Anda di halaman 1dari 32

KAJIAN ILMIAH IDEOLOGI PANCASILA

DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG HALUAN


IDEOLOGI PANCASILA (RUU HIP)

(PERSPEKTIF KAJIAN KRITIS)

Oleh : Prof Dr. H. Kaelan, MS.

Dewasa ini perhatian masyarakat terhadap ideologi Pancasila cukup


tinggi, terutama setelah munculnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU
HIP). Namun demikian terdapat satu hal yang menarik untuk dikaji secara
ilmiah, yaitu essensi dan hakikat kedudukan ideologi Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai rumusan ideologi Pancasila
yang berkembang dewasa ini di satu sisi menunjukkan kedinamisan
Pancasila, namun pada sisi lain memunculkan berbagai persoalan di
kalangan rakyat, bahkan kulminasinya meretakkan persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Bahkan akhir-akhir ini tatkala munculnya RUU Haluan
Ideologi Pancasila (RUU HIP), muncul pandangan sekelompok rakyat yang
dengan tegas-tegas menolak RUU HIP tersebut, namun sebagian lagi
mendukungnya dan mendesak untuk segera disahkan, serta sebagian
masyarakat lagi minta pada DPR untuk direvisi. Berdasarkan kajian ilmiah
hal ini berangkat dari pemahan terhadap Pancasila yang tidak objektif dan
tidak ilmiah.
Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP)
yang telah disusun DPR dewasa ini mendapat tanggapan luas di kalangan
rakyat Indonesia. Berbagai ormas seperti Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, bahkan Majelis Ulama Indonesia juga memberikan
tanggapan bahkan menolak RUU HIP tersebut. Hal ini pada awalnya
ditolaknya usulan rakyat untuk mencantumkan Tap No. XXV/MPR/1966
tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam konsideran
RUU tersebut. Akibatnya menyulut emosi rakyat, bahkan MUI
mengeluarkan maklumat, yang intinya bahwa RUU HIP mendistorsi
Pancasila. Menurut MUI terdapat indikasi bahwa RUU HIP ingin

1
membangkitkan kembali PKI di negara Indonesia. Bahkan jikalau dikaji
pada Naskah Akademik terdapat fakta bahwa RUU HIP ingin mengganti
nilai-nilai Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, diganti dengan konsep Pancasila
sebagaimana dipidatokan oleh Soekarno. Dalam hubungan ini Soekarno
antara lain intinya bahwa Pancasila dapat diperas menjadi Tri Sila, Eka Sila
yang intinya gotong-royong. Hal ini menunjukkan hilangnya essensi dan
supremasi Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu problema yang substansial adalah kesalahan kesalahan
dalam meletakkan Ideologi dalam suatu Undang-undang. Hal ini
mengandung category mistake yaitu meletakkan suatu substansi yang tidak
konsisten dengan sistem. Suatu ideologi bangsa dan negara adalah
merupakan suatu derivasi dari dasar filsafat negara, sedangkan Undang-
undang pada hakikatnya bersumber pada suatu dasar filsafat negara dan
Ideologi Negara. Berdasarkan hal tersebut maka RUU HIP pada hakikatnya
inkonsisten dalam tertib hukum Indonesia. Secara ilmiah bahwa ideologi
bersumber pada dasar filsafat negara yaitu sila-sila Pancasila, dan sila-sila
itu pada hakikatnya adalah merupakan suatu nilai. Konsekuensinya agar
dasar filsafat negara itu dapat dijabarkan dalam berbagai aspek kenegaraan
termasuk dalam hukum, maka diderivasikan pada ideologi karena dalam
ideologi selain terkandung nilai, juga terkandung asas serta pada gilirannya
dijabarkan pada norma-norma, baik norma moral maupun norma hukum.

Pengertian Ideologi

Istilah ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti ‘gagasan, konsep,
pengertian dasar, cita-cita’ dan ‘logos’ yang berarti ‘ilmu’. Kata ‘idea’
berasal dari kata bahasa Yunani ‘eidos’ yang artinya ‘bentuk’. Di samping
itu ada kata ‘idein’ yang artinya ‘melihat’. Maka secara harfiah, ideologi
berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide (the science of ideas), atau ajaran
tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari, ‘idea’
disamakan artinya dengan ‘cita-cita’. Cita-cita yang dimaksud adalah cita-
cita yang bersifat tetap, yang harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat
tetap itu sekaligus merupakan dasar, pandangan atau faham. Memang pada

2
hakikatnya antara dasar dan cita-cita itu sebenarnya dapat merupakan satu
kesatuan. Dasar ditetapkan karena ada cita-cita yang mau dicapai.
Sebaliknya, cita-cita ditetapkan berdasarkan atas suatu landasan, asas atau
dasar yang telah ditetapkan pula. Dengan demikian ideologi mencakup
pengertian tentang idea-idea, pengertian dasar, gagasan-gagasan dan cita-
cita.
Apabila ditelusuri secara istilah ide pertama kali di pakai dan
dikemukakan oleh seorang Perancis, Destutt de Tracy, pada tahun 1796.
Seperti halnya Leibnitz, de Tracy mempunyai cita-cita untuk memba-ngun
suatu sistem pengetahuan. Apabila Leibnitz menyebutkan impian-
impiannya sebagai ‘one great system of truth’, dimana tergabung
7 segala
cabang ilmu dan segala kebenaran ilmu, maka de Tracy menyebutkan
‘ideologie’, yaitu ‘science of ideas’, suatu program yang diharapkan dapat
membawa perubahan institusional dalam masyarakat Perancis. Namun
Napoleon mencemoohkannya sebagai suatu khayalan belaka, yang tidak
mempunyai arti praktis. Hal semacam itu hanya impian belaka yang tidak
akan menemukan kenyataan (Pranarka, 1985).
Perhatian kepada konsep ideologi menjadi berkembang lagi antara
lain karena pengaruh Karl Marx. Ideologi menjadi vokabular penting di
dalam pemikiran politik maupun ekonomi Karl Marx mengartikan ideologi
sebagai pandangan hidup yang dikembangkan ber-dasarkan kepentingan
golongan atau kelas sosial tertentu dalam bi-dang politik atau sosial
ekonomi. Dalam arti ini, ideologi menjadi bagian dari apa yang disebutnya
Uberbau atau suprastruktur (bangunan atas) yang didirikan di atas
kekuatan-kekuatan yang memiliki faktor-faktor produksi yang menentukan
coraknya dan karena itu mencerminkan suatu pola ekonomi tertentu. Oleh
karena itu kadar kebenarannya relatif, dan semata-mata hanya untuk
golongan tertentu.
Dengan demikian maka ideologi lalu merupakan keseluruhan ide yang
relatif, karena itu mencerminkan kekuatan lapisan tertentu. Dalam
hubungan ini Marx menegaskan bahwa ideologi hanyalah merupakan suatu
kesadaran palsu mengenai kenyataan-kenyataan sosial-ekonomi serta
merupakan suatu angan-angan kolektif yang diperbuat dan ditanggung
bersama oleh kelas sosial tertentu. Melalui ideologi itulah proses real dalam
3
kehidupan masyarakat menjadi kabur. Dalam pandangan Marx tentang
ideologi itu, suatu realitas merupakan alternatif terhadap ideologi atau
dengan perkataan lain ideologi terletak dalam oposisinya terhadap realitas
(Ricour, 1986)(Sutrisno, 2005).
Bertolak belakang dengan pandangan Marx kalangan liberalis
berpandangan bahwa ideologi adalah merupakan suatu hasil pemikiran
seseorang atau sekelompok orang yang diyakini kebenarannya dan
direalisasikan dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara menurut liberalisme adalah merupakan suatu proses alamiah
yang berdasarkan pada suatu kebebasan individu. Hal ini berkembang dari
hasil pemikiran Cicero tentang Civil Society, Thomas Hobbes tentang
‘Homo Homini Lupus’, John Locke, David Hume dan Laski. Jadi ideologi
dalam hubungan dengan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan dalam hubungan ini muncul dan berkembang dari ide-ide
pemikiran para filsuf tentang hakikat kebebasan individu.
Seperti halnya filsafat, ideologi pun memiliki pengertian yang
berbeda-beda. Begitu pula dapat ditemukan berbagai macam definisi,
batasan pengertian tentang ideologi. Hal ini antara lain disebabkan juga
tergantung dari filsafat apa yang dianut, karena sesungguhnya ideologi itu
bersumber kepada suatu filsafat.
Pengertian “Ideologi” secara umum dapat dikatakan sebagai
kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-
kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut dan
mengatur tingkah laku sekelompok manusia tertentu dalam pelbagai bidang
kehidupan. Hal ini menyangkut: Bidang politik (termasuk di dalamnya
bidang pertahanan dan kemanan), bidang sosial, bidang ke-budayaan,
bidang keagamaan (Soemargono: hal 8). Masalah ideologi Negara dalam
arti cita-cita Negara atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau
sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan Bangsa yang bersangkutan pada
hakikatnya merupakan asas kerokhanian yang antara lain memiliki ciri
sebagai berikut :
a. Mempunyai derajad yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan
dan kenegaraan.

