bernapas yang mengganggu berbicara, makan atau menyusu
(serangan sedang-berat).
6. Penatalaksanaan Asma
a. Bronkodilator kerja-cepat
Beri anak bronkodilator kerja-cepat dengan salah satu dari tiga cara
berikut: nebulisasi salbutamol, salbutamol dengan MDI dengan alat spacer, atau
suntikan epinefrin/adrenalin subkutan, seperti yang diterangkan di bawah.
1) Salbutamol Nebulisasi
Alat nebulisasi harus dapat menghasilkan aliran udara minimal 6-10 L/
menit. Alat yang direkomendasikan adalah jet-nebulizer (kompresor udara)
atau silinder oksigen. Dosis salbutamol adalah 2.5 mg/kali nebulisasi; bisa
diberikan setiap 4 jam, kemudian dikurangi sampai setiap 6-8 jam bila kondisi
anak membaik. Bila diperlukan, yaitu pada kasus yang berat, bisa diberikan
setiap jam untuk waktu singkat.
2) Salbutamol MDI dengan alat spacer
Alat spacer dengan berbagai volume tersedia secara komersial.
Penggunaannya mohon lihat buku Pedoman Nasional Asma Anak. Pada anak
dan bayi biasanya lebih baik jika memakai masker wajah yang menempel
pada spacer dibandingkan memakai mouthpiece. Jika spacer tidak
tersedia, spacer bisa dibuat menggunakan gelas plastik atau botol plastik 1
liter. Dengan alat ini diperlukan 3-4 puff salbutamol dan anak harus bernapas
dari alat selama 30 detik.
Gunakan alat
spacer dan
sungkup wajah
untuk memberi
bronkodilator.
Spacer dapat
dibuat secara
lokal dari botol
plastik
minuman
ringan.

3) Epinefrin (adrenalin) subkutan


Jika kedua cara untuk pemberian salbutamol tidak tersedia, beri
suntikan epinefrin (adrenalin) subkutan dosis 0.01 ml/kg dalam larutan 1:1
000 (dosis maksimum: 0.3 ml), menggunakan semprit 1 ml (untuk teknik
injeksi lihat halaman 331). Jika tidak ada perbaikan setelah 20 menit, ulangi
dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis yang sama. Bila gagal, dirawat
sebagai serangan berat dan diberikan steroid dan aminofilin.

b. Bronkodilator Oral
Ketika anak jelas membaik untuk bisa dipulangkan, bila tidak tersedia atau
tidak mampu membeli salbutamol hirup, berikan salbutamol oral (dalam sirup
atau tablet). Dosis salbutamol: 0.05-0.1 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam.

c. Steroid
Jika anak mengalami serangan wheezing akut berat berikan kortikosteroid
sistemik metilprednisolon 0.3 mg/kgBB/kali tiga kali sehari pemberian oral atau
deksametason 0.3 mg/kgBB/kali IV/oral tiga kali sehari pemberian selama 3-5
hari.

d. Aminofilin
1) Jika anak tidak membaik setelah 3 dosis bronkodilator kerja cepat, beri
aminofilin IV dengan dosis awal (bolus) 6-8 mg/kgBB dalam 20 menit. Bila 8
jam sebelumnya telah mendapatkan aminofilin, beri dosis setengahnya. Diikuti
dosis rumatan 0.5-1 mg/kgBB/jam. Pemberian aminofilin harus hati-hati,
sebab margin of safety aminofilin amat sempit.
2) Hentikan pemberian aminofilin IV segera bila anak mulai muntah, denyut nadi
>180 x/menit, sakit kepala, hipotensi, atau kejang.
3) Jika aminofilin IV tidak tersedia, aminofilin supositoria bisa menjadi
alternatif.

e. Antibiotik
Antibiotik tidak diberikan secara rutin untuk asma atau anak asma yang
bernapas cepat tanpa disertai demam. Antibiotik diindikasikan bila terdapat tanda
infeksi bakteri.

