Anda di halaman 1dari 18

1.

Kanker Payudara
1.1. Epidemiologi Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan kanker paling sering pada wanita dan merupakan
penyebab utama kematian akibat kanker pada wanita usia 20-59 tahun. 75% kanker
payudara terjadi pada wanita berusia >50 tahun. Rasio wanita dibanding pria
mencapai ~150:1. (1) Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) 2018 mencatat
kasus kanker payudara di seluruh dunia mencapai 2 juta orang. (2) Insidensi kanker
payudara di Indonesia tahun 2018 tercatat sebanyak 58.256 kasus, yaitu sebesar
30.9% kasus kanker pada wanita di Indonesia. Angka ini menempatkan kanker
Payudara sebagai kanker terbanyak di Indonesia, diikuti kanker serviks pada posisi
kedua. (2)
Kanker payudara lebih berisiko dialami oleh perempuan dengan riwayat
keluarga dan genetik kanker payudara yaitu mutase gen BRCA1, BRCA2, ATM atau
TP53.(3) Kanker payudara sangat terkait dengan hormon. Menstruasi yang terlalu
dini (<12 tahun) atau menopause yang terlambat (>55 tahun) juga menjadi faktor
risiko dari kanker payudara ini. Faktor lain yang berperan yaitu kehamilan pertama
yang terlambat, tidak memiliki anak atau menyusui, obesitas, konsumsi alkohol, dan
riwayat radiasi dinding dada. Obesitas menjadi faktor risiko untuk kanker payudara
pertama atau rekurensi dari kanker payudara. (1,4) Dikatakan bahwa konsumsi
aspirin dosis rendah secara kronis menurunkan insidensi kanker payudara. Riwayat
penggunaan hormon eksternal juga memiliki peranan pada kanker payudara. (1)
Secara umum, insidensi dan mortalitas kanker payudara lebih rendah pada
kelompok wanita Asia dan Afrika dan negara yang belum berkembang jika
dibandingkan negara-negara Eropa dan Amerika Utara atau negara industri dan telah
mengadaptasi gaya hidup Barat. (5)
1.2. Patofisiologi Kanker Payudara
Kanker Payudara dikelompokkan menjadi 3 yaitu non-invasif, invasif, dan
campuran tumor epitel dan jaringan penyambung. Kanker non-invasif dibagi lagi
menjadi dua tipe utama, Lobular (LCIS) dan duktal (DCIS). LCIS dianggap sebagai
faktor risiko dari perkembangan kanker payudara yang invasif, terutama tipe
pleomorfik, terkait dengan kalsifikasi dan nekrosis yang dapat terjadi.(6) DCIS
dibedakan menjadi tipe papiler, kribiform, solid, dan komedo. Pada DCIS, terjadi
pengisian rongga-rongga oleh sel-sel ganas. Tipe solid dan komedo lebih terkait
dengan transformasi menjadi invasif dibandingkan papilar dan kribiform. (6)
Kanker payudara invasif dapat dikenali dari ketidakadaan arsitektur, infiltrasi
sel ke stroma, atau pembentukan lapisan sel yang kontinu dan monoton tanpa
mengikuti bentuk dan fungsi organ normal. Jenis invasif ini juga dibedakan menjadi
lobular dan duktal. Tipe duktal umumnya membentuk benjolan yang jelas dan mudah
terdeteksi saat dipalpasi jika dibandingkan dengan tipe lobular yang umumnya sulit
dideteksi dengan mamografi sekalipun. Tipe duktal lebih sering terjadi, yaitu 50-70%
dari kanker payudara invasive sementara tipe lobular hanya 10%.(6)
Sel kanker, termasuk kanker payudara pada umumnya terbentuk karena proses
yang disebut karsinogenesis. Sel normal pada tubuh seseorang mengalami proses
mutasi baik itu karena faktor genetik (gen mutasi) ataupun dari lingkungan seperti
radiasi atau konsumsi zat karsinogen. Sel yang mengalami mutasi ini dapat
mengalami apoptosis sehingga tidak menjadi sel ganas, tapi juga dapat bertahan
hidup. Sel yang telah bermutasi ini kemudian dapat mengalami mutasi berulang-ulang
sehingga bertransformasi menjadi sel kanker. Jika sel ini dikenali oleh tubuh sebagai
benda asing dan belum sempat bereplikasi, maka dapat dieliminasi oleh sistem imun
tubuh, tetapi jika tidak sempat dieliminasi maka kemudian akan berkembang menjadi
kanker sesuai dengan lokasi sel tersebut. (7) Pada kanker payudara, fenotipe kanker
dibedakan menjadi sel basal/mioepitel, sel luminal/epitel, atau sel basoluminal.
Terdapat dua tipe reseptor estrogen yaitu ERα dan ERβ. Kedua subtipe ER ini
membawa domain ikatan DNA pada nukleus dan sitosol. Ketika estrogen masuk ke
sel, estrogen akan berikatan denang ER dan bermigrasi ke nukleus. Proses ini akan
menyebabkan produksi protein transkripsi yang menginduksi perubahan pada sel.
Efek ini akan berbahaya pada seseorang yang memiliki reseptor intraselular dalam
jumlah banyak. Sel kanker payudara memiliki reseptor ERα yang tinggi dan ERβ
rendah Estrogen diduga memiliki efek genotoksik karena produksi radikal sebagai
initiator dan menginduksi proliferasi sel kanker sebagai promoter.(8) ERα
berinteraksi dengan cylin D1 yang merupakan activator CDK4 dan 6 yang mengatur
transisi dari fase G1 ke S dari perkembangan sel. Sinergisme ini yang diduga menjadi
faktor penyebab resistensi terapi antiestrogen. (9) Peranan ERβ dalam siklus sel
kanker diduga yaitu sebagai tumor suppressor gene karena kerjanya yang berinteraksi
dengan p53 namun belum ada penelitian yang lanjut mengenai ERβ hingga saat ini.
(9)