4
b. Oleh karena itu mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan
dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang
dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan kepada generasi
berikutnya, diperjuangkan dan diperta-hankan dengan kesediaan
berkorban (Notonagoro, tanpa tahun : 2, 3).
Berdasarkan diskripsi di atas dapat dipahami bahwa ideologi
memiliki unsur yang paling substansial yaitu suatu ide-ide, gagasan-gagasan
serta cita-cita yang merupakan basis dalam segala realisasi dalam
kehidupannya baik pada taraf normatif maupun taraf operasional. Oleh
karena itu ideologi sebagai suatu sistem selain memiliki unsur nilai yang
sifatnya kognitif, namun juga memiliki unsur norma dan juga operasional
(praksis). Lebih jauh Alisyahbana (Bachtiar, 1976) menyatakan bahwa
ideologi memiliki unsur nilai yang berdasarkan pada suatu Weltanchauung.
Demikian juga Sergent mendiskripsikan bahwa ideologi sebagai suatu
sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh
sekelompok masyarakat atau bangsa tertentu. Pandangan tentang unsur
normatif dalam suatu ideologi juga dikemukan oleh Van Peursen (1985)
(Sutrisno, 2006: 27), bahwa ideologi adalah merupakan suatu perangkat ide
yang bersifat mengarahkan, yaitu mengarahkan pandangan hidup, perilaku
serta sikap manusia sebagai pendukung ideologi tersebut dalam mewujutkan
tujuannya.
Perspektif lain Ideologi adalah suatu perangkat prinsip pengarahan
(guiding principles) yang dijadikan dasar serta memberikan arah dan tujuan
untuk dicapai dalam melangsungkan dan mengembangkan hidup dan
kehidupan nasional suatu bangsa dan negara. Ideologi memiliki sifat
futuristik, artinya mampu memberikan suatu gambaran masa depan yang
ideal. Dengan lain perkataan ideologi merupakan suatu konsep yang
mendalam mengenai kehidupan yang dicita-citakan serta yang ingin
diperjuangkan dalam suatu kehidupan yang nyata.
Selain itu fungsi dasar ideologi juga membentuk identitas suatu
kelompok atau bangsa. Ideologi memiliki kecenderungan untuk
menentukan karakteristik kelompok manusia. Dengan demikian dalam
kehidupan bernegara ideologi menentukan kepribadian nasional, sehingga
mampu mempersatukan aspirasi atau cita-cita suatu kehidupan yang
5
diyakini sebagai terbaik, serta mempersatukan perjuangan untuk
mewujudkan cita-cita tersebut. Dalam realitas kehidupan manusia dalam
kenyataannya sangat kompleks, oleh karena itu ideologi dijabarkan dari
suatu sistem nilai (value system). Lazimnya pengembangan ideologi dimulai
atau timbul dari pemikiran yang bersifat perenungan dengan berpangkal
kepada pandangan hidup dan pandangan dunia atau populer sebagai suatu
sistem filsafat tertentu.
Ideologi berbeda dengan filsafat karena filsafat adalah rangkaian
pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematis tentang realitas segala
sesuatu, kenyataan-kenyataan hidup, termasuk kenyataan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu filsafat adalah
bebas dan tidak normatif, artinya bergerak menurut hukum-hukum logika
dan ilmiah. Dalam filsafat terungkap pemikiran-pemikiran refleksif yang
harus ditanggapi bukan dengan sikap dogmatis, melainkan dengan sikap
yang kritis rasional. Dengan demikian filsafat selalu terbuka terhadap
kritikan dan tidak bersifat eksklusif. Namun demikian banyak ideologi yang
dikembangkan berdasarkan pada suatu pemikiran filsafat, sehingga lebih
eksplisit, normatif dan merupakan arahan bagi tingkah laku manusia dalam
kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Selain itu ideologi berbeda dengan agama, karena agama adalah
bersumber dari wahyu Tuhan, kebenarannya bersifat mutlak yang
merupakan pedoman bagi kehidupan manusia demi kesejahteraan dan
keselamatan kehidupan di akherat. Oleh karena itu agama bebas dari kritik
dan justifikasi ilmiah dan rasional, sedangkan ideologi syarat dengan kritik
dan bersifat rasional. Namun demikian terdapat sejumlah ideologi yang
mendasarkan pada nilai-nilai agama. Pada taraf ini nilai-nilai agama yang
seharusnya suci dan universal, diturunkan pada taraf kehidupan politik,
sehingga terjadi suatu kontradiksi epistemologis. Di satu pihak agama
bersifat dogmatis, suci dan mutlak, semen-tara dalam kehidupan ideologi
politik bersifat relatif dan syarat dengan kritik. Bahkan banyak nilai-nilai
agama yang seharusnya suci dan luhur diturunkan dalam suatu ideologi
yang sifatnya pragmatis, sehingga sering menjadi ideologi yang bersifat
radikal.

6
Berdasarkan uraian di atas dapat kita tangkap suatu pengertian bahwa
suatu ideologi pada hakikatnya tidak hanya menyangkut domein ide-ide
belaka, melainkan juga menyangkut domein normatif bahkan juga
operasional. Bahkan suatu ideologi bukan hanya merupakan suatu
perangkat ide-ide serta gagasan-gagasan, melainkan juga norma-norma
serta realisasi praksis yang bersumber pada suatu way of live, suatu
Weltanchauung pada suatu masyarakat, atau bangsa tertentu.

Hakikat dan Fungsi Ideologi

Sebagaimana dipahami bahwa ideologi dapat dirumuskan sebagai


kompleks pengetahuan, keyakinan, cita-cita dan nilai, yang secara
keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang (atau masyarakat) untuk
memahami realitas dunia serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya.
Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya itu seseorang meyakini apa yang
dilihat benar dan tidak benar, serta apa yang dinilai baik dan tidak baik.
Demikian pula ia akan menjalankan kegiatan-kegiatan sebagai perwujudan
keseluruhan pengetahuan dan nilai yang dimilikinya. Dengan demikian
akan terciptalah baginya suatu dunia kehidupan masyarakat dengan sistem
dan struktur sosial yang sesuai dengan orientasi ideologisnya. Namun
demikian ini tidak berarti bahwa dunia kehidupan masyarakat semata-mata
merupakan manifestasi ideologi, sebagaimana dapat dikemukakan menurut
alam pikiran Hegel. Karena ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri
lepas dari kenyataan hidup masyarakat. Ideologi adalah produk kebudayaan
suatu masyarakat dan karena itu dalam arti tertentu merupakan manifestasi
kenyataan sosial juga.
Pada hakikatnya ideologi tidak lain adalah hasil refleksi manusia
berkat kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya.
Antara keduanya, yaitu ideologi dan kenyataan hidup masyarakat terjadi
hubungan dialektis, sehingga berlangsung pengaruh timbal balik yang
terwujud dalam interaksi yang di satu pihak memacu ideologi makin
realistis dan di lain pihak mendorong masyarakat makin mendekati bentuk
yang ideal. Ideologi mencerminkan cara berfikir masyarakat, namun juga
membentuk masyarakat menuju cita-cita. Dengan demikian terlihatlah