7. Pencegahan Asma
Upaya pencegahan asma dibedakan menjadi 3, yaitu:
 Pencegahan primer
 Pencegahan sekunder
 Pencegahan tersier

a. Pencegahan primer
Ditujukan untuk mencegah sensitasi pada bayi dengan risik asma (orang tua
asma), dengan cara:
1) Penghindaran asap rkok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak
2) Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan atau dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin
3) Pemberian ASI aksklusif sampai usia 6 bulan
4) Diet hipalergenik ibu menyusui

b. Pencegahan sekunder
Ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersensitasi dengan
cara menghindari pajanan asap roko, serta alergen dalam ruangan terutama tungau
debu rumah.

c. Pencegahan tersier
Ditujukan untuk mencegah manifestasi asma, pada anak yang telah
menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang
dikenal dengan nama ETAC Study (Early Treatment of Atopic Children)
mendapatkan bahwa pemberian setrizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan
dermatitis atopi dan IgE terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah
menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian
setrizin pada penilitian ini bukan sebagai pengendali asma (contrller). (Direktorat
Penyakit tidak menular, 2009)

Sedangan menurut Valentina L. Brashers (2007) :


a. Tangani setiap sinusitis kronis atau penyakit refluks gastroesofagus
b. Batasi pajanan terhadap alergen atau iritan
c. Pantau aliran puncak di rumah
d. Pertimbangkan imunoterapi pada pasien atopi
e. Tangani infeksi sejak dini
f. Vaksinasi influenza setiap tahun
g. Edukasi pasien

8. Resep tidak rasional karena :


a. Pada resep tidak terdapat Inscriptio yang meliputi Nama dokter, SIP, no telfon dan
tempat serta tanggal penulisan redep.
b. Tidak terdapat bentuk sediaan obat
c. Aturan pemakaian obat belum jelas
d. Identitas pasien belum lengkap
e. Pemberian obat yang salah karena seharusnya tidak terdaat Azithromycin (karena
tidak terdapat indikasi infeksi), dan dextromethorphan (karena pemberian
dextromethorphan tidak bisa dibarengi bersama pemberian salbutamol)
DAPUS
Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen.
Jakarta: EGC
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. 2009. Pedman Pengendalian Penyakit
Asma. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

STEP 4 – Skema

Asma

Farmakokinetik Deskripsi Obat Resep Rasional Dokter Keluarga


dan
Farmakodinamik

STEP 5 – Sasaran Belajar

1. Farmakokinetik dan farmakodinamik


2. Deskripsi obat (Indikasi, KI, Dosis, Efek samping, Interksi)
3. Resep rasional
4. Dokter keluarga

STEP 6 – Belajar Mandiri

STEP 7

1. Farmakokinetik dan Farmakodinamik


a. azytor Farmakokinetik
Azitromisin jka diberikan secara oral diabsorpsi secara cepat dan didistribusikan ke seluruh
tubuh kecuali ke otak dan cairan serebrospinal. Azitromisin sebaiknya tidak diberikan
bersamaan dengan makanan. Obat ini memiliki farmakokinetik yang unik karena distribusi
terjadi secara luas dan tingginya konsentrasi obat di dalam sel (terutama fagosit), sehingga
didapati konsentrasi di jaringan atau sekresi dibandingkan konsentrasi dalam serum
Azitromisin mengalami metabolisme di hati untuk menginaktivasi metabolit, namun
kebanyakan diekskresi melalui empedu. hanya 12% obat yang dieksresikan melalui urine.
Waktu paruh mencapai 40-68 jam, dapat memanjang karena pengambilan dan pengikatan
yang luas dari jaringan.
Farmakodinamik
Antibiotika makrolida merupakan bakteriostatik yang menghambat sintesis protein dengan
mengikat secara reversibel subunit ribosom mikroorganisme yang sensitif. Azitromisin
merupakan skizontosidal darah yang efisien namun mempunyai kerja yang relatif lambat.
Data in Vitro melaporkan, azitromisin memiliki kemampuan klinis bila digunakan sebagai
kombinasi dengan obat anti malaria lain.

