Leukemia Limfositik Akut: Stephanie
Leukemia Limfositik Akut: Stephanie
Leukemia Limfositik Akut: Stephanie
Stephanie
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 – Jakarta Barat 11470
No. Telp. (021) 56942961
stephoney_9@yahoo.com
Abstrak: Leukemia Limfositik Akut (LLA) sering terjadi pada anak-anak usia di
bawah 14 tahun, ditandai dengan berkembangnya sel darah putih yang tidak normal
sehingga menyebabkan pucat, pusing, pembesaran kelenjar getah bening, demam,
nyeri, dan perdarahan sebagai manifestasi klinis. LLA merupakan salah satu masalah
penting pada kanker anak. Sebagai strategi untuk meningkatkan manajemen masalah
kanker anak, khususnya LLA, diperlukan gambaran epidemiologi dan hasil
pengobatan pasien. Berdasarkan hasil penelitian di RS Kanker Dharmais (2000-2008),
LLA banyak ditemukan pada anak laki-laki dengan usia 1-5 tahun. LLA L1 dengan
risiko biasa adalah jenis LLA terbanyak. Dari penelitian, 44,9% pasien meninggal
dan 27,5 % hidup.
Abstrac: Acute Lymphocytic Leukemia (ALL) is the most common cancer found in
children below 14 years old. It characterized by abnormal white blood cell
proliferation which replace normal bone marrow component with pallor, headache,
organomegaly, fever, bone pain and bleeding as it’s clinical manifestation. ALL is
2
PENDAHULUAN
Leukemia Limfositik akut adalah bentuk akut dari leukemia yang
diklasifikasikan menurut cell yang lebih banyak dalam sumsum tulang yaitu berupa
limfoblas.
Pada keadaan leukemia terjadi proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas,
sering disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal, jumlahnya berlebihan dan
dapat menyebabkan anemia, trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian. Faktor
penyebab LLA tidak diketahui, tapi dimungkinkan karena interaksi sejumlah faktor:
neoplasia, infeksi, radiasi, keturunan, zat kimia, mutasi gen.
Leukemia akut cepat terjadi dan lambat penyembuhannya, dapat diakhiri
dengan kematian bila tidak segera diobati. LLA sering ditemukan pada anak-anak (82
%) daripada umur dewasa dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada
anak perempuan.
ANAMNESIS
Anamnesis pada LLA harus ditanyakan apakah ada gejala anemia, kelemahan
tubuh, berat badan menurun, anoreksia, mudah sakit, sering demam, perdarahan, nyeri
tulang, nyeri sendi. Ada beberapa point penting yang perlu ditanyakan pada saat
anamnesis , antara lain:
Keluhan utama:
o Pucat. Seringkali terlihat pada pasien anemia. Pucat paling baik
dinilai pada telapak tangan/kaki, kuku, mukosa mulut, dan
konjungtiva.
Keluhan penyerta:
3
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik yang khas ialah pucat, panas, dan perdarahan disertai
splenomegaly, dan kadang-kadang hepatomegaly serta limfadenopatia. Penderita yang
menunjukkan gejala lengkap seperti tersebut di atas, secara klinis dapat didiagnosis
leukemia. Pucat dapat terjadi mendadak, sehingga bila pada seorang anak terdapat
pucak yang mendadak dan sebab terjadinya sukar diterangkan, waspadalah leukemia.
Perdarahan dapat berupa ekimosis, petekia, epistaksis, perdarahan gusi, dan
sebagainya. Pada stadium permulaan mungkin tidak terdapat splenomegali. Gejala
yang tidak khas ialah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat disalah-tafsirkan sebagai
penyakit reumatik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat infiltrasi sel leukemia pada
alat tubuh, seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura, kejang pada leukemia serebral
dan sebagainya.2
Gambar 1. Splenomegali.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah tepi, gejala yang terlihat adalah adanya pansitopenia,
limfositosis yang kadang-kadang menyebabkan gambaran darah tepi monoton dan
terdapat sel blast (menunjukkan gejala patogonomik untuk leukemia).