7
bahwa ideologi bukanlah sekedar pengetahuan teoritis belaka, melainkan
merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan.
Ideologi adalah satu pilihan yang jelas membawa komitmen untuk
mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang akan
berarti semakin tinggi pula rasa komitmennya untuk me-laksanakannya.
Komitmen itu tercermin dalam sikap seseorang yang meyakini ideologinya
sebagai ketentuan-ketentuan normatif yang harus ditaati dalam hidup
bermasyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapatlah dikemukakan bahwa
ideologi mempunyai beberapa fungsi, yaitu memberikan:

1. Struktur kognitif, ialah keseluruhan pengetahuan yang dapat


merupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan
kejadian-kejadian dalam alam dan lingkungan sekitarnya.
2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna
serta menunjukkan tujuan dalam kahidupan manusia.
3. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang
untuk melangkah dan bertindak.
4. Arah dan jalán bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong Seseo-rang
untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami,
menghayati serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan
orientasi dan norma-norma yang terkandung di dalamnya
(Poespowardoyo, 1992).

Jikalau kita kembalikan pada pokok bahasan tentang RUU HIP lalu
kita dapat menarik suatu kesimpulan sementara bahwa apakah RUU HIP
relevan untuk disebut sebagai suatu kategori Ideologi? Kongklusi ilmiah
akan mengatakan bahwa hal itu bukanlah merupakan suatu ideologi,
melainkan program-program dalam rangkan merealisasikan suatu ideologi.
Selain itu suatu kerancuan kategori, mestinya berdasarkan kaidah ilmiah
jikalau suatu topik utama telah disebutkan atau ditentukan mestinya,
turunannya atau penjabarannya seharusnya tidak perlu disebutkan lagi apa
lagi berulang-ulang, sehingga nampak bahwa ideologi itu merupakan suatu
operasionalisasi dari suatu program.

8
PROSES PERUMUSAN IDEOLOGI PANCASILA

Suatu bangsa dalam mewujudkan cita-cita kehidupannya dalam


suatu negara modern, secara objektif memiliki karakteristik sendiri-sendiri,
dan melalui suatu proses serta perkembangan sesuai dengan latar belakang
sejarah, realitas sosial, budaya, etnis, kehidupan keagamaan, dan konstelasi
geografis yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Latar belakang kehidupan
sosial-politik di Eropa terutama di Inggris dikuasai oleh kerajaan, maka awal
perkembangan negara modern yang demokratis dimulai tatkala pergolakan
politik yang dahsyat yang disebut sebagai the Glorious Revolution yang
dimenangkan oleh rakyat (Asshiddiqie, 2006: 86). Perkembangan
selanjutnya di Inggris perjuangan untuk terwujudnya negara modern sangat
dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Inggris John Locke tentang paham
kebebasan individu yang berpendapat bahwa manusia tidaklah secara
absolut menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Hak-hak yang
diserahkan kepada penguasa adalah hak yang berkaitan dengan perjanjian
tentang negara, adapun hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing
individu.
Di Amerika Serikat tercapainya kesepakatan negara demokratis
diwarnai oleh perang sipil dan mencapai kulminasinya melalui konsensus
dalam deklarasi Amerika Serikat tertanggal 4 Juli 1776. Perjuangan untuk
terwujudnya negara modern yang demokratis di Perancis dimulai sejak
Rousseau, dan perjuangan itu memuncak dalam revolusi Perancis pada
tahun 1789. Demikian pula di Rusia pada tahun 1917 terjadi revolusi yang
kemudian terbentuklah negara komunis (Andrews, 1968).
Berbeda dengan latar belakang sejarah perkembangan negara modern
di Inggris, Amerika, Perancis dan Rusia, Negara Indonesia perjuangan
untuk terwujudnya negara modern diwarnai dengan penjajahan bangsa asing
selama 3,5 abad serta akar budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
sendiri. Kemudian dalam mendirikan negara bangsa Indonesia menggali
nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu, yang merupakan local wisdom
bangsa Indonesia sendiri, sebagai unsur materi Pancasila. Nilai-nilai

9
tersebut diolah dan dikembangkan serta disintesiskan dengan paham besar
di dunia dan disahkan menjadi dasar filsafat negara.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara republik Indonesia sebelum
disahkan pada tanggal 18 agustus 1945 oleh PPKI, nilai-nilainya telah ada
pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum bangsa Indonesia
mendirikan negara, yang berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan serta
nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut telah ada dan melekat serta
teramalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup, sehingga
matari Pancasila yang berupa nilai-nilai tersebut tidak lain adalah dari
bangsa Indonesia sendiri, sehingga bangsa Indonesia sebagai kausa
materialis Pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan
dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai
dasar filsafat Negara Indonesia. Proses perumusan materi Pancasila secara
formal tersebut dilakukan dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, sidang
‘panitia 9’, sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan secara yuridis
sebagai suatu dasar filsafat negara republik Indonesia.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka untuk memahami Pancasila
secara lengkap, utuh dan ilmiah terutama dalam kaitannya dengan jati diri
bangsa Indonesia, mutlak diperlukan pemahaman sejarah perjuangan
bangsa Indonesia untuk membentuk suatu negara yang berdasarkan suatu
asas hidup bersama demi kesejahteraan hidup bersama, yaitu negara yang
berdasarkan pancasila. Selain itu secara epistemologis sekaligus sebagai
pertanggung jawaban ilmiah, bahwa Pancasila selain sebagai dasar negara
Indonesia juga sebagai pandangan hidup bangsa, jiwa dan kepribadian
bangsa serta sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia pada waktu
mendirikan negara.
Nilai-nilai essensial yang terkandung dalam Pancasila yaitu:
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan, dalam
kenyataan secara objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman
dahulu kala sebelum mendirikan negara. Proses terbentuknya negara dan
bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu
sejak zaman batu kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke IV,
ke V kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak pada
abad ke VII, yaitu ketika timbulnya kerajaan Sriwijaya di bawah wangsa
10
Syailendra di Palembang, kemudian kerajaan Airlangga dan Majapahit di
Jawa Timur serta kerajaan-kerajaan lainnya.
Dasar-dasar pembentukan nasionalisme modern dirintis oleh para
pejuang kemerdakaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oleh para
tokoh pejuang kebangkitan nasional pada tahun 1908, kemudian dicetuskan
pada sumpah pemuda pada tahun 1928. Akhirnya titik kulminasi sejarah
perjuangan bangsa Indonesia dalam mendirikan negara tercapai dengan
diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945.
Berdasarkan fakta sejarah bangsa Indonesia, maka proses perumusan dasar
filsafat negara, secara kreatif diangkat dari kausa materialis yang ada pada
bangsa Indonesia sendiri yang secara eklektis disintesiskan dengan unsur-
unsur dari luar yang relevan. Oleh karena itu rumusan Pancasila dalam
proses perkembangan kenegaraan Indonesia dapat dipahami sebagai
berikut.