2. Salbutamol
Farmakodinamik
Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman dan paling efektif. Tidak
salah jika obat ini banyak digunakan untuk pengobatan asma. Selain untuk membuka saluran
pernafasan yang menyempit, obat ini juga efektif untuk mencegah timbulnya exercise-
induced broncospasm (penyempitan saluran pernafasan akibat olahraga). Saat ini,
salbutamol telah banyak beredar di pasaran dengan berbagai merk dagang, antara lain:
Asmacare, Bronchosal, Buventol Easyhaler, Glisend, Ventolin, Venasma, Volmax dll. Kerja
obat mengakibatkan akumulasi siklik adenosine
monofosfat (cAMP) pada reseptor adrenergic beta, menyebabkan bronkodilatasi,
relative selektif terhadap reseptor beta 2 (paru)
Farmakokinetik
Absorbsi: diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral, namun dengan cepat akan
mengalami metabolisme ekstensif.
Distribusi: tidak banyak diketahui, sedikit berada di dalam ASI.
Metabolisme dan ekskresi dimetabolisme secaraekstensif oleh hati dan jaringan lain. Waktu
paruh: 3-8 jam

3. Ambroxol
Farmakokinetik
Absorpsi : Diabsorpsi dengan baik dan cepat setelah pemberian oral (70-80%). Puncak
konsentrasi dalam plasma dicapai dalam waktu 0.5 sampai 3 jam.
Distribusi : Dalam dosis terapi, sekitar 90% dari ambroxol yang berikatan dengan protein
plasma di dalam darah. Distribusi setelah per oral, IM dan IV dari darah ke organ
berlangsung cepat dengan konsentrasi maksimal dalam paru-paru. T1/2 = 3 jam.
Metabolisme : Sekitar 30% setelah pemberian oral dieliminasi melalui first pass
effect.
Penelitian pada mikrosom hati manusia menunjukkan enzim CYP3A4 berperanan
penting terhadap metabolisme ambroxol di hati. Ambroxol pertama kali
dimetabolisme di hati melalui proses glukuronidasi dan beberapa sisanya (sekitar 10% dari
dosis) dimetabolisme menjadi metabolit kecil yakni asam dibromanthranilik.
Ekskresi : Jumlah ekresi ginjal adalah sekitar 90%.
Farmakodinamik
Mekanisme kerja obat ambroxol adalah dengan menstimulasi sel serous dari tonsil pada
mukous membran saluran bronchus, sehingga meningkatkan sekresi mucous didalamnya dan
merubah kekentalan komponen serous dan mukous dari sputum menjadi lebih encer dengan
menurunkan viskositasnya. Hal ini menginduksi aktivasi sistem surfaktan dengan bertindak
langsung pada pneumocyte tipe II dari alveolus dan sel clara di bagian saluran udara kecil
serta menstimulasi motilitas siliari. Dari hasil aksi tersebut meningkatkan aliran mukous dan
transport oleh mucous siliari clearance. Peningkatan sekresi cairan dan mukous siliari
clearance inilah yang menyebabkan pengeluaran dahak dan memudahkannya keluar
bersamaan batuk. Efek ini telah dibuktikan dalam kultur sel dan in vivo pada berbagai
spesies. Berdasarkan penelitian secara in vitro dan in vivo, efek farmakologi dari ambroxol
yang lainnya adalah netralisasi oksidatif dan nitrosative stress, penekanan replikasi virus
pernapasan, pengurangan sitokin proinflamasi, kemotaksis, dan peroksidasi lipid jaringan,
serta efek anestesi lokal.