4
Flowcytometry precursor B: CD 10, 19, 79A, 22, cytoplasmic m-heavy chain, TdT
T: CD1a, 2, 3, 4, 5, 7, 8, TdT
WORKING DIAGNOSIS
Leukemia Limfositik Akut/Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah
keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Pada lebih dari 80% kasus, sel-sel
ganas berasal dari limfosit B dan sisanya merupakan leukemia sel T. Leukemia ini
7
akibat anemia hemolitik; atau 3) akibat infiltrasi. Namun, dalam kasus ini, kaitan
yang paling mungkin adalah hepatomegali terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik
ke dalam jaringan hepar.
Splenomegali. Splenomegali yang terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait:
1) infiltrasi; 2) infeksi; atau 3) sumbatan/gangguan aliran darah. Namun, dalam
kasus ini, kemungkinan yang paling besar splenomegali terjadi akibat infiltrasi
sel-sel leukemia ke dalam limpa/spleen.
Massa di mediastinum (T-ALL).
Leukemia SSP (Leukemia cerebral); nyeri kepala, tekanan intrakranial naik,
muntah, kelumpuhan saraf otak (VI dan VII), kelainan neurologik fokal, dan
perubahan status mental.5,6
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Limfositosis, limfadenopati, dan hepatomegaly yang berhubungan dengan
infeksi virus dan limfoma
Anemia aplastik.6
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien ALL adalah:
a. Transfusi darah, jika kadar Hb kurang dari 69%. Pada trombositopenia yang berat
dan pendarahan pasif dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda
DIC dapat diberikan heparin.
b. Kortosteroid (prednison, kortison, deksametason, dan sebagainya). Setelah dicapai
remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
c. Sitostatika, selain sitistatika yang lama (6-merkaptispurin atau 6 mp, metotreksat
atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih paten seperti obat
lainnya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-sama dengan
prednison. Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa
alopsia (botak), stomatitis, leucopenia, infeksi sekunder atau kadidiasis. Bila jumlah
leukosit kurang dari 2000 / mm3 pemberiannya harus hati-hati.
d. Infeksi sekunder dihindarkan (lebih baik pasien dirawat di kamar yang suci
hama).
9
e. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah dicapai remisi dan
jumlah sel leukimia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai diberikan (mengani
cara pengobatan yang terbaru masih dalam perkembangan).
Cara pengobatan berbeda-beda pada setiap klinik bergantung dari pengalaman,
tetapi prinsipnya sama, yaitu dengan pola dasar:
a. Induksi, dimaksudkan untuk mencapai remisi dengan berbagai obat tersebut
sampai sel blas dalam sumsum kurang dari 5%. Dimulai 4-6 minggu setelah diagnosa
ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vineristin, dan
L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang
atau tidak ada dan di dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kuurang dari
5%.
b. Konsilidasi, bertujuan agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
Pada fase ini, kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisis dan
mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala,
dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap
pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan
sementara atau dosis obat dikurangi.
c. Rumat, untuk mempertahankan masa remisi agar lebih lama, biasanya dengan
memberikan sitostatika setengah dosis biasa.
d. Reinduksi, dimaksudkan untuk mencegah relaps, biasanya dilakukan setiap 3-6
bulan dengan pemberian obat-obat seperti pad induksi selama 10-14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukimia pada susunan saraf pusat diberikan MTX secara
intratekal dan radiasi kranial.
f. Pengobatan imunologik. Bertujuan untuk menghilangkan sel leukemia yang ada di
dalam tubuh agar pasien dapat sembuh sempurna. Pengobatan seluruhnya dihentikan
setelah 3 tahun remisi terus menerus.
Induksi
Sistemik :
a) VCR (vinkristin): 2 mg/m2/minggu, intravena diberikan 6 kali.
b) ADR (adriamisin): 40mg/m2/2 minggu intravena diberikan 3 kali
dimulai pada hari ketiga pengobatan
c) Prednisone 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu
kemudian tapering off selama 1 minggu.
10
Sistemik :
a. VCR: dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali
b. Prednison dosis sama dengan dosis induksi diberikan 1 minggu penuh
dan 1 minggu kemudian tapering off
SSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2
kaliSSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2
kali
Imunoterapi
BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama.
Dosis 0,6 ml intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing – masing 0,2 ml.
Suntikan BCG diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu. Selama
pengobatan ini, obat – obat rumat diteruskan.
Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.
11
Pungsi sumsum tulang ulangan rutin dilakukan setelah induksi pengobatan (setelah 6
minggu).2,7
ETIOLOGI
Etiologinya sampai saat ini masih belum jelas, diduga kemungkinan besar
karena virus (virus onkogenik). Faktor lain yang turut berperan ialah:
1. Faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, hormone, bahan kimia (benzol,
Arsen, preparat sulfat), infeksi (virus, bakteri).
2. Faktor endogen seperti ras (orang Yahudi mudah menderita LLK), faktor
konstitusi seperti kelainan kromosom (angka kejadian LMK lebih tinggi dari
Sindrom Down), herediter (kadang-kadang dijumpai kasus leukemia pada kakak-
beradik atau kembar satu telur), angka kejadian pada anak lebih tinggi sesuai
dengan usia maternal.
Secara imunologik, patogenesis leukemia dapat diterangkan sebagai berikut:
bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang mempunyai struktur
antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh
manusia seandainya struktur antigen manusia itu. Bila struktur antigen individu tidak
sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan ditolaknya, sama
kejadiannya dengan penolakan terhadap benda asing. Struktur antigen manusia
terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput
lendir yang terketak di permukaan tubuh (kulit disebut juga antigen jaringan). Oleh
WHO terhadap antigen jaringan telah ditetapkan istilah HLA (Human Leucocyte
locus A). Sistem HLA individu ini diturunkan menurut hukum genetika, sehingga
agaknya peranan factor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat
diabaikan.2,7
Faktor predisposisi:
1. Faktor genetik: virus tertentu menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (T
cell leukimia-lymphoma virus/HTLV)
2. Radiasi ionisasi: lingkungan kerja, prenatal, pengobatan kanker sebelumnya
3. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan
agen anti neoplastik
4. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol
5. Faktor herediter misalnya pada kembar satu telur
12
6. Kelainan kromosom8
EPIDEMIOLOGI
Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia
kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak
ditemukan pada pria daripada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA
mempunyai risiko empat kali lebih besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan
kembar monozigot dari pasien LLA mempunyai risiko 20% untuk berkembang
menjadi LLA.8
PATOFISIOLOGI
Kelainan sitogenetik yang sering ditemukan pada kasus dewasa ialah
t(9;22)/BCR-ABL (20-30%) dan t(4;11)/ALL1-AF4 (6%) yang prognosisnya buruk.
ABL adalah nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik mentransfer
molekul fosfat ke substrat protein sehingga terjadi aktivasi jalur transduksi sinyal
yang penting dalam regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel. Mekanisme umum lain
dari pembentukan kanker adalah inaktivasi gen supresor tumor Rb dan p53 yang
berperan mengontrol progresi siklus sel. Kelainan yang lain meliputi delesi,
mikrodelesi, dan penyusunan kembali gen yang melibatkan p16.
Kasus LLA disubkalasifikasikan menurut gambaran morfologi dan imunologi,
dan genetik sel induk leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan pada
pemeriksaan aspirasi sum-sum tulang. Gambaran sitologi sel induk sangat bervariasi
walaupun dalam satu cuplikan tunggal, sehingga tidak ada satu klasifikasi yang
memuaskan. Sistem the French-American-British (FAB) membedakan tiga subtipe
morfologi L1, L2 dan L3. Pada limfoblas L1 umumnya kecil dengan sedikit
sitoplasma, pada sel L2 lebih besar dan pleomorfik dengan sitoplasma lebih banyak,
bentuk inti ireguler, dan nukleoli nyata, dan sel L3 meampunyai kromatin inti
homogen dan berbintik halus, nukleoli jelas, dan sitoplasma biru tua dengan
vakuolisasi nyata. Karena perbedaan yang subyektif antara blas L1 dan L2 dan
korelasi dengan penanda imunologik dan genetik yang sedikit, hanya subtipe L3 yang
mempunyai arti klinis.
