Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

Manajemen Fraktur pada Trauma Muskuloskeletal


 
 

 
 

DISUSUN OLEH:
Hans Natanael 1015129
Matthew 1015162
Prita Sukma Rani 1015064
Theresia Bintang 1015157

 
PEMBIMBING:
dr. Posma S. SpOT

 
 
BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
RUMAH SAKIT IMMANUEL
2014
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma adalah suatu cedera yang dapat mencederai fisik maupun psikis. Trauma
jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio),
regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau robekan total (avulsi atau rupture),
gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf (Helmi, 2011).
Cedera pada tulang menimbulkan patah tulang (fraktur) dan dislokasi. Fraktur juga
dapat terjadi di ujung tulang dan sendi (intra-artikuler) yang sekaligus menimbulkan dislokasi
sendi. Fraktur ini juga disebut fraktur dislokasi (Helmi, 2011; Bucholz, Heckman & Court-
Brown, 2006).
Insiden fraktur secara keseluruhan adalah 11,3 dari 1000 populasi per tahun. Insiden
fraktur pada laki-laki adalah 11,67 dari 1000 populasi per tahun, sedangkan pada perempuan
10,65 dari 1000 populasi per tahun. Insiden di beberapa belahan dunia akan berbeda. Hal ini
mungkin disebabkan salah satunya karena adanya perbedaan status sosioekonomi dan
metodologi yang digunakan di area penelitian (Bucholz, Heckman & Court-Brown, 2006).
Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali), reduksi
(mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi (Helmi, 2011; Bucholz,
Heckman & Court-Brown, 2006).
Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada
jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga harus diketahui apakah akibat
trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak langsung (Sjamsuhidayat, 2011).
Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula (reposisi).
Dengan kembalinya ke bentuk semula, diharapkan bagian yang sakit dapat berfungsi kembali
dengan maksimal. Retaining adalah tindakan mempertahankan hasil reposisi dengan fiksasi
(imobilisasi). Hal ini akan menghilangkan spasme otot pada ekstremitas yang sakit sehingga
terasa lebih nyaman dan sembuh lebih cepat. Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan
anggota gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali (Helmi, 2011; Bucholz, Heckman &
Court-Brown, 2006; Salter, 1999).
Cedera dari trauma muskuloskeletal biasanya memberikan disfungsi struktur
disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan
muskuloskeletal yang paling sering terjadi akibat suatu trauma adalah kontusio, strain,
sprain, dislokasi, dan subluksasi (Helmi, 2011).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Muskuloskeletal