4. dekstrometorfan
Farmakokinetik
Dekstrometorfan diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral dengan kadar serum
maksimal dicapai dalam 2,5 jam. Onset efeknya cepat, seringkali 15-30 menit setelah
pemberian oral. Belum ada penelitian tentang distribusi volume dekstrometorfan pada
manusia, akan tetapi penelitian oleh Silvasti et al. (1989) yang dilakukan pada anjing,
distribusi volume dekstrometorfan berkisar antara 5,0-6,4 L/kg. Waktu paruh obat ini adalah
2-4 jam dan lama kerjanya adalah 3-6 jam. Metabolisme dekstrometorfan telah diketahui
dengan baik dan telah diterima secara luas bahwa aktivitas terapeutik dekstrometorfan
ditentukan oleh metabolit aktifnya yaitu dextrorphan. Dekstrometorfan mengalami
metabolisme di hepar oleh enzim sitokrom P-450 dan diubah menjadi dextrorphan yang
mempunyai derivat lebih aktif dan poten sebagai antagonis NMDA Farmakodinamik
(a). Efek analgetik
Efek analgetik dekstrometorfan berdasarkan cara kerja sebagai antagonis reseptor NMDA.
Peranan NMDA dalam fenomena persepsi nyeri ditegaskan lagi pada binatang percobaan
yaitu dengan cara memberikan reseptor antagonis NMDA secara intraspinal. Pada suatu studi
pada manusia pemberian ketamin intravena akan mengurangi hiperalgesia primer dan
sekunder dan mengurangi nyeri yang ditimbulkan oleh stimulasi panas. Dektrometorfan
menunjukkan hal yang sama. Ikatan obat-obat antagonis pada reseptor NMDA menimbulkan
terjadinya perubahan pada calsium channel. Perubahan pada ca-channel akan menyebabkan
aktivitas neuron yang dirangsang NMDA, jika itu menetap, akan diikuti dengan peningkatan
intensitas stimulus nosiseptik primer, misalnya fenomena wind-up dan pencetusan dari nyeri
sekunder. Dekstrometorfan mempunyai kemampuan untuk mengurangi influks ion
Ca2+melalui channel reseptor NMDA dan mengatur channel voltase Ca yang pada keadaan
normal diatur oleh konsentrasi K+ ekstrasel yang tinggi. Dengan berkurangnya influks ion
Ca+, maka eksitabilitas neuron di kornudorsalis medula spinalis menurun, sehingga sensitisasi
menurun dan terjadi pengurangan nyeri. Pada penelitian dekstrometorfan sebagai efek
analgetik, obat tersebut memberikan hasil yang cukup baik, yaitu dapat mengurangi intensitas
nyeri sebanyak 33,4% dibanding pada pemberian memantin maupun lorazepam, dimana
masing-masing hanya mengurangi nyeri sebanyak 17,4% dan 16,1%. Hal ini menunjukkan
perbedaan yang bermakna antara pemberian ketiga obat tersebut.
(b). Sebagai antitusif
Empat puluh tahun yang lalu dekstrometorfan dibuat sebagai obat alternatif dari morfin. Pada
awalnya pemakaian klinis terbatas pada obat antitusif, pada orang dewasa dosisnya adalah 10
– 30 mg, 3 – 6 kali sehari. Tempat spesifik sentral dimana dekstrometorfan mempunyai efek
antitusif belum jelas, tetapi dekstrometorfan berbeda dengan golongan opioid, sehingga efek
dekstrometorfan tidak ditekan oleh nalokson. Dekstrometorfan juga mempunyai catatan
keamanan yang baik, sebagai contoh dosis terapetik untuk batuk 1 mg/kg /hr tidak
mempunyai side efek yang berarti, dan tidak menimbulkan komplikasi akibat pelepasan
histamine.
(c). Efek anti kejang dan parkinson
Pada manusia dekstrometorfan juga mampu mengurangi keluhan yang berhubungan dengan
gangguan neurologis oleh karena eksitotoksisitas, seperti kejang dan penyakit parkinson jika
diberikan pada dosis 30 atau 60 mg yang diberikan 4 kali sehari, 45 – 180 mg single dose 
atau 120 mg single dose selama 3 minggu sampai 3 bulan. Tidak didapati adanya efek
samping neurologis yang berat pada penelitian ini dan juga pada penelitian lain dengan
sampel 8 orang yang sehat dimana eksitabilitas korteks motorik berkurang setelah pemberian
secara oral dengan dosis tinggi (150 mg). Pada suatu penelitian double blind plasebo
control pada pasien dengan penyakit parkinson, eksitabilitas korteks motorik dan diskinesia
oleh karena levodopa berkurang dengan pemberian dekstrometorfan pada dosis 100 mg
dengan efek samping yang minimal.