1. Piagam Jakarta (22 Juni 1945)

Pada tanggal 22 Juni 1945 sembilan tokoh nasional yang juga tokoh
Dokuritu Zyunbi Tioosakay mengadakan pertemuan untuk membahas
pidato serta usul-usul mengenai dasar negara yang telah dikemukakan
dalam sidang Badan Penyelidik. Sembilan tokoh tersebut dikenal dengan
“Panitia Sembilan”, yang setelah mengadakan sidang berhasil menyusun
sebuah naskah piagam yang dikenal “Piagam Jakarta” yang di dalamnya
memuat Pancasila, se-bagai buah hasil pertama kali disepakati oleh sidang.
Adapun rumusan Pancasila sebagaimana termuat dalam Piagam
Jakarta adalah sebagai berikut :

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi


pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3 Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
11
2. Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945

Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan


negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlangkapan
negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang.
Dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan
UUD Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun
UUD 1945 tersebut terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan
pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 ayat pasal 1, Aturan Peralihan yang
terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat.
Dalam bagian Pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea
tersebut tercantum rumusan Pancasila Pada alinea keempat sebagai berikut

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Karakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per-
musyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD


1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar Negara
Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat
Indonesia. Namun dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dalam upaya
bangsa Indonesia mempertahankan Proklamasi dan eksistensi negara dan
bangsa Indonesia maka terdapat pula rumusan-rumusan Pancasila sebagai
berikut:

3. Dalam Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat)

Dalam konstitusi RIS yang berlaku tanggal 29 Desember 1949


12
sampai dengan 17 Agustus 1950, tercantum rumusan Pancasila sebagai
berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan sosial

4. Dalam UUDS (Undang-undang Dasar Sementara 1950).

Dalam UUDS 1950 yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950


sampai tanggal 5 Juli 1959, terdapat pula rumusan pancasila seperti rumusan
yang tercantum dalam Konstitusi RIS, sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan social

5. Rumusan Pancasila di Kalangan Masyarakat. Selain itu terdapat juga


rumusan Pancasila dasar negara yang beredar di kalangan masyarakat luas,
bahkan rumusannya sangat beranekaragam antara lain terdapat rumusan
sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kedaulatan Rakyat
5. Keadilan sosial
Dari bermacam-macam rumusan pancasila tersebut di atas yang sah
dan benar secara konstitusional adalah rumusan Pancasila sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan
ketetapan NO. XX/MPRS/1996, dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968
yang menegaskan bahwa pengucapan, penulisan dan rumusan Pancasila
Dasar Negara Republik Indonesia yang sah dan benar adalah sebagaimana
13
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Pemahaman Pancasila secara Ilmiah

Untuk mengetahui lingkup pembahasan Pancasila serta kompetensi


pengetahuan dalam membahas Pancasila secara ilmiah, maka perlu
diketahui tingkatan pengetahuan ilmiah sebagaimana halnya pada
pengkajian pengetahuan-pengetahuan lainnya. Tingkatan pengetahuan
ilmiah dalam masalah ini bukan berarti tingkatan dalam hal kebenarannya
namun lebih menekankan pada karakteristik pengetahuan masing-masing.
Tingkatan pengetahuan ilmiah tersebut, sangat ditentukan oleh macam
pertanyaan ilmiah sebagai berikut ini.

Pengetahuan deskriptif ----------- suatu pertanyaan ‘bagaimana’


Pengetahuan kausal ----------- suatu pertanyaan ‘mengapa’
Pengetahuan normatif ------------ suatu pertanyaan ‘ ke mana’
Pengetahuan essensial ------------ suatu pertanyaan ‘apa’

1. Pengetahuan Deskriptif. Dengan menjawab suatu pertanyaan ilmiah


‘bagaimana’, maka akan diperolah suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat
deskriptif. Pengetahuan macam ini adalah suatu jenis pengetahuan yang
memberikan suatu keterangan, penjelasan secara objektif, tanpa adanya
unsur subjektivitas. Dalam mengkaji Pancasila secara objektif, kita harus
menerangkan menjelaskan serta menguraikan Pancasila secara objektif
sesuai dengan kenyataan pancasila itu sendiri sebagai hasil budaya bangsa
Indonesia. Kajian Pancasila secara deskriptif ini antara lain berkaitan
dengan kajian sejarah perumusan Pancasila, nilai-nilai Pancasila serta kajian
tentang kedudukan dan fungsi Pancasila, misalnya Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa, Pancasila sebagai kepribadian bangsa, Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia, Pancasila sebagai ideologi bangsa
dan negara Indonesia dan lain sebagainya..

2. Pengetahuan Kausal. Dalam suatu ilmu pengetahuan upaya untuk


membe-
rikan suatu jawaban dari pertanyaan ilmiah ‘mengapa’, maka akan diperoleh
suatu jenis pengetahuan ‘kausal’, yaitu suatu pengetahuan yang
9 14
memberikan jawaban tentang sebab dan akibat. Dalam kaitannya dengan
kajian tentang Pancasila maka tingkatan pengetahuan sebab-akibat
berkaitan dengan kajian proses kausalitas terjadinya Pancasila yang meliputi
empat kausa yaitu : kausa materialis, kausa formalis, kausa effisien dan
kausa finalis. Selain itu juga berkaitan dengan Pancasila sebagai sumber
nilai. yaitu Pancasila sebagai sumber segala norma dalam negara, sehingga
konsekuensinya dalam segala realisasi dan penjabarannya senantiasa
berkaitan dengan hukum kausalitas.

3. Pengetahuan Normatif. Tingkatan pengetahuan ‘normatif’ adalah


sebagai hasil dari pertanyaan ilmiah ‘ke mana’. Pengetahuan normatif
senantiasa berkaitan dengan suatu ukuran, parameter, serta norma-norma.
Dalam membahas Pancasila tidak cukup hanya berupa hasil deskripsi atau
hasil kausalitas belaka, melainkan perlu untuk dikaji norma-normanya,
karena Pancasila itu untuk diamalkan, direalisasikan serta
dikongkritisasikan. Untuk itu harus memiliki norma-norma yang jelas,
terutama dalam kaitannya dengan norma hukum, kenegaraan serta norma-
norma moral.
Dengan kajian normatif ini maka kita dapat membedakan secara
normatif realisasi atau pengamalan Pancasila yang seharusnya dilakukan
atau ‘das sollen’ dari Pancasila. dan realisasi Pancasila dalam kenyataan
faktualnya atau ‘das sein’ dari Pancasila yang senantiasa berkaitan dengan
dinamika kehidupan serta perkembangan zaman.

4. Pengetahuan Essensial. Dalam ilmu pengetahuan upaya untuk memberi-


kan suatu jawaban atas pertanyaan ilmiah ‘apa’. maka akan diperoleh suatu
tingkatan pengetahuan yang ‘esensial’. Pengetahuan essensial adalah
tingkatan pengetahuan untuk menjawab suatu pertain aan yang terdalam
yaitu suatu pertanyaan tentang hakikat segala sesuatu dan hal ini dikaji
dalam bidang ilmu filsafat. Oleh karena itu kajian Pancasila secara esensial
pada hakikatnya untuk mendapatkan suatu pengetahuan tentang inti sari
atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila, atau secara ilmiah
filosofis untuk mengkaji hakikat sila-sila Pancasila.

15
Hubungan Kausalitas Berbagai Rumusan Pancasila
Dalam memahami Pancasila dalam proses sejarah negara
kebangsaan Indonesia, muncul berbagai pertanyaan Pancasila yang mana
yang merupakan dasar Negara Republik Indonesia. Pemahaman serta
pertanyaan yang demikian ini akan membawa kesesatan pengetahuan kita
tentang Pancasila, karena sejumlah perumusan dalam proses sejarah
ketatanegaraan Indonesia itu adalah muncul dalam suatu proses sejarah yang
cukup panjang. Dalam pengertian inilah maka relevan untuk kita terapkan
sistem serta proses pengetahuan kausalitas.
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa dalam suatu ilmu
pengetahuan upaya untuk memberikan suatu jawaban dari pertanyaan
ilmiah ‘mengapa’, maka akan diperoleh suatu jenis pengetahuan ‘kausal’,
9
yaitu suatu pengetahuan yang memberikan jawaban tentang sebab dan
akibat. Dalam kaitannya dengan kajian ilmiah tentang Pancasila maka
tingkatan pengetahuan sebab-akibat berkaitan dengan kajian proses
kausalitas terjadinya Pancasila yang meliputi empat kausa yaitu : kausa
materialis, kausa formalis, kausa effisien dan kausa finalis. Selain itu juga
berkaitan dengan Pancasila sebagai sumber nilai, yaitu Pancasila sebagai
sumber norma hukum dan moral dalam negara, sehingga konsekuensinya
dalam segala realisasi dan penjabarannya senantiasa berkaitan dengan
hukum kausalitas.
Berdasarkan proses kausalitas tersebut bahwa nilai-nilai sila-sila
Pancasila adalah berakar pada bangsa sendiri, berupa nilai-nilai agama,
adat-istiadat, serta kebudayaan (kausa materialis). Kemudian dirumuskan
oleh founding fathers, dirumuskan dalam suatu susunan lima sila dalam
sidang BPUPKI (kausa formalis), materi sila-sila Pancasila dirumuskan
oleh para founding fathers dan disahkan tanggal 18 Agustus 1945 (kausa
effisien), adapun dirumuskannya Pancasila itu bertujuan untuk digunakan
sebagai dasar negara Republik Indonesia (Kausa Finalis). Jadi berbagai
rumusan Pancasila itu kesemuanya secara ilmiah dapat dipahami dalam
suatu hubungan kausalitas.