Gambar 2.1. Kerja Reseptor Estrogen(ER) alpha dan beta(9)


Selain ER, terdapat reseptor lain yaitu HER2 (Human Epidermal Growth
Factor Receptor 2) yang termasuk ke famili protoonkogen Epidermal Growth Factor
Receptor. Pada sel kanker dengan reseptor ini, ditemukan overekspresi disertai
perkembangan tumor yang cepat, survival yang memendek, dan risiko rekurensi yang
tinggi pascaoperasi serta respon yang buruk terhadap kemoterapi. (8) Reseptor HER2
terkait dengan metastasis tumor karena sinyal yang dikeluarkan menginduksi migrasi
sel lebih cepat.(9)

Gambar 2.2. Peranan HER2 dalam Patofisiologi Kanker Payudara(9)


Kanker payudara tipe Luminal A memiliki reseptor ER dan/atau PR positif
dan HER2 negatif. Umumnya prognosisnya baik dan pertumbuhannya lambat serta
merespon terapi hormone. Tipe Luminal B dapat memiliki HER2 yang positif atau
negatif, perkembangannya cenderung lebih cepat dari Luminal A dengan prognosis
sedikit lebih buruk. Tipe HER2 berkembang cepat dengan prognosis yang buruk.
Pada tipe ini tidak ditemukan reseptor ER atau PR. Jenis Triple Negative tidak
memiliki reseptor ER, PR, maupun HER2 dan merupakan tipe kanker payudara yang
paling agresif. (9)
1.3. Diagnosis Kanker Payudara
Pada sekitar 30% kasus kanker payudara, pasien menyadari adanya benjolan
pada payudara mereka. Gejala lain yang dapat mengarah ke kanker payudara yaitu
pembesaran payudara, perubahan pada putting susu seperti retraksi atau adanya
discharge, ulserasi atau eritema pada kulit payudara, massa pada area ketiak, dan
ketidaknyamanan pada musculoskeletal. Tetapi pada kenyataannya, 50% wanita
dengan kanker payudara tidak memiliki gejala fisik yang mengganggu pada area
payudaranya. (5)
1.3.1. Anamnesis
Dari anamnesis, selain kita dapat menggali gejala yang dialami oleh
pasien kita juga menilai faktor risiko dari pasien untuk menderita kanker
payudara terutama yang invasif. Faktor risiko yang penting untuk digali
terutama menurut model Gail yaitu usia menarche, riwayat kelainan payudara,
riwayat keluarga dengan kanker payudara dan usia saat melahirkan pertama
kali. Penilaian faktor risiko ini bermanfaat untuk menghitung skor risiko
kanker payudara. (5)
1.3.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dari inspeksi. Inspeksi dilakukan dengan
tangan pasien disamping badan, diangkat ke atas, dan ditopang ke pinggang
dengan dan tanpa kontraksi otot pektoralis. Pada inspeksi, dilakukan penilaian
terhadap kesimetrisan, ukuran, dan bentuk payudara, termasuk juga jika ada
tanda edema, peau d’ orange, retraksi kulit atau putting susu, atau eritema,
Posisi tangan yang berbeda dapat mempermudah melihat retraksi kulit.
Pemeriksaan dilanjutkan dengan palpasi. Palpasi dilakukan di seluruh kuadran
payudara dimulai dari sternum ke lateral sampai otot latissimus dorsi dan dari
klavikula turun ke upper rectus. Palpasi dilakukan menggunakan bagian
telapak dari jari-jari tangan, hindari gerakan menggenggam atau mencubit.
Payudara dapat dicekap untuk memeriksa adanya retraksi. Selain itu dilakukan
juga palpasi untuk mencari adanya limfadenopati di area payudara, ketiak,
supraklavikula, dan parasternal. (5)

Gambar 2.2. Pemeriksaan Fisik Payudara.