5. Metilprednisolon
Farmakokinetik
Metilprednisolon merupakan golongan glukokortikoid sintetik yang memiliki
farmakodinak yang sesuai dengan farmakodinamik glukokortikoid secara umum. Sumber
steroid-steroid farmaseutik biasanya disintesis dari cholic acid (diperoleh dari hewan ternak)
atau steroid sapogenin dalam diosgenin dan hecopenin tertentu, yang ditemukan
Perubahan pada molekul glukokortikoid ini mempengaruhi afinitasnya untuk
reseptor glukkokortikoid dan mineralokortikoid serta aviitas ikatan-protein, kemantapan
rantai samping, kecepatan reaksi reduksi, dan hasil metabolisme. Halogenasi pada posisi 9,
ketidakjenuhan ikatan dari cincin A, dan metilasi pada posisi 2 atau 16 memperpanjang paruh
waktu lebih dari 50%. Senyawa 1 diekskresikan dalam bentuk bebas. Pada
beberapa kasus, agen yang diberikan merupakan suatu pro-obat (prodrug) misalnya
prednisolon dengan cepat diubah menjadi produk prednisolon aktif di dalam tubuh.
Farmakodiamik
Triamcinolone bekerja terutama sebagai glukokortikoid sintetik. Kortisol dan
analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat
radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini
menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi
eukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambatmani
festasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast,
pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar
terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek
supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan
glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan
ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa
tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel,
khususnya yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah
pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrophil
meningkat sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi
tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan
menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan
aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh
darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab
antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen
diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi
kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan
tumor nekrosis factor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen.
Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi
dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin,leukotrien dan platelet-aktivating factor.
Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti-proliferatif, dan
imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti sel-sel lesi,
berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami
perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk atau
menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif),
bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan
stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak
dikeluarkan .

2. AZYTHROMYCIN
Indikasi : Infeksi ringan sampai sedang untuk saluran pernapasan atas dan bawah, kulit dan
strukturnya
Kontraindikasi : Hypersensitif pada golongan makrolida
Dosis :
1. Untuk pengibatan 3 hari : 1x sehari, 10mg/kg
2. Untuk pengobatan 5 hari : hari pertama 10mg/kg lalu hari berikutnya 5mg/kg
Efek Samping :
1. Gangguan saluran pencernaan : Anoreksia, mual, muntah dan diare terkadang timbul pada
pemberian oral. Intoleransi saluran cerna, yang timbul akibat perangsangan langsung
terhadap motilitas usus merupakan alasan tersering penghentian penggunaan antibiotik ini.
2. Toksitasi hati : Dapat menyebabkan hepatitis kolestatik akut (demam, ikterus, gangguan
fungsi hati) yang diakibatkan reaksi hipersensitifitas. Reaksi alergi lain yang mungkin timbul
meliputi demam, eosinofilia, dan ruam.
Interaksi Obat : Azythromicyn bekerja dengan menghambar CYP3A4 sehingga menghasilkan
metabolit yang menghambat enzim sitokrom P450 sehingga meningkatkan konsentrasi
berbagai obat dalam serum, seperti metilprednisolone.