16
6. Pancasila dalam RUU HIP

RUU HIP Inkonsisten dan Inkoheren dalam Tertib Hukum Indonesia

Pancasila sebagai dasar filsafat negara yang tercantum dalam


Pembukaan UUD 1945, adalah merupakan suatu cita hukum (Rechtsidee),
yang menguasai hukum dasar, baik hukum dasar tertulis maupun hukum
dasar tidak tertulis. Dengan demikian maka filsafat Pancasila telah
diderivasikan dalam suatu ideologi terutama dalam hubungannya dengan
peraturan perundang-undangan. Menurut Rudolf Stammler (1856-1939),
seorang filsuf hukum yang beraliran neo-Kantian, mengungkapkan bahwa
cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakan suatu keharusan untuk
mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Esensi
Cita hukum tersebut terkandung dalam budaya hukum masyarakat
Indonesia sebagai kausa materialis dan berfungsi sebagai suatu bintang
pemandu (leitstern) bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Dalam hubungan
inilah maka ideologi Pancasila bersumber pada kausa materialis, nilai-nilai
agama, adat-istiadat serta kebudayaan yang tumbuh dan berkembang pada
masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara.
Suatu cita hukum memberikan manfaat karena dengan cita hukum
maka kita dapat menguji hukum positif yang berlaku, melalui cita hukum
kita dapat mengarahkan hukum positif ke arah suatu keadilan bahkan
dengan suatu sangsi (zwangversuch zum richtigen). Oleh karena itu menurut
Stammler, bahwa keadilan adalah mengarahkan hukum positif ke arah cita
hukum. Dengan demikian tegas Stammler, suatu hukum yang adil (rechtiges
recht) ialah hukum positif yang memiliki sifat yang diarahkan oleh cita
hukum, untuk mencapai cita-cita masyarakat (Attamimi, 1990: 68).
Dalam suatu pelaksanaan kenegaraan suatu piranti yang harus
dipenuhi demi tercapainya hak dan kewajiban warga negara, maupun negara
adalah perangkat hukum sebagai hasil derivasi dari dasar filsafat negara
Pancasila. Dalam hubungan ini agar hukum dapat berfungsi dengan baik
sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, maka hukum seharusnya
senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika
aspirasi masyarakat. Oleh karena itu hukum harus senantiasa diperbaharui,

17
agar hukum bersifat aktual dinamis sesuai dengan keadaan serta kebutuhan
masyarakat. Dalam hubungan ini Pancasila merupakan suatu sumber nilai
bagi pembaharuan hukum yaitu sebagai suatu “cita hukum”, yang menurut
Notonagoro berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara
Indonesia (Notonagoro, 1975). Istilah Staatsfundamenalnorm pertama kali
dikembangkan oleh Hans Nawiasky dalam bukunya Allegemeine
Rechtslehre als System der Rechtlichten (1940). Menurut Nawiasky dalam
teorinya yang dikenal dengan Die Theorie vom Stufenaufbau der
Rechtsordnung, dalam suatu negara yang merupakan kesatuan tata hukum
itu terdapat suatu norma dasar, atau norma yang tertinggi (der oberste
norm), yang kedudukannya lebih tinggi dari konstitusi atau Undang-Undang
Dasar, dan berdasarkan norma dasar atau norma tertinggi inilah maka
Undang-Undang Dasar dibentuk. Sebenarnya pandangan Nawiasky ini
bersumber dari gurunya Hans Kelsen, yang menurutnya diistilahkan dengan
Grundnorm (Attamimi, 1990: 74).
Staatsfundamentalnorm atau grundnorm yang merupakan suatu
cita hukum menurut Gustaf Radbruch (1878-1949), seorang ahli filsafat
hukum mazhab Baden, memiliki fungsi regulatif dan fungsi konstitutif. Cita
hukum memiliki fungsi 1) regulatif adalah berfungsi sebagai tolok ukur
yaitu menguji apakah suatu hukum positif itu adil atau tidak. Adapun fungsi
2) konstitutif, yaitu menentukan bahwa tanpa suatu cita hukum, maka
hukum akan kehilangan maknanya sebagai suatu hukum (Attamimi, 1990:
68). Sebagai suatu cita-cita hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi
konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi konstitutif Pancasila
menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi
hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatif-nya Pancasila
menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil atau
tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan pangkal
tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum Indonesia termasuk
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945 (Mahfud, 1999: 59).
Dalam filsafat hukum suatu sumber hukum meliputi dua macam
pengertian, yaitu (1) sumber formal hukum, yaitu sumber hukum ditinjau
dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum yang mengikat terhadap
komunitasnya, dan (2) sumber material hukum, yaitu sumber hukum yang
18
menentukan materi atau isi suatu norma hukum. Sumber material hukum ini
dapat berupa nilai-nilai misalnya nilai kemanusiaan, nilai ketuhanan, nilai
keadilan dan dapat pula berupa fakta yaitu realitas perkembangan
masyarakat, dinamika aspirasi masyarakat, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi(Darmodiharjo, 1996: 206). Pancasila yang di
dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum moral, nilai hukum
kodrat, dan nilai religius (yang bersumber pada budaya hukum masyarakat
Indonesia) merupakan suatu sumber hukum material bagi hukum positif
Indonesia. Dengan demikian Pancasila dengan kausa materialis budaya
hukum Indonesia, menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-
undangan di Indonesia yang tersusun secara hierarkhis. Dalam susunan yang
hierarkhis ini Pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi di
antara berbagai peraturan perundang-undangan secara vertikal maupun
horisontal. Hal ini mengandung suatu konsekuensi jikalau terjadi
ketidakserasian atau pertentangan norma hukum yang satu dengan lainnya
yang secara hierarkhis lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila sebagai
sumbernya, maka hal ini berarti jika terjadi ketidak sesuaian maka hal ini
berarti terjadi suatu inkonstitusionalitas (unconstitutionality) dan
ketidaklegalan (illegality), dan oleh karenanya maka norma hukum yang
lebih rendah itu batal demi hukum (Mahfud, 1999: 59).
Secara faktual bahwa sistem hukum di Indonesia memiliki
kekhasan yaitu senantiasa tidak dapat dipisahkan dengan nilai Ketuhanan,
hal ini dapat diketahui pada produk peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan nilai religius. Misalnya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Peradilan Agama Nomor 7 tahun 1989, Undang-Undang Nomor 41 tahun
2004 tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 ttentang
Pengelolaan Zakat, yang hal ini bersumber pada esensi hukum kodrat,
hukum Tuhan hukum etis dan filosofis yang bersumber dari budaya hukum
yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ideologi bangsa
Indonesia yaitu Pancasila pada hakikatnya adalah merupakan suatu
Grundnorm, yaitu sebagai suatu sumber filosofis, yang di dalamnya
terkandung asas-asas dan pada gilirannya dijabarkan pada norma-norma
19
terutama adalah norma hukum. Dalam pengertian inilah maka Filsafat
Pancasila harus diderivasikan dalam suatu ideologi, yaitu ideologi
Pancasila.
Jadi terdapat suatu hubungan kausalitas antara Pancasila sebagai
dasar filsafat negara dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara.
dalam arti ideologi Pancasila senantiasa bersumber pada suatu pandangan
filosofis nilai-nilai sebagaimana terkandung dalam Pancasila. Suatu
pandangan filsafat adalah merupakan suatu sistem nilai, namun jikalau suatu
pandangan filsafat itu diyakini kebenarannya, dan merupakan suatu dasar
nilai dan cita-cita bersama, maka harus diletakkan pada suatu sistem norma,
yang pada gilirannya untuk direalisasikan dalam suatu realisasi praksis
dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Oleh karena itu dalam
ideologi bangsa dan negara Indonesia terkandung di dalamnya aspek-aspek,
nilai, norma dan praksis.
Keseluruhan sistem norma hukum Negara Republik Indonesia secara
keseluruhan merupakan suatu sistem yang hierarkhis (berjenjang). Pancasila
sebagai dasar filsafat Negara Indonesia dalam tertib hukum Indonesia
merupakan sumber karena merupakan (berkedudukan) sebagai norma dasar
(staatsfundamentalnorm), yang berturut-turut kemudian verfassungnorm
UUD 1945, grundgesetznorm atau Ketetapan MPR, serta gesetznorm atau
Undang-Undang. Pancasila yang merupakan esensi dari
staatsfundamentalnorm, sehingga berkedudukan sebagai
staatsfundamentalnorm dalam sistem tertib hukum Indonesia.
Konsekuensinya Pancasila merupakan sumber bagi pembentukan pasal-
pasal dalam verfassungnorm atau Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan
aturan yang ada dalam verfassungnorm atau Undang-Undang Dasar 1945,
merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan aturan-aturan dalam
Ketetapan MPR dan juga sekaligus merupakan sumber dan dasar bagi
pembentukan gesetznorm atau Undang-Undang (Indrati, 2007: 65). Hal ini
relevan dengan kaidah sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam
ketentuan Pasal 7 ayat (1) tentang jenis dan hierarkhi peraturan perundang-
undangan terdiri atas
20
UU NO. 15 Th. 2019—ats perubahan UU NO 12 Th.
2011
Ttg Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