Gambar A menunjukkan inspeksi yang dilakukan dengan tangan pasien diletakkan di
samping tubuh. Gambar B menunjukkan inspeksi yang dilakukan saat tangan dinaikkan ke
atas. Gambar C merupakan cara palpasi ketika pasien berbaring. Gambar D merupakan
palpasi pada area ketiak.
1.3.3. Pemeriksaan Penunjang
1.3.3.1. Mamografi
American Cancer Society merekomendasikan bahwa
mamografi pada perempuan usia ≥ 50 tahun menurunkan mortalitas
kanker payudara hingga 1/3 kali.(1) Mamografi dilakukan untuk
screening pada wanita yang asimtomatik dengan riwayat anamnesis
yang mendukung. Pada pemeriksaan mamografi, diperoleh dua
proyeksi yaitu mediolateral oblique (MLO) dan craniocaudal (CC).
Proyeksi MLO berguna untuk melihat keseluruhan payudara, termasuk
kuadran atas dan axillary tail of spence sedangkan proyeksi CC dapat
melihat bagian medial payudara dan kompresi lebih adekuat. (5)
Gambar 2.3. Mamografi proyeksi CC(A-B) dan MLO (C-D)
Proyeksi lain seperti 90° lateral dan kompresi dapat dilakukan
untuk melihat lokasi tepat dari abnormalitas yang ditemukan.
Kompresi berguna untuk mengurangi gerakan, memisahkan jaringan
sekitar, dan meningkatkan pembesaran. Mamografi juga bermanfaat
untuk membantu proses intervensi seperti biopsi. (5)
Diagnosis kanker payudara dengan mamografi yaitu massa
solid dengan atau tanpa fitur stellata, penebalan asimetris dari jaringan
payudara, dan mikrokalsifikasi yang berkelompok. Kalsifikasi yang
halus dan berbentuk seperti titik di sekitar lesi yang mencurigakan
sugestif kanker dan terjadi pada 50% kanker yang tidak terpalpasi,
terutama pada wanita usia muda biasanya hanya kelainan ini yang
ditemukan sehingga kita harus lebih berhati-hati. (5)
1.3.3.2. Duktografi
Indikasi duktografi yaitu adanya discharge dari putting
terutama jika bercampur dengan darah. Duktografi dilakukan dengan
cara injeksi media kontras 0.1-0.2 mL ke duktus mayor dan dilakukan
mamografi. Duktus dilebarkan dengan dilator, kemudian dimasukan
kanula steril sambil pasien berbaring posisi supine. Kanker dapat
terlihat sebagai massa ireguler dan multiple intraluminal filling
defects. (5)
1.3.3.3. Ultrasonografi (USG)
USG merupakan metode pencitraan payudara tersering kedua
setelah mamografi. USG biasanya dilakukan untuk melihat kembali
lesi yang kurang jelas, massa kistik, dan kualitas ekogenisitas dari
kelainan padat. Massa jinak biasanya memiliki kontur yang halus,
bulat, atau oval dengan echo internal yang lemah dan batas anterior-
posterior yang jelas sedangkan kanker memiliki dinding ireguler tapi
dapat juga halus dengan acoustic enhancement. USG juga digunakan
untuk membantu fine needle aspiration biopsy, core needle biopsy,
atau lokalisasi dengan jarum. USG juga dapat digunakan untuk
memeriksa kelenjar getah bening regional dengan sensitivitas 35-82%
dan spesifisitas 73-97%. (5)
1.3.3.4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dilakukan untuk memeriksa lebih lanjut abnormalitas dari
mamografi dan lesi lainnya. Namun jika pada mamografi dan
pemeriksaan fisik tidak ada kelainan, umumnya MRI juga tidak
menemukan kelainan. Saat ini MRI dilakukan untuk memeriksa wanita
berisiko tinggi dan wanita yang memiliki kanker yang baru saja
terdiagnosis. Pada wanita usia muda mamografi sulit dilakukan karena
densitas payudara yang lebih tinggi sedangkan pada wanita dengan
kanker baru pada sebuah penelitian menemukan MRI dapat mendeteksi
tumor di kontralateral lebih dini dan membantu menentukan perlunya
operasi. (5)
1.3.3.5. Biopsi
Pada kanker yang tidak terpalpasi, biopsi dilakukan dengan
bantuan imaging terlebih dahulu untuk menentukan lokasi yang akan
dibiopsi. Biopsi dilakukan dengan jarum untuk menganalisis jaringan
yang diambil dan diberikan ke bagian patologi untuk menentukan
keganasan dari sel. Biopsi dengan jarum lebih disukai dibanding
biopsy terbuka karena lebih tidak invasif sehingga luka minimal, biaya
lebih kecil, dan sudah bisa membantu menentukan tindakan yang akan
dilakukan. Biopsi pada lesi yang dapat dipalpasi lebih mudah dan
dapat dilakukan di poli.
1.4. Staging Kanker Payudara
Staging Kanker Payudara berdasarkan American Joint Committee of Cancer
(AJCC) secara Patologis yaitu berdasarkan Tumor (T), Nodus limfatikus regional (N)
dan Metastasis (M). (10)
Tabel 2.1. Staging Tumor Kanker Payudara Berdasarkan AJCC
Tumor (T) Keterangan
Tx Tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada tumor primer
Tis Karsinoma in situ, dapat berupa DCIS atau Paget (LCIS
digolongkan jinak)
T1 Tumor berukuran ≤ 20 mm pada dimensi terbesar
T1mi Tumor berukuran ≤ 1 mm pada dimensi terbesar
T1a Tumor berukuran >1 mm tapi ≤ 5mm pada dimensi terbesar
T1b Tumor berukuran >5 mm tapi ≤ 10 mm pada dimensi terbesar
T1c Tumor berukuran >10 mm tapi ≤ 20 mm pada dimensi terbesar
T2 Tumor berukuran >20 mm tapi ≤ 50 mm pada dimensi terbesar
T3 Tumor berukuran >50 mm pada dimensi terbesar
T4 Tumor ukuran berapapun tapi invasi ke dinding dada dan/atau
kulit
T4a Invasi ke dinding dada tapi tidak ke otot pectoralis
T4b Ulserasi dan/atau nodul satelit ipsilateral dan/atau edema kulit
T4c T4a dan T4b
T4d Karsinoma Inflamasi
Tabel 2.2. Staging Nodus Limfatikus Klinis (C) Kanker Payudara Berdasarkan
AJCC