Klasifikasi LLA bergantung pada kombinasi gambaran sitologik, imunologik
dan kariotip. Dengan antibodi monoklonal yang mengenali antigen permukaan sel
13
yang terkait dengan galur sel dan antigen sitoplasma. Maka imunotipe dapat
ditentukan pada kebanyakan kasus. Umumnya berasal dari sel progenitor , lebih
kurang 15% berasal dari sel progenitor T, dan 1% berasal dari sel B yang relatif
matang. Imunotipe ini mempunyai implikasi prognostik maupun terapeutik. Subtipe
dari LLA, sifat klinis tertentu, dan angka insidensi relatifnya ditunjukkan pada Tabel
2. Beberapa kasus belum dapat diklasifikasikan karena menunjukan ekspresi antigen
yang berkaitan dengan beberapa galur sel yang berbeda (LLA galur campuran atau
bifenotipik).6,8
di sirkulasi darah. Limpa, hati, kelenjar limfe biasanya ikut terlibat. Karena itu, tidak
ada sistem pembagian stadium (staging) untuk LLA.6,8
KOMPLIKASI
Komplikasi metabolik pada anak dengan LLA dapat disebabkan oleh lisis sel
leukemik akibat kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat mengancam
jiwa pasien yang memiliki beban sel leukimia yang besar. Terlepasnya komponen
intraselular dapat menyebabkan hiperurisemia, hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia
dengan hipokalsemia sekuder. Beberapa pasien dapat menderita nefropati asam urat
atau nefrokalsinosis. Jarang sekali timbul urolitiasis dengan obstruksi uretersetelah
pasien diobati untuk leukemia. Hidrasi, pemberian alopurinol dan alumunium
hidroksida, serta penggunaan alkalinisasi urin yang tepat dapat mencegah atau
memperbaiki komplikasi ini. Infiltrasi leukemik yang difus pada ginjal juga dapat
menimbulkan kegagalan ginjal. Terapi vinkristin atau siklofossamid dapat
mengakibatkan peningkatan hormon antidiuretik, dan pemberian antibiotika tertentu
yang mengandung natrium, seperti tikarsilin atau kabernisilin, dapat mengakibatkan
hipokalemia. Hiperglikemia dapat terjadi pada 10 % pasien setelah pengobatan
dengan prednison dan asparaginasi dan memerlukan penggunaan insulin jangka
pendek.
Karena efek mielosupresif dan imunosupresif LLA dan juga kemoterapi, anak
yang menderita leukemia lebih rentan terhadap infeksi. Sifat infeksi ini bervariasi
dengan pengobatan dan fase penyakit. Infeksi yang paling awal adalah bakteri, yang
dimanifestasikan oleh sepsis, pneumonia, selulitis, dan otitis media. Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia,
Staphylococcus epidrmidis, Proteus mirabilis, dan Haemophilus influenza adalah
organisme yang biasanya menyebabkan septik. Setiap pasien yang mengalami febris
dengan granulositopeniayang berat harus dianggap septik dan diobati dengan
antibiotik spektrum luas. Transfusi granulosit diindikasikan untuk pasien dengan
granulositopenia absolut dan septikemia akibat kuman gram negatif yang berespon
buruk terhadap pengobatan.
Dengan pengguanaan kemoterapi yang intensif dan pemajanan antibiotika atau
hidrokortison yang lama, infeksi jamur yang diseminata oleh Candida atau
Aspergillus lebih sering terjadi, meskipun organisme itu sulit dibiakkan dari bahan
15
PREVENTIF
Tidak diketahui secara pasti cara-cara pencegahan berbagai tipe leukemia.
Karena kebanyakan penderita leukemia tidak mengetahui factor risiko mereka
masing-masing. Beberapa tipe dari leukemia mungkin dapat dicegah dengan cara
menghindari paparan radiasi dosis tinggi (bahkan pasca kemoterapi / terapi radiasi),
pajanan zat kimia (benzene), menghindari merokok ataupun paparan asap rokok.