GRUNDNORM-PANCASILA
STAATSFUNDAMENTALNORM
1.. UUD 1945 ----- VERFASUNGNORM
2. Ketetapan MPR --------GEZETNORM
3. UU/Pertran Pemerintah Penggnti UU
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dalam kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar Negara


Republik Indonesia, pada hakikatnya merupakan suatu dasar dan asas
kerokhanian dalam setiap aspek penyelenggaraan negara termasuk dalam
penyusunan tertib hukum Indonesia. Maka kedudukan Pancasila
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai
ideologi negara dan sebagai sumber tertib hukum Indonesia, dalam
pengertian sumber peraturan perundang-undangan Indonesia.
Berdasarkan analisis sistem hukum di Indonesia tersebut, maka RUU
HIP (Haluan Ideologi Pancasila) terkandung problem epistemologis yaitu
kedudukan ideologi sebagai sumber Undang-Undang, namun
diletakkan sebagai substansi materi Undang-undang. Sehingga hal ini
konsekuensinya inkonsisten dan inkoheren dalam tertib hukum Indonesia.
Jikalau materi sebagaimana tercantum dalam RUU HIP pada prinsipnya
sebagai suatu penjabaran normatif dan praksis dalam pembangunan
nasional, maka seharusnya dalam derivasinya tidak lagi meletakkan dan
merinci ideologi dalam subsistem pembangunan nasional. Misalnya apakah
akan disebutkan sebagai program-program pembangunan negara, haluan
pembangunan negara dan lain sebagainya.

21
Kajian Kritis Materi RUU Haluan Ideologi Pancasila

1. Tidak dicantumkannya Tap Nomor XXV/MPRS/1966 dalam


Konsiderans RUU Haluan Ideologi Pancasila bisa memunculkan
interpretasi, bahwa ideologi komunisme dalam PKI dapat hidup dan
berkembang dalam negara Republik Indonesia. Fakta yang
berkembang dalam masyarakat wacana tentang PKI, ungkapan
sementara masyarakat yang bangga dengan identitas komunis-PKI dan
lain sebagainya, pada hakikatnya merupakan bara yang dapat menyulut
instabilitas bangsa dan negara Indonesia. Hal ini kemudian memuncak
pada saat bangsa Indonesia ingin mengembangkan dan
mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai bidang
kehidupan. Kondisi ideologi dan politik yang demikian ini kemudian
dimanfaatkan oleh beberapa orang elemen politik untuk menumbuh
kembangkan ideologi komunisme di negara Indonesia dalam berbagai
bidang, terutama dalam proses legislasi. Oleh karena itu nampaknya
RUU HIP merupakan lahan yang subur untuk mengembangkan
kembali ideologi Komunisme PKI. Hal itu nampak dalam berbagai
substansi yang dikembangkan dalam RUU HIP.

negara yang telah menjadi karya besar pendiri bangsa yaitu Pancasila
harus dimaknai sebagai

2. Tentang Hari Lahir Pancasila.

Dalam Naskah Akademik halaman 1-5 diuraikan bahwa Hari Lahir


Pancasila adalah 1 Juni 1945. Hal ini ditentukan berdasarkan sejarah
perumusan Pancasila, yang pada saat itu pada Tnggal 1 Juni 1945
Soekarno berpidato di depan sidang BPUPK tentang pancasila dan
rumusannya. Atas dasar interpretasi historis tersebut maka ditentukan
bahwa Hari Lahir Pancasila adalah 1 Juni 1945.

Pondasi dasar panduan dalam kehidupan bernegara di segala lini. Melalui


Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila
(Keppres Hari Lahir Pancasila), sebagai bentuk pengakuan negara bahwa
Pancasila bersumber dari Pidato Soekarno 1 Juni 1945 dalam Sidang