Tabel 2.3. Staging Nodus Limfatikus Patologis (P) Kanker Payudara


Berdasarkan AJCC

Tabel 2.4. Staging Metastasis Kanker Payudara Berdasarkan AJCC


Metastasis (M) Keterangan
M0 Tidak ada bukti klinis atau radiologis metastasis jauh
cM0(i+) Tidak ada bukti klinis atau radiologis metastasis jauh pada
sel tumor/deposit berukuran ≤ 0.2 mm yang terdeteksi
secara mikroskopis/molekuler di darah, sumsum tulang,
atau area non nodus lain
cM1 Metastasis jauh yang terdeteksi klinis atau radiologis
pM1 Metastasis yang terbukti histologis di organ jauh, atau di
organ bukan nodus, berukuran > 0.2 mm

Stadium anatomis dari kanker payudara ditentukan dari keadaan masing-


masing T, N, dan M pada pasien yaitu dengan rincian sebagai berikut
1. Stadium 0 : Ductal Carcinoma In Situ
2. Stadium I :
a. Stadium IA : invasi tumor primer berukuran ≤ 20 mm tanpa
keterlibatan nodus limfatikus
b. Stadium IB : mikrometastasis nodus limfatikus (>0.2 mm, <
2 mm) dengan/tanpa tumor primer ≤ 20 mm
3. Stadium II :
a. Stadium IIA : Metastasis NL regional level I dan II, tumor ≤
20 mm ATAU tumor > 20 mm, ≤ 50 mm tanpa metastasis NL
b. Stadium IIB : Metastasis NL regional level I dan II >20 mm,
≤ 50 mm ATAU tumor > 50 mm tanpa metastasis NL
4. Stadium III:
a. Stadium IIIa : NL level I dan II, tumor > 50 mm ATAU level
I,II, internal
b. Stadium IIIb : invasi ke kulit dan dinding dada
c. Stadium IIIc : metastasis ke NL supraklavikula ipsilateral
atau ipsilateral I dan II dan NL internal
5. Stadium IV: metastasis organ jauh
2. Tatalaksana Kanker Payudara
Terapi pada kanker payudara dilakukan berdasarkan derajat keganasan dan tipe dari
tumor itu sendiri. Tujuan dari tatalaksana pada pasien dengan kanker payudara nonmetastasis
adalah memusnahkan tumor dari payudara dan nodus limfatik lokal, serta mencegah
rekurensi metastasis. Sebaliknya, tatalaksana pada pasien dengan kanker payudara metastasis
bertujuan untuk memperpanjang hidup dan paliatif.(11) Pasien dengan kanker payudara dapat
dilakukan tindakan baik terapi lokal maupun terapi sistemik.(11,12) Terapi lokal dilakukan
dengan tindakan reseksi dan pengambilan sampel atau pembuangan nodus limfatik aksila,
dengan konsiderasi radiasi pascaoperasi. Terapi sistemik dilakukan dengan kemoterapi yakni
pemberian obat anti kanker secara sistemik yang sesuai dengan stratifikasi risiko pasien.
(11,13)
2.1. Tindakan Pembedahan
Tindakan pembedahan secara breast-conserving therapy (BCT) dan
mastektomi merupakan tatalaksana terapi lokal pilihan untuk kanker payudara
invasif. Beberapa RCT dengan tindak lanjut hingga 20 tahun menyatakan bahwa
BCT aman dan memiliki hasil yang setara dengan mastektomi pada kanker paru
derajat I dan II. Penelitian terdahulu menunjukkan tingkat rekurensi loko-regional
pasca BCT yang lebih tinggi daripada pasca mastektomi, akan tetapi menurun pada
penelitian terkini. Penurunan rekurensi loko-regional ini dapat terjadi akibat
implementasi konfirmasi mikroskopik pada batas reseksi negatif dan penyebaran luas
dari terapi sistemik. Kontrol lokal tidak hanya merupakan sebatas fungsi dari beban
penyakit dan tingkat operasi, melainkan juga bervariasi dengan subtipe molekular
dari tumor dan administrasi terapi sistemik. Tingkat rekurensi lokal memiliki variasi
antar subtipe kanker payudara, baik pada pasien yang diberikan tatalaksana dengan
mastektomi ataupun BCT. Pemahaman ini menghilangkan alasan untuk
menatalaksana pasien dengan kanker yang agresif dengan mastektomi, dan pasien
dengan derajat I dan II secara BCT.(12)
BCT mencakup tindakan lumpektomi, dimana dilakukan eksisi tumor yang
diikuti dengan bantuan iradiasi payudara secara keseluruhan.(11,13) Untuk
melakukan BCT, eksisi tumor harus dilakukan hingga batas negatif dengan hasil