SALBUTAMOL
Indikasi : Kejang bronkus pada semua asma bronkial, bronkitis kronis, dan emfisema
Kontraindikasi : Hipersensitif
Dosis :
1. Dewasa dan anak diatas 12 tahun : 2-4 mg sehari 3-4x atau 1-2 sendok (5-10 ml) sehari 3-
4x
2. Anak usia 2-6 tahun : 1-2 mg sehari 3-4x atau 1/2-1 sendok (0,25-5 ml) sehari 3-4c
3. Anak usia 6-12 tahun : 2 mg sehari 3-4x atau 1 sendok (5 ml) sehari 3-4c
Efek Samping : Pada pemakaian dosis besar, kadang ditemukan terjadi tremor, palpitasi,
kejang otot, takikardia, sakit kepala, dan ketegangan.
Interaksi Obat :
1. Meningkatkan risiko efek samping kardiovaskuler bila salbutamol parenteral diberikan
bersama atomoksetin
2. Salbutamol dapat menurunkan konsentrasi digoksin dalam plasma
3. Dilaporkan hipotensi akut bila infus salbutamol digunakan bersama metildopa

AMBROXOL
Indikasi : Penyakit saluran nafas akut dan kronik yang disertai sekresi bronchial yang
abnormal, misalnya pada ekserbasi dan bronchitis kronis dan asma bronkial
Kontraindikasi : Hipersensitif
Dosis :
1. Dewasa dan anak diatas 12 tahun : sehari 2-3x 1 tab
2. Anak usia 6-12 tahun : sehari 2-3x 1/2 tab
Efek Samping : Pernah terjadi muntah, diare, dyspepsia, dan nyeri abdomen, namun tidak
sering. Sangat jarang pula menimbulkan reaksi alergi.
Interaksi Obat :
1. Penggunaan simultan ambroxol dan antibiotik menghasilkan peningkatan konsentrasi
antibiotik di jaringan paru
2. Penggunaan secara serentak dengan agen antitusif harus dihindari, karena sapat
menghambat refleks batuk

DEXTROMETHORPHAN
Indikasi : Pereda Batuk
Kontraindikasi :
1. Asma, bronkitis, emfisema, atau kondisi lain dimana batuk kronis terjadi
2. Penggunaan bersamaan atau dalam 14 hari tanpa MAOI atau SSRI
3. Anak-anak usia dibawah 12 tahun
Dosis :
1. Dewasa : 10-20 mg secara oral tiap 4 jam atau 30 mg secara oral setiap 6-8 jam, dosis
maksimum 120 mg/hari
2. Anak usia 6-12 tahun : 5-10 mg per oral setiap 4 jam atau 15 mg per oral setiap 6-8 jam,
dosis maksimum 60 mg/hari
3. Anak usia 2-6 tahun : 2,5-5 mg per oral setiap 4 jam atau 7,5 mg per oral setiap 6-8 jam,
dosis maksimum 30 mg/hari
Efek Samping : Pusing, mengantuk, dan fatigue
Interaksi Obat :
1. Penggunaan bersama MAOIs dapat berakibat kematian
2. Reaksi obat berkurang jika diberikan bersama inhibitor cytochrome P450 isoenzime
CYP2D6

METHYLPREDNISOLONE
Indikasi : Anti inflamasi atau imunosupresif, dermatosis responsif kortikosteroid, status
asthmaticus, penolakan allograft akut pada penerima transplantasi organ, kondisi alergi
Kontraindikasi : Infeksi jamur sistemik kecuali digunakan terapi khusus anti infeksi
Dosis :
1. Per oral : dosis dewasa 4-24 mg per hari
2. Per IV : dosis dewasa 40 mg per hari, dosis anak-anak 1-4 mg/kg BB selama 1-3 hari
Efek Samping : Lebih mudah terkena infeksi, mual, muntah, sakit kepala, nafsu makan
menurun, sulit tidur, nyeri otot, maag
Interaksi Obat :
1. Meningkatnya risiko kejang bila digunakan bersama dengan cidosporin
2. Meningkatnya risiko aritmia bila digunakan bersama digoxin
3. Meningkatnya efek samping methylprednisolone bila digunakan dengan antibiotik
makrolid, ketoconazole, erythromicin, rifampicin, dan barbiturate.