22
pertama BPUPK yang dipimpin oleh dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat
telah menyelenggarakan dengan agenda membahas tentang dasar negara
Indonesia merdeka. Melalui Keppres Hari Lahir Pancasila, negara juga
mengakui titik pencapaian kesepakatan bersama terhadap rumusan
Pancasila di dasarkan pada perkembangan dari Pidato Soekarno 1 Juni
1945 hingga menghasilkan naskah Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945
oleh Panitia Sembilan dan disepakati menjadi rumusan final pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Dengan artian demikian, pemahaman bahwa rumusan Pancasila sejak
tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir. Soekarno, rumusan Piagam
Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus
1945 sebagai satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar
Negara. 3 Makna satu kesatuan proses lahirnya Pancasila ini juga dapat
dipahami bahwa rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 dijiwai dari
Pidato Soekarno 1 Juni 1945 dan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945.
Dengan kata lain, tidak dapat memisahkan rumusan Pancasila dari sudut
pandang 3 peristiwa itu masing-masing. Secara historis rumusan
Pancasila 1 Juni 1945 dalam pidato Soekarno, dimulai dari Soekarno
memberikan pendapatnya mengenai maksud pertanyaan Ketua BPUPK
Radjiman Wedyodiningrat, dengan menjelaskan konsep Philosophische
grondslag dan Weltanschaung: Banyak anggota telah berpidato, dan
dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan
permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya
Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka
tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda “Philosofische
grondslag” dari pada Indonesia Merdeka. “Philosofische grondslag”
itulah fundamen, filsafat pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat,
yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia
Merdeka yang kekal dan abadi” “.....Saya mengerti apakah yang Paduka
tuan Ketua Kehendaki! Paduka tua Ketua minta dasar, minta
philosofische grondslag atau jikalau kita boleh memakai perkataan yang
muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu
Weltanschaung, diatas di mana kita mendirikan negara Indonesia itu”. 1
Atas dasar pendekatan philosophische grondslag, dalam pidato 1 Juni
23
1945 tersebut Soekarno menawarkan rumusannya tentang lima prinsip
(sila) yang menurutnya merupakan titik persetujuan (common
denominator) segenap elemen bangsa, diantaranya:2 Pertama,
Kebangsaan Indonesia Baik saudara-saudara yang bernama kaum
kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamaan kaum
Islam, semuanya telah mufakat… Kita hendak mendirikan suatu negara
„semua buat semua‟. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,
baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi „semua
buat semua‟… “Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara
Indonesia, ialah dasar kebangsaan.” Kedua, internasionalisme atau
perikemanusiaan : Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan
yang menyendiri, bukan chauvinisme… Kita harus menuju persatuan
dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan negara
Indonesia Merdea, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan
bangsa-bangsa. Ketiga, mufakat atau demokrasi: Dasar itu ialah dasar
mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan… Kita mendirikan
negara „semua buat semua‟, satu buat semua, semua buat satu. Saya
yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah
permusyawaratan, perwakilan… Apa-apa yang belum memuaskan, kita
bicarakan di dalam persmuayawaratan. Keempat, kesejahteraan sosial:
Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi
permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische
democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Maka oleh
karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat,
mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale
rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek saudara-
saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan
persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Kelima,
ketuhanan yang berkebudayaan: Prinsip Indonesia Merdeka, dengan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa… bahwa prinsip kelima
daripada negara kita ialah keTuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan
yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu
sama lain. Dasar pemikiran Soekarno tentang Pancasila diterima secara
aklamasi oleh BPUPK sebagai dasar penyusunan falsafah negara
24
Indonesia merdeka. Hal ini menunjukkan dalam sidang BPUPK
Soekarno satu-satunya yang tegas mengusulkan philosofische grondslag
yaitu lima sila yang disebut Pancasila untuk negara yang akan dibentuk.
Berdasarkan deskripsi tersebut di atas maka sejak keluarnya
Kepres No. 24 Tahun 2016, maka hari lahir Pancasila adalah 1 Juni
dengan interpretasi historis tatkala pidato Soekarno 1 Juni 1945 di dalam
Sidang BPUPK pertama. Nampaknya dalam Kepres tersebut terdapat
kesalahan Interpretasi yaitu sudah menentukan hari lahir Pancasila 1 Juni
1945. Jikalau dilakukan kajian kritis Hari lahir Pancasila dalam
pengertian sebagai dasar filsafat negara mestinya 18 Agustus 1945,
karena saat itulah Pancasila yang sah dan benar disahkan secara yuridis.
Jikalau ditentukan hari lahir Pancasila 1 Juni 1945, fakta sejarah
mennjukkan pada waktu itu diungkapkannya oleh Soekarno tentang
nama Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Sementara
setelah pidato 1 Juni 1945 pembahasan Pancasila masih dilanjutkan
kemudian dibentuk Panitia Sembilan yang menghasilkan kesepakatan
naskah Preambul yang di dalamnya tercantum rumusan Pancasila dengan
sila Pertamanya “Ketuhanan dengan Mnjalankan Syariat Islam bagi
pemeluknya”. Selanjutnya tatkala mau disahkan tanggal 18 Agustus
masih terjadi konsensus lagi, yaitu pada rumusan sila pertama yang
kemudian disepakati “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi jikalau yang dimaksud hari lahir Pancasila sebagai dasar
negara maka seharusnya adalah 18 Agustus 1945, namun jikalau yang
dimaksudkan, hari lahir istilah Pancasila memang 1 Juni 1945. Oleh
karena itu jikalau dalam RUU HIP ditentukan hari lahir Pancasila 1 Juni
1945, maka hal ini sama halnya menentukan interpretasi pancasila serta
tokoh perumus Pancasila hanya menunjuk figur seorang Soekarno, dan
memiliki motivasi politik tertentu dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

3. Tentang Rumusan Sila-sila Pancasila

Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan rumusan sila-sila


Pancasila yang isi dan urut-urutannya adalah sebagai bnerikut:

25
Pertama, Kebangsaan Indonesia
Kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan
Ketiga, mufakat atau demokrasi:
Keempat, kesejahteraan sosial:,
Kelima, ketuhanan yang berkebudayaan

Susunan sila-sila Pancasila ini diusulkan oleh Soekarno dalam proses


perumusan Pancasila dasar negara dalam Sidang BPUPK pada Tanggal 1
Juni 1945. Susunan sila-sila Pancasila ini memang diterima oleh sidang,
namun demikian hal ini masih dirumuskan dan dibahas dalam beberapa
sidang. Pada Akhirnya disepakati pada 22 Juni dalam suatu Piagam Jakarta,
dengan rumusan sila-sila Pancasila yang sila pertamanya adalah “Ketuhanan
dengan Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya”. Kemudian masih
ada usulan lagi dari utusan Indonesia timur, sehingga akhir rumusannya
dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi seharusnya
rumusan sila-sila Pancasila yang sah adalah sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV, yang disahkan pada Tanggal
18 Agustus 1945.
Sila-sila Pancasila rumusan Soekarno sebagaimana termuat dalam
RUU HIP dan naskah Akademik ini menimbulkan interpretasi bahwa
dengan diletakkannya pada sila kelima, yang kemudian dirumuskan dalam
dengan Ketuhanan yang berkebudayaan bertentangan dengan nilai-nilai
theologi terutama Islam. Ketuhanan sebagaimana dirumuskan ini
manifestasinya adalah agama. Tuhan adalah kausa prima, sebab yang
pertama, manusia adalah makhluk Tuhan yang maha esa, sedangkan
kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dalam pengertian
logika material ini tidak mungkin, karena Tuhan yang maha esa, maha kuasa
dan sebagai pencipta alam semesta, bagaimana mungkin memiliki predikat
‘berkebudayaan’, sedangkan budaya-kebudayaan itu hasil ciptaan manusia.
Hakikat ketuhanan termanifestasi dalam kehidupan keagamaan
manusia, sehingga ketuhanan yang maha esa itu meliputi hubungan vertikal
manusia dengan tuhan, serta hubungan horisontal antara manusia dengan
manusia. Jadi frasa sila ketuhanan yang berkebudayaan itu, justru

26
meletakkan hakikat tuhan pada poerspektif kultural, menurut pandangan
manusia. Berdasarkan tinjauan filsafat theologi hal ini justru merendahkan
hakikat tuhan sebagai causa prima. Dalam theologi pengertian agama dapat
digolongkan pada agama agama samawi, yaitu yang bersumber dari Tuhan
serta agama budaya yang bersumber dari cipta, rasa dan karsa manusia, atau
dengan lain perkataan agama yang merupakan ciptaan manusia. Jadi
Ketuhanan menurut Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 adalah
Ketuhanan yang maha esa.

Isi Pasal-pasal RUU Haluan Ideologi Pancasila

Bagian Ketiga Tujuan, Sendi Pokok, dan Ciri Pokok Pancasila

Pasal 5

Tujuan Pancasila adalah terwujudnya tujuan negara Indonesia yang


merdeka, bersatu, serta berdaulat dalam tata masyarakat adil dan makmur
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 6

Sendi Pokok Pancasila

(1) Sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial.


(2) Keadilan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. keadilan sosial dalam hubungan antara manusia sebagai orang-
perorangan terhadap sesama;
b. keadilan sosial dalam hubungan antara manusia dengan masyarakat;
dan
c. keadilan sosial dalam hubungan antara penyelenggara negara dengan
warga negara.