Sistem muskuloskeletal terutama terbagi menjadi sistem skeletal yang membahas
tulang-tulang di tubuh manusia dan sistem muskular yang membahas otot yang
membungkus tulang-tulang tersebut (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Sistem skeletal dapat terbagi menjadi dua subgrup, yaitu: tulang aksial dan tulang
appendikular. Tulang aksial terdiri dari tulang kranium, tulang vertebra, tulang kosta
dan sternum. Sedangkan tulang appendikular terdiri dari tulang-tulang yang
membentuk ekstremitas atas dan ekstremitas bawah (Richard, Wayne & Adam, 2010)..
Selain itu sistem skeletal terdiri dari tulang dan kartilago. Tulang adalah jaringan
ikat yang keras karena mengalami proses kalsifikasi yang membentuk sebagian besar
sistem skeletal. Tulang memiliki fungsi sebagai jaringan suportif pada tubuh, pelindung
organ vital, tempat cadangan kalsium dan fosfor, sebagai tempat melekatnya otot, dan
sebagai penghasil sel-sel darah. Ada 2 jenis sel tulang, yaitu tulang kompakta dan
tulang spongiosa. Tulang kompakta adalah tulang keras yang membentuk bagian luar
dari semua jenis tulang sedangkan tulang spongiosa terdiri dari spikula-spikula yang
mengisi rongga-rongga di dalam tulang yang terdiri dari sumsum sebagai tempat sel-sel
penghasil darah (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Tulang diklasifikasikan juga berdasarkan bentuknya, yaitu: tulang panjang, tulang
pendek, tulang pipih, tulang ireguler, dan tulang sesamoid. Kartilago adalah jaringan
ikat avaskuler yang terdiri dari serat-serat ekstraseluler yang melekat pada matriks.
Jumlah dari serat ekstraseluler pada matriks bervariasi tergantung jenis kartilagonya.
Saat ini dikenal 3 jenis kartilago, yaitu: kartilago hyalin, kartilago elastis, dan
fibrokartilago. Fungsi dari kartilago adalah untuk menunjang jaringan lunak, sebagai
tempat gesekan antar tulang pada persendian, dan memungkinkan terjadinya
pertumbuhan pada tulang panjang (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Sistem muskular pada tubuh manusia terbagi menjadi 3 tipe otot berdasarkan
karakteristik ototnya, yaitu: otot skeletal/ otot lurik, otot jantung, dan otot polos. Ketika
kita membahas ekstremitas atas maupun bawah, otot yang berperan disini adalah otot
skeletal/ otot lurik (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Pada referat ini akan dibahas mengenai anatomi dari ekstremitas atas dan
ekstremitas bawah. Ekstremitas atas berhubungan dengan bagian lateral dari leher dan
dinding toraks. Ekstremitas atas dihubungkan dengan trunkus oleh otot-otot dan
persendian antara klavikula dengan sternum (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Ekstremitas atas dibagi lebih lanjut menjadi regio-regio yang lebih kecil, yaitu:
regio cingulum pectorale, regio brachium, regio antebrachium, dan regio manus.
Masing-masing regio terdiri dari jaringan kutis, subkutis, otot, dan tulang serta
pembuluh darah dan persarafannya masing-masing (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Regio cingulum pectorale atau yang dikenal sebagai bahu terdiri dari tulang
klavikula, skapula, dan bagian proksimal humerus. Persendian utama pada regio ini
adalah persendian glenohumeral yang merupakan sendi bahu dan memiliki fungsi
sirkumduksio. Otot pada regio ini terdiri dari trapezius, deltoideus, levator scapula,
rhomboid minor dan mayor, supraspinatus, infraspinatus, teres minor, dan teres mayor.
Perdarahan regio ini terutama oleh arteri aksilaris dan cabang-cabangnya. Pada daerah
ini terdapat pleksus brachialis yang merupakan persarafan utama dari otot-otot dan kulit
di ekstremitas atas (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Regio brachium atau lengan atas terdiri dari tulang humerus. Otot-otot pada regio
ini terbagi menjadi kompartemen anterior dan kompartemen posterior. Otot-otot
kompartemen anterior adalah otot coracobrachialis, biceps brahii, dan brachialis,
sedangkan otot-otot kompartemen posterior adalah otot triceps brachii. Arteri yang
memperdarahi daerah ini terutama berasal dari arteri brachialis dan cabang utamanya
yaitu arteri brahialis profunda (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Regio antebrachium atau lengan bawah terdiri dari 2 tulang yaitu radius dan ulna.
Otot-otot pada regio ini terbagi menjadi 2 kompartemen yaitu kompartemen anterior
dan kompartemen posterior. Otot-otot di kompartemen anterior terbagi lebih lanjut
menjadi 3 lapisan yaitu lapisan superfisial (otot flexor carpi ulnaris, palmaris longus,
flexor carpi radialis, dan pronator teres), lapisan intermedia (otot flexor digitorum
superficialis), dan lapisan profunda (otot flexor digitorum profundus, flexor pollicis
longus, dan pronator quadratus). Otot-otot di kompartemen posterior terbagi menjadi 2
lapisan, yaitu lapisan superfisial (otot brachioradialis, extensor carpi radialis longus,
extensor carpi radialis brevis, extensor digitorum, extensor digiti minimi, extensor carpi
ulnaris, dan anconeus) dan lapisan profunda (otot supinator, abductor pollicis longus,