Namun sayangnya, banyak kasus dari leukemia tidak dapat dicegah. Karena
sesungguhnya tidak dapat diidentifikasi secara nyata dan pasti mengenai
penyebabnya. Hanya saja perlu dihindari faktor-faktor lain (eksogen) yang dapat
mencetuskan LLA.8
PROGNOSIS
Sampai saat ini leukemia masih merupakan penyakit yang fatal, tetapi dalam
kepustakaan dilaporkan pula beberapa kasus yang dianggap sembuh karena dapat
hidup lebih dari 10 tahun tanpa pengobatan. Biasanya bila serangan pertama dapat
diatasi dengan pengobatan induksi, penderita akan berada dalam keadaan remisi ini
secara klinis penderita tidak sakit, sama seperti anak biasa. Tetapi selanjutnya dapat
timbul serangan yang kedua (kambuh), yang disusul lagi oleh masa remisi yang
biasanya lebih pendek dari masa remisi pertama. Demikian seterusnya masa remisi
akan lebih pendek lagi sampai akhirnya penyakit ini resistensi terhadap pengobatan
dan penderita akan meninggal. Kematian biasanya disebabkan perdarahan akibat
trombositopenia, leukemia serebral atau infeksi (sepsis, infeksi jamur).
Sebelum ada prednisone, penderita leukemia hanya dapat hidup beberapa
minggu sampai 2 bulan. Dengan pengbatan prednisone jangka waktu hidup penderita
diperpanjang sampai beberapa bulan. Dengan ditambahkannya obat sitostatika (MTX,
6-MP) hidup penderita dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi dan dengan digunakannya
sitostatika yang lebih poten lagi disertai cara pengobatan yang mutakhir, usia
penderita dapat diperpanjang 3-4 tahun lagi, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun.
PENUTUP
Leukemia adalah salah satu penyakit keganasan yang sangat ditakuti oleh
masyarakat dewasa ini. Meskipun telah dilakukan berbagai penelitian, etiologi dari
keganasan hemopoetik ini tidak diketahui secara keseluruhan.
17
Leukemia dibagi menjadi akut dan kronik. Pada leukemia akut, sel darah
sangat tidak normal, tidak dapat berfungsi seperti sel normal, dan jumlahnya
meningkat secara cepat. Kondisi pasien dengan leukemia jenis ini memburuk dengan
cepat. Pada leukemia kronik, pada awalnya sel darah yang abnormal masih dapat
berfungsi, dan orang dengan leukemia jenis ini mungkin tidak menunjukkan gejala.
Perlahan-lahan, leukemia kronik memburuk dan mulai menunjukkan gejala ketika sel
leukemia bertambah banyak dan produksi sel normal berkurang.
Untuk pengobatan leukemia akut, bertujuan untuk menghancurkan sel-sel
kanker sampai habis. Pelaksanaannya secara bertahap dan terdiri dari beberapa siklus.
Tahapannya adalah induksi (awal), konsolidasi dan pemeliharaan. Tahap induksi
bertujuan memusnahkan sel kanker secara progresif. Tahap konsolidasi untuk
memberantas sisa sel kanker agar tercapai sembuh sempurna. Tahap pemeliharaan
berguna untuk menjaga agar tidak kambuh. Terapi yang biasa dilakukan antara lain
pemberian kemoterapi, radioterapi dan juga transplantasi sumsum tulang.
Permasalahan yang dihadapi pada penanganan pasien leukemia adalah obat
yang mahal, ketersediaan obat yang belum tentu lengkap, dan adanya efek samping,
serta perawatan yang lama. Obat untuk leukemia dirasakan mahal bagi kebanyakan
pasien apalagi dimasa krisis sekarang ini, Selain macam obat yang banyak , juga
lamanya pengobatan menambah beban biaya untuk pengadaan obat.
Efek samping sitostatika bermacam-macam seperti anemia, pedarahan, rambut
rontok, granulositopenia (memudahkan terjadinya infeksi), mual/ muntah, stomatitis,
miokarditis dan sebagainya. Problem selama pengobatan adalah terjadinya relaps
(kambuh). Relaps merupakan pertanda yang kurang baik bagi penyakitnya dan dapat
terjadi sekitar 20% pada penderita LLA yang diterapi. Pada dasarnya ada 3 tempat
relaps yaitu intramedular (sumsum tulang), ekstramedular (susunan saraf pusat, testis,
iris), intra dan ekstra meduler. Relaps bisa terjadi pada relaps awal (early relaps) yang
terjadi selama pengobatan atau 6 bulan dalam masa pengobatan dan relaps lambat
(late relapse) yang terjadi lebih dari 6 bulan setelah pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hassan, et al. Leukemia. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian ke-1.
Cetakan ke-11. Jakarta: Percetakan Infomedika; 2007.
18