yang dapat diterima secara kosmetik, dan pasien harus dapat menerima radioterapi,
serta payudara harus sesuai untuk penindaklanjutan segera dalam mendeteksi
rekurensi lokal. Kontraindikasi dari tindakan BCT adalah ditemukannya kalsifikasi
yang timbul tersebar mencurigakan atau bersifat ganas, reseksi tidak dapat dilakukan
hingga batas negatif dengan hasil kosmetik yang memuaskan, serta adanya
kontraindikasi dari pemberian radiasi contohnya akibat penatalaksanaan sebelumnya
atau skleroderma aktif. Batas negatif didefinisikan sebagai tidak adanya tinta pada
tumor.(11,12,14) Batas jelas yang lebih lebar tidak meningkatkan kontrol lokal pada
kanker payudara invasif dan tidak dibutuhkan untuk BCT. Apabila batas negatif
dapat tercapai dengan hasil kosmetik yang dapat diterima, tindakan lumpektomi
dapat dilakukan terlepas dari ukuran tumor itu sendiri.(12)
Tindakan mastektomi terdiri atas beberapa pilihan: mastektomi total
(mastektomi sederhana), mastektomi hemat kulit (skin-sparing mastectomy), serta
mastektomi hemat puting areolar (nipple areolar-sparing mastectomy). Mastektomi
total mengangkat parenkim payudara, kompleks puting areolar dan kelebihan kulit
dari dinding dada, meninggalkan hanya sebagian kulit untuk menutup insisi.
Tindakan ini dipilih untuk pasien yang tidak akan menjalani rekonstruksi segera.
Mastektomi hemat kulit dikembangkan untuk menfasilitasi rekonstruksi segera dan
mengangkat parenkim payudara dan kompleks puting areolar, meninggalkan kulit
sebagai sampul alamiah untuk penempatan implan. Mastektomi hemat puting areolar
menjaga kompleks puting areolar dan sampul kulit. Awal mulanya mastektomi ini
digunakan untuk kondisi profilaksis, dan saat ini penggunaannya meningkat pada
pasien dengan karsinomina invasif. Prosedur ini hanya terbatas dapat dilakukan pada
pasien dengan tumor < 3 cm dan jarak setidaknya 1 cm dari puting, yang tidak
memiliki kalsifikasi ekstensif menyarankan komponen intraduktal ekstensif.(12)
2.2. Kemoterapi
Tindakan bedah reseksi pada kanker payudara primer umumnya diikuti oleh
terapi sistemik tambahan dengan tujuan untuk menghilangkan secara klinis dan
radiografis mikrometastasis tersembunyi yang dapat berkembang menjadi penyakit
metastasis jika dibiarkan tidak ditangani. Pilihan terapi sistemik tambahan dilakukan
berdasarkan stratifikasi risiko dari pasien. Dua faktor utama yang mempengaruhi
risiko antara lain beban penyakit seperti jumlah nodus limfatik dan ukuran dari tumor
primer, serta biologi dari penyakit yang ditentukan oleh status reseptor hormon (HR)
dan human epidermal growth factor/receptor tyrosine-protein kinase erbB-2
(HER2/ERBB2), serta pengujian genomik. Sementara pasien kanker dengan tiga
negatif dan HER2 positif secara umum dinilai berisiko tinggi, terdapat keberagaman
biologis besar diantara pasien kanker dengan HR positif, HER2 negatif.(12,15)
Pengujian genomik yang tersedia secara komersial antara lain Oncotype DC dan
Mammaprint, memeriksa gen terkait kanker pada DNA turunan sel tumor untuk
menentukan risiko rekurensi dan potensi keuntungan kemoterapi. Pemeriksaan
genom ini memberikan gambaran pasien mana yang harus diberikan kemoterapi.(12)
Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan obat anti kanker untuk
menatalaksana sel kanker. Kemoterapi umumnya diberikan dalam beberapa siklus;
terapi pada periode tertentu yang diikuti periode pemulihan, kemudian diikuti periode
terapi lain. Terapi ini dapat diberikan sebelum tindakan bedah untuk menyusutkan
tumor ataupun dalam beberapa kondisi dapat mencegah tindakan mastektomi dan
digantikan dengan operasi konservasi payudara. Kemoterapi kerap kali diberikan
pascaoperasi dan dapat diberikan setiap tiga minggu sekali atau setiap dua minggu
sekali dalam mode dosis padat.(13)