extensor pollicis brevis, extensor pollicis longus, dan extensor indicis). Regio ini
diperdarahi terutama oleh arteri radialis dan arteri ulnaris serta cabang-cabangnya
(Richard, Wayne & Adam, 2010).
Regio manus terbagi lebih lanjut menjadi 3 bagian, yaitu pergelangan tangan
(carpus), metacarpus, dan digiti/ phalanges (jari-jari tangan). Tulang pada regio ini
terdiri dari 8 tulang carpal (scaphoideum, lunatum, triquetrum, pisiformis, trapezium,
trapezoid, capitatum, dan hamatum), 5 tulang metacarpal (I-V), dan 5 phalanges (digiti
I-V). Otot-otot di daerah ini disebut sebagai otot tangan. Otot-otot tangan terbagi
menjadi otot intrinsik dan otot ekstrinsik. Otot ekstrinsik merupakan tendon dari otot-
otot yang berasal dari lengan bawah. Otot intrinsik pada tangan terdiri dari: otot
palmaris brevis, interossei dorsalis, interossei palmaris, adductor pollicis, lumbricales,
opponens pollicis, abductor pollicis brevis, flexor pollicis brevis, opponens digiti
minimi, abductor digiti minimi, flexor digiti minimi brevis. Perdarahan dari tangan
terutama berasal dari arteri radialis dan arteri ulnaris yang membentuk arcus palmaris
superficial dan arcus palmaris profunda (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Ekstremitas inferior terbagi lebih lanjut menjadi regio-regio yang lebih kecil,
yaitu regio glutealis, regio femoris, regio cruris, dan regio pedis. Masing-masing regio
terdiri dari jaringan kutis, subkutis, otot, dan tulang serta pembuluh darah dan
persarafannya masing-masing (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Regio glutealis terdiri dari tulang pelvis yang terdiri dari tulang coxae (ilium,
ischium, dan pubis), sacrum, dan coccyx. Persendian utama yang menghubungkan
tulang pelvis dan femur adalah sendi coxae. Regio ini terdiri dari banyak lubang-lubang
yang menghubungkan bagian pelvis dengan ekstremitas bawah. Otot-otot pada daerah
ini terdiri dari otot piriformis, obturator internus, gemellus superior, gemellus inferior,
quadratus femoris, gluteus maximus, gluteus medius, gluteus minimus, tensor fascia
latae. Perdarahan daerah ini terutama berasal dari arteri glutealis superior dan inferior.
Persarafan daerah ini terutama berasal dari nervus ischiadicus, nervus glutealis superior
dan inferior, serta nervus pudendus (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Regio femoris terdiri dari tulang femur yang merupakan tulang utama regio ini.
Otot-otot pada regio ini terbagi lebih lanjut menjadi 3 kompartemen, yaitu:
kompartemen anterior (otot psoas mayor, iliacus, vastus medialis, vastus intermedius,
vastus lateralis, rectus femoris, dan sartorius), kompartemen medial (otot gracilis,
pectineus, adductor longus, adductor brevis, adductor magnus, dan obturator externus),
dan kompartemen posterior (otot biceps femoris, semitendinosus, dan
semimembranosus). Regio ini terutama diperdarahi oleh arteri femoralis dan
cabangnya, arteri femoris profunda, serta cabang-cabang lainnya. Persarafan daerah ini
terutama berasa dari nervus femoralis, nervus obturator, dan nervus ischiadicus.
Persendian antara femur dengan tibia-fibula dibentuk oleh persendian genu (lutut)
(Richard, Wayne & Adam, 2010).
Regio cruris terdiri dari 2 tulang yaitu tibia dan fibula. Otot-otot pada daerah ini
terbagi lebih lanjut menjadi 3 kompartemen, yaitu: kompartemen anterior (otot tibialis
anterior, extensor hallucis longus, extensor digitorum longus, dan fibularis tertius),
kompartemen lateral (otot fibularis longus dan fibularis brevis), dan kompartemen
posterior yang terbagi menjadi 2 lapisan, yaitu lapisan superfisial (otot gastrocnemius,
soleus, dan plantaris) dan lapisan profunda (otot popliteus, flexor hallucis longus, flexor
digitorum longus, dan tibialis posterior). Arteri yang memperdarahi daerah ini terutama
adalah arteri poplitea yang bercabang menjadi arteri tibialis anterior, tibialis posterior,
dan arteri fibularis (Richard, Wayne & Adam, 2010).
Regio pedis terbagi lebih lanjut menjadi 3 bagian, yaitu pergelangan kaki (tarsus),
metatarsus, dan digiti/ phalanges (jari-jari kaki). Tulang pada regio ini terdiri dari: 7
tulang tarsal (tulang calcaneus, talus, naviculare, cuboid, dan cuneiformis lateral,
intermediate, dan medial), 5 tulang metatarsal (I-V), dan 5 phalanges (digiti I-V). Otot-
otot pada regio ini terbagi menjadi bagian dorsal dan ventral. Otot pada bagian dorsal
pedis adalah otot extensor digitorum brevis. Otot pada bagian plantar terbagi menjadi 4
lapisan, yaitu: lapisan I (otot abductor hallucis, flexor digitorum brevis, dan abductor
digiti minimi), lapisan II (otot quadratus plantaris dan lumbricales), lapisan III (otot
flexor hallucis brevis, adductor hallucis, dan flexor digiti minimi brevis), dan lapisan IV
(otot interossei dorsalis dan interossei plantaris). Perdarahan dari pedis berasal dari
arteri tibialis posterior yang akan menjadi arteri plantaris medialis dan arteri plantaris
lateralis, dan arteri tibialis anterior yang akan menjadi arteri dorsalis pedis (Richard,
Wayne & Adam, 2010).