27
(3) Keadilan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi bidang:
a. politik; b. hukum; c. ekonomi; d. sosial; e. budaya; f. pertahanan; dan
g. keamanan.
(4) Keadilan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
diwujudkan dengan implementasi prinsip dasar Haluan Ideologi
Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) menuju
terciptanya Tata Masyarakat adil dan makmur yang mencerminkan
kemajuan dan kemandirian bangsa, serta kesejahteraan sosial.
Jikalau sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial, berarti
menunjukkan bahwa konsep ini tidak ada konsep berketuhanan yang maha
esa. Jadi hal ini memperkuat fakta bahwa dalam RUU HIP ini bersifat atheis.
Secara filosofis dan historis sila-sila Pancasila itu merupakan sila-sila yang
majemuk tunggal. Hal ini berdasarkan analisis ilmiah historis, bahwa
hakikat ontologis sila-sila Pancasila adalah manusia monopluralis, jasmani-
rokhani, individu-makhluk sosial dan sebagai makhluk Tuhan YME serta
sebagai pribadi berdiri sendiri. Jadi tidak ada dasar logika ilmiah sebagai
dasar, jikalau dikatakan bahwa sendi pokok Pancasila adalah keadilan
sosial.. Hal ini berdasarkan argumen ilmiah bahwa yang berketuhanan YHE
adalah manusia, yang berkemanusiaan adalah manusia, yang berpersatuan,
yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial adalah manusia. Jadi
jikalau tanpa berketuhanan yang maha esa maka RUU HIP sebagai
paham sosialisme atheis. Demikian juga jikalau hanya ditekankan pada
keadilan sosial maka RUU HIP menekankan pada paham ideologi
sosialisme.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD Negara RI
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Serta melanggar KUHP
Pasal 107 (b), (d) dan (e).

Ciri Pokok Pancasila Pasal 7

Pasal 7

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial


dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip

28
ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan
ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-
demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam
ekasila, yaitu gotong-royong.

Isi Pasal 7 tersebut disebutkan bahwa ciri pokok Pancasila disebut Tri Sila,
yang terdiri atas: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan yang
berkebudayaan. Ketiga prinsip ini disebut “Tri Sila” atau tiga sila. Adapun
pada ayat (2) disebutkan bahwa “Tri Sila” ini dikristalisasikan dalam
“Ekasila”, dan “Ekasila” ini terkristalisasi menjadi gotong-royong.
Khusus bagi sila Ketuhanan yang maha esa, menurut Pembukaan
UUD 1945, Soekarno mengistilahkan dengan pengertian Ketuhanan yang
berkebudayaan. Ketentuan sila pertama menurut Soekarno yang diangkat
dalam RUU HIP ini justru mereduksi sila pertama ketuhanan yang maha
esa. Sila pertama adalah merupakan dasar seluruh sila-sila Pancasila, karena
hal ini berdasarkan prinsip ontologis bahwa Pancasila adalah dasar negara.
Negara pada hakikatnya adalah persekutuan hidup manusia dalam mencapai
tujuan hidupnya, adapun manusia adalah sebagai makhluk Tuhan yang
maha esa. Jadi ketentuan sila pertama menurut Soekarno Ketuhanan yang
berkebudayaan justru mereduksi sila Ketuhanan yang maha esa. Tuhan
adalah kausa prima (sebab pertama) karena sebagai pencipta segala sesuatu,
sedangkan manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Manusia dalam
kehidupannya dalam berinteraksi dengan manusia yang lainnya dengan
cipta, rasa dan karsa-nya menghasilkan budaya. Jadi Ketuhanan yaitu suatu
prinsip yang menyangkut hakikat Tuhan yang maha kuasa, tidak mungkin
dibatasi dengan budaya manusia (berkebudayaan), sebab tidak ada
Ketuhanan yang tidak berbudaya., namun sebaliknya bisa terjadi
kemungkinan kebudayaan manusia diliputi oleh kehidupan ketuhanannya.
Konsekuensinya, pertama bahwa penafsiran dan interpretasi Sorkarno
tentang Pancasila dalam pasal ini tidak ada dasar hukum untuk dletakkan
sebagai legitimasi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Penyederhanaan serta pemerasan sila-sila Pancasila itu justru mereduksi

29
eksistensi sila-sila lainnya. Sehingga pada akhir pemersan yaitu “Ekasila”
dan diidentifikasi dengan gotong-royong. Kedua, berdasarkan ketentuan ini
maka nampak bahwa pada akhirnya sila-sila Pancasila tiba pada suatu
kesimpulan hilangnya sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sehingga secara
filosofis kaidah yang terkandung dalam ketentuan tersebut menunjukkan
sila-sila itu pada akhirnya tidak berketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga
dalam kaidah penafsiran HIP dengan mengangkat pemikiran Soekarno,
Dasar Negara Cukup dengan “tri Sila”, Eka Sila” serta essensinya “Gotong-
royong” tanpa ketuhanan yang maha esa, maka dasar negara bersifat ateis.
Ketiga, pengertian dan makna Pancasila Menurut RUU HIP hanya terletak
pada pidato Soekarno. Dapat disimpulkan bahwa RUU HIP mengganti
ideologi pancasila yang sah sebagaimana termaktub dalam Pembukaan
UUD 1945, yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, serta berlaku kembali
sejak 5 Juli 1959.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD Negara RI
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Serta sebagai suatu
tindakan makar terhadap ideologi-dasar negara sebagaimana diatur dalam
KUHP Pasal 107 (b), (d) dan (e).

Misi Masyarakat Pancasila Pasal 10

Pasal 10

Misi Masyarakat Pancasila yakni:

a. mewujudkan Indonesia merdeka yang bebas dari segala bentuk


penjajahan, baik antara manusia maupun antara bangsa;
b. mewujudkan Indonesia yang bersatu melalui integrasi bangsa, baik
teritorial maupun politik dan kokohnya persatuan antara berbagai
komponen bangsa yang majemuk;
c. mewujudkan Indonesia yang berdaulat dengan hadirnya negara yang
mampu melindungi seluruh tumpah darah Indonesia;
d. mewujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial ditandai oleh sempitnya
jurang kesenjangan sosial antara warga negara dan kesenjangan
kemajuan antara daerah dalam kesatuan ekonomi nasional;

30
e. mewujudkan Indonesia yang berkemakmuran yang mampu memenuhi
kebutuhan materi warga negara dan penduduknya sesuai dengan standar
yang layak bagi kemanusiaan; dan
f. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Kaidah yang terkandung dalam pasal ini menggambarkan cita-cita


masyarakat Pancasila. Namun terdapat kekurangan rincian cita-cita
masyarakat Pancasila dari a sampai f, yaitu masyarakat yang dijiwai sila
pertama, yaitu berketuhanan yang maha esa.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD Negara RI
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Serta melanggar KUHP
Pasal 107 (b), (d).

Daftar Pustaka

Andrews, W.G., 1968, Constitutions and Constitutionalism, Van Nostrand


Company, New Jersey.
Asshiddiqie, J., 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Kons-titusi
Press, Jakarta.
Attamimi, A Hamid S., 1991, ”Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan
Hukum Bangsa Indonesia”, dalam Oetoyo Oesman dan
Alfian, Pancasla sebagai Ideologi, BP 7 Pusat, Jakarta
Darmodiharjo, Dardji, 1996, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia
Pustaka Utama, jakarta.
Indrati S, Maria Farida, 2007, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius,
Yogyakarta.
Mahfud, M.D., 1999, “Pancasila sebagai Paradigma Pembaharuan Hukum”,
dalam Jurnal Filsafat Pancasila, Pusat Studi Pancasila
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Notonagoro, 1975, Pancasila Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta.

31
Poespowardoyo, Soeryanto, 1992, “Pancasila sebagai Ideologi Ditinjau dari
Segi Pandangan Hidup Bersama, dalam Oetoyo Oesman
dan Alfian, Pancasila sebagai Ideologi, BP 7 Pusat,
Jakarta.
Pranarka, 1985, Kesinambungan, Penataan dan Ideologi, Analisa 1985-9,
CSIS, Jakarta.
Sutrisno, Slamet, 2006, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Penerbit Andi,
Yogyakarta

Yogyakarta, Juli 2020

Prof. Dr. H. Kaelan, MS.

32

Anda mungkin juga menyukai