Pasien dengan risiko tinggi secara umum direkomendasikan untuk diberikan
tatalaksana sistemik. Terdapat beberapa pilihan standar kemoterapi, khususnya
mengandung antrasiklin dan taxane. Tatalaksana yang umum diberikan di Amerika
Serikat mencakup pemberian doxorubicin dan cyclophosphamide sebanyak 4 siklus
diikuti dengan paclitaxel sebanyak 4 siklus (AC-T). AC-T diberikan setiap dua
minggu dengan bantuan growth factor sesudah tiap siklus kemoterapi menunjukkan
hasil yang lebih baik dibandingkan sebelumnya yang diberikan setiap tiga minggu.
(12,16)
Pada kanker payudara mestastasis dengan HR+ dan HER2/ERBB2-,
penatalaksanaan awal harus berdasarkan terapi endokrin, dengan lini pertama
diberikan inhibitor aromatase (AI) dan inhibitor cyclin-dependent kinase (CDK) 4/6
seperti abemaciclib, palbociclib, or ribociclib, yang dapat diberikan lini pertama
ataupun kedua.(11,17) Pemberian inhibitor CDK 4/6 bertujuan untuk menghambat
progresi tumor melalui siklus sel, sedangkan AI bertujuan untuk menurnukan sintesis
estrogen.(11) Pasien dengan HR+ perlu diberikan terapi endokrin karena sel kanker
membutuhkan kadar estrogen yang tinggi untuk bertumbuh, sehingga dalam terapi
endokrin estrogen dihalangi untuk berikatan dengan reseptornya oleh antiestrogen
ataupun sintesisnya diturunkan oleh inhibitor aromatase.(18) Pilihan lainnya adalah
dengan pemberian fulvestrant, yang merupakan antagonis reseptor estrogen selektif.
(17,18) Pada lini kedua, pasien dengan kanker payudara subtipe ini dapat diberikan
fulvestrant yang dikombinasi dengan inhibitor CDK 4/6 atau evrolimus. Jika terjadi
resistensi terhadap pilihan terapi endokrin, pasien dapat diberikan tatalaksana
kemoterapi dengan satu agen.(11,17) Berbeda dengan sebelumnya, pasien kanker
payudara dengan HER2/ERBB2+ diberikan agen spesifik ERBB2 yang dikombinasi
dengan kemoterapi atau terapi endokrin, jika pasien tersebut juga ditemukan HR+.
(11,17) Agen spesifik ERBB2 merupakan terapi imunologi yang bertujuan untuk
berinteraksi dan menghalangi reseptor, seperti trastuzumab dan pertuzumab.(18)
Tatalaksana yang diberikan umumnya mencakup taxane, trastuzumab, dan
pertuzumab.(11) Taxane merupakan obat kemoterapi golongan antimitotik sebagai
agen penstabil mikrotubulus, mencegah pertumbuhan dan pemanjangan mikrotubulus
sehingga siklus sel berhenti dan memicu apoptosis.(18) Pilihan lainnya adalah
memberikan ado-trastuzumab emtansine, gabungan dari komponen trastuzumab
sebagai antibodi monoklonal dan komponen obat sitotoksik.(11,18)
Subtipe pasien kanker payudara dengan kategori tiga negatif (triple negative
breast cancer/TNBC) memerlukan satu agen (single-agent) kemoterapi. Kemoterapi
merupakan satu-satunya pilihan terapi bagi pasien tanpa mutasi BRCA1/2.(11,18)
Pemberian kemotrapi dilakukan hingga terjadi progresi ataupun resistensi.
Setelahnya, pasien perlu diberikan terapi sistemik dengan tujuan untuk paliatif,
mencegah progresivitas dari kanker payudara ini. Obat yang umum diberikan adalah
capecitabine, eribulin, vinorelbine, gemicitabine, olaparib atau talazoparib. (11,17)
Capecitabine dan gemicitabine merupakan inhibitor nukleosida kompetitif yang
mempengaruhi replikasi dan transkripsi DNA dan RNA, sedangkan vinorelbine dan
eribulin merupakan golongan antimitotik yang menginhibisi pertumbuhan
mikrotubulus, menyebabkan abnormalitas benang spindel sehingga terjadi penahanan
pada fase anafase atau metafase.(18) Pilihan obat lainnya yang dapat diberikan
mencakup taxane, platinum, dan antrasiklin.(11,17) Platinum merupakan obat yang
umum digunakan pada sebagian besar TNBC, bekerja dengan menciptakan efek
sitotoksik yang diciptakan melalui lesi DNA akibat pengikatannya dengan basa
guanin, mencegah terjadinya replikasi DNA.(18)
2.2.1. Teknik Sandwich