2.2 Definisi Fraktur


Fraktur adalah istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total
maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma (Helmi, 2011).
2.3 Etiologi Fraktur
Terjadinya suatu fraktur terutama disebabkan adanya trauma. Fraktur dapat
lengkap atau tidak lengkap dan ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan
tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang (Helmi, 2011).

2.4 Klasifikasi Fraktur


Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai
fraktur terbuka, fraktur tertutup, dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur tertutup adalah
fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan/ dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunya
hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk
dari dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan
komplikasi seperti malunion, delayed union, nonunion, dan infeksi tulang (Bucholz,
Heckman & Court-Brown, 2006).
Patah tulang terbuka menurut Gustillo dibagi menjadi tiga derajat, yang
ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi, yaitu (Sjamsuhidayat,
2011; Salter, 1999) :
 Tipe I
Luka kecil kurang dari 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat
tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur biasanya bersifat simpel,
transversal, oblik pendek atau komunitif.
 Tipe II
Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat atau
avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan.
 Tipe III
Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit, dan struktur
neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe, yaitu:
 Tipe IIIA, jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah.
 Tipe IIIB, disertai kerusakan dan kehilangan jaringan lunak, tulang tidak dapat
ditutup jaringan lunak.
 Tipe IIIC, disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera.
Menurut Apley Solomon, fraktur diklasifikasikan berdasarkan garis patah tulang
dan berdasarkan bentuk patah tulang. Berdasarkan garis patah tulangnya, fraktur
diklasifikasikan menjadi (Nayagam, 2010) :
 Greenstick, fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok.
 Transversal, fraktur yang memotong lurus pada tulang.
 Spiral, fraktur yang mengelilingi tungkai/ lengan tulang.
 Oblik, fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut melintasi tulang.
Berdasarkan bentuk patah tulangnya, fraktur diklasifikasikan menjadi:
 Fraktur komplit, garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen
tulang biasanya tergeser.
 Fraktur inkomplit, fraktur meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang.
 Fraktur kompresi, fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan tulang lain.
 Avulsi, keadaan dimana fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
 Comminuted fracture (segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa
bagian.
 Simple fracture, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.
 Fraktur dengan perubahan posisi, ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat
yang patah.
 Fraktur tanpa perubahan posisi, tulang patah, posisi pada tempatnya yang normal.
 Fraktur komplikata, tulang yang patah menusuk kulit dan tulang terlihat.
Berdasarkan lokasinya, fraktur dapat mengenai bagian proksimal (plateau),
diaphyseal (shaft), maupun distal. Berdasarkan proses osifikasinya, tulang panjang
terdiri dari:
 Diafisis (corpus/shaft), yang berasal dari pusat penulangan sekunder.
 Epifisis, terletak di ujung tulang panjang.
 Metafisis, bagian diafisis yang terletak paling dekat dengan epifisis, yaitu bagian
dari korpus yang melebar.