3. Penggunaan obat dikatakan rasional menurut WHO apabila pasien menerima obat yang
tepat untuk kebutuhan klinis, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan untuk jangka
waktu yang cukup, dan dengan biaya yang terjangkau baik untuk individu maupun
masyarakat. Konsep tersebut berlaku sejak pertama pasien datang kepada tenaga
kesehatan, yang meliputi ketepatan penilaian kondisi pasien, tepat diagnosis, tepat
indikasi, tepat jenis obat, tepat dosis, tepat cara dan lama pemberian, tepat informasi,
dengan memperhatikan keterjangkauan harga, kepatuhan pasien, dan waspada efek
samping. Pasien berhak mempertanyakan hal-hal itu kepada tenaga kesehatan. Oleh
karena itu, penggunaan obat rasional meliputi dua aspek pelayanan yaitu pelayanan
medik oleh dokter dan pelayanan farmasi klinik oleh apoteker. Untuk itu perlu sekali
adanya kolaborasi yang sinergis antara dokter dan apoteker untuk menjamin
keselamatan pasien melalui penggunaan obat rasional. Penggunaan obat yang tidak
rasional dapat menimbulkan dampak cukup besar dalam penurunan mutu pelayanan
kesehatan dan peningkatan anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk obat.
Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara medik. Penggunaan obat tidak rasional dapat terjadi di fasilitas pelayanan
kesehatan maupun di masyarakat. Hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor yang di
antaranya, regulasi, kompetensi tenaga kesehatan, pasien itu sendiri, pihak industri,
manajemen pengelolaan obat di tempat kerja dan sistem.

Resep yang rasional meliputi:

a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis
yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka
pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang
keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan
sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
b. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik,
misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian,
pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi
gejala adanya infeksi bakteri.
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah
diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat
yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan
spektrum penyakit.
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh
terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan,
khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat
beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis
yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin
dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering
frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari),
semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus
diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus
diminum dengan interval setiap 8 jam.
g. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.
Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya
akan
berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
h. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek
tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis
terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropin bukan
alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh
darah di wajah.
i. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini
lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin
dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal,
j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu
terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang
terjangkau. Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat
dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat
esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas,
keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan
dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang
menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan
dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia
harus dan telah menerapkan CPOB.
k. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat
penting dalam menunjang keberhasilan terapi
l. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah
dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya
jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping.
m. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai
penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen.
Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat penyerahan
obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat
yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian
diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan
harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat
sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus
memberikan
informasi yang tepat kepada pasien.
n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan,
ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan
berikut:
1) Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
2) Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
3) Jenis sediaan obat terlalu beragam
4) Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
5) Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang
cukup mengenai cara minum/menggunakan obat
6) Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri
lambung), atau efek ikutan (urine menjadi merah karena
minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih
dahulu.
dr. Jaya
SIP: 1234567890
Alamat: Kedungmundu

Semarang, 04 November 2019

R / Salbutamol tab 2 mg No. X


S 3 dd tab 1 p.c p.r.n sesak
y
R / Ambroxol tab 30 mg No. X
S 3 dd tab 1 p.c
y
R / Methylprednisolone tab 2 mg No. X
S 3 dd tab 1 p.c
y

Pro : Ny. Asma


Usia : 40 tahun
Alamat: Semarang

4. Peran dokter keluarga sesuai dengan skenario di atas adalah menyampaikan


bahwa asma merupakan penyakit kronis yang membutuhkan waktu cukup
lama pengobatannya, menjelaskan faktor-faktor pencetusnya, menjelaskan
agar keluarga saling membantu untuk memonitoring pengobatan pasien agar
tidak semakin parah dan membantu menghindari pencetus asma pada pasien.

Anda mungkin juga menyukai