Teknik sandwich didefinisikan sebagai pemberian obat kemoterapi


sebelum dan sesudah dilakukan operasi, atau dikenal sebagai kombinasi antara
neoadjuvant chemotherapy dan adjuvant chemotherapy (NACT+ACT).(19,20)
Dalam sebuah riset yang membandingkan teknik sandwich dengan pemberian
kemoterapi pascaoperasi saja, hasil penindaklanjutan dalam empat tahun
menunjukkan angka relapse free survival pada kelompok dengan
penatalaksanaan teknik sandwich memiliki angka keberlangsungan bebas
kekambuhan lebih buruk dibandingkan dengan pemberian kemoterapi
pascaoperasi, dengan nilai keseluruhan bertahan hidup yang hampir sama.(21)
Terapi sandwich untuk radiasi dan kemoterapi memiliki potensi untuk
mengurangi durasi terapi dan memperbaiki kualitas hidup pasien. (22)
Penelitian Abu-Hamar dkk (23) menemukan bahwa pasien yang menerima
terapi sandwich memiliki risiko mortalitas yang lebih rendah dibandingkan
yang menerima radioterapi terlebih dahulu namun tidak lebih baik dari yang
menerima kemoterapi dahulu. Selain itu, tingkat metastasis pasien dengan
terapi sandwich juga lebih rendah dibanding kelompok penerima radioterapi.
(23)

2.2.2. Teknik Full Dose


Teknik full dose mencakup pemberian obat kemoterapi secara utuh atau
penuh sebelum dilakukan tindakan operasi.(19,20) Teknik full dose atau
dikenal sebagai total neoadjuvant chemotherapy (NACT) dinilai dapat
meningkatkan angka breast conserving surgery (n=3, RR= 1.11 [1.04-1.17]).
(20) Penelitian lain juga menunjukkan hasil yang serupa dimana teknik full
dose meningkatkan angka breast conserving surgery (n=5, RR=1.40 [1.08-
1.81]), namun disisi lain juga meningkatkan angka rekurensi loko-regional
(HR= 1.25 [1.05-1.50]).(19) Total NACT ditujukkan untuk tumor besar atau
yang menginvasi lingkungan sekitar dalam rangka menghindari perlunya
tindakan masektomi. Pasien dengan tumor yang mencapai pathological
complete response (pCR) dikatakan memiliki risiko rekurensi yang lebih
rendah dibandingkan yang hanya merespon parsial, namun pCR hanya diraih
pada sekitar 20-30% pasien dan sangat tergantung pada sifat biologis tumor.
Tumor yang merupakan kandidat yang baik untuk total NACT ini yaitu yang
HER2(+) dan triple negative karena memiliki kemungkinan lebih tinggi
mencapai pCR. (P = 0.02 dan P <0.01). (24) Penelitian Vaidya et al
menyatakan bahwa masih ada beberapa kontroversi dari pilihan terapi ini yaitu
apakah pCR dapat benar-benar memprediksi kemungkinan survival dan efek
dari total NACT serta karena efeknya yang mengecilkan ukuran tumor
menyebabkan tumor menjadi lebih sulit untuk dipalpasi sehingga tindakan
operasi menjadi lebih sulit, namun teknik ini masih perlu dipertimbangkan
dengan bantuan dari berbagai multidisiplin dan terutama ditujukkan untuk
kanker-kanker yang berukuran besar. (25)
LRR was higher in
preoperative group (HR = 1.25 (1.05–1.50)) but not
in the sandwich group
(HR = 1.16 (0.81–1.66)). BCS rate was also higher in
preoperative group
[RR =1.40 (1.08–1.81), n = 5], but not in sandwich
group [RR =1.06 (0.98–
1.15), n = 4].
LRR was higher in
preoperative group (HR = 1.25 (1.05–1.50)) but not
in the sandwich group
(HR = 1.16 (0.81–1.66)). BCS rate was also higher in
preoperative group
[RR =1.40 (1.08–1.81), n = 5], but not in sandwich
group [RR =1.06 (0.98–
1.15), n = 4].
LRR was higher in
preoperative group (HR = 1.25 (1.05–1.50)) but not
in the sandwich group
(HR = 1.16 (0.81–1.66)). BCS rate was also higher in
preoperative group
[RR =1.40 (1.08–1.81), n = 5], but not in sandwich
group [RR =1.06 (0.98–
1.15), n = 4]
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. Vol. 19. USA: McGrawHill; 2015.

2. New Global Cancer Data: GLOBOCAN 2018 | UICC [Internet]. [cited 2020 Jul 17].
Available from: https://www.uicc.org/news/new-global-cancer-data-globocan-2018

3. World Health Organization. Global Cancer Observatory [Internet]. [cited 2020 Jul 17].
Available from: https://gco.iarc.fr/

4. KPKN - KOMITE PENANGGULANGAN KANKER NASIONAL INDONESIA


[Internet]. [cited 2020 Jul 17]. Available from: http://kanker.kemkes.go.id/

5. F. Charles Brunicardi, Dana K Andersen, Timothy R. Billiar, David L Dunn, John G


Hunter, Lillian S Kao, et al. Schwartz’s Principles of Surgery. 11th ed. 2019.