2.5 Manifestasi klinis


Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di
bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi
muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler
(Helmi, 2011; Sjamsuhidayat, 2011; Salter, 1999; Nayagam, 2010).
2.6 Diagnosis Fraktur
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. Riwayat
cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang
dia konsumsi, merokok, riwayat alergi, dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yaitu (Helmi, 2011, Salter 1999,
Nayagam 2010) :
 Inspeksi/ look
Melihat adanya deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak.
 Palpasi/ feel
Melakukan palpasi pada daerah tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas
dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Selain itu
status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa, yaitu meliputi
pulsasi arteri, warna kulit, pengembalian cairan kapiler (capillary refill time), dan
sensasi.
 Pemeriksaan gerakan/ moving
Pemeriksaan ini menilai apakah adanya keterbatasan pergerakan sendi yang
berdekatan dengan lokasi fraktur.
Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis. Pada
pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS.
Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada
vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
klinis dan radiologis (Salter 1999, Nayagam 2010).
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium meliputi darah
rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisis. Pemeriksaan
radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, yaitu dua gambaran,
anteroposterior (AP) dan lateral, memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur,
memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak
cedera (pada anak) dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan (Salter
1999, Nayagam 2010).
2.7 Penyembuhan Fraktur
Pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur dan fungsi tulang secara cepat
maka perlu tindakan operasi dan imobilisasi. Imobilisasi yang sering digunakan yaitu
plate and screw. Pada kondisi fraktur fisiologis akan diikuti proses penyambungan.
Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase, yaitu (Salter 1999,
Nayagam 2010) :
1. Fase hematoma
Fase ini terjadi selama 1 – 3 hari. Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di
sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur yang tidak mendapat
persediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.
2. Fase proliferasi
Fase ini terjadi selama 3 hari – 2 minggu. Dalam 8 jam setelah fraktur, terdapat
reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah periosteum dan di dalam saluran
medulla yang tertembus ujung fragmen akan dikelilingi jaringan sel yang
menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang mebeku perlahan0lahan diabsorbsi
dan kapiler baru yang halus berkembang dalam daerah fraktur.
3. Fase pembentukan kalus
Fase ini terjadi selama 2 – 6 minggu. Pada sel yang berkembangbiak, akan memiliki
potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik jika diberikan tindakan yang
tepat. Selain itu akan membentuk tulang kartilago dan osteoklas. Massa tulang akan
menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago juga osteoklas yang disebut
dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan periosteum dan endosteum. Terjadi
selama 4 minggu, tulang mati akan dibersihkan.
4. Fase konsolidasi
Fase ini terjadi dalam waktu 3 minggu – 6 bulan. Tulang fibrosa atau anyaman
tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik masih berlanjut maka
anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini osteoblas tidak
memungkinkan untuk menerobos melalui reruntuhan garis fraktur karena sistem ini
cukup kaku. Celah-celah diantara fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh
osteoblas. Perlu beberapa bulan sebelum tulang mampu untuk menumpu berat badan
normal.
5. Fase remodelling
Fase ini terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah dihubungkan oleh
tulang yang padat. Tulang yang padat tersebut akan diresorbsi dan pembentukan
tulang yang terus menerus lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang
tidak dikehendaki dibuang, dibentuk rongga sumsum, dan akhirnya akan
memperoleh bentuk tulang seperti normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan
sampai beberapa tahun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia pasien,
banyaknya displacement fraktur, jenis fraktur, lokasi fraktur, pasokan darah pada
fraktur, dan kondisi medis yang menyertainya (Bucholz, Heckman & Court-Brown,
2006).

2.8 Prinsip Penanganan Fraktur


Pengelolaan fraktur secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada
umumnya, yaitu jangan mencederai pasien, pengobatan didasari atas diagnosis yang
tepat, pemilihan pengobatan dengan tujuan tertentu, mengikuti “law of nature”,
pengobatan yang realistis dan praktis, dan memperhatikan setiap pasien secara individu
(Helmi, 2011; Salter 1999).
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi
semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah
tulang (imobilisasi). Pada anak-anak, reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai
keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan remodelling
(Helmi, 2011; Sjamsuhidayat, 2011; Brunicardi dkk, 2004; Kligensmith dkk, 2008).
Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri, menghasilkan
dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, agar terjadi penyatuan tulang
kembali, untuk mengembalikan fungsi seperti semula (Helmi, 2011; Bucholz, Heckman
& Court-Brown, 2006; Salter, 1999).
Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat dilakukan imobilisasi (tidak
menggerakkan daerah fraktur), dan dapat diberikan obat penghilang nyeri. Teknik
imobilisasi dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips. Bidai dan gips tidak dapat
mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan teknik seperti
pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal (Helmi, 2011;
Bucholz, Heckman & Court-Brown, 2006; Salter, 1999).
Tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan berapa lama patah tulang
diperlukan untuk bersatu dan sampai terjadi konsolidasi. Hal ini dikarenakan adanya
pengaruh dari faktor usia, konstitusi, suplai darah, jenis fraktur, dan faktor lain yang
mempengaruhi sepanjang waktu diambil. Prediksi yang mungkin adalah timetable
Perkins yang sederhana. Fraktur spiral pada ekstremitas atas menyatu dalam 3 minggu,
untuk konsolidasi kalikan dengan 2; untuk ekstremitas bawah kalikan dengan 2 lagi;
untuk fraktur transversal kalikan lagi dengan 2 (Nayagam, 2010).
Sebeuah formula yang lebih sophisticated adalah sebagai berikut. Sebuah fraktur
spiral pada ekstremitas atas memakan 6 – 8 minggu untuk terjadinya konsolidasi.
Ekstremitas bawah membutuhkan waktu dua kali lebih lama. Tambahkan 25% jika
bukan fraktur spiral atau jika melibatkan tulang paha. Patah tulang anak-anak tentu saja
menyatu lebih cepat. Angka-angka ini hanya panduan kasar, harus ada bukti klinik dan
radiologis yang terkait konsolidasi sebelum tekanan penuh diperbolehkan tanpa
splintage (Nayagam, 2010).
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi.
Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin (Salter, 1999; Nayagam,
2010).
Beberapa penatalaksanaan fraktur secara ortopedi meliputi proteksi tanpa reposisi
dan imobilisasi, imobilisasi dengan fiksasi, reposisi dengan cara manipulasi diikuti
dengan imobilisasi, reposisi dengan traksi, reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan
fiksasi luar, reposisi secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada
tulang secara operatif. Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang
dengan pemasangan fiksasi interna, eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan
prosthesis (Helmi, 2011; Sjamsuhidayat, 2011; Salter, 1999).
Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi digunakan pada penanganan fraktur
dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan
menyebabkan kecacatan dikemudian hari. Contoh adalah pada fraktur kosta, fraktur
klavikula pada anak-anak, fraktur vertebra dengan kompresi minimal (Helmi, 2011;
Sjamsuhidayat, 2011; Salter, 1999).
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi
tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini
adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa disklokasi yang penting
(Sjamsuhidayat, 2011; Salter, 1999; Nayagam, 2010).
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi dilakukan
pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius distal.
Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu, misalnya
beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada
fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips.
Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur
(Sjamsuhidayat, 2011; Nayagam, 2010).
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan untuk fiksasi
fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen
tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit
luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain: fraktur dengan rusaknya
jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana pemasangan fiksasi
internal terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang
terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk fiksasi internal namun jaringan
lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multipel yang
berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera
kepala, fraktur dengan infeksi (Sjamsuhidayat, 2011; Nayagam, 2010).
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang
secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen
direposisi secara non-operatif dengan meja traksi. Setelah tereposisi, dilakukan
pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur (Helmi, 2011; Salter, 1999;
Nayagam, 2010).
Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
fiksasi interna dilakukan, misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan
bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang,
bisa juga plat dengan sekrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif
adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh,
sesudah operasi tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan
imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa direduksi
kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement
kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur
kolum femur), fraktur patologis, fraktur multipel dimana dengan reduksi dini bisa
meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia,
pasien geriatri) (Sjamsuhidayat, 2011; Nayagam, 2010).
Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis dilakukan pada
fraktur kolum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan diganti dengan
prosthesis. Tindakan ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada kolum femur
tidak dapat menyambung kembali. (Sjamsuhidayat, 2011; Salter, 1999; Nayagam,
2010).
Khusus pada fraktur terbuka, harus diperhatikan bahaya terjadi infeksi, baik
infeksi umum maupun infeksi lokal pada tulang yang bersangkutan. Empat hal penting
yang perlu adalah antibiotik profilaksis, debridement cito pada luka dan fraktur,
stabilisasi fraktur, dan penutupan luka segera secara definitif (Sjamsuhidayat, 2011).