6. Towsend C, Evers B, Beauchamp P, Mattox K. Sabiston Textbook of Surgery. 20th ed.


2017.

7. Mechanism of Carcinogenesis [Internet]. [cited 2020 Jul 17]. Available from:


https://www.env.go.jp/en/chemi/rhm/basic-info/1st/03-07-01.html

8. Wong E, Chaudhry S, Rossi M. Breast cancer. McMaster Pathophysiology Review;

9. Feng Y, Spezia M, Huang S, Yuan C, Zeng Z, Zhang L, et al. Breast cancer development
and progression: Risk factors, cancer stem cells, signaling pathways, genomics, and
molecular pathogenesis. Genes & Diseases. 2018 Jun;5(2):77.

10. Kalli S, Semine A, Cohen S, Naber SP, Makim SS, Bahl M. American Joint Committee
on Cancer’s Staging System for Breast Cancer, Eighth Edition: What the Radiologist
Needs to Know. RadioGraphics. 2018 Sep 28;38(7):1921–33.

11. Waks AG, Winer EP. Breast Cancer Treatment: A Review. JAMA. 2019 Jan
22;321(3):288–300.

12. Moo T-A, Sanford R, Dang C, Morrow M. Overview of Breast Cancer Therapy. PET
Clin. 2018 Jul;13(3):339–54.

13. Sharma GN, Dave R, Sanadya J, Sharma P, Sharma KK. Various types and management
of breast cancer: an overview. J Adv Pharm Technol Res. 2010 Apr;1(2):109–26.

14. Moran MS, Schnitt SJ, Giuliano AE, Harris JR, Khan SA, Horton J, et al. Society of
Surgical Oncology-American Society for Radiation Oncology consensus guideline on
margins for breast-conserving surgery with whole-breast irradiation in stages I and II
invasive breast cancer. J Clin Oncol. 2014 May 10;32(14):1507–15.
15. Early Breast Cancer Trialists’ Collaborative Group (EBCTCG). Effects of chemotherapy
and hormonal therapy for early breast cancer on recurrence and 15-year survival: an
overview of the randomised trials. Lancet. 2005 May 14;365(9472):1687–717.

16. Citron ML, Berry DA, Cirrincione C, Hudis C, Winer EP, Gradishar WJ, et al.
Randomized trial of dose-dense versus conventionally scheduled and sequential versus
concurrent combination chemotherapy as postoperative adjuvant treatment of node-
positive primary breast cancer: first report of Intergroup Trial C9741/Cancer and
Leukemia Group B Trial 9741. J Clin Oncol. 2003 Apr 15;21(8):1431–9.

17. Gradishar WJ, Anderson BO, Abraham J, Aft R, Agnese D, Allison KH, et al. Breast
Cancer, Version 3.2020, NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology. Journal of the
National Comprehensive Cancer Network J Natl Compr Canc Netw [Internet].
2020;18(4). Available from: https://jnccn.org/view/journals/jnccn/18/4/article-p452.xml

18. Abotaleb M, Kubatka P, Caprnda M, Varghese E, Zolakova B, Zubor P, et al.


Chemotherapeutic agents for the treatment of metastatic breast cancer: An update.
Biomedicine & Pharmacotherapy. 2018 May 1;101:458–77.

19. Pathak M, Deo SVS, Dwivedi S, Vishnubhatla S, Thakur B. Total preoperative NACT vs
sandwich NACT in breast cancer patients: systematic review and meta-analysis.
European Journal of Cancer. 2017 Feb 1;72:S43.

20. Pathak M, Deo S, Dwivedi S, Vishnubhatla S, Thakur B, Julka P, et al. Role of


Neoadjuvant Chemotherapy in Breast Cancer Patients: Systematic Review and Meta-
analysis. Indian journal of medical and paediatric oncology. 2019 Apr 16;40:48–60.

21. Mano MS, Awada A. Primary chemotherapy for breast cancer: the evidence and the
future. Annals of Oncology. 2004 Aug 1;15(8):1161–71.

22. Fernando I. SABCS: “Sandwich” Therapy Touted for Early Breast Cancer. University of
Birmingham; 2011.

23. Abu-Hamar AE-HM, Barakat AF, Elgantiry M, Nasef HH. Sequence of radiation therapy
and chemotherapy as adjuvant treatment in breast cancer. J Egypt Natl Canc Inst. 2010
Mar;22(1):95–104.

24. Selli C, Sims AH. Neoadjuvant Therapy for Breast Cancer as a Model for Translational
Research. Breast Cancer (Auckl) [Internet]. 2019 Feb 19 [cited 2020 Jul 18];13.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6381436/

25. Shakya-Vaidya S, Aryal UR, Upadhyay M, Krettek A. Do non-communicable diseases


such as hypertension and diabetes associate with primary open-angle glaucoma? Insights
from a case-control study in Nepal. Global Health Action [Internet]. 2013 [cited 2017 Jan
10];6. Available from:
http://search.proquest.com/docview/1629445951/abstract/86F14E33429E46FEPQ/2

Anda mungkin juga menyukai