2.8 Komplikasi Fraktur


Sindrom Emboli Lemak
Merupakan keadaan pulmonary akut dan dapat menyebaban kondisi fatal. Hal ini
terjadi ketika gelembung-gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan
mengelilingi jaringan yang rusak. Gelembung lemak ini akan melewati sirkulasi dan
menyebabkan oklusi pada pembuluh-pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan
sulitnya bernapas. Gejala dari sindrom emboli lemak meliputi dyspnea, perubahan
status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, dan ruam
kulit petechiae.
Sindrom Kompartemen
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan terkanan jaringan dalam ruang tertutup di otot,
yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan
aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala-
gejalanya meliputi rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang
berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, maupun rasa sakit
karena peregangan pasif pada otot yang terlihat (pain), paresthesia, palor, paralysis,
pulselesness, dan poikilothermia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang
kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
Nekrosis Avaskular (Nekrosis Aseptik)
Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini
paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala
femur berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis
avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien
mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai keluar dari rumah sakit. Oleh karena
itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting.
Osteomyelitis
Osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks
tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous
(infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur
terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panang, fraktur
terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur dengan
sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih
besar.
Gangren Gas
Gas gangren berasal dari infeksi yang disebabkan oleh bacterium saprophystik gram
positif anaerob yaitu antara lain Clostridium welchii atau Clostridium perfringens.
Clostridium biasanya akan tumbuh pada luka dalam yang mengalami penurunan suplai
oksigen karena trauma otot. Jika kondisi ini terus terjadi, maka akan terdapat edema,
gelembung-gelembung gas pada tempat luka. Tanpa perawatan, infeksi toksin tersebut
dapat berakibat fatal.

2.9 Prognosis Fraktur


Pada kasus fraktur, prognosisnya bergantung dari tingkat keparahan serta tata laksana
dari tim medis terhadap pasien dengan korban fraktur. Jika penanganannya cepat,
maka prognosisnya akan lebih baik. Begitu juga sebaliknya. Sedangkan dari tingkat
keparahan, jika fraktur yang dialami ringan, maka proses penyembuhan akan
berlangsung dengan cepat dengan prognosis yang baik. Tetapi jikalau pada kasus
yang berat prognosisnya juga akan buruk, bahkan jika parah, tindakan yang dapat
diambil adalah amputasi. Selain itu penderita dengan usia yang lebih muda akan baik
prognosisnya dibandingkan dengan penderita dengan usia lanjut.
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

Helmi ZN. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika. 2011.
p411-55.

Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. Rockwood & Green’s Fractures in
Adults, 6th Edition. USA: Maryand Composition. 2006. p80-331.

Sjamsuhidayat, de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG. 2011. p969-1083

Salter RB. Textbook Disorders and Injuries of The Musculosceletal System Third
Edition. USA: Lippincott William and Wilkins. 1999. p417-498.

Nayagam S. Principles of Fractures. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S.


Apley’s System of Orthopaedics and Fractures Ninth Edition. London: Hodder Education.
2010. p687-732.

Brunicardi FC, Anderson DK, Biliar TR Dunn DL, Huter JG, Pollock RE.
Orthopaedics. Dalam: Brunicardi FC, Anderson DK, Biliar TR Dunn DL, Huter JG, Pollock
RE. Schwartz’s Principle of Surgery. The McGraw-Hill Companies: USA. 2004.

Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers, TA, Melby SJ. Dalam:
Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers, TA, Melby SJ. Washington Manual of
Surgery, The 5th Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2008. p578-597.

Anda mungkin juga